Rabu, 13 April 2016

Aku Nomer Dua - Part 2 (End)




“Lusa aku bertunangan,” kalimat itu meluncur dari mulut John.
Aku memejamkan mata sesaat,  lalu mengangguk. Tanpa mampu mengatakan sesuatu, tersenyum juga tidak.  
Pertunangan adalah hal yang baik. Tapi yang benar saja, yang akan bertunangan besok adalah pacarku, bagaimana mungkin aku bisa tersenyum menghadapi semua ini?

Aku memang sepakat menerima dia kembali, bahkan dengan kebohongan yang telah ia perbuat. Aku sepakat menerima kenyataan bahwa ia akan melanjutkan rencana pertunangannya.
Dan aku juga setuju untuk tetap menjadi pacar rahasianya, menjadi yang nomer dua. Tapi ini, tetap saja menyakitkan.

“Liz dan aku sepakat melaksanakan sebuah pesta pertunangan yang sederhana di salah satu vila ayahku di pegunungan. Jadi ....” ia menyebutkan nama perempuan itu, Liz, tanpa ragu.
Aku mengangkat tanganku muak.
“Intinya aku sudah tahu besok kau akan bertunangan. Kau tak perlu menceritakan detailnya padaku. Aku tak butuh tahu,” ketusku.
John menggigit bibirnya, merasa bersalah.
“Setidaknya kau harus tahu bahwa ... mungkin kita takkan bertemu selama beberapa hari karena ...”
“Aku tahu.” Potongku.
“Aku tahu kau akan sangat sibuk kesana kemari dengan tunanganmu. Sudah ku bilang kau tak perlu memberitahuku. Hatiku sakit,” aku bangkit dari sofa beludru yang berada di samping tempat tidurku, lalu beranjak keluar.

“Sudah malam, pulanglah.” Teriakku sambil melangkah ke dapur, membuka kulkas, mengambil botol dan meminumnya dengan rakus. John mengikuti langkahku.
“Aku ingin menginap di sini,” ucapnya. “Ku mohon, biarkan aku tidur di sini, malam ini.”
Aku meletakkan kembali botol minuman ke tempatnya lalu menatapnya sambil terkekeh sinis.
“John, lusa kau akan bertunangan. Dan bisa-bisanya kau ingin menginap di sini? Apa kau gila?”
“Jika aku tidak gila aku pasti bisa memilih salah satu dari kalian!” ia berteriak. “Kenyataannya aku tidak mampu.  Yang mampu ku lakukan hanya menyakiti kalian berdua. Jika tidak gila, lantas apa namanya?” lelaki itu tampak emosional.

Air mataku merebak. Dadaku sesak.
Kehidupan macam apa ini? Hubungan seperti apa yang sedang kami jalani?

“Savanah, aku ...,”
Reflek aku bergerak mundur ketika John berusaha meraihku. Aku menggeleng-geleng lirih. “Jangan sentuh aku,” desisku. “Atau aku akan benar-benar hancur.” Lanjutku. Air mataku menitik.
“Aku sedang berusaha menerima kenyataan bahwa lusa kau akan bertunangan. Ini tak mudah, John! Kau tahu bahwa ... dengan memikirkannya saja ... aku ...” isak tangisku pecah.
John kembali bergerak, meraih tubuhku. Aku sempat meronta, namun lelaki itu mencengkeram kedua tanganku lalu mendekapku erat.
“Maafkan aku, hanya itu yang bisa ku lakukan.” Ia mendesis sembari terus memelukku, membisikan kata-kata maaf di telingaku. Mengatakan bahwa ia mencintaiku, berulang-ulang.

Dan jika sudah seperti ini, aku lemah.
Tak berdaya. 
Seolah tak mampu mengambil jalan lain selain berakhir dengan memaafkannya, lalu menerimanya kembali.

***

Tepat di hari pertunangannya, aku sekarat.
Yang ku lakukan malam itu hanya duduk membisu di lantai kamar dengan kondisi gelap gulita. Lampu tak kunyalakan, sengaja. Aku membiarkan tungkai kakiku yang telanjang berselonjor dan merasakan lembabnya lantai keramik. Ku sandarkan punggungku di pinggiran ranjang dengan putus asa.

Membayangkan John bertunangan dengan perempuan lain, tersenyum ke arahnya, mengatakan cinta padanya, sambil menyematkan cincin berlian di jari manisnya, lalu mencium bibirnya dengan penuh kasih.
Aku meratap, menangis, mengutuki diri sendiri.
Dan aku benar-benar SEKARAT! Seperti seorang pecandu yang membutuhkan asupan narkotik, segera.

Dan pikiranku berkelana kemana-kemana.

Ini baru pertunangannya. Bagaimana jika kelak mereka menikah, berbulan madu, lalu punya anak, punya sebuah keluarga sungguhan yang bahagia. Lalu aku? Bagaimana denganku?
Sampai kapan aku akan menjadi bayangan? Sampai kapan aku akan menjadi orang kedua? Seseorang yang mungkin berusaha ia sembunyikan, yang bahkan takkan mungkin mendapatkan pengakuan dari publik bahwa kami saling mencintai.

Apa aku akan sanggup menghadapi semua?
Tidak. Aku pasti mati, bunuh diri. Aku takkan sanggup menyaksikan semua itu.

Bahuku terguncang, dan kali ini isak tangisku makin keras. Meraung-raung seperti anak kecil yang kehilangan mainan.
Sudah lama aku ingin melakukannya. Menangis seperti ini.
Mengeluarkan semua amarah, sumpah serapah.

KENAPA KAMI HARUS SEPERTI INI, TUHAN?

***

Beberapa hari aku tak melakukan kontak sama sekali dengan John. Selain karena ia telah mengatakannya padaku, aku juga sengaja mematikan phonselku. Sengaja saja. Entah kenapa, ada rasa lelah luar biasa dengan semua kondisi ini. Sempat terpikir olehku untuk menyerah. Tapi, entahlah ....

Aku baru saja pulang dari tempat kerjaku, tepat pukul 8 malam, ketika aku melihat seorang perempuan cantik tinggi semampai tengah berdiri dengan canggung di depan pintu apartemenku. Dan sosok itu tak asing buatku. Liz, tunangan John.
Aku tahu dia dari foto-foto yang ada di phonsel John.

“Savanah?” Ia menyapa dengan pertanyaan ketika melihat kedatanganku. Aku tersenyum kaku lalu mengangguk. Sepertinya aku tahu maksud kedatangannya kemari. Insting wanita. Dan sepertinya insting kami sama.

“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucapnya langsung, tanpa basa-basi. Aku kembali tersenyum kaku, lalu mengangguk.
Setelah membuka pintu apartemenku, aku segera menyilakan perempuan itu masuk. Membuatkannya segelas teh hangat, lalu duduk di sofa yang berseberangan dengannya. Seolah siap dengan pembicaraan kami yang mungkin sepertinya takkan berlangsung lama. Dia tipe yang to the point, dan aku juga. Jadi takkan banyak waktu yang tersita untuk kami.

Urusan perempuan, kami menyebutnya begitu.

“Sebenarnya aku sudah tahu perihal hubungan kalian sejak beberapa bulan yang lalu,” ia membuka suara setelah sempat hening sesaat. Ah, lagi-lagi insting wanita.
Aku menatapnya, siap menunggu deretan kalimat yang keluar dari mulutnya.
“Tanpa sepengatahuan John, aku mengecek phonselnya. Dan dari situlah aku tahu tentang dirimu. Secara diam-diam aku mencari tahu tentangmu dan ....” kalimatnya terhenti.
Perempuan itu terlihat begitu bijak dan keibuan. Ada kilat amarah di matanya, tapi ia pintar menahan bahkan mengendalikannya.

Aku memahami perasaannya. Karena itulah yang juga ku rasakan saat ini.

Di sinilah kami, dua wanita yang mencintai orang sama, yang sama-sama terluka, sama-sama meratap, sama-sama menyimpan amarah. Amarah yang ingin kami luapkan, tapi entah pada siapa.
“Aku ke sini tanpa sepengatahuan John. Agar kita bisa bisa bicara dari hati ke hati karena kita ... sama-sama perempuan.”

Sama-sama perempuan ...

Kalimat itu pelan, tapi begitu menusuk hati. Menimbulkan rasa nyeri yang hebat.
Karena aku tahu, sama-sama perempuan akan saling memahami. Sama-sama perempuan takkan menyakiti. Dan sama-sama perempuan .... takkan bisa tinggal bersama di satu hati.

“Kau tahu, hal pertama yang ingin ku lakukan padamu sebenarnya adalah menamparmu.” Suara Liz bergetar, rahangnya kaku. “Aku ingin menamparmu setelah apa yang kau lakukan padaku ...”
“Aku tidak merebutnya darimu,” potongku, pelan.
“Kau tidak tahu detail bagaimana yang sebenarnya terjadi dan ...”
“Aku tak ingin tahu bagaimana awal ceritanya kalian bersama!” kali ini ia berteriak.
“Aku mengerti. John pasti tidak akan menceritakan padamu, aku juga tidak. Tapi yang perlu kau ketahui adalah, aku.tidak.merebutnya.darimu,” giginya terkatub.

Kedua mata kami berkaca-kaca. Air mata Liz nyaris tumpah, begitu pula dengan air mataku.

Aku bangkit, berjalan menuju depan jendela, sekedar untuk mengambil nafas. Setelah aku agak tenang, aku berbalik dan menatap kembali ke arah Liz yang diam terpekur.
“Liz, aku tahu ada yang tidak benar di sini. Tapi bukan aku yang menginginkan situasi seperti ini. Bukan aku yang sengaja masuk ke kehidupan kalian dan menjadi perempuan kedua!” aku nyaris menjerit.
“Tidak hanya kau yang terluka, aku juga...” aku meratap, dan air mataku tak bisa ku bendung lagi.
Liz menatap ke arahku, dan ia juga menangis.

“Kapal itu tak bisa dihuni oleh 3 orang, Savanah. Tidak akan bisa,” air matanya berderaian.
“Harus ada yang mengambil keputusan. Harus ada yang pergi. Atau kita akan sama-sama tenggelam...” lanjutnya.

“John mungkin telah melukai kita berdua, menempatkan kita pada posisi yang tidak seharusnya. Tapi kita sama tahu bahwa ia takkan pernah bisa mengambil keputusan. Ia mencintai kita berdua, dengan porsi yang sama rata. Jadi ...” ia menelan ludah. “Pilihannya hanya ... kau? Atau aku yang pergi?”

Aku lunglai. Bahuku terguncang dan aku terisak. Liz juga.

Kenapa harus begini?
Kenapa?

***

John  datang ke apartemen keesokan malamnya, membawakanku seikat bunga mawar putih, bunga kesukaanku.
“Aku merindukanmu,” ia memelukku erat sembari mencium keningku dengan lembut. Aku tersenyum lesu, mengambil bunga dari tangannya lalu menaruhnya di vas yang berada di atas meja bundar dekat jendela.
“Maaf kalau aku meninggalkanmu terlalu lama,” ia melangkah ke arahku dan kembali merengkuh tubuhku dengan erat. Kali ini sambil mengecup puncak kepalaku dengan suara keras.
Aku kembali tersenyum. Tanpa bersuara.

“Ayo kita jalan-jalan. Aku sudah memesan tempat khusus untuk makan malam. Bersiap-siaplah,” ia berbisik.
“John ...” aku menjawab lirih lalu menarik diriku dari pelukannya.
“Duduklah, ada yang ingin ku bicarakan.” Aku mendorong tubuhnya agar ia mau duduk di sofa. Kening John mengernyit, menatapku bingung.
“Ada masalah?”

Aku mondar-mondar dengan gusar. Meremas-remas jemariku yang gemetar.
“Savanah ...”
“Aku tak sanggup lagi.” jawabku. “Ayo kita akhiri semua ini,”

John ternganga.
“Let’s break up.” Lanjutku.

Dan kalimat itu membuat raut muka John pucat seketika.
“Savanah, ada apa denganmu?” serta merta lelaki itu bangkit, meremas kedua bahuku. Aku menghalau lembut lalu bergeser mundur.
“Hubungan kita tidak bisa diteruskan lagi, John. Kau sudah bertunangan dan sebentar lagi menikah. Jadi, aku tak bisa bersamamu lagi,”
“Kita sudah membahasanya ‘kan?”
“Iya, dan aku ingin mengakhirinya.” Cetusku.

“Savanah, aku memang tidak bisa menjanjikan apa-apa padamu. Tapi kita saling mencintai kan?” John mulai terlihat frustasi.
“Tapi cinta saja tidak cukup!” suaraku meninggiku.
John menyisir rambutnya dengan jemari. Menarik nafas bingung.

“Kau sudah bertunangan, dan sebentar lagi menikah. Lalu aku? Bagaimana denganku? Apa kau akan selalu memperlakukanku sebagai bayangan? Selama ini kita selalu menyembunyikan hubungan kita. Kita bahkan melakukan acara kencan secara sembunyi-sembunyi. Bahkan untuk sekedar berjalan-jalan di taman dan berpegangan tangan saja kita tak mampu melakukannya. Apa kita akan begini terus? Kita memang saling mencintai, tapi cinta saja tidak cukup.” Aku kembali menjerit.

“Aku tak mau berbagi, John. Dan aku yakin Liz juga takkan mau. Dan aku memilih untuk merelakanmu ...” air  mataku berjatuhan.
Lelaki jangkung di hadapanku itu menatapku dengan mata berkaca-kaca.
“Ku mohon, jangan lakukan ini Savanah.”

Kami berpandangan.

“Selamat tinggal ...”
“Savanah ...”
“Pergilah. Tinggalkan aku sendiri,” pintaku.

John tak beranjak dari tempatnya berdiri. Air matanya menitik.
Aku menghampirinya, tapi tidak untuk memeluknya.
Aku hanya menghapus air matanya lalu menggamit lengannya, untuk selanjutnya mendorongnya lembut ke arah pintu.
Aku tidak ingin ia kembali, mendobrak pintu, lalu meluluhkan hatiku lagi. Seperti yang sudah-sudah. Jadi aku yang memilih untuk mengantarkannya keluar, lalu mengunci pintu. Tanpa memberi kesempatan padanya untuk masuk atau bahkan sekedar mengetuk pintu, lagi.

Cukup.
Semua cukup sampai di sini.

Berkali-kali lelaki itu menggedor pintu dan meneriakkan namaku. Tapi aku mengabaikannya.
Aku terisak, hancur berkeping-keping, tapi aku mengabaikannya...
Biar saja seperti ini. Aku takkan menemuinya. Karena aku tahu hatiku lemah. Jika sampai aku melihatnya lagi, aku pasti goyah dan tergerak untuk menerimanya lagi.

***

Pagi-pagi sekali setelah menghabiskan semalam suntuk menangis, meratapi diri sendiri, aku memutuskan untuk mengepak barang-barangku.
Beberapa baju, peralatan pribadi beserat dokumen-dokumen penting ku tata secara sembarangan di koper.
Aku sudah memutuskan, aku akan pergi.

Kemana saja, ke rumah teman di luar negeri mungkin, asal tidak di sini.
Berada satu kota dengan John hanya akan memperburuk luka di hatiku. Terlebih lagi jika sampai aku bertemu lagi dengannya, karena sudah bisa dipastikan aku pasti akan kembali jatuh ke pelukannya. Begitulah. Aku lemah jika berhadapan dengannya.

Seperti kata Liz, kapal itu hanya bisa dihuni oleh dua orang saja. Dan aku yang memutuskan untuk pergi.
Ia tak bisa berbagi, begitu pula denganku.
Dan aku terlalu berharga untuk sekedar menjadi perempuan kedua. Aku berhak mencari kebahagiaan diriku sendiri.

Menyakitkan, tentu saja.
Aku bahkan tak yakin bisa melewati hari-hari setelah ini, setelah jauh dari John.
Bisa saja aku terluka parah. Bisa saja lukaku makin memburuk. Bisa saja lukaku tak bisa sembuhkan.
Who knows?
Tapi setidaknya aku ingin memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk mencari jalan lain.

***

Sesaat sebelum aku memanggil taksi, aku sempat mengirimi John pesan singkat.

Terima kasih atas semua momen indah yang pernah kita ukir bersama. Anggap saja itu secuil kisah di antara kita yang tak seharusnya ada.
Aku pergi.
Hiduplah bahagia dengan Liz dan jangan mencoba mencariku.
Aku merelakanmu.
~ Savanah.

Dan setelah pesan itu terkirim, aku mematikan phonselku, mengeluarkan kartu di dalamnya, lalu membuangnya ke tempat sampah.

Selamat tinggal .....

***

Selesai.

Selasa, 05 April 2016

Aku Nomer Dua - Part 1




John.
 
Aku bertemu dengannya secara tak sengaja di suatu sore, tepat di depan toko roti, tempatku bekerja. Waktu itu hari sedang hujan deras, dan pemuda itu tengah sibuk membawa dua ekor kucing liar untuk berteduh di depan toko.

Dari balik jendela tempatku bekerja aku bisa menyaksikan pemuda itu berusaha mencarikan tempat yang aman untuk kedua hewan tersebut agar tak terkena hujan. Sementara tubuhnya sendiri sudah basah kuyup.
Hal itulah yang membuatku tergerak untuk mendekatinya dan menyapanya.
"Mau ku pinjami payung?" tanyaku langsung.
Pemuda itu menoleh, terlihat bingung untuk menjawab.
Aku segera tersenyum ramah.
"Aku membawa dua payung. Kau bisa meminjamnya, aku tak keberatan. Ini tempatku bekerja, kau bisa mengembalikannya ke sini." ucapku lagi.
Dan akhirnya, dengan sedikit canggung, ia menerima pinjaman payung dariku.
"John. Namaku John," Ia memperkenalkan diri dengan ragu, tapi sopan.
"Savanah," jawabku.

Dan begitulah awal kami berkenalan.

Keesokan harinya, ia datang ke toko untuk mengembalikan payung. Begitu pula hari selanjutnya, ia jadi sering mampir ke toko tempatku bekerja, sekedar untuk menyapaku, atau membeli sesuatu.
Lambat laun kami mulai dekat. Kami bersahabat dan akhirnya ... kami berpacaran. Tidak perlu proses yang rumit karena ia mencintaiku, begitu pula sebaliknya.

Awalnya semua berjalan dengan penuh kebahagiaan. Hubungan percintaan kami berjalan lancar, dan cinta yang kami rasakan semakin mendalam.
Sampai akhirnya aku tahu bahwa, ada perempuan lain yang singgah di hatinya.

Tidak.
Dia tidak menduakanku.

Justru akulah yang menyebabkan ia mendua.

Aku, yang nomer dua.

Perempuan itu singgah terlebih dahulu di hatinya, jauh sebelum John berpacaran denganku. Ternyata ia sudah berpacaran selama bertahun-tahun dengannya, perempuan kalem berwajah manis dan tampak menyenangkan.

John berbohong padaku. Ia tak memberitahuku bahwa sebelumnya, ia sudah terlibat cinta dengan perempuan lain.

Kebohongannya terbongkar ketika secara tak sengaja aku menemukan sms-sms manis di phonselnya. Dan seolah sudah tak menemukan cara untuk mengelak, akhirnya ia mengakui segalanya.
Bahwa ia sudah punya pacar, jauh sebelum kami berhubungan. Mereka bahkan sudah berpacaran sejak SMA dan beberapa bulan yang akan datang, mereka berencana bertunangan.

Awalnya aku mengira hubungan mereka karena perjodohan, atau mungkin karena alasan orang tua dan sebagainya.
Tapi ternyata tidak.

John mencintainya.
Tapi ia juga mencintaiku.

Hatiku hancur, lebur, tak terbentuk...

"Bedebah kau," aku mendesis parau setelah kami melewatkan beberapa jam untuk bertengkar, di apartemenku.
"Kenapa kau tak jujur dari awal bahwa kau sudah punya kekasih?!" Aku nyaris menjerit.
John berdiri di hadapanku dengan tatapan putus asa. Kedua matanya basah, sama denganku.

"Aku tak bisa, Savanah. Aku mencintaimu, dan aku tak mau kehilanganmu ..." suaranya bergetar.
"Tapi kau juga mencintainya 'kan?" potongku. Ia tak menjawab.
Aku bergerak, memukul dadanya berkali-kali. Isak tangisku pecah.

John menarik kedua tanganku dan mencengkeramnya erat.
"Aku tahu ini tak adil bagimu, sayang. Aku juga tahu ini tak adil baginya. Tapi apa kau pikir aku bahagia dengan keadaan ini? Tidak," Ia mendesis.
"Aku tersiksa, sama menderitanya dengan dirimu. Awalnya aku mengira hanya akan ada dirinya di hatiku. Hanya ada dia satu-satunya wanita di hatiku. Aku tak berencana untuk jatuh cinta pada perempuan lain. Tapi pertemuanku denganmu mengalihkan segalanya. Aku ...," ia menelan ludah. "Aku jatuh cinta pada pandangan pertama denganmu. Sejak kau menyapaku, dan berniat meminjamiku payung, aku sudah jatuh cinta padamu!" kali ini ia berteriak frustasi. Memaksa pandangan kami terkunci.

"Jika saja aku mampu, aku ingin memutar waktu di mana aku tak mampir ke tokomu dan bertemu denganmu! Tapi, bisakah aku melakukannya? Tidak kan? Kenyataannya Tuhan sudah mempertemukan kita, membuatku mencintaimu, membuat kau mencintaiku ---,"
"Ini tak adil, John. Ini tak adil untuk kami," aku menggeleng lirih.
"Aku tahu! Aku tahu aku telah menyakitimu, tapi, aku benar-benar tak tahu harus bagaimana lagi ..."
"Pergilah," jawabku lirih.
"Savanah ...,"
"Pergilah. Hubungan kita selesai," suaraku nyaris tercekat. Aku menarik tanganku dari genggaman lelaki itu lalu mundur beberapa langkah, sekedar untuk mengambil nafas.

"Sayang, ku mohon jangan lakukan ini," air mata John berjatuhan.
"Beri aku waktu...."
"Tidak, pergilah ..." aku menggeleng lagi.
John menggigit bibirnya dan tampak terpukul.
Kedua bahunya luruh, tak berdaya.

Dan ia berbalik, lalu pergi.

Sesaat setelah pintu tertutup, aku merasa sekarat!
Tubuhku ambruk, dan tangisku kembali pecah.
Bagaimana aku bisa hidup tanpanya? Bagaimana aku bisa menjalani hari-hariku tanpa dirinya?
Aku mencintainya, dengan segenap jiwa raga. Namanya seolah telah terukir di setiap inci dari tubuhku!
Jika ia benar-benar pergi, harus dengan cara apa melupakannya?!

Tidak. Aku takkan mampu melupakannya.

John.
 
Bagiku, ia ibarat separuh jiwaku, separuh nafasku, jika ia tak bersamaku, aku takkan mampu hidup!

---------

Aku masih terisak dengan hebat ketika sayup-sayup aku mendengar pintu kembali terbuka. Dengan masih bersimpuh di lantai, aku menoleh.
Dan tampak olehku John muncul kembali dari sana. Dari balik pintu, dengan air mata berderaian.

Ia menarik nafas dan mengangkat tangannya dengan putus asa.
"Aku memang mencintainya. Tapi aku takkan mampu kehilanganmu," desisnya. Suaranya serak.
"Aku lebih baik mati jika harus kehilangan dirimu," ucapnya lagi.

Aku juga, teriakku dalam hati. AKU JUGA!

Dengan tertatih aku bangkit.
"Apa dia tahu kalau kita punya hubungan?" tanyaku lirih.
John menggeleng.
Dan tanpa menunggu lagi, aku berlari, menghambur ke arahnya, dan memeluknya erat. Menyurukkan wajahku ke dadanya. Dan melampiaskan isak tangisku di sana.
Ia juga balas mendekapku erat.

Dan aku meratap ...

Tidak ...

Aku takkan mampu hidup tanpamu.

Untuk saat ini, begini saja lebih baik.

Mari kita jalani cinta rahasia kita, sampai Tuhan menentukan rencana lain...

Begitu saja.

=====

Bersambung ....

Gambar : dari film Now Is Good.