Demi bisa menemukan keberadaan para Nephilim, Ara sepakat
melakukan perjalanan denga dua Vampir tampan, Jun dan Hans. Bob menyebutnya
nekat, tapi ia tak peduli. Ia hanya ingin bertemu Vernon dan yang lainnya, secepatnya.
Bob bahkan memutuskan ikut serta dalam perjalanan
tersebut.
“Aku takkan membiarkanmu pergi sendirian dengan dua penghisap
darah itu. Aku sudah berjanji pada Dika untuk menjagamu. Dan aku akan
menepatinya.” Ucap lelaki itu sesaat setelah ia memutuskan ikut bergabung.
Awalnya Ara kaget dengan keputusannya, tapi akhirnya ia
malah bersyukur dengan keberadaan Imp itu di sisinya.
“Ngomong-ngomong, bagaimana kalau aku menggigitmu
terlebih dahulu agar kau bisa jadi Vampir, dan kau bisa pergi sendiri mencari
para Nephilim?” Jun terkikik menggoda.
Bob menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba seraya
mengacungkan sebuah senjata api ke arahnya. Ara juga melakukan hal yang sama.
Ia mengarahkan busur silangnya, kali ini ke arah Hans.
Jika terjadi sesuatu, Bob akan membereskan Jun, dan ia
yang mengatasi Hans.
Kedua Vampir itu menyeringai.
“Kami hanya bercanda,” desis mereka.
“Dan kami tidak segan-segan menembakmu,” Bob mengancam.
“Peluru di pistolku di desain khusus untuk bisa menghabisi Vampir tanpa harus
mengenai jantungmu. Begitu pula dengan busur yang dipegang Ara. Jadi, jangan
macam-macam.”
Hans mencibir.
“Oke, tetap pada perjanjian.” Ucapnya. Dan mereka kembali
berjalan menerobos rimbunnya hutan.
Sebenarnya mereka ke sana dengan mengendarai mobil Bob.
Tapi karena kondisi jalan yang tak mungkin dilewati kendaraan, akhirnya mereka
meninggalkan mobil tersebut di pinggir hutan lalu memilih berjalan kaki.
Jun bilang, ia merasakan keberadaan Nephilim di dalam
sana. Dan Ara hanya berharap ia tak bohong.
“Katakan apa motifmu?” Gadis itu kembali membuka suara
setelah keadaan sempat hening sesaat. Bob menatapnya dengan heran. Sementara
dua vampir yang berjalan di hadapan mereka hanya saling bertatapan.
“Aku tahu kalian menyimpan motif terselebung,” Ara
kembali berkata tanpa gentar.
Kali ini langkah mereka kembali terhenti. Jun menatap Ara
dengan angkuh.
“Aku tak mengerti apa maksudmu, wahai manusia?” desisnya.
Sepasang taringnya terlihat jelas.
Ara balas menatap mereka dengan angkuh.
“Ayolah, aku bukan gadis bodoh. Aku tahu kalian menyimpan
motif tertentu. Jika kalian hanya sekedar kelaparan, kalian bisa saja
menghabisiku sejak berjam-jam yang lalu, tanpa peduli aku menawarkan perjanjian
atau tidak. Kalian vampir kuat. Sementara aku hanya gadis lemah. Keberadaan Imp
di sampingku tetap saja takkan mampu menjaga keselamatanku. Jadi, apa yang
membuat kalian setuju untuk membuat perjanjian padaku? Apa yang membuat kalian
ingin menemukan Nephilim bersamaku?”
Jun sempat menatap ke arah Hans sebelum akhirnya tertawa
sinis.
“Wow, kau hebat.” Ucapnya.
“Aliansi.” Lanjutnya.
Ara mengerutkan keningnya, begitu pula Bob.
“Aliansi? Dengan siapa?”
Jun manggut-manggut. Tapi kali ini Hans yang menjawab.
“Aliansi antara kaum Vampir dan kaum Nephilim?”
“Dan kenapa kalian harus merencanakan aliansi?” Ara
kembali bertanya to the point.
“Agar kami, Vampir dan Nephilim, sesama makhluk abadi
bisa menggalang kekuatan untuk meruntuhkan langit. Melawan seluruh malaikat dan
menghancurkan mereka.”
Ara terkekeh mendengar jawaban itu.
“Menghancurkan malaikat? Kalian bermimpi. Malaikat adalah
susunan keseimbangan alam. Kalian takkan bisa menghancurkannya.” Ujarnya.
“Kata siapa? Nephilim bisa menghancurkannya dan menggantikan
posisi mereka sebagai makhluk langit,”
Ara menatap Vampir itu dengan tatapan tak mengerti. “Itu tidak mungkin. Nephilim adalah kaum
terbuang. Mereka bahkan diburu untuk dihabisi,” ucapnya.
Jun terkekeh. “Bukankah kau dekat dengan para Nephilim,
bagaimana mungkin kau tak mengetahuinya?”
“Mengetahui apa?” tanya Ara lagi. Ia sempat menatap Bob
untuk mengorek jawaban darinya tapi Imp itu seakan malas menjelaskannya.
“Alasan para Nephilim diburu bukan hanya karena mereka
adalah kaum terbuang atau aib, tapi para malaikat takut bahwa para Nephilim
akan melakukan kudeta. Kekuatan para Nephilim luar biasa. Mereka mewarisi
kekuatan malaikat dan manusia sekaligus. Mereka hanya butuh ratusan Nephilim
untuk membentuk pasukan, lalu menghancurkan langit dan menggantikan posisi
malaikat. Itulah sebabnya mereka dihabisi, karena jika mereka bersatu, mereka
akan jadi kaum tak terkalahkan. Nephilim adalah satu-satunya makhluk abadi yang
mampu menciptakan keributan di langit.”
Ara tercengang mendengar penuturan Jun.
“Kau pasti bercanda,” desisnya. Hans menggeleng. “Tidak,
dia benar.” Jawabnya.
“Jika mereka sekuat itu, kenapa Vernon dan saudara- saudaranya
harus melarikan diri?”
“Karena mereka masih termasuk Nephilim muda. Mereka hanya
perlu bertemu bangsa mereka yang lebih
tua dan ... BAM! Mereka akan semakin kuat. Masalahnya, keberadaan para Nephilim
tersebar di seluruh pelosok dunia. Dan selain malaikat, kaum kamilah yang mampu
mendeteksi keberadaan mereka. Karena itu kami menawarkan aliansi,”
“Lalu apa untungnya kalian membuat perjanjian kerja sama
dengan mereka?” tanya Ara lagi.
“Gampang saja. Pembagian kekuasaan.” Jawab Jun. “Kami membantu mereka menyatukan
dengan para Nephilim. Jika mereka melakukan kudeta pada langit dan menang,
mereka bisa menggantikan posisi malaikat, dan kami bisa menguasai bumi,” ia
menyeringai. “Bagaimanapun juga,
Nephilim adalah keturunan malaikat. Dan mereka berhak bersanding dengan
malaikat lainnya. Mungkin yang berbeda hanyalah mereka tak bersayap. Itu saja,”
ia kembali menjelaskan panjang lebar.
Ara menggeleng pelan.
“Vernon takkan mungkin melakukan itu. Ia dan saudaranya
hanya ingin hidup dengan tenang. Mereka tidak haus kekuasaan.”
“Itu karena mereka bodoh. Hidup seperti manusia? cih,”
bibir Jun berdecih. “Harusnya mereka memanfaatkan kekuatan yang mereka punya.
Lakukan pembalasan pada langit, dan mereka bisa menjalani sisa hidup mereka
dengan tenang. Toh mereka tercipta karena beberapa malaikat melakukan
kesalahan. Sudah sepantasnya mereka membalas dendam dan menuntut keadilan,”
Ara terdiam sesaat. Perlahan ide itu tercetus di
benaknya.
“Oke, kalau begitu bersikaplah baik padaku,” ucapnya
spontan.
Jun dan Hans mengernyit.
“Maksudnya?” Mereka bertanya hampir bersamaan.
Ara terus bersedekap dengan angkuh.
“Kalian kan tahu bahwa aku punya hubungan yang baik
dengan para Nephilim. Setelah aku bertemu Vernon dan saudara-saudaranya, aku
akan berbicara dan membujuk mereka agar mau bekerja sama dengan kalian. Mereka
menyayangiku. Itu terbukti ketika mereka berusaha melindungiku. Itu artinya mereka menganggapku penting. Jadi
--” Ia melirik ke arah Bob. Sementara lelaki itu hanya mengangkat bahu cuek.
“—bersikaplah baik padaku. Jika kalian tidak bersikap baik padaku, aku takkan
membantu kalian untuk berbicara dengan mereka. Percayalah, mereka menganggap
pendapatku penting,” lanjutnya.
Rahang Jun dan Hans kaku seketika.
Jun bahkan sempat mengumpat lirih. Perempuan pintar dan
licik, pikirnya. Jika saja ia tak ingat tentang tujuan mereka dengan para
Nephilim, sudah ia terkam gadis mungil di hadapannya ini, sejak tadi!
Sementara Ara hanya menyeringai puas.
“Setuju?” kedua matanya mengerjap penuh kemenangan. Jun
dan Hans berpandangan, lalu mengangguk.
“Oke, kalau begitu, ayo kita lanjutkan perjalanan kita,”
gadis itu seolah memberi perintah. Lalu
berjalan terlebih dahulu mendahului mereka dengan gaya sok bossy. Bob juga melakukan hal yang sama. Sesekali ia
terkikik menyaksikan kelakuan Ara.
Mereka baru menuruni sebuah bukit ketika-tiba ada sebuah
anak panah melesat dan nyaris mengenai jantung Jun. Vampir itu mengelak, tapi
sebuah anak panah kembali melesat dan kali ini mengenai bahu kirinya.
Jun mengaduh, Hans segera beranjak menolongnya.
Bob dan Ara menatap sekelilingnya dengan bingung sembari
berjaga-jaga dengan senjata di tangan mereka. Dan tiba-tiba sesosok bayangan
melesat ke arah mereka dengan cepat, menendang Bob hingga terjungkal, lalu
meraih tubuh Ara dengan sikap protektif.
Gadis itu mengangkat busur silang di tangannya untuk
memberi perlawanan, tapi karena tergesa-gesa busur itu malah terlepas dan
terlempar.
“Apa yang ---?”
“Diam,” sosok itu berbisik dengan suara berat di telinga
Ara. Satu tangannya mendekap tubuhnya, sementara tangan yang satunya mengarahkan
busur silang ke arah Bob lalu berganti ke arah Hans dan Jun yang tengah
terluka.
Bob berniat bangkit dan mendekati sosok yang tengah
mendekap Ara tersebut. Tapi senjata yang terarah padanya mengurungkan niatnya.
“Diam di tempat!” Sosok itu memberi peringatan.
“Jangan ada yang mendekat!” Ia juga mengarahkan senjata
itu ke arah Jun dan Hans secara bergantian seraya mundur perlahan.
Ara menelan ludah, berjalan mundur mengikuti lelaki
tersebut.
Dengan gerakan terlatih, ia menarik lengan Ara lalu
membawanya berlari setelah sempat menyarangkan tembakkan ke arah Hans, meski
meleset.
“Ara!” Bob berteriak panik. Tapi beberapa kali anak panah
yang melesat ke arahnya memperlambat gerakannya hingga ia kehilangan sosok
lelaki asing itu, beserta Ara.
***
“Ah, syukurlah kita selamat,” lelaki itu berujar lega
sembari melepaskan tangannya dari lengan Ara. Nafasnya terengah-engah setelah
berlari beberapa kilo meter. Ara pun mengalami hal yang sama. Gadis itu
terengah diselingi batuk-batuk kecil. Ia meletakkan tangannya di lutut sambil
mengatur nafasnya yang tersengal.
“Apa kau baik-baik saja?” Lelaki itu bertanya.
“Apa yang kau inginkan?” Ara mendongak dan menatap lelaki
tersebut.
“Hah?” Lelaki itu balas menatap Ara dengan bingung. “Aku
baru saja menyelamatkanmu dari Vampir, nona,” jawabnya, agak kesal.
“Hah?” Kali ini Ara yang menatapnya bingung.
“Menyelamatkanku? Dari Vampir? Maksudmu, kau manusia?”
Lelaki itu mengernyitkan dahinya. Raut mukanya yang
tampan terlihat lelah.
“Aku manusia? Kau juga manusia ‘kan?” pertanyaannya
terdengar bimbang.
“Aku manusia,” jawab Ara. “Siapa kau?”
“Namaku Dodo. Aku Hunter, pemburu vampir. Aku mengikuti
kalian sejak kalian masuk ke hutan ini. Dan syukurlah, aku bisa
menyelamatkanmu. Suatu keajaiban kau masih selamat setelah beberapa saat
bersama Vampir,”
Ara melongo. Ia menatap sosok itu dengan cermat. Seorang
lelaki jangkung berpakaian serba hitam dilengkapi baju rompi, semacam baju
rompi anti peluru yang biasa dipakai anggota kepolisian, lengkap dengan
beberapa senjata api di pinggang kanannya. Beberapa belati juga tampak tertata
di kantong yang juga berada melingkar di pinggang. Sebuah pistol kaki terselip
di kantong yang melekat di pahan kanan dan kiri, sementara tangannya yang kokoh
menggenggam sebuah busur silang.
“Kau --- menyelamatkanku dari Vampir?” Ara kembali
berujar tak percaya hingga membuat pemuda di hadapannya heran.
“Tentu saja, aku berusaha menyelamatkanmu dari vampir.
Kau pikir aku tadi sedang apa? Bermain tembak-tembakkan?” desisnya kesal.
Ara menegakkan tubuhnya dan memutar bola matanya frustasi.
“Tunggu, ada kesalah pahaman di sini. Ceritanya panjang
hingga aku bisa bersama vampir-vampir itu. Tapi yang jelas, aku tidak butuh di
selamatkan. Maksudku, aku tidak dalam bahaya dan kau tak seharusnya
menyelamatkanku dari sana! Maksudku ...” Ara terlihat bingung mengatur
kata-katanya. Sementara pemuda Hunter di hadapannya kembali melongo.
“Apa otakmu korslet? Apa kau amnesia? Apa kepalamu
terantuk sesuatu? Kau berada di sana bersama makhluk penghisap darah dan kau
mengatakan situasimu tak berbahaya? Aku berusaha menyelamatkanmu, nona. Dan
seharusnya kau berterima kasih padaku,” pemuda bernama Dodo itu terdengar makin
kesal.
Ara mengangkat tangannya gemas.
“Oke, maksudku, terima kasih karena kau berusaha
menyelamatkanku. Tapi, kondisiku benar-benar sedang tidak dalam bahaya. Mereka
tidak akan menghabisiku, mereka tidak akan ...” ia mengacak-acak rambutnya
sendiri. “Yang jelas aku tidak butuh diselamatkan, titik!” Gadis itu berteriak.
“Sekarang, bawa aku kembali ke sana!”
Rahang Dodo ternganga.
“Apa kau gila?” desisnya tak percaya.
“Kau manusia pertama yang menolak kuselamatkan dari
Vampir.”
“Karena ceritanya panjang. Aku tak punya waktu untuk
mendongeng bagaimana awalnya aku bisa bersama Vampir-vampir itu. Tapi yang
jelas, BAWA-AKU-KEMBALI-KE SANA!”
“Tidak.” Dodo menjawab singkat, dan jelas.
Ara menggigit bibirnya kesal.
“Oke, aku ke sana sendiri.” Gadis itu berbalik, melangkahkan
kaki sekenanya. Menerobos lebatnya hutan. Ia tak ingat sama sekali jalan ketika
ia dibawa kemari.
“Nona, apa kau demam? Apa kau amnesia?” Lelaki itu
berujar dari belakangnya. Ia tak menyangka bahwa sosok itu akan mengekorinya.
Ara tak menjawab. Ia terus berjalan tanpa menghiraukan
ocehan lelaki itu.
Ia masih berjalan sekenanya ketika tiba-tiba ia merasakan
tanah yang ia pijak bergerak dan tubuhnya oleng. Gadis itu menjerit ketika
tubuhnya yang mungil meluncur melewati lereng, menuju jurang yang ternyata
ternganga di bawah sana.
Dodo bergerak dengan gesit, menangkap lengan tangannya,
berharap bisa menarik tubuhnya agar tidak tidak terperosok lebih dalam. Alih-alih
berniat membantu lagi, tubuhnya malah ikut terseret, dan kedua sosok manusia
itu meluncur, terjatuh ke dalam jurang yang entah berapa meter dalamnya.
***
Vernon duduk diam di langkan jendela. Mereka sudah berada
di rumah peristirahatan yang lain milik Dika. Sebuah rumah mungil dan
sederhana berlantai dua di pinggir
hutan, di dekat danau.
Sejak kedatangan mereka di rumah itu beberapa hari yang
lalu, Vernon hanya menghabiskan waktunya berdiam diri. Jika tidak di kamar,
terkadang di tempat favoritnya, langkan jendela.
Joey juga tak jauh berbeda, sejak kematian Josh, ia lebih
sering mengurung diri di kamar. Tapi kali ini, ia ikut duduk termenung di
sebuah sofa yang berada di dekat Vernon.
Sementara Woody dan Gio hanya duduk-duduk di depan TV,
entah apa yang mereka tonton. Dalam 10 detik, Channel TV tersebut mereka
ganti-ganti terus. Terlihat jelas bahwa mereka bosan setengah mati.
“Aku menemukan beberapa Nephilim yang lain,” Dika muncul
dari tangga sambil membawa info tersebut. Seketika ke empat pemuda yang berada
di ruangan itu menatap ke arahnya.
“Di mana?” Joey yang pertama kali bertanya.
“Di sebuah kawasan kecil di pinggir kota. Tidak banyak.
Hanya beberapa saja. Tapi setidaknya kita berhasil menemukan mereka. Sisanya,
kita bisa mencarinya pelan-pelan.” Jawab Dika seraya bergerak dan duduk si
samping Joey.
“Seperti yang kita bahas beberapa waktu yang lalu, kita
sudah sama-sama muak diburu. Kita akan fokus untuk mencari Nephilim-Nephilim
yang lain, dan setelah kita berkumpul, baru kita putuskan langkah apa yang akan
kita ambil. Toh kita sama-sama tahu bahwa kekuatan kita lebih dari cukup untuk
mengadakan peperangan dan melakukan pembalasan,” lelaki itu terdengar geram.
“Aku sudah berusaha untuk berpikir bijak. Dan ini adalah
pemikiran paling bijak yang bisa ku lakukan,” ujarnya lagi.
Hening sesaat. Semua orang terlihat menimbang.
“Aku bosan diburu. Tapi melakukan peperangan dengan
malaikat? Entahlah, itu seperti bukan ide yang bagus. Kau tahu bahwa sejak dulu
kita tak suka perselisihan dengan makhluk manapun. Jadi ... entahlah,” Vernon
terdengar ragu.
“Lalu kau mau kita dibantai, dibunuh satu persatu?” Woody
menyahut.
“Kalau mau jujur, iya. Aku bosan hidup. Sempat terpikir olehku
untuk bertarung habis-habisan dengan mereka untuk yang terakhir kalinya, dan
jika aku mati, selesai. Tak masalah. Toh aku lelah berlarian seperti ini,”
Jawabnya. Putus asa.
“Vernon, aku tahu kau patah hati. Tapi menyerah begitu saja
bukan karakter kita,” Gio ikut bersuara.
“Aku setuju dengan Dika. Kita lakukan pembalasan,” ia
berucap mantap.
Mereka saling berpandangan. Hening lagi.
“Aku juga sama dengan Vernon. Aku tak suka peperangan.
Tapi jika ada kesempatan, ada satu malaikat yang ingin ku binasakan,” Joey
bangkit. “Aku ingin mencari udara segar. Aku perlu berpikir,” lelaki itu melangkah melewati Dika, lalu bergerak
keluar dari rumah tersebut. Entah kemana.
Keempat pemuda yang masih tertinggal di ruangan tersebut
menarik nafas berat. Tak terkecuali Vernon yang terlihat begitu tertekan dan
... tak hidup.
Dika menatapnya dengan iba.
“Vernon, aku tak paham seberapa parah luka di hatimu
karena memutuskan untuk meninggalkan Ara. Tapi seperti yang sudah ku
peringatkan sebelumnya, hubungan di antara
kalian tidak akan berhasil. Kalian berbeda, kau tahu ‘kan apa yang kumaksudkan?
Selain itu, jika kau nekat bersamanya, gadis itu hanya akan berada dalam
bahaya.” Ucap lelaki tersebut.
“Relakan dia, Vernon. Bob pasti sudah mengantarkan gadis
itu kembali ke kotanya. Aku sudah memintanya untuk mencarikan tempat tinggal
yang layak, memberinya uang yang cukup, dan melanjutkan hidup. Jadi, lupakan
dia.” Lanjutnya lagi.
Vernon tak menjawab. Tatapan matanya asyik memperhatikan
pemandangan dari balik jendela.
Melupakan Ara?
Itu hal tersulit yang pernah ia alami. Dan ia tak yakin
bahwa ia akan sanggup melakukannya.
Gadis itu sudah mengisi setiap inchi dari tubuhnya,
menghiasi setiap desah nafasnya. Dan setelah menjalani hidup selama ratusan
tahun, ini untuk pertama kali bagi dirinya : ia ingin jadi manusia.
“Ada masalah,” Dika bangkit dengan tiba-tiba. Kontan saja
Vernon, Gio dan Woody ikut siaga.
“Ada apa?” Vernon turun dari langkan jendela.
“Siapkan senjata kalian. Joey berhadapan dengan
malaikat,” Dika beranjak menyiapkan
senjata-senjata mereka yang tersimpan rapi di laci meja.
Woody dan Gio sempat mengumpat bersamaan sebelum akhirnya
mengikuti perintah Dika.
***
Joey sudah terlibat pertarungan sengit dengan beberapa
malaikat ketika mereka datang ke lokasi yang berada cukup jauh dari rumah
peristirahatan. Beberapa malaikat sudah tergeletak terkena tebasan pedang milik
Joey.
Tanpa menunggu lagi, Dika dan yang lainnya segera
mengangkat senjata dan menerjang ke arah malaikat-malaikat itu.
“Dia bagianku,” dengan dagunya, Joey memperingatkan seraya menunjuk ke arah
malaikat berambut blonde, bermata teduh, dengan sayap berwarna silver keemasan
yang mengembang dengan kokoh. Sean.
Setelah sempat menebas kembali satu malaikat, ia
melenggang perlahan ke arah sosok itu. Sosok yang tengah berdiri dengan tenang
di samping pohon. Sosok yang tetap menatapnya dengan lembut, penuh cinta.
Bukannya Joey tak tahu bahwa Sean mencintainya. Ia tahu
itu sejak pertama kali mereka bertemu. Sejak Sean batal untuk membunuhnya, lalu
malah sering menguntitnya kemana-mana, diam-diam tanpa melakukan apapun
padanya. Hal yang aneh karena seharusnya malaikat memburu dirinya, berlomba-lomba
menghabisinya. Hal yang aneh ketika akhirnya mereka malah bertemu, mengobrol,
dan bersahabat.
Ia dan Sean bahkan sempat dekat. Lelaki itu
memperlakukannya dengan manis. Sampai akhirnya suatu hari ia menghilang begitu
saja. Begitu saja. Meninggalkan Joey, tanpa mengatakan apapun.
Lalu Josh hadir dalam hidupnya.
Belakangan ia tahu bahwa Josh-lah yang telah menggantikan
tugasnya. Sosok malaikat berhati lembut yang tadinya ditugaskan membunuh
dirinya, tapi malah berakhir di pelukannya. Bahkan bersedia mengikuti dirinya,
meninggalkan kaumnya.
Ingat akan sosok Josh yang telah tiada, rahang Joey
terasa kaku. Amarah seakan siap meledak di kepalanya. Dan tanpa banyak bicara,
Ia segera melesat dan menyerang Sean dengan membabi buta.
Ia tahu sosok itu salah satu malaikat tertinggi. Tapi ia
tak gentar. Ia sudah bertekad, jika hari ini dia tak mati, maka sosok yang
telah membunuh Josh itulah yang akan mati.
“Kali ini aku takkan ragu membunuhmu,” Joey mendesis,
seraya kembali menyerang Sean.
Sementara malaikat itu hanya terus menghindar, tanpa
melakukan perlawanan.
“Maafkan aku.” Ia berujar lirih. “Maafkan aku karena
waktu itu aku pergi begitu saja. Maafkan aku karena aku menjadi pecundang,”
“Jangan-mengatakan-apapun-lagi,” Joey berucap dengan gigi
terkatup.
“Aku hanya ingin meminta maaf atas apa yang ku lakukan
padamu. Dan aku juga ingin meminta maaf atas apa yang kulakukan pada Josh,”
“Kenapa kau harus membunuhnya?!” Kali ini Joey berteriak.
Kembali menyerang Sean dengan sebuah tebasan, tapi laki-laki itu hanya terus
menghindar tanpa berusaha membalas.
“Aku hanya menjalankan tugas. Aku tak punya pilihan.”
Jawabnya.
“Kau bisa membuat pilihan. Bukankah waktu kau ditugaskan
membunuhku? Kenyataannya kau malah tak melakukannya ‘kan? Kenapa kali ini kau
tak membuat pilihan seperti itu lagi?!”
“Karena Josh mengkhianati kami. Dan itu hukumannya.”
Jawab Sean getir.
“Mencintai sesuatu tak pantas menerima hukuman.” Kali ini
kalimat Joey terdengar seperti sebuah ratapan. Air matanya nyaris tumpah ketika
mengingat kembali bagaimana Josh mati dalam pelukannya.
“Maafkan aku. Hanya itu yang bisa ku lakukan. Dan ...
hanya itu yang ingin ku ucapkan padamu.” Ucap Sean lagi.
Joey menatapnya dengan tajam. Dan ia kembali melesat,
menyerang Sean, siap menancapkan pedanganya ke jantung lelaki tersebut.
Tapi seolah malaikat itu sengaja melakukannya, ia hanya
berdiam diri ketika Joey menyerangnya. Dan tak ayal lagi, pedang itu menembus
dadanya, keras.
Ia sempat meringis kesakitan, sebelum akhirnya ambruk,
dengan lutut menghantam bumi terlebih dahulu.
Joey tercengang.
Ia mencabut pedang yang menusuk jantung Sean dan menatap
lelaki itu dengan tak mengerti.
“Kenapa kau ---,”
Sean menatap Joey dengan lembut.
“Aku ---,” Nafasnya tersengal. Ia memegang dadanya yang
berlubang. “Aku hanya mencoba menebus kesalahanku padamu --- pada Josh.” Suaranya
parau. “Anggap saja --- anggap saja ini caraku menebusnya.” Kalimatnya nyaris
tersendat.
Joey menelan ludah. Hatinya pilu. Ingin ia menebas
kembali sosok itu dengan pedangnya. Alih-alih melakukan itu, ia malah
menjatuhkan pedangnya ke tanah, lalu bergerak, berlutut di hadapan Sean
kemudian memeluk sosok itu dengan perasaan hancur.
“Kenapa kita harus seperti ini, Sean?” ia bertanya getir.
“Kenapa ...?”
“Maafkan aku.”
Sean juga menjawab dengan getir.
Dengan lembut ia berbisik di telinga Joey. “Kelak ---
mungkin kau akan bertemu dengan Woozi. Sang malaikat tertinggi. Dan --- jika
kau bertemu dengannya. Larilah.” Ia tersengal.
“Kau bukan tandingannya. Kalian bukan tandingannya. Dia
bisa membunuhmu, membunuh para Nephilim muda seperti kalian, hanya dalam
sekejap mata. Karena itu --- larilah yang jauh. Jangan --- pernah berurusan
dengannya. Jangan ---,” dan tubuh Sean terkulai, dalam pelukan Joey.
Dan ia tahu, malaikat itu sudah pergi. Ia mati.
Joey menelan ludah. Ia memeluk sosok itu dengan erat, dan
air matanya menitik.
***
“Jadi kita harus meninggalkan tempat ini lagi?” tanya
Woody bingung, sesaat setelah mereka kembali ke rumah peristirahatan.
Dika hanya mengangguk singkat seraya kembali memberesi
beberapa senjata yang masih tertinggal di rumah tersebut. Vernon dan Joey juga
melakukan hal yang sama. Merapikan beberapa senjata yang masih tertinggal dan
membawa beberapa kebutuhan di tas ransel.
“Kemana?” tanya Gio.
“Mencari Nephilim yang lain,” jawabnya.
Gio dan Woody sempat mendesah kesal. Tapi toh akhirnya ikut
beres-beres.
Aksi beres-beres mereka terhenti ketika tiba-tiba pintu
terbuka dan Bob muncul dari sana. Tapi ia tak sendirian. Ada dua vampir di
belakang mereka. Hans tampak memapah Jun yang tampak terluka parah karena
panah. Panah khusus untuk membasmi Vampir.
“Dika, aku butuh obat-obatan yang kau bawa. Aku tak suka
vampir, tapi sebagai dokter, aku tak bisa membiarkan dia mati di hadapanku.
Meski aku ragu apakah obat yang kau bawa mampu memberikan efek penyembuhan
padanya.” Tanpa menyapa terlebih dahulu ia langsung nyerocos dan meminta pada
Hans untuk membaringkan Jun di kursi panjang yang ada di ruangan tersebut.
“Ada apa ini? Bagaimana kau bisa bersama Vampir? Kenapa
ia terluka?” Gio yang sadar terlebih dahulu dengan situasi di antara mereka.
Dika bergerak. “Oke, akan ku ambilkan.” Dengan gesit ia
membuka sebuah laci yang berada di ujung ruangan berisi obat-obatan lalu segera
menyerahkannya pada Bob.
“Hanya itu yang kami punya. Entah mana yang bisa
digunakan.” Ucapnya.
“Ara?” Itu kata pertama yang muncul terlebih dahulu dari
mulut Vernon ketika ia menyadari gadis itu tak bersama mereka.
Bob menatap para Nephilim itu secara bergantian, tanpa
mampu segera menjawab.
Dan hati Vernon segera mencelos. Hati kecilnya segera
tahu bahwa sesuatu telah terjadi padanya.
“APA YANG TERJADI PADANYA? DIMANA ARA?!” Ia mendekati Bob,
meremas bahunya dan tampak kalap seketika.
Bob tampak sedikit bingung, namun akhirnya ia mampu
menjawab.
“Dia begitu terpukul ketika mengetahui kau pergi. Begitu
bertemu dengan para vampir ini,” ia menunjuk ke arah Jun dan Hans. “Ia
melakukan perjanjian pada mereka.”
“Perjanjian?” para Nephilim nyaris bertanya bersamaan.
“Perjanjian apa?” Vernon terlihat tak sabar.
“Ara meminta pada Vampir agar membawa dirinya pada
kalian. Dan sebagai imbalasannya, ia bersedia memberikan nyawanya. Ia bilang ia
bosan jadi manusia. Lebih baik ia jadi Vampir, agar ia bisa ... bersamamu.” Bob
menatap Vernon dengan ekspresi takut.
Vernon ternganga. Tak mengira bahwa Ara akan senekat itu.
“Lalu?” desaknya.
“Ketika dalam perjalanan kemari, tiba-tiba saja seseorang
menyerang kami. ia melukai Jun, nyaris membunuhku, lalu ---,”
“LALU APA?!” Vernon kembali berteriak tak sabaran.
“Ia membawa Ara pergi.”
Para Nephilim tersentak. Terutama Vernon. Ia nyaris tak
bisa bernafas lagi.
Sudah cukup ia menyaksikan gadis itu nyaris mati di hadapannya.
Dan sekarang tiba-tiba saja ia harus mengetahui bahwa gadis itu hilang, entah
dibawa oleh siapa.
“Siapa yang membawanya? Manusia? Malaikat? ATAU APA,
HAH?!”
“Aku --- tidak tahu.”
Vernon menyentakkan bahu Bob, lalu melesat keluar dari
rumah tersebut.
“Vernon, mau kemana kau?” Dika yang pertama kali
mengejarnya.
“Aku harus mencarinya, Dika. Aku harus menemuka Ara.”
“Jangan gegabah. Kita pikirkan dulu rencana selanjutnya.
Kita tak tahu siapa yang membawanya. Jangan membabi buta seperti ini. Jangan
sampai kita terpencar!” Dika menarik lengan Vernon.
“Aku tak bisa!” Pemuda gondrong itu menyentakkan
tangannya dengan kasar.
“Aku tak bisa tenang sementara aku tak tahu bagaimana
keadaan Ara!” dan ia kembali melesat cepat, tanpa mengindahkan panggilan Dika.
Dika kembali berusaha mengejarnya, tapi sia-sia. Vernon
bergerak cepat, meninggalkannya.
Dan Vernon tak peduli. Yang ada di pikirannya hanya satu
: menemukan Ara secepatnya, bagaimanapun keadaannya.
Tiba-tiba penyesalan luar biasa menyelimuti benaknya.
Kenapa ia harus meninggalkan gadis itu? Kenapa ia harus pergi begitu saja?
Ara bahkan rela membuat perjanjian dengan Vampir dan
berniat menjadi makhluk abadi, demi dirinya?
Demi dirinya!
Oh Tuhan ...
Vernon merasakan kedua matanya basah.
Dalam hati ia berujar mantap : Jika Ara mati, ia juga.
****
Bersambung ...
Note :
Nephilim dan Imp adalah makhluk abadi fiksi sama seperti
Vampir dan Manusia serigala. Cuma beberapa orang tidak begitu familiar karena
tokoh-tokoh itu jarang di angkat dalam cerita film ataupun buku. (Tapi dalam
beberapa buku Urban Fantasy semacam The Fallen Series dan The Succubus Series,
tokoh Imp dan Nephilim pernah dimunculkan, tapi bukan karakter utama)
Itulah kenapa mereka agak asing karena yang lebih
terkenal memang Vampir dan manusia serigala.
Hunter adalah pembasmi vampir. Profesi ini biasanya turun
temurun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar