Rabu, 08 Juni 2016

NEPHILIM #7



Demi bisa menemukan keberadaan para Nephilim, Ara sepakat melakukan perjalanan denga dua Vampir tampan, Jun dan Hans. Bob menyebutnya nekat, tapi ia tak peduli. Ia hanya ingin bertemu Vernon dan yang lainnya, secepatnya.

Bob bahkan memutuskan ikut serta dalam perjalanan tersebut.
“Aku takkan membiarkanmu pergi sendirian dengan dua penghisap darah itu. Aku sudah berjanji pada Dika untuk menjagamu. Dan aku akan menepatinya.” Ucap lelaki itu sesaat setelah ia memutuskan ikut bergabung.
Awalnya Ara kaget dengan keputusannya, tapi akhirnya ia malah bersyukur dengan keberadaan Imp itu di sisinya.

“Ngomong-ngomong, bagaimana kalau aku menggigitmu terlebih dahulu agar kau bisa jadi Vampir, dan kau bisa pergi sendiri mencari para Nephilim?” Jun terkikik menggoda.
Bob menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba seraya mengacungkan sebuah senjata api ke arahnya. Ara juga melakukan hal yang sama. Ia mengarahkan busur silangnya, kali ini ke arah Hans.
Jika terjadi sesuatu, Bob akan membereskan Jun, dan ia yang mengatasi Hans.
Kedua Vampir itu menyeringai.
“Kami hanya bercanda,” desis mereka.
“Dan kami tidak segan-segan menembakmu,” Bob mengancam. “Peluru di pistolku di desain khusus untuk bisa menghabisi Vampir tanpa harus mengenai jantungmu. Begitu pula dengan busur yang dipegang Ara. Jadi, jangan macam-macam.”

Hans mencibir.
“Oke, tetap pada perjanjian.” Ucapnya. Dan mereka kembali berjalan menerobos rimbunnya hutan.
Sebenarnya mereka ke sana dengan mengendarai mobil Bob. Tapi karena kondisi jalan yang tak mungkin dilewati kendaraan, akhirnya mereka meninggalkan mobil tersebut di pinggir hutan lalu memilih berjalan kaki.
Jun bilang, ia merasakan keberadaan Nephilim di dalam sana. Dan Ara hanya berharap ia tak bohong.

“Katakan apa motifmu?” Gadis itu kembali membuka suara setelah keadaan sempat hening sesaat. Bob menatapnya dengan heran. Sementara dua vampir yang berjalan di hadapan mereka hanya saling bertatapan.
“Aku tahu kalian menyimpan motif terselebung,” Ara kembali berkata tanpa gentar.

Kali ini langkah mereka kembali terhenti. Jun menatap Ara dengan angkuh.
“Aku tak mengerti apa maksudmu, wahai manusia?” desisnya. Sepasang taringnya terlihat jelas.
Ara balas menatap mereka dengan angkuh.
“Ayolah, aku bukan gadis bodoh. Aku tahu kalian menyimpan motif tertentu. Jika kalian hanya sekedar kelaparan, kalian bisa saja menghabisiku sejak berjam-jam yang lalu, tanpa peduli aku menawarkan perjanjian atau tidak. Kalian vampir kuat. Sementara aku hanya gadis lemah. Keberadaan Imp di sampingku tetap saja takkan mampu menjaga keselamatanku. Jadi, apa yang membuat kalian setuju untuk membuat perjanjian padaku? Apa yang membuat kalian ingin menemukan Nephilim bersamaku?”

Jun sempat menatap ke arah Hans sebelum akhirnya tertawa sinis.
“Wow, kau hebat.” Ucapnya.
“Aliansi.” Lanjutnya.
Ara mengerutkan keningnya, begitu pula Bob.
“Aliansi? Dengan siapa?”
Jun manggut-manggut. Tapi kali ini Hans yang menjawab.
“Aliansi antara kaum Vampir dan kaum Nephilim?”
“Dan kenapa kalian harus merencanakan aliansi?” Ara kembali bertanya to the point.
“Agar kami, Vampir dan Nephilim, sesama makhluk abadi bisa menggalang kekuatan untuk meruntuhkan langit. Melawan seluruh malaikat dan menghancurkan mereka.”

Ara terkekeh mendengar jawaban itu.
“Menghancurkan malaikat? Kalian bermimpi. Malaikat adalah susunan keseimbangan alam. Kalian takkan bisa menghancurkannya.” Ujarnya.
“Kata siapa? Nephilim bisa menghancurkannya dan menggantikan posisi mereka sebagai makhluk langit,”

Ara menatap Vampir itu dengan tatapan tak mengerti.  “Itu tidak mungkin. Nephilim adalah kaum terbuang. Mereka bahkan diburu untuk dihabisi,” ucapnya.
Jun terkekeh. “Bukankah kau dekat dengan para Nephilim, bagaimana mungkin kau tak mengetahuinya?”
“Mengetahui apa?” tanya Ara lagi. Ia sempat menatap Bob untuk mengorek jawaban darinya tapi Imp itu seakan malas menjelaskannya.

“Alasan para Nephilim diburu bukan hanya karena mereka adalah kaum terbuang atau aib, tapi para malaikat takut bahwa para Nephilim akan melakukan kudeta. Kekuatan para Nephilim luar biasa. Mereka mewarisi kekuatan malaikat dan manusia sekaligus. Mereka hanya butuh ratusan Nephilim untuk membentuk pasukan, lalu menghancurkan langit dan menggantikan posisi malaikat. Itulah sebabnya mereka dihabisi, karena jika mereka bersatu, mereka akan jadi kaum tak terkalahkan. Nephilim adalah satu-satunya makhluk abadi yang mampu menciptakan keributan di langit.”

Ara tercengang mendengar penuturan Jun.
“Kau pasti bercanda,” desisnya. Hans menggeleng. “Tidak, dia benar.” Jawabnya.
“Jika mereka sekuat itu, kenapa Vernon dan saudara- saudaranya harus melarikan diri?”
“Karena mereka masih termasuk Nephilim muda. Mereka hanya perlu bertemu bangsa  mereka yang lebih tua dan ... BAM! Mereka akan semakin kuat. Masalahnya, keberadaan para Nephilim tersebar di seluruh pelosok dunia. Dan selain malaikat, kaum kamilah yang mampu mendeteksi keberadaan mereka. Karena itu kami menawarkan aliansi,”

“Lalu apa untungnya kalian membuat perjanjian kerja sama dengan mereka?” tanya Ara lagi.
“Gampang saja. Pembagian kekuasaan.”  Jawab Jun. “Kami membantu mereka menyatukan dengan para Nephilim. Jika mereka melakukan kudeta pada langit dan menang, mereka bisa menggantikan posisi malaikat, dan kami bisa menguasai bumi,” ia menyeringai.  “Bagaimanapun juga, Nephilim adalah keturunan malaikat. Dan mereka berhak bersanding dengan malaikat lainnya. Mungkin yang berbeda hanyalah mereka tak bersayap. Itu saja,” ia kembali menjelaskan panjang lebar.

Ara menggeleng pelan.
“Vernon takkan mungkin melakukan itu. Ia dan saudaranya hanya ingin hidup dengan tenang. Mereka tidak haus kekuasaan.”
“Itu karena mereka bodoh. Hidup seperti manusia? cih,” bibir Jun berdecih. “Harusnya mereka memanfaatkan kekuatan yang mereka punya. Lakukan pembalasan pada langit, dan mereka bisa menjalani sisa hidup mereka dengan tenang. Toh mereka tercipta karena beberapa malaikat melakukan kesalahan. Sudah sepantasnya mereka membalas dendam dan menuntut keadilan,”

Ara terdiam sesaat. Perlahan ide itu tercetus di benaknya.
“Oke, kalau begitu bersikaplah baik padaku,” ucapnya spontan.
Jun dan Hans mengernyit.
“Maksudnya?” Mereka bertanya hampir bersamaan.
Ara terus bersedekap dengan angkuh.
“Kalian kan tahu bahwa aku punya hubungan yang baik dengan para Nephilim. Setelah aku bertemu Vernon dan saudara-saudaranya, aku akan berbicara dan membujuk mereka agar mau bekerja sama dengan kalian. Mereka menyayangiku. Itu terbukti ketika mereka berusaha melindungiku.  Itu artinya mereka menganggapku penting. Jadi --” Ia melirik ke arah Bob. Sementara lelaki itu hanya mengangkat bahu cuek. “—bersikaplah baik padaku. Jika kalian tidak bersikap baik padaku, aku takkan membantu kalian untuk berbicara dengan mereka. Percayalah, mereka menganggap pendapatku penting,” lanjutnya.

Rahang Jun dan Hans kaku seketika.
Jun bahkan sempat mengumpat lirih. Perempuan pintar dan licik, pikirnya. Jika saja ia tak ingat tentang tujuan mereka dengan para Nephilim, sudah ia terkam gadis mungil di hadapannya ini, sejak tadi!
Sementara Ara hanya menyeringai puas.
“Setuju?” kedua matanya mengerjap penuh kemenangan. Jun dan Hans berpandangan, lalu mengangguk.
“Oke, kalau begitu, ayo kita lanjutkan perjalanan kita,” gadis itu seolah memberi perintah.  Lalu berjalan terlebih dahulu mendahului mereka dengan gaya sok bossy.  Bob juga melakukan hal yang sama. Sesekali ia terkikik menyaksikan kelakuan Ara.

Mereka baru menuruni sebuah bukit ketika-tiba ada sebuah anak panah melesat dan nyaris mengenai jantung Jun. Vampir itu mengelak, tapi sebuah anak panah kembali melesat dan kali ini mengenai bahu kirinya.
Jun mengaduh, Hans segera beranjak menolongnya.
Bob dan Ara menatap sekelilingnya dengan bingung sembari berjaga-jaga dengan senjata di tangan mereka. Dan tiba-tiba sesosok bayangan melesat ke arah mereka dengan cepat, menendang Bob hingga terjungkal, lalu meraih tubuh Ara dengan sikap protektif.
Gadis itu mengangkat busur silang di tangannya untuk memberi perlawanan, tapi karena tergesa-gesa busur itu malah terlepas dan terlempar.

“Apa yang ---?”
“Diam,” sosok itu berbisik dengan suara berat di telinga Ara. Satu tangannya mendekap tubuhnya, sementara tangan yang satunya mengarahkan busur silang ke arah Bob lalu berganti ke arah Hans dan Jun yang tengah terluka.
Bob berniat bangkit dan mendekati sosok yang tengah mendekap Ara tersebut. Tapi senjata yang terarah padanya mengurungkan niatnya.
“Diam di tempat!” Sosok itu memberi peringatan.
“Jangan ada yang mendekat!” Ia juga mengarahkan senjata itu ke arah Jun dan Hans secara bergantian seraya mundur perlahan.
Ara menelan ludah, berjalan mundur mengikuti lelaki tersebut.
Dengan gerakan terlatih, ia menarik lengan Ara lalu membawanya berlari setelah sempat menyarangkan tembakkan ke arah Hans, meski meleset.

“Ara!” Bob berteriak panik. Tapi beberapa kali anak panah yang melesat ke arahnya memperlambat gerakannya hingga ia kehilangan sosok lelaki asing itu, beserta Ara.

*** 

“Ah, syukurlah kita selamat,” lelaki itu berujar lega sembari melepaskan tangannya dari lengan Ara. Nafasnya terengah-engah setelah berlari beberapa kilo meter. Ara pun mengalami hal yang sama. Gadis itu terengah diselingi batuk-batuk kecil. Ia meletakkan tangannya di lutut sambil mengatur nafasnya yang tersengal.

“Apa kau baik-baik saja?” Lelaki itu bertanya.
“Apa yang kau inginkan?” Ara mendongak dan menatap lelaki tersebut.
“Hah?” Lelaki itu balas menatap Ara dengan bingung. “Aku baru saja menyelamatkanmu dari Vampir, nona,” jawabnya, agak kesal.
“Hah?” Kali ini Ara yang menatapnya bingung. “Menyelamatkanku? Dari Vampir? Maksudmu, kau manusia?”

Lelaki itu mengernyitkan dahinya. Raut mukanya yang tampan terlihat lelah.
“Aku manusia? Kau juga manusia ‘kan?” pertanyaannya terdengar bimbang.
“Aku manusia,” jawab Ara. “Siapa kau?”
“Namaku Dodo. Aku Hunter, pemburu vampir. Aku mengikuti kalian sejak kalian masuk ke hutan ini. Dan syukurlah, aku bisa menyelamatkanmu. Suatu keajaiban kau masih selamat setelah beberapa saat bersama Vampir,”

Ara melongo. Ia menatap sosok itu dengan cermat. Seorang lelaki jangkung berpakaian serba hitam dilengkapi baju rompi, semacam baju rompi anti peluru yang biasa dipakai anggota kepolisian, lengkap dengan beberapa senjata api di pinggang kanannya. Beberapa belati juga tampak tertata di kantong yang juga berada melingkar di pinggang. Sebuah pistol kaki terselip di kantong yang melekat di pahan kanan dan kiri, sementara tangannya yang kokoh menggenggam sebuah busur silang.

“Kau --- menyelamatkanku dari Vampir?” Ara kembali berujar tak percaya hingga membuat pemuda di hadapannya heran.
“Tentu saja, aku berusaha menyelamatkanmu dari vampir. Kau pikir aku tadi sedang apa? Bermain tembak-tembakkan?” desisnya kesal.
Ara menegakkan tubuhnya dan memutar bola matanya frustasi.
“Tunggu, ada kesalah pahaman di sini. Ceritanya panjang hingga aku bisa bersama vampir-vampir itu. Tapi yang jelas, aku tidak butuh di selamatkan. Maksudku, aku tidak dalam bahaya dan kau tak seharusnya menyelamatkanku dari sana! Maksudku ...” Ara terlihat bingung mengatur kata-katanya. Sementara pemuda Hunter di hadapannya kembali melongo.

“Apa otakmu korslet? Apa kau amnesia? Apa kepalamu terantuk sesuatu? Kau berada di sana bersama makhluk penghisap darah dan kau mengatakan situasimu tak berbahaya? Aku berusaha menyelamatkanmu, nona. Dan seharusnya kau berterima kasih padaku,” pemuda bernama Dodo itu terdengar makin kesal.
Ara mengangkat tangannya gemas.
“Oke, maksudku, terima kasih karena kau berusaha menyelamatkanku. Tapi, kondisiku benar-benar sedang tidak dalam bahaya. Mereka tidak akan menghabisiku, mereka tidak akan ...” ia mengacak-acak rambutnya sendiri. “Yang jelas aku tidak butuh diselamatkan, titik!” Gadis itu berteriak.
“Sekarang, bawa aku kembali ke sana!”

Rahang Dodo ternganga.
“Apa kau gila?” desisnya tak percaya.
“Kau manusia pertama yang menolak kuselamatkan dari Vampir.”
“Karena ceritanya panjang. Aku tak punya waktu untuk mendongeng bagaimana awalnya aku bisa bersama Vampir-vampir itu. Tapi yang jelas, BAWA-AKU-KEMBALI-KE SANA!”
“Tidak.” Dodo menjawab singkat, dan jelas.

Ara menggigit bibirnya kesal.
“Oke, aku ke sana sendiri.” Gadis itu berbalik, melangkahkan kaki sekenanya. Menerobos lebatnya hutan. Ia tak ingat sama sekali jalan ketika ia dibawa kemari.
“Nona, apa kau demam? Apa kau amnesia?” Lelaki itu berujar dari belakangnya. Ia tak menyangka bahwa sosok itu akan mengekorinya.
Ara tak menjawab. Ia terus berjalan tanpa menghiraukan ocehan lelaki itu.
Ia masih berjalan sekenanya ketika tiba-tiba ia merasakan tanah yang ia pijak bergerak dan tubuhnya oleng. Gadis itu menjerit ketika tubuhnya yang mungil meluncur melewati lereng, menuju jurang yang ternyata ternganga di bawah sana.

Dodo bergerak dengan gesit, menangkap lengan tangannya, berharap bisa menarik tubuhnya agar tidak tidak terperosok lebih dalam. Alih-alih berniat membantu lagi, tubuhnya malah ikut terseret, dan kedua sosok manusia itu meluncur, terjatuh ke dalam jurang yang entah berapa meter dalamnya.

***

Vernon duduk diam di langkan jendela. Mereka sudah berada di rumah peristirahatan yang lain milik Dika. Sebuah rumah mungil dan sederhana  berlantai dua di pinggir hutan, di dekat danau.
Sejak kedatangan mereka di rumah itu beberapa hari yang lalu, Vernon hanya menghabiskan waktunya berdiam diri. Jika tidak di kamar, terkadang di tempat favoritnya, langkan jendela.
Joey juga tak jauh berbeda, sejak kematian Josh, ia lebih sering mengurung diri di kamar. Tapi kali ini, ia ikut duduk termenung di sebuah sofa yang berada di dekat Vernon.
Sementara Woody dan Gio hanya duduk-duduk di depan TV, entah apa yang mereka tonton. Dalam 10 detik, Channel TV tersebut mereka ganti-ganti terus. Terlihat jelas bahwa mereka bosan setengah mati.

“Aku menemukan beberapa Nephilim yang lain,” Dika muncul dari tangga sambil membawa info tersebut. Seketika ke empat pemuda yang berada di ruangan itu menatap ke arahnya.
“Di mana?” Joey yang pertama kali bertanya.
“Di sebuah kawasan kecil di pinggir kota. Tidak banyak. Hanya beberapa saja. Tapi setidaknya kita berhasil menemukan mereka. Sisanya, kita bisa mencarinya pelan-pelan.” Jawab Dika seraya bergerak dan duduk si samping Joey.
“Seperti yang kita bahas beberapa waktu yang lalu, kita sudah sama-sama muak diburu. Kita akan fokus untuk mencari Nephilim-Nephilim yang lain, dan setelah kita berkumpul, baru kita putuskan langkah apa yang akan kita ambil. Toh kita sama-sama tahu bahwa kekuatan kita lebih dari cukup untuk mengadakan peperangan dan melakukan pembalasan,” lelaki itu terdengar geram.
“Aku sudah berusaha untuk berpikir bijak. Dan ini adalah pemikiran paling bijak yang bisa ku lakukan,” ujarnya lagi.

Hening sesaat. Semua orang terlihat menimbang.
“Aku bosan diburu. Tapi melakukan peperangan dengan malaikat? Entahlah, itu seperti bukan ide yang bagus. Kau tahu bahwa sejak dulu kita tak suka perselisihan dengan makhluk manapun. Jadi ... entahlah,” Vernon terdengar ragu.
“Lalu kau mau kita dibantai, dibunuh satu persatu?” Woody menyahut.
“Kalau mau jujur, iya. Aku bosan hidup. Sempat terpikir olehku untuk bertarung habis-habisan dengan mereka untuk yang terakhir kalinya, dan jika aku mati, selesai. Tak masalah. Toh aku lelah berlarian seperti ini,” Jawabnya.  Putus asa.
“Vernon, aku tahu kau patah hati. Tapi menyerah begitu saja bukan karakter kita,” Gio ikut bersuara.
“Aku setuju dengan Dika. Kita lakukan pembalasan,” ia berucap mantap.

Mereka saling berpandangan. Hening lagi.
“Aku juga sama dengan Vernon. Aku tak suka peperangan. Tapi jika ada kesempatan, ada satu malaikat yang ingin ku binasakan,” Joey bangkit. “Aku ingin mencari udara segar. Aku perlu berpikir,” lelaki  itu melangkah melewati Dika, lalu bergerak keluar dari rumah tersebut. Entah kemana.

Keempat pemuda yang masih tertinggal di ruangan tersebut menarik nafas berat. Tak terkecuali Vernon yang terlihat begitu tertekan dan ... tak hidup.
Dika menatapnya dengan iba.
“Vernon, aku tak paham seberapa parah luka di hatimu karena memutuskan untuk meninggalkan Ara. Tapi seperti yang sudah ku peringatkan sebelumnya,  hubungan di antara kalian tidak akan berhasil. Kalian berbeda, kau tahu ‘kan apa yang kumaksudkan? Selain itu, jika kau nekat bersamanya, gadis itu hanya akan berada dalam bahaya.” Ucap lelaki tersebut.
“Relakan dia, Vernon. Bob pasti sudah mengantarkan gadis itu kembali ke kotanya. Aku sudah memintanya untuk mencarikan tempat tinggal yang layak, memberinya uang yang cukup, dan melanjutkan hidup. Jadi, lupakan dia.” Lanjutnya lagi.
Vernon tak menjawab. Tatapan matanya asyik memperhatikan pemandangan dari balik jendela.

Melupakan Ara?
Itu hal tersulit yang pernah ia alami. Dan ia tak yakin bahwa ia akan sanggup melakukannya.
Gadis itu sudah mengisi setiap inchi dari tubuhnya, menghiasi setiap desah nafasnya. Dan setelah menjalani hidup selama ratusan tahun, ini untuk pertama kali bagi dirinya : ia ingin jadi manusia.

“Ada masalah,” Dika bangkit dengan tiba-tiba. Kontan saja Vernon, Gio dan Woody ikut siaga.
“Ada apa?” Vernon turun dari langkan jendela.
“Siapkan senjata kalian. Joey berhadapan dengan malaikat,” Dika beranjak menyiapkan  senjata-senjata mereka yang tersimpan rapi di laci meja.
Woody dan Gio sempat mengumpat bersamaan sebelum akhirnya mengikuti perintah Dika.

***

Joey sudah terlibat pertarungan sengit dengan beberapa malaikat ketika mereka datang ke lokasi yang berada cukup jauh dari rumah peristirahatan. Beberapa malaikat sudah tergeletak terkena tebasan pedang milik Joey.
Tanpa menunggu lagi, Dika dan yang lainnya segera mengangkat senjata dan menerjang ke arah malaikat-malaikat itu.
“Dia bagianku,” dengan dagunya,  Joey memperingatkan seraya menunjuk ke arah malaikat berambut blonde, bermata teduh, dengan sayap berwarna silver keemasan yang mengembang dengan kokoh. Sean.

Setelah sempat menebas kembali satu malaikat, ia melenggang perlahan ke arah sosok itu. Sosok yang tengah berdiri dengan tenang di samping pohon. Sosok yang tetap menatapnya dengan lembut, penuh cinta.
Bukannya Joey tak tahu bahwa Sean mencintainya. Ia tahu itu sejak pertama kali mereka bertemu. Sejak Sean batal untuk membunuhnya, lalu malah sering menguntitnya kemana-mana, diam-diam tanpa melakukan apapun padanya. Hal yang aneh karena seharusnya malaikat memburu dirinya, berlomba-lomba menghabisinya. Hal yang aneh ketika akhirnya mereka malah bertemu, mengobrol, dan bersahabat.

Ia dan Sean bahkan sempat dekat. Lelaki itu memperlakukannya dengan manis. Sampai akhirnya suatu hari ia menghilang begitu saja. Begitu saja. Meninggalkan Joey, tanpa mengatakan apapun.

Lalu Josh hadir dalam hidupnya.
Belakangan ia tahu bahwa Josh-lah yang telah menggantikan tugasnya. Sosok malaikat berhati lembut yang tadinya ditugaskan membunuh dirinya, tapi malah berakhir di pelukannya. Bahkan bersedia mengikuti dirinya, meninggalkan kaumnya.

Ingat akan sosok Josh yang telah tiada, rahang Joey terasa kaku. Amarah seakan siap meledak di kepalanya. Dan tanpa banyak bicara, Ia segera melesat dan menyerang Sean dengan membabi buta.
Ia tahu sosok itu salah satu malaikat tertinggi. Tapi ia tak gentar. Ia sudah bertekad, jika hari ini dia tak mati, maka sosok yang telah membunuh Josh itulah yang akan mati.

“Kali ini aku takkan ragu membunuhmu,” Joey mendesis, seraya kembali menyerang Sean.
Sementara malaikat itu hanya terus menghindar, tanpa melakukan perlawanan.
“Maafkan aku.” Ia berujar lirih. “Maafkan aku karena waktu itu aku pergi begitu saja. Maafkan aku karena aku menjadi pecundang,”
“Jangan-mengatakan-apapun-lagi,” Joey berucap dengan gigi terkatup.
“Aku hanya ingin meminta maaf atas apa yang ku lakukan padamu. Dan aku juga ingin meminta maaf atas apa yang kulakukan pada Josh,”
“Kenapa kau harus membunuhnya?!” Kali ini Joey berteriak. Kembali menyerang Sean dengan sebuah tebasan, tapi laki-laki itu hanya terus menghindar tanpa berusaha membalas.
“Aku hanya menjalankan tugas. Aku tak punya pilihan.” Jawabnya.
“Kau bisa membuat pilihan. Bukankah waktu kau ditugaskan membunuhku? Kenyataannya kau malah tak melakukannya ‘kan? Kenapa kali ini kau tak membuat pilihan seperti itu lagi?!”
“Karena Josh mengkhianati kami. Dan itu hukumannya.” Jawab Sean getir.
“Mencintai sesuatu tak pantas menerima hukuman.” Kali ini kalimat Joey terdengar seperti sebuah ratapan. Air matanya nyaris tumpah ketika mengingat kembali bagaimana Josh mati dalam pelukannya.

“Maafkan aku. Hanya itu yang bisa ku lakukan. Dan ... hanya itu yang ingin ku ucapkan padamu.” Ucap Sean lagi.
Joey menatapnya dengan tajam. Dan ia kembali melesat, menyerang Sean, siap menancapkan pedanganya ke jantung lelaki tersebut.
Tapi seolah malaikat itu sengaja melakukannya, ia hanya berdiam diri ketika Joey menyerangnya. Dan tak ayal lagi, pedang itu menembus dadanya, keras.
Ia sempat meringis kesakitan, sebelum akhirnya ambruk, dengan lutut menghantam bumi terlebih dahulu.

Joey tercengang.
Ia mencabut pedang yang menusuk jantung Sean dan menatap lelaki itu dengan tak mengerti.
“Kenapa kau ---,”
Sean menatap Joey dengan lembut.
“Aku ---,” Nafasnya tersengal. Ia memegang dadanya yang berlubang. “Aku hanya mencoba menebus kesalahanku padamu --- pada Josh.” Suaranya parau. “Anggap saja --- anggap saja ini caraku menebusnya.” Kalimatnya nyaris tersendat.

Joey menelan ludah. Hatinya pilu. Ingin ia menebas kembali sosok itu dengan pedangnya. Alih-alih melakukan itu, ia malah menjatuhkan pedangnya ke tanah, lalu bergerak, berlutut di hadapan Sean kemudian memeluk sosok itu dengan perasaan hancur.
“Kenapa kita harus seperti ini, Sean?” ia bertanya getir. “Kenapa ...?”
“Maafkan aku.”  Sean juga menjawab dengan getir.
Dengan lembut ia berbisik di telinga Joey. “Kelak --- mungkin kau akan bertemu dengan Woozi. Sang malaikat tertinggi. Dan --- jika kau bertemu dengannya. Larilah.” Ia tersengal.
“Kau bukan tandingannya. Kalian bukan tandingannya. Dia bisa membunuhmu, membunuh para Nephilim muda seperti kalian, hanya dalam sekejap mata. Karena itu --- larilah yang jauh. Jangan --- pernah berurusan dengannya. Jangan ---,” dan tubuh Sean terkulai, dalam pelukan Joey.
Dan ia tahu, malaikat itu sudah pergi. Ia mati.

Joey menelan ludah. Ia memeluk sosok itu dengan erat, dan air matanya menitik.

***

“Jadi kita harus meninggalkan tempat ini lagi?” tanya Woody bingung, sesaat setelah mereka kembali ke rumah peristirahatan.
Dika hanya mengangguk singkat seraya kembali memberesi beberapa senjata yang masih tertinggal di rumah tersebut. Vernon dan Joey juga melakukan hal yang sama. Merapikan beberapa senjata yang masih tertinggal dan membawa beberapa kebutuhan di tas ransel.
“Kemana?” tanya Gio.
“Mencari Nephilim yang lain,” jawabnya.
Gio dan Woody sempat mendesah kesal. Tapi toh akhirnya ikut beres-beres.

Aksi beres-beres mereka terhenti ketika tiba-tiba pintu terbuka dan Bob muncul dari sana. Tapi ia tak sendirian. Ada dua vampir di belakang mereka. Hans tampak memapah Jun yang tampak terluka parah karena panah. Panah khusus untuk membasmi Vampir.

“Dika, aku butuh obat-obatan yang kau bawa. Aku tak suka vampir, tapi sebagai dokter, aku tak bisa membiarkan dia mati di hadapanku. Meski aku ragu apakah obat yang kau bawa mampu memberikan efek penyembuhan padanya.” Tanpa menyapa terlebih dahulu ia langsung nyerocos dan meminta pada Hans untuk membaringkan Jun di kursi panjang yang ada di ruangan tersebut.

“Ada apa ini? Bagaimana kau bisa bersama Vampir? Kenapa ia terluka?” Gio yang sadar terlebih dahulu dengan situasi di antara mereka.
Dika bergerak. “Oke, akan ku ambilkan.” Dengan gesit ia membuka sebuah laci yang berada di ujung ruangan berisi obat-obatan lalu segera menyerahkannya pada Bob.
“Hanya itu yang kami punya. Entah mana yang bisa digunakan.” Ucapnya.

“Ara?” Itu kata pertama yang muncul terlebih dahulu dari mulut Vernon ketika ia menyadari gadis itu tak bersama mereka.
Bob menatap para Nephilim itu secara bergantian, tanpa mampu segera menjawab.
Dan hati Vernon segera mencelos. Hati kecilnya segera tahu bahwa sesuatu telah terjadi padanya.
“APA YANG TERJADI PADANYA? DIMANA ARA?!” Ia mendekati Bob, meremas bahunya dan tampak kalap seketika.

Bob tampak sedikit bingung, namun akhirnya ia mampu menjawab.
“Dia begitu terpukul ketika mengetahui kau pergi. Begitu bertemu dengan para vampir ini,” ia menunjuk ke arah Jun dan Hans. “Ia melakukan perjanjian pada mereka.”
“Perjanjian?” para Nephilim nyaris bertanya bersamaan.
“Perjanjian apa?” Vernon terlihat tak sabar.
“Ara meminta pada Vampir agar membawa dirinya pada kalian. Dan sebagai imbalasannya, ia bersedia memberikan nyawanya. Ia bilang ia bosan jadi manusia. Lebih baik ia jadi Vampir, agar ia bisa ... bersamamu.” Bob menatap Vernon dengan ekspresi takut.

Vernon ternganga. Tak mengira bahwa Ara akan senekat itu.
“Lalu?” desaknya.
“Ketika dalam perjalanan kemari, tiba-tiba saja seseorang menyerang kami. ia melukai Jun, nyaris membunuhku, lalu ---,”
“LALU APA?!” Vernon kembali berteriak tak sabaran.
“Ia membawa Ara pergi.”

Para Nephilim tersentak. Terutama Vernon. Ia nyaris tak bisa bernafas lagi.
Sudah cukup ia menyaksikan gadis itu nyaris mati di hadapannya. Dan sekarang tiba-tiba saja ia harus mengetahui bahwa gadis itu hilang, entah dibawa oleh siapa.

“Siapa yang membawanya? Manusia? Malaikat? ATAU APA, HAH?!”
“Aku --- tidak tahu.”
Vernon menyentakkan bahu Bob, lalu melesat keluar dari rumah tersebut.
“Vernon, mau kemana kau?” Dika yang pertama kali mengejarnya.
“Aku harus mencarinya, Dika. Aku harus menemuka Ara.”
“Jangan gegabah. Kita pikirkan dulu rencana selanjutnya. Kita tak tahu siapa yang membawanya. Jangan membabi buta seperti ini. Jangan sampai kita terpencar!” Dika menarik lengan Vernon.
“Aku tak bisa!” Pemuda gondrong itu menyentakkan tangannya dengan kasar.
“Aku tak bisa tenang sementara aku tak tahu bagaimana keadaan Ara!” dan ia kembali melesat cepat, tanpa mengindahkan panggilan Dika.
Dika kembali berusaha mengejarnya, tapi sia-sia. Vernon bergerak cepat, meninggalkannya.

Dan Vernon tak peduli. Yang ada di pikirannya hanya satu : menemukan Ara secepatnya, bagaimanapun keadaannya.
Tiba-tiba penyesalan luar biasa menyelimuti benaknya. Kenapa ia harus meninggalkan gadis itu? Kenapa ia harus pergi begitu saja?
Ara bahkan rela membuat perjanjian dengan Vampir dan berniat menjadi makhluk abadi, demi dirinya?
Demi dirinya!
Oh Tuhan ...

Vernon merasakan kedua matanya basah.
Dalam hati ia berujar mantap : Jika Ara mati, ia juga.

****

Bersambung ...



Note :
Nephilim dan Imp adalah makhluk abadi fiksi sama seperti Vampir dan Manusia serigala. Cuma beberapa orang tidak begitu familiar karena tokoh-tokoh itu jarang di angkat dalam cerita film ataupun buku. (Tapi dalam beberapa buku Urban Fantasy semacam The Fallen Series dan The Succubus Series, tokoh Imp dan Nephilim pernah dimunculkan, tapi bukan karakter utama)
Itulah kenapa mereka agak asing karena yang lebih terkenal memang Vampir dan manusia serigala.
Hunter adalah pembasmi vampir. Profesi ini biasanya turun temurun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar