Sabtu, 04 Juli 2015

Fate - Bab 4



Bab 4

          Aku masih berdiri termangu di depan mansion megah itu ketika seorang security – atau penjaga rumah, entahlah -  menghampiriku. “Ada yang bisa saya bantu, bu?” pria itu menyapa dengan ramah. Aku tergagap. Pikiranku yang terlalu campur aduk membuatku tak bisa menjawab dengan cepat.
“Mm, aku ingin bertemu dengan Luc Sevilin,” jawabku kemudian. Security itu menatapku sekilas, penuh selidik.
“Anda sudah membuat janji?” ia bertanya lagi. Tetap dengan nada suara yang ramah. Aku menggeleng.
“Aku belum membuat janji. Tapi beberapa minggu yang lalu aku bertemu dengannya di sebuah pesta, dan ia mengijinkanku datang kapan saja,” jawabku berbohong. Pria itu manggut-manggut.
“Baiklah bu, silahkan ikuti saya,” ia menyilakanku masuk. Aku sempat takjub dengan rumah mewah tersebut. Rumahnya lebih besar sedikit di banding rumahku. Dan, astaga, semuanya mewah! Mulai dari lantai, tiang yang menjulang khas bangunan eropa, dinding dengan ornamen yang luar biasa, dan furniture-furniture import yang begitu menawan.
“Dia sedang bersantai di gazebo dekat kolam renang. Anda bisa langsung ke sana,” pria itu menunjuk sebuah lorong yang mengarah ke taman dan kolam renang yang terletak persis di tengah-tengah rumah tersebut.
“Dia sendirian?” aku bertanya penuh selidik. Pria itu tersenyum dan mengangguk, sebelum memohon diri dan meninggalkanku sendirian.
Aku kembali mengarahkan pandanganku ke arah kolam renang yang dimaksud security tersebut. Dan kakiku melangkah begitu saja ke sana. Tatapan mataku menyapu 4 buah gazebo yang mengelilingi kolam renang. Dan lelaki itu di sana! Di gazebo terakhir yang ku lihat. Duduk santai dengan baju kasual, celana jeans dan kaos tanpa kerah berwarna putih, yang seolah melekat dengan sempurna di tubuhnya yang kekar.
Aku sempat berhenti dengan ragu. Tapi, keberadaan pria yang hanya beberapa meter dariku itu seolah-olah menarikku dengan kuat hingga membuat kakiku kembali melangkah, ke arahnya, dengan perlahan.
Aku menelan ludah, berniat menyapanya, tapi belum sempat mulutku terbuka, ia melihat ke arahku. Tatapan kami beradu dan seketika langkahku terhenti. Mata itu! Mata teduh itu, aku mengenalnya!
Tanpa melepaskan pandangannya dariku, lelaki itu bangkit.
“Siapa kau?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku. Dan aku menyadari bahwa suaraku gemetar.
Lelaki itu tak segera menjawab. Ia tetap menatap ke arahku dengan lekat.
“Siapa __ kau?” tanyaku lagi, kali ini, suaraku nyaris tak kedengaran. Aku gemetar.
“Selamat datang di rumahku ... Aletha,” pria itu membuka suara.
Suara itu! Suara yang sama, yang seolah-olah begitu ku kenal.
Dan perasaanku membuncah seketika, campur aduk secara tiba-tiba.
Perasaan apa ini? Tanpa ku mengerti sama sekali, aku merasakan sebuah kebahagiaan tak terkira, tapi di saat yang bersamaan, aku juga merasakan suatu kesedihan yang teramat sangat, hingga sempat membuat dadaku sakit.
Nafasku tersengal. Lututku lemas, dan aku merosot ke lantai.  Pria itu menghampiriku, ia berlutut di hadapanku, meletakkan kedua tangannya di bahuku, lalu menatapku dengan dalam. Dan aku bisa melihat kedua matanya berkaca-kaca...
“Aletha ...” ia memanggil namaku lagi.
Dadaku sesak. Dan tanpa ku mengerti sebabnya, tiba-tiba aku terisak! Air mataku mengalir dengan deras dan aku terisak dengan hebat. Ya Tuhan, perasaan apa ini? Ada apa denganku!?

***

          Aku mendapati diriku terbaring di sofa ketika membuka mata. Aku bangkit dan kepalaku terasa berdenyut-denyut sakit. Lelaki itu duduk di sofa di seberang meja, menatapku, dengan tatapan cemas.
“Kau terlalu banyak menangis dan tiba-tiba saja tak sadarkan diri,” ia membuka suara.
Aku memijit-mijit pelipisku sesaat.
“Maaf, sebenarnya aku tak biasa begini. Maksudku, aku tak sering pingsan. Kita bertemu dua kali dan kau selalu mendapati diriku tak sadarkan diri__” aku tersenyum getir.” Sungguh, ini bukan diriku. Aku hanya merasa sedikit lelah saja akhir-akhir ini,” ucapku.
Tidak hanya lelah, tapi energiku serasa tersedot habis dalam mimpi-mimpiku bersamamu! Teriakku dalam hati.
“Aku memanggil dokter pribadiku kemari. Dia sedang dalam perjalanan,” lelaki itu melanjutkan.
“Apa?” suaraku terdengar protes.
“Aku __ cemas,” ia bangkit. Pandangan kami kembali beradu.
“Aku hanya syok dan kaget. Bisa kau batalkan panggilan doktermu? Demi Tuhan, aku terlalu bingung untuk mencerna semua ini. Aku ... hanya butuh waktu untuk berpikir dan ... berbicara banyak hal padamu,” jawabku.
Lelaki itu terdiam, nampak sedang memikirkan sesuatu. Perlahan ia mengangguk.
“Baiklah,” jawabnya kemudian seraya beranjak menuju meja telpon dan tampak berbicara dengan serius di telepon. Setelah itu ia beranjak, entah kemana, dan sekian detik kemudian ia muncul dengan segelas air putih di tangannya.
“Minumlah dulu, agar rasa syok-mu berkurang,” ia menyodorkan segelas air putih itu padaku. Aku sempat enggan menerimanya. Tapi menyaksikan tangannya  yang terulur, aku menerimanya. Dan segera menenggak air putih itu, hingga habis.
“Whoaa, apa kau benar-benar kehausan?” ia mencoba bergurau, tapi otakku terlalu buntu untuk menangkap guraunnya. Aku meletakkan gelas ke meja, merapikan bajuku, lalu kembali menatap lelaki bermata indah itu.
“Luc Sevilin?” Aku memastikan. Ia mengangguk.
“Jadi ... darimana kau tahu namaku?” Aku bertanya langsung. Luc kembali duduk di kursi di seberang meja, tatapan matanya kembali padaku. Kali ini tatapan intens yang seolah-olah mengatakan bahwa dia telah mengenalku selama ribuan tahun!
“Cara yang sama seperti kau bisa tahu namaku,” jawabnya.
“Melalui mimpi?” Aku memastikan. Dia mengangguk.
“Jadi ... kau juga mengalami mimpi yang sama denganku?” tanyaku lagi dan Luc kembali mengangguk.
Aku menatap sekelilingku sekilas dan kembali meremas-remas jemari tanganku dengan gelisah.
“Jadi ... apa yang sebenarnya terjadi? Jika kita __ mengalami mimpi yang sama, maka, kita, kau dan aku, pasti merasakan hal yang sama pula bahwa kita punya semacam ___”
“Konektivitas,” Luc memotong. Aku bergidik.
“Entahlah, aku tak tahu harus menyebutnya apa. Aku __ bingung,” Aku memegang kepalaku dengan kedua tanganku selama sekian detik sebelum fokus menatap Luc lagi.
“Apa yang sebenarnya terjadi di antara kita? Ada apa antara kau dan aku?” aku bertanya lirih. Luc menarik nafas pendek dan kelihatan __ rapuh.
“Aku sudah memimpikanmu sejak usiaku 10 tahun, Aletha,” akhirnya ia membuka suara. Aku mendelik.
“Apa?”
Luc mengangkat bahu.
“Itu benar, aku sudah memimpikanmu sejak usiaku 10 tahun. Awalnya mimpi yang ku alami hanyalah penggalan-penggalan cerita yang membuatku seperti orang gila - Aku bahkan menganggap diriku gila, jika kau mau tahu itu. Kau hadir dalam mimpiku, hampir setiap malam, tanpa bisa ku cegah, hingga membuatku frustasi dan putus asa karena aku benar-benar tak tahu kau siapa. Tapi, lambat laun, mimpi yang ku alami semakin intens hingga membentuk satu kisah utuh yang menggiringku pada jawaban tentang siapa kau, siapa aku, dan apa yang terjadi dengan kita,”
“Apa itu?” aku bertanya dengan tak sabar.
“Reinkarnasi,”
“Maksudmu?”
“Ribuan tahun yang lalu, kau dan aku adalah sepasang kekasih. Dan sekarang, kita dilahirkan kembali,”
Aku tertawa sinis.
“Omong kosong macam ini?”
Luc menggeleng pelan.
“Awalnya aku juga tak mempercayainya. Tapi sekarang, aku ingat semunya, Aletha. Semuanya. Tanpa kecuali,”
Aku bangkit, berkacak pinggang, mondar-mandir, dan terkekeh sinis.
“Aku orang yang realistis, Luc. Dan jujur, aku tak percaya dengan hal-hal seperti ini? Maksudmu, dulu, ribuan tahun yang lalu, kita adalah sepasang kekasih? Dan sekarang, kita di lahirkan kembali __ tapi untuk apa?”
Kami kembali berpandangan.
“Untuk menuntaskan kisah percintaan kita,” Luc menjawab lirih. Aku tergelak.
“Itu tidak mungkin. Aku wanita yang sudah menikah, kau ingat? Dan aku sangat mencintai suamiku. Jadi, hal yang tidak mungkin bahwa aku akan __ bersamamu,” aku nyaris berteriak karena gila.
“Itu aku tidak tahu, Aletha. Aku hanya tahu bahwa, kita ditakdirkan untuk saling mencintai,”
“Aku mencintai suamiku, catat itu,” balasku sengit.
Luc bangkit.
“Lalu bagaimana dengan mimpi-mimpi tentang diriku yang selama ini kau alami? Apa kau akan menyangkalnya?”
“Itu hanya mimpi, tak berarti apa-apa,” jawabku.
“Kau memimpikanku setiap malam, aku tahu itu karena aku juga mengalami hal yang sama. Apa kau akan tetap mengatakan itu tak berarti apa-apa?! Kita seperti punya perasaan khusus yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Kita sama-sama merasakan rindu yang mendarah daging, apa itu bukan apa-apa!?” Kalimat menggema di penjuru ruangan.
Kami bersitegang, untuk sesuatu hal yang ___ tak masuk akal!
“Aku tak tahu kalau kisahnya akan seperti ini, Aletha. Setelah mengingat siapa dirimu, aku berusaha mencari keberadaanmu, ke penjuru dunia. Aku pikir kita saling mencintai sehingga Tuhan mempertemukan kita kembali, tapi begitu aku tahu bahwa ternyata kau sudah menikah dan menjadi milik orang lain, aku hancur,” Luc terlihat makin rapuh.
“Aku benar-benar tak tahu. Aku bingung.” Aku beranjak, meraih tas ku di atas meja yang berada di depan Luc. Tapi ini bunuh diri, karena terburu-buru, sepatuku menyangkut karpet beludru dan aku nyaris terjerembab menghantam meja. Tapi Luc dengan sigap menahan tubuhku. Kedua tangannya yang kokoh memegang kedua bahuku. Pandangan kami beradu dan aku kembali merasakannya! Tubuhku seperti dialiri listrik sekian ratus watt hingga nyaris terbakar. Luc benar. Ada konektivitas di antara kami! Ada kerinduan yang mendarah daging diantara kami! Perasaan campur aduk hingga aku tak tahu harus menyebutnya apa!
Dan ciuman itu terjadi. Aku tak tahu siapa yang memulainya terlebih dahulu. Tapi bibir kami bertemu. Ciuman itu berlangsung panas dan membara. Seolah-olah kami mengalami dahaga panjang yang harus kami lewati selama ribuan tahun dan kami harus menebusnya, sekarang juga!
Otakku ingin mengatakan tidak, tapi tubuhku tak bisa di ajak kompromi. Kami larut dalam perasaan yang tak tentu, perasaan ingin saling memeluk, menyentuh, mencium, bahkan lebih ...
Tapi, syukurlah dengan perjuangan yang berat, aku mendapatkan akal sehatku kembali.
Aku menghentikan ciuman kami dan melangkah mundur. Meski sedikit terhuyung, aku tidak ambruk.
“Ini tidak benar, ini tidak benar,” Aku menggeleng. Dan tanpa melupakan tasku, aku beranjak.
“Hatiku belum berubah, Aletha. Aku masih mencintaimu dengan sepenuh hatiku,” Aku masih mendengar Luc berteriak di belakangku. Dan aku terus melangkah, tanpa menoleh kembali ke arahnya.

***

Aku keluar dari mansion Luc dengan nafas tersengal-sengal. Aku menyusuri trotoar dengan kaki lemas. Aku berhenti sejenak dan duduk di sebuah pot bunga dari semen yang berada di pinggir jalan. Jantungku seperti berlompatan dan kepalaku berputar-putar. Dan aku baru menyadari bahwa phonselku berdering beberapa kali. Aku meraihnya, melihatnya. 25 missed calls! Dari Emma.
Aku sempat menelan ludah sebelum memutuskan untuk menerima panggilan ke-26.
“Halo, Aletha? Dimana kau?”
“Aku __” aku menatap sekelilingku. “Jalan-jalan sebentar,” jawabku. Aku bangkit dan menerima telpon tersebut sambil berjalan.
“Aku mencemaskanmu. Kau pergi begitu saja dari kantor dan tak bisa dihubungi. Kemana saja kau? Pak bos mencarimu.” Ia nyaris menjerit.
Aku menarik nafas sesaat.
“Oke, aku segera kembali ke kantor.” Jawabku. Aku menghentikan pembicaraan dan bergerak menghentikan taksi yang melintas.

***

          Sesampainya di kantor, Emma segera menyambutku dengan omelan. Sebenarnya, ia hanya cemas.
“Aku mengkhawatirkanmu, Aletha. Kau pergi dalam keadaan kalut, tanpa pamit, dan tak bisa dihubungi sama sekali. Kau baik-baik saja ‘kan?”
Aku mengangkat bahu. “Baik.” Jawabku pendek. Aku bergerak menuju mejaku lalu menjatuhkan diriku di kursi. Aku menopang sikuku di meja lalu mengusap wajahkud dengan tangan.
“Aku sedikit lelah, Em.” Ucapku lagi. Emma menyeret kursi ke arahku.
“Kau bertemu dengannya? Lelaki itu?” Ia bertanya tak sabar. Aku mengangguk.
“Lalu apa yang terjadi?”
Aku tak segera menjawab.
“Tidak ada. Aku hanya mengucapkan terima kasih dan ...  sudah.” Jawabku.
“Hanya itu? Kau tak berkenalan dengannya? Kalian tak mengobrol lebih lanjut?” Ia kembali memborbardir dengan pertanyaan. Aku tersenyum dan menggeleng.
“Lalu kenapa kau lama sekali?”
“Aku mengalami vertigo mendadak. Karena tak membawa obat, aku ke apotik, lalu menyempatkan diri makan siang.” Ujarku. Emma manggut-manggut.
“Em ... apa kau punya teman paranormal?” tanyaku ragu. Kening Emma mengernyit.
“Kenapa?”
Aku menggigit bagian dalam bibirku sebelum menjawab. “Akhir-akhir ini aku sering mimpi buruk. Terkadang aku juga mengalami halusinasi yang ... lumayan menganggu. Jadi ...” Aku menyandarkan punggungku. “Aku butuh seseorang untuk berkonsultasi.” Lanjutku.
Emma menggeleng. “Sayangnya aku tak punya, Aletha. Kau tahu ‘kan aku orang yang realistis. Aku tak percaya dengan hal-hal seperti itu.” Jawabnya.
“Jadi, apakah menurutmu aku harus ke psikiater?”
Emma nampak terkejut dengan pertanyaanku.
“Kau tak mengalami masalah kejiwaan, untuk apa menemui psikiater?” Ia nampak tak sependapat.
Aku tak menjawab. Tadinya aku sempat berniat menceritakan tentang Luc padanya. Menceritakan tentang apa yang dia ceritakan tentang reinkarnasi, atau hal-hal ganjil lainnya. Tapi urung melakukannya karena takut Emma akan menganggapku gila.
“Aku butuh asupan kafein.” Ujarku memecah keheningan, lalu bangkit.

***


Tubuhku melorot di lantai dan aku menangis sesenggukan. Lelaki setengah baya itu berdiri dengan angkuh di hadapanku sambil menatapku nanar, dipenuhi amarah. Aku sudah menerima dua tamparan darinya. Dan rasanya sakit sekali.
“Aku takkan pernah membiarkanmu pergi lagi dari rumah ini. Jika perlu, aku akan mengurungmu di kamar ini, selamanya!” Ia berteriak.
Aku balas menatapnya dengan tajam.
“Dan aku akan selalu mencari cara untuk keluar dari sini. Semakin ayah melarangku, rasa cintaku padanya semakin besar. Dan semakin kami dilarang, kami akan semakin saling mencintai. Aku takkan menyerah! Aku akan senantiasa kabur walau ayah mengunciku dengan tembok baja!”
Plaakkk!
Dan tamparan itu kembali melayang dipipiku.
“Kau, takkan pernah bisa bertemu lagi dengannya. Lelaki itu sudah mati!”
Aku tertegun.
“Apa maksud ayah?” Bibirku bergetar.
“Lelaki itu sudah mati. Mereka melihat jenasahnya mengapung di pinggir sungai. Membusuk. Dan sekarang aku sedang menyuruh orang untuk mengambilnya. Agar kau bisa melihatnya dengan mata kepalamu sendiri!”
Tubuhku gemetar. “Itu tidak mungkin....”Aku mendesis.
Ayahku seperti ingin berkata-kata lagi, namun kalimatnya tertahan ketika kami mendengar suara ribut-ribut dari luar.
“Itu mereka.” Ayahku menarik lengan tanganku dan menyeretku keluar.
Kami menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Aku nyaris saja terpeleset.
Ketika kami sampai di halaman rumah, kami menyaksikan beberapa orang pekerja kebun dan juga pelayan rumah kami membawa sesosok tubuh  yang ditandu. Tubuh itu kaku, tak bergerak.
Nafasku tertahan. Dadaku sesak.
“Dia mati, pak.” Salah seorang berseru.
Ayah menatapku.
“Lihatlah sendiri kalau kau tak percaya. Dia lelaki yang kau cintai itu.” Ucapnya geram.
Dengan terseok-seok aku melangkahkan kakiku mendekati sosok tubuh itu.
Tubuh itu dipenuhi luka. Kaki dan tangannya terlihat patah. Wajahnya rusak dan tak bisa dikenali lagi.
“Itu bukan dia.” Aku menelan ludah.
“Itu bukan dia.” Desisku lagi.
Aku ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa sosok mayat itu bukan Luc. Tapi, baju yang ia kenakan ...
Baju itu mirip dengan baju Luc ketika terakhir kali kami bertemu. Ketika kami berusaha melarikan diri namun orang-orang ayahku menemukan kami dan mereka melemparnya ke jurang.
Itu bukan dia ...
Bukan ....
“Luc belum mati. Itu ... bukan ... dia ...” Desisku lagi.
Air mataku kembali menetes dan aku ambruk.
“Tidaaaakkkk.....!” Aku berteriak dan menangis meraung-raung.
“Itu bukan dia! Luc belum mati!”

***

Aku terbangun dengan air mata berderaian. Masih dengan perasaan sama. Hancur lebur dan tersakiti. Mataku masih setengah terpejam ketika aku menangis sesenggukan dan berkali-kali memanggil nama lelaki tersebut.
Will merengkuh pundakku dan menggosok punggungku dengan lembut.
“Hei, tenanglah sayang. Tenanglah ...” Ia berbisik lembut di telingaku. “Kau mimpi buruk. It’s oke, itu hanya mimpir buruk.” Ia membelai kepalaku dan menyapu butiran keringat di keningku.
Kedua mataku mulai terbuka lebar dan pikiranku seakan kembali normal. Aku mendongak dan menatap Will dengan bingung.
“Aku mimpi buruk lagi?” Aku seperti bertanya pada diriku sendiri. Will mengangguk lembut.
“Kau mengigau, berteriak-teriak. Kau juga menangis sesenggukan. Astaga, apa kau bermimpi begitu buruk sayang?” Will berkali-kali mengelus wajahku dengan cemas. Aku tak mampu menjawab.
“Akan ku ambilkan air.” Ia turun dari tempat tidur dan mengambilkan air di meja. Sekarang ia menaruh sebuah meja kecil di dekat meja rias untuk menaruh gelas dan teko air. Entah sejak kapan ia mempunyai kebiasaan itu. Mungkin sejak aku sering bermimpi buruk.
Lelaki itu menyodorkan segelas minuman dan segera menenggaknya hingga habis.
Setelah keadaanku sedikit tenang, Will duduk di sampingku dan mengelus tanganku.
“Merasa lebih baik?” Ia bertanya lembut. Aku mengangguk.
“Oke, sekarang ceritakan sebenarnya kau mimpi apa? Hampir setiap malam, Aletha. Hampir setiap malam kau seperti ini. Dan ini sudah berlangsung sejak beberapa bulan yang lalu. Sejak kita bulan madu keluar negeri. Aku bingung, sebenarnya apa yang terjadi denganmu.” Will menatapku dengan dalam. Aku tak segera menjawab.
“Aku tak tahu, Will. Aku juga bingung. Aku tak tahu ini mimpi apa? Ini ...” Kalimatku terhenti. Sungguh, aku tak tahu harus menceritakan apa pada suamiku.
“Kau memanggil nama ... Luc.” Will kembali berkata dengan penasaran.
Aku meremas rambutku. Ah, ini akan semakin rumit.
“Siapa dia?”
Pandangan kami terkunci. Dan lagi-lagi aku bingung harus menjawab apa.

***

Bersambung ....