Senin, 03 November 2014

Dewi Cinta part 2



Mulanya Moreno ingin mengacuhkannya. Tapi telpon iseng tersebut seperti tak berhenti mengganggunya. Terjadi lagi, lagi dan lagi. Hingga mau tak mau, iapun memikirkannya.
Malam itu ia hanya mondar-mandir di kamarnya. Ia yakin, ada yang tak beres. Ia jadi penasaran, siapa cewek tersebut. Mengaku-ngaku pacarnya, mengaku temen sepermainannya, mengaku cinta mati dengannya, busyet, pake nangis-nangis lagi. Dan itu nggak hanya terjadi satu atau dua kali, tapi berkali-kali.
Ia sempat berpikir, mungkin itu adalah salah satu cewek yang sakit hati karena cintanya ia tolak, sehingga ia menggunakan cara ini untuk menerornya. Masalahnya, cewek yang pernah ia tolak cintanya itu nggak cuman satu atau dua, tapi, seabrek! Jadi, bagaimana mungkin ia bisa mengingatnya satu persatu?

***

          Moreno menyusuri lorong kelas dengan perlahan. Sekolah sudah mulai lengang karena pelajaran sudah berakhir sekitar satu jam yang lalu. Namun begitu masih ada beberapa siswa yang duduk-duduk di teras kelas dan juga taman sekolah. Macam-macam yang mereka lakukan. Ada yang mengobrol, berdiskusi, bercanda atau hanya duduk-duduk saja.
Moreno melangkah dengan santai tanpa melihat ke arah mereka. Ia memang tak biasa menyapa mereka dan ia juga tak biasa mengumbar senyum pada sembarang orang. Terang aja, julukannya ‘kan si belagu, akan kelihatan aneh kalo tiba-tiba ia berubah jadi friendly.
Moreno nyaris saja menabrak Malika yang tiba-tiba nongol dari pertigaan lorong kelas. Cowok itu menatap Malika dengan tatapan marah.
“Kalo jalan pake mata dong,” gerutunya. Malika juga menatap cowok tersebut dengan tatapan tak ramah.
“Sammmaaa, aku juga mau bilang gitu. Helllooo, kalo jalan pake mata dooong,” jawabnya, tampak sedikit dramatis dan .. alay!
Moreno menatapnya sesaat.
“Oh, kamu cewek yang dapat nilai empat kemarin ‘kan?”
Kedua bola mata Malika yang bulat indah membelalak.
“Ow, makasih banget karena kau masih inget sama aku. Tapi asal kamu tahu, mau dapat nilai empat ataupun delapan, itu bukan urusanmu!”
Moreno menatapnya sinis.
“Ow, sori banget kalo aku harus ngecewain kamu karena menganggapku mengurusi urusanmu. Plis, jangan ge-er karena aku juga nggak mau capek-capek ngurusi urusan orang lain. Tapi jika boleh, aku mau ngasih saran sama kamu. Rajin-rajinlah belajar, oke?” setelah berkata begitu, Moreno beranjak. Malika menatapnya dengan kesal.
“Tunggu,” panggilnya. Moreno menoleh.
“Kenapa? Mo minta  maaf? Nggak usah deh. Aku nggak marah kok. Meskipun kamu telah mencoba menabrakku dengan sengaja, sama seperti yang dilakuin cewek-cewek lain padaku,” jawabnya.
Dieng! Sekali lagi Malika membelalak mendengar ucapan Moreno.
Busyet, nih cowok cakep-cakep mulutnya nggak punya adat istiadat banget sih!
“Apa? Sengaja menabrakmu?! Kamu pikir aku cewek apa? Jangan samakan aku dengan mereka yang mau jungkir balik nggak karuan ngejar-ngejar kamu! Aku nggak tertarik!!” teriaknya. Moreno menatapnya dengan tatapan dingin.
“Basi deh,” ucapnya. Ia kembali berbalik dan melangkahkan kakinya.
“Aku nggak tertarik sama kamu dasar cowok senewen! Ingat itu!” Malika kembali berteriak – tak kalah senewen - sementara Moreno tetap melangkahkan kakinya dengan cuek.

***

          Setelah nyampek rumah, Malika masih uring-uringan...
Ia melemparkan tas-nya ke meja dengan jengkel. “Dasar cowok sinting. Cowok nyebelin. Kenapa cowok macam dia masih juga di kejar-kejar? Apa di dunia ini sudah nggak ada cowok yang lebih baik darinya, lebih manis, lebih cute, lebih ramah, en lebih nyenengin gitu?” Ia menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Nafasnya naik turun menahan amarah.
“Tuh cowok mestinya di banting-banting, di ajak adu jotos. Lebih bagus lagi kalo dia digebugin orang sekampung sampek babak belur. Suatu saat nanti, aku pasti bisa memeluknya kemudian meremukkan tulang-tulangnya,” gerutunya lagi.
Cewek itu mendelik sesaat, teringat sesuatu. Ew, kok pake kata ‘memeluk’..?
“Ah, lupakan kata-kata ‘memeluk’. Pokoknya, aku ingin meremukkan tulang-tulangnya, titik,” ia dongkol. Sesaat ia bangkit, mondar-mandir, marah-marah, mondar-mandir lagi, eh, marah-marah lagi.

***
Moreno mendesah kesal.
“Kamu lagi rupanya?” gerutunya. Si penelpon tertawa.
“Ya, ini aku. Dewi Cinta, pacarmu,” jawabnya.
“Mau apa lagi?”
“Udah makan apa belum, sayang?”
“Apa pentingnya kamu tahu aku udah makan atau belum?”
Terdengar tawa dari seberang sana.
“Aku cuma pengen tahu keadaanmu aja,”
“Gak penting banget sih,”
“Tentu aja penting buat aku. Kita ‘kan sepasang kekasih,”
“Plis deh, sampai kapan kamu akan berhenti menggangguku?”
“Mengganggumu? Aduh, jangan berlebihan gitu dong. Aku ‘kan cuma pengen nanyain kabarmu, apa iya itu mengganggu?”
“Identitasmu yang nggak jelas-lah yang membuatku terganggu,”
Si Dewi cinta kembali tertawa.
“Identitas? Aku ini Dewi cinta, pacarmu. Identitas apalagi yang pengen kamu tahu?”
Moreno mendesah kesal.
“Sebenarnya apa sih maumu?” tanyanya gemas.
“Cintamu,”
“Omong kosong,”
“Aku bener-bener nggak bisa hidup tanpa kamu, Moreno. Aku lebih baik mati jika kau berani ninggalin aku,”
“Terserah, mati aja sana!”
Brakk! Moreno menutup telpon dengan kesal.

***

Hari selanjutnya…
Moreno membelalak. Jarum jam di dinding menunjukkan tepat pukul 2 malam. Tadinya ia sempat ogah mengangkat telpon tersebut. Tapi, feelingnya mengatakan kalau ada yang nelpon dini hari, pasti ada kabar buruk. Akhirnya, ia menjawab juga telpon dari nomor yang tak  ia kenali tersebut.
“Sayaaannng..”
Moreno melotot.
“Kamu?!!” teriaknya.
“Iya, ini Dewi Cinta, pacarmu,”
“Astaga, ngapain kamu malam-malam gini nelpon?”
Suara dari seberang sana tertawa kecil.
“Cuma pengen denger suaramu aja,” jawabnya.
“Tapi ini sudah jam 2 malam?!”
“Bodo amat, yang penting ‘kan aku bisa denger suara kamu. Kangen banget nih. Jangan marah gitu dong. Sama pacar sendiri dilarang marah-marah,”
“Persetan!” teriak Moreno.
Dewi cinta kembali tertawa.
“Harus bagaimana lagi aku meyakinkanmu bahwa di hatiku hanya ada dirimu seorang?”
“Bodo amat,”
“Sayang__”
“Kamu cewek gila,”
Bukankah kamu emang sudah tergila-gila padaku?
“What??”
Jangan malu-malu gitu dong sayang,”
Moreno mendesah.
“Apa kamu serius?”
Tentu saja, sa-yaaaang,
 “Oke, kalo niatmu untuk mengganggu kehidupanku sudah bulat, kuterima tantanganmu!”
Bipp! Moreno menutup pembicaraan dengan kesal.

***

          Malika melirik jam di dinding. Ia tertawa cekikikan.
“rasain kamu. Moga-moga aja nggak bisa tidur. Moga-moga aja bangun kesiangan,” gumamnya. Ia meraih selimutnya lalu kembali terlelap

***

“Gimana tugasnya?” Susi mencubit pipi Malika dengan gemas. Malika tersenyum.
“Beres-lah,” jawabnya pelan.
“Gimana dvd film yang aku minta?” ia bertanya. Kedua sahabatnya mengangguk. Mereka mengeluarkan beberapa dvd film (tentunya yang orisinil ya, kalo bajakan mah, Malika nggak doyan! – Makanan kaleeee..) yang kemarin di pesen sama Malika.
“Whoaa, thank you ya temen-temen,” ucapnya dengan mata berbinar-binar sambil menyambar dvd tersebut dan segera memasukkan ke dalam tasnya.
“Kamu pulanglah dulu, Ka. Kami masih ada latihan basket,” ujar Anna.
“Ikut, boleh?” tanya Malika.
“Ikut latihan basket?”
“Enggak, cuma pengen lihat aja, boleh?”
Anna dan Susi mengangguk.
 “Oke, yuk,”
Dan merekapun menuju lapangan basket. Ini untuk pertama kalinya ia nemenin Anna dan Susi latihan basket. Biasanya kalo mereka lagi latihan basket, Malika selalu memilih untuk pulang dulu, ato nungguin mereka di ruang musik. Eit, dia nggak ikut kelas musik kok. Dia juga cuma nonton anak-anak lain latihan musik. Buat dia, itu lebih nyenengin daripada nonton basket. Haha..
Malika sendiri juga heran, kenapa hari itu dia pingin banget nonton anak-anak latihan basket. Padahal dia juga nggak suka. Sebenarnya Malika juga pengen seperti temen-temennya. Ikut banyak extrakurikuler untuk mengasah kemampuan. Tapi ia nggak bisa!
Kadang ia sempat bingung dan bertanya pada dirinya sendiri.
Sebenarnya ia berbakat di bidang apa? Karena selama ini ia merasa tak pintar di banyak hal.
Jujur, kemampuannya di bidang akademik biasa-biasa aja, dan ia sadari betul tentang hal itu. Ia juga tak mahir di bidang olah raga, terutama basket dan berenang, meskipun ia anak yang tomboy. Ia juga tak bisa maen musik sama sekali. Jangankan maen musik, membaca not balok saja ia sering salah!
Ingin kelas memasak, apalagiiii... Yang bisa ia lakukan ‘kan cuma masak air sama mie instan.
Ingin ikut kelas tata busana, aduh, apalagi itu!? Ia nggak ngerti soal jahit menjahit ataupun sulam menyulam.
Jadi bakatnya di bidang apa dong?
Malika sendiri juga nggak tahu. Ia hanya tahu bahwa ia anak yang suka nonton tv, nonton film action, sama baca komik, terutama komik one peace sama bleach.
Oh, ada lagi! Kalo digali, ia masih punya bakat : baca puisi. Tapi itupun jarang sekali ia tunjukkan. Ia ingat bahwa selama ia sekolah di sini, ia hanya pernah menunjukkannya sekali ketika acara peringatan 17 agustus-an.

Malika duduk di sebuah bangku di bawah pohon mangga, yang berada tak jauh dari lapangan basket.
Ia asyik memperhatikan dengan seksama anak-anak yang tengah berlatih dengan keras. Raut muka mereka tampak begitu serius. Peluh yang membanjiri tubuh mereka seakan tak mereka pedulikan. Gurat-gurat kelelahan nampak dengan jelas di wajah mereka, tapi toh mereka tetap latihan dengan penuh semangat. Menyaksikan mereka yang berlatih dengan penuh semangat, tiba-tiba saja Malika ikut semangat.
Dan tanpa sadar, tatapan matanya juga ikut memperhatikan ___ dia!
Ya, sesosok tubuh jangkung itu! Sesosok makhluk  yang tampak begitu mencolok dan berbeda di antara yang lainnya!
Moreno!
Ah ___ dia. Dan tanpa sadar Malika terus memperhatikannya. Memperhatikan ketika ia memberi instruksi pada rekan-rekannya yang lain, mendribble bola, melakukan tembakan, bergerak dengan lincah, dan berlari kesana-kemari dengan gesit.
Sebagian rambutnya tampak basah karena keringat. Peluh membajiri wajah dan juga tubuhnya. Tubuhnya? Astaga! Tubuhnya .... bagus!
Sesaat Malika terkesiap. Ah, tidak. Tepatnya, ia terpesona!
Ini untuk pertama kalinya ia melihat Moreno beraksi di tengah lapangan. Dan untuk pertama kalinya pula ia sadar bahwa ia makhluk yang tampan luar biasa!
Tubuhnya jangkung dan atletis. Matanya yang hitam indah tampak begitu tajam dan fokus. Ia punya rahang kokoh dan bentuk wajah aristokrat, semakin kelihatan kalo ia orang yang keras kepala. Ia juga punya tangan-tangan yang kekar, yang seakan menunjukkan betapa kuat tangannya, betapa hangat sentuhannya, dan dia ___
Astaga, Malika!! Tunggu!!!
Cewek berlesung pipit itu membuyarkan lamunannya sendiri. Dan sejurus kemudian ia mulai menggerutu tak karuan ketika ia menyadari bahwa barusan saja ia mengagumi dan memuji Moreno!
“Sinting, aku pasti sudah gila. I must be crazy,” Malika nyaris berteriak, ia menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri dan tanpa alasan yang jelas, ia jadi sewot.
Dengan segera ia bangkit dari tempat duduknya.
“Malika, mo kemana!?” Suara Susi terdengar dari tengah lapangan.
“Pulang!” jawab Malika ketus tanpa menoleh sedikitpun. Anna dan Susi berpandangan.
“Kenapa sih tuh anak?” tanya Susi. Anna hanya mengangkat bahu.
Malika terus melangkah tanpa menghiraukan sobatnya. Ia sama sekali tak menyadari bahwa sepasang mata elang milik Moreno tengah menatapnya dengan lekat hingga tubuhnya yang mungil itu lenyap di balik ruang kelas.
Sesampainya di rumah, bayangan Moreno tetap tak bisa hilang dari kepala Malika.
Mungkin, sikapnya yang angkuh dan dingin itu merupakan daya tarik tersendiri baginya. Pikirnya.
Malika mendelik ketika menyadari bahwa hatinya masih saja mendebatkan tentang Moreno. Di sisi lain, ia menyadari Moreno sosok belagu dan semua orang sudah tahu itu. Tapi di sisi lain juga, ia menyadari bahwa cowok itu tetap saja punya daya tarik tersendiri, dan inipun sudah diketahui pula oleh banyak orang. Mungkin, hanya dia saja yang telat menyadarinya.
Moreno sosok yang berbeda sekaligus misterius. Ia sulit ditebak, sulit pula didekati. Sorot matanya yang tajam dan menakjubkan benar-benar membuat semua cewek se-es-em-u Harapan terpikat dan klepek-klepek!
Termasuk dirinya-kah sekarang? Mungkin!
Cewek lincah tersebut menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur dan menindih kepalanya dengan bantal, berharap agar bayangan Moreno lenyap dari kepalanya. Meskipun ia tahu bahwa cara itu tak mempan.

***

 “Sus, hari ini ada latihan basket lagi ‘kan? Ikut ya?” ujar Malika pada Susi.
“Sejak kapan kamu jadi suka sama basket?” tanya Susi heran.
“Baru baru ini aja,” jawab Malika sambil nyengir.
“Wah, bagus dong. Ini termasuk kemajuan buat kamu. Kenapa gak sekalian aja gabung sama klub basket?” Susi menyarankan.
“Enggak ah, males,”
“Hadeh, males aja dipelihara? Asal kamu tahu aja ya, Ka. Nilai olahragamu tuh paling jelek di antara kami. Masak ujian olah raga  remidi terus sih? Gak cocok banget sama kepribadianmu yang tomboy, ‘n kebiasaanmu yang ceplas ceplos. Malu-maluin tahu?”
Malika mendelik.
“Iya, tahu kok kalo permainan basketku payah,”
“Kan nggak cuma basket. Volley juga, renang juga, atletik apalagi, emang olah raga apa sih yang kamu kuasai? Makan sama tidur?”
Malika kembali mencibir mendengar ucapan Susi.
Perdebatan diantara mereka terhenti ketika Anna muncul.
“Pulang yuk,” ajaknya. Malika dan Susi mengernyitkan dahinya.
“Emang gak jadi latihan?” tanya Susi.
Anna menggeleng.
“Kenapa?”
“Moreno gak masuk hari ini,”
“Trenggiling itu gak masuk?” seru Malika.
Anna dan Susi melotot.
“Udan dibilangin, jangan panggil dia trenggiling! Dia itu cowok paling cakep di sekolah kita, tega-teganya kamu panggil dia ‘trenggiling’!” mereka protes hampir bersamaan.
Malika menyeringai.
“Jadiii-TRENGGILING-itu-gak-masuk!?” ia kembali mengulangi kalimatnya, kali ini dengan aksen kentara dengan penekanan pada setiap kata.
Anna dan Susi menarik nafas putus asa.
“Iya, si KEREN itu gak masuk sekolah hari ini. Si KEREN itu lagi sakit,”
“sakit?!” Malika dan Susi berseru hampir bersamaan.
Anna kembali mengangguk.
“Yuk ah pulang. Jadi gak semangat nih kalo Moreno gak ada,” Anna berlalu di ikuti Susi dan Malika.
“Emang Trenggiling bisa sakit ya?” ujar Malika ketika mereka keluar dari gerbang sekolah.
Anna dan Susi melotot.
“Malikaaaaaaa.......!!”
Dan yang dipanggil namanya sudah kabur duluan ke arah angkot berwarna oranye, sebelum kedua sahabatnya itu bisa menyubit lengannya...



***

Bersambung...
 

Gambar : Rizky Nazar (lupa di ambil dari blog mana. kayaknya ada keterangan di fotonya)