John.
Aku bertemu dengannya secara tak sengaja di suatu sore, tepat di depan toko roti, tempatku bekerja. Waktu itu hari sedang hujan deras, dan pemuda itu tengah sibuk membawa dua ekor kucing liar untuk berteduh di depan toko.
Dari balik jendela tempatku bekerja aku bisa menyaksikan pemuda itu berusaha mencarikan tempat yang aman untuk kedua hewan tersebut agar tak terkena hujan. Sementara tubuhnya sendiri sudah basah kuyup.
Hal itulah yang membuatku tergerak untuk mendekatinya dan menyapanya.
"Mau ku pinjami payung?" tanyaku langsung.
Pemuda itu menoleh, terlihat bingung untuk menjawab.
Aku segera tersenyum ramah.
"Aku membawa dua payung. Kau bisa meminjamnya, aku tak keberatan. Ini tempatku bekerja, kau bisa mengembalikannya ke sini." ucapku lagi.
Dan akhirnya, dengan sedikit canggung, ia menerima pinjaman payung dariku.
"John. Namaku John," Ia memperkenalkan diri dengan ragu, tapi sopan.
"Savanah," jawabku.
Dan begitulah awal kami berkenalan.
Keesokan harinya, ia datang ke toko untuk mengembalikan payung. Begitu pula hari selanjutnya, ia jadi sering mampir ke toko tempatku bekerja, sekedar untuk menyapaku, atau membeli sesuatu.
Lambat laun kami mulai dekat. Kami bersahabat dan akhirnya ... kami berpacaran. Tidak perlu proses yang rumit karena ia mencintaiku, begitu pula sebaliknya.
Awalnya semua berjalan dengan penuh kebahagiaan. Hubungan percintaan kami berjalan lancar, dan cinta yang kami rasakan semakin mendalam.
Sampai akhirnya aku tahu bahwa, ada perempuan lain yang singgah di hatinya.
Tidak.
Dia tidak menduakanku.
Justru akulah yang menyebabkan ia mendua.
Aku, yang nomer dua.
Perempuan itu singgah terlebih dahulu di hatinya, jauh sebelum John berpacaran denganku. Ternyata ia sudah berpacaran selama bertahun-tahun dengannya, perempuan kalem berwajah manis dan tampak menyenangkan.
John berbohong padaku. Ia tak memberitahuku bahwa sebelumnya, ia sudah terlibat cinta dengan perempuan lain.
Kebohongannya terbongkar ketika secara tak sengaja aku menemukan sms-sms manis di phonselnya. Dan seolah sudah tak menemukan cara untuk mengelak, akhirnya ia mengakui segalanya.
Bahwa ia sudah punya pacar, jauh sebelum kami berhubungan. Mereka bahkan sudah berpacaran sejak SMA dan beberapa bulan yang akan datang, mereka berencana bertunangan.
Awalnya aku mengira hubungan mereka karena perjodohan, atau mungkin karena alasan orang tua dan sebagainya.
Tapi ternyata tidak.
John mencintainya.
Tapi ia juga mencintaiku.
Hatiku hancur, lebur, tak terbentuk...
"Bedebah kau," aku mendesis parau setelah kami melewatkan beberapa jam untuk bertengkar, di apartemenku.
"Kenapa kau tak jujur dari awal bahwa kau sudah punya kekasih?!" Aku nyaris menjerit.
John berdiri di hadapanku dengan tatapan putus asa. Kedua matanya basah, sama denganku.
"Aku tak bisa, Savanah. Aku mencintaimu, dan aku tak mau kehilanganmu ..." suaranya bergetar.
"Tapi kau juga mencintainya 'kan?" potongku. Ia tak menjawab.
Aku bergerak, memukul dadanya berkali-kali. Isak tangisku pecah.
John menarik kedua tanganku dan mencengkeramnya erat.
"Aku tahu ini tak adil bagimu, sayang. Aku juga tahu ini tak adil baginya. Tapi apa kau pikir aku bahagia dengan keadaan ini? Tidak," Ia mendesis.
"Aku tersiksa, sama menderitanya dengan dirimu. Awalnya aku mengira hanya akan ada dirinya di hatiku. Hanya ada dia satu-satunya wanita di hatiku. Aku tak berencana untuk jatuh cinta pada perempuan lain. Tapi pertemuanku denganmu mengalihkan segalanya. Aku ...," ia menelan ludah. "Aku jatuh cinta pada pandangan pertama denganmu. Sejak kau menyapaku, dan berniat meminjamiku payung, aku sudah jatuh cinta padamu!" kali ini ia berteriak frustasi. Memaksa pandangan kami terkunci.
"Jika saja aku mampu, aku ingin memutar waktu di mana aku tak mampir ke tokomu dan bertemu denganmu! Tapi, bisakah aku melakukannya? Tidak kan? Kenyataannya Tuhan sudah mempertemukan kita, membuatku mencintaimu, membuat kau mencintaiku ---,"
"Ini tak adil, John. Ini tak adil untuk kami," aku menggeleng lirih.
"Aku tahu! Aku tahu aku telah menyakitimu, tapi, aku benar-benar tak tahu harus bagaimana lagi ..."
"Pergilah," jawabku lirih.
"Savanah ...,"
"Pergilah. Hubungan kita selesai," suaraku nyaris tercekat. Aku menarik tanganku dari genggaman lelaki itu lalu mundur beberapa langkah, sekedar untuk mengambil nafas.
"Sayang, ku mohon jangan lakukan ini," air mata John berjatuhan.
"Beri aku waktu...."
"Tidak, pergilah ..." aku menggeleng lagi.
John menggigit bibirnya dan tampak terpukul.
Kedua bahunya luruh, tak berdaya.
Dan ia berbalik, lalu pergi.
Sesaat setelah pintu tertutup, aku merasa sekarat!
Tubuhku ambruk, dan tangisku kembali pecah.
Bagaimana aku bisa hidup tanpanya? Bagaimana aku bisa menjalani hari-hariku tanpa dirinya?
Aku mencintainya, dengan segenap jiwa raga. Namanya seolah telah terukir di setiap inci dari tubuhku!
Jika ia benar-benar pergi, harus dengan cara apa melupakannya?!
Tidak. Aku takkan mampu melupakannya.
John.
Bagiku, ia ibarat separuh jiwaku, separuh nafasku, jika ia tak bersamaku, aku takkan mampu hidup!
---------
Aku masih terisak dengan hebat ketika sayup-sayup aku mendengar pintu kembali terbuka. Dengan masih bersimpuh di lantai, aku menoleh.
Dan tampak olehku John muncul kembali dari sana. Dari balik pintu, dengan air mata berderaian.
Ia menarik nafas dan mengangkat tangannya dengan putus asa.
"Aku memang mencintainya. Tapi aku takkan mampu kehilanganmu," desisnya. Suaranya serak.
"Aku lebih baik mati jika harus kehilangan dirimu," ucapnya lagi.
Aku juga, teriakku dalam hati. AKU JUGA!
Dengan tertatih aku bangkit.
"Apa dia tahu kalau kita punya hubungan?" tanyaku lirih.
John menggeleng.
Dan tanpa menunggu lagi, aku berlari, menghambur ke arahnya, dan memeluknya erat. Menyurukkan wajahku ke dadanya. Dan melampiaskan isak tangisku di sana.
Ia juga balas mendekapku erat.
Dan aku meratap ...
Tidak ...
Aku takkan mampu hidup tanpamu.
Untuk saat ini, begini saja lebih baik.
Mari kita jalani cinta rahasia kita, sampai Tuhan menentukan rencana lain...
Begitu saja.
=====
Bersambung ....
Gambar : dari film Now Is Good.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar