Aku
urung melangkahkan kakiku ke luar kelas ketika Ronald mendatangiku dengan
sesenggukan. Kelas sudah sepi. Aku sengaja tinggal sebentar karena ada beberapa
tugas yang harus kuselesaikan di sini. Anak-anak sudah pulang sekitar 20 menit
yang lalu. Termasuk Fifi, Jihan dan Sonya. Olla, jangan nanya dia deh. Sudah 3
hari ini kami marahan. Kami saling tak bertegur sapa. Alasannya?
“Ki...” panggil Ronald lirih.
Ampun deh! Aku benci cowok cengeng, dari
ujung kepala sampai ujung kaki! Bahkan jika dia adalah cowok paling terakhir di
muka bumi ini, aku tetap ogah jadi pacarnya! Titik!
Aku mendesah.
“Duduk dulu deh,” ajakku seraya
mengajaknya duduk di bangku paling depan. Aku tahu apa yang akan diomongin. So,
ini kayaknya bakal jadi waktu ‘curhat’ yang lumayan lama..
Kami duduk berdampingan. Aku meraih tisu
dari dalam tasku lalu mengulurkannya padanya.
“Hapus dulu deh air matamu. Dan, stop crying please! aku nggak mau denger
kamu ngomong kalo kamu masih sesenggukan kayak anak kecil gini,” ucapku tegas.
Ronald mengangguk. Ia meraih tisu dari
tanganku, menyeka air matanya, lalu menyeka ingusnya dengan cara yang nggak
gentle. Ew...
“Aku diputusin Olla, Ki..” ucapnya
setelah agak tenang.
“Aku nggak tahu mesti cerita ini ke
siapa lagi. Aku nggak punya teman yang bisa diajak curhat. Kamu deket sama
Olla, dan kamu orangnya juga wise
banget. Jadi aku yakin kamu pasti ngerti perasaanku,”
Aku manggut-manggut.
“Iya, aku juga tahu kalo kamu diputusin
sama Olla,” jawabku.
Ronald mengangkat bahu dengan putus asa.
Cowok tampan berhidung mancung itu
meremas-remas tisu di tangannya.
“Olla beda, Ki. Dandanannya, sikapnya,
gaya bicaranya, semuanya beda! Dia kayak bukan... Olla yang sebenarnya,”
Aku kembali manggut-manggut.
“Aku nggak tahu kenapa Olla minta putus
tiba-tiba.. dia nggak pernah ngasih alasan yang jelas. Tapi aku tahu pasti,
hatinya telah pindah ke cowok lain. Oke, aku terima kalo dia menemukan orang
yang lebih baik dariku. Tapi setidaknya, dia mau jujur bicara padaku, mau
memberikan penjelasan padaku. Tentu aku akan terima dengan lapang dada kok kalo
dia menjelaskannya sendiri padaku. Tapi ...”
Ronald mulai bicara panjang lebar. Dan
aku mendengarkannya dengan seksama.
Jujur,
akhir-akhir ini Olla emang beda. Semua bermula ketika beberapa minggu yang lalu
ia nonton konser musik indie dengan abangnya. Biasanya dia nggak mau kok jalan
bareng sama kakaknya. Tapi hari itu, dia bilang - dia pengen tahu aja musik kesukaan
abang satu-satunya itu.
Dan di sanalah ia kenal sama cowok – aku
lupa siapa namanya. Dan sejak itu dia beda. Semuanya!
Olla yang biasanya kiyut, feminin,
lebay, bling-bling dan gemar banget suka warna pink, mendadak berdandan kayak anak punk.
Ia hobi banget mengenakan jaket atau
celana kulit warna hitam. Aksesorisnya juga aksesoris anak punk. Dandanan
matanya yang biasa soft, sekarang jadi smoky eyes. Pokoknya, she’s totally different!
Ini yang bikin aku berang dan akhirnya
kami bersitegang.
Aku orang yang blak-blakan. Dan akupun
mencelanya dengan cara yang blak-blakan pula.
“Dandanan kamu aneh, La. Kamu kayak
orang kesurupan, atau orang yang
tiba-tiba aja berubah haluan hanya dalam waktu hitungan menit,” ucapku ketika
sore itu kami berkumpul di base camp.
Dan Olla tersinggung dengan ucapanku.
“Aneh? Apa dandananku kayak dulu nggak
aneh? Aku pake bando warna-warni, pita warna-warni, baju warna-warni, aksesoris
warna-warni, bukannya itu berlebihan?” ia membela diri.
“well, mungkin itu berlebihan. Tapi
setidaknya itu ‘kamu’. Itu ‘kamu’, La. Sekarang? Aku bahkan nggak kenal siapa
kamu lagi,” jawabku, sengit.
Olla terkekeh sinis. Sekarang kalimat
yang meluncur dari mulutnya juga nggak lebay lagi.
“Mungkin kamu yang salah, Ki. Mungkin
diriku yang sebenarnya adalah, ‘ini’. Jujur, aku bahagia dengan perubahanku
yang sekarang. Aku seperti mengenal dunia baru yang membuatku ingin tahu lebih
banyak lagi. Sebutlah kami anak punk atau berandalan, aku nggak peduli. Tapi
satu hal yang pasti, aku nyaman dan bahagia dengan perubahanku,”
“Tapi mereka identik dengan narkoba dan
kriminal, La...”
“Aku sudah besar, Ki. Dan aku tahu mana
yang salah mana yang benar. Mungkin dandananku berubah, jati diriku berubah,
tapi aku tidak akan terjerumus ke dalam narkoba atau kehidupan malam yang nggak
jelas,”
Kami terus berargumen.
Fifi, Sonya dan Jihan hanya terdiam. Aku
tahu mereka juga shock dengan perubahan Olla. Hanya saja mereka tak tahu harus
ngomong apa lagi.
“Kita masih sahabat baik ‘kan Ki?” Olla
bertanya.
“Kita selalu jadi sahabat baik, La,”
sergahku.
“Kalo gitu, sebagai sahabat baik,
harusnya kamu memahami keputusanku. Hidup adalah suatu proses pencarian jati
diri. Dan sekarang, sepertinya aku sudah menemukannya. Aku sudah menemukan
duniaku, jati diriku. Dan sebagai sahabat, harusnya kamu mendukungku,
mempercayaiku...”
Kami bertatapan.
“Bukannya aku tak mempercayaimu, La. Aku
hanya tak tahu harus mencari ‘Olla’ kemana lagi. ‘Olla’, sahabat kami yang
dulu. Yang imut, yang lebay, yang kadang-kadang bikin kesel, jengkel, tapi
bikin kangen. Kemana kami harus mencarinya lagi?” Aku nyaris menangis ketika
menyelesaikan kalimatku.
Olla menelan ludah dan menatapku dalam.
“Aku tak bisa membantumu menemukannya
lagi, Ki. Karena sekarang, Olla yang sebenarnya adalah yang seperti ini. Terima
atau tidak, inilah Olla yang sekarang,” jawabnya lagi. Lalu beranjak
meninggalkan kami, Fifi, Sonya dan Jihan, dalam diam......
“Darimana
kamu tahu kalo Olla selingkuh, Ron? Apa kamu mematai-matainya” tanyaku.
“Aku nggak mematai-matainya, Ki. Aku
cuma penasaran aja ada apa denganya. Jadi aku sengaja mengikutinya,” kalimat
Ronald terdengar ragu.
Aku tahu ia tak ingin membuatku marah
karena dia tahu aku nggak suka dengan acara stalking
macam paparazzi!
“Dan aku tahu kalo beberapa hari ini,
dia sering hang out dan jalan bareng sama seorang cowok punk yang mengendarai
motor gede. Mereka akrab dan mesra banget. Jadi, kesimpulanku, dia pasti
meninggalkanku untuk cowok itu. Ya
‘kan?”
Kami berpandangan. Aku tak segera
menjawab.
“Dan bagaimana menurutmu, Ron? Apa Olla
bahagia dengan kehidupannya yang sekarang? Apa dia bahagia dengan cowok itu?”
Ronald tak segera menjawab. Tapi
perlahan cowok itu mengangguk.
“Kamu menyayangi Olla ‘kan?”
“Tentu saja,” Ronald menjawab tegas.
“Dan apa kamu suka kalo orang yang kamu
cintai bahagia?”
Ronald menatapku, bingung.
“Tentu saja aku seneng kalo melihat Olla
bahagia,” jawabnya kemudian.
“Nah ‘kan? Jadi, mana yang lebih
penting? Olla bersamamu dan tidak bahagia, atau .... ia bersama orang lain,
tapi ngerasa bahagia?”
Ronald kembali menatapku, nampak
berpikir.
“Tapi Ki...”
Aku berinisiatif memegang lengan
tangannya dengan maksud untuk menenangkannya.
“Olla sudah menemukan kebahagiaannya,
Ron. Dan semoga kamu nggak berpikir untuk merusaknya. Lepaskan dia, relakan
dia. Aku pernah cinta mati sama seseorang. Tapi nyatanya ia malah mencintai
orang lain. Tapi setidaknya, dia bahagia ‘kan?
Sehingga aku juga berpikir bahwa aku harus menemukan kebahagiaanku
sendiri. Bersedih dan meratapi diri tidak akan bermanfaat. Waktunya buatmu
untuk move on dan berusaha mencari
kebahagiaanmu sendiri, oke? Aku sudah
pernah mengalaminya dan aku berhasil. Percayalah, luka seperti ini, hanya waktu
yang bisa menyembuhkannya,”
Ronald terdiam, tampak mencerna
kalimatku. Ia menatapku lekat.
“Lagian..” aku menarik pegangan tanganku
karena aku nggak mau terlibat situasi yang lebih dramatis daripada ini.
“Jujur kamu tuh nggak cocok sama Olla,”
ucapku lagi.
Dan
sejujurnya kamu tuh nggak cocok dengan cewek manapun! Rutukku dalam
hati.
“Kenapa begitu?”
“Well..” aku mengulur waktu.
“Jangan marah ya. Tapi jujur aja, kamu
tuh orangnya childish, penakut dan
... nggak mandiri. Dan percayalah Olla nggak cocok sama kamu. Kamu tuh perlu
sosok seorang cewek yang tegar dan mandiri, yang mampu ngasih support ke kamu,
mampu jagain kamu, mampu ngemong kamu, dan tentu saja ... mau berperilaku kayak
mama kamu yang bijaksana dan senantiasa memastikan kamu baik-baik aja,” ucapku
lagi - dengan nada menyindir tentunya.
“Kecuali kalo kamu mau berubah. Berubah
lebih ... gentle. Nggak childish lagi, nggak penakut lagi, tentu akan makin
banyak cewek-cewek yang naksir sama kamu,”
Ronald terdiam.
“Gitu ya Ki?” ia bertanya dengan
antusias. Aku tersenyum dan mengangguk.
“Pikirkan kata-kataku,Ron. Kamu pasti
bisa menemukan kebahagiaanmu sendiri. Yuk ah, pulang. Sudah sore nih, pintu
gerbang keburu di tutup sama pak satpam,” aku beranjak. Dan Ronald mengekor di
belakangku.
Dalam perjalanan pulang, aku malah
kepikiran dengan kalimatku sendiri. Olla
bahagia dengan dirinya yang sekarang?
Jadi, jika dia memang telah menemukan
kebahagiaanya dengan perubahan ‘punk’ nya? Tak ada alasan bagiku untuk
melarangnya ‘kan? Bukankah kami best
friend selamanya?
Ah, aku harus bicara lagi dengannya...
***
Malam itu kami
kembali berkumpul di base camp. Sejak kami marahan, ini pertama kalinya aku
bertemu langsung dengan Olla.
“Aku minta maaf, La,” aku membuka suara
duluan.
“Hanya karena ketakutanku untuk
kehilangan Olla yang dulu, aku sampek lupa kalo kamu tetaplah Olla, sahabat
kami,” ucapku lagi.
Olla tersenyum.

Kami sama-sama mengangguk. Dan kami
memutuskan untuk berdua.
“Okeee... sebelum berpelukan, bisa nggak
kamu lepas dulu gelang sama jaket berduri itu. Itu bisa menusuk ‘kan?” ucap
Jihan.
Olla tertawa. Ia melepas gelang
berdurinya, jaket berdurinya, lalu menghambur ke arah kami.
Mungkin kami telah kehilangan Olla yang
centil, yang blink-bling, yang lebay. Tapi, apapun dandanannya, dia masih tetap
Olla kami, sahabat kami..
***
Aku
baru memarkir sepeda motor matic kesayanganku di tempat parkir ketika Ronald
mendatangiku dengan wajah ... sumringah.
“Hai, Ki” ia menyapa.
“Hai,” jawabku seraya melepas helm lalu
menggantungkannya di spion.
“Makasih ya karena kemarin udah ngasih
nasehat yang amat bermanfaat buatku,” ucap Ronald lagi.
Aku tersenyum.
“It’s okey. Itu gunanya teman ‘kan?”
jawabku.
“Kamu bener, Ki. Olla sudah menemukan
kebahagiaannya. Dan aku juga harus berusaha menemukan kebahagiaanku sendiri.
Semalam aku merenung, dan lagi-lagi, kamu benar tentang sikapku selama ini,
bahwa aku kekanak-kanakkan dan terlalu nggak percaya diri.”
Aku manggut-manggut.
Yep,
sudah waktunya kamu berubah jadi cowok gentle! Teriakku dalam
hati.
“Aku emang cowok yang nggak mandiri, Ki.
Dan aku emang butuh sosok seorang cewek yang mampu menerimaku apa adanya, mampu
ngasih support ke aku, mampu jagain aku, mampu ngemong aku, mampu bertahan
dengan segala sifat kekanak-kanakkanku,”
“Yep,”
jawabku pendek.
Oh.. kirain dia akan berubah jadi gentle
setelah denger nasihatku. Tapi kok...
“Dan sosok itu adalah .. kamu, Ki,”
Aku mendelik.
“Hah?”
Ronald mengangguk, mantap.
“Kamu cewek yang tegas, mandiri dan
sangat wise pada setiap orang. Kamu
bisa jagain diri sendiri, dan juga jagain sahabat-sahabatmu. Kamu juga punya
sikap leadership yang tinggi hingga aku yakin banget, kalo kamulah cewek yang
paling cocok buatku,”
Aku melotot ke arah Ronald.
“Jagain kamu maksudnya?”
Ronald tersenyum, culun.
Gila,
emang gue emak loe!
“Jadi, pagi ini aku resmi nembak kamu,
Ki. Semoga kamu mau ngasih kesempatan buatku untuk bisa mendapatkan cintamu.
Oke?”
Aku melotot.
“Kemarin itu sebenarnya aku cuma nyindir
kamu, Ron. Biar kamu bisa berubah dari cowok yang kekanak-kanakkan menjadi
cowok yang gentle. Bukannya malah ...”
“Aku udah merenung, Ki. Dan kayaknya aku
emang nggak bisa berubah. Aku ya udah kayak gini sejak lahir,”
“Jadi kamu tetep mau nyari cewek yang
bisa jagain kamu gitu maksudnya??” aku sebal bukan main.
Ronald kembali mengangguk dengan polos.
“Ogaaaaahhhhhhhhhhhh...!”
Aku segera ngacir ke kelasku dengan
kecepatan tinggi tanpa melihat lagi ke arah Ronald.
Heran deh, emang nggak ada cowok
‘normal’ yang naksir padaku?
Kalo kemarin-kemarin ada Mr. Complain
yang cakep dan sok ngatur (dan yang sekarang udah jadi pacarnya Jihan),
sekarang malah ada mantannya Olla yang kekanak-kanakkan dan ... cengeng.
Hadeh, apes gue!
Selesai
Nganjuk,
25 Juli 2014.
13.28
Wiwin
W.