Kamis, 07 Agustus 2014

Cerpen Kiki Kaka 9 : Olla, beda!



          Aku urung melangkahkan kakiku ke luar kelas ketika Ronald mendatangiku dengan sesenggukan. Kelas sudah sepi. Aku sengaja tinggal sebentar karena ada beberapa tugas yang harus kuselesaikan di sini. Anak-anak sudah pulang sekitar 20 menit yang lalu. Termasuk Fifi, Jihan dan Sonya. Olla, jangan nanya dia deh. Sudah 3 hari ini kami marahan. Kami saling tak bertegur sapa.  Alasannya?
“Ki...” panggil Ronald lirih.
Ampun deh! Aku benci cowok cengeng, dari ujung kepala sampai ujung kaki! Bahkan jika dia adalah cowok paling terakhir di muka bumi ini, aku tetap ogah jadi pacarnya! Titik!
Aku mendesah.
“Duduk dulu deh,” ajakku seraya mengajaknya duduk di bangku paling depan. Aku tahu apa yang akan diomongin. So, ini kayaknya bakal jadi waktu ‘curhat’ yang lumayan lama..
Kami duduk berdampingan. Aku meraih tisu dari dalam tasku lalu mengulurkannya padanya.
“Hapus dulu deh air matamu. Dan, stop crying please! aku nggak mau denger kamu ngomong kalo kamu masih sesenggukan kayak anak kecil gini,” ucapku tegas.
Ronald mengangguk. Ia meraih tisu dari tanganku, menyeka air matanya, lalu menyeka ingusnya dengan cara yang nggak gentle. Ew...
“Aku diputusin Olla, Ki..” ucapnya setelah agak tenang.
“Aku nggak tahu mesti cerita ini ke siapa lagi. Aku nggak punya teman yang bisa diajak curhat. Kamu deket sama Olla, dan kamu orangnya juga wise banget. Jadi aku yakin kamu pasti ngerti perasaanku,”
Aku manggut-manggut.
“Iya, aku juga tahu kalo kamu diputusin sama Olla,” jawabku.
Ronald mengangkat bahu dengan putus asa.
Cowok tampan berhidung mancung itu meremas-remas tisu di tangannya.
“Olla beda, Ki. Dandanannya, sikapnya, gaya bicaranya, semuanya beda! Dia kayak bukan... Olla yang sebenarnya,”
Aku kembali manggut-manggut.
“Aku nggak tahu kenapa Olla minta putus tiba-tiba.. dia nggak pernah ngasih alasan yang jelas. Tapi aku tahu pasti, hatinya telah pindah ke cowok lain. Oke, aku terima kalo dia menemukan orang yang lebih baik dariku. Tapi setidaknya, dia mau jujur bicara padaku, mau memberikan penjelasan padaku. Tentu aku akan terima dengan lapang dada kok kalo dia menjelaskannya sendiri padaku. Tapi ...”
Ronald mulai bicara panjang lebar. Dan aku mendengarkannya dengan seksama.
          Jujur, akhir-akhir ini Olla emang beda. Semua bermula ketika beberapa minggu yang lalu ia nonton konser musik indie dengan abangnya. Biasanya dia nggak mau kok jalan bareng sama kakaknya. Tapi hari itu, dia bilang - dia pengen tahu aja musik kesukaan abang satu-satunya itu.
Dan di sanalah ia kenal sama cowok – aku lupa siapa namanya. Dan sejak itu dia beda. Semuanya!
Olla yang biasanya kiyut, feminin, lebay, bling-bling dan gemar banget suka warna pink, mendadak berdandan  kayak anak punk.
Ia hobi banget mengenakan jaket atau celana kulit warna hitam. Aksesorisnya juga aksesoris anak punk. Dandanan matanya yang biasa soft, sekarang jadi smoky eyes. Pokoknya, she’s totally different!
Ini yang bikin aku berang dan akhirnya kami bersitegang.
Aku orang yang blak-blakan. Dan akupun mencelanya dengan cara yang blak-blakan pula.
“Dandanan kamu aneh, La. Kamu kayak orang kesurupan, atau orang  yang tiba-tiba aja berubah haluan hanya dalam waktu hitungan menit,” ucapku ketika sore itu kami berkumpul di base camp.
Dan Olla tersinggung dengan ucapanku.
“Aneh? Apa dandananku kayak dulu nggak aneh? Aku pake bando warna-warni, pita warna-warni, baju warna-warni, aksesoris warna-warni, bukannya itu berlebihan?” ia membela diri.
“well, mungkin itu berlebihan. Tapi setidaknya itu ‘kamu’. Itu ‘kamu’, La. Sekarang? Aku bahkan nggak kenal siapa kamu lagi,” jawabku, sengit.
Olla terkekeh sinis. Sekarang kalimat yang meluncur dari mulutnya juga nggak lebay lagi.
“Mungkin kamu yang salah, Ki. Mungkin diriku yang sebenarnya adalah, ‘ini’. Jujur, aku bahagia dengan perubahanku yang sekarang. Aku seperti mengenal dunia baru yang membuatku ingin tahu lebih banyak lagi. Sebutlah kami anak punk atau berandalan, aku nggak peduli. Tapi satu hal yang pasti, aku nyaman dan bahagia dengan perubahanku,”
“Tapi mereka identik dengan narkoba dan kriminal, La...”
“Aku sudah besar, Ki. Dan aku tahu mana yang salah mana yang benar. Mungkin dandananku berubah, jati diriku berubah, tapi aku tidak akan terjerumus ke dalam narkoba atau kehidupan malam yang nggak jelas,”
Kami terus berargumen.
Fifi, Sonya dan Jihan hanya terdiam. Aku tahu mereka juga shock dengan perubahan Olla. Hanya saja mereka tak tahu harus ngomong apa lagi.
“Kita masih sahabat baik ‘kan Ki?” Olla bertanya.
“Kita selalu jadi sahabat baik, La,” sergahku.
“Kalo gitu, sebagai sahabat baik, harusnya kamu memahami keputusanku. Hidup adalah suatu proses pencarian jati diri. Dan sekarang, sepertinya aku sudah menemukannya. Aku sudah menemukan duniaku, jati diriku. Dan sebagai sahabat, harusnya kamu mendukungku, mempercayaiku...”
Kami bertatapan.
“Bukannya aku tak mempercayaimu, La. Aku hanya tak tahu harus mencari ‘Olla’ kemana lagi. ‘Olla’, sahabat kami yang dulu. Yang imut, yang lebay, yang kadang-kadang bikin kesel, jengkel, tapi bikin kangen. Kemana kami harus mencarinya lagi?” Aku nyaris menangis ketika menyelesaikan kalimatku.
Olla menelan ludah dan menatapku dalam.
“Aku tak bisa membantumu menemukannya lagi, Ki. Karena sekarang, Olla yang sebenarnya adalah yang seperti ini. Terima atau tidak, inilah Olla yang sekarang,” jawabnya lagi. Lalu beranjak meninggalkan kami, Fifi, Sonya dan Jihan, dalam diam......
          “Darimana kamu tahu kalo Olla selingkuh, Ron? Apa kamu mematai-matainya” tanyaku.
“Aku nggak mematai-matainya, Ki. Aku cuma penasaran aja ada apa denganya. Jadi aku sengaja mengikutinya,” kalimat Ronald terdengar ragu.
Aku tahu ia tak ingin membuatku marah karena dia tahu aku nggak suka dengan acara stalking macam paparazzi!
“Dan aku tahu kalo beberapa hari ini, dia sering hang out dan jalan bareng sama seorang cowok punk yang mengendarai motor gede. Mereka akrab dan mesra banget. Jadi, kesimpulanku, dia pasti meninggalkanku untuk cowok  itu. Ya ‘kan?”
Kami berpandangan. Aku tak segera menjawab.
“Dan bagaimana menurutmu, Ron? Apa Olla bahagia dengan kehidupannya yang sekarang? Apa dia bahagia dengan cowok itu?”
Ronald tak segera menjawab. Tapi perlahan cowok itu mengangguk.
“Kamu menyayangi Olla ‘kan?”
“Tentu saja,” Ronald menjawab tegas.
“Dan apa kamu suka kalo orang yang kamu cintai bahagia?”
Ronald menatapku, bingung.
“Tentu saja aku seneng kalo melihat Olla bahagia,” jawabnya kemudian.
“Nah ‘kan? Jadi, mana yang lebih penting? Olla bersamamu dan tidak bahagia, atau .... ia bersama orang lain, tapi ngerasa bahagia?”
Ronald kembali menatapku, nampak berpikir.
“Tapi Ki...”
Aku berinisiatif memegang lengan tangannya dengan maksud untuk menenangkannya.
“Olla sudah menemukan kebahagiaannya, Ron. Dan semoga kamu nggak berpikir untuk merusaknya. Lepaskan dia, relakan dia. Aku pernah cinta mati sama seseorang. Tapi nyatanya ia malah mencintai orang lain. Tapi setidaknya, dia bahagia ‘kan?  Sehingga aku juga berpikir bahwa aku harus menemukan kebahagiaanku sendiri. Bersedih dan meratapi diri tidak akan bermanfaat. Waktunya buatmu untuk move on dan berusaha mencari kebahagiaanmu sendiri, oke? Aku sudah pernah mengalaminya dan aku berhasil. Percayalah, luka seperti ini, hanya waktu yang bisa menyembuhkannya,
Ronald terdiam, tampak mencerna kalimatku. Ia menatapku lekat.
“Lagian..” aku menarik pegangan tanganku karena aku nggak mau terlibat situasi yang lebih dramatis daripada ini.
“Jujur kamu tuh nggak cocok sama Olla,” ucapku lagi.
Dan sejujurnya kamu tuh nggak cocok dengan cewek manapun! Rutukku dalam hati.
“Kenapa begitu?”  
“Well..” aku mengulur waktu.
“Jangan marah ya. Tapi jujur aja, kamu tuh orangnya childish, penakut dan ... nggak mandiri. Dan percayalah Olla nggak cocok sama kamu. Kamu tuh perlu sosok seorang cewek yang tegar dan mandiri, yang mampu ngasih support ke kamu, mampu jagain kamu, mampu ngemong kamu, dan tentu saja ... mau berperilaku kayak mama kamu yang bijaksana dan senantiasa memastikan kamu baik-baik aja,” ucapku lagi - dengan nada menyindir tentunya.
“Kecuali kalo kamu mau berubah. Berubah lebih ... gentle. Nggak childish lagi, nggak penakut lagi, tentu akan makin banyak cewek-cewek yang naksir sama kamu,”
Ronald terdiam.
“Gitu ya Ki?” ia bertanya dengan antusias. Aku tersenyum dan mengangguk.
“Pikirkan kata-kataku,Ron. Kamu pasti bisa menemukan kebahagiaanmu sendiri. Yuk ah, pulang. Sudah sore nih, pintu gerbang keburu di tutup sama pak satpam,” aku beranjak. Dan Ronald mengekor di belakangku.
Dalam perjalanan pulang, aku malah kepikiran dengan kalimatku sendiri. Olla bahagia dengan dirinya yang sekarang?
Jadi, jika dia memang telah menemukan kebahagiaanya dengan perubahan ‘punk’ nya? Tak ada alasan bagiku untuk melarangnya ‘kan? Bukankah kami best friend selamanya?
Ah, aku harus bicara lagi dengannya...

***
         
Malam itu kami kembali berkumpul di base camp. Sejak kami marahan, ini pertama kalinya aku bertemu langsung dengan Olla.
“Aku minta maaf, La,” aku membuka suara duluan. 
“Hanya karena ketakutanku untuk kehilangan Olla yang dulu, aku sampek lupa kalo kamu tetaplah Olla, sahabat kami,” ucapku lagi.
Olla tersenyum.
“Aku juga minta maaf, Ki. Aku pasti telah membuat kalian shock dengan perubahanku. Tapi percayalah, aku masih Olla, sahabat kalian. ini hanya masalah dandanan aja ‘kan?”
Kami sama-sama mengangguk. Dan kami memutuskan untuk berdua.
“Okeee... sebelum berpelukan, bisa nggak kamu lepas dulu gelang sama jaket berduri itu. Itu bisa menusuk ‘kan?” ucap Jihan.
Olla tertawa. Ia melepas gelang berdurinya, jaket berdurinya, lalu menghambur ke arah kami.
Mungkin kami telah kehilangan Olla yang centil, yang blink-bling, yang lebay. Tapi, apapun dandanannya, dia masih tetap Olla kami, sahabat kami..

***

          Aku baru memarkir sepeda motor matic kesayanganku di tempat parkir ketika Ronald mendatangiku dengan wajah ... sumringah.
“Hai, Ki” ia menyapa.
“Hai,” jawabku seraya melepas helm lalu menggantungkannya di spion.
“Makasih ya karena kemarin udah ngasih nasehat yang amat bermanfaat buatku,” ucap Ronald lagi.
Aku tersenyum.
“It’s okey. Itu gunanya teman ‘kan?” jawabku.
“Kamu bener, Ki. Olla sudah menemukan kebahagiaannya. Dan aku juga harus berusaha menemukan kebahagiaanku sendiri. Semalam aku merenung, dan lagi-lagi, kamu benar tentang sikapku selama ini, bahwa aku kekanak-kanakkan dan terlalu nggak percaya diri.”
Aku manggut-manggut.
Yep, sudah waktunya kamu berubah jadi cowok gentle! Teriakku dalam hati.
“Aku emang cowok yang nggak mandiri, Ki. Dan aku emang butuh sosok seorang cewek yang mampu menerimaku apa adanya, mampu ngasih support ke aku, mampu jagain aku, mampu ngemong aku, mampu bertahan dengan segala sifat kekanak-kanakkanku,”
Yep,” jawabku pendek.
Oh.. kirain dia akan berubah jadi gentle setelah denger nasihatku. Tapi kok...
“Dan sosok itu adalah .. kamu, Ki,”
Aku mendelik.
“Hah?”
Ronald mengangguk, mantap.
“Kamu cewek yang tegas, mandiri dan sangat wise pada setiap orang. Kamu bisa jagain diri sendiri, dan juga jagain sahabat-sahabatmu. Kamu juga punya sikap leadership yang tinggi hingga aku yakin banget, kalo kamulah cewek yang paling cocok buatku,”
Aku melotot ke arah Ronald.
“Jagain kamu maksudnya?”
Ronald tersenyum, culun.
Gila, emang gue emak loe!
“Jadi, pagi ini aku resmi nembak kamu, Ki. Semoga kamu mau ngasih kesempatan buatku untuk bisa mendapatkan cintamu. Oke?”
Aku melotot.
“Kemarin itu sebenarnya aku cuma nyindir kamu, Ron. Biar kamu bisa berubah dari cowok yang kekanak-kanakkan menjadi cowok yang gentle. Bukannya malah ...”
“Aku udah merenung, Ki. Dan kayaknya aku emang nggak bisa berubah. Aku ya udah kayak gini sejak lahir,”
“Jadi kamu tetep mau nyari cewek yang bisa jagain kamu gitu maksudnya??” aku sebal bukan main.
Ronald kembali mengangguk dengan polos.
“Ogaaaaahhhhhhhhhhhh...!”
Aku segera ngacir ke kelasku dengan kecepatan tinggi tanpa melihat lagi ke arah Ronald.
Heran deh, emang nggak ada cowok ‘normal’ yang naksir padaku?
Kalo kemarin-kemarin ada Mr. Complain yang cakep dan sok ngatur (dan yang sekarang udah jadi pacarnya Jihan), sekarang malah ada mantannya Olla yang kekanak-kanakkan dan ... cengeng.
Hadeh, apes gue!

Selesai


Nganjuk, 25 Juli 2014.
13.28
Wiwin W.


Senin, 04 Agustus 2014

Cerpen Kiki Kaka 8 : Guruku manis berkali-kali!



        Sekolah kami kedatangan guru magang baru. Namanya pak Nico, beliau ngajar Olah Raga. Orangnya, wuih, jangan di tanya lagi. Manisnya bukan maeeennnn...
Posturnya tinggi, badannya bagus, senyumnya menawan, ia ramah, pokoknya, ia manis sekali.
Idih, enggak deh, manisnya tuh enggak cuma sekali, tapi ... berkali-kali!
Tentu saja kedatangannya ke sekolah kami menjadi magnet tersendiri hingga membuat para cewek klepek-klepek. Mereka berlomba-lomba mencari perhatian darinya. Mulai dari ngasih hadiah, pura-pura sakit ketika jam olahraga, bahkan dandan habis-habisan.
Alhasil, jam olah raga yang tadinya penuh keringat dan bau apek, sekarang menjadi haruuum bak taman bunga.
Sekolah kami sekarang dipenuhi cewek-cewek senewen yang mencoba mencari perhatian darinya.
Dan hal yang membuatku ikut senewen adalah : ternyata temen-temenku juga sama senewennya dengan mereka!
Olla, Fifi, Sonya dan Jihan lagi sarap! Mereka berlomba-lomba menarik perhatian guru yang kiyut itu.
Nah, ini nih yang bikin aku stres guling-guling! Mereka tuh mencoba menarik perhatiannya pak Nico bukan buat mereka, tapi buat aku! (nah, kurang kerjaan banget ‘kan? Apa hubungannya coba?)
“Diantara kita berlima, kamu tuh yang masih jomblo. Nah, ini adalah kesempatan yang bagus buat kamu untuk dapat cowok berkualitas. Dan kita akan berjuang mati-matian agar kamu bisa deket sama pak Nico. Percaya deh, Ki, kita akan melakukan hal yang terbaik buat kamu,” dan kayak biasanya, Sonya menjadi sok berkuasa dan sok membantu ketika menjelaskan alasannya mendekati pak Nico. Aku mencibir.
“Kalian ‘kan yang mendekati pak Nico? Ya udah, kalo dapet, pak Nico buat kalian aja,” aku beranjak cuek. Keempat sobatku segera ngacir mengikuti langkahku memasuki gerbang sekolah.
“Ini demi kepentinganmu, Ki,” ucap fifi. Aku mencelos.
“Kepentingan apaan? Soal cowok, aku nggak perlu diatur-atur. Toh, aku hepi aja kok biarpun aku jomblo,” aku membela diri.
“Tapi ki...” aku menghentikan langkahku dengan tiba-tiba hingga membuat mereka menubrukku. Aku berbalik dan menatap sahabat-sahabatku dengan kesal. Dan dengan putus asa, aku berkata “Whatever!,” ucapku.

          Aku mendelik. Astaga, gimana ceritanya nih sepeda motor kesayanganku bisa babak belur kayak gini? Bannya kempes, stang-nya bengkok, beberapa kabel putus dan terurai. Ampun deh, ini namanya sabotase!
“Astaga, sepeda motormu kenapa, Ki?”
Aku menoleh ke arah datangnya suara itu. Jreeng! Pak Nico!?
“Bapak ... kenapa masih di sini?” tanyaku, blo’on.
“Oh, setiap sabtu aku emang ada di sekolah sampek jam 5 sore. Aku dapat tugas baru untuk membimbing ekstra musik. Kelasku baru aja selesai 5 menit yang lalu. Jadi, gimana ceritanya sepeda motormu bisa kayak gini?” pandangan pak Nico kembali beralih ke sepeda motor malangku.
Aku kembali mematung. Tuh ‘kan ada yang nggak beres! Sepeda motorku tiba-tiba aja rusak ‘nggak wajar’ di saat aku dan pak Nico punya jadwal yang sama, pulang sore. Skenario klise. Temen-temenku pasti sengaja merusak motorku agar pak Nico memperhatikanku dan menolongku, lalu mengantarkanku pulang. Begitu ‘kan biasanya yang ada si sinetron? Aku menggigit bibirku dengan kesal. Dan bisa dipastikan siapa dalang di balik perbuatan ini.
Oh, astaga...
“sepeda motormu rusak nggak wajar, Ki. Pasti ada yang berusaha mencelakaimu. Sebaiknya, laporkan aja kejadian ini ke pihak sekolah,” pak Nico kembali berucap sambil sesekali mengecek beberapa bagian motorku. Aku manggut-manggut.
“Iya,  pak. Besok biar saya lapor ke sekolah. Sementara, motor ini biar di sini aja. Permisi pak,” aku bangkit dan segera beranjak tanpa mempedulikan lagi sepeda motorku. Persetan deh, yang penting aku harus segera kabur dari sini! Aku nggak boleh kejebak dengan ide konyol rekan-rekanku.
“Tunggu!” tanpa di duga pak Nico menyamai langkahku hingga langkahkupun terhenti.
“Aku tahu rumah kamu jauh. Biar kuantarkan pulang aja ya. Sepeda motormu biar di urusi sama pak satpam. Sebentar, aku akan memberitahu masalah ini padanya,” pak Nico ngacir begitu aja. Aku melongo. Hah!?
Okeee, hari ini aku terjebak dalam skenario konyol rekan-rekanku. Motorku rusak, dan pak Nico mengantarkanku pulang. sialan!


***
          “Buat apa kalian pake cara-cara kampungan kayak gitu? Bikin motor rusak, halah, gak keren banget deh,” aku berteriak-teriak dengan kesal di depan sahabat-sahabatku.
“Gak keren, tapi berhasil ‘kan? Buktinya, pak Nico nganterin kamu pulang ‘kan?” Sonya menjawab. Aku melotot.
“Tapi nggak gitu juga kaleee....! Sepeda motorku gimanaaa??? Itu sepeda motor matic kesayanganku, aku minta dibeliin sama papa aja sambil nangis-nangis. Aku bahkan rela ikut jungkir balik demi bisa lulus ujian untuk dapat SIM C. Besok aku ke sekolah naik apa dong?” aku berteriak.
“Tenang. Udah dibeliin Fifi sepeda motor matic baru, sama persis kayak punyamu yang lama,” ucap Jihan, santai.
Aku melongo.
Ini yang sableng siapa sih??
“Tetap aja aku nggak suka cara kayak gini,” ucapku kemudian.
“Percaya deh, Ki. Ini demi kamu kok. Pak Nico itu merupakan kandidat paling cocok buat kamu.,”
“Cocok apaan? Aku toh nggak suka sama dia,” jawabku.
“Oke, serahin aja ke kita. Kita akan berusaha membuat kalian dekat, dan dengan begitu, lama-lama kamu pasti juga akan suka sama pak Nico,”
Aku mendesah dengan putus asa. Temen-temenku yang sok tahu dan keras kepala, andaikan aku punya cara untuk menghentikannya?

***

          Keesokan paginya, sebuah kebetulan yang benar-benar kebetulan! Aku memasuki gerbang sekolah di saat yang hampir bersamaan dengan pak Nico. Well, ini jelas tidak direncanakan!
“selamat pagi, Ki,” beliau menyapa duluan. Aku tersenyum, kikuk.
“Pagi, pak,” jawabku.
“Oh iya, soal perusakan sepeda motormu, aku sudah melaporkannya ke pihak sekolah. Dan mereka pasti menyelidiki siapa pelakunya. Jangan khawatir, semuanya pasti baik-baik aja,” ucapnya lagi.
Aku kembali tersenyum. Ha, buat apa diselidiki? Aku toh sudah tahu siapa pelakunya. But, jika perbuatan mereka ketahuan pun, Fifi pasti punya cara untuk mengelak. Biasa, anak orang kaya, apa sih yang gak bisa?
“Oh iya, makasih ya atas kuenya kemarin,” kalimat pak Nico kemudian  sempat membuatku blank. Langkahku terhenti. Pak Nico juga berhenti. Kue?
“Kue?” aku seperti mengulang kata itu seraya menatap ke arah guruku yang manis berkali-kali itu. Pak Nico kembali mengangguk. Wajahnya terlihat tulus hingga aku gak tega untuk menghancurkannya. Aku nyengir, bingung.
“Kuenya enak sekali. Harusnya kamu nggak perlu repot-repot ngasih sesuatu padaku sebagai ucapan terima kasih karena kemarin. Tapi, makasih ya. Dan, bilang makasih pada temen-temenmu yang udah jauh-jauh nganterin kue itu ke rumahku,” ucapnya lagi. Aku mendelik. Temen-temenku? Nah, itu dia!
“Temen-temenku datang ke rumah bapak untuk ngasihkan kue sebagai ucapan terima kasih karena kemarin bapak nganterin saya pulang ‘kan? Begitu ‘kan?” aku mencoba memastikan bak orang yang kena amnesia. Pak Nico menatapku heran.
“Emangnya gak gitu?”ia bertanya dengan ragu. Aku tertawa.
“Iya, tentu aja begitu. Kue itu emang hadiah kecil buat bapak sebagai ungkapan terima kasih karena bapak udah mau nganterin saya pulang,” jawabku. “Bentar ya pak, saya harus pergi duluan. Dan, sekali lagi, makasih karena kemarin udah di anterin pulang,” aku ngacir.
Tadinya aku emang berangkat  lebih pagi karena niat banget mau ngerjain tugas di kelas yang kemarin belum sempat ku selesaikan. Tapi, hal itu urung aku lakukan. Aku berbalik, dan kembali menuju pintu gerbang sekolah. Aku berdiri di sana dengan muka kesal.
Ku tunggu kalian di sini, guys! Teriakku dalam hati. Dan benarlah, 5 menit sebelum bel masuk berdentang, ke empat sobatku itu muncul dari ujung jalan, bersamaan. Dengan tangan terlipat di dada, aku menunggu mereka mendekatiku.
“Morniing, Ki,” Olla menyapa kayak biasanya. Aku tak menjawab sapaannya. Ku tatap mereka dengan kesal.
“Ngapain kalian ngasih kue ke pak Nico atas namaku?” aku langsung maen semprot. Tapi mereka cuma cengar-cengir kayak biasanya.
“Demi keberhasilanmu, percayalah pada kami, oke?” Jihan angkat suara. Mereka berlalu. Dan untuk pertama kalinya, kali ini mereka mengacuhkanku. Aku mengekor di belakang mereka dengan mengomel. Dan mereka tetap saja mengacuhkanku. Kampret!

***
         

Demi menghilangkan stress karena ulah sahabat-sahabatku, sore itu aku sengaja hang out sendirian ke sebuah mall. Cuci mata sambil belanja barang-barang sepele seperti tusuk gigi, tusuk sate, tusuk konde (Hah??), pembersih telinga, tisu, pokoknya hal-hal sepele lah. Ketika asyik melihat-lihat di sebuah stand aksesoris, seseorang menepuk pundakku dengan lembut. aku menoleh dan, oh-mai-gatt! Pak Nico! Lagi!?
Aku melirik ke kanan dan ke kiri. Jangan-jangan kerjaan Fifi cs lagi nih?
“Lagi jalan-jalan sendiri, Ki?” beliau menyapa. Aku mengangguk.
“Iya, pak,” jawabku.
“Mau belanja apa?” beliau kembali bertanya.
“Eh, Mm, cuma liat-liat aja kok pak. Belum memutuskan mau beli apa,” jawabku lagi. Pak Nico tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Kalo bapak sendiri, mau beli apa?” aku balik bertanya.
“Aku? Oh, enggak, aku nggak pengen beli apa-apa. Aku Cuma ngenterin, tuh,” pak Nico menunjuk ke arah arena permainan. Jari telunjuknya menunjuk ke arah seorang perempuan muda seumuran dengan beliau yang tengah bermain-main dengan riang dengan seorang anak balita berusia sekitar satu tahun.
“Dia istri dan anakku,” ia menjawab lagi. Duarrr! Aku tersentak.
“Anak dan istri?! Bapak sudah menikah?” aku bertanya dengan spontan. Pak Nico tersenyum dan mengangguk.
“Kamu pasti kaget, wajar kok. Kebanyakan yang baru tau emang kaget karena aku ‘kan masih terlalu muda untuk menikah. Tapi, ya begitulah kenyataannya. Aku menikah dengannya ketika kami sama-sama kuliah semester satu. Emang sih kami masih muda. Tapi, daripada pacaran gak jelas dan banyak dosa, kami sama-sama memutuskan untuk menikah saja,” pak Nico tersenyum bangga ketika menceritakan itu.
“Bapak merahasiakan pernikahan  bapak?”
“Enggak tuh. Menikah ‘kan baik, kenapa harus di rahasiakan? Nggak ada orang yang nanya sih aku udah menikah atau belum, makanya nggak ada yang tau,”
“Kalo anak-anak yang lain tau, gimana pak?”
“Ya nggak apa-apa,” jawab pak Nico lagi, enteng. Aku melongo.
Astaga, jadi guruku yang manis berkali-kali ini, yang di kejar-kejar sama temen-temenku sampek jungkir balik, ternyata sudah menikah dan punya anak?!
Ah, tiba-tiba ... tuing! Aku merasakan ada pelangi di atas kepalaku. Cerah, dan bahagia.
Bahagia? Ya! Pak Nico menikah atau belum, bukan masalahku. Toh aku juga nggak tertarik dengannya. Masalahnya, sekarang aku punya alasan yang tepat untuk melabrak sahabat-sahabatku! Mereka selalu bilang bahwa pak Nico adalah cowok sempurna, cowok-paling-BERKUALITAS yang cocok buatku, kenyataannya, nol besaaarrr! Mereka bahkan nggak tahu kalo pak Nico sudah menikah.
“Permisi pak, saya harus segera pergi. Sudah ditunggu sama temen-temen di bawah, nggak apa-apa ‘kan kalo saya pergi duluan,” aku mohon diri. Pak Nico tersenyum dan mengangguk. Tanpa menunggu komando, aku segera ngacir. Dalam perjalanan ke base camp, aku tak berhenti tersenyum bahagia.
Sonya, Jihan, Fifi dan Olla, TAMAT RIWAYAT KALIAN..!!!! HUA-HA-HA-HA-HAAA......


Sawahan, 19/12/2013
8.19
WIWIN W