Kamis, 26 Maret 2015

[Cerpen] Aku tak rela kau bahagia



“Kita akan bahagia bila melihat orang yang kita cintai bahagia, meskipun akhirnya ia bersanding dengan orang lain.”

            Aku sudah mendengar kalimat itu ratusan kali. Entah dari omongan teman, atau dari status rekan-rekan di sosial media. Dan menurutku, it’s totally bulshit! Nonsense alias omong kosong!
Bagaimana mungkin kita bisa bahagia bila orang yang kita cintai bersanding dengan orang lain? Kenyataan bahwa orang yang kita cintai setengah mati malah memilih bersama orang lain, bukankah itu menyakitkan?
Oh, ayolah. Tak perlu berpura-pura tegar. Merasa sakit hati, terluka, berdarah-darah, itu manusiawi. Kenapa aku mengatakan ini? Karena akupun mengalaminya.
Aku manusia biasa, dan aku akan jujur, aku takkan pernah rela bila melihat orang yang kucintai hidup bahagia dengan orang lain!

***

Aku masih bergelung dengan selimut tebal di tempat tidurku ketika Mimi datang berkunjung ke rumahku. Dan reaksi pertama yang ia alami ketika melihat keadaanku adalah : menjerit! Shock!
Aku sudah seminggu ini mengurung diri di kamar. Aku hanya akan meninggalkan tempat tidur untuk makan dan ke kamar kecil. Aku tidak mandi, aku tidak ganti baju, aku tidak menyisir rambutku.
Jadi, bisa kau bayangkan keadaanku?
Menjijikkan.
Mengerikan.
Menyedihkan.

Patah hati. Itu alasan yang membuatku bertingkah senewen seperti ini. Tepat seminggu yang lalu, aku putus dengan Reno. Cowok paling keren di kampusku yang sudah kupacari selama hampir dua tahun. Alasannya klise : orang tuaku.
Well, aku tidak bermaksud sombong. Tapi jika harus mendeskripsikan tentang keberadaanku secara jujur, aku termasuk cewek high profile. Aku cantik, aku menarik, aku pintar, dan tentu saja ... aku kaya. Oh, jangan salah paham. Maksudku, orang tuaku-lah yang kaya. Mereka pengusaha sukses yang punya beberapa perusahaan dan ribuan karyawan. Tapi, aku anak mereka. (Anak kandung, sumpah!) Jadi, apa yang mereka punya adalah milikku juga ‘kan? So, biarpun orang tuaku yang kaya, tetap saja aku kecipratan kaya. (Serius...)
Sementara Reno, dia memang cowok paling keren dan paling kece di kampus kami. Tapi satu-satunya alasan yang membuatnya bisa kuliah di kampus – yang notabene  adalah kampus paling mahal se-Indonesia – adalah karena beasiswa. Yup, jika bukan karena beasiswa, Reno tidak akan bisa kuliah di sini. Tahu alasannya? Karena orang tuanya hanyalah buruh pabrik yang gajinya – mohon maaf – tidak ada apa-apanya dibanding gaji pembantuku.
But, demi Tuhan Yang Maha Esa, apapun keadaannya, aku mencintai cowok itu dengan tulus. Aku tak pernah memandangnya rendah ataupun meremehkan keadaan finansialnya. Dia benar-benar cowok paling tampan, paling baik, dan paling sempurna yang pernah ku temui. Sayangnya, pemikiranku tidak selaras dengan papaku. Beliau bahkan mengatakan, walau harus dibawa ke liang kubur, dia takkan memberi restu padaku dan juga Reno. Masalah strata, tentu saja. Papaku menganggap bahwa masih banyak lelaki yang lebih baik dan lebih mapan darinya. Dan dia tak pantas bersanding denganku. (Papa, please deh. Memangnya kita hidup di jaman feodal?)
Awalnya aku berontak. Dengan segala cara aku melawan papaku. Aku percaya, dengan berjalannya waktu, papa pasti mau menerima Reno. Tapi ternyata aku salah. Dia lebih keras kepala dari yang kuduga.
Beberapa minggu yang lalu papaku jatuh sakit. Dan beliau mengatakan bahwa ia akan mati jika aku tetap melanjutkan hubunganku dengan Reno.
Dan akhirnya, aku menyerah.
Dengan berderai air mata, aku menemui Reno, bicara dengannya, dan mengatakan bahwa hubungan kami berakhir. Berakhir!
Hatiku remuk. Hancur berkeping-keping. 


“Oh, astaga. Vanya!” Suara Mimi melengking. Ia menarik-narik selimutku dan aku bergeming. “Ada apa denganmu? Kau ... mengerikan.” Dengan kasar, ia menghempaskan pantatnya di sampingku.
“Seperti yang kau lihat? Aku patah hati.” Jawabku cepat.
Mimi menarik nafas panjang frustasi. “Kamu aneh. Kamulah orang yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan Reno. Kenapa malah kamu yang harus patah hati?” Nada suaranya kesal. Aku menatapnya tak kalah kesal.
“Aku memutuskannya bukan karena kemauanku, ingat? Itu kehendak papaku.” Jawabku sengit.
“Tapi ini sudah satu minggu, Va? Setidaknya kamu harus cepet move on. Kamu terpuruk terlalu lama.” Ia mengomel. Aku menggigit bibir lalu menyentakkan selimut di kakiku.
“Orang sableng mana yang bisa move on hanya dalam waktu satu minggu setelah putus cinta? Aku hancur, Mi. Berkeping-keping. Setidaknya, aku butuh waktu berminggu-minggu lagi untuk pulih.” Ucapku. 
“Itu kelamaan. Reno bahkan sudah selangkah lebih maju darimu.”
Ucapan Mimi membuatku tersentak. Aku bangkit dengan seketika lalu menatapnya dalam. “Maksudmu?” Keningku berkerut.
Mimi kembali menarik nafas panjang. Sengaja mengulur waktu.
“Reno sudah masuk kuliah lagi setelah beberapa hari sempat tak kelihatan batang hidungnya. Sejak 3 hari yang lalu ia sudah aktif di kampus. Dan kamu tahu apa yang terjadi, ia sering jalan bareng dengan Teti.”
Aku menelengkan kepalaku dengan bingung.
“Teti siapa?” tanyaku heran.
“Teti. Anak teater juga, sama dengan Reno. Yang rambutnya keriting sebahu,” jawab Mimi. Aku terdiam sesaat. Mencoba mengutak-utak memori otakku untuk mencari gambaran tentang si Teti.
Teti siapa?
Jeremy Teti? (Penyiar berita itu? Bukankah dia laki-laki?)
Teti Puspa? (Oh, Titik puspa kelesss....)
Teti...
Oh, aku ingat sekarang. Teti Andriani. Temen Reno sejak es-em-a. Dia pernah cerita sedikit tentang dia.
“Itu tidak mungkin.” Aku segera beranjak turun dari tempat tidur. Mimi menatapku bingung. “Mau kemana?”
“Aku ingin melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.” Jawabku.
“Setidaknya kamu harus mandi dan berdandan dulu. Kamu bau.” Teriaknya.
Langkahku terhenti di ambang pintu lalu tanpa berkata apa-apa, aku berbalik arah menuju kamar mandi.

***

Mereka duduk berdampingan di bangku taman. Mengobrol dengan akrab dan terlihat ... intim. Reno tertawa ketika mendengar Teti bercerita tentang sesuatu hal. Begitu pula sebaliknya.
Teti, cewek berambut sebahu dan berkulit agak gelap. Dia bahkan tidak cantik sama sekali!
Gigiku bergemerutuk dan tanganku mengepal. Setelah menarik nafas berkali-kali, aku melangkahkan kakiku ke arah mereka.
“Ren, bisa bicara sebentar?” Aku menyela obrolan mereka. Obrolan mereka terhenti dan mereka menatapku secara bersamaan. Reno tampak kaget melihat kedatanganku, sementara Teti tampak sedikit bingung.
“Vanya?” panggilan itu keluar dari mulut Reno.
“Aku ingin bicara denganmu saja, berdua.” Aku melirik ke arah Teti. Cewek itu seakan menerima sinyal rasa tak sukaku. Dengan kaku ia berdiri.
“Kalau begitu, aku ke aula dulu ya, Ren. Kita lanjutkan saja ngobrolnya nanti.” Ia berucap lalu pamit pada Reno, sembari melirik ke arahku. Reno tersenyum lalu mengangguk.
Kami berpandangan.
“Oke, apa yang ingin kamu bicarakan? Apa masih ada hal yang harus dibicarakan di antara kita?” ucapan Reno terdengar sedikit ketus.
“Baru seminggu kita putus dan kau sudah dekat dengan cewek lain?” tanyaku langsung. Reno terkekeh. “Lalu aku  harus bagaimana? Menangisimu?” jawabnya. “Aku sudah berusaha bangkit dari luka akibat kau campakkan, Va. Dan aku sedang berusaha untuk menatap ulang kehidupanku.” Lanjutnya.
“Aku tak bermaksud mencampakkanmu. Kau tahu bahwa aku melakukan semua itu karena papaku.” Aku nyaris berteriak. Reno kembali terkekeh sinis. Ia bahkan tidak berdiri dari tempat duduknya.
“Kenyataannya kau sudah membuat pilihan, Va. Kau memilih menuruti orang tuamu dan melepasku. Jadi, mau bagaimana lagi? Tak ada jalan lain selain menerima keputusanmu ‘kan?”
Kami kembali berpandangan. Aku merasakan air mataku menitik.
“Apa kau tak mencintaiku lagi?” suaraku parau. Reno tak menjawab.
“Aku hancur, Ren. Aku hancur, berkeping-keping. Ini tak semudah yang kubayangkan.  Menerima kenyataan bahwa kau tak bersamaku ternyata lebih sulit daripada harus beradu argumen dengan papaku seumur hidupku!” Aku berteriak. Air mataku mengalir deras. Dan kedua mata Reno juga tampak berkaca-kaca.
Cowok itu bangkit. Tapi ia tak berusaha menenangkanku. Ia bahkan tak menyentuhku, sama sekali.
Ia menelan ludah lalu menatapku lebih dalam.
“Dengar, Va. Akupun pernah mengalaminya. Ketika kau memutuskanku, hatiku hancur berkeping-keping. Aku bahkan menangis meraung-raung seperti bayi. Aku jatuh, jungkir balik. Tapi itu tak lama. Setelah sadar, aku mulai merenung. Kenyataan bahwa kita begitu berbeda, benar-benar membuat mataku terbuka. Aku mencintaimu, tapi cinta tidak harus diakhiri dengan kebersamaan ‘kan?” tatapan Reno lembut.
“Hatimu mungkin hancur berkeping-keping. Tapi percayalah, kau akan mampu mengatasinya. Kau pasti bisa bangkit lagi. Menata ulang kehidupanmu, hatimu. Dan jika suatu saat kau bertemu dengan cowok yang lebih baik dariku, aku pasti akan mendoakan kebahagiaanmu. Dan jika kau bahagia, percayalah, aku juga bahagia. Untukmu.” Ucapnya.
Aku balas menatapnya. 
"Aku akan meninggalkan segalanya untukmu ...." ucapku parau.
Reno menggeleng lirih.
"Itu sudah terlambat Va ..." Jawabnya.
“Apa itu artinya kau sudah siap membuka hatimu untuk cewek lain? Cewek tadi? Teti?” Aku nyerocos. Reno mengangkat bahu. “Aku tak tahu. Tapi jika itu terjadi, suatu saat nanti aku siap untuk jatuh cinta lagi. Aku siap untuk menata ulang kehidupanku.” Jawabnya.
Aku menatapnya tajam.
“Dan aku tidak akan pernah rela,” ujarku.
“Va ...”
“Aku mencintaimu, dan aku takkan pernah rela melihatmu bahagia dengan cewek manapun!” teriakku.
“Vanya ....” Suara Reno terdengar lembut. Tangannya terulur berusaha menyentuh lenganku, namun aku mundur beberapa langkah. Ku tatap lurus ke arah matanya.
“Jika suatu saat nanti kau harus jatuh cinta lagi, maka jatuh cintalah lagi denganku. Jika suatu saat nanti kau ingin memulai segalanya dari awal, maka mulailah lagi segalanya dari awal, denganku.” Jawabku.
“Reno ...  dulu, akulah orang yang telah mengejar cintamu. Dan sekarang, jika harus melakukannya lagi, aku tak keberatan. Bahkan jika kau sudah tak punya cinta lagi untukku, aku akan mengerahkan seluruh tenagaku, demi bisa membuatmu jatuh cinta lagi padaku. Camkan itu.” Aku berbalik, lalu beranjak meninggalkan Reno dengan air mata yang terus bercucuran.
Aku tidak bercanda.
Aku serius.
Aku takkan pernah rela melihatnya bahagia dengan perempuan lain.
Dan jika harus mengerahkan seluruh energiku demi bisa mendapatkannya
kembali, akan kulakukan.
Aku cantik dan pintar.
Dan aku pasti mampu membuatnya jatuh cinta lagi padaku.
Pasti.


Selesai.


Wiwin Setyobekti
0.50
26/03/2015


gambar : Ming Dao

Rabu, 11 Maret 2015

[Cerpen] Menikahlah Denganku, Lagi.



            Aku memperlambat langkah kakiku ketika aku menyaksikan puluhan buket bunga berjejer di sepanjang jalan menuju meja kerjaku. Mawar putih, bunga kesukaanku.
“Untukmu semua.” Wina, rekan kerjaku yang meja kerjanya bersebelahan denganku,  membuka suara sambil menunjuk ke arah buket-buket bunga tersebut. Aku menatapnya tak mengerti.
“Baca saja kalau tak percaya,” ia menganjurkan sambil mengambil kartu ucapan dari salah satu buket bunga tersebut.
“Nih,” ia menyodorkannya ke arahku.
“Orang sinting mana yang berniat memindahkan toko bunga ke tempat kerjaku?” gerutuku sambil menyambar kartu ucapan tersebut.
“Kau kenal dekat dengannya. Bahkan pernah ter-a-mat dekat.” Wina kembali  berkata-kata, terdengar sebal.
Bibirku berdecak sambil membalik kartu ucapan tersebut lalu mulai membacanya. Dan mataku segera membelalak. Wina benar, pengirimnya adalah orang yang ku kenal dekat, terlampau dekat malahan.

Untukmu yang tercinta, Naiya...
Dari : Reihan.

Aku menatap Wina dengan kaget. “Mantan suamiku?!” teriakku bingung. Dan Wina cuma mengangguk, mengiyakan. Oh tidak.

***

            Sosok itu berdiri di sana. Di sisi jalan masuk tempatku bekerja. Tatapannya lurus ke arahku. Ia tersenyum lalu melambaikan tangannya. Aku berdiri, mematung, terkejut. Dan otakku masih waras untuk tak membalas senyumannya.
            Beberapa tahun telah berlalu tapi sosok itu masih saja terlihat ... hot. Tatapan matanya teduh menenangkan. Senyumnya juga masih terlihat menawan. Penampilannya masih terkesan sama. Tidak terlalu rapi dan terkesan laki-laki. Celana linen berwarna gelap yang disetrika licin dan dipadukan dengan kemeja abu-abu dengan lengan digulung sampai siku. Kancing kemeja atasnya terbuka hingga dasi yang ia kenakan terlihat sedikit kedodoran. Rambutnya sedikit messy, dan wajahnya seperti orang yang belum bercukur selama beberapa hari hingga beberapa rambut mulai tumbuh di daerah rahangnya. Damn, ia masih saja terlihat ... menawan.
            Aku menelan ludah dan berusaha mendapatkan akal sehatku kembali. Oh, dia mantan suamiku! Orang yang telah mengkhianatiku, menghancurkan hatiku.
Tapi ... ini ibarat kau puasa selama 24 jam penuh, kemudian kau dihadapkan pada serangkaian menu berbuka puasa yang menggiurkan, lengkap dengan puding dan es buah, tentu kau ingin menyantapnya ‘kan?
Nah, itu yang kurasakan saat ini. Aku ingin menyantap orang ini!  Reihan, mantan suamiku, lelaki sempurna super seksi yang dulu pernah membuatku jatuh cinta setengah mati – meskipun sekarang masih – tapi kemudian ia menghancurkan hatiku berkeping-keping dan meninggalkanku demi wanita lain!
            “Kau menerima bungaku? Surat-suratku?”
            Aku tergagap. Suara itu membuyarkan lamunanku. Dan aku baru menyadari bahwa sekarang dia sudah berdiri di hadapanku. Kapan dia melangkah ke sini?
“Naiya?” Ia kembali memanggil, kali ini membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku mundur beberapa langkah dengan gugup, lalu tanpa berkata-kata aku beranjak melewati dirinya menuju trotoar untuk segera menunju halte bis.
Reihan berlari mengejarku. Tapi ia tak menghalauku, melainkan malah menyamai langkahku.
“Bisa kita bicara sebentar?” Ia kembali berkata.
“Tidak.” Jawabku pendek, tanpa melihat ke arahnya.
“Please.”
“Tidak!” Aku menghentakkan sepatuku ke tanah lalu berhenti, memutar tubuhku ke arahnya dan menatapnya dengan kesal. Lelaki itu menatapku dengan tatapan yang masih sama dengan beberapa menit yang lalu. Dan tatapan itu benar-benar menggoda. Oh, orang – santapan – sialan!
Nah, otakku kacau ‘kan sekarang?
            “Dengar, aku tahu kemana arah pembicaraanmu. Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku anak kecil? Kau mengirimiku berbuket-buket bunga, mengirimiku kartu ucapan dengan kalimat-kalimat manis, mengatakan kau mencintaiku, oh, rayuan gombal! Yang jelas itu semua bukan permohonan maaf ‘kan? Kenapa? Kau ingin kembali padaku? Apa kau ada masalah dengan perempuan itu? Apa kalian bertengkar? Atau ... perempuan itu meninggalkanmu?” Aku berdecak sinis.
“Aku sudah bercerai dengan ...”
“Jangan berani-berani menyebut namanya di depanku!” Aku berteriak.  Reihan mengangkat bahu. “Oke.” Jawabnya cepat. “Aku bercerai dengan perempuan – itu.” Lanjutnya. Aku terkekeh sinis.
“Sudah kuduga. Bedebah. Bajingan tengik.” Aku mengutuk lalu kembali beranjak. Dan dia tetap saja menyamai langkahku.
“Kau tak ingin tahu dengan apa yang terjadi dengan kami?”
“Tidak.” Jawabku pendek.
“Setidaknya biarkan aku menjelaskan segalanya padamu.”
“Maaf, itu bukan urusanku.” Aku menjawab tak kalah ketus.
“Beri aku kesempatan lagi, Nai. Aku ingin menebus dosaku padamu.” Kali ini ia menarik lengan tanganku dan menatapku dengan dalam. Aku balas menatapnya dengan rahang mengeras.
“Tidak.” Jawabku lagi seraya menarik tanganku dari genggamannya. Karena frustasi, aku urung melangkahkan kakiku ke halte bis dan malah menghentikan taksi yang melintas. Tanpa bicara, tanpa melihat lagi ke arahnya, aku segera meminta pak sopir untuk meluncur, meninggalkannya.
            Well, seperti yang sudah kalian dengar, lelaki tadi memang lelaki yang pernah mencampakkanku. 2  tahun yang lalu, ia menceraikanku demi wanita lain.
Aku tidak menyalahkannya sepenuhnya atas semua itu. Karena, yaa... begitulah. Waktu itu kami memang mengalami masa-masa sulit. Melewati pacaran yang termasuk singkat, hanya 3 bulan, lalu kami buru-buru memutuskan untuk menikah tanpa terlebih dahulu memahami karakter satu sama lain. Pernikahan kami waktu itu hanya didasari satu hal : kami saling jatuh cinta setengah mati!
Tapi cinta hanyalah cinta. Ketika memasuki pernikahan yang sebenarnya, kami kewalahan. Kami sering cekcok. Tapi meskipun begitu, kami selalu menemukan cara alami untuk berbaikan kembali. Cinta.
            Tapi kemudian semua berantakan. Usia pernikahan kami baru memasuki tahun kedua ketika Reihan tergoda dengan sekretaris pribadinya yang cantik, bahenol, dan ... jalang. Dan singkat kata,  dia meninggalkanku demi wanita itu.
            Tapi aku sadar, sedalam apapun luka yang telah ia torehkan padaku, aku tetap saja jatuh cinta setengah mati dengan lelaki itu!
            Can’t help...

***

            Aku terperangah menyaksikan taburan kelopak bunga mawar di sepanjang koridor menuju ruang kerjaku. Kelopak mawar, asli! Membentang dari ujung lorong hingga ujung yang satunya. Bisa kau bayangkan itu?
            Taburan mawar putih di sisi kanan dan kiri, sementara bagian tengah dipenuhi mawar merah yang sengaja dibentuk dengan bentuk – hati. Dan tepat di tengah-tengah bunga berbentuk hati itu, ada kelopak mawar putih yang ditata menjadi tulisan. Mau tau tulisannya apa?

    R loves N
Forever

            Perlu kujelaskan inisial huruf tersebut? ‘R’ berarti Reihan, dan ‘N’ berarti Naiya, aku. Nah, sudah jelas ‘kan berarti siapa pelaku tindakan norak, alay bin jablay seperti ini?     
            Ya Tuhan, aku mendesis dalam hati.
            “Ya Tuhan,” Wina yang berdiri di sampingku, seolah ingin mengulangi desis hatiku. Ia juga tak kalah terperangah. “Nai, ini bener-bener....”
“Ya, Ya, Ya, aku tahu. Ini norak, ini sinting, ini lebay, ini bener-bener ....”
“Tidak. Justru sebaliknya. Ini bener-bener ... romantis.” Wina terkikik.
Aku mendelik dan menatap sahabatku itu dengan alis bertaut tak mengerti. What?
Aku memutar bola mataku dengan kesal. Romantis? Oh, please deh. Orang sinting mana yang masih melakukan cara norak seperti ini untuk menarik perhatian seorang perempuan.
            “Mana petugas kebersihan?! Singkirkan benda-benda konyol ini, segeraaa!” Aku berteriak seraya melangkahkan kakiku menyusuri taburan bunga itu sambil sesekali menyurukkan ujung sepatuku ke gundukan bunga berbentuk hati - dengan sengaja.  Berantakan, biarkan saja.
            “Naiii, apa yang kau lakukan? Bunga itu cantik.” Wina berteriak histeris. Aku menatapnya kesal. “Cantik? Ini mengganggu. Panggil petugas kebersihan untuk membersihkan semua ini. Se-ge-ra.” Rahangku mengeras.
“Kau tak ingin tahu siapa yang melakukan hal manis seperti ini?” bu Risma, atasanku, muncul dari balik pintu. Aku menatapnya lurus. “Tak perlu memberitahuku siapa orangnya, bu. Saya sudah tahu.” Jawabku.
“Aku yang memberinya ijin untuk melakukan ini. Menata bunga dengan manis seperti ini.” Ia melanjutkan. Keningku kembali mengernyit. Aku menatap perempuan setengah baya itu dengan tak mengerti. Beliau hanya mengangkat bahu cuek.
“Well, dia bilang dia sedang mencari cara agar kau mau bertemu dan berbicara dengannya. Dan cara ini yang ia pilih. Romantis kan?” ucapnya lagi. Aku menggigit bibir.
“Oke, maaf bu. Ini takkan terulang, saya jamin. Saya akan meminta padanya untuk tidak melakukan hal-hal memalukan seperti ini lagi. Ini benar-benar ...”
“Tunggu. Jangan temui dia dulu, oke?” bu Risma memotong kalimatku. Aku kembali mengernyit. Eh?
“Kau tahu, belakangan ini kita semua sedang kelelahan karena pekerjaan yang begitu menumpuk. Berada di kantor benar-benar ... membosankan. Tapi akhir-akhir ini suasana kantor berubah menjadi begitu feminin, harum, ceria dan ... romantis. Semua ini berkat ratusan buket bunga yang telah dikirimkan oleh mantan suamimu. Jadi, jangan temui mantan suamimu dulu agar dia terus rajin mengirimkan bunga ke sini. Selain karena menambah keindahan, bunga-bunga yang ia kirimkan cantik sekali.” Bu Risma tersenyum manis. Aku melongo.
“Buatlah dia agar rajin mengirim berbuket-buket bunga ke sini sekitar seminggu lagi. Taburan bunga seperti ini juga malah bagus. Oke?” Bu Risma kembali tersenyum tanpa dosa lalu berbalik, dan tubuhnya menghilang di balik pintu.
Aku menoleh ke arah Wina dengan bingung, sahabatku itu hanya terkikik seraya mengangguk. Ketika aku membuang pandanganku ke sepanjang lorong, beberapa kepala menyembul dari jendela dan juga pintu. Mereka, yang rata-rata perempuan dan notabene adalah rekan kerjaku yang paling baik, menatap ke arahku, tersenyum, lalu juga mengangguk. Senyuman mereka seolah mengatakan : Kami setuju. Buat mantan suamimu mengirim bunga ke sini selama seminggu. Kami butuh hiburan. Titik.
            Bahuku terkulai lemas. Frustasi, aku mendengus kesal seraya mengacak-acak rambutku yang tadinya sudah tersanggul rapi.  Ini yang sableng siapa sih?

*** 


            Aku tetap ngotot untuk menolak bertemu dan berbicara dengan Reihan. Dan edisi buket bunga – beserta taburannya itu – telah terjadi persis selama seminggu. Mungkin karena merasa cara seperti itu tak mempan, Reihan mengubah strategi. Tidak lagi menggunakan bunga, tapi kali ini menggunakan : band.
            Kami tercengang ketika keesokan paginya, kami menemukan sebuah stage megah yang telah berdiri di halaman gedung. Stage itu nyaris sebesar stage mini konser band-band ternama di Indonesia. Di stage itu tertulis dengan jelas sebuah pesan yang ditulis dengan huruf kapital : UNTUKMU TERCINTA, NAIYA.
Penyanyi band membawakan lagu-lagu dengan begitu apik. Dan lagu-lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu-lagu dari band favoritku, Maroon 5. Mulai dari lagu This love, Lucky Strike, Makes me wonder, Never gonna Leaves This Bed, Won’t Go Home Without You, One More Night hingga Maps. Dan mereka menyanyikan lagu-lagu itu secara medley dari sejak kantor dibuka hingga ditutup, selama 3 hari! Bisa kau bayangkan itu?
            Reaksi teman-teman sekantor? Oh, jangan ditanya lagi. Mereka girang bukan kepalang. Mendapat hiburan gratis, itu dalih mereka. Beberapa orang bahkan mengusulkan untuk mendatangan Maroon 5 yang asli. Sinting!

Aku akan selalu mengganggu kehidupanmu sampai kau jenuh. Sampai kau mau bertemu denganku, berbicara denganku, dan memberiku kesempatan untuk kembali padamu. Tak jadi soal bila aku harus bangkrut untuk melakukan itu semua.

Itu pesan singkat yang kuterima dari Reihan setelah edisi band tetap tak membuatku luluh.
            Tapi keesokan paginya, kesabaranku nyaris mulai habis ketika aku menemukan sebuah papan reklame terpampang di depan kantorku. Sebuah papan reklame sebesar papan reklame rokok yang biasa terpasang di pinggir jalan. Barisan kalimat tertulis dengan (lagi-lagi) huruf kapital di sana.

            AKU MENCINTAIMU, NAI. KEMBALILAH PADAKU.

Dengan kesal, aku mengambil phonselku dan menelpon lelaki itu.
“Di mana kau sekarang?” Aku segera nyerocos begitu panggilanku diterima.
“Kau ingin menemuiku?”
“DI MANA KAU SEKARANG?!” Aku berteriak.
“Hotel Royal, VVIP room.”
Tanpa berkata-kata lagi, panggilan ku akhiri dan aku segera berlari memanggil taksi.

***

            Begitu pintu dibuka, aku segera menyeruak masuk, mendorong tubuh Reihan dan memukul dadanya berkali-kali.
“Kau sinting! Kau gila! Kau bedebah! Kenapa kau lakukan ini padaku?! Kenapa?” Pukulanku kembali bersarang di dadanya yang bidang. Ia mengenakan t-shirt lengan pendek berwarna putih. Dan dia tak berusaha menghindari pukulanku sama sekali.
“Aku membencimu. Kau bajingan tengik! Kenapa kau harus muncul lagi di hadapanku!” Kali ini suaraku bergetar. Aku sadar air mataku sudah mengalir deras. Dan tak butuh waktu lama hingga akhirnya tangisku pecah. Pukulanku yang tadinya membabi buta kini melemah. Kedua lenganku terkulai.
            Tanpa mengatakan apapun Reihan bergerak, meremas bahuku lalu meraih tubuhku ke pelukannya. Ia membelai kepalaku dengan lembut. Dan aku menangis di dekapannya, air mataku membasahi kaos t-shirtnya. Adegan itu berlangsung beberapa menit. Aku menangis, dan Reihan menenangkanku.
            “Duduklah.” Suara Reihan pelan. Ia membimbingku duduk di sebuah sofa yang berada di dekat jendela. Lelaki itu menyentuh pipiku dan membantu menghapus air mataku.
            “Mau minum?” Ia kembali bertanya lirih. Aku menggeleng.
            “Sekarang, bisa aku bicara?” Ia menelengkan kepalanya dan menatap lurus ke arahku dengan tatapan lembut. Aku sesenggukan, lalu mengangguk.
Reihan meraih kedua tanganku lalu menggenggamnya erat.
“Aku memang bersalah padamu, sayang. Sebuah kesalahan fatal. Dan aku ingin menebusnya, dengan cara apapun, dengan seluruh hidupku.” Ucapnya.
“Aku sudah berpisah dengan wanita itu, sejak satu setengah tahun yang lalu. Hubungannku dengannya hanya bertahan 6 bulan. Karena akhirnya aku sadar, perempuan yang aku cintai adalah kau. Bukan dia.” Ia mengelus punggung tanganku dengan lembut.
“Sejak berpisah dengannya, aku senantisa mencari kabar tentangmu secara sembunyi-sembunyi. Aku tahu kau tidak pernah berkencan dengan lelaki manapun sejak bercerai denganku. Hal inilah yang membuatku mantap untuk datang padamu lagi. Aku tidak malu untuk mengemis cinta padamu, sayang. Karena kenyataannya memang aku begitu mencintaimu, sepenuh hatiku. Jadi, tolong beri aku kesempatan. Aku ingin kembali padamu.” Lelaki itu mengecup punggung tanganku dengan lembut.
Aku tak segera menjawab.
“Aku ingin memiliki hatimu lagi, Nai. Kumohon.”
Aku menggigit bibirku, lalu menggeleng pelan. “Aku tak bisa.” Jawabku lirih.
“Kenapa?” Reihan mempererat genggaman tangannya. Aku kembali menggeleng.
“Kau sudah menghancurkan hatiku berkeping-keping, Rei. Jadi tak ada lagi yang bisa kuberikan padamu.” Jawabku.
“Karena itu, biarkan aku menyatukan kepingan-kepingan itu lagi, satu persatu. Aku yang menghancurkan hatimu dan biarkan aku yang akan memperbaikinya.” Ia menjawab dengan tulus. Aku terdiam. Perlahan aku melepaskan genggaman tangan Reihan lalu bangkit. Aku beranjak menuju dekat jendela dan membuang pandanganku, menatap hamparan gedung yang menjulang di mana-mana.
“Kenapa kau tinggal di sini?” tanyaku kemudian. Tiba-tiba aku seolah baru tersadar dengan keanehan ini. Kenapa Reihan menginap di hotel? Toh ia punya apartemen yang jaraknya hanya sekitar 5 kilometer dari sini.
“Aku sudah tak punya apa-apa lagi.” Reihan menjawab. Aku terbelalak. Hah? Serta merta aku memutar tubuhku dan melihat lelaki itu sudah berdiri di hadapanku.
“Apa maksudmu? Kau bangkrut?” tanyaku to-the-point.
“Tidak, itu ...”
Aku melotot. “Tunggu! Apa jangan-jangan kau bangkrut, lalu datang kepadaku? Begitu? Apa perempuan itu sudah menguras habis semua hartamu?” aku nyaris kembali berteriak.
Reihan tersenyum lalu menggeleng. “Tidak, bukan seperti itu.”
“Lantas?” Aku bertanya tak sabar.
“Aku sudah menjual semuanya. Properti, rumah, vila, apartemen, mobil, aku sudah menjualnya, semuanya. Tak ada lagi yang tersisa.”
“Apa maksudmu tak ada lagi yang tersisa? Kenapa kau lakukan itu? Apa kau punya banyak hutang? Kau bangkrut? Kau ...?”
“Uang hasil penjualannya sudah ku transfer ke rekeningmu.”
“Iya, tapi tetap saja ....” Aku melotot dan kalimatku terhenti. “KAU BILANG APA?!!” Aku berteriak.
Reihan manggut-manggut.
“Semua uangnya sudah ku transfer ke rekeningmu. Kau tak tahu?”
Aku melongo. “Kapan?” aku menggumam tak sadar.
“Sekitar sebulan yang lalu.” Reihan menjawab enteng.
“Kenapa?”
Reihan mengangkat bahu. Ia bergerak mendekatiku, meraih kedua tanganku lalu menggenggamnya erat.
“Karena aku ingin mempercayakan hidupku padamu. Jadi aku memberikan semua yang aku punya. Jiwa, raga, harta benda, semuanya.” Ucapnya lagi.   
Aku mematung, bingung. Apa-apaan ini?
“Lalu pekerjaanmu?” tanyaku kemudian.
“Masih. Aku masih punya pekerjaan yang mapan. Sekarang, hanya itu yang aku punya. Percayalah, gajiku masih lebih dari cukup untuk menghidupimu.” Jawabnya.
“Jadi, menikahlah denganku lagi, Nai.” Ia menatapku dengan penuh harap. “Kumohon.” Lanjutnya.
            Aku tak segera menjawab. Hening sesaat.
“Kau akan menyatukan kembali serpihan hatiku yang telah hancur berkeping-keping?” Akhirnya, pertanyaan itu yang meluncur dari mulutku. Reihan mengangguk.
“Bahkan jika itu akan membutuhkan yang lama?”
Lelaki itu kembali mengangguk.
“Aku akan menyatukannya, perlahan-lahan, satu demi satu, sampai hati itu utuh kembali. Tapi kau harus berjanji, jika hati itu telah kembali utuh, kau harus membiarkanku memilikinya, selamanya.” Jawabnya.
Kami berpandangan. Aku terdiam. Tapi Reihan tahu, diamku bertarti ‘ya’.
Lelaki itu beranjak, mengecup bibirku dengan lembut. Bukan sebuah ciuman kemenangan, bukan pula ciuman posesif. Ciuman itu berlangsung pelan dan perlahan. Sebuah ciuman hangat yang menandakan bahwa, masalah di antara kami diselesaikan secara alami. Cinta.
Ya, karena masih ada cinta diantara kami ....

Selesai.



Wiwin Setyobekti.
15.28
11-03-2015