Bab 4
Aku
masih berdiri termangu di depan mansion megah itu ketika seorang security –
atau penjaga rumah, entahlah - menghampiriku. “Ada yang bisa saya bantu, bu?”
pria itu menyapa dengan ramah. Aku tergagap. Pikiranku yang terlalu campur aduk
membuatku tak bisa menjawab dengan cepat.
“Mm, aku ingin bertemu dengan Luc
Sevilin,” jawabku kemudian. Security itu menatapku sekilas, penuh selidik.
“Anda sudah membuat janji?” ia bertanya
lagi. Tetap dengan nada suara yang ramah. Aku menggeleng.
“Aku belum membuat janji. Tapi beberapa
minggu yang lalu aku bertemu dengannya di sebuah pesta, dan ia mengijinkanku
datang kapan saja,” jawabku berbohong. Pria itu manggut-manggut.
“Baiklah bu, silahkan ikuti saya,” ia
menyilakanku masuk. Aku sempat takjub dengan rumah mewah tersebut. Rumahnya
lebih besar sedikit di banding rumahku. Dan, astaga, semuanya mewah! Mulai dari
lantai, tiang yang menjulang khas bangunan eropa, dinding dengan ornamen yang
luar biasa, dan furniture-furniture import yang begitu menawan.
“Dia sedang bersantai di gazebo dekat
kolam renang. Anda bisa langsung ke sana,” pria itu menunjuk sebuah lorong yang
mengarah ke taman dan kolam renang yang terletak persis di tengah-tengah rumah
tersebut.
“Dia sendirian?” aku bertanya penuh
selidik. Pria itu tersenyum dan mengangguk, sebelum memohon diri dan
meninggalkanku sendirian.
Aku kembali mengarahkan pandanganku ke
arah kolam renang yang dimaksud security tersebut. Dan kakiku melangkah begitu
saja ke sana. Tatapan mataku menyapu 4 buah gazebo yang mengelilingi kolam
renang. Dan lelaki itu di sana! Di gazebo terakhir yang ku lihat. Duduk santai
dengan baju kasual, celana jeans dan kaos tanpa kerah berwarna putih, yang
seolah melekat dengan sempurna di tubuhnya yang kekar.
Aku sempat berhenti dengan ragu. Tapi,
keberadaan pria yang hanya beberapa meter dariku itu seolah-olah menarikku
dengan kuat hingga membuat kakiku kembali melangkah, ke arahnya, dengan
perlahan.
Aku menelan ludah, berniat menyapanya,
tapi belum sempat mulutku terbuka, ia melihat ke arahku. Tatapan kami beradu
dan seketika langkahku terhenti. Mata itu! Mata teduh itu, aku mengenalnya!
Tanpa melepaskan pandangannya dariku,
lelaki itu bangkit.
“Siapa kau?” pertanyaan itu meluncur
begitu saja dari mulutku. Dan aku menyadari bahwa suaraku gemetar.
Lelaki itu tak segera menjawab. Ia tetap
menatap ke arahku dengan lekat.
“Siapa __ kau?” tanyaku lagi, kali ini,
suaraku nyaris tak kedengaran. Aku gemetar.
“Selamat datang di rumahku ... Aletha,”
pria itu membuka suara.
Suara itu! Suara yang sama, yang
seolah-olah begitu ku kenal.
Dan perasaanku membuncah seketika,
campur aduk secara tiba-tiba.
Perasaan apa ini? Tanpa ku mengerti sama
sekali, aku merasakan sebuah kebahagiaan tak terkira, tapi di saat yang
bersamaan, aku juga merasakan suatu kesedihan yang teramat sangat, hingga
sempat membuat dadaku sakit.
Nafasku tersengal. Lututku lemas, dan
aku merosot ke lantai. Pria itu
menghampiriku, ia berlutut di hadapanku, meletakkan kedua tangannya di bahuku,
lalu menatapku dengan dalam. Dan aku bisa melihat kedua matanya berkaca-kaca...
“Aletha ...” ia memanggil namaku lagi.
Dadaku sesak. Dan tanpa ku mengerti
sebabnya, tiba-tiba aku terisak! Air mataku mengalir dengan deras dan aku
terisak dengan hebat. Ya Tuhan, perasaan apa ini? Ada apa denganku!?
***
Aku
mendapati diriku terbaring di sofa ketika membuka mata. Aku bangkit dan
kepalaku terasa berdenyut-denyut sakit. Lelaki itu duduk di sofa di seberang
meja, menatapku, dengan tatapan cemas.
“Kau terlalu banyak menangis dan
tiba-tiba saja tak sadarkan diri,” ia membuka suara.
Aku memijit-mijit pelipisku sesaat.
“Maaf, sebenarnya aku tak biasa begini.
Maksudku, aku tak sering pingsan. Kita bertemu dua kali dan kau selalu
mendapati diriku tak sadarkan diri__” aku tersenyum getir.” Sungguh, ini bukan
diriku. Aku hanya merasa sedikit lelah saja akhir-akhir ini,” ucapku.
Tidak
hanya lelah, tapi energiku serasa tersedot habis dalam mimpi-mimpiku bersamamu! Teriakku dalam
hati.
“Aku memanggil dokter pribadiku kemari.
Dia sedang dalam perjalanan,” lelaki itu melanjutkan.
“Apa?” suaraku terdengar protes.
“Aku __ cemas,” ia bangkit. Pandangan
kami kembali beradu.
“Aku hanya syok dan kaget. Bisa kau
batalkan panggilan doktermu? Demi Tuhan, aku terlalu bingung untuk mencerna
semua ini. Aku ... hanya butuh waktu untuk berpikir dan ... berbicara banyak
hal padamu,” jawabku.
Lelaki itu terdiam, nampak sedang
memikirkan sesuatu. Perlahan ia mengangguk.
“Baiklah,” jawabnya kemudian seraya
beranjak menuju meja telpon dan tampak berbicara dengan serius di telepon.
Setelah itu ia beranjak, entah kemana, dan sekian detik kemudian ia muncul
dengan segelas air putih di tangannya.
“Minumlah dulu, agar rasa syok-mu
berkurang,” ia menyodorkan segelas air putih itu padaku. Aku sempat enggan
menerimanya. Tapi menyaksikan tangannya
yang terulur, aku menerimanya. Dan segera menenggak air putih itu,
hingga habis.
“Whoaa, apa kau benar-benar kehausan?”
ia mencoba bergurau, tapi otakku terlalu buntu untuk menangkap guraunnya. Aku
meletakkan gelas ke meja, merapikan bajuku, lalu kembali menatap lelaki bermata
indah itu.
“Luc Sevilin?” Aku memastikan. Ia
mengangguk.
“Jadi ... darimana kau tahu namaku?” Aku
bertanya langsung. Luc kembali duduk di kursi di seberang meja, tatapan matanya
kembali padaku. Kali ini tatapan intens yang seolah-olah mengatakan bahwa dia
telah mengenalku selama ribuan tahun!
“Cara yang sama seperti kau bisa tahu
namaku,” jawabnya.
“Melalui mimpi?” Aku memastikan. Dia
mengangguk.
“Jadi ... kau juga mengalami mimpi yang
sama denganku?” tanyaku lagi dan Luc kembali mengangguk.
Aku menatap sekelilingku sekilas dan
kembali meremas-remas jemari tanganku dengan gelisah.
“Jadi ... apa yang sebenarnya terjadi?
Jika kita __ mengalami mimpi yang sama, maka, kita, kau dan aku, pasti
merasakan hal yang sama pula bahwa kita punya semacam ___”
“Konektivitas,” Luc memotong. Aku
bergidik.
“Entahlah, aku tak tahu harus
menyebutnya apa. Aku __ bingung,” Aku memegang kepalaku dengan kedua tanganku
selama sekian detik sebelum fokus menatap Luc lagi.
“Apa yang sebenarnya terjadi di antara
kita? Ada apa antara kau dan aku?” aku bertanya lirih. Luc menarik nafas pendek
dan kelihatan __ rapuh.
“Aku sudah memimpikanmu sejak usiaku 10
tahun, Aletha,” akhirnya ia membuka suara. Aku mendelik.
“Apa?”
Luc mengangkat bahu.
“Itu benar, aku sudah memimpikanmu sejak
usiaku 10 tahun. Awalnya mimpi yang ku alami hanyalah penggalan-penggalan
cerita yang membuatku seperti orang gila - Aku bahkan menganggap diriku gila,
jika kau mau tahu itu. Kau hadir dalam mimpiku, hampir setiap malam, tanpa bisa
ku cegah, hingga membuatku frustasi dan putus asa karena aku benar-benar tak
tahu kau siapa. Tapi, lambat laun, mimpi yang ku alami semakin intens hingga
membentuk satu kisah utuh yang menggiringku pada jawaban tentang siapa kau,
siapa aku, dan apa yang terjadi dengan kita,”
“Apa itu?” aku bertanya dengan tak
sabar.
“Reinkarnasi,”
“Maksudmu?”
“Ribuan tahun yang lalu, kau dan aku
adalah sepasang kekasih. Dan sekarang, kita dilahirkan kembali,”
Aku tertawa sinis.
“Omong kosong macam ini?”
Luc menggeleng pelan.
“Awalnya aku juga tak mempercayainya.
Tapi sekarang, aku ingat semunya, Aletha. Semuanya. Tanpa kecuali,”
Aku bangkit, berkacak pinggang,
mondar-mandir, dan terkekeh sinis.
“Aku orang yang realistis, Luc. Dan
jujur, aku tak percaya dengan hal-hal seperti ini? Maksudmu, dulu, ribuan tahun
yang lalu, kita adalah sepasang kekasih? Dan sekarang, kita di lahirkan kembali
__ tapi untuk apa?”
Kami kembali berpandangan.
“Untuk menuntaskan kisah percintaan
kita,” Luc menjawab lirih. Aku tergelak.
“Itu tidak mungkin. Aku wanita yang
sudah menikah, kau ingat? Dan aku sangat mencintai suamiku. Jadi, hal yang
tidak mungkin bahwa aku akan __ bersamamu,” aku nyaris berteriak karena gila.
“Itu aku tidak tahu, Aletha. Aku hanya
tahu bahwa, kita ditakdirkan untuk saling mencintai,”
“Aku mencintai suamiku, catat itu,”
balasku sengit.
Luc bangkit.
“Lalu bagaimana dengan mimpi-mimpi
tentang diriku yang selama ini kau alami? Apa kau akan menyangkalnya?”
“Itu hanya mimpi, tak berarti apa-apa,”
jawabku.
“Kau memimpikanku setiap malam, aku tahu
itu karena aku juga mengalami hal yang sama. Apa kau akan tetap mengatakan itu
tak berarti apa-apa?! Kita seperti punya perasaan khusus yang tak bisa
dijelaskan dengan kata-kata. Kita sama-sama merasakan rindu yang mendarah
daging, apa itu bukan apa-apa!?” Kalimat menggema di penjuru ruangan.
Kami bersitegang, untuk sesuatu hal yang
___ tak masuk akal!
“Aku tak tahu kalau kisahnya akan
seperti ini, Aletha. Setelah mengingat siapa dirimu, aku berusaha mencari
keberadaanmu, ke penjuru dunia. Aku pikir kita saling mencintai sehingga Tuhan
mempertemukan kita kembali, tapi begitu aku tahu bahwa ternyata kau sudah
menikah dan menjadi milik orang lain, aku hancur,” Luc terlihat makin rapuh.
“Aku benar-benar tak tahu. Aku bingung.”
Aku beranjak, meraih tas ku di atas meja yang berada di depan Luc. Tapi ini
bunuh diri, karena terburu-buru, sepatuku menyangkut karpet beludru dan aku
nyaris terjerembab menghantam meja. Tapi Luc dengan sigap menahan tubuhku.
Kedua tangannya yang kokoh memegang kedua bahuku. Pandangan kami beradu dan aku
kembali merasakannya! Tubuhku seperti dialiri listrik sekian ratus watt hingga
nyaris terbakar. Luc benar. Ada konektivitas di antara kami! Ada kerinduan yang
mendarah daging diantara kami! Perasaan campur aduk hingga aku tak tahu harus
menyebutnya apa!
Dan ciuman itu terjadi. Aku tak tahu
siapa yang memulainya terlebih dahulu. Tapi bibir kami bertemu. Ciuman itu
berlangsung panas dan membara. Seolah-olah kami mengalami dahaga panjang yang
harus kami lewati selama ribuan tahun dan kami harus menebusnya, sekarang juga!
Otakku ingin mengatakan tidak, tapi
tubuhku tak bisa di ajak kompromi. Kami larut dalam perasaan yang tak tentu,
perasaan ingin saling memeluk, menyentuh, mencium, bahkan lebih ...
Tapi, syukurlah dengan perjuangan yang
berat, aku mendapatkan akal sehatku kembali.
Aku menghentikan ciuman kami dan
melangkah mundur. Meski sedikit terhuyung, aku tidak ambruk.
“Ini tidak benar, ini tidak benar,” Aku
menggeleng. Dan tanpa melupakan tasku, aku beranjak.
“Hatiku belum berubah, Aletha. Aku masih
mencintaimu dengan sepenuh hatiku,” Aku masih mendengar Luc berteriak di
belakangku. Dan aku terus melangkah, tanpa menoleh kembali ke arahnya.
***
Aku keluar dari
mansion Luc dengan nafas tersengal-sengal. Aku menyusuri trotoar dengan kaki
lemas. Aku berhenti sejenak dan duduk di sebuah pot bunga dari semen yang
berada di pinggir jalan. Jantungku seperti berlompatan dan kepalaku
berputar-putar. Dan aku baru menyadari bahwa phonselku berdering beberapa kali.
Aku meraihnya, melihatnya. 25 missed calls! Dari Emma.
Aku sempat menelan ludah sebelum
memutuskan untuk menerima panggilan ke-26.
“Halo, Aletha? Dimana kau?”
“Aku __” aku menatap sekelilingku.
“Jalan-jalan sebentar,” jawabku. Aku bangkit dan menerima telpon tersebut
sambil berjalan.
“Aku mencemaskanmu. Kau pergi begitu
saja dari kantor dan tak bisa dihubungi. Kemana saja kau? Pak bos mencarimu.”
Ia nyaris menjerit.
Aku menarik nafas sesaat.
“Oke, aku segera kembali ke kantor.”
Jawabku. Aku menghentikan pembicaraan dan bergerak menghentikan taksi yang
melintas.
***
Sesampainya
di kantor, Emma segera menyambutku dengan omelan. Sebenarnya, ia hanya cemas.
“Aku mengkhawatirkanmu, Aletha. Kau
pergi dalam keadaan kalut, tanpa pamit, dan tak bisa dihubungi sama sekali. Kau
baik-baik saja ‘kan?”
Aku mengangkat bahu. “Baik.” Jawabku
pendek. Aku bergerak menuju mejaku lalu menjatuhkan diriku di kursi. Aku
menopang sikuku di meja lalu mengusap wajahkud dengan tangan.
“Aku sedikit lelah, Em.” Ucapku lagi.
Emma menyeret kursi ke arahku.
“Kau bertemu dengannya? Lelaki itu?” Ia
bertanya tak sabar. Aku mengangguk.
“Lalu apa yang terjadi?”
Aku tak segera menjawab.
“Tidak ada. Aku hanya mengucapkan terima
kasih dan ... sudah.” Jawabku.
“Hanya itu? Kau tak berkenalan
dengannya? Kalian tak mengobrol lebih lanjut?” Ia kembali memborbardir dengan
pertanyaan. Aku tersenyum dan menggeleng.
“Lalu kenapa kau lama sekali?”
“Aku mengalami vertigo mendadak. Karena
tak membawa obat, aku ke apotik, lalu menyempatkan diri makan siang.” Ujarku.
Emma manggut-manggut.
“Em ... apa kau punya teman paranormal?”
tanyaku ragu. Kening Emma mengernyit.
“Kenapa?”
Aku menggigit bagian dalam bibirku
sebelum menjawab. “Akhir-akhir ini aku sering mimpi buruk. Terkadang aku juga
mengalami halusinasi yang ... lumayan menganggu. Jadi ...” Aku menyandarkan
punggungku. “Aku butuh seseorang untuk berkonsultasi.” Lanjutku.
Emma menggeleng. “Sayangnya aku tak
punya, Aletha. Kau tahu ‘kan aku orang yang realistis. Aku tak percaya dengan
hal-hal seperti itu.” Jawabnya.
“Jadi, apakah menurutmu aku harus ke
psikiater?”
Emma nampak terkejut dengan
pertanyaanku.
“Kau tak mengalami masalah kejiwaan, untuk
apa menemui psikiater?” Ia nampak tak sependapat.
Aku tak menjawab. Tadinya aku sempat
berniat menceritakan tentang Luc padanya. Menceritakan tentang apa yang dia
ceritakan tentang reinkarnasi, atau hal-hal ganjil lainnya. Tapi urung
melakukannya karena takut Emma akan menganggapku gila.
“Aku butuh asupan kafein.” Ujarku
memecah keheningan, lalu bangkit.
***
Tubuhku melorot di lantai dan aku menangis
sesenggukan. Lelaki setengah baya itu berdiri dengan angkuh di hadapanku sambil
menatapku nanar, dipenuhi amarah. Aku sudah menerima dua tamparan darinya. Dan
rasanya sakit sekali.
“Aku
takkan pernah membiarkanmu pergi lagi dari rumah ini. Jika perlu, aku akan mengurungmu
di kamar ini, selamanya!” Ia berteriak.
Aku
balas menatapnya dengan tajam.
“Dan
aku akan selalu mencari cara untuk keluar dari sini. Semakin ayah melarangku,
rasa cintaku padanya semakin besar. Dan semakin kami dilarang, kami akan
semakin saling mencintai. Aku takkan menyerah! Aku akan senantiasa kabur walau
ayah mengunciku dengan tembok baja!”
Plaakkk!
Dan
tamparan itu kembali melayang dipipiku.
“Kau,
takkan pernah bisa bertemu lagi dengannya. Lelaki itu sudah mati!”
Aku
tertegun.
“Apa
maksud ayah?” Bibirku bergetar.
“Lelaki
itu sudah mati. Mereka melihat jenasahnya mengapung di pinggir sungai.
Membusuk. Dan sekarang aku sedang menyuruh orang untuk mengambilnya. Agar kau
bisa melihatnya dengan mata kepalamu sendiri!”
Tubuhku
gemetar. “Itu tidak mungkin....”Aku mendesis.
Ayahku
seperti ingin berkata-kata lagi, namun kalimatnya tertahan ketika kami mendengar
suara ribut-ribut dari luar.
“Itu
mereka.” Ayahku menarik lengan tanganku dan menyeretku keluar.
Kami
menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Aku nyaris saja terpeleset.
Ketika
kami sampai di halaman rumah, kami menyaksikan beberapa orang pekerja kebun dan
juga pelayan rumah kami membawa sesosok tubuh
yang ditandu. Tubuh itu kaku, tak bergerak.
Nafasku
tertahan. Dadaku sesak.
“Dia
mati, pak.” Salah seorang berseru.
Ayah
menatapku.
“Lihatlah
sendiri kalau kau tak percaya. Dia lelaki yang kau cintai itu.” Ucapnya geram.
Dengan
terseok-seok aku melangkahkan kakiku mendekati sosok tubuh itu.
Tubuh
itu dipenuhi luka. Kaki dan tangannya terlihat patah. Wajahnya rusak dan tak
bisa dikenali lagi.
“Itu
bukan dia.” Aku menelan ludah.
“Itu
bukan dia.” Desisku lagi.
Aku
ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa sosok mayat itu bukan Luc. Tapi, baju
yang ia kenakan ...
Baju
itu mirip dengan baju Luc ketika terakhir kali kami bertemu. Ketika kami
berusaha melarikan diri namun orang-orang ayahku menemukan kami dan mereka
melemparnya ke jurang.
Itu
bukan dia ...
Bukan
....
“Luc
belum mati. Itu ... bukan ... dia ...” Desisku lagi.
Air
mataku kembali menetes dan aku ambruk.
“Tidaaaakkkk.....!”
Aku berteriak dan menangis meraung-raung.
“Itu
bukan dia! Luc belum mati!”
***
Aku terbangun
dengan air mata berderaian. Masih dengan perasaan sama. Hancur lebur dan
tersakiti. Mataku masih setengah terpejam ketika aku menangis sesenggukan dan
berkali-kali memanggil nama lelaki tersebut.
Will merengkuh pundakku dan menggosok
punggungku dengan lembut.
“Hei, tenanglah sayang. Tenanglah ...”
Ia berbisik lembut di telingaku. “Kau mimpi buruk. It’s oke, itu hanya mimpir
buruk.” Ia membelai kepalaku dan menyapu butiran keringat di keningku.
Kedua mataku mulai terbuka lebar dan
pikiranku seakan kembali normal. Aku mendongak dan menatap Will dengan bingung.
“Aku mimpi buruk lagi?” Aku seperti
bertanya pada diriku sendiri. Will mengangguk lembut.
“Kau mengigau, berteriak-teriak. Kau
juga menangis sesenggukan. Astaga, apa kau bermimpi begitu buruk sayang?” Will
berkali-kali mengelus wajahku dengan cemas. Aku tak mampu menjawab.
“Akan ku ambilkan air.” Ia turun dari
tempat tidur dan mengambilkan air di meja. Sekarang ia menaruh sebuah meja
kecil di dekat meja rias untuk menaruh gelas dan teko air. Entah sejak kapan ia
mempunyai kebiasaan itu. Mungkin sejak aku sering bermimpi buruk.
Lelaki itu menyodorkan segelas minuman
dan segera menenggaknya hingga habis.
Setelah keadaanku sedikit tenang, Will
duduk di sampingku dan mengelus tanganku.
“Merasa lebih baik?” Ia bertanya lembut.
Aku mengangguk.
“Oke, sekarang ceritakan sebenarnya kau
mimpi apa? Hampir setiap malam, Aletha. Hampir setiap malam kau seperti ini.
Dan ini sudah berlangsung sejak beberapa bulan yang lalu. Sejak kita bulan madu
keluar negeri. Aku bingung, sebenarnya apa yang terjadi denganmu.” Will
menatapku dengan dalam. Aku tak segera menjawab.
“Aku tak tahu, Will. Aku juga bingung.
Aku tak tahu ini mimpi apa? Ini ...” Kalimatku terhenti. Sungguh, aku tak tahu
harus menceritakan apa pada suamiku.
“Kau memanggil nama ... Luc.” Will
kembali berkata dengan penasaran.
Aku meremas rambutku. Ah, ini akan
semakin rumit.
“Siapa dia?”
Pandangan kami terkunci. Dan lagi-lagi
aku bingung harus menjawab apa.
***
Bersambung ....