Mulanya
Moreno ingin mengacuhkannya. Tapi telpon iseng tersebut seperti tak berhenti
mengganggunya. Terjadi lagi, lagi dan lagi. Hingga mau tak mau, iapun
memikirkannya.
Malam itu ia hanya mondar-mandir di
kamarnya. Ia yakin, ada yang tak beres. Ia jadi penasaran, siapa cewek
tersebut. Mengaku-ngaku pacarnya, mengaku temen sepermainannya, mengaku cinta
mati dengannya, busyet, pake nangis-nangis lagi. Dan itu nggak hanya terjadi
satu atau dua kali, tapi berkali-kali.
Ia sempat berpikir, mungkin itu
adalah salah satu cewek yang sakit hati karena cintanya ia tolak, sehingga ia
menggunakan cara ini untuk menerornya. Masalahnya, cewek yang pernah ia tolak
cintanya itu nggak cuman satu atau dua, tapi, seabrek! Jadi, bagaimana mungkin
ia bisa mengingatnya satu persatu?
***
Moreno
menyusuri lorong kelas dengan perlahan. Sekolah sudah mulai lengang karena
pelajaran sudah berakhir sekitar satu jam yang lalu. Namun begitu masih ada
beberapa siswa yang duduk-duduk di teras kelas dan juga taman sekolah.
Macam-macam yang mereka lakukan. Ada yang mengobrol, berdiskusi, bercanda atau
hanya duduk-duduk saja.
Moreno melangkah dengan santai tanpa
melihat ke arah mereka. Ia memang tak biasa menyapa mereka dan ia juga
tak biasa mengumbar senyum pada sembarang orang. Terang aja, julukannya ‘kan si
belagu, akan kelihatan aneh kalo tiba-tiba ia berubah jadi friendly.
Moreno nyaris saja menabrak Malika
yang tiba-tiba nongol dari pertigaan lorong kelas. Cowok itu menatap Malika
dengan tatapan marah.
“Kalo jalan pake mata dong,”
gerutunya. Malika juga menatap cowok tersebut dengan tatapan tak ramah.
“Sammmaaa, aku juga mau bilang gitu.
Helllooo, kalo jalan pake mata dooong,” jawabnya, tampak sedikit dramatis dan
.. alay!
Moreno menatapnya sesaat.
“Oh, kamu cewek yang dapat nilai
empat kemarin ‘kan?”
Kedua bola mata Malika yang bulat
indah membelalak.
“Ow, makasih banget karena kau masih
inget sama aku. Tapi asal kamu tahu, mau dapat nilai empat ataupun delapan, itu
bukan urusanmu!”
Moreno menatapnya sinis.
“Ow, sori banget kalo aku harus
ngecewain kamu karena menganggapku mengurusi urusanmu. Plis, jangan ge-er
karena aku juga nggak mau capek-capek ngurusi urusan orang lain. Tapi jika
boleh, aku mau ngasih saran sama kamu. Rajin-rajinlah belajar, oke?” setelah
berkata begitu, Moreno beranjak. Malika menatapnya dengan kesal.
“Tunggu,” panggilnya. Moreno
menoleh.
“Kenapa? Mo minta maaf? Nggak usah deh. Aku nggak marah kok.
Meskipun kamu telah mencoba menabrakku dengan sengaja, sama seperti yang
dilakuin cewek-cewek lain padaku,” jawabnya.
Dieng! Sekali lagi Malika membelalak
mendengar ucapan Moreno.
Busyet, nih cowok cakep-cakep
mulutnya nggak punya adat istiadat banget sih!
“Apa? Sengaja menabrakmu?! Kamu
pikir aku cewek apa? Jangan samakan aku dengan mereka yang mau jungkir balik
nggak karuan ngejar-ngejar kamu! Aku nggak tertarik!!” teriaknya. Moreno
menatapnya dengan tatapan dingin.
“Basi deh,” ucapnya. Ia kembali
berbalik dan melangkahkan kakinya.
“Aku nggak tertarik sama kamu dasar
cowok senewen! Ingat itu!” Malika kembali berteriak – tak kalah senewen -
sementara Moreno tetap melangkahkan kakinya dengan cuek.
***
Setelah
nyampek rumah, Malika masih uring-uringan...
Ia
melemparkan tas-nya ke meja dengan jengkel. “Dasar cowok sinting. Cowok
nyebelin. Kenapa cowok macam dia masih juga di kejar-kejar? Apa di dunia ini
sudah nggak ada cowok yang lebih baik darinya, lebih manis, lebih cute, lebih ramah, en lebih nyenengin
gitu?” Ia menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Nafasnya naik turun menahan
amarah.
“Tuh cowok mestinya di
banting-banting, di ajak adu jotos. Lebih bagus lagi kalo dia digebugin orang
sekampung sampek babak belur. Suatu saat nanti, aku pasti bisa memeluknya
kemudian meremukkan tulang-tulangnya,” gerutunya lagi.
Cewek itu mendelik sesaat, teringat
sesuatu. Ew, kok pake kata ‘memeluk’..?
“Ah, lupakan kata-kata ‘memeluk’.
Pokoknya, aku ingin meremukkan tulang-tulangnya, titik,” ia dongkol. Sesaat ia
bangkit, mondar-mandir, marah-marah, mondar-mandir lagi, eh, marah-marah lagi.
***
Moreno
mendesah kesal.
“Kamu lagi rupanya?” gerutunya. Si
penelpon tertawa.
“Ya, ini aku. Dewi Cinta, pacarmu,” jawabnya.
“Mau apa lagi?”
“Udah makan apa belum, sayang?”
“Apa pentingnya kamu tahu aku udah
makan atau belum?”
Terdengar tawa dari seberang sana.
“Aku cuma pengen tahu keadaanmu aja,”
“Gak penting banget sih,”
“Tentu aja penting buat aku. Kita ‘kan sepasang kekasih,”
“Plis deh, sampai kapan kamu akan
berhenti menggangguku?”
“Mengganggumu? Aduh, jangan berlebihan gitu dong. Aku ‘kan cuma
pengen nanyain kabarmu, apa iya itu mengganggu?”
“Identitasmu yang nggak jelas-lah
yang membuatku terganggu,”
Si Dewi cinta kembali tertawa.
“Identitas? Aku ini Dewi cinta, pacarmu. Identitas apalagi
yang pengen kamu tahu?”
Moreno mendesah kesal.
“Sebenarnya apa sih maumu?” tanyanya
gemas.
“Cintamu,”
“Omong kosong,”
“Aku bener-bener nggak bisa hidup tanpa kamu, Moreno. Aku
lebih baik mati jika kau berani ninggalin aku,”
“Terserah, mati aja sana!”
Brakk! Moreno menutup telpon dengan
kesal.
***
Hari
selanjutnya…
Moreno membelalak. Jarum jam di
dinding menunjukkan tepat pukul 2 malam. Tadinya ia sempat ogah mengangkat
telpon tersebut. Tapi, feelingnya mengatakan kalau ada yang nelpon dini hari,
pasti ada kabar buruk. Akhirnya, ia menjawab juga telpon dari nomor yang
tak ia kenali tersebut.
“Sayaaannng..”
Moreno melotot.
“Kamu?!!” teriaknya.
“Iya, ini Dewi Cinta, pacarmu,”
“Astaga, ngapain kamu malam-malam
gini nelpon?”
Suara dari seberang sana tertawa
kecil.
“Cuma pengen denger suaramu aja,” jawabnya.
“Tapi ini sudah jam 2 malam?!”
“Bodo amat, yang penting ‘kan aku bisa denger suara kamu.
Kangen banget nih. Jangan marah gitu dong. Sama pacar sendiri dilarang
marah-marah,”
“Persetan!” teriak Moreno.
Dewi cinta kembali tertawa.
“Harus bagaimana lagi aku meyakinkanmu bahwa di hatiku hanya
ada dirimu seorang?”
“Bodo amat,”
“Sayang__”
“Kamu cewek gila,”
“Bukankah
kamu emang sudah tergila-gila padaku?”
“What??”
“Jangan
malu-malu gitu dong sayang,”
Moreno mendesah.
“Apa kamu serius?”
“Tentu
saja, sa-yaaaang,”
“Oke, kalo niatmu untuk mengganggu kehidupanku
sudah bulat, kuterima tantanganmu!”
Bipp! Moreno menutup pembicaraan
dengan kesal.
***
Malika
melirik jam di dinding. Ia tertawa cekikikan.
“rasain kamu. Moga-moga aja nggak
bisa tidur. Moga-moga aja bangun kesiangan,” gumamnya. Ia meraih selimutnya
lalu kembali terlelap
***
“Gimana
tugasnya?” Susi mencubit pipi Malika dengan gemas. Malika tersenyum.
“Beres-lah,” jawabnya pelan.
“Gimana dvd film yang aku minta?” ia
bertanya. Kedua sahabatnya mengangguk. Mereka mengeluarkan beberapa dvd film (tentunya
yang orisinil ya, kalo bajakan mah, Malika nggak doyan! – Makanan kaleeee..) yang
kemarin di pesen sama Malika.
“Whoaa, thank you ya temen-temen,”
ucapnya dengan mata berbinar-binar sambil menyambar dvd tersebut dan segera
memasukkan ke dalam tasnya.
“Kamu pulanglah dulu, Ka. Kami masih
ada latihan basket,” ujar Anna.
“Ikut, boleh?” tanya Malika.
“Ikut latihan basket?”
“Enggak, cuma pengen lihat aja,
boleh?”
Anna dan Susi mengangguk.
“Oke, yuk,”
Dan merekapun menuju lapangan
basket. Ini untuk pertama kalinya ia nemenin Anna dan Susi latihan basket.
Biasanya kalo mereka lagi latihan basket, Malika selalu memilih untuk pulang
dulu, ato nungguin mereka di ruang musik. Eit, dia nggak ikut kelas musik kok.
Dia juga cuma nonton anak-anak lain latihan musik. Buat dia, itu lebih
nyenengin daripada nonton basket. Haha..
Malika sendiri juga heran, kenapa
hari itu dia pingin banget nonton anak-anak latihan basket. Padahal dia juga
nggak suka. Sebenarnya Malika juga pengen seperti temen-temennya. Ikut banyak
extrakurikuler untuk mengasah kemampuan. Tapi ia nggak bisa!
Kadang ia sempat bingung dan
bertanya pada dirinya sendiri.
Sebenarnya ia berbakat di bidang
apa? Karena selama ini ia merasa tak pintar di banyak hal.
Jujur, kemampuannya di bidang
akademik biasa-biasa aja, dan ia sadari betul tentang hal itu. Ia juga tak
mahir di bidang olah raga, terutama basket dan berenang, meskipun ia anak yang
tomboy. Ia juga tak bisa maen musik sama sekali. Jangankan maen musik, membaca
not balok saja ia sering salah!
Ingin kelas memasak, apalagiiii...
Yang bisa ia lakukan ‘kan cuma masak air sama mie instan.
Ingin ikut kelas tata busana, aduh,
apalagi itu!? Ia nggak ngerti soal jahit menjahit ataupun sulam menyulam.
Jadi bakatnya di bidang apa dong?
Malika sendiri juga nggak tahu. Ia
hanya tahu bahwa ia anak yang suka nonton tv, nonton film action, sama baca
komik, terutama komik one peace sama bleach.
Oh, ada lagi! Kalo digali, ia masih
punya bakat : baca puisi. Tapi itupun jarang sekali ia tunjukkan. Ia ingat
bahwa selama ia sekolah di sini, ia hanya pernah menunjukkannya sekali ketika
acara peringatan 17 agustus-an.
Malika
duduk di sebuah bangku di bawah pohon mangga, yang berada tak jauh dari
lapangan basket.
Ia asyik memperhatikan dengan
seksama anak-anak yang tengah berlatih dengan keras. Raut muka mereka tampak
begitu serius. Peluh yang membanjiri tubuh mereka seakan tak mereka pedulikan.
Gurat-gurat kelelahan nampak dengan jelas di wajah mereka, tapi toh mereka
tetap latihan dengan penuh semangat. Menyaksikan mereka yang berlatih dengan
penuh semangat, tiba-tiba saja Malika ikut semangat.
Dan tanpa sadar, tatapan matanya
juga ikut memperhatikan ___ dia!
Ya, sesosok tubuh jangkung itu!
Sesosok makhluk yang tampak begitu
mencolok dan berbeda di antara yang lainnya!
Moreno!
Ah ___ dia. Dan tanpa sadar Malika
terus memperhatikannya. Memperhatikan ketika ia memberi instruksi pada
rekan-rekannya yang lain, mendribble bola, melakukan tembakan, bergerak dengan
lincah, dan berlari kesana-kemari dengan gesit.
Sebagian rambutnya tampak basah
karena keringat. Peluh membajiri wajah dan juga tubuhnya. Tubuhnya? Astaga!
Tubuhnya .... bagus!
Sesaat Malika terkesiap. Ah, tidak.
Tepatnya, ia terpesona!
Ini untuk pertama kalinya ia melihat
Moreno beraksi di tengah lapangan. Dan untuk pertama kalinya pula ia sadar
bahwa ia makhluk yang tampan luar biasa!
Tubuhnya jangkung dan atletis.
Matanya yang hitam indah tampak begitu tajam dan fokus. Ia punya rahang kokoh
dan bentuk wajah aristokrat, semakin kelihatan kalo ia orang yang keras kepala.
Ia juga punya tangan-tangan yang kekar, yang seakan menunjukkan betapa kuat
tangannya, betapa hangat sentuhannya, dan dia ___
Astaga, Malika!! Tunggu!!!
Cewek berlesung pipit itu
membuyarkan lamunannya sendiri. Dan sejurus kemudian ia mulai menggerutu
tak karuan ketika ia menyadari bahwa barusan saja ia mengagumi dan memuji
Moreno!
“Sinting, aku pasti sudah gila. I must be crazy,” Malika nyaris
berteriak, ia menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri dan tanpa alasan yang
jelas, ia jadi sewot.
Dengan segera ia bangkit dari tempat
duduknya.
“Malika, mo kemana!?” Suara Susi terdengar
dari tengah lapangan.
“Pulang!” jawab Malika ketus tanpa
menoleh sedikitpun. Anna dan Susi berpandangan.
“Kenapa sih tuh anak?” tanya Susi.
Anna hanya mengangkat bahu.
Malika terus melangkah tanpa
menghiraukan sobatnya. Ia sama sekali tak menyadari bahwa sepasang mata elang
milik Moreno tengah menatapnya dengan lekat hingga tubuhnya yang mungil itu
lenyap di balik ruang kelas.
Sesampainya di rumah, bayangan
Moreno tetap tak bisa hilang dari kepala Malika.
Mungkin, sikapnya yang angkuh dan dingin itu merupakan daya
tarik tersendiri baginya. Pikirnya.
Malika mendelik ketika menyadari
bahwa hatinya masih saja mendebatkan tentang Moreno. Di sisi lain, ia menyadari
Moreno sosok belagu dan semua orang sudah tahu itu. Tapi di sisi lain juga, ia
menyadari bahwa cowok itu tetap saja punya daya tarik tersendiri, dan inipun
sudah diketahui pula oleh banyak orang. Mungkin, hanya dia saja yang telat
menyadarinya.
Moreno sosok yang berbeda sekaligus
misterius. Ia sulit ditebak, sulit pula didekati. Sorot matanya yang tajam dan
menakjubkan benar-benar membuat semua cewek se-es-em-u Harapan terpikat dan
klepek-klepek!
Termasuk dirinya-kah sekarang?
Mungkin!
Cewek lincah tersebut menghempaskan
tubuhnya ke tempat tidur dan menindih kepalanya dengan bantal, berharap agar
bayangan Moreno lenyap dari kepalanya. Meskipun ia tahu bahwa cara itu tak
mempan.
***
“Sus, hari ini ada latihan basket lagi ‘kan?
Ikut ya?” ujar Malika pada Susi.
“Sejak kapan kamu jadi suka sama
basket?” tanya Susi heran.
“Baru baru ini aja,” jawab Malika
sambil nyengir.
“Wah, bagus dong. Ini termasuk
kemajuan buat kamu. Kenapa gak sekalian aja gabung sama klub basket?” Susi
menyarankan.
“Enggak ah, males,”
“Hadeh, males aja dipelihara? Asal
kamu tahu aja ya, Ka. Nilai olahragamu tuh paling jelek di antara kami. Masak
ujian olah raga remidi terus sih? Gak
cocok banget sama kepribadianmu yang tomboy, ‘n kebiasaanmu yang ceplas ceplos.
Malu-maluin tahu?”
Malika mendelik.
“Iya, tahu kok kalo permainan basketku
payah,”
“Kan nggak cuma basket. Volley juga,
renang juga, atletik apalagi, emang olah raga apa sih yang kamu kuasai? Makan
sama tidur?”
Malika kembali mencibir mendengar
ucapan Susi.
Perdebatan diantara mereka terhenti
ketika Anna muncul.
“Pulang yuk,” ajaknya. Malika dan
Susi mengernyitkan dahinya.
“Emang gak jadi latihan?” tanya
Susi.
Anna menggeleng.
“Kenapa?”
“Moreno gak masuk hari ini,”
“Trenggiling itu gak masuk?” seru
Malika.
Anna dan Susi melotot.
“Udan dibilangin, jangan panggil dia
trenggiling! Dia itu cowok paling cakep di sekolah kita, tega-teganya kamu
panggil dia ‘trenggiling’!” mereka protes hampir bersamaan.
Malika menyeringai.
“Jadiii-TRENGGILING-itu-gak-masuk!?”
ia kembali mengulangi kalimatnya, kali ini dengan aksen kentara dengan penekanan
pada setiap kata.
Anna dan Susi menarik nafas putus
asa.
“Iya, si KEREN itu gak masuk sekolah
hari ini. Si KEREN itu lagi sakit,”
“sakit?!” Malika dan Susi berseru
hampir bersamaan.
Anna kembali mengangguk.
“Yuk ah pulang. Jadi gak semangat
nih kalo Moreno gak ada,” Anna berlalu di ikuti Susi dan Malika.
“Emang Trenggiling bisa sakit ya?”
ujar Malika ketika mereka keluar dari gerbang sekolah.
Anna dan Susi melotot.
“Malikaaaaaaa.......!!”
Dan yang dipanggil namanya sudah
kabur duluan ke arah angkot berwarna oranye, sebelum kedua sahabatnya itu bisa
menyubit lengannya...
***
Bersambung...
Gambar : Rizky Nazar (lupa di ambil dari blog mana. kayaknya ada keterangan di fotonya)