“Lusa aku bertunangan,” kalimat itu meluncur
dari mulut John.
Aku memejamkan mata sesaat, lalu mengangguk. Tanpa mampu mengatakan
sesuatu, tersenyum juga tidak.
Pertunangan adalah hal yang baik. Tapi yang
benar saja, yang akan bertunangan besok adalah pacarku, bagaimana mungkin aku bisa
tersenyum menghadapi semua ini?
Aku memang sepakat menerima dia kembali,
bahkan dengan kebohongan yang telah ia perbuat. Aku sepakat menerima kenyataan
bahwa ia akan melanjutkan rencana pertunangannya.
Dan aku juga setuju untuk tetap menjadi pacar
rahasianya, menjadi yang nomer dua. Tapi ini, tetap saja menyakitkan.
“Liz dan aku sepakat melaksanakan sebuah pesta
pertunangan yang sederhana di salah satu vila ayahku di pegunungan. Jadi ....”
ia menyebutkan nama perempuan itu, Liz, tanpa ragu.
Aku mengangkat tanganku muak.
“Intinya aku sudah tahu besok kau akan
bertunangan. Kau tak perlu menceritakan detailnya padaku. Aku tak butuh tahu,”
ketusku.
John menggigit bibirnya, merasa bersalah.
“Setidaknya kau harus tahu bahwa ... mungkin
kita takkan bertemu selama beberapa hari karena ...”
“Aku tahu.” Potongku.
“Aku tahu kau akan sangat sibuk kesana kemari
dengan tunanganmu. Sudah ku bilang kau tak perlu memberitahuku. Hatiku sakit,”
aku bangkit dari sofa beludru yang berada di samping tempat tidurku, lalu
beranjak keluar.
“Sudah malam, pulanglah.” Teriakku sambil
melangkah ke dapur, membuka kulkas, mengambil botol dan meminumnya dengan
rakus. John mengikuti langkahku.
“Aku ingin menginap di sini,” ucapnya. “Ku
mohon, biarkan aku tidur di sini, malam ini.”
Aku meletakkan kembali botol minuman ke
tempatnya lalu menatapnya sambil terkekeh sinis.
“John, lusa kau akan bertunangan. Dan
bisa-bisanya kau ingin menginap di sini? Apa kau gila?”
“Jika aku tidak gila aku pasti bisa memilih
salah satu dari kalian!” ia berteriak. “Kenyataannya aku tidak mampu. Yang mampu ku lakukan hanya menyakiti kalian
berdua. Jika tidak gila, lantas apa namanya?” lelaki itu tampak emosional.
Air mataku merebak. Dadaku sesak.
Kehidupan macam apa ini? Hubungan seperti apa
yang sedang kami jalani?
“Savanah, aku ...,”
Reflek aku bergerak mundur ketika John
berusaha meraihku. Aku menggeleng-geleng lirih. “Jangan sentuh aku,” desisku.
“Atau aku akan benar-benar hancur.” Lanjutku. Air mataku menitik.
“Aku sedang berusaha menerima kenyataan bahwa
lusa kau akan bertunangan. Ini tak mudah, John! Kau tahu bahwa ... dengan
memikirkannya saja ... aku ...” isak tangisku pecah.
John kembali bergerak, meraih tubuhku. Aku
sempat meronta, namun lelaki itu mencengkeram kedua tanganku lalu mendekapku
erat.
“Maafkan aku, hanya itu yang bisa ku lakukan.”
Ia mendesis sembari terus memelukku, membisikan kata-kata maaf di telingaku.
Mengatakan bahwa ia mencintaiku, berulang-ulang.
Dan jika sudah seperti ini, aku lemah.
Tak berdaya.
Seolah tak mampu mengambil jalan lain selain
berakhir dengan memaafkannya, lalu menerimanya kembali.
***
Tepat di hari pertunangannya, aku sekarat.
Yang ku lakukan malam itu hanya duduk membisu
di lantai kamar dengan kondisi gelap gulita. Lampu tak kunyalakan, sengaja. Aku
membiarkan tungkai kakiku yang telanjang berselonjor dan merasakan lembabnya
lantai keramik. Ku sandarkan punggungku di pinggiran ranjang dengan putus asa.
Membayangkan John bertunangan dengan perempuan
lain, tersenyum ke arahnya, mengatakan cinta padanya, sambil menyematkan cincin
berlian di jari manisnya, lalu mencium bibirnya dengan penuh kasih.
Aku meratap, menangis, mengutuki diri sendiri.
Dan aku benar-benar SEKARAT! Seperti seorang
pecandu yang membutuhkan asupan narkotik, segera.
Dan pikiranku berkelana kemana-kemana.
Ini baru pertunangannya. Bagaimana jika kelak
mereka menikah, berbulan madu, lalu punya anak, punya sebuah keluarga sungguhan
yang bahagia. Lalu aku? Bagaimana denganku?
Sampai kapan aku akan menjadi bayangan? Sampai
kapan aku akan menjadi orang kedua? Seseorang yang mungkin berusaha ia
sembunyikan, yang bahkan takkan mungkin mendapatkan pengakuan dari publik bahwa
kami saling mencintai.
Apa aku akan sanggup menghadapi semua?
Tidak. Aku pasti mati, bunuh diri. Aku takkan
sanggup menyaksikan semua itu.
Bahuku terguncang, dan kali ini isak tangisku
makin keras. Meraung-raung seperti anak kecil yang kehilangan mainan.
Sudah lama aku ingin melakukannya. Menangis
seperti ini.
Mengeluarkan semua amarah, sumpah serapah.
KENAPA KAMI HARUS SEPERTI INI, TUHAN?
***
Beberapa hari aku tak melakukan kontak sama
sekali dengan John. Selain karena ia telah mengatakannya padaku, aku juga
sengaja mematikan phonselku. Sengaja saja. Entah kenapa, ada rasa lelah luar
biasa dengan semua kondisi ini. Sempat terpikir olehku untuk menyerah. Tapi,
entahlah ....
Aku baru saja pulang dari tempat kerjaku,
tepat pukul 8 malam, ketika aku melihat seorang perempuan cantik tinggi
semampai tengah berdiri dengan canggung di depan pintu apartemenku. Dan sosok
itu tak asing buatku. Liz, tunangan John.
Aku tahu dia dari foto-foto yang ada di
phonsel John.
“Savanah?” Ia menyapa dengan pertanyaan ketika
melihat kedatanganku. Aku tersenyum kaku lalu mengangguk. Sepertinya aku tahu
maksud kedatangannya kemari. Insting wanita. Dan sepertinya insting kami sama.
“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,”
ucapnya langsung, tanpa basa-basi. Aku kembali tersenyum kaku, lalu mengangguk.
Setelah membuka pintu apartemenku, aku segera
menyilakan perempuan itu masuk. Membuatkannya segelas teh hangat, lalu duduk di
sofa yang berseberangan dengannya. Seolah siap dengan pembicaraan kami yang
mungkin sepertinya takkan berlangsung lama. Dia tipe yang to the point, dan aku
juga. Jadi takkan banyak waktu yang tersita untuk kami.
Urusan perempuan, kami menyebutnya begitu.
“Sebenarnya aku sudah tahu perihal hubungan
kalian sejak beberapa bulan yang lalu,” ia membuka suara setelah sempat hening
sesaat. Ah, lagi-lagi insting wanita.
Aku menatapnya, siap menunggu deretan kalimat
yang keluar dari mulutnya.
“Tanpa sepengatahuan John, aku mengecek
phonselnya. Dan dari situlah aku tahu tentang dirimu. Secara diam-diam aku mencari
tahu tentangmu dan ....” kalimatnya terhenti.
Perempuan itu terlihat begitu bijak dan
keibuan. Ada kilat amarah di matanya, tapi ia pintar menahan bahkan
mengendalikannya.
Aku memahami perasaannya. Karena itulah yang
juga ku rasakan saat ini.
Di sinilah kami, dua wanita yang mencintai
orang sama, yang sama-sama terluka, sama-sama meratap, sama-sama menyimpan
amarah. Amarah yang ingin kami luapkan, tapi entah pada siapa.
“Aku ke sini tanpa sepengatahuan John. Agar
kita bisa bisa bicara dari hati ke hati karena kita ... sama-sama perempuan.”
Sama-sama
perempuan ...
Kalimat itu pelan, tapi begitu menusuk hati. Menimbulkan
rasa nyeri yang hebat.
Karena aku tahu, sama-sama perempuan akan
saling memahami. Sama-sama perempuan takkan menyakiti. Dan sama-sama perempuan
.... takkan bisa tinggal bersama di satu hati.
“Kau tahu, hal pertama yang ingin ku lakukan
padamu sebenarnya adalah menamparmu.” Suara Liz bergetar, rahangnya kaku. “Aku
ingin menamparmu setelah apa yang kau lakukan padaku ...”
“Aku tidak merebutnya darimu,” potongku, pelan.
“Kau tidak tahu detail bagaimana yang
sebenarnya terjadi dan ...”
“Aku tak ingin tahu bagaimana awal ceritanya
kalian bersama!” kali ini ia berteriak.
“Aku mengerti. John pasti tidak akan
menceritakan padamu, aku juga tidak. Tapi yang perlu kau ketahui adalah,
aku.tidak.merebutnya.darimu,” giginya terkatub.
Kedua mata kami berkaca-kaca. Air mata Liz
nyaris tumpah, begitu pula dengan air mataku.
Aku bangkit, berjalan menuju depan jendela,
sekedar untuk mengambil nafas. Setelah aku agak tenang, aku berbalik dan
menatap kembali ke arah Liz yang diam terpekur.
“Liz, aku tahu ada yang tidak benar di sini.
Tapi bukan aku yang menginginkan situasi seperti ini. Bukan aku yang sengaja
masuk ke kehidupan kalian dan menjadi perempuan kedua!” aku nyaris menjerit.
“Tidak hanya kau yang terluka, aku juga...”
aku meratap, dan air mataku tak bisa ku bendung lagi.
Liz menatap ke arahku, dan ia juga menangis.
“Kapal itu tak bisa dihuni oleh 3 orang,
Savanah. Tidak akan bisa,” air matanya berderaian.
“Harus ada yang mengambil keputusan. Harus ada
yang pergi. Atau kita akan sama-sama tenggelam...” lanjutnya.
“John mungkin telah melukai kita berdua,
menempatkan kita pada posisi yang tidak seharusnya. Tapi kita sama tahu bahwa
ia takkan pernah bisa mengambil keputusan. Ia mencintai kita berdua, dengan
porsi yang sama rata. Jadi ...” ia menelan ludah. “Pilihannya hanya ... kau?
Atau aku yang pergi?”
Aku lunglai. Bahuku terguncang dan aku
terisak. Liz juga.
Kenapa harus begini?
Kenapa?
***
John
datang ke apartemen keesokan malamnya, membawakanku seikat bunga mawar
putih, bunga kesukaanku.
“Aku merindukanmu,” ia memelukku erat sembari
mencium keningku dengan lembut. Aku tersenyum lesu, mengambil bunga dari
tangannya lalu menaruhnya di vas yang berada di atas meja bundar dekat jendela.
“Maaf kalau aku meninggalkanmu terlalu lama,”
ia melangkah ke arahku dan kembali merengkuh tubuhku dengan erat. Kali ini
sambil mengecup puncak kepalaku dengan suara keras.
Aku kembali tersenyum. Tanpa bersuara.
“Ayo kita jalan-jalan. Aku sudah memesan
tempat khusus untuk makan malam. Bersiap-siaplah,” ia berbisik.
“John ...” aku menjawab lirih lalu menarik
diriku dari pelukannya.
“Duduklah, ada yang ingin ku bicarakan.” Aku
mendorong tubuhnya agar ia mau duduk di sofa. Kening John mengernyit, menatapku
bingung.
“Ada masalah?”
Aku mondar-mondar dengan gusar. Meremas-remas
jemariku yang gemetar.
“Savanah ...”
“Aku tak sanggup lagi.” jawabku. “Ayo kita
akhiri semua ini,”
John ternganga.
“Let’s break up.” Lanjutku.
Dan kalimat itu membuat raut muka John pucat
seketika.
“Savanah, ada apa denganmu?” serta merta
lelaki itu bangkit, meremas kedua bahuku. Aku menghalau lembut lalu bergeser
mundur.
“Hubungan kita tidak bisa diteruskan lagi,
John. Kau sudah bertunangan dan sebentar lagi menikah. Jadi, aku tak bisa
bersamamu lagi,”
“Kita sudah membahasanya ‘kan?”
“Iya, dan aku ingin mengakhirinya.” Cetusku.
“Savanah, aku memang tidak bisa menjanjikan
apa-apa padamu. Tapi kita saling mencintai kan?” John mulai terlihat frustasi.
“Tapi cinta saja tidak cukup!” suaraku
meninggiku.
John menyisir rambutnya dengan jemari. Menarik
nafas bingung.
“Kau sudah bertunangan, dan sebentar lagi
menikah. Lalu aku? Bagaimana denganku? Apa kau akan selalu memperlakukanku
sebagai bayangan? Selama ini kita selalu menyembunyikan hubungan kita. Kita
bahkan melakukan acara kencan secara sembunyi-sembunyi. Bahkan untuk sekedar
berjalan-jalan di taman dan berpegangan tangan saja kita tak mampu
melakukannya. Apa kita akan begini terus? Kita memang saling mencintai, tapi
cinta saja tidak cukup.” Aku kembali menjerit.
“Aku tak mau berbagi, John. Dan aku yakin Liz
juga takkan mau. Dan aku memilih untuk merelakanmu ...” air mataku berjatuhan.
Lelaki jangkung di hadapanku itu menatapku
dengan mata berkaca-kaca.
“Ku mohon, jangan lakukan ini Savanah.”
Kami berpandangan.
“Selamat tinggal ...”
“Savanah ...”
“Pergilah. Tinggalkan aku sendiri,” pintaku.
John tak beranjak dari tempatnya berdiri. Air
matanya menitik.
Aku menghampirinya, tapi tidak untuk
memeluknya.
Aku hanya menghapus air matanya lalu menggamit
lengannya, untuk selanjutnya mendorongnya lembut ke arah pintu.
Aku tidak ingin ia kembali, mendobrak pintu,
lalu meluluhkan hatiku lagi. Seperti yang sudah-sudah. Jadi aku yang memilih
untuk mengantarkannya keluar, lalu mengunci pintu. Tanpa memberi kesempatan
padanya untuk masuk atau bahkan sekedar mengetuk pintu, lagi.
Cukup.
Semua cukup sampai di sini.
Berkali-kali lelaki itu menggedor pintu dan
meneriakkan namaku. Tapi aku mengabaikannya.
Aku terisak, hancur berkeping-keping, tapi aku
mengabaikannya...
Biar saja seperti ini. Aku takkan menemuinya.
Karena aku tahu hatiku lemah. Jika sampai aku melihatnya lagi, aku pasti goyah
dan tergerak untuk menerimanya lagi.
***
Pagi-pagi sekali setelah menghabiskan semalam
suntuk menangis, meratapi diri sendiri, aku memutuskan untuk mengepak
barang-barangku.
Beberapa baju, peralatan pribadi beserat
dokumen-dokumen penting ku tata secara sembarangan di koper.
Aku sudah memutuskan, aku akan pergi.
Kemana saja, ke rumah teman di luar negeri
mungkin, asal tidak di sini.
Berada satu kota dengan John hanya akan
memperburuk luka di hatiku. Terlebih lagi jika sampai aku bertemu lagi
dengannya, karena sudah bisa dipastikan aku pasti akan kembali jatuh ke
pelukannya. Begitulah. Aku lemah jika berhadapan dengannya.
Seperti kata Liz, kapal itu hanya bisa dihuni
oleh dua orang saja. Dan aku yang memutuskan untuk pergi.
Ia tak bisa berbagi, begitu pula denganku.
Dan aku terlalu berharga untuk sekedar menjadi
perempuan kedua. Aku berhak mencari kebahagiaan diriku sendiri.
Menyakitkan, tentu saja.
Aku bahkan tak yakin bisa melewati hari-hari
setelah ini, setelah jauh dari John.
Bisa saja aku terluka parah. Bisa saja lukaku
makin memburuk. Bisa saja lukaku tak bisa sembuhkan.
Who knows?
Tapi setidaknya aku ingin memberi kesempatan
pada diriku sendiri untuk mencari jalan lain.
***
Sesaat sebelum aku memanggil taksi, aku sempat
mengirimi John pesan singkat.
Terima
kasih atas semua momen indah yang pernah kita ukir bersama. Anggap saja itu
secuil kisah di antara kita yang tak seharusnya ada.
Aku
pergi.
Hiduplah
bahagia dengan Liz dan jangan mencoba mencariku.
Aku
merelakanmu.
~
Savanah.
Dan setelah pesan itu terkirim, aku mematikan
phonselku, mengeluarkan kartu di dalamnya, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Selamat
tinggal .....
***
Selesai.