Kamis, 16 Desember 2021

Quotes

Tuhan mempunyai banyak cara untuk mempertemukan dua insan manusia yang sudah diciptakan satu sama lain.
Ada yang sekali bertemu langsung menikah hingga maut memisahkan.
Ada yang harus melewati jalan memutar, terlibat hubungan dengan orang lain terlebih dahulu, baru kemudian mereka disatukan.
Ada pula yang harus jatuh bangun, hingga berdarah darah, baru kemudian Tuhan mempersatukan mereka.
Yang jelas kita pasti menemukan pasangan kita, entah bagaimanapun caranya.

Selasa, 21 Juni 2016

NEPHILIM #8



Ara merasakan seseorang menepuk-nepuk pipinya.
“Hei, bangunlah!"
Panggilan itu terdengar berulang-ulang, kembali diselingi dengan tepukkan di pipi.
“Hei, bangunlah!”
Lagi, kali ini terdengar lebih keras.
Ara mengerang lirih. Ia mencoba membuka mata, dan segera ia diserang rasa sakit di sekujur tubuh. Rasanya pegal, sakit, pening, ah, entahlah. Semua terasa bercampur jadi satu. Di kaki, di badan, di tangan, di kepala, di semuanya.
“Kau tak apa-apa?”
Ara kembali mencoba membuka mata demi untuk menatap seraut wajah kelelahan yang kini berada tepat di depan wajahnya. Lelaki yang tadi, yang ia temui ketika ...
“Oh, syukurlah. Akhirnya kau membuka mata,” ia berujar lega seraya beranjak mengambil sesuatu dan selanjutnya Ara merasakan tetesan air segar pada bibirnya. Rupanya lelaki itu menyuapinya air dari botol kecil yang ia bawa.
Setelah merasakan kerongkongannya dilewati air, perlahan Ara merasakan tubuhnya sedikit bertenaga. Ia menggeliat pelan, lalu berusaha bangkit. Lelaki itu tak tinggal diam. Dengan cekatan ia membantu Ara duduk.

Ara menatapnya bingung. Lelaki itu meniup poninya sendiri dengan  kesal.
“Jangan katakan kalau kau lupa dengan apa yang terjadi. Aku malas menjelasakannya. Jadi ingat-ingatlah sendiri,” ucapnya ketus.
“Aku ingat,” ucap Ara cepat, namun lirih.
“Syukurlah. Dan kau masih ingat namaku ‘kan?”
Ara kembali menatap lelaki di sampingnya dengan seksama. “Dodo,” jawabnya.
“Good,” lelaki itu menjawab pendek seraya beringsut menjauhi Ara, kemudian menyandarkan punggungnya di dinding batu.

“Aku sudah memeriksa tubuhmu, dan bersyukurlah, tak ada yang patah. Hanya keningmu yang sedikit berdarah. Itupun sudah ku beri plester luka,” lelaki itu kembali berujar. Dan seketika Ara mendelik.
“Memeriksa? Tubuhku?” ia berucap tak percaya seraya meraba keningnya yang ternyata sudah tertutup plester. Dodo hanya mengangkat bahu cuek.
“Aku harus melakukannya. Hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja. Tak lebih. Ah, sudahlah. Makanlah dulu buah-buahan itu agar kau segera punya tenaga dan kita bisa meninggalkan tempat ini,” lelaki itu menunjuk ke arah setumpuk buah-buahan di samping Ara, dengan dagunya. Gadis itu menatap tumpukkan buah di sampingnya dengan takjub.
“Kapan kau mendapatkan buah-buahan ini? Apa kau membawanya?”
“Aku mencarinya. Ketika kau tak sadarkan diri, aku berkeliling dan mencoba mencari buah liar,”
“Apa?” Ara kembali mendelik. “Maksudmu, kau meninggalkanku ketika aku jatuh pingsan, sendirian? Bagaimana jika aku dimakan hewan buas?” ia protes.
Dodo terkekeh. “Intinya kan sekarang kau masih utuh dan hidup. Selesai,” jawabnya. “Makanlah,”

Ara menggigit bibirnya kesal. Namun setelah dipikir-pikir lagi, tak ada gunanya ia bersikap seperti itu. Toh pemuda di hadapannya ini telah menyelamatkan nyawanya, merawat lukanya, dan bahkan mencarikan makanan untuknya.
“Siapa namamu?”
“Ara.” Ara menjawab tanpa perlu berpikir lama.
“Dan ceritakan padaku, kenapa kau bisa berbaur dengan vampir?”
Nah, untuk pertanyaan yang itu, Ara perlu waktu sejenak untuk menjawabnya.
“Keberatan menjawab?” Lelaki itu mendesak setelah menyadari Ara sibuk mengunyah makanan di mulutnya seolah tak berniat mengeluarkan kata-kata.

“Well, kau punya hak untuk tak menjawab pertanyaanku. Tapi jika ingin menjadi partner yang baik, maka kau harus bicara jujur tentang siapa dirimu, dan kenapa kau bisa bersama makhluk penghisap darah itu? Umurmu pasti sekitar 18 tahun, masih sekolah, jadi kenapa kau bisa terlibat dalam hal-hal seperti ini?”

Lagi-lagi Ara tak segera tak menjawab.
“Kenapa kita akan menjadi partner?” tanyanya kemudian.
“Seperti yang kau lihat sekarang? Kita jatuh ke dasar jurang dengan kedalaman puluhan meter. Kita terisolir, dan belum tentu bisa keluar dari sini. Kita perlu waktu untuk memulihkan tenaga, memahami situasi, memahami medan, lalu keluar dari sini. Jadi ...”Dodo menelengkan kepalanya. “Untuk beberapa waktu yang akan datang, kita akan menghabiskan waktu bersama-sama. Itu sama artinya bahwa, kita akan menjadi partner yang saling membantu. Dan untuk bisa menjadi partner yang baik, maka aku perlu tahu banyak hal tentang dirimu. Agar aku yakin bahwa kau bukan sekutu Vampir yang akan tiba-tiba mengumpankan aku pada mereka,” kalimatnya terdengar seperti  sebuah peringatan.
“Aku takkan mengumpankanmu pada Vampir,” Ara menjawab sengit, setelah menghabiskan 3 butir jambu.
Dodo hanya mengangkat bahu.

Ara menatap sekelilingnya. Ia seperti tak mengenali hari. Pagi, siang, ataukah malam.
Suasana agak gelap, tapi tak tahu itu dikarenakan pergantian waktu menjelang senja, ataukah karena mereka memang berada di dasar lembah yang minim cahaya matahari.
“Bisakah kita bicara nanti. Aku pusing, aku butuh istirahat.” Jawabnya. Mulanya ia mengira Dodo akan membentaknya, tapi ternyata lelaki itu malah mengangguk seraya menjawab ‘oke’.
“Istirahatlah. Kita bicara nanti.” Ia melepaskan jaketnya lalu menyodorkannya pada Ara. “Pakailah, bajumu tipis. Kau pasti kedinginan.” Ujarnya sopan.
Ara menggeleng. “Tidak, terima kasih. Aku tidak butuh jaket,” jawabnya.
“Kalau begitu, apa kau butuh diriku untuk menghangatkanmu,”
Ara melotot. “Hei!!” teriaknya. Dan Dodo kembali terkikik geli.
“Bercanda,” ucapnya.
Ara mendengus seraya menyambar jaket tersebut.

***

“Kau tahu tentang Nephilim?” Ara bertanya ragu ke arah Dodo. Ia merapatkan jaketnya. Maksudnya, jaket pinjaman dari Dodo. Lelaki itu terdiam sesaat lalu mengangguk.
“Keturunan dari malaikat dan manusia ‘kan?”
“Darimana kau tahu?”
Dodo terkekeh. “Aku sudah bertahun-tahun berkecimpung dengan dunia vampir. Jadi aku juga tahu tentang makhluk abadi lainnya,” jawabnya.
“Kalau Imp? Apa kau juga tahu?”
Lagi-lagi lelaki itu mengangguk.
“Keturunan manusia dan iblis,”
Ara ternganga. “Woa, kau hebat sekali.” Desisnya tanpa sadar.

“Ada apa dengan mereka? Kenapa kau menanyakannya?” tanya Dodo kemudian.
“Aku berteman dengan mereka,”
“Yang mana? Nephilim atau Imp?”
“Dua-duanya,” jawaban Ara kembali membuat Dodo terkesima.
“Serius?” desisnya. “Kau, manusia, berteman dengan Nephilim dan juga Imp?”
“Termasuk vampir yang beberapa waktu yang lalu kau temui. Kami juga berteman,” ucap Ara lagi, sedikit berbohong. Dan Dodo kembali  ternganga.
“Woa, keren,” ucapnya tanpa sadar. Ara hanya meringis.

“Kalau begitu, ceritakan sebenarnya apa yang terjadi padamu, dengan para makhluk abadi itu. Kenapa kau bisa bersama mereka?”
Ara menyeringai. “Well, ceritanya panjang ...”
“Waktuku lebih dari cukup untuk mendengarkan semua dongengmu. Jadi, lakukanlah. Atau kita akan keluar dari sini sendiri-sendiri. Sudah ku bilang ‘kan? Aku tak sudi punya partner abal-abal,”
Ara mendesah. “Oke, Oke,” jawabnya kesal.

Dan akhirnya, Ara menceritakan segalanya dari awal hingga akhir. Semuanya. Tentang para Nephilim yang tiba-tiba tinggal di samping rumahnya, tentang Habin, tentang pertempuran mereka dengan para malaikat, bahkan tentang vampir dan juga Imp yang  bersamanya beberapa waktu yang lalu.
Ketika Dodo bertanya padanya apakah ia terlibat kisah cinta terlarang dengan salah satu makhluk abadi hingga gadis itu rela melibatkan dirinya dengan bahaya, Ara menjawab tegas : iya.
“Aku jatuh cinta padanya. Perasaan itu datang begitu saja dan tak bisa ku cegah. Dan sepertinya, aku rela melakukan apapun demi bisa bersamanya,” ucapnya.

Dodo menatapnya dengan bimbang.
“Kau membuatku terkesima dengan kisahmu, nona. Ini seperti dalam film-film. Tapi ...” Ia terdengar ragu.
“Mencintai makhluk abadi bukan ide yang bagus. Manusia menua, ringkih, dan akhirnya mati. Sementara mereka tidak. Belum lagi serentetan pertempuran yang mungkin tidak akan pernah ada habisnya. Saranku ...” Ia menatap Ara dengan seksama. “Kau harus mulai menata hatimu untuk mencoba melupakannya, lalu memulai hidup baru yang lebih ... alamiah.” Ujarnya mantap.
“Aku tak bermaksud mencampuri urusanmu, sungguh. Tapi ini demi kebaikanmu.”
“Aku berencana menjadi vampir agar bisa sama-sama menjadi makhluk abadi,” jawab Ara putus asa.

Dodo menggeleng.
“Kau pikir setelah menjadi vampir kau bisa bersama dengan Nephilim itu?” Ia menggeleng.
“Tidak semudah itu.” Lelaki itu memperbaiki posisi duduknya dan menatap gadis  di depannya dengan  seksama.  “Ara ...” Ini untuk pertama kalinya ia memanggil namanya, dan dengan lembut pula.
“Menjadi vampir muda tidak mudah. Kau akan senantiasa lapar, haus, dan kau akan membunuh manusia dengan membabi buta, tanpa belas kasihan. Keinginan untuk menghisap darah tidak akan pernah bisa kau bendung. Dan jujur, aku ngeri membayangkan dirimu seperti itu.” ucapnya.
Ara balas menatap lelaki itu dengan bimbang.
“Apa semua vampir muda selalu seperti itu?”
Dodo kembali mengangguk. “Mereka nyaris tak punya pengendalian diri. Mereka butuh ratusan tahun untuk bisa menjadi vampir dewasa, vampir yang bisa mengontrol dirinya sendiri. Ada kok beberapa vampir yang tidak lagi membunuh orang. Mereka makan dengan membeli darah dari Bank darah.” Lanjutnya.

“Dan satu lagi yang pasti, jika kau menjadi vampir muda yang membunuh orang tanpa belas kasihan, maka kami, para Hunter akan memburumu dan tak segan-segan membunuhmu.”

Hening sesaat. Ara menarik nafas panjang. Seolah butuh banyak energi untuk sekedar bernafas. Semilir angin menerbangkan beberapa untaian rambutnya yang berjuntain. Dodo tergoda untuk menyentuh untaian rambut tersebut. Dan tanpa ragu tangannya terulur lalu menyelipkan rambut-rambut itu ke belakang telinga Ara.
Keduanya berpandangan. Canggung dan bingung.
Dodo berdehem lalu beringsut mundur dan kembali menyandarkan punggungnya di dinding batu.

“Kenapa kau bisa menjadi pemburu Vampir?” tanya Ara kemudian.
“Keturunan. Ini profesi turun temurun. Dan aku sekedar menjalankan tugasku,”
“Maksudmu, orang tuamu juga pemburu Vampir?”
Dodo mengangguk. “Tepatnya, leluhurku.” Jawabnya. “Mereka semua pemburu Vampir. Di siang hari, kami bekerja seperti orang pada umumnya. Dan di malam hari, tidak setiap malam, hanya malam-malam tertentu saja, kami berburu. Mencari Vampir yang berkeliaran yang membahayakan orang, lalu menghabisinya.”
“Siapa yang memberi perintah pada kalian untuk membasmi Vampir?” tanya Ara lagi.
Dodo mengangkat bahu. “Entahlah. Aku hanya tahu bahwa beberapa Vampir berbahaya harus segera dimusnahkan. Begitu saja. Dan ...” Ia manggut-manggut. “Aku menikmati profesiku seperti ini. Walaupun terkadang nyawaku sendiri hampir melayang.” Kalimatnya enteng.

Kali ini Ara yang manggut-manggut.

“Oke, sudah siap untuk pergi?” Dodo meraih busur silang di sisinya lalu mengutak-atiknya sekilas. Dan Ara mengangguk tanpa ragu. “Ya,” jawabnya.
Lelaki dihadapannya tersenyum lalu bangkit.
“Ayo,” ia mengulurkan tangannya ke arah Ara. Gadis itu terdiam sesaat, tapi akhirnya ia menerima uluran tangan tersebut.

***


Sementara itu di rumah peristirahatan Dika, mereka terlihat gusar dan tak tenang. Berkali-kali Dika mondar-mandir mencoba untuk bisa berpikir jernih. Sementara Woody dan Gio juga tampak tegang, sedangkan Joey mendampingi Bob yang turun tangan mengobati Jun.
Luka itu parah. Tapi Vampir mempunyai sistem penyembuhan diri yang cepat. Hanya dalam hitungan menit, luka pada vampir itu berangsur-angsur sembuh.

“Aku tak bisa membiarkan mereka sendirian di luar sana. Vernon entah kemana, dan Ara juga. Ini berbahaya sekali.” Desisnya. Tatapannya singgah ke arah saudara-saudaranya lalu ke arah Jun.
“Kau sudah bisa bergerak cepat?” ia bertanya langsung. Jun mengangguk.
“Kalau begitu begini,” Dika bersedekap tegas. “Kita akan berpencar mencari keberadaan mereka,” lanjutnya. Woody dan Gio berpandangan silih berganti, begitu pula dengan yang lainnya.

“Jun dan Hans, bisakah kalian membantuku?” Kali ini Dika menatap langsung ke arah dua vampir itu. Yang disebut namanya hanya saling menatap. Tapi akhirnya mereka mengangguk.
“Silahkan. Aku akan mencoba apapun sebisaku. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena kalian telah membantu merawat lukaku,” jawab Jun tegas.
Dika tersenyum. “Bagus,” desisnya lega.

“Setelah senja tiba, kita akan berpencar. Aku, Woody, Gio dan Jun akan pergi mencari keberadaan Ara. Sementara Joey, Bob dan Hans, akan pergi mencari Vernon. Aku sengaja memisah Jun dan Hans karena hanya mereka yang mampu mendeteksi keberadaan Vernon dan Ara. Jun akan membantuku mencari Ara, dan Hans akan membantumu mencari Vernon.” Kalimat yang terakhir ia tujukan ke arah Joey. Lelaki berambut panjang itu mengangguk.
“Siapapun yang menemukan mereka terlebih dahulu, maka kita haru segera memberi kabar,” Lanjut Dika lagi. Tatapannya tak beralih dari Joey seolah ini hanya pembicaraan diantara mereka berdua.

Ia memang sengaja membuat tim yang berbeda dengan Joey karena hanya mereka berdua yang mampu berkomunikasi jarak jauh melalui kekuatan pikiran. Sebenarnya Vernon juga bisa. Tapi dalam keadaan panik, sosok itu seolah sengaja membuat dirinya tak terdeteksi.

Jadi, jika Joey bisa menemukan Vernon terlebih dahulu, maka ia akan memberitahukannya pada Dika. Begitu pula sebaliknya.
“Baik,” jawab lelaki itu singkat.

Dan sesaat setelah senja tiba, para Nephilim itu bergerak mengambil senjata, lalu melesat keluar sesuai tim yang telah ditentukan, yang masing-masing didampingi dengan satu vampir.

***

Setapak demi setapak, Ara dan Dodo berhasil keluar dari dasar lembah. Kedua manusia itu terkapar kelelahan  sesaat setelah menginjakkan kakinya di tanah berbatu, dekat dengan lereng lain.
Ara segera ambruk. Nafasnya naik turun. Ia sudah berjalan dari senja ke senja berikutnya. Dan sekarang kakinya serasa mau patah. Tubuhnya lelah luar biasa.

“Kau tak apa-apa?” Dodo terbaring terlentang. Dadanya naik turun. Nafasnya tersengal.
Karena tak mendapat jawaban dari gadis yang terbaring di sisinya, ia bangkit dan beringsut ke arahnya.
Mata gadis itu setengah terpejam, ia terlihat kesulitan mengatur nafas.
“Hei,” Dodo menepuk pipinya dengan lembut. Ada nada khawatir pada nada suaranya.
“Kepalaku pusing,” akhirnya gadis itu menjawab lirih.
Dodo menelan ludah. Pemuda itu bangkit, lalu dengan sisa tenaga yang masih ia miliki, ia mengangkat tubuh gadis mungil itu, menggendongnya sambil melangkah perlahan, membawanya ke tempat yang lebih nyaman.

Setelah menemukan tanah datar dekat pohon, ia menurunkan tubuh gadis itu dengan hati-hati.
“Kau mampu duduk?” Dodo kembali bertanya. Ara mengangguk.
“Aku hanya merasa sedikit pusing karena lelah. Aku perlu waktu untuk memulihkan tenaga,” jawabnya.
Dodo mengambil botol air minumnya yang masih tersisa sedikit lalu menyodorkannya ke arah Ara. Awalnya Ara menolak minum, tapi setelah dipaksa, akhirnya gadis itu bersedia minum beberapa teguk.

Dodo meneguk sisanya, lalu ikut duduk di sisi Ara. Keduanya terdiam sesaat. Sibuk memulihkan tenaga.
“Firasatku mengatakan bahwa jalan raya tak jauh lagi,” lelaki itu memecah keheningan.
“Dari mana kau tahu?”
“Telingaku sudah terlatih. Aku bisa mendengar deru mobil dari puluhan kilometer. Jadi sudah bisa dipastikan, jalan raya tak jauh lagi.” Ia menatap Ara dengan yakin. “Aku tak ingin bermalam di hutan. Jadi, aku takkan menunggu sampai tenagamu pulih. Aku akan menggendongmu ke sana,  ke jalan raya, kemudian mencari tumpangan, dan ... pulang.” lanjutnya lagi. 
Ara tak menjawab.
“Ngomong-ngomong. Kemana aku harus mengantarkanmu pulang?”
“Eh?” Ara terlihat bingung menjawab.
“Di mana kau tinggal? Aku akan mengantarkanmu ke sana dan memastikanmu selamat sampai rumah.” Ujar Dodo lagi.
Ara terdiam. Mendengar kata ‘rumah’ dan ‘pulang’, air matanya nyaris tumpah.
Rumah?
Pulang?
Kemana ia akan pergi?
Ia tak punya siapa-siapa. Satu-satunya alasan ia sampai bertahan hidup hingga saat ini adalah keberadaan Vernon.
Dan sekarang? Ia bahkan tak tahu pemuda itu ada di mana.

“Ara?”
Panggilan itu membuyarkan lamunan Ara. Gadis itu tergagap.
“Kau tak apa-apa?”
Ia menelan ludah. “Aku ...” kalimatnya tertahan ketika tiba-tiba Dodo bangkit dan sikap tubuhnya terlihat waspada. Pemuda itu menatap sekeliling dengan was-was.
“Ada apa?”
“Ada yang datang,” ia berbisik lirih. “Dan aku mencium ... aroma vampir,” lanjutnya.
Ara ikut tersentak. Dengan tertatih ia ikut bangkit, dan secara naluriah ia berlindung di balik punggung Dodo sembari menatap sekelilingnya dengan perasaan takut.

Dan akhirnya beberapa sosok itu muncul.
Beberapa pemuda jangkung dan ...
“Ara!?” Gio yang pertama kali meneriakkan namanya.
Ara menyipitkan mata dan menatap sosok yang muncul dari kegelapan. Hingga akhirnya ia yakin, sosok yang muncul satu persatu itu adalah mereka!
Dika, Woody, Gio dan ... Jun!

Melihat kedatangan Jun, Dodo segera menarik senjata api dari pinggangnya dengan cekatan dan segera menodongkannya secara acak ke arah Jun dan juga para Nephilim. Keadaan sempat tegang, hingga akhirnya Ara-lah yang mencairkan suasana.
“Ah, aku senang bertemu dengan kalian.” Ara nyaris memekik karena girang. Ia menatap Dodo dan mencoba menenangkannya.
“Mereka para Nephilim, mereka temanku.” Ucapnya.
“Dia Vampir,” dan Dodo kembali mengarahkan senjatanya tepat ke arah Jun.
“Iya, tapi dia ... juga temanku.” Jawab Ara ragu seraya melirik ke arah Jun. Sementara Vampir itu hanya bersedekap angkuh.

Tetap dengan tatapan waspada, Dodo menyarungkan kembali senjatanya. Dan setelah itu Ara bergerak, menghambur ke arah Dika dan memeluknya secara bergantian dengan Gio beserta Woody.
“Oh, aku senang sekali bertemu dengan kalian. Ku pikir aku takkan bertemu dengan kalian lagi.” ia setengah meratap.
“Dan aku senang kau baik-baik saja. Kami sangat cemas ketika mendengar kau diculik,” sahut Woody sambil melirik ke arah Dodo yang masih nampak bersitatap tegang dengan Jun. Mendengar kalimat itu, Hunter itu memutar bola matanya kesal lalu balas menatap Woody.
“Aku tidak menculiknya. Aku justru berniat menyelamatkannya.” Jawabnya jengkel.
“Dia benar,” Ara nimbrung. “Dia menyelamatkanku.” Lanjutnya.
“Ngomong-ngomong, di mana Vernon?”
Tak ada jawaban sejenak.
“Dia sedang dalam perjalanan menyusul ke sini,” akhirnya Dika yang menjawab.
Gio dan Woody melayangkan tatapan protes ke arahnya, mengira bahwa lelaki itu tengah membohongi Ara. Tapi akhirnya Dika kembali berkata, “Joey berhasil menemukannya. Aku sudah memberitahu ia posisi kita,”

Gio dan Woody manggut-manggut.
Ara melangkah mendekati Dodo dan menatapnya lembut.
“Terima kasih karena kau berusaha menyelamatkanku. Tapi percayalah, mereka ---,” ia menunjuk ke arah Dika, Gio, Woody dan juga Jun, “---tidak berbahaya buatku. Mereka takkan menyakitiku. Jadi aku akan ikut pulang dengan mereka.” Ucapnya.
Dodo manggut-manggut. Sorot matanya menampakkan keberatan. Tapi akhirnya mulutnya berkata, “Oke,”
Dia baru saja ingin mengatakan sesuatu kembali ketika tiba-tiba atmosfir di sekitar mereka berubah seketika.

Angin berhembus dengan kencang. Seolah siap meluluh lantakkan apa saja yang di lewati. Debu berterbangan. Pohon-pohon bergoyang dengan hebat, bahkan sempat menjatuhkan rantingnya yang patah. Ara sempat menjerit panik sambil membungkukkan badannya. Dan Dodo secara reflek merentangkan tangannya dan mendekap gadis itu dengan sikap protektif.
“Malaikat datang,” Dika mendesis. Woody dan Gio langsung bersikap siaga.
“Jun, pergilah. Ini bukan pertempuranmu!” Dika kembali berteriak. Sementara Jun terlihat enggan untuk beranjak.
“Pergilah. Cari Hans, dan menyingkirlah dari sini. Malaikat juga takkan segan menghabisi Vampir,”
Kalimat Dika itu akhirnya membuat Jun beranjak, lalu melesat pergi.

Dika ganti menatap ke arah Dodo dan Ara.
“Pergilah dari sini! Cari tempat yang aman!” teriaknya. Ara berniat protes, tapi mulutnya bahkan belum sempat terbuka ketika tiba-tiba beberapa makhluk bersayap muncul dengan cara elegan, namun segera melesat dan menyerang membabi buta ke arah Dika, Gio dan Woody. Dan dalam hitungan detik, pertempuran sengit terjadi antara Nephilim dan malaikat.

“Ayo,” Dodo bangkit, menarik tangan Ara.
“Aku tak bisa meninggalkan mereka.” Jawab Ara sambil menepis tangan Dodo. Ia enggan bergerak.
“Aku tahu malaikat tidak melukai manusia. Tapi jika berkaitan dengan tugas mereka, lain lagi ceritanya.” Dodo berkata gusar.  Ia menyiapkan busur silang di tangannya, sekedar berjaga-jaga.
“Tapi ...”

Suara berdebum. Beberapa pohon tumbang. Dan ia melihat beberapa sosok terhempas. Tapi ia tak yakin itu Nephilim atau malaikat.

Ara masih nampak tercengang dengan apa yang terpampang di hadapannya sampai ia tak menyadari ketika sebuah sentuhan lembut mendarat di pipinya. Gadis itu tersentak. Ia menoleh ... dan segera tatapan matanya beradu dengan sepasang mata coklat memikat, yang akhir-akhir ini begitu ia rindukan. Sepasang mata coklat yang membuatnya terpikat, jatuh cinta, dan bersedia melakukan apa saja demi dirinya.

Tatapan mereka beradu. Pemilik sepasang mata coklat itu tersenyum haru.

“Vernon!” Ara berteriak. Dan segera ia menghambur ke arah lelaki itu, lalu memeluknya erat tanpa ragu.
Vernon pun melakukan hal yang sama. Ia memeluk tubuh Ara dengan erat, menyurukkan wajahnya di rambut gadis itu, nyaris menumpahkan air matanya di sana.

Dodo yang menatap adegan itu dengan canggung akhirnya memilih untuk pergi, bergerak menjauhi mereka menuju sebuah pohon besar. Ia berniat bersembunyi di sana dan menyadari ketika ada sosok lain di sana. Seorang pemuda agak gemuk yang menatap pertempuran antara malaikat dengan Nephilim dengan wajah takut.
“Kau di pihak mana?” tanya Dodo langsung.
“Aku teman Ara.” Jawab Bob tanpa basa basi. Dodo mengangkat bahu cuek dan memilih untuk ikut bergabung di samping pemuda itu.

Sementara itu, Ara tak henti-hentinya mengucap syukur karena bisa kembali bertemu dengan Vernon.
“Kenapa kau pergi begitu saja? Kenapa kau meninggalkanku? Aku khawatir padamu,” gadis itu sesenggukan.
Tangan Vernon terulur untuk menghapus air matanya.
“Maafkan aku. Aku hanya mencoba memberikan jalan terbaik untukmu.” Suara Vernon parau.
“Bersamamu adalah yang terbaik. Ingat itu,”
Vernon kembali menyentuh pipi Ara dengan lembut. Merasa tak rela berpisah lagi dengannya.

Dan tiba-tiba mereka mendengar Gio berteriak.
“Dika! Woody --- ” ia terdengar panik. “WOODY TERLUKA!”

Vernon kembali menatap Ara. “Tetaplah di sini,” titahnya. Ia mendaratkan ciuman ringan di kening Ara lalu beranjak, meninggalkannya, menuju ke arah datangnya suara Gio.
Dan lagi-lagi Ara merasakan ada yang hilang dari dirinya. Merasakan ciuman Vernon yang ringan di keningnya, firasatnya mengatakan situasi ini akan lebih sulit dari biasanya.

Dan tanpa perlu berpikir dua kali, tanpa memikirkan keselamatannya, Ara berlari. Mengikuti langkah kaki Vernon, menuju ke arah Gio yang tengah duduk bersimpuh dengan memangku Woody.
Dan Ara tercengang. Menyaksikan keadaan Woody, perutnya mulas seketika.
Ia terkapar tak bergerak di pangkuan saudaranya. Tubuhnya terluka dan berdarah-darah. Matanya terpejam dan ia tak berkutik sama sekali.
Gio sesenggukan.
“Vernon ... dia tak bergerak.” Air mata pemuda itu berderaian. Vernon hanya mampu menelan ludah sembari ikut duduk di samping tubuh Woody. Rahangnya kaku, tak mampu mengeluarkan kata-kata.

“Jangan pergi, Woody ...” Gio kembali sesenggukan. Ia memeluk tubuh saudaranya dengan erat. “Hanya kau satu-satunya saudara yang ku punya. Tolong jangan pergi ... jangan ...” Gio berujar pilu.
Air mata Ara kembali menitik menyaksikan adegan itu. Selama ini ia mengenal  sosok Gio yang begitu tegar, cuek dan kekanak-kanakkan. Tapi untuk kali ini, ia melihat sosok itu begitu rapuh. Tak berdaya.
Dua Nephilim yang sering ia sebut sebagai duo anak TK dan sering menghiasi harinya dengan tawa dan canda, lalu sekarang ia menyaksikan salah satu dari mereka terkapar mengenaskan, hatinya terluka.
Ia seakan tak sanggup menyaksikan hal seperti ini. Gadis itu terisak.

Kembali terdengar suara berdebum disertai beberapa ledakan. Beberapa pohon kembali tumbang yang kemudian diikuti debu bertebaran dan asap di mana-mana.
Vernon bangkit. Sepasang mata coklatnya sibuk mencari keberadaan Joey dan Dika.

Lalu tiba-tiba saja waktu seperti berhenti berjalan. Para malaikat bersenjata yang tadinya melakukan penyerangan membabi buta, tiba-tiba saja terdiam patuh. Pemandangan yang tadinya gelap karena malam hari ditambah dengan adanya asap dan debu, tiba-tiba saja sirna dengan begitu ajaib. Terang benderang, layaknya siang hari. Tak ada angin berhembus. Bahkan sekedar suara gesekan ranting pohonpun tak terdengar sama sekali.

Dan bersamaan dengan itu, sesosok makhluk bersayap muncul dari sana. Dari arah yang berlawanan. Perlahan, dan elegan.
Sosok malaikat berambut blonde dan bermata tajam. Warna sayapnya yang kuning keemasan menciptakan aura mistis luar biasa dari dirinya. Energi yang terpancar dari setiap inchi tubuhnya menandakan bahwa ia bukan sembarang malaikat.
Ia malaikat tertinggi, dengan kemampuan luar biasa yang tak pantas diremehkan.

“Halo,” Ia menyapa datar.
Vernon dan Ara terpaku di tempatnya sementara Gio masih bersimpuh dengan tubuh Woody dipangkuannya.
Joey dan Dika muncul dari sisi yang bersebelahan dengan mereka dan segera beranjak untuk berdiri di samping Vernon. Masing-masing dari mereka tetap terlihat waspada.
“Perlukah aku memperkenalkan diri?” Senyum tipis sempat menghiasi bibir malaikat itu.
“Aku akan bersikap sopan. Namaku Woozi dan ...” mata kelamnya seolah menusuk. “Aku lebih suka berdiskusi dengan baik daripada sekedar bermain perang-perangan seperti ini. Kalian tahu ‘kan aku tak suka repot? Jadi ...”

Sekilas Vernon menangkap tatapan mata Dika. Tatapan itu tampak putus asa. Seolah mengatakan bahwa : ini akan menjadi pertempuran terakhir dari mereka.

Vernon menelan ludah. Ia menoleh ke arah Ara, hendak mengatakan sesuatu, tapi tak mampu.
“Ara ...” Panggilnya lirih. Gadis itu balas menatapnya dengan bingung.
Keduanya berpandangan sesaat, sampai akhirnya perhatian mereka kembali ke arah malaikat bernama Woozi tersebut. Sosok itu kembali tersenyum. Tapi kali ini senyuman licik.
“Ikutlah bersamaku, para Nephilim.” Ia berucap datar. Dan bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja sebuah lubang serupa Black Hole muncul di hadapannya.

Lubang itu seolah membuat tubuh Joey dan Dika terangkat lalu tertarik ke dalamnya. Hal serupa juga terjadi dengan Gio. Pelukannya pada Woody terlepas dan tubuhnya terangkat, lalu ikut terserap masuk menyusul Dika dan Joey.
Nasib Vernon pun tak jauh berbeda.
Tubuhnya terangkat, melayang, lalu melesat ke dalam lubang tersebut.
“Tidak!” Ara menjerit.
Dengan sekuat tenaga ia berlari, berusaha menggapai tangan Vernon dan menarik tubuhnya.
“Tidak! Jangan!”  Gadis itu menjerit. Menggapai tangan Vernon dan menggenggamnya erat, berharap cara itu dapat menyelamatkan dari lubang terkutuk itu.

“Jangan... ! Ku mohon...!” Ara sesenggukan. Ia nyaris ikut terseret ke dalam lubang bersama Vernon, dan ia tak peduli. Vernon menatapnya dengan pilu.
“Aku mencintaimu, Ara!” teriaknya. “Dan hiduplah dengan baik!”
Bersamaan dengan itu pegangan tangan mereka terlepas. Lubang itu menelan tubuh Vernon, membawanya entah kemana kemudian lenyap begitu saja.

Ara ambruk. Tubuhnya tersuruk ke tanah. Dan gadis itu terisak dengan hebat.

“Tidak ...,” desisnya pilu. Bahunya terguncang. Menatap ke arah malaikat bersayap kuning keemasan yang berdiri dengan angkuh di hadapannya.

“Jangan lakukan ini padaku ...” suaranya serak.

“Jangan ambil dia ...”

“Kumohon ...”

Dan air matanya terus menitik.


****

Bersambung....


Next, final chapter!
Don’t miss it!




Rabu, 08 Juni 2016

NEPHILIM #7



Demi bisa menemukan keberadaan para Nephilim, Ara sepakat melakukan perjalanan denga dua Vampir tampan, Jun dan Hans. Bob menyebutnya nekat, tapi ia tak peduli. Ia hanya ingin bertemu Vernon dan yang lainnya, secepatnya.

Bob bahkan memutuskan ikut serta dalam perjalanan tersebut.
“Aku takkan membiarkanmu pergi sendirian dengan dua penghisap darah itu. Aku sudah berjanji pada Dika untuk menjagamu. Dan aku akan menepatinya.” Ucap lelaki itu sesaat setelah ia memutuskan ikut bergabung.
Awalnya Ara kaget dengan keputusannya, tapi akhirnya ia malah bersyukur dengan keberadaan Imp itu di sisinya.

“Ngomong-ngomong, bagaimana kalau aku menggigitmu terlebih dahulu agar kau bisa jadi Vampir, dan kau bisa pergi sendiri mencari para Nephilim?” Jun terkikik menggoda.
Bob menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba seraya mengacungkan sebuah senjata api ke arahnya. Ara juga melakukan hal yang sama. Ia mengarahkan busur silangnya, kali ini ke arah Hans.
Jika terjadi sesuatu, Bob akan membereskan Jun, dan ia yang mengatasi Hans.
Kedua Vampir itu menyeringai.
“Kami hanya bercanda,” desis mereka.
“Dan kami tidak segan-segan menembakmu,” Bob mengancam. “Peluru di pistolku di desain khusus untuk bisa menghabisi Vampir tanpa harus mengenai jantungmu. Begitu pula dengan busur yang dipegang Ara. Jadi, jangan macam-macam.”

Hans mencibir.
“Oke, tetap pada perjanjian.” Ucapnya. Dan mereka kembali berjalan menerobos rimbunnya hutan.
Sebenarnya mereka ke sana dengan mengendarai mobil Bob. Tapi karena kondisi jalan yang tak mungkin dilewati kendaraan, akhirnya mereka meninggalkan mobil tersebut di pinggir hutan lalu memilih berjalan kaki.
Jun bilang, ia merasakan keberadaan Nephilim di dalam sana. Dan Ara hanya berharap ia tak bohong.

“Katakan apa motifmu?” Gadis itu kembali membuka suara setelah keadaan sempat hening sesaat. Bob menatapnya dengan heran. Sementara dua vampir yang berjalan di hadapan mereka hanya saling bertatapan.
“Aku tahu kalian menyimpan motif terselebung,” Ara kembali berkata tanpa gentar.

Kali ini langkah mereka kembali terhenti. Jun menatap Ara dengan angkuh.
“Aku tak mengerti apa maksudmu, wahai manusia?” desisnya. Sepasang taringnya terlihat jelas.
Ara balas menatap mereka dengan angkuh.
“Ayolah, aku bukan gadis bodoh. Aku tahu kalian menyimpan motif tertentu. Jika kalian hanya sekedar kelaparan, kalian bisa saja menghabisiku sejak berjam-jam yang lalu, tanpa peduli aku menawarkan perjanjian atau tidak. Kalian vampir kuat. Sementara aku hanya gadis lemah. Keberadaan Imp di sampingku tetap saja takkan mampu menjaga keselamatanku. Jadi, apa yang membuat kalian setuju untuk membuat perjanjian padaku? Apa yang membuat kalian ingin menemukan Nephilim bersamaku?”

Jun sempat menatap ke arah Hans sebelum akhirnya tertawa sinis.
“Wow, kau hebat.” Ucapnya.
“Aliansi.” Lanjutnya.
Ara mengerutkan keningnya, begitu pula Bob.
“Aliansi? Dengan siapa?”
Jun manggut-manggut. Tapi kali ini Hans yang menjawab.
“Aliansi antara kaum Vampir dan kaum Nephilim?”
“Dan kenapa kalian harus merencanakan aliansi?” Ara kembali bertanya to the point.
“Agar kami, Vampir dan Nephilim, sesama makhluk abadi bisa menggalang kekuatan untuk meruntuhkan langit. Melawan seluruh malaikat dan menghancurkan mereka.”

Ara terkekeh mendengar jawaban itu.
“Menghancurkan malaikat? Kalian bermimpi. Malaikat adalah susunan keseimbangan alam. Kalian takkan bisa menghancurkannya.” Ujarnya.
“Kata siapa? Nephilim bisa menghancurkannya dan menggantikan posisi mereka sebagai makhluk langit,”

Ara menatap Vampir itu dengan tatapan tak mengerti.  “Itu tidak mungkin. Nephilim adalah kaum terbuang. Mereka bahkan diburu untuk dihabisi,” ucapnya.
Jun terkekeh. “Bukankah kau dekat dengan para Nephilim, bagaimana mungkin kau tak mengetahuinya?”
“Mengetahui apa?” tanya Ara lagi. Ia sempat menatap Bob untuk mengorek jawaban darinya tapi Imp itu seakan malas menjelaskannya.

“Alasan para Nephilim diburu bukan hanya karena mereka adalah kaum terbuang atau aib, tapi para malaikat takut bahwa para Nephilim akan melakukan kudeta. Kekuatan para Nephilim luar biasa. Mereka mewarisi kekuatan malaikat dan manusia sekaligus. Mereka hanya butuh ratusan Nephilim untuk membentuk pasukan, lalu menghancurkan langit dan menggantikan posisi malaikat. Itulah sebabnya mereka dihabisi, karena jika mereka bersatu, mereka akan jadi kaum tak terkalahkan. Nephilim adalah satu-satunya makhluk abadi yang mampu menciptakan keributan di langit.”

Ara tercengang mendengar penuturan Jun.
“Kau pasti bercanda,” desisnya. Hans menggeleng. “Tidak, dia benar.” Jawabnya.
“Jika mereka sekuat itu, kenapa Vernon dan saudara- saudaranya harus melarikan diri?”
“Karena mereka masih termasuk Nephilim muda. Mereka hanya perlu bertemu bangsa  mereka yang lebih tua dan ... BAM! Mereka akan semakin kuat. Masalahnya, keberadaan para Nephilim tersebar di seluruh pelosok dunia. Dan selain malaikat, kaum kamilah yang mampu mendeteksi keberadaan mereka. Karena itu kami menawarkan aliansi,”

“Lalu apa untungnya kalian membuat perjanjian kerja sama dengan mereka?” tanya Ara lagi.
“Gampang saja. Pembagian kekuasaan.”  Jawab Jun. “Kami membantu mereka menyatukan dengan para Nephilim. Jika mereka melakukan kudeta pada langit dan menang, mereka bisa menggantikan posisi malaikat, dan kami bisa menguasai bumi,” ia menyeringai.  “Bagaimanapun juga, Nephilim adalah keturunan malaikat. Dan mereka berhak bersanding dengan malaikat lainnya. Mungkin yang berbeda hanyalah mereka tak bersayap. Itu saja,” ia kembali menjelaskan panjang lebar.

Ara menggeleng pelan.
“Vernon takkan mungkin melakukan itu. Ia dan saudaranya hanya ingin hidup dengan tenang. Mereka tidak haus kekuasaan.”
“Itu karena mereka bodoh. Hidup seperti manusia? cih,” bibir Jun berdecih. “Harusnya mereka memanfaatkan kekuatan yang mereka punya. Lakukan pembalasan pada langit, dan mereka bisa menjalani sisa hidup mereka dengan tenang. Toh mereka tercipta karena beberapa malaikat melakukan kesalahan. Sudah sepantasnya mereka membalas dendam dan menuntut keadilan,”

Ara terdiam sesaat. Perlahan ide itu tercetus di benaknya.
“Oke, kalau begitu bersikaplah baik padaku,” ucapnya spontan.
Jun dan Hans mengernyit.
“Maksudnya?” Mereka bertanya hampir bersamaan.
Ara terus bersedekap dengan angkuh.
“Kalian kan tahu bahwa aku punya hubungan yang baik dengan para Nephilim. Setelah aku bertemu Vernon dan saudara-saudaranya, aku akan berbicara dan membujuk mereka agar mau bekerja sama dengan kalian. Mereka menyayangiku. Itu terbukti ketika mereka berusaha melindungiku.  Itu artinya mereka menganggapku penting. Jadi --” Ia melirik ke arah Bob. Sementara lelaki itu hanya mengangkat bahu cuek. “—bersikaplah baik padaku. Jika kalian tidak bersikap baik padaku, aku takkan membantu kalian untuk berbicara dengan mereka. Percayalah, mereka menganggap pendapatku penting,” lanjutnya.

Rahang Jun dan Hans kaku seketika.
Jun bahkan sempat mengumpat lirih. Perempuan pintar dan licik, pikirnya. Jika saja ia tak ingat tentang tujuan mereka dengan para Nephilim, sudah ia terkam gadis mungil di hadapannya ini, sejak tadi!
Sementara Ara hanya menyeringai puas.
“Setuju?” kedua matanya mengerjap penuh kemenangan. Jun dan Hans berpandangan, lalu mengangguk.
“Oke, kalau begitu, ayo kita lanjutkan perjalanan kita,” gadis itu seolah memberi perintah.  Lalu berjalan terlebih dahulu mendahului mereka dengan gaya sok bossy.  Bob juga melakukan hal yang sama. Sesekali ia terkikik menyaksikan kelakuan Ara.

Mereka baru menuruni sebuah bukit ketika-tiba ada sebuah anak panah melesat dan nyaris mengenai jantung Jun. Vampir itu mengelak, tapi sebuah anak panah kembali melesat dan kali ini mengenai bahu kirinya.
Jun mengaduh, Hans segera beranjak menolongnya.
Bob dan Ara menatap sekelilingnya dengan bingung sembari berjaga-jaga dengan senjata di tangan mereka. Dan tiba-tiba sesosok bayangan melesat ke arah mereka dengan cepat, menendang Bob hingga terjungkal, lalu meraih tubuh Ara dengan sikap protektif.
Gadis itu mengangkat busur silang di tangannya untuk memberi perlawanan, tapi karena tergesa-gesa busur itu malah terlepas dan terlempar.

“Apa yang ---?”
“Diam,” sosok itu berbisik dengan suara berat di telinga Ara. Satu tangannya mendekap tubuhnya, sementara tangan yang satunya mengarahkan busur silang ke arah Bob lalu berganti ke arah Hans dan Jun yang tengah terluka.
Bob berniat bangkit dan mendekati sosok yang tengah mendekap Ara tersebut. Tapi senjata yang terarah padanya mengurungkan niatnya.
“Diam di tempat!” Sosok itu memberi peringatan.
“Jangan ada yang mendekat!” Ia juga mengarahkan senjata itu ke arah Jun dan Hans secara bergantian seraya mundur perlahan.
Ara menelan ludah, berjalan mundur mengikuti lelaki tersebut.
Dengan gerakan terlatih, ia menarik lengan Ara lalu membawanya berlari setelah sempat menyarangkan tembakkan ke arah Hans, meski meleset.

“Ara!” Bob berteriak panik. Tapi beberapa kali anak panah yang melesat ke arahnya memperlambat gerakannya hingga ia kehilangan sosok lelaki asing itu, beserta Ara.

*** 

“Ah, syukurlah kita selamat,” lelaki itu berujar lega sembari melepaskan tangannya dari lengan Ara. Nafasnya terengah-engah setelah berlari beberapa kilo meter. Ara pun mengalami hal yang sama. Gadis itu terengah diselingi batuk-batuk kecil. Ia meletakkan tangannya di lutut sambil mengatur nafasnya yang tersengal.

“Apa kau baik-baik saja?” Lelaki itu bertanya.
“Apa yang kau inginkan?” Ara mendongak dan menatap lelaki tersebut.
“Hah?” Lelaki itu balas menatap Ara dengan bingung. “Aku baru saja menyelamatkanmu dari Vampir, nona,” jawabnya, agak kesal.
“Hah?” Kali ini Ara yang menatapnya bingung. “Menyelamatkanku? Dari Vampir? Maksudmu, kau manusia?”

Lelaki itu mengernyitkan dahinya. Raut mukanya yang tampan terlihat lelah.
“Aku manusia? Kau juga manusia ‘kan?” pertanyaannya terdengar bimbang.
“Aku manusia,” jawab Ara. “Siapa kau?”
“Namaku Dodo. Aku Hunter, pemburu vampir. Aku mengikuti kalian sejak kalian masuk ke hutan ini. Dan syukurlah, aku bisa menyelamatkanmu. Suatu keajaiban kau masih selamat setelah beberapa saat bersama Vampir,”

Ara melongo. Ia menatap sosok itu dengan cermat. Seorang lelaki jangkung berpakaian serba hitam dilengkapi baju rompi, semacam baju rompi anti peluru yang biasa dipakai anggota kepolisian, lengkap dengan beberapa senjata api di pinggang kanannya. Beberapa belati juga tampak tertata di kantong yang juga berada melingkar di pinggang. Sebuah pistol kaki terselip di kantong yang melekat di pahan kanan dan kiri, sementara tangannya yang kokoh menggenggam sebuah busur silang.

“Kau --- menyelamatkanku dari Vampir?” Ara kembali berujar tak percaya hingga membuat pemuda di hadapannya heran.
“Tentu saja, aku berusaha menyelamatkanmu dari vampir. Kau pikir aku tadi sedang apa? Bermain tembak-tembakkan?” desisnya kesal.
Ara menegakkan tubuhnya dan memutar bola matanya frustasi.
“Tunggu, ada kesalah pahaman di sini. Ceritanya panjang hingga aku bisa bersama vampir-vampir itu. Tapi yang jelas, aku tidak butuh di selamatkan. Maksudku, aku tidak dalam bahaya dan kau tak seharusnya menyelamatkanku dari sana! Maksudku ...” Ara terlihat bingung mengatur kata-katanya. Sementara pemuda Hunter di hadapannya kembali melongo.

“Apa otakmu korslet? Apa kau amnesia? Apa kepalamu terantuk sesuatu? Kau berada di sana bersama makhluk penghisap darah dan kau mengatakan situasimu tak berbahaya? Aku berusaha menyelamatkanmu, nona. Dan seharusnya kau berterima kasih padaku,” pemuda bernama Dodo itu terdengar makin kesal.
Ara mengangkat tangannya gemas.
“Oke, maksudku, terima kasih karena kau berusaha menyelamatkanku. Tapi, kondisiku benar-benar sedang tidak dalam bahaya. Mereka tidak akan menghabisiku, mereka tidak akan ...” ia mengacak-acak rambutnya sendiri. “Yang jelas aku tidak butuh diselamatkan, titik!” Gadis itu berteriak.
“Sekarang, bawa aku kembali ke sana!”

Rahang Dodo ternganga.
“Apa kau gila?” desisnya tak percaya.
“Kau manusia pertama yang menolak kuselamatkan dari Vampir.”
“Karena ceritanya panjang. Aku tak punya waktu untuk mendongeng bagaimana awalnya aku bisa bersama Vampir-vampir itu. Tapi yang jelas, BAWA-AKU-KEMBALI-KE SANA!”
“Tidak.” Dodo menjawab singkat, dan jelas.

Ara menggigit bibirnya kesal.
“Oke, aku ke sana sendiri.” Gadis itu berbalik, melangkahkan kaki sekenanya. Menerobos lebatnya hutan. Ia tak ingat sama sekali jalan ketika ia dibawa kemari.
“Nona, apa kau demam? Apa kau amnesia?” Lelaki itu berujar dari belakangnya. Ia tak menyangka bahwa sosok itu akan mengekorinya.
Ara tak menjawab. Ia terus berjalan tanpa menghiraukan ocehan lelaki itu.
Ia masih berjalan sekenanya ketika tiba-tiba ia merasakan tanah yang ia pijak bergerak dan tubuhnya oleng. Gadis itu menjerit ketika tubuhnya yang mungil meluncur melewati lereng, menuju jurang yang ternyata ternganga di bawah sana.

Dodo bergerak dengan gesit, menangkap lengan tangannya, berharap bisa menarik tubuhnya agar tidak tidak terperosok lebih dalam. Alih-alih berniat membantu lagi, tubuhnya malah ikut terseret, dan kedua sosok manusia itu meluncur, terjatuh ke dalam jurang yang entah berapa meter dalamnya.

***

Vernon duduk diam di langkan jendela. Mereka sudah berada di rumah peristirahatan yang lain milik Dika. Sebuah rumah mungil dan sederhana  berlantai dua di pinggir hutan, di dekat danau.
Sejak kedatangan mereka di rumah itu beberapa hari yang lalu, Vernon hanya menghabiskan waktunya berdiam diri. Jika tidak di kamar, terkadang di tempat favoritnya, langkan jendela.
Joey juga tak jauh berbeda, sejak kematian Josh, ia lebih sering mengurung diri di kamar. Tapi kali ini, ia ikut duduk termenung di sebuah sofa yang berada di dekat Vernon.
Sementara Woody dan Gio hanya duduk-duduk di depan TV, entah apa yang mereka tonton. Dalam 10 detik, Channel TV tersebut mereka ganti-ganti terus. Terlihat jelas bahwa mereka bosan setengah mati.

“Aku menemukan beberapa Nephilim yang lain,” Dika muncul dari tangga sambil membawa info tersebut. Seketika ke empat pemuda yang berada di ruangan itu menatap ke arahnya.
“Di mana?” Joey yang pertama kali bertanya.
“Di sebuah kawasan kecil di pinggir kota. Tidak banyak. Hanya beberapa saja. Tapi setidaknya kita berhasil menemukan mereka. Sisanya, kita bisa mencarinya pelan-pelan.” Jawab Dika seraya bergerak dan duduk si samping Joey.
“Seperti yang kita bahas beberapa waktu yang lalu, kita sudah sama-sama muak diburu. Kita akan fokus untuk mencari Nephilim-Nephilim yang lain, dan setelah kita berkumpul, baru kita putuskan langkah apa yang akan kita ambil. Toh kita sama-sama tahu bahwa kekuatan kita lebih dari cukup untuk mengadakan peperangan dan melakukan pembalasan,” lelaki itu terdengar geram.
“Aku sudah berusaha untuk berpikir bijak. Dan ini adalah pemikiran paling bijak yang bisa ku lakukan,” ujarnya lagi.

Hening sesaat. Semua orang terlihat menimbang.
“Aku bosan diburu. Tapi melakukan peperangan dengan malaikat? Entahlah, itu seperti bukan ide yang bagus. Kau tahu bahwa sejak dulu kita tak suka perselisihan dengan makhluk manapun. Jadi ... entahlah,” Vernon terdengar ragu.
“Lalu kau mau kita dibantai, dibunuh satu persatu?” Woody menyahut.
“Kalau mau jujur, iya. Aku bosan hidup. Sempat terpikir olehku untuk bertarung habis-habisan dengan mereka untuk yang terakhir kalinya, dan jika aku mati, selesai. Tak masalah. Toh aku lelah berlarian seperti ini,” Jawabnya.  Putus asa.
“Vernon, aku tahu kau patah hati. Tapi menyerah begitu saja bukan karakter kita,” Gio ikut bersuara.
“Aku setuju dengan Dika. Kita lakukan pembalasan,” ia berucap mantap.

Mereka saling berpandangan. Hening lagi.
“Aku juga sama dengan Vernon. Aku tak suka peperangan. Tapi jika ada kesempatan, ada satu malaikat yang ingin ku binasakan,” Joey bangkit. “Aku ingin mencari udara segar. Aku perlu berpikir,” lelaki  itu melangkah melewati Dika, lalu bergerak keluar dari rumah tersebut. Entah kemana.

Keempat pemuda yang masih tertinggal di ruangan tersebut menarik nafas berat. Tak terkecuali Vernon yang terlihat begitu tertekan dan ... tak hidup.
Dika menatapnya dengan iba.
“Vernon, aku tak paham seberapa parah luka di hatimu karena memutuskan untuk meninggalkan Ara. Tapi seperti yang sudah ku peringatkan sebelumnya,  hubungan di antara kalian tidak akan berhasil. Kalian berbeda, kau tahu ‘kan apa yang kumaksudkan? Selain itu, jika kau nekat bersamanya, gadis itu hanya akan berada dalam bahaya.” Ucap lelaki tersebut.
“Relakan dia, Vernon. Bob pasti sudah mengantarkan gadis itu kembali ke kotanya. Aku sudah memintanya untuk mencarikan tempat tinggal yang layak, memberinya uang yang cukup, dan melanjutkan hidup. Jadi, lupakan dia.” Lanjutnya lagi.
Vernon tak menjawab. Tatapan matanya asyik memperhatikan pemandangan dari balik jendela.

Melupakan Ara?
Itu hal tersulit yang pernah ia alami. Dan ia tak yakin bahwa ia akan sanggup melakukannya.
Gadis itu sudah mengisi setiap inchi dari tubuhnya, menghiasi setiap desah nafasnya. Dan setelah menjalani hidup selama ratusan tahun, ini untuk pertama kali bagi dirinya : ia ingin jadi manusia.

“Ada masalah,” Dika bangkit dengan tiba-tiba. Kontan saja Vernon, Gio dan Woody ikut siaga.
“Ada apa?” Vernon turun dari langkan jendela.
“Siapkan senjata kalian. Joey berhadapan dengan malaikat,” Dika beranjak menyiapkan  senjata-senjata mereka yang tersimpan rapi di laci meja.
Woody dan Gio sempat mengumpat bersamaan sebelum akhirnya mengikuti perintah Dika.

***

Joey sudah terlibat pertarungan sengit dengan beberapa malaikat ketika mereka datang ke lokasi yang berada cukup jauh dari rumah peristirahatan. Beberapa malaikat sudah tergeletak terkena tebasan pedang milik Joey.
Tanpa menunggu lagi, Dika dan yang lainnya segera mengangkat senjata dan menerjang ke arah malaikat-malaikat itu.
“Dia bagianku,” dengan dagunya,  Joey memperingatkan seraya menunjuk ke arah malaikat berambut blonde, bermata teduh, dengan sayap berwarna silver keemasan yang mengembang dengan kokoh. Sean.

Setelah sempat menebas kembali satu malaikat, ia melenggang perlahan ke arah sosok itu. Sosok yang tengah berdiri dengan tenang di samping pohon. Sosok yang tetap menatapnya dengan lembut, penuh cinta.
Bukannya Joey tak tahu bahwa Sean mencintainya. Ia tahu itu sejak pertama kali mereka bertemu. Sejak Sean batal untuk membunuhnya, lalu malah sering menguntitnya kemana-mana, diam-diam tanpa melakukan apapun padanya. Hal yang aneh karena seharusnya malaikat memburu dirinya, berlomba-lomba menghabisinya. Hal yang aneh ketika akhirnya mereka malah bertemu, mengobrol, dan bersahabat.

Ia dan Sean bahkan sempat dekat. Lelaki itu memperlakukannya dengan manis. Sampai akhirnya suatu hari ia menghilang begitu saja. Begitu saja. Meninggalkan Joey, tanpa mengatakan apapun.

Lalu Josh hadir dalam hidupnya.
Belakangan ia tahu bahwa Josh-lah yang telah menggantikan tugasnya. Sosok malaikat berhati lembut yang tadinya ditugaskan membunuh dirinya, tapi malah berakhir di pelukannya. Bahkan bersedia mengikuti dirinya, meninggalkan kaumnya.

Ingat akan sosok Josh yang telah tiada, rahang Joey terasa kaku. Amarah seakan siap meledak di kepalanya. Dan tanpa banyak bicara, Ia segera melesat dan menyerang Sean dengan membabi buta.
Ia tahu sosok itu salah satu malaikat tertinggi. Tapi ia tak gentar. Ia sudah bertekad, jika hari ini dia tak mati, maka sosok yang telah membunuh Josh itulah yang akan mati.

“Kali ini aku takkan ragu membunuhmu,” Joey mendesis, seraya kembali menyerang Sean.
Sementara malaikat itu hanya terus menghindar, tanpa melakukan perlawanan.
“Maafkan aku.” Ia berujar lirih. “Maafkan aku karena waktu itu aku pergi begitu saja. Maafkan aku karena aku menjadi pecundang,”
“Jangan-mengatakan-apapun-lagi,” Joey berucap dengan gigi terkatup.
“Aku hanya ingin meminta maaf atas apa yang ku lakukan padamu. Dan aku juga ingin meminta maaf atas apa yang kulakukan pada Josh,”
“Kenapa kau harus membunuhnya?!” Kali ini Joey berteriak. Kembali menyerang Sean dengan sebuah tebasan, tapi laki-laki itu hanya terus menghindar tanpa berusaha membalas.
“Aku hanya menjalankan tugas. Aku tak punya pilihan.” Jawabnya.
“Kau bisa membuat pilihan. Bukankah waktu kau ditugaskan membunuhku? Kenyataannya kau malah tak melakukannya ‘kan? Kenapa kali ini kau tak membuat pilihan seperti itu lagi?!”
“Karena Josh mengkhianati kami. Dan itu hukumannya.” Jawab Sean getir.
“Mencintai sesuatu tak pantas menerima hukuman.” Kali ini kalimat Joey terdengar seperti sebuah ratapan. Air matanya nyaris tumpah ketika mengingat kembali bagaimana Josh mati dalam pelukannya.

“Maafkan aku. Hanya itu yang bisa ku lakukan. Dan ... hanya itu yang ingin ku ucapkan padamu.” Ucap Sean lagi.
Joey menatapnya dengan tajam. Dan ia kembali melesat, menyerang Sean, siap menancapkan pedanganya ke jantung lelaki tersebut.
Tapi seolah malaikat itu sengaja melakukannya, ia hanya berdiam diri ketika Joey menyerangnya. Dan tak ayal lagi, pedang itu menembus dadanya, keras.
Ia sempat meringis kesakitan, sebelum akhirnya ambruk, dengan lutut menghantam bumi terlebih dahulu.

Joey tercengang.
Ia mencabut pedang yang menusuk jantung Sean dan menatap lelaki itu dengan tak mengerti.
“Kenapa kau ---,”
Sean menatap Joey dengan lembut.
“Aku ---,” Nafasnya tersengal. Ia memegang dadanya yang berlubang. “Aku hanya mencoba menebus kesalahanku padamu --- pada Josh.” Suaranya parau. “Anggap saja --- anggap saja ini caraku menebusnya.” Kalimatnya nyaris tersendat.

Joey menelan ludah. Hatinya pilu. Ingin ia menebas kembali sosok itu dengan pedangnya. Alih-alih melakukan itu, ia malah menjatuhkan pedangnya ke tanah, lalu bergerak, berlutut di hadapan Sean kemudian memeluk sosok itu dengan perasaan hancur.
“Kenapa kita harus seperti ini, Sean?” ia bertanya getir. “Kenapa ...?”
“Maafkan aku.”  Sean juga menjawab dengan getir.
Dengan lembut ia berbisik di telinga Joey. “Kelak --- mungkin kau akan bertemu dengan Woozi. Sang malaikat tertinggi. Dan --- jika kau bertemu dengannya. Larilah.” Ia tersengal.
“Kau bukan tandingannya. Kalian bukan tandingannya. Dia bisa membunuhmu, membunuh para Nephilim muda seperti kalian, hanya dalam sekejap mata. Karena itu --- larilah yang jauh. Jangan --- pernah berurusan dengannya. Jangan ---,” dan tubuh Sean terkulai, dalam pelukan Joey.
Dan ia tahu, malaikat itu sudah pergi. Ia mati.

Joey menelan ludah. Ia memeluk sosok itu dengan erat, dan air matanya menitik.

***

“Jadi kita harus meninggalkan tempat ini lagi?” tanya Woody bingung, sesaat setelah mereka kembali ke rumah peristirahatan.
Dika hanya mengangguk singkat seraya kembali memberesi beberapa senjata yang masih tertinggal di rumah tersebut. Vernon dan Joey juga melakukan hal yang sama. Merapikan beberapa senjata yang masih tertinggal dan membawa beberapa kebutuhan di tas ransel.
“Kemana?” tanya Gio.
“Mencari Nephilim yang lain,” jawabnya.
Gio dan Woody sempat mendesah kesal. Tapi toh akhirnya ikut beres-beres.

Aksi beres-beres mereka terhenti ketika tiba-tiba pintu terbuka dan Bob muncul dari sana. Tapi ia tak sendirian. Ada dua vampir di belakang mereka. Hans tampak memapah Jun yang tampak terluka parah karena panah. Panah khusus untuk membasmi Vampir.

“Dika, aku butuh obat-obatan yang kau bawa. Aku tak suka vampir, tapi sebagai dokter, aku tak bisa membiarkan dia mati di hadapanku. Meski aku ragu apakah obat yang kau bawa mampu memberikan efek penyembuhan padanya.” Tanpa menyapa terlebih dahulu ia langsung nyerocos dan meminta pada Hans untuk membaringkan Jun di kursi panjang yang ada di ruangan tersebut.

“Ada apa ini? Bagaimana kau bisa bersama Vampir? Kenapa ia terluka?” Gio yang sadar terlebih dahulu dengan situasi di antara mereka.
Dika bergerak. “Oke, akan ku ambilkan.” Dengan gesit ia membuka sebuah laci yang berada di ujung ruangan berisi obat-obatan lalu segera menyerahkannya pada Bob.
“Hanya itu yang kami punya. Entah mana yang bisa digunakan.” Ucapnya.

“Ara?” Itu kata pertama yang muncul terlebih dahulu dari mulut Vernon ketika ia menyadari gadis itu tak bersama mereka.
Bob menatap para Nephilim itu secara bergantian, tanpa mampu segera menjawab.
Dan hati Vernon segera mencelos. Hati kecilnya segera tahu bahwa sesuatu telah terjadi padanya.
“APA YANG TERJADI PADANYA? DIMANA ARA?!” Ia mendekati Bob, meremas bahunya dan tampak kalap seketika.

Bob tampak sedikit bingung, namun akhirnya ia mampu menjawab.
“Dia begitu terpukul ketika mengetahui kau pergi. Begitu bertemu dengan para vampir ini,” ia menunjuk ke arah Jun dan Hans. “Ia melakukan perjanjian pada mereka.”
“Perjanjian?” para Nephilim nyaris bertanya bersamaan.
“Perjanjian apa?” Vernon terlihat tak sabar.
“Ara meminta pada Vampir agar membawa dirinya pada kalian. Dan sebagai imbalasannya, ia bersedia memberikan nyawanya. Ia bilang ia bosan jadi manusia. Lebih baik ia jadi Vampir, agar ia bisa ... bersamamu.” Bob menatap Vernon dengan ekspresi takut.

Vernon ternganga. Tak mengira bahwa Ara akan senekat itu.
“Lalu?” desaknya.
“Ketika dalam perjalanan kemari, tiba-tiba saja seseorang menyerang kami. ia melukai Jun, nyaris membunuhku, lalu ---,”
“LALU APA?!” Vernon kembali berteriak tak sabaran.
“Ia membawa Ara pergi.”

Para Nephilim tersentak. Terutama Vernon. Ia nyaris tak bisa bernafas lagi.
Sudah cukup ia menyaksikan gadis itu nyaris mati di hadapannya. Dan sekarang tiba-tiba saja ia harus mengetahui bahwa gadis itu hilang, entah dibawa oleh siapa.

“Siapa yang membawanya? Manusia? Malaikat? ATAU APA, HAH?!”
“Aku --- tidak tahu.”
Vernon menyentakkan bahu Bob, lalu melesat keluar dari rumah tersebut.
“Vernon, mau kemana kau?” Dika yang pertama kali mengejarnya.
“Aku harus mencarinya, Dika. Aku harus menemuka Ara.”
“Jangan gegabah. Kita pikirkan dulu rencana selanjutnya. Kita tak tahu siapa yang membawanya. Jangan membabi buta seperti ini. Jangan sampai kita terpencar!” Dika menarik lengan Vernon.
“Aku tak bisa!” Pemuda gondrong itu menyentakkan tangannya dengan kasar.
“Aku tak bisa tenang sementara aku tak tahu bagaimana keadaan Ara!” dan ia kembali melesat cepat, tanpa mengindahkan panggilan Dika.
Dika kembali berusaha mengejarnya, tapi sia-sia. Vernon bergerak cepat, meninggalkannya.

Dan Vernon tak peduli. Yang ada di pikirannya hanya satu : menemukan Ara secepatnya, bagaimanapun keadaannya.
Tiba-tiba penyesalan luar biasa menyelimuti benaknya. Kenapa ia harus meninggalkan gadis itu? Kenapa ia harus pergi begitu saja?
Ara bahkan rela membuat perjanjian dengan Vampir dan berniat menjadi makhluk abadi, demi dirinya?
Demi dirinya!
Oh Tuhan ...

Vernon merasakan kedua matanya basah.
Dalam hati ia berujar mantap : Jika Ara mati, ia juga.

****

Bersambung ...



Note :
Nephilim dan Imp adalah makhluk abadi fiksi sama seperti Vampir dan Manusia serigala. Cuma beberapa orang tidak begitu familiar karena tokoh-tokoh itu jarang di angkat dalam cerita film ataupun buku. (Tapi dalam beberapa buku Urban Fantasy semacam The Fallen Series dan The Succubus Series, tokoh Imp dan Nephilim pernah dimunculkan, tapi bukan karakter utama)
Itulah kenapa mereka agak asing karena yang lebih terkenal memang Vampir dan manusia serigala.
Hunter adalah pembasmi vampir. Profesi ini biasanya turun temurun.