“Kita akan
bahagia bila melihat orang yang kita cintai bahagia, meskipun akhirnya ia
bersanding dengan orang lain.”
Aku sudah mendengar kalimat itu
ratusan kali. Entah dari omongan teman, atau dari status rekan-rekan di sosial
media. Dan menurutku, it’s totally
bulshit! Nonsense alias omong
kosong!
Bagaimana
mungkin kita bisa bahagia bila orang yang kita cintai bersanding dengan orang
lain? Kenyataan bahwa orang yang kita cintai setengah mati malah memilih bersama orang lain, bukankah itu menyakitkan?
Oh, ayolah. Tak perlu berpura-pura tegar. Merasa sakit
hati, terluka, berdarah-darah, itu manusiawi. Kenapa aku mengatakan ini? Karena
akupun mengalaminya.
Aku manusia biasa, dan aku akan jujur, aku takkan
pernah rela bila melihat orang yang kucintai hidup bahagia dengan orang lain!
***
Aku masih bergelung dengan selimut tebal di tempat
tidurku ketika Mimi datang berkunjung ke rumahku. Dan reaksi pertama yang ia
alami ketika melihat keadaanku adalah : menjerit! Shock!
Aku sudah seminggu ini mengurung diri di kamar. Aku
hanya akan meninggalkan tempat tidur untuk makan dan ke kamar kecil. Aku tidak
mandi, aku tidak ganti baju, aku tidak menyisir rambutku.
Jadi, bisa kau bayangkan keadaanku?
Menjijikkan.
Mengerikan.
Menyedihkan.
Patah hati. Itu alasan yang membuatku bertingkah
senewen seperti ini. Tepat seminggu yang lalu, aku putus dengan Reno. Cowok
paling keren di kampusku yang sudah kupacari selama hampir dua tahun. Alasannya
klise : orang tuaku.
Well, aku tidak bermaksud sombong. Tapi jika harus
mendeskripsikan tentang keberadaanku secara jujur, aku termasuk cewek high profile. Aku cantik, aku menarik,
aku pintar, dan tentu saja ... aku kaya. Oh, jangan salah paham. Maksudku,
orang tuaku-lah yang kaya. Mereka pengusaha sukses yang punya beberapa
perusahaan dan ribuan karyawan. Tapi, aku anak mereka. (Anak kandung, sumpah!) Jadi, apa yang mereka punya adalah milikku
juga ‘kan? So, biarpun orang tuaku yang kaya, tetap saja aku kecipratan kaya. (Serius...)
Sementara Reno, dia memang cowok paling keren dan
paling kece di kampus kami. Tapi satu-satunya alasan yang membuatnya bisa
kuliah di kampus – yang notabene adalah
kampus paling mahal se-Indonesia – adalah karena beasiswa. Yup, jika bukan
karena beasiswa, Reno tidak akan bisa kuliah di sini. Tahu alasannya? Karena
orang tuanya hanyalah buruh pabrik yang gajinya – mohon maaf – tidak ada
apa-apanya dibanding gaji pembantuku.
But, demi Tuhan Yang Maha Esa, apapun keadaannya, aku
mencintai cowok itu dengan tulus. Aku tak pernah memandangnya rendah ataupun
meremehkan keadaan finansialnya. Dia benar-benar cowok paling tampan, paling
baik, dan paling sempurna yang pernah ku temui. Sayangnya, pemikiranku tidak
selaras dengan papaku. Beliau bahkan mengatakan, walau harus dibawa ke liang
kubur, dia takkan memberi restu padaku dan juga Reno. Masalah strata, tentu
saja. Papaku menganggap bahwa masih banyak lelaki yang lebih baik dan lebih
mapan darinya. Dan dia tak pantas bersanding denganku. (Papa, please deh. Memangnya kita hidup di jaman feodal?)
Awalnya aku berontak. Dengan segala cara aku melawan
papaku. Aku percaya, dengan berjalannya waktu, papa pasti mau menerima Reno.
Tapi ternyata aku salah. Dia lebih keras kepala dari yang kuduga.
Beberapa minggu yang lalu papaku jatuh sakit. Dan
beliau mengatakan bahwa ia akan mati jika aku tetap melanjutkan hubunganku
dengan Reno.
Dan akhirnya, aku menyerah.
Dengan berderai air mata, aku menemui Reno, bicara
dengannya, dan mengatakan bahwa hubungan kami berakhir. Berakhir!
Hatiku remuk. Hancur berkeping-keping.
“Oh, astaga. Vanya!” Suara Mimi melengking. Ia
menarik-narik selimutku dan aku bergeming. “Ada apa denganmu? Kau ...
mengerikan.” Dengan kasar, ia menghempaskan pantatnya di sampingku.
“Seperti yang kau lihat? Aku patah hati.” Jawabku
cepat.
Mimi menarik nafas panjang frustasi. “Kamu aneh.
Kamulah orang yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan Reno. Kenapa
malah kamu yang harus patah hati?” Nada suaranya kesal. Aku menatapnya tak
kalah kesal.
“Aku memutuskannya bukan karena kemauanku, ingat? Itu
kehendak papaku.” Jawabku sengit.
“Tapi ini sudah satu minggu, Va? Setidaknya kamu harus
cepet move on. Kamu terpuruk terlalu
lama.” Ia mengomel. Aku menggigit bibir lalu menyentakkan selimut di kakiku.
“Orang sableng mana yang bisa move on hanya dalam waktu satu minggu setelah putus cinta? Aku
hancur, Mi. Berkeping-keping. Setidaknya, aku butuh waktu berminggu-minggu lagi
untuk pulih.” Ucapku.
“Itu kelamaan. Reno bahkan sudah selangkah lebih maju
darimu.”
Ucapan Mimi membuatku tersentak. Aku bangkit dengan
seketika lalu menatapnya dalam. “Maksudmu?” Keningku berkerut.
Mimi kembali menarik nafas panjang. Sengaja mengulur
waktu.
“Reno sudah masuk kuliah lagi setelah beberapa hari
sempat tak kelihatan batang hidungnya. Sejak 3 hari yang lalu ia sudah aktif di
kampus. Dan kamu tahu apa yang terjadi, ia sering jalan bareng dengan Teti.”
Aku menelengkan kepalaku dengan bingung.
“Teti siapa?” tanyaku heran.
“Teti. Anak teater juga, sama dengan Reno. Yang
rambutnya keriting sebahu,” jawab Mimi. Aku terdiam sesaat. Mencoba
mengutak-utak memori otakku untuk mencari gambaran tentang si Teti.
Teti siapa?
Jeremy Teti? (Penyiar berita itu? Bukankah dia
laki-laki?)
Teti Puspa? (Oh, Titik puspa kelesss....)
Teti...
Oh, aku ingat sekarang. Teti Andriani. Temen Reno
sejak es-em-a. Dia pernah cerita sedikit tentang dia.
“Itu tidak mungkin.” Aku segera beranjak turun dari
tempat tidur. Mimi menatapku bingung. “Mau kemana?”
“Aku ingin melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.”
Jawabku.
“Setidaknya kamu harus mandi dan berdandan dulu. Kamu
bau.” Teriaknya.
Langkahku terhenti di ambang pintu lalu tanpa berkata
apa-apa, aku berbalik arah menuju kamar mandi.
***
Mereka duduk berdampingan di bangku taman. Mengobrol
dengan akrab dan terlihat ... intim. Reno tertawa ketika mendengar Teti
bercerita tentang sesuatu hal. Begitu pula sebaliknya.
Teti, cewek berambut sebahu dan berkulit agak gelap.
Dia bahkan tidak cantik sama sekali!
Gigiku bergemerutuk dan tanganku mengepal. Setelah
menarik nafas berkali-kali, aku melangkahkan kakiku ke arah mereka.
“Ren, bisa bicara sebentar?” Aku menyela obrolan
mereka. Obrolan mereka terhenti dan mereka menatapku secara bersamaan. Reno
tampak kaget melihat kedatanganku, sementara Teti tampak sedikit bingung.
“Vanya?” panggilan itu keluar dari mulut Reno.
“Aku ingin bicara denganmu saja, berdua.” Aku melirik
ke arah Teti. Cewek itu seakan menerima sinyal rasa tak sukaku. Dengan kaku ia
berdiri.
“Kalau begitu, aku ke aula dulu ya, Ren. Kita
lanjutkan saja ngobrolnya nanti.” Ia berucap lalu pamit pada Reno, sembari
melirik ke arahku. Reno tersenyum lalu mengangguk.
Kami berpandangan.
“Oke, apa yang ingin kamu bicarakan? Apa masih ada hal
yang harus dibicarakan di antara kita?” ucapan Reno terdengar sedikit ketus.
“Baru seminggu kita putus dan kau sudah dekat dengan
cewek lain?” tanyaku langsung. Reno terkekeh. “Lalu aku harus bagaimana? Menangisimu?” jawabnya. “Aku
sudah berusaha bangkit dari luka akibat kau campakkan, Va. Dan aku sedang
berusaha untuk menatap ulang kehidupanku.” Lanjutnya.
“Aku tak bermaksud mencampakkanmu. Kau tahu bahwa aku
melakukan semua itu karena papaku.” Aku nyaris berteriak. Reno kembali terkekeh
sinis. Ia bahkan tidak berdiri dari tempat duduknya.
“Kenyataannya kau sudah membuat pilihan, Va. Kau
memilih menuruti orang tuamu dan melepasku. Jadi, mau bagaimana lagi? Tak ada
jalan lain selain menerima keputusanmu ‘kan?”
Kami kembali berpandangan. Aku merasakan air mataku
menitik.
“Apa kau tak mencintaiku lagi?” suaraku parau. Reno
tak menjawab.
“Aku hancur, Ren. Aku hancur, berkeping-keping. Ini tak
semudah yang kubayangkan. Menerima
kenyataan bahwa kau tak bersamaku ternyata lebih sulit daripada harus beradu
argumen dengan papaku seumur hidupku!” Aku berteriak. Air mataku mengalir
deras. Dan kedua mata Reno juga tampak berkaca-kaca.
Cowok itu bangkit. Tapi ia tak berusaha menenangkanku.
Ia bahkan tak menyentuhku, sama sekali.
Ia menelan ludah lalu menatapku lebih dalam.
“Dengar, Va. Akupun pernah mengalaminya. Ketika
kau memutuskanku, hatiku hancur berkeping-keping. Aku bahkan menangis meraung-raung
seperti bayi. Aku jatuh, jungkir balik. Tapi itu tak lama. Setelah sadar, aku
mulai merenung. Kenyataan bahwa kita begitu berbeda, benar-benar membuat mataku
terbuka. Aku mencintaimu, tapi cinta tidak harus diakhiri dengan kebersamaan
‘kan?” tatapan Reno lembut.
“Hatimu mungkin hancur berkeping-keping. Tapi
percayalah, kau akan mampu mengatasinya. Kau pasti bisa bangkit lagi. Menata
ulang kehidupanmu, hatimu. Dan jika suatu saat kau bertemu dengan cowok yang
lebih baik dariku, aku pasti akan mendoakan kebahagiaanmu. Dan jika kau
bahagia, percayalah, aku juga bahagia. Untukmu.” Ucapnya.
Aku balas menatapnya.
"Aku akan meninggalkan segalanya untukmu ...." ucapku parau.
Reno menggeleng lirih.
"Itu sudah terlambat Va ..." Jawabnya.
“Apa itu artinya kau sudah siap membuka hatimu untuk
cewek lain? Cewek tadi? Teti?” Aku nyerocos. Reno mengangkat bahu. “Aku tak
tahu. Tapi jika itu terjadi, suatu saat nanti aku siap untuk jatuh cinta lagi.
Aku siap untuk menata ulang kehidupanku.” Jawabnya.
Aku menatapnya tajam.
“Dan aku tidak akan pernah rela,” ujarku.
“Va ...”
“Aku mencintaimu, dan aku takkan pernah rela melihatmu
bahagia dengan cewek manapun!” teriakku.
“Vanya ....” Suara Reno terdengar lembut. Tangannya
terulur berusaha menyentuh lenganku, namun aku mundur beberapa langkah. Ku
tatap lurus ke arah matanya.
“Jika suatu saat nanti kau harus jatuh cinta lagi,
maka jatuh cintalah lagi denganku. Jika suatu saat nanti kau ingin memulai
segalanya dari awal, maka mulailah lagi segalanya dari awal, denganku.”
Jawabku.
“Reno ... dulu,
akulah orang yang telah mengejar cintamu. Dan sekarang, jika harus melakukannya
lagi, aku tak keberatan. Bahkan jika kau sudah tak punya cinta lagi untukku,
aku akan mengerahkan seluruh tenagaku, demi bisa membuatmu jatuh cinta lagi
padaku. Camkan itu.” Aku berbalik, lalu beranjak meninggalkan Reno dengan air
mata yang terus bercucuran.
Aku tidak bercanda.
Aku serius.
Aku takkan pernah rela melihatnya bahagia dengan
perempuan lain.
Dan jika harus mengerahkan seluruh energiku demi bisa
mendapatkannya
kembali, akan kulakukan.
Aku cantik dan pintar.
Dan aku pasti mampu membuatnya jatuh cinta lagi
padaku.
Pasti.
Selesai.
Wiwin
Setyobekti
0.50
26/03/2015
gambar : Ming Dao