Aku memperlambat langkah kakiku
ketika aku menyaksikan puluhan buket bunga berjejer di sepanjang jalan menuju
meja kerjaku. Mawar putih, bunga kesukaanku.
“Untukmu
semua.” Wina, rekan kerjaku yang meja kerjanya bersebelahan denganku, membuka suara sambil menunjuk ke arah
buket-buket bunga tersebut. Aku menatapnya tak mengerti.
“Baca
saja kalau tak percaya,” ia menganjurkan sambil mengambil kartu ucapan dari
salah satu buket bunga tersebut.
“Nih,”
ia menyodorkannya ke arahku.
“Orang
sinting mana yang berniat memindahkan toko bunga ke tempat kerjaku?” gerutuku
sambil menyambar kartu ucapan tersebut.
“Kau
kenal dekat dengannya. Bahkan pernah ter-a-mat dekat.” Wina kembali berkata-kata, terdengar sebal.
Bibirku
berdecak sambil membalik kartu ucapan tersebut lalu mulai membacanya. Dan
mataku segera membelalak. Wina benar, pengirimnya adalah orang yang ku kenal
dekat, terlampau dekat malahan.
Untukmu yang tercinta,
Naiya...
Dari : Reihan.
Aku
menatap Wina dengan kaget. “Mantan suamiku?!” teriakku bingung. Dan Wina cuma
mengangguk, mengiyakan. Oh tidak.
***
Sosok itu berdiri di sana. Di sisi
jalan masuk tempatku bekerja. Tatapannya lurus ke arahku. Ia tersenyum lalu melambaikan
tangannya. Aku berdiri, mematung, terkejut. Dan otakku masih waras untuk tak
membalas senyumannya.
Beberapa tahun telah berlalu tapi
sosok itu masih saja terlihat ... hot.
Tatapan matanya teduh menenangkan. Senyumnya juga masih terlihat menawan.
Penampilannya masih terkesan sama. Tidak terlalu rapi dan terkesan laki-laki. Celana linen berwarna gelap
yang disetrika licin dan dipadukan dengan kemeja abu-abu dengan lengan digulung
sampai siku. Kancing kemeja atasnya terbuka hingga dasi yang ia kenakan
terlihat sedikit kedodoran. Rambutnya sedikit messy, dan wajahnya seperti orang yang belum bercukur selama
beberapa hari hingga beberapa rambut mulai tumbuh di daerah rahangnya. Damn, ia masih saja terlihat ...
menawan.
Aku menelan ludah dan berusaha mendapatkan akal
sehatku kembali. Oh, dia mantan suamiku! Orang yang telah mengkhianatiku,
menghancurkan hatiku.
Tapi
... ini ibarat kau puasa selama 24 jam penuh, kemudian kau dihadapkan pada
serangkaian menu berbuka puasa yang menggiurkan, lengkap dengan puding dan es
buah, tentu kau ingin menyantapnya ‘kan?
Nah,
itu yang kurasakan saat ini. Aku ingin menyantap
orang ini! Reihan, mantan suamiku,
lelaki sempurna super seksi yang dulu pernah membuatku jatuh cinta setengah mati
– meskipun sekarang masih – tapi kemudian ia menghancurkan hatiku
berkeping-keping dan meninggalkanku demi wanita lain!
“Kau menerima bungaku?
Surat-suratku?”
Aku tergagap. Suara itu membuyarkan
lamunanku. Dan aku baru menyadari bahwa sekarang dia sudah berdiri di
hadapanku. Kapan dia melangkah ke sini?
“Naiya?”
Ia kembali memanggil, kali ini membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku
mundur beberapa langkah dengan gugup, lalu tanpa berkata-kata aku beranjak
melewati dirinya menuju trotoar untuk segera menunju halte bis.
Reihan
berlari mengejarku. Tapi ia tak menghalauku, melainkan malah menyamai
langkahku.
“Bisa
kita bicara sebentar?” Ia kembali berkata.
“Tidak.”
Jawabku pendek, tanpa melihat ke arahnya.
“Please.”
“Tidak!”
Aku menghentakkan sepatuku ke tanah lalu berhenti, memutar tubuhku ke arahnya
dan menatapnya dengan kesal. Lelaki itu menatapku dengan tatapan yang masih
sama dengan beberapa menit yang lalu. Dan tatapan itu benar-benar menggoda. Oh,
orang – santapan – sialan!
Nah,
otakku kacau ‘kan sekarang?
“Dengar, aku tahu kemana arah
pembicaraanmu. Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku anak kecil? Kau mengirimiku
berbuket-buket bunga, mengirimiku kartu ucapan dengan kalimat-kalimat manis,
mengatakan kau mencintaiku, oh, rayuan gombal! Yang jelas itu semua bukan
permohonan maaf ‘kan? Kenapa? Kau ingin kembali padaku? Apa kau ada masalah
dengan perempuan itu? Apa kalian
bertengkar? Atau ... perempuan itu
meninggalkanmu?” Aku berdecak sinis.
“Aku
sudah bercerai dengan ...”
“Jangan
berani-berani menyebut namanya di depanku!” Aku berteriak. Reihan mengangkat bahu. “Oke.” Jawabnya cepat.
“Aku bercerai dengan perempuan – itu.”
Lanjutnya. Aku terkekeh sinis.
“Sudah
kuduga. Bedebah. Bajingan tengik.” Aku mengutuk lalu kembali beranjak. Dan dia
tetap saja menyamai langkahku.
“Kau
tak ingin tahu dengan apa yang terjadi dengan kami?”
“Tidak.”
Jawabku pendek.
“Setidaknya
biarkan aku menjelaskan segalanya padamu.”
“Maaf,
itu bukan urusanku.” Aku menjawab tak kalah ketus.
“Beri
aku kesempatan lagi, Nai. Aku ingin menebus dosaku padamu.” Kali ini ia menarik
lengan tanganku dan menatapku dengan dalam. Aku balas menatapnya dengan rahang
mengeras.
“Tidak.”
Jawabku lagi seraya menarik tanganku dari genggamannya. Karena frustasi, aku
urung melangkahkan kakiku ke halte bis dan malah menghentikan taksi yang
melintas. Tanpa bicara, tanpa melihat lagi ke arahnya, aku segera meminta pak
sopir untuk meluncur, meninggalkannya.
Well, seperti yang sudah kalian
dengar, lelaki tadi memang lelaki yang pernah mencampakkanku. 2 tahun yang lalu, ia menceraikanku demi wanita
lain.
Aku
tidak menyalahkannya sepenuhnya atas semua itu. Karena, yaa... begitulah. Waktu
itu kami memang mengalami masa-masa sulit. Melewati pacaran yang termasuk
singkat, hanya 3 bulan, lalu kami buru-buru memutuskan untuk menikah tanpa
terlebih dahulu memahami karakter satu sama lain. Pernikahan kami waktu itu
hanya didasari satu hal : kami saling jatuh cinta setengah mati!
Tapi
cinta hanyalah cinta. Ketika memasuki pernikahan yang sebenarnya, kami
kewalahan. Kami sering cekcok. Tapi meskipun begitu, kami selalu menemukan cara
alami untuk berbaikan kembali. Cinta.
Tapi kemudian semua berantakan. Usia
pernikahan kami baru memasuki tahun kedua ketika Reihan tergoda dengan
sekretaris pribadinya yang cantik, bahenol, dan ... jalang. Dan singkat kata, dia meninggalkanku demi wanita itu.
Tapi aku sadar, sedalam apapun luka
yang telah ia torehkan padaku, aku tetap saja jatuh cinta setengah mati dengan
lelaki itu!
Can’t
help...
***
Aku terperangah menyaksikan taburan
kelopak bunga mawar di sepanjang koridor menuju ruang kerjaku. Kelopak mawar,
asli! Membentang dari ujung lorong hingga ujung yang satunya. Bisa kau
bayangkan itu?
Taburan mawar putih di sisi kanan
dan kiri, sementara bagian tengah dipenuhi mawar merah yang sengaja dibentuk
dengan bentuk – hati. Dan tepat di
tengah-tengah bunga berbentuk hati itu, ada kelopak mawar putih yang ditata
menjadi tulisan. Mau tau tulisannya apa?
R loves N
Forever
Perlu kujelaskan inisial huruf
tersebut? ‘R’ berarti Reihan, dan ‘N’ berarti Naiya, aku. Nah, sudah jelas ‘kan
berarti siapa pelaku tindakan norak, alay bin jablay seperti ini?
Ya
Tuhan, aku mendesis dalam hati.
“Ya Tuhan,” Wina yang berdiri di
sampingku, seolah ingin mengulangi desis hatiku. Ia juga tak kalah terperangah.
“Nai, ini bener-bener....”
“Ya,
Ya, Ya, aku tahu. Ini norak, ini sinting, ini lebay, ini bener-bener ....”
“Tidak.
Justru sebaliknya. Ini bener-bener ... romantis.”
Wina terkikik.
Aku
mendelik dan menatap sahabatku itu dengan alis bertaut tak mengerti. What?
Aku
memutar bola mataku dengan kesal. Romantis? Oh, please deh. Orang sinting mana
yang masih melakukan cara norak seperti ini untuk menarik perhatian seorang
perempuan.
“Mana petugas kebersihan?! Singkirkan
benda-benda konyol ini, segeraaa!” Aku berteriak seraya melangkahkan kakiku
menyusuri taburan bunga itu sambil sesekali menyurukkan ujung sepatuku ke
gundukan bunga berbentuk hati - dengan sengaja.
Berantakan, biarkan saja.
“Naiii, apa yang kau lakukan? Bunga
itu cantik.” Wina berteriak histeris. Aku menatapnya kesal. “Cantik? Ini
mengganggu. Panggil petugas kebersihan untuk membersihkan semua ini. Se-ge-ra.”
Rahangku mengeras.
“Kau
tak ingin tahu siapa yang melakukan hal manis seperti ini?” bu Risma, atasanku,
muncul dari balik pintu. Aku menatapnya lurus. “Tak perlu memberitahuku siapa
orangnya, bu. Saya sudah tahu.” Jawabku.
“Aku
yang memberinya ijin untuk melakukan ini. Menata bunga dengan manis seperti
ini.” Ia melanjutkan. Keningku kembali mengernyit. Aku menatap perempuan
setengah baya itu dengan tak mengerti. Beliau hanya mengangkat bahu cuek.
“Well,
dia bilang dia sedang mencari cara agar kau mau bertemu dan berbicara
dengannya. Dan cara ini yang ia pilih. Romantis kan?” ucapnya lagi. Aku menggigit
bibir.
“Oke,
maaf bu. Ini takkan terulang, saya jamin. Saya akan meminta padanya untuk tidak
melakukan hal-hal memalukan seperti ini lagi. Ini benar-benar ...”
“Tunggu.
Jangan temui dia dulu, oke?” bu Risma memotong kalimatku. Aku kembali mengernyit.
Eh?
“Kau
tahu, belakangan ini kita semua sedang kelelahan karena pekerjaan yang begitu
menumpuk. Berada di kantor benar-benar ... membosankan. Tapi akhir-akhir ini
suasana kantor berubah menjadi begitu feminin, harum, ceria dan ... romantis.
Semua ini berkat ratusan buket bunga yang telah dikirimkan oleh mantan suamimu.
Jadi, jangan temui mantan suamimu dulu agar dia terus rajin mengirimkan bunga
ke sini. Selain karena menambah keindahan, bunga-bunga yang ia kirimkan cantik
sekali.” Bu Risma tersenyum manis. Aku melongo.
“Buatlah
dia agar rajin mengirim berbuket-buket bunga ke sini sekitar seminggu lagi.
Taburan bunga seperti ini juga malah bagus. Oke?” Bu Risma kembali tersenyum
tanpa dosa lalu berbalik, dan tubuhnya menghilang di balik pintu.
Aku
menoleh ke arah Wina dengan bingung, sahabatku itu hanya terkikik seraya
mengangguk. Ketika aku membuang pandanganku ke sepanjang lorong, beberapa
kepala menyembul dari jendela dan juga pintu. Mereka, yang rata-rata perempuan
dan notabene adalah rekan kerjaku yang paling baik, menatap ke arahku,
tersenyum, lalu juga mengangguk. Senyuman mereka seolah mengatakan : Kami setuju. Buat mantan suamimu mengirim
bunga ke sini selama seminggu. Kami butuh hiburan. Titik.
Bahuku terkulai lemas. Frustasi, aku
mendengus kesal seraya mengacak-acak rambutku yang tadinya sudah tersanggul
rapi. Ini yang sableng siapa sih?
***
Aku tetap ngotot untuk menolak
bertemu dan berbicara dengan Reihan. Dan edisi buket bunga – beserta taburannya
itu – telah terjadi persis selama seminggu. Mungkin karena merasa cara seperti
itu tak mempan, Reihan mengubah strategi. Tidak lagi menggunakan bunga, tapi
kali ini menggunakan : band.
Kami tercengang ketika keesokan
paginya, kami menemukan sebuah stage
megah yang telah berdiri di halaman gedung. Stage
itu nyaris sebesar stage mini konser
band-band ternama di Indonesia. Di stage
itu tertulis dengan jelas sebuah pesan yang ditulis dengan huruf kapital :
UNTUKMU TERCINTA, NAIYA.
Penyanyi
band membawakan lagu-lagu dengan begitu apik. Dan lagu-lagu yang mereka
nyanyikan adalah lagu-lagu dari band favoritku, Maroon 5. Mulai dari lagu This
love, Lucky Strike, Makes me wonder, Never gonna Leaves This Bed, Won’t Go Home
Without You, One More Night hingga Maps. Dan mereka menyanyikan lagu-lagu itu
secara medley dari sejak kantor
dibuka hingga ditutup, selama 3 hari! Bisa kau bayangkan itu?
Reaksi teman-teman sekantor? Oh,
jangan ditanya lagi. Mereka girang bukan kepalang. Mendapat hiburan gratis, itu
dalih mereka. Beberapa orang bahkan mengusulkan untuk mendatangan Maroon 5 yang
asli. Sinting!
Aku
akan selalu mengganggu kehidupanmu sampai kau jenuh. Sampai kau mau bertemu
denganku, berbicara denganku, dan memberiku kesempatan untuk kembali padamu.
Tak jadi soal bila aku harus bangkrut untuk melakukan itu semua.
Itu
pesan singkat yang kuterima dari Reihan setelah edisi band tetap tak membuatku
luluh.
Tapi keesokan paginya, kesabaranku
nyaris mulai habis ketika aku menemukan sebuah papan reklame terpampang di
depan kantorku. Sebuah papan reklame sebesar papan reklame rokok yang biasa
terpasang di pinggir jalan. Barisan kalimat tertulis dengan (lagi-lagi) huruf
kapital di sana.
AKU MENCINTAIMU, NAI. KEMBALILAH
PADAKU.
Dengan
kesal, aku mengambil phonselku dan menelpon lelaki itu.
“Di
mana kau sekarang?” Aku segera nyerocos begitu panggilanku diterima.
“Kau ingin menemuiku?”
“DI
MANA KAU SEKARANG?!” Aku berteriak.
“Hotel Royal, VVIP room.”
Tanpa
berkata-kata lagi, panggilan ku akhiri dan aku segera berlari memanggil taksi.
***
Begitu pintu dibuka, aku segera
menyeruak masuk, mendorong tubuh Reihan dan memukul dadanya berkali-kali.
“Kau
sinting! Kau gila! Kau bedebah! Kenapa kau lakukan ini padaku?! Kenapa?”
Pukulanku kembali bersarang di dadanya yang bidang. Ia mengenakan t-shirt
lengan pendek berwarna putih. Dan dia tak berusaha menghindari pukulanku sama
sekali.
“Aku
membencimu. Kau bajingan tengik! Kenapa kau harus muncul lagi di hadapanku!”
Kali ini suaraku bergetar. Aku sadar air mataku sudah mengalir deras. Dan tak
butuh waktu lama hingga akhirnya tangisku pecah. Pukulanku yang tadinya membabi
buta kini melemah. Kedua lenganku terkulai.
Tanpa mengatakan apapun Reihan
bergerak, meremas bahuku lalu meraih tubuhku ke pelukannya. Ia membelai
kepalaku dengan lembut. Dan aku menangis di dekapannya, air mataku membasahi
kaos t-shirtnya. Adegan itu berlangsung beberapa menit. Aku menangis, dan
Reihan menenangkanku.
“Duduklah.” Suara Reihan pelan. Ia
membimbingku duduk di sebuah sofa yang berada di dekat jendela. Lelaki itu
menyentuh pipiku dan membantu menghapus air mataku.
“Mau minum?” Ia kembali bertanya
lirih. Aku menggeleng.
“Sekarang, bisa aku bicara?” Ia
menelengkan kepalanya dan menatap lurus ke arahku dengan tatapan lembut. Aku
sesenggukan, lalu mengangguk.
Reihan
meraih kedua tanganku lalu menggenggamnya erat.
“Aku
memang bersalah padamu, sayang. Sebuah kesalahan fatal. Dan aku ingin menebusnya,
dengan cara apapun, dengan seluruh hidupku.” Ucapnya.
“Aku
sudah berpisah dengan wanita itu,
sejak satu setengah tahun yang lalu. Hubungannku dengannya hanya bertahan 6
bulan. Karena akhirnya aku sadar, perempuan yang aku cintai adalah kau. Bukan
dia.” Ia mengelus punggung tanganku dengan lembut.
“Sejak
berpisah dengannya, aku senantisa mencari kabar tentangmu secara
sembunyi-sembunyi. Aku tahu kau tidak pernah berkencan dengan lelaki manapun
sejak bercerai denganku. Hal inilah yang membuatku mantap untuk datang padamu
lagi. Aku tidak malu untuk mengemis cinta padamu, sayang. Karena kenyataannya
memang aku begitu mencintaimu, sepenuh hatiku. Jadi, tolong beri aku kesempatan.
Aku ingin kembali padamu.” Lelaki itu mengecup punggung tanganku dengan lembut.
Aku
tak segera menjawab.
“Aku
ingin memiliki hatimu lagi, Nai. Kumohon.”
Aku
menggigit bibirku, lalu menggeleng pelan. “Aku tak bisa.” Jawabku lirih.
“Kenapa?”
Reihan mempererat genggaman tangannya. Aku kembali menggeleng.
“Kau
sudah menghancurkan hatiku berkeping-keping, Rei. Jadi tak ada lagi yang bisa
kuberikan padamu.” Jawabku.
“Karena
itu, biarkan aku menyatukan kepingan-kepingan itu lagi, satu persatu. Aku yang
menghancurkan hatimu dan biarkan aku yang akan memperbaikinya.” Ia menjawab
dengan tulus. Aku terdiam. Perlahan aku melepaskan genggaman tangan Reihan lalu
bangkit. Aku beranjak menuju dekat jendela dan membuang pandanganku, menatap
hamparan gedung yang menjulang di mana-mana.
“Kenapa
kau tinggal di sini?” tanyaku kemudian. Tiba-tiba aku seolah baru tersadar
dengan keanehan ini. Kenapa Reihan menginap di hotel? Toh ia punya apartemen
yang jaraknya hanya sekitar 5 kilometer dari sini.
“Aku
sudah tak punya apa-apa lagi.” Reihan menjawab. Aku terbelalak. Hah? Serta
merta aku memutar tubuhku dan melihat lelaki itu sudah berdiri di hadapanku.
“Apa
maksudmu? Kau bangkrut?” tanyaku to-the-point.
“Tidak,
itu ...”
Aku
melotot. “Tunggu! Apa jangan-jangan kau bangkrut, lalu datang kepadaku? Begitu?
Apa perempuan itu sudah menguras habis semua hartamu?” aku nyaris kembali
berteriak.
Reihan
tersenyum lalu menggeleng. “Tidak, bukan seperti itu.”
“Lantas?”
Aku bertanya tak sabar.
“Aku
sudah menjual semuanya. Properti, rumah, vila, apartemen, mobil, aku sudah
menjualnya, semuanya. Tak ada lagi yang tersisa.”
“Apa
maksudmu tak ada lagi yang tersisa? Kenapa kau lakukan itu? Apa kau punya
banyak hutang? Kau bangkrut? Kau ...?”
“Uang
hasil penjualannya sudah ku transfer ke rekeningmu.”
“Iya,
tapi tetap saja ....” Aku melotot dan kalimatku terhenti. “KAU BILANG APA?!!”
Aku berteriak.
Reihan
manggut-manggut.
“Semua
uangnya sudah ku transfer ke rekeningmu. Kau tak tahu?”
Aku
melongo. “Kapan?” aku menggumam tak sadar.
“Sekitar
sebulan yang lalu.” Reihan menjawab enteng.
“Kenapa?”
Reihan
mengangkat bahu. Ia bergerak mendekatiku, meraih kedua tanganku lalu
menggenggamnya erat.
“Karena
aku ingin mempercayakan hidupku padamu. Jadi aku memberikan semua yang aku
punya. Jiwa, raga, harta benda, semuanya.” Ucapnya lagi.
Aku
mematung, bingung. Apa-apaan ini?
“Lalu
pekerjaanmu?” tanyaku kemudian.
“Masih.
Aku masih punya pekerjaan yang mapan. Sekarang, hanya itu yang aku punya. Percayalah,
gajiku masih lebih dari cukup untuk menghidupimu.” Jawabnya.
“Jadi,
menikahlah denganku lagi, Nai.” Ia menatapku dengan penuh harap. “Kumohon.”
Lanjutnya.
Aku tak segera menjawab. Hening sesaat.
“Kau
akan menyatukan kembali serpihan hatiku yang telah hancur berkeping-keping?”
Akhirnya, pertanyaan itu yang meluncur dari mulutku. Reihan mengangguk.
“Bahkan
jika itu akan membutuhkan yang lama?”
Lelaki
itu kembali mengangguk.
“Aku
akan menyatukannya, perlahan-lahan, satu demi satu, sampai hati itu utuh
kembali. Tapi kau harus berjanji, jika hati itu telah kembali utuh, kau harus
membiarkanku memilikinya, selamanya.” Jawabnya.
Kami
berpandangan. Aku terdiam. Tapi Reihan tahu, diamku bertarti ‘ya’.
Lelaki itu beranjak, mengecup bibirku dengan lembut.
Bukan sebuah ciuman kemenangan, bukan pula ciuman posesif. Ciuman itu
berlangsung pelan dan perlahan. Sebuah ciuman hangat yang menandakan bahwa,
masalah di antara kami diselesaikan secara alami. Cinta.
Ya,
karena masih ada cinta diantara kami ....
Selesai.
Wiwin Setyobekti.
15.28
11-03-2015

Tidak ada komentar:
Posting Komentar