Sekolah kami kedatangan guru magang
baru. Namanya pak Nico, beliau ngajar Olah Raga. Orangnya, wuih, jangan di
tanya lagi. Manisnya bukan maeeennnn...
Posturnya tinggi, badannya bagus,
senyumnya menawan, ia ramah, pokoknya, ia manis sekali.
Idih, enggak deh, manisnya tuh enggak
cuma sekali, tapi ... berkali-kali!
Tentu saja
kedatangannya ke sekolah kami menjadi magnet tersendiri hingga membuat para
cewek klepek-klepek. Mereka berlomba-lomba mencari perhatian darinya. Mulai dari
ngasih hadiah, pura-pura sakit ketika jam olahraga, bahkan dandan
habis-habisan.
Alhasil, jam olah raga yang tadinya
penuh keringat dan bau apek, sekarang menjadi haruuum bak taman bunga.
Sekolah kami sekarang dipenuhi
cewek-cewek senewen yang mencoba mencari perhatian darinya.
Dan hal yang membuatku ikut senewen
adalah : ternyata temen-temenku juga sama senewennya dengan mereka!
Olla, Fifi, Sonya dan Jihan lagi sarap!
Mereka berlomba-lomba menarik perhatian guru yang kiyut itu.
Nah, ini nih yang bikin aku stres guling-guling!
Mereka tuh mencoba menarik perhatiannya pak Nico bukan buat mereka, tapi buat
aku! (nah, kurang kerjaan banget ‘kan? Apa hubungannya coba?)
“Diantara kita berlima, kamu tuh yang
masih jomblo. Nah, ini adalah kesempatan yang bagus buat kamu untuk dapat cowok
berkualitas. Dan kita akan berjuang mati-matian agar kamu bisa deket sama pak
Nico. Percaya deh, Ki, kita akan melakukan hal yang terbaik buat kamu,” dan
kayak biasanya, Sonya menjadi sok berkuasa dan sok membantu ketika menjelaskan
alasannya mendekati pak Nico. Aku mencibir.
“Kalian ‘kan yang mendekati pak Nico? Ya
udah, kalo dapet, pak Nico buat kalian aja,” aku beranjak cuek. Keempat sobatku
segera ngacir mengikuti langkahku memasuki gerbang sekolah.
“Ini demi kepentinganmu, Ki,” ucap fifi.
Aku mencelos.
“Kepentingan apaan? Soal cowok, aku
nggak perlu diatur-atur. Toh, aku hepi aja kok biarpun aku jomblo,” aku membela
diri.
“Tapi ki...” aku menghentikan langkahku
dengan tiba-tiba hingga membuat mereka menubrukku. Aku berbalik dan menatap
sahabat-sahabatku dengan kesal. Dan dengan putus asa, aku berkata “Whatever!,” ucapku.
Aku
mendelik. Astaga, gimana ceritanya nih sepeda motor kesayanganku bisa babak
belur kayak gini? Bannya kempes, stang-nya bengkok, beberapa kabel putus dan
terurai. Ampun deh, ini namanya sabotase!
“Astaga, sepeda motormu kenapa, Ki?”
Aku menoleh ke arah datangnya suara itu.
Jreeng! Pak Nico!?
“Bapak ... kenapa masih di sini?”
tanyaku, blo’on.
“Oh, setiap sabtu aku emang ada di
sekolah sampek jam 5 sore. Aku dapat tugas baru untuk membimbing ekstra musik.
Kelasku baru aja selesai 5 menit yang lalu. Jadi, gimana ceritanya sepeda
motormu bisa kayak gini?” pandangan pak Nico kembali beralih ke sepeda motor
malangku.
Aku kembali mematung. Tuh ‘kan ada yang
nggak beres! Sepeda motorku tiba-tiba aja rusak ‘nggak wajar’ di saat aku dan
pak Nico punya jadwal yang sama, pulang sore. Skenario klise. Temen-temenku
pasti sengaja merusak motorku agar pak Nico memperhatikanku dan menolongku,
lalu mengantarkanku pulang. Begitu ‘kan biasanya yang ada si sinetron? Aku
menggigit bibirku dengan kesal. Dan bisa dipastikan siapa dalang di balik
perbuatan ini.
Oh, astaga...
“sepeda motormu rusak nggak wajar, Ki.
Pasti ada yang berusaha mencelakaimu. Sebaiknya, laporkan aja kejadian ini ke
pihak sekolah,” pak Nico kembali berucap sambil sesekali mengecek beberapa
bagian motorku. Aku manggut-manggut.
“Iya,
pak. Besok biar saya lapor ke sekolah. Sementara, motor ini biar di sini
aja. Permisi pak,” aku bangkit dan segera beranjak tanpa mempedulikan lagi
sepeda motorku. Persetan deh, yang penting aku harus segera kabur dari sini!
Aku nggak boleh kejebak dengan ide konyol rekan-rekanku.
“Tunggu!” tanpa di duga pak Nico
menyamai langkahku hingga langkahkupun terhenti.
“Aku tahu rumah kamu jauh. Biar
kuantarkan pulang aja ya. Sepeda motormu biar di urusi sama pak satpam.
Sebentar, aku akan memberitahu masalah ini padanya,” pak Nico ngacir begitu
aja. Aku melongo. Hah!?
Okeee, hari ini aku terjebak dalam skenario
konyol rekan-rekanku. Motorku rusak, dan pak Nico mengantarkanku pulang.
sialan!
***
“Buat
apa kalian pake cara-cara kampungan kayak gitu? Bikin motor rusak, halah, gak
keren banget deh,” aku berteriak-teriak dengan kesal di depan
sahabat-sahabatku.
“Gak keren, tapi berhasil ‘kan?
Buktinya, pak Nico nganterin kamu pulang ‘kan?” Sonya menjawab. Aku melotot.
“Tapi nggak gitu juga kaleee....! Sepeda
motorku gimanaaa??? Itu sepeda motor matic kesayanganku, aku minta dibeliin
sama papa aja sambil nangis-nangis. Aku bahkan rela ikut jungkir balik demi
bisa lulus ujian untuk dapat SIM C. Besok aku ke sekolah naik apa dong?” aku
berteriak.
“Tenang. Udah dibeliin Fifi sepeda motor
matic baru, sama persis kayak punyamu yang lama,” ucap Jihan, santai.
Aku melongo.
Ini yang sableng siapa sih??
“Tetap aja aku nggak suka cara kayak
gini,” ucapku kemudian.
“Percaya deh, Ki. Ini demi kamu kok. Pak
Nico itu merupakan kandidat paling cocok buat kamu.,”
“Cocok apaan? Aku toh nggak suka sama
dia,” jawabku.
“Oke, serahin aja ke kita. Kita akan
berusaha membuat kalian dekat, dan dengan begitu, lama-lama kamu pasti juga
akan suka sama pak Nico,”
Aku mendesah dengan putus asa. Temen-temenku
yang sok tahu dan keras kepala, andaikan aku punya cara untuk menghentikannya?
***
Keesokan
paginya, sebuah kebetulan yang benar-benar kebetulan! Aku memasuki gerbang sekolah
di saat yang hampir bersamaan dengan pak Nico. Well, ini jelas tidak
direncanakan!
“selamat pagi, Ki,” beliau menyapa
duluan. Aku tersenyum, kikuk.
“Pagi, pak,” jawabku.
“Oh iya, soal perusakan sepeda motormu,
aku sudah melaporkannya ke pihak sekolah. Dan mereka pasti menyelidiki siapa
pelakunya. Jangan khawatir, semuanya pasti baik-baik aja,” ucapnya lagi.
Aku kembali tersenyum. Ha, buat apa
diselidiki? Aku toh sudah tahu siapa pelakunya. But, jika perbuatan mereka
ketahuan pun, Fifi pasti punya cara untuk mengelak. Biasa, anak orang kaya, apa
sih yang gak bisa?
“Oh iya, makasih ya atas kuenya
kemarin,” kalimat pak Nico kemudian sempat
membuatku blank. Langkahku terhenti. Pak Nico juga berhenti. Kue?
“Kue?” aku seperti mengulang kata itu
seraya menatap ke arah guruku yang manis berkali-kali itu. Pak Nico kembali
mengangguk. Wajahnya terlihat tulus hingga aku gak tega untuk menghancurkannya.
Aku nyengir, bingung.
“Kuenya enak sekali. Harusnya kamu nggak
perlu repot-repot ngasih sesuatu padaku sebagai ucapan terima kasih karena
kemarin. Tapi, makasih ya. Dan, bilang makasih pada temen-temenmu yang udah
jauh-jauh nganterin kue itu ke rumahku,” ucapnya lagi. Aku mendelik.
Temen-temenku? Nah, itu dia!
“Temen-temenku datang ke rumah bapak
untuk ngasihkan kue sebagai ucapan terima kasih karena kemarin bapak nganterin
saya pulang ‘kan? Begitu ‘kan?” aku mencoba memastikan bak orang yang kena
amnesia. Pak Nico menatapku heran.
“Emangnya gak gitu?”ia bertanya dengan
ragu. Aku tertawa.
“Iya, tentu aja begitu. Kue itu emang
hadiah kecil buat bapak sebagai ungkapan terima kasih karena bapak udah mau
nganterin saya pulang,” jawabku. “Bentar ya pak, saya harus pergi duluan. Dan,
sekali lagi, makasih karena kemarin udah di anterin pulang,” aku ngacir.
Tadinya aku emang berangkat lebih pagi karena niat banget mau ngerjain
tugas di kelas yang kemarin belum sempat ku selesaikan. Tapi, hal itu urung aku
lakukan. Aku berbalik, dan kembali menuju pintu gerbang sekolah. Aku berdiri di
sana dengan muka kesal.
Ku
tunggu kalian di sini, guys! Teriakku dalam hati. Dan benarlah, 5
menit sebelum bel masuk berdentang, ke empat sobatku itu muncul dari ujung
jalan, bersamaan. Dengan tangan terlipat di dada, aku menunggu mereka
mendekatiku.
“Morniing, Ki,” Olla menyapa kayak
biasanya. Aku tak menjawab sapaannya. Ku tatap mereka dengan kesal.
“Ngapain kalian ngasih kue ke pak Nico
atas namaku?” aku langsung maen semprot. Tapi mereka cuma cengar-cengir kayak
biasanya.
“Demi keberhasilanmu, percayalah pada
kami, oke?” Jihan angkat suara. Mereka berlalu. Dan untuk pertama kalinya, kali
ini mereka mengacuhkanku. Aku mengekor di belakang mereka dengan mengomel. Dan
mereka tetap saja mengacuhkanku. Kampret!
***
Demi menghilangkan
stress karena ulah sahabat-sahabatku, sore itu aku sengaja hang out sendirian ke sebuah mall. Cuci mata sambil belanja
barang-barang sepele seperti tusuk gigi, tusuk sate, tusuk konde (Hah??), pembersih
telinga, tisu, pokoknya hal-hal sepele lah. Ketika asyik melihat-lihat di
sebuah stand aksesoris, seseorang menepuk pundakku dengan lembut. aku menoleh
dan, oh-mai-gatt! Pak Nico! Lagi!?
Aku melirik ke kanan dan ke kiri.
Jangan-jangan kerjaan Fifi cs lagi nih?
“Lagi jalan-jalan sendiri, Ki?” beliau menyapa.
Aku mengangguk.
“Iya, pak,” jawabku.
“Mau belanja apa?” beliau kembali
bertanya.
“Eh, Mm, cuma liat-liat aja kok pak.
Belum memutuskan mau beli apa,” jawabku lagi. Pak Nico tersenyum dan
mengangguk-angguk.
“Kalo bapak sendiri, mau beli apa?” aku
balik bertanya.
“Aku? Oh, enggak, aku nggak pengen beli apa-apa.
Aku Cuma ngenterin, tuh,” pak Nico menunjuk ke arah arena permainan. Jari
telunjuknya menunjuk ke arah seorang perempuan muda seumuran dengan beliau yang
tengah bermain-main dengan riang dengan seorang anak balita berusia sekitar
satu tahun.
“Dia istri dan anakku,” ia menjawab
lagi. Duarrr! Aku tersentak.
“Anak dan istri?! Bapak sudah menikah?”
aku bertanya dengan spontan. Pak Nico tersenyum dan mengangguk.
“Kamu pasti kaget, wajar kok. Kebanyakan
yang baru tau emang kaget karena aku ‘kan masih terlalu muda untuk menikah.
Tapi, ya begitulah kenyataannya. Aku menikah dengannya ketika kami sama-sama
kuliah semester satu. Emang sih kami masih muda. Tapi, daripada pacaran gak
jelas dan banyak dosa, kami sama-sama memutuskan untuk menikah saja,” pak Nico
tersenyum bangga ketika menceritakan itu.
“Bapak merahasiakan pernikahan bapak?”
“Enggak tuh. Menikah ‘kan baik, kenapa
harus di rahasiakan? Nggak ada orang yang nanya sih aku udah menikah atau
belum, makanya nggak ada yang tau,”
“Kalo anak-anak yang lain tau, gimana
pak?”
“Ya nggak apa-apa,” jawab pak Nico lagi,
enteng. Aku melongo.
Astaga, jadi guruku yang manis
berkali-kali ini, yang di kejar-kejar sama temen-temenku sampek jungkir balik,
ternyata sudah menikah dan punya anak?!
Ah, tiba-tiba ... tuing! Aku merasakan
ada pelangi di atas kepalaku. Cerah, dan bahagia.
Bahagia? Ya! Pak Nico menikah atau
belum, bukan masalahku. Toh aku juga nggak tertarik dengannya. Masalahnya,
sekarang aku punya alasan yang tepat untuk melabrak sahabat-sahabatku! Mereka
selalu bilang bahwa pak Nico adalah cowok sempurna, cowok-paling-BERKUALITAS
yang cocok buatku, kenyataannya, nol besaaarrr! Mereka bahkan nggak tahu kalo
pak Nico sudah menikah.
“Permisi pak, saya harus segera pergi.
Sudah ditunggu sama temen-temen di bawah, nggak apa-apa ‘kan kalo saya pergi
duluan,” aku mohon diri. Pak Nico tersenyum dan mengangguk. Tanpa menunggu
komando, aku segera ngacir. Dalam perjalanan ke base camp, aku tak berhenti
tersenyum bahagia.
Sonya, Jihan, Fifi dan Olla, TAMAT
RIWAYAT KALIAN..!!!! HUA-HA-HA-HA-HAAA......
Sawahan, 19/12/2013
8.19
WIWIN W
Tidak ada komentar:
Posting Komentar