Sinopsis :
Sejak menikah dengan Will, Aletha selalu
dihantui mimpi buruk bersama sesosok lelaki yang sama sekali tak ia kenal. Sosok
lelaki yang berbeda, yang jelas-jelas bukan suaminya.
Setiap malam, sosok lelaki itu hadir
dalam mimpinya. Menciumnya, mencumbunya, membisikkan kata-kata cinta untuknya.
Awalnya ia mengira itu hanya mimpi
belaka. Tapi kemudian ia dikejutkan dengan kenyataan bahwa sosok lelaki itu
memang ada. Dia nyata!
Ketika perempuan itu mengalami
kecelakaan di sebuah pesta, terpeleset dan tercebur ke kolam, sosok lelaki
misterius itulah yang menolongnya.
Dan lewat pertemuan singkat itu, ia
merasakan ada konektivitas tak terelakkan di antara mereka. Terlebih lagi
ketika nama sosok lelaki itu, juga sering ia sebut dalam mimpinya. Luc!
Penasaran akan kaitan mimpinya dengan
lelaki itu, Aletha nekat menemui sosok tampan itu ke rumahnya. Dan penjelasan
yang ia dapat dari lelaki itu, sungguh tak masuk akal.
Luc bilang, mereka adalah reinkarnasi
dari sepasang kekasih di kehidupan yang lalu. Dan sekarang mereka di lahirkan
kembali demi untuk menuntaskan kisah percintaan mereka!
~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~
Preview Part 4
Dengan
terseok-seok aku melangkahkan kakiku mendekati sosok tubuh itu.
Tubuh
itu dipenuhi luka. Kaki dan tangannya terlihat patah. Wajahnya rusak dan tak
bisa dikenali lagi.
“Itu
bukan dia.” Aku menelan ludah.
“Itu
bukan dia.” Desisku lagi.
Aku
ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa sosok mayat itu bukan Luc. Tapi, baju
yang ia kenakan ...
Baju
itu mirip dengan baju Luc ketika terakhir kali kami bertemu. Ketika kami
berusaha melarikan diri namun orang-orang ayahku menemukan kami dan mereka
melemparnya ke jurang.
Itu
bukan dia ...
Bukan
....
“Luc
belum mati. Itu ... bukan ... dia ...” Desisku lagi.
Air
mataku kembali menetes dan aku ambruk.
“Tidaaaakkkk.....!”
Aku berteriak dan menangis meraung-raung.
“Itu
bukan dia! Luc belum mati!”
***
Aku terbangun
dengan air mata berderaian. Masih dengan perasaan sama. Hancur lebur dan
tersakiti. Mataku masih setengah terpejam ketika aku menangis sesenggukan dan
berkali-kali memanggil nama lelaki tersebut.
Will merengkuh pundakku dan menggosok
punggungku dengan lembut.
“Hei, tenanglah sayang. Tenanglah ...”
Ia berbisik lembut di telingaku. “Kau mimpi buruk. It’s oke, itu hanya mimpir
buruk.” Ia membelai kepalaku dan menyapu butiran keringat di keningku.
Kedua mataku mulai terbuka lebar dan
pikiranku seakan kembali normal. Aku mendongak dan menatap Will dengan bingung.
“Aku mimpi buruk
lagi?” Aku seperti bertanya pada diriku sendiri. Will mengangguk lembut.
“Kau mengigau, berteriak-teriak. Kau
juga menangis sesenggukan. Astaga, apa kau bermimpi begitu buruk sayang?” Will
berkali-kali mengelus wajahku dengan cemas. Aku tak mampu menjawab.
“Akan ku ambilkan air.” Ia turun dari
tempat tidur dan mengambilkan air di meja. Sekarang ia menaruh sebuah meja
kecil di dekat meja rias untuk menaruh gelas dan teko air. Entah sejak kapan ia
mempunyai kebiasaan itu. Mungkin sejak aku sering bermimpi buruk.
Lelaki itu menyodorkan segelas minuman
dan segera menenggaknya hingga habis.
Setelah keadaanku sedikit tenang, Will
duduk di sampingku dan mengelus tanganku.
“Merasa lebih
baik?” Ia bertanya lembut. Aku mengangguk.
“Oke, sekarang ceritakan sebenarnya kau
mimpi apa? Hampir setiap malam, Aletha. Hampir setiap malam kau seperti ini.
Dan ini sudah berlangsung sejak beberapa bulan yang lalu. Sejak kita bulan madu
keluar negeri. Aku bingung, sebenarnya apa yang terjadi denganmu.” Will
menatapku dengan dalam. Aku tak segera menjawab.
“Aku tak tahu, Will. Aku juga bingung.
Aku tak tahu ini mimpi apa? Ini ...” Kalimatku terhenti. Sungguh, aku tak tahu
harus menceritakan apa pada suamiku.
“Kau memanggil nama ... Luc.” Will
kembali berkata dengan penasaran.
Aku meremas rambutku. Ah, ini akan
semakin rumit.
“Siapa dia?”
Pandangan kami terkunci. Dan lagi-lagi
aku bingung harus menjawab apa.
~~~~~~~~~
Part 5
~~~~~~~~~
“Ini bukan yang
pertama kalinya, Aletha. Aku sudah mendengarmu mengigau berkali-kali, menyebut
nama itu ... Luc.” Tatapan mata Will lurus ke manik mataku.
“Siapa dia? Siapa Luc?” dan tatapan
matanya seakan meminta penegasan. Aku mendesis lalu memijit pelipisku sendiri.
“Aku tak tahu, Will. Sungguh aku tak
tahu. Aku bahkan tak ingat aku bermimpi apa.” Jawabku, berbohong. “Aku hanya
ingat bahwa aku bermimpi buruk, aku dikejar-kejar hantu dan merasa ketakutan.
Dan setelahnya, aku terbangun dengan kelelahan seperti ini.” Lanjutku.
“Aku berencana berkonsultasi dengan
psikiater, barangkali ia bisa membantuku keluar dari mimpi buruk ini.” Aku
kembali menatap Will.
Suamiku
itu tampak kaget. “Untuk apa kau berkonsultasi dengan psikiater? Kau tak
mengalami gangguan jiwa.” Ia menyanggah. Aku mengangat bahu.
“Lalu aku harus bagaimana? Aku juga
lelah mengalami mimpi buruk seperti ini. Aku kehabisan akal.” Jawabku putus
asa. Will menarik nafas berat. Kemudian ia beringsut lalu kembali memelukku.
“Sudahlah. Ayo kita tidur. Kau pasti
lelah.” Bisiknya.
Ia membantuku berbaring dan sesekali
menepuk punggungku dengan pelan.
Tapi aku tetap saja tak bisa tidur,
sampai keesokan harinya.
****
Aku
memasuki ruang kerjaku dengan tergesa-gesa. Tanpa menyapa beberapa staf yang
lain, aku bergerak menuju meja Emma. Perempuan itu tampak sibuk menatap layar
komputer hingga tak melihat kedatanganku.
“Em, bantu aku membuat janji dengan
psikiater.” Ucapku langsung, dengan suara pelan. Serta merta Emma memutar
tubuhnya ke arahku dan menatapku dengan bingung.
“Aku sudah bilang padamu, beberapa waktu
ini aku dihantui mimpi buruk. Dan aku butuh orang yang bisa membantuku dari
mimpi menakutkan ini. Jadi ...”
“Aletha ...” Emma setengah berbisik
sambil mengangkat tangannya. Ia bangkit dan mendekatiku.
“Sebelum kita bicara tentang psikiater
dan masalahmu, ada sesuatu untukmu.” lanjutnya.
Aku mengernyit. “Apa?” desisku.
“Kau ... ada tamu.” Emma mengarahkan
jari telunjuknya ke arah balkon. Aku memutar tubuhku untuk mengikuti arah
jemarinya. Dan aku melihat seorang lelaki tampan berpakaian rapi yang tengah
duduk dengan gusar di kursi yang berada di balkon ruang kerja kami.
Mataku membelalak. Aku kembali memutar
tubuh ke arah Emma dang menatapnya dengan bingung.
“Luc? Untuk apa dia di sini?” Aku
mendesis. Emma mengangkat bahu.
“Dia sudah di sini sejak 15 menit yang
lalu. Dia bilang, dia harus bertemu denganmu karena ada yang ingin ia
sampaikan.” Jawabnya.
Aku menggigit bibir. Tanpa meletakkan
tas di meja kerjaku, aku beranjak, menuju balkon, menemui Luc.
“Hai.” Sapaku duluan. Luc menoleh dan
menatapku. Serta merta ia bangkit dari tempat duduknya.
“Hai. Maaf kalau aku mengejutkanmu. Ada
sesuatu yang harus ku berikan padamu.” Jawabnya. Ia meraih sesuatu dari saku jas
nya lalu mengeluarkan sebuah bros mungil berbentuk bunga tulip. Kedua mataku
menyipit, bros itu seperti ku kenal. ...
“Milikmu.” Luc menyodorkan bros itu ke
arahku.
“Kemarin terjatuh dan tertinggal di
rumahku.” Ucapnya lagi. Aku melongo. Astaga, kenapa aku bisa tak sadar bahwa
aku kehilangan benda itu.
“T-terima kasih.” Jawabku gugup sambil
menerima benda mungil tersebut. Luc tersenyum.
“Aku datang ke sini hanya untuk
menyerahkan itu saja.” ucap lelaki tersebut. Aku kembali tersenyum kaku.
“Terima kasih lagi.” jawabku.
Kami berpandangan, canggung.
“Bagaimana kau tahu tempat kerjaku?”
tanyaku.
Luc tak segera menjawab.
“Aku tahu semua tentangmu. Alamat
rumahmu dan juga tempat kerjamu.” Ia menatapku lagi dengan lembut. “Maaf, aku
tak bermaksud kurang ajar. Tapi ... kau tahu ‘kan apa yang terjadi padaku
terhadap dirimu ... itu, setelah sering bermimpi tentangmu, secara otomatis
saja aku ... mulai mencari tahu tentangmu.” Luc terlihat bingung mengatur
kata-kata.
Dan aku seperti teringat akan sesuatu.
“Bisakah kau meluangkan waktumu untukku.
Maksudku, aku ingin bertemu secara pribadi denganmu. Ada ... ada banyak hal
yang ingin ku tanyakan padamu.” ucapku kemudian.
Luc tampak tertegun. Ia memasukkan kedua
tangannya ke saku celana lalu menyesap bibir bagian bawahnya. Tampak bingung.
“W-e-l-l
... mungkin kau bisa datang ke rumahku lagi.” jawabnya kemudian.
“Kapan?”
“Terserah kau saja.”
“Nanti siang?”
Luc tampak terkejut dengan ucapanku.
Tapi perlahan ia mengangguk.
“Oke, nanti siang. Aku akan menunggumu.”
Pandangan kami kembali beradu. Dan ...
konektivitas itu tetap ada.
Perasaanku campur aduk. Debaran,
ketakutan, rindu, harapan, semua jadi satu. Dan untuk kesekian kalinya aku
tetap tak mengerti dengan apa yang terjadi di antara kami. Kami seperti
sepasang muda mudi yang baru berkenalan dan merasakan cinta untuk yang pertama
kalinya. Ini benar-benar membingungkan.
“Oke. Aku ... pergi dulu.” Luc memecah
keheningan. Aku tergagap.
“Oke.” Jawabku. “Dan ... terima kasih
karena kau mau repot-repot datang kemari mengantarkan brosku.”
Luc mengangguk. “Tak apa-apa. Sampai
ketemu ... nanti siang.” Ia beranjak.
Aku tersenyum dan mengangguk sambil
menggerakkan tubuhku untuk memberi jalan pada Luc yang bergerak meninggalkan
balkon tersebut. Sesaat setelah lelaki itu pergi, Emma berlari ke arahku.
“Ada apa?!” matanya menatapku dengan
penuh antusias.
“Apa terjadi sesuatu? Untuk apa dia
kemari? Kau tak sedang mencari masalah ‘kan? Maksudku, kau tak sedang mendekati
lelaki lain ‘kan? Ayolah, Aletha. Kau perempuan yang sudah menikah. Kau ...”
“Stop!” Aku mendesah kesal.
“Tidak ada apa-apa di antara kami. Kami
hanya sekedar ... membicarakan bisnis.” Jawabku berbohong. Emma menatapku tak
percaya. Oh, tentu saja ia tahu aku berbohong.
Aku berbalik dan melangkahkan kakiku menuju
meja kerjaku.
“Kau menyembunyikan sesuatu dariku
‘kan?” Emma terus mengekoriku. Tanpa menjawab, aku menjatuhkan diriku di kursi
sembari terus berpikir. Jika aku menceritakan yang sebenarnya antara aku dan
Luc, dia pasti takkan percaya. Tapi jika aku tak bercerita yang sebenarnya, aku
tak tahu sampai kapan aku bisa terus berbohong. Dan semakin aku berbohong,
pasti akan ada kesalah pahaman di antara kami.
Aku menarik sebuah kursi kecil,
mendekatkannya dengan kursiku lalu menarik lengan Emma agar duduk di sana. Aku
menatap sekelilingku sesaat lalu berbisik kepadanya.
“Em, apa kau percaya akan adanya
reinkarnasi?”
“Tidak.” Emma menjawab cepat. Sudah ku
duga ia akan menjawab begitu.
“Dan kenapa kau menanyakannya?”
“Karena ini ada hubungannya dengan
lelaki tadi, Luc Sevilin.” Jawabku.
Emma menatapku bingung.
“Oke, ceritakan apa yang sebenarnya
terjadi. Akhir-akhir ini kau nyaris membuatku mati penasaran.” Ia mendesis.
Aku menegakkan punggungku dan menatapnya
dalam. Sebelum mulai bercerita, aku sempat menarik nafas terlebih dahulu.
“Em, jauh sebelum bertemu dengan Luc,
aku sudah memimpikan lelaki itu, setiap malam.”
Mata indah Emma mengerjap. Aku
mengangguk, dengan harapan agar ia tak memulai pertanyaan dan membiarkanku
bercerita hingga selesai.
“Sejak menikah, aku terus memimpikan
lelaki itu, setiap malam, tanpa bisa ku hindari. Aku dihantui mimpi-mimpi buruk
bersamanya. Menyaksikan ia di siksa, menyaksikan ia mati di depanku. Mimpi itu
selalu sama dan berulang-ulang terus. Dan aku tak bisa menghindarinya. Sejak
beberapa waktu yang lalu, aku yakin bahwa itu hanya sekedar mimpi. Namun semua
terpatahkan ketika ternyata aku benar-benar bertemu dengannya, dengan Luc, di
pesta waktu itu. Dan aku masih saja berpikir bahwa itu hanya suatu kebetulan yang
terjadi di antara kami sampai akhirnya ...”
Aku menelan ludah.
“Sampai akhirnya aku nekat menemui Luc,
dan dia bilang bahwa ia juga mengalami mimpi yang sama denganku. Setiap malam,
ia memimpikanku. Dan ... hebatnya lagi, ia sudah memimpikanku sejak ia berusaha
10 tahun.”
Emma ternganga. Tapi ia tak bersuara.
“Berbeda denganku yang hanya mengalami
mimpi secara sepotong-sepotong, Luc memiliki intensitas mimpi yang lebih utuh.
Ia bahkan yakin bahwa, dulu - pada jaman
dahulu kala ...” Aku bergidik ketika mengucapkan kalimat terseabut.
“Kami adalah sepasang kekasih yang
dilahirkan kembali di jaman sekarang dengan tujuan ... entahlah, aku tak tahu
tujuannya apa.” Aku mulai frustasi.
“Kau boleh percaya dengan ceritaku,
boleh juga tidak. Karena ... bahkan aku pun tak mempercayai dengan apa yang aku
alami, Em. Tapi setidaknya, aku sudah memberitahumu apa yang selama ini
mengangguku.” Desisku lagi. Penasaran dengan reaksi Emma, aku meremas pahanya.
“Jadi, bagaimana menurutmu? Bukankah
sudah sewajarnya aku menemui psikiater karena ini adalah tanda-tanda aku mulai
gila. Ya ‘kan?” aku terkekeh sinis.
Emma menatapku lekat. Ia meraih tanganku
dan menggenggamnya erat.
“Aletha, jujurlah padaku, apa kau pernah
terlibat skandal dengan Luc?”
Aku mengernyit mendengar pertanyaan
Emma.
“Apa maksudmu?”
“Maksudku ...” Ia berhenti sesaat.
“Aletha, jika kau memang pernah
melakukan kesalahan, kau pernah punya affair dengan lelaki itu, sebaiknya
bicaralah yang jujur pada Will dan minta maaflah padanya. Kau tak perlu
menceritakan alibi berlebihan seperti ini. Ceritamu tentang mimpi dan
reinkarnasi terlalu ... mengada-ada. Orang akan berpikir bahwa kau ...”
“Gila?” potongku.
“Bukan begitu, maksudku ...”
“Ya, sepertinya aku memang sudah gila.”
Jawabku seraya menarik tanganku dari genggaman Emma. Aku merasa kecewa,
terluka.
Aku tak percaya bahwa Emma meragukan
ceritaku. Ia bahkan menuduhku berselingkuh dengan Luc!
“Sudahlah, Em. Aku tak ingin
membicarakannya lagi. Aku ... perlu waktu untuk menyendiri.” Aku bangkit,
meraih tas ku dan bergerak keluar dari ruang kerja.
Aku sudah memutuskan untuk tidak
membicarakan ini dengan siapapun, kecuali psikiater. Agar aku sendiri jelas,
apakah aku memang gila atau tidak.
***
Aku
tiba di mansion Luc tepat di saat jam makan siang. Ketika sampai di sana,
seorang penjaga rumah menyambut kedatanganku dengan ramah. Seolah aku adalah tamu
yang memang sudah ditunggu kedatangannya.
“Silahkan masuk, bu. Anda sudah
ditunggu,” sambutnya sambil mengantarkanku memasuki bangunan megah tersebut
untuk selanjutnya di ajak ke ruangan tempat Luc berada.
Ketika sampai di sana, lelaki tampan itu
menatapku dengan senyum sumringah.
“Selamat datang. Aku sudah menyiapkan
makan siang untukmu.” sapanya.
“Aku ke sini tidak untuk makan siang.
Aku ingin bicara, itu saja.” Jawabku.
Luc tetap tersenyum.
“Tak apa-apa. Kita bisa bicara sambil
makan siang ‘kan? Aku tahu kau belum makan.” Ia berucap ramah sambil
membimbingku ke ruang makan.
Aku duduk di sebuah kursi yang telah
disiapkan dan juga bermacam-macam menu yang terhidang di meja. Aku menatapnya
dengan takjub.
“Sekali lagi, aku tak ingin bersikap
kurang ajar padamu karena bagaimanapun juga aku tahu kau perempuan yang sudah
menikah. Tapi makan siang bersama sepertinya bukan sebuah kesalahan. Yah,
anggap saja ini hanya sekedar jamuan antar teman.” Ucap lelaki tersebut.
“Lagipula, aku sudah menyuruh orang
untuk menyiapkan menu khusus untukmu. Aku tahu kau vegetarian.”
Untuk kesekian kalinya aku kembali
takjub.
“Darimana kau tahu aku vegetarian. Kita
baru bertemu tiga kali ‘kan? Kita bahkan belum bisa disebut sebagai sahabat.
Apa kau memata-mataiku?”
Luc terkekeh mendengar pertanyaanku. Ia
menggeleng sambil menegakkan punggungnya di sandaran kursi.
“Ini pertemuan kita yang ke-4. Dan tidak,
aku tidak pernah memata-mataimu. Aku hanya ... tahu saja. Entahlah, pokoknya
aku tahu semua hal tentangmu dengan cara ... begitu saja.”
Ia terus menatapku dengan lembut.
“Aku tahu banyak hal tentang dirimu.
Kesukaanmu, warna favorit, makanan favorit, minuman favorit, semuanya. Aku
bahkan juga tahu kalau kau alergi pada beberapa sayuran hijau. Jika muncul
alergi, kau sering merasa lidahmu mati rasa. Ya ‘kan?”
Aku melongo. Astaga, ia benar.
“Terlalu sering memimpikanmu rupanya
membuatku secara otomatis mengenal dirimu.”
“Nah, itu yang aku ingin tanyakan.”
Potongku.
“Aku ingin tahu bagaimana caranya kau
bisa lepas dari mimpi-mimpi tentang diriku?” tanyaku polos.
“Aku tidak pernah lepas dari mimpi-mimpi
itu.” ia menjawab cepat.
Aku ternganga.
“Maksudmu, selama ini kau juga masih
memimpikan tentang ... diriku?”
Luc mengangguk.
“Setiap malam.” Ia kembali menjawab.
“Setiap malam aku memimpikanmu, Aletha.”
Pandangan kami sempat beradu sesaat
sebelum akhirnya kami sama-sama membuang pandangan kami ke tempat lain.
Ah, tiba-tiba saja situasi menjadi
sedikit aneh.
Aku di sini, bersama seorang laki-laki
yang terus hadir dalam mimpiku, dan ternyata ia juga memimpikanku!
Oh, apakah kami juga mempunyai mimpi
yang sama?
Kami sebagai sepasang kekasih, saling
membisikkan kata-kata cinta, berciuman, bercumbu, bercinta dan ....
“Dan sepertinya kita mempunyai mimpi
yang sama.”
Kata-kata Luc membuat kerongkonganku
kering. Entah kenapa udara di ruangan tersebut terasa pengap. Panas. Padahal
aku yakin Air Conditioner di ruangan tersebut berfungsi dengan baik.
Demi menghilangkan kecanggungan, aku
meraih segelas air putih di hadapanku dan menghabiskannya dengan sekali teguk.
“Aku masih tak mengerti dengan apa yang
terjadi di antara kita. Ini, terlalu mustahil untuk diterima akal sehat.”
Desisku.
“Tak apa-apa. Pelan-pelan kau akan
memahaminya.”
“Tidak. Aku tak ingin paham. Aku hanya
tahu bahwa aku sudah menikah, aku mencintai suamiku, dan kami hidup bahagia.
Itu saja, titik.” Jawabku frustasi.
“Dan aku ingin keluar dari mimpi-mimpi
buruk ini, secepatnya, dan selamanya!”
Terbawa oleh emosi, tanpa sadar aku
bangkit, menarik kursiku ke belakang, dan aku mulai berjalan mondar-mandir
dengan gusar.
“Kau takkan bisa membayangkan apa yang
terjadi denganku. Setiap hari aku selalu bangun dengan perasaan hancur! Hampir
setiap malam aku menyaksikanmu mati. Aku melihatmu dihajar, disiksa, dan ...
dan aku melihat mayatmu, tepat di hadapanku dengan mengenaskan! Bisa kau
bayangkan itu? Aku bahkan tidak tahu siapa kau. Tapi .... tapi aku hancur! Aku
....”
“Kau pikir aku tak mengalaminya?” Luc
juga bangkit.
Ia berjalan menghampiriku.
“Aku juga mengalaminya, Aletha. Mimpiku
sama buruknya dengan mimpimu!” Kedua mata lelaki itu berkaca-kaca.
“Aku ingat kita sedang berjalan-jalan di
sebuah taman dengan bahagia. Tapi kemudian orang-orang itu berusaha memisahkan
kita. Kita berusaha kabur, tapi mereka berhasil mendapatkanmu. Mereka
menyeretmu pulang, dan ... mereka nyaris membunuhku. Aku bersusah payah
melarikan diri, aku bersusah payah menemuimu kembali. Namun ketika aku sampai
di rumahmu, kau sudah tak bernyawa. Mereka bilang kau mengakhiri hidupmu
sendiri!” Ia nyaris berteriak.
“Bisa kau bayangkan perasaanku? Aku sama
hancurnya dengan dirimu ...”
Aku ternganga.
“Aku tak tahu bagian yang itu.” Desisku.
“Oh ya? Mungkin sebentar lagi kau akan
tahu.” Luc seperti menggumam.
Aku
mundur beberapa langkah dan kembali meremas kepalaku dengan frustasi.
“Aku tak sanggup lagi. Aku bisa gila
jika begini terus. Aku lelah. Aku ...” tanpa sadar air mata menitik.
Dan isak tangisku pecah ketika aku
merasakan Luc menyentuh pundakku, merengkuh tubuhku, lalu memelukku erat.
***
Aku
sampai di rumah pukul 4 sore dan terlalu terkejut mendapati suamiku sudah
berada di sana. Ini untuk pertama kalinya ia pulang seawal ini. Biasanya ia
selalu sampai di rumah jam 7 atau jam 8 malam.
Lelaki itu sudah duduk-duduk di depan
ruang tengah, di depan TV yang menyala.
“Kau sudah pulang?” Aku menyapa terlebih
dahulu seraya berjalan menghampirinya
kemudian mendaratkan ciuman ringan di bibirnya.
“Aku sudah pulang sejak sejam yang
lalu.” Jawabnya.
“Kenapa tiba-tiba pulang lebih awal? Ada
sesuatu?” Aku meletakkan tas ku di meja counter lalu berjalan menuju kulkas
untuk mengambil minuman dingin.
“Tidak ada apa-apa. Kebetulan saja
memang tak banyak pekerjaan sehingga aku bisa pulang lebih awal.” Jawab Will.
Aku menuangkan air dingin ke gelas lalu
meminumnya dengan pelan.
“Kau darimana?”
“Dari tempat kerja. Kau pikir dari
mana?” jawabku, cuek.
Will bangkit dan menatapku.
“Aku menelpon Emma dan dia bilang kau
menghilang dari tempat kerjamu sejak jam makan siang.” Ucapnya.
Aku nyaris tersedak.
“Darimana saja kau?” nada bicara Will
terdengar kesal. Oh ada apa ini? Tak biasanya dia seperti ini?
“Aku membuat janji dengan seorang
psikiater.” Jawabku kemudian.
Will menatapku dengan tatapan tak
percaya. Lelaki itu menarik nafas berat dan kembali menatapku.
“Jangan berbohong padaku, Aletha. Aku
tahu kau menemui lelaki itu.” Ucapnya kemudian.
Aku terhenyak.
“Apa maksudmu? Lelaki siapa?” Alisku
bertaut.
Will kembali menarik nafas berat.
“Aletha, aku lelah. Aku lelah dengan
semua cerita konyolmu. Tentang mimpi burukmu, tentang psikiater, aku ... lelah.
Bicaralah jujur padaku dan aku memaafkanmu.” Ucapnya kemudian.
Aku ternganga.
Ku letakkan gelas di meja lalu ku tatap
lelaki di hadapanku itu dengan tajam.
“Bicaralah yang jelas. Kenapa aku harus
berbohong? Dan kenapa kau harus memaafkanku?” Aku mulai kesal.
“Karena kau memang membohongiku!” Kali
ini Will berteriak.
“Selama ini kau berpura-pura bermimpi
buruk. Kau berpura-pura mengalami tekanan mental. Itu hanya alibimu saja agar
kau bebas bertemu dengan lelaki itu. Ya ‘kan?”
Aku membelalak. “Aku tak mengerti dengan
apa yang kau bicarakan?” Aku juga nyaris berteriak.
“Aku tahu semuanya. Aku tahu selama ini
kau bertemu lelaki itu. Lelaki bernama Luc. Lelaki yang setiap malam kau sebut
namanya. Aku juga tahu hari ini kau menemuinya.”
Aku menelan ludah dan menggigit bibirku
dengan kesal. Ya Tuhan, kesalah pahaman apa lagi ini?
Setelah Emma berpikir aku mempunyai
hubungan spesial dengan Luc, sekarang suamiku pun berpikiran begitu?
“Jadi maksudmu, selama ini kau
memata-mataiku?” Aku mendesis.
“Aku tak punya pilihan! Kau bertingkah
aneh sejak kita menikah. Setiap malam kau mengaku mimpi buruk. Tapi dalam
tidurmu kau selalu menyebut nama Luc. Bisa kau bayangkan itu? Kau menyebut nama
lelaki lain di ranjangku!”
“Aku benar-benar mimpi buruk! Dan aku
tak sadar menyebut nama itu!”
Kami bersitegang.
“Aku sudah mengecek panggilan telponmu,
dan selama ini kau rajin menelponnya! Kau bahkan juga rajin menemuinya.
Sekarang apa lagi alasanmu? Ingin menggunakan alasan mimpi buruk lagi? Atau
berpura-pura mencari psikiater?”
Aku menatap Will dengan nanar.
“Jadi kau juga mengecek semua panggilan
telponku?” Gigiku terkatub, marah.
“Kau yang memaksaku melakukan ini,
Aletha.” Ia menjawab tegas.
Aku bergerak mendekatinya dan
memukul-mukul dadanya dengan acak.
“Bedebah kau! Kau lebih percaya
mata-matamu sendiri daripada aku? Istrimu sendiri?”
“Karena kau tak membiarkanku
mempercayaimu!”
“Aku tak pernah punya hubungan spesial
dengan lelaki itu!”
“Aku tak percaya!”
“Aku bahkan baru bertemu dengannya tiga
kali!”
“Kau bohong!”
“Aku tidak berselingkuh dengan
siapapun!” Aku kembali berteriak.
“Sudah kubilang, asal kau bicara jujur
padaku, aku akan memaafkanmu. Dan kita bisa memulai lagi hidup kita dengan
baik!”
“Aku tidak berselingkuh!”
Aku mendorong tubuhnya dengan kasar,
lalu berjalan menuju anak tangga.
“Kita belum selesai bicara!” Will
berteriak seraya mengikuti langkahku.
“Tak ada lagi yang perlu dibicarakan.
Kau toh tak percaya dengan semua kata-kataku.” Aku terus berjalan dan Will
terus mengekoriku.
“Aletha ...”
Ia berusaha menarik tanganku tapi aku
menepisnya dengan kasar. Aku melangkahkan kakiku dengan cepat menaiki anak
tangga menuju kamarku. Dan Will terus saja mengikutiku.
Ketika hampir sampai di anak tangga
paling akhir, lagi-lagi ia berusaha menarik tanganku.
“Aletha ...”
“Enyah kau!” teriakku marah. Reflek, aku
berbalik dan mendorong tubuhnya.
Tidak, aku tidak bermaksud melakukannya.
Aku hanya ingin menyuruhnya pergi.
Tapi aku tak menyadari bahwa aku
mendorong Will terlalu kuat hingga ia terhuyung, kakinya terpeleset, dan segera
tubuhnya meluncur jatuh melewati anak tangga.
Aku menjerit ketika melihat tubuhnya
berdebum di lantai.
“Will!!” Aku berteriak dan berlari
menuruni anak tangga. Kakiku terasa lemas ketika menyaksikan kepala Will berlumuran darah, dan ... ia tak
bergerak.
“Ya Tuhan, apa yang kau lakukan?!!”
Suara itu membuatku menoleh. Tampak
Edward, kakak lelaki Will, muncul dari pintu ruang tamu. Lelaki yang lebih tua
5 tahun dari suamiku itu berlari ke arah kami dan segera ia berlutut di sebelah
tubuh Will yang tak bergerak.
“Apa yang kau lakukan? Apa kau ingin
membunuhnya?!” Edward kembali berteriak.
Aku merasakan tubuhku gemetar.
“Aku ... “ Kata-kataku tertelan kembali.
“Cepat telpon ambulans!” Ia terus
berteriak sambil sesekali mengumpat ke arahku.
Dengan gugup aku berlari ke arah meja
telpon, dan segera memanggil ambulans.
***
Aku
duduk dengan gusar di ruang tunggu sambil sesekali meremas-remas tanganku
sendiri. Edward berdiri di dekat pintu ruang operasi. Wajahnya juga terlihat
cemas luar biasa.
Sudah hampir satu jam Will ada di ruang
operasi, tapi belum ada tanda-tanda dokter selesai melakukan pekerjaannya.
Mereka bilang, Will mengalami luka parah di kepalanya. Oh Tuhan ...
“Aku
sudah memanggil polisi. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu.” Ucap
Edward seraya berjalan mendekatiku.
Aku mendongak dan menatapnya dengan
bingung.
“Apa maksudmu?” tanyaku heran.
“Aku melihatmu mendorong tubuh adikku.
Ini termasuk percobaan pembunuhan.” Jawabnya. Aku terbelalak.
“Aku tidak sengaja melakukannya. Kami
bertengkar dan ... semuanya terjadi begitu saja.” Jawabku.
Edward terkekeh sinis.
“Kau pikir aku percaya? Aku bahkan
mengira kau sudah merencanakan ini semua. Kau pasti telah merencanakan untuk
menghabisi adikku agar kau bisa berhubungan bebas dengan selingkuhanmu itu.”
ucapnya lagi, sinis.
Aku melotot.
“Apa yang kau bicarakan?!” aku berteriak
sembari bangkit dan menatap lelaki di hadapanku itu dengan tajam.
“Aku sudah tahu semuanya. Aku sudah tahu
kau punya affair dengan lelaki itu. Will berkeluh kesah padaku, ia menceritakan
segalanya padaku. Mulai dengan sikapmu yang aneh sejak kau menikah, sampai
cerita tentang mimpi-mimpi burukmu. Ia curiga bahwa kau punya selingkuhan. Dan
ternyata ia benar, kau melakukan pertemuan diam-diam dengan lelaki itu.” ujar
Edward lagi.
Aku merasakan pening mendera kepalaku.
Astaga, kenapa semua semakin rumit seperti ini ...
“Aku curiga, jangan-jangan kau tidak
pernah mencintai Will. Jangan-jangan kau menikahinya hanya untuk mengeruk
uangnya saja,”
Ucapan Edward membuat dadaku bergejolak.
Aku tahu sejak awal keluarga Will tidak
menyukai pernikahan kami. Karena seperti apa yang Edward duga, aku hanya
perempuan matre yang berniat mengeruk uang Will saja.
Will lelaki yang amat mapan, sementara
waktu itu, aku hanya pekerja biasa yang tidak punya gaji tinggi.
Tapi, demi Tuhan, dugaan seperti ini terlalu
kejam. Aku menikahi Will karena aku mencintainya, bukan hal yang lainnya.
“Aku tidak serendah itu, Edward!”
bentakku.
Edward menatapku dengan jijik.
Belum sempat aku mengatakan sesuatu,
beberapa orang polisi datang dan menghampiri kami.
Dan Edward serius dengan ucapannya!
Ia ingin memasukanku ke penjara!
“Maaf bu, ikutlah dengan kami. Kami
menerima laporan bahwa anda bertanggung jawab atas apa yang menimpa suami
anda.”
Aku menggeleng lirih.
“Ini kesalah pahaman. Aku tidak berniat
melukainya. Kami bertengkar, dan ... dia terjatuh dari lantai 1. Aku tidak
bermaksud melukainya!” Aku berteriak frustasi.
“Silahkan jelaskan di kantor polisi
saja, bu.”
Aku berbalik ke arah Edward. Tapi lelaki
itu hanya menatapku tanpa belas kasihan.
Selanjutnya aku hanya bisa berteriak dan
meronta ketika dua orang polisi menarik lengan tanganku dengan paksa.
Tepat ketika kami hampir sampai di pintu
keluar, Emma muncul dari sana.
Perempuan itu menatapku dan menatap ke
arah polisi dengan bingung.
“Aletha, ada apa ini?” ia nampak gugup.
“Em, hubungi pengacaraku! Oke! Hubungi
pengacara!” Aku berteriak, berulang-ulang, sebelum polisi itu
membawaku keluar dan memasukkanku ke dalam mobil patroli.
***
Bersambung ....