Ara
merasakan seseorang menepuk-nepuk pipinya.
“Hei,
bangunlah!"
Panggilan
itu terdengar berulang-ulang, kembali diselingi dengan tepukkan di pipi.
“Hei,
bangunlah!”
Lagi,
kali ini terdengar lebih keras.
Ara
mengerang lirih. Ia mencoba membuka mata, dan segera ia diserang rasa sakit di
sekujur tubuh. Rasanya pegal, sakit, pening, ah, entahlah. Semua terasa bercampur
jadi satu. Di kaki, di badan, di tangan, di kepala, di semuanya.
“Kau
tak apa-apa?”
Ara
kembali mencoba membuka mata demi untuk menatap seraut wajah kelelahan yang
kini berada tepat di depan wajahnya. Lelaki yang tadi, yang ia temui ketika ...
“Oh,
syukurlah. Akhirnya kau membuka mata,” ia berujar lega seraya beranjak
mengambil sesuatu dan selanjutnya Ara merasakan tetesan air segar pada bibirnya.
Rupanya lelaki itu menyuapinya air dari botol kecil yang ia bawa.
Setelah
merasakan kerongkongannya dilewati air, perlahan Ara merasakan tubuhnya sedikit
bertenaga. Ia menggeliat pelan, lalu berusaha bangkit. Lelaki itu tak tinggal
diam. Dengan cekatan ia membantu Ara duduk.
Ara
menatapnya bingung. Lelaki itu meniup poninya sendiri dengan kesal.
“Jangan
katakan kalau kau lupa dengan apa yang terjadi. Aku malas menjelasakannya. Jadi
ingat-ingatlah sendiri,” ucapnya ketus.
“Aku
ingat,” ucap Ara cepat, namun lirih.
“Syukurlah.
Dan kau masih ingat namaku ‘kan?”
Ara
kembali menatap lelaki di sampingnya dengan seksama. “Dodo,” jawabnya.
“Good,”
lelaki itu menjawab pendek seraya beringsut menjauhi Ara, kemudian menyandarkan
punggungnya di dinding batu.
“Aku
sudah memeriksa tubuhmu, dan bersyukurlah, tak ada yang patah. Hanya keningmu
yang sedikit berdarah. Itupun sudah ku beri plester luka,” lelaki itu kembali
berujar. Dan seketika Ara mendelik.
“Memeriksa?
Tubuhku?” ia berucap tak percaya seraya meraba keningnya yang ternyata sudah
tertutup plester. Dodo hanya mengangkat bahu cuek.
“Aku
harus melakukannya. Hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja. Tak lebih.
Ah, sudahlah. Makanlah dulu buah-buahan itu agar kau segera punya tenaga dan
kita bisa meninggalkan tempat ini,” lelaki itu menunjuk ke arah setumpuk
buah-buahan di samping Ara, dengan dagunya. Gadis itu menatap tumpukkan buah di
sampingnya dengan takjub.
“Kapan
kau mendapatkan buah-buahan ini? Apa kau membawanya?”
“Aku
mencarinya. Ketika kau tak sadarkan diri, aku berkeliling dan mencoba mencari
buah liar,”
“Apa?”
Ara kembali mendelik. “Maksudmu, kau meninggalkanku ketika aku jatuh pingsan,
sendirian? Bagaimana jika aku dimakan hewan buas?” ia protes.
Dodo
terkekeh. “Intinya kan sekarang kau masih utuh dan hidup. Selesai,” jawabnya. “Makanlah,”
Ara
menggigit bibirnya kesal. Namun setelah dipikir-pikir lagi, tak ada gunanya ia
bersikap seperti itu. Toh pemuda di hadapannya ini telah menyelamatkan
nyawanya, merawat lukanya, dan bahkan mencarikan makanan untuknya.
“Siapa
namamu?”
“Ara.”
Ara menjawab tanpa perlu berpikir lama.
“Dan
ceritakan padaku, kenapa kau bisa berbaur dengan vampir?”
Nah,
untuk pertanyaan yang itu, Ara perlu waktu sejenak untuk menjawabnya.
“Keberatan
menjawab?” Lelaki itu mendesak setelah menyadari Ara sibuk mengunyah makanan di
mulutnya seolah tak berniat mengeluarkan kata-kata.
“Well,
kau punya hak untuk tak menjawab pertanyaanku. Tapi jika ingin menjadi partner
yang baik, maka kau harus bicara jujur tentang siapa dirimu, dan kenapa kau
bisa bersama makhluk penghisap darah itu? Umurmu pasti sekitar 18 tahun, masih
sekolah, jadi kenapa kau bisa terlibat dalam hal-hal seperti ini?”
Lagi-lagi
Ara tak segera tak menjawab.
“Kenapa
kita akan menjadi partner?” tanyanya kemudian.
“Seperti
yang kau lihat sekarang? Kita jatuh ke dasar jurang dengan kedalaman puluhan
meter. Kita terisolir, dan belum tentu bisa keluar dari sini. Kita perlu waktu
untuk memulihkan tenaga, memahami situasi, memahami medan, lalu keluar dari
sini. Jadi ...”Dodo menelengkan kepalanya. “Untuk beberapa waktu yang akan
datang, kita akan menghabiskan waktu bersama-sama. Itu sama artinya bahwa, kita
akan menjadi partner yang saling membantu. Dan untuk bisa menjadi partner yang
baik, maka aku perlu tahu banyak hal tentang dirimu. Agar aku yakin bahwa kau
bukan sekutu Vampir yang akan tiba-tiba mengumpankan aku pada mereka,”
kalimatnya terdengar seperti sebuah
peringatan.
“Aku
takkan mengumpankanmu pada Vampir,” Ara menjawab sengit, setelah menghabiskan 3
butir jambu.
Dodo
hanya mengangkat bahu.
Ara
menatap sekelilingnya. Ia seperti tak mengenali hari. Pagi, siang, ataukah
malam.
Suasana
agak gelap, tapi tak tahu itu dikarenakan pergantian waktu menjelang senja,
ataukah karena mereka memang berada di dasar lembah yang minim cahaya matahari.
“Bisakah
kita bicara nanti. Aku pusing, aku butuh istirahat.” Jawabnya. Mulanya ia
mengira Dodo akan membentaknya, tapi ternyata lelaki itu malah mengangguk
seraya menjawab ‘oke’.
“Istirahatlah.
Kita bicara nanti.” Ia melepaskan jaketnya lalu menyodorkannya pada Ara. “Pakailah,
bajumu tipis. Kau pasti kedinginan.” Ujarnya sopan.
Ara
menggeleng. “Tidak, terima kasih. Aku tidak butuh jaket,” jawabnya.
“Kalau
begitu, apa kau butuh diriku untuk menghangatkanmu,”
Ara
melotot. “Hei!!” teriaknya. Dan Dodo kembali terkikik geli.
“Bercanda,”
ucapnya.
Ara
mendengus seraya menyambar jaket tersebut.
***
“Kau
tahu tentang Nephilim?” Ara bertanya ragu ke arah Dodo. Ia merapatkan jaketnya.
Maksudnya, jaket pinjaman dari Dodo. Lelaki itu terdiam sesaat lalu mengangguk.
“Keturunan
dari malaikat dan manusia ‘kan?”
“Darimana
kau tahu?”
Dodo
terkekeh. “Aku sudah bertahun-tahun berkecimpung dengan dunia vampir. Jadi aku
juga tahu tentang makhluk abadi lainnya,” jawabnya.
“Kalau
Imp? Apa kau juga tahu?”
Lagi-lagi
lelaki itu mengangguk.
“Keturunan
manusia dan iblis,”
Ara
ternganga. “Woa, kau hebat sekali.” Desisnya tanpa sadar.
“Ada
apa dengan mereka? Kenapa kau menanyakannya?” tanya Dodo kemudian.
“Aku
berteman dengan mereka,”
“Yang
mana? Nephilim atau Imp?”
“Dua-duanya,”
jawaban Ara kembali membuat Dodo terkesima.
“Serius?”
desisnya. “Kau, manusia, berteman dengan Nephilim dan juga Imp?”
“Termasuk
vampir yang beberapa waktu yang lalu kau temui. Kami juga berteman,” ucap Ara
lagi, sedikit berbohong. Dan Dodo kembali ternganga.
“Woa,
keren,” ucapnya tanpa sadar. Ara hanya meringis.
“Kalau
begitu, ceritakan sebenarnya apa yang terjadi padamu, dengan para makhluk abadi
itu. Kenapa kau bisa bersama mereka?”
Ara
menyeringai. “Well, ceritanya panjang ...”
“Waktuku
lebih dari cukup untuk mendengarkan semua dongengmu. Jadi, lakukanlah. Atau
kita akan keluar dari sini sendiri-sendiri. Sudah ku bilang ‘kan? Aku tak sudi
punya partner abal-abal,”
Ara
mendesah. “Oke, Oke,” jawabnya kesal.
Dan
akhirnya, Ara menceritakan segalanya dari awal hingga akhir. Semuanya. Tentang
para Nephilim yang tiba-tiba tinggal di samping rumahnya, tentang Habin,
tentang pertempuran mereka dengan para malaikat, bahkan tentang vampir dan juga
Imp yang bersamanya beberapa waktu yang
lalu.
Ketika
Dodo bertanya padanya apakah ia terlibat kisah cinta terlarang dengan salah
satu makhluk abadi hingga gadis itu rela melibatkan dirinya dengan bahaya, Ara
menjawab tegas : iya.
“Aku
jatuh cinta padanya. Perasaan itu datang begitu saja dan tak bisa ku cegah. Dan
sepertinya, aku rela melakukan apapun demi bisa bersamanya,” ucapnya.
Dodo
menatapnya dengan bimbang.
“Kau
membuatku terkesima dengan kisahmu, nona. Ini seperti dalam film-film. Tapi
...” Ia terdengar ragu.
“Mencintai
makhluk abadi bukan ide yang bagus. Manusia menua, ringkih, dan akhirnya mati.
Sementara mereka tidak. Belum lagi serentetan pertempuran yang mungkin tidak
akan pernah ada habisnya. Saranku ...” Ia menatap Ara dengan seksama. “Kau
harus mulai menata hatimu untuk mencoba melupakannya, lalu memulai hidup baru
yang lebih ... alamiah.” Ujarnya mantap.
“Aku
tak bermaksud mencampuri urusanmu, sungguh. Tapi ini demi kebaikanmu.”
“Aku
berencana menjadi vampir agar bisa sama-sama menjadi makhluk abadi,” jawab Ara
putus asa.
Dodo
menggeleng.
“Kau
pikir setelah menjadi vampir kau bisa bersama dengan Nephilim itu?” Ia
menggeleng.
“Tidak
semudah itu.” Lelaki itu memperbaiki posisi duduknya dan menatap gadis di depannya dengan seksama. “Ara ...” Ini untuk pertama kalinya ia
memanggil namanya, dan dengan lembut pula.
“Menjadi
vampir muda tidak mudah. Kau akan senantiasa lapar, haus, dan kau akan membunuh
manusia dengan membabi buta, tanpa belas kasihan. Keinginan untuk menghisap
darah tidak akan pernah bisa kau bendung. Dan jujur, aku ngeri membayangkan
dirimu seperti itu.” ucapnya.
Ara
balas menatap lelaki itu dengan bimbang.
“Apa
semua vampir muda selalu seperti itu?”
Dodo
kembali mengangguk. “Mereka nyaris tak punya pengendalian diri. Mereka butuh
ratusan tahun untuk bisa menjadi vampir dewasa, vampir yang bisa mengontrol
dirinya sendiri. Ada kok beberapa vampir yang tidak lagi membunuh orang. Mereka
makan dengan membeli darah dari Bank darah.” Lanjutnya.
“Dan
satu lagi yang pasti, jika kau menjadi vampir muda yang membunuh orang tanpa belas
kasihan, maka kami, para Hunter akan memburumu dan tak segan-segan membunuhmu.”
Hening
sesaat. Ara menarik nafas panjang. Seolah butuh banyak energi untuk sekedar
bernafas. Semilir angin menerbangkan beberapa untaian rambutnya yang
berjuntain. Dodo tergoda untuk menyentuh untaian rambut tersebut. Dan tanpa
ragu tangannya terulur lalu menyelipkan rambut-rambut itu ke belakang telinga
Ara.
Keduanya
berpandangan. Canggung dan bingung.
Dodo
berdehem lalu beringsut mundur dan kembali menyandarkan punggungnya di dinding
batu.
“Kenapa
kau bisa menjadi pemburu Vampir?” tanya Ara kemudian.
“Keturunan.
Ini profesi turun temurun. Dan aku sekedar menjalankan tugasku,”
“Maksudmu,
orang tuamu juga pemburu Vampir?”
Dodo
mengangguk. “Tepatnya, leluhurku.” Jawabnya. “Mereka semua pemburu Vampir. Di
siang hari, kami bekerja seperti orang pada umumnya. Dan di malam hari, tidak
setiap malam, hanya malam-malam tertentu saja, kami berburu. Mencari Vampir
yang berkeliaran yang membahayakan orang, lalu menghabisinya.”
“Siapa
yang memberi perintah pada kalian untuk membasmi Vampir?” tanya Ara lagi.
Dodo
mengangkat bahu. “Entahlah. Aku hanya tahu bahwa beberapa Vampir berbahaya
harus segera dimusnahkan. Begitu saja. Dan ...” Ia manggut-manggut. “Aku
menikmati profesiku seperti ini. Walaupun terkadang nyawaku sendiri hampir
melayang.” Kalimatnya enteng.
Kali
ini Ara yang manggut-manggut.
“Oke,
sudah siap untuk pergi?” Dodo meraih busur silang di sisinya lalu
mengutak-atiknya sekilas. Dan Ara mengangguk tanpa ragu. “Ya,” jawabnya.
Lelaki
dihadapannya tersenyum lalu bangkit.
“Ayo,”
ia mengulurkan tangannya ke arah Ara. Gadis itu terdiam sesaat, tapi akhirnya
ia menerima uluran tangan tersebut.
***
Sementara
itu di rumah peristirahatan Dika, mereka terlihat gusar dan tak tenang.
Berkali-kali Dika mondar-mandir mencoba untuk bisa berpikir jernih. Sementara
Woody dan Gio juga tampak tegang, sedangkan Joey mendampingi Bob yang turun
tangan mengobati Jun.
Luka
itu parah. Tapi Vampir mempunyai sistem penyembuhan diri yang cepat. Hanya
dalam hitungan menit, luka pada vampir itu berangsur-angsur sembuh.
“Aku
tak bisa membiarkan mereka sendirian di luar sana. Vernon entah kemana, dan Ara
juga. Ini berbahaya sekali.” Desisnya. Tatapannya singgah ke arah
saudara-saudaranya lalu ke arah Jun.
“Kau
sudah bisa bergerak cepat?” ia bertanya langsung. Jun mengangguk.
“Kalau
begitu begini,” Dika bersedekap tegas. “Kita akan berpencar mencari keberadaan
mereka,” lanjutnya. Woody dan Gio berpandangan silih berganti, begitu pula
dengan yang lainnya.
“Jun
dan Hans, bisakah kalian membantuku?” Kali ini Dika menatap langsung ke arah
dua vampir itu. Yang disebut namanya hanya saling menatap. Tapi akhirnya mereka
mengangguk.
“Silahkan.
Aku akan mencoba apapun sebisaku. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih
karena kalian telah membantu merawat lukaku,” jawab Jun tegas.
Dika
tersenyum. “Bagus,” desisnya lega.
“Setelah
senja tiba, kita akan berpencar. Aku, Woody, Gio dan Jun akan pergi mencari keberadaan
Ara. Sementara Joey, Bob dan Hans, akan pergi mencari Vernon. Aku sengaja
memisah Jun dan Hans karena hanya mereka yang mampu mendeteksi keberadaan
Vernon dan Ara. Jun akan membantuku mencari Ara, dan Hans akan membantumu
mencari Vernon.” Kalimat yang terakhir ia tujukan ke arah Joey. Lelaki berambut
panjang itu mengangguk.
“Siapapun
yang menemukan mereka terlebih dahulu, maka kita haru segera memberi kabar,”
Lanjut Dika lagi. Tatapannya tak beralih dari Joey seolah ini hanya pembicaraan
diantara mereka berdua.
Ia
memang sengaja membuat tim yang berbeda dengan Joey karena hanya mereka berdua
yang mampu berkomunikasi jarak jauh melalui kekuatan pikiran. Sebenarnya Vernon
juga bisa. Tapi dalam keadaan panik, sosok itu seolah sengaja membuat dirinya
tak terdeteksi.
Jadi,
jika Joey bisa menemukan Vernon terlebih dahulu, maka ia akan memberitahukannya
pada Dika. Begitu pula sebaliknya.
“Baik,”
jawab lelaki itu singkat.
Dan
sesaat setelah senja tiba, para Nephilim itu bergerak mengambil senjata, lalu
melesat keluar sesuai tim yang telah ditentukan, yang masing-masing didampingi
dengan satu vampir.
***
Setapak
demi setapak, Ara dan Dodo berhasil keluar dari dasar lembah. Kedua manusia itu
terkapar kelelahan sesaat setelah
menginjakkan kakinya di tanah berbatu, dekat dengan lereng lain.
Ara
segera ambruk. Nafasnya naik turun. Ia sudah berjalan dari senja ke senja berikutnya.
Dan sekarang kakinya serasa mau patah. Tubuhnya lelah luar biasa.
“Kau
tak apa-apa?” Dodo terbaring terlentang. Dadanya naik turun. Nafasnya
tersengal.
Karena
tak mendapat jawaban dari gadis yang terbaring di sisinya, ia bangkit dan
beringsut ke arahnya.
Mata
gadis itu setengah terpejam, ia terlihat kesulitan mengatur nafas.
“Hei,”
Dodo menepuk pipinya dengan lembut. Ada nada khawatir pada nada suaranya.
“Kepalaku
pusing,” akhirnya gadis itu menjawab lirih.
Dodo
menelan ludah. Pemuda itu bangkit, lalu dengan sisa tenaga yang masih ia
miliki, ia mengangkat tubuh gadis mungil itu, menggendongnya sambil melangkah
perlahan, membawanya ke tempat yang lebih nyaman.
Setelah
menemukan tanah datar dekat pohon, ia menurunkan tubuh gadis itu dengan
hati-hati.
“Kau
mampu duduk?” Dodo kembali bertanya. Ara mengangguk.
“Aku
hanya merasa sedikit pusing karena lelah. Aku perlu waktu untuk memulihkan
tenaga,” jawabnya.
Dodo
mengambil botol air minumnya yang masih tersisa sedikit lalu menyodorkannya ke
arah Ara. Awalnya Ara menolak minum, tapi setelah dipaksa, akhirnya gadis itu
bersedia minum beberapa teguk.
Dodo
meneguk sisanya, lalu ikut duduk di sisi Ara. Keduanya terdiam sesaat. Sibuk
memulihkan tenaga.
“Firasatku
mengatakan bahwa jalan raya tak jauh lagi,” lelaki itu memecah keheningan.
“Dari
mana kau tahu?”
“Telingaku
sudah terlatih. Aku bisa mendengar deru mobil dari puluhan kilometer. Jadi
sudah bisa dipastikan, jalan raya tak jauh lagi.” Ia menatap Ara dengan yakin.
“Aku tak ingin bermalam di hutan. Jadi, aku takkan menunggu sampai tenagamu
pulih. Aku akan menggendongmu ke sana,
ke jalan raya, kemudian mencari tumpangan, dan ... pulang.” lanjutnya
lagi.
Ara
tak menjawab.
“Ngomong-ngomong.
Kemana aku harus mengantarkanmu pulang?”
“Eh?”
Ara terlihat bingung menjawab.
“Di
mana kau tinggal? Aku akan mengantarkanmu ke sana dan memastikanmu selamat
sampai rumah.” Ujar Dodo lagi.
Ara
terdiam. Mendengar kata ‘rumah’ dan ‘pulang’, air matanya nyaris tumpah.
Rumah?
Pulang?
Kemana
ia akan pergi?
Ia
tak punya siapa-siapa. Satu-satunya alasan ia sampai bertahan hidup hingga saat
ini adalah keberadaan Vernon.
Dan
sekarang? Ia bahkan tak tahu pemuda itu ada di mana.
“Ara?”
Panggilan
itu membuyarkan lamunan Ara. Gadis itu tergagap.
“Kau
tak apa-apa?”
Ia
menelan ludah. “Aku ...” kalimatnya tertahan ketika tiba-tiba Dodo bangkit dan
sikap tubuhnya terlihat waspada. Pemuda itu menatap sekeliling dengan was-was.
“Ada
apa?”
“Ada
yang datang,” ia berbisik lirih. “Dan aku mencium ... aroma vampir,” lanjutnya.
Ara
ikut tersentak. Dengan tertatih ia ikut bangkit, dan secara naluriah ia berlindung
di balik punggung Dodo sembari menatap sekelilingnya dengan perasaan takut.
Dan
akhirnya beberapa sosok itu muncul.
Beberapa
pemuda jangkung dan ...
“Ara!?”
Gio yang pertama kali meneriakkan namanya.
Ara
menyipitkan mata dan menatap sosok yang muncul dari kegelapan. Hingga akhirnya
ia yakin, sosok yang muncul satu persatu itu adalah mereka!
Dika,
Woody, Gio dan ... Jun!
Melihat
kedatangan Jun, Dodo segera menarik senjata api dari pinggangnya dengan cekatan
dan segera menodongkannya secara acak ke arah Jun dan juga para Nephilim.
Keadaan sempat tegang, hingga akhirnya Ara-lah yang mencairkan suasana.
“Ah,
aku senang bertemu dengan kalian.” Ara nyaris memekik karena girang. Ia menatap
Dodo dan mencoba menenangkannya.
“Mereka
para Nephilim, mereka temanku.” Ucapnya.
“Dia
Vampir,” dan Dodo kembali mengarahkan senjatanya tepat ke arah Jun.
“Iya,
tapi dia ... juga temanku.” Jawab Ara ragu seraya melirik ke arah Jun.
Sementara Vampir itu hanya bersedekap angkuh.
Tetap
dengan tatapan waspada, Dodo menyarungkan kembali senjatanya. Dan setelah itu
Ara bergerak, menghambur ke arah Dika dan memeluknya secara bergantian dengan
Gio beserta Woody.
“Oh,
aku senang sekali bertemu dengan kalian. Ku pikir aku takkan bertemu dengan
kalian lagi.” ia setengah meratap.
“Dan
aku senang kau baik-baik saja. Kami sangat cemas ketika mendengar kau diculik,”
sahut Woody sambil melirik ke arah Dodo yang masih nampak bersitatap tegang
dengan Jun. Mendengar kalimat itu, Hunter itu memutar bola matanya kesal lalu balas
menatap Woody.
“Aku
tidak menculiknya. Aku justru berniat menyelamatkannya.” Jawabnya jengkel.
“Dia
benar,” Ara nimbrung. “Dia menyelamatkanku.” Lanjutnya.
“Ngomong-ngomong,
di mana Vernon?”
Tak
ada jawaban sejenak.
“Dia
sedang dalam perjalanan menyusul ke sini,” akhirnya Dika yang menjawab.
Gio
dan Woody melayangkan tatapan protes ke arahnya, mengira bahwa lelaki itu
tengah membohongi Ara. Tapi akhirnya Dika kembali berkata, “Joey berhasil
menemukannya. Aku sudah memberitahu ia posisi kita,”
Gio
dan Woody manggut-manggut.
Ara
melangkah mendekati Dodo dan menatapnya lembut.
“Terima
kasih karena kau berusaha menyelamatkanku. Tapi percayalah, mereka ---,” ia menunjuk
ke arah Dika, Gio, Woody dan juga Jun, “---tidak berbahaya buatku. Mereka
takkan menyakitiku. Jadi aku akan ikut pulang dengan mereka.” Ucapnya.
Dodo
manggut-manggut. Sorot matanya menampakkan keberatan. Tapi akhirnya mulutnya
berkata, “Oke,”
Dia
baru saja ingin mengatakan sesuatu kembali ketika tiba-tiba atmosfir di sekitar
mereka berubah seketika.
Angin
berhembus dengan kencang. Seolah siap meluluh lantakkan apa saja yang di lewati.
Debu berterbangan. Pohon-pohon bergoyang dengan hebat, bahkan sempat
menjatuhkan rantingnya yang patah. Ara sempat menjerit panik sambil membungkukkan
badannya. Dan Dodo secara reflek merentangkan tangannya dan mendekap gadis itu dengan
sikap protektif.
“Malaikat
datang,” Dika mendesis. Woody dan Gio langsung bersikap siaga.
“Jun,
pergilah. Ini bukan pertempuranmu!” Dika kembali berteriak. Sementara Jun
terlihat enggan untuk beranjak.
“Pergilah.
Cari Hans, dan menyingkirlah dari sini. Malaikat juga takkan segan menghabisi
Vampir,”
Kalimat
Dika itu akhirnya membuat Jun beranjak, lalu melesat pergi.
Dika
ganti menatap ke arah Dodo dan Ara.
“Pergilah
dari sini! Cari tempat yang aman!” teriaknya. Ara berniat protes, tapi mulutnya
bahkan belum sempat terbuka ketika tiba-tiba beberapa makhluk bersayap muncul
dengan cara elegan, namun segera melesat dan menyerang membabi buta ke arah
Dika, Gio dan Woody. Dan dalam hitungan detik, pertempuran sengit terjadi
antara Nephilim dan malaikat.
“Ayo,”
Dodo bangkit, menarik tangan Ara.
“Aku
tak bisa meninggalkan mereka.” Jawab Ara sambil menepis tangan Dodo. Ia enggan
bergerak.
“Aku
tahu malaikat tidak melukai manusia. Tapi jika berkaitan dengan tugas mereka,
lain lagi ceritanya.” Dodo berkata gusar.
Ia menyiapkan busur silang di tangannya, sekedar berjaga-jaga.
“Tapi
...”
Suara
berdebum. Beberapa pohon tumbang. Dan ia melihat beberapa sosok terhempas. Tapi
ia tak yakin itu Nephilim atau malaikat.
Ara
masih nampak tercengang dengan apa yang terpampang di hadapannya sampai ia tak
menyadari ketika sebuah sentuhan lembut mendarat di pipinya. Gadis itu
tersentak. Ia menoleh ... dan segera tatapan matanya beradu dengan sepasang
mata coklat memikat, yang akhir-akhir ini begitu ia rindukan. Sepasang mata
coklat yang membuatnya terpikat, jatuh cinta, dan bersedia melakukan apa saja
demi dirinya.
Tatapan
mereka beradu. Pemilik sepasang mata coklat itu tersenyum haru.
“Vernon!”
Ara berteriak. Dan segera ia menghambur ke arah lelaki itu, lalu memeluknya
erat tanpa ragu.
Vernon
pun melakukan hal yang sama. Ia memeluk tubuh Ara dengan erat, menyurukkan
wajahnya di rambut gadis itu, nyaris menumpahkan air matanya di sana.
Dodo
yang menatap adegan itu dengan canggung akhirnya memilih untuk pergi, bergerak
menjauhi mereka menuju sebuah pohon besar. Ia berniat bersembunyi di sana dan
menyadari ketika ada sosok lain di sana. Seorang pemuda agak gemuk yang menatap
pertempuran antara malaikat dengan Nephilim dengan wajah takut.
“Kau
di pihak mana?” tanya Dodo langsung.
“Aku
teman Ara.” Jawab Bob tanpa basa basi. Dodo mengangkat bahu cuek dan memilih
untuk ikut bergabung di samping pemuda itu.
Sementara
itu, Ara tak henti-hentinya mengucap syukur karena bisa kembali bertemu dengan
Vernon.
“Kenapa
kau pergi begitu saja? Kenapa kau meninggalkanku? Aku khawatir padamu,” gadis
itu sesenggukan.
Tangan
Vernon terulur untuk menghapus air matanya.
“Maafkan
aku. Aku hanya mencoba memberikan jalan terbaik untukmu.” Suara Vernon parau.
“Bersamamu
adalah yang terbaik. Ingat itu,”
Vernon
kembali menyentuh pipi Ara dengan lembut. Merasa tak rela berpisah lagi
dengannya.
Dan
tiba-tiba mereka mendengar Gio berteriak.
“Dika!
Woody --- ” ia terdengar panik. “WOODY TERLUKA!”
Vernon
kembali menatap Ara. “Tetaplah di sini,” titahnya. Ia mendaratkan ciuman ringan
di kening Ara lalu beranjak, meninggalkannya, menuju ke arah datangnya suara
Gio.
Dan
lagi-lagi Ara merasakan ada yang hilang dari dirinya. Merasakan ciuman Vernon
yang ringan di keningnya, firasatnya mengatakan situasi ini akan lebih sulit
dari biasanya.
Dan
tanpa perlu berpikir dua kali, tanpa memikirkan keselamatannya, Ara berlari.
Mengikuti langkah kaki Vernon, menuju ke arah Gio yang tengah duduk bersimpuh
dengan memangku Woody.
Dan
Ara tercengang. Menyaksikan keadaan Woody, perutnya mulas seketika.
Ia
terkapar tak bergerak di pangkuan saudaranya. Tubuhnya terluka dan
berdarah-darah. Matanya terpejam dan ia tak berkutik sama sekali.
Gio
sesenggukan.
“Vernon
... dia tak bergerak.” Air mata pemuda itu berderaian. Vernon hanya mampu
menelan ludah sembari ikut duduk di samping tubuh Woody. Rahangnya kaku, tak
mampu mengeluarkan kata-kata.
“Jangan
pergi, Woody ...” Gio kembali sesenggukan. Ia memeluk tubuh saudaranya dengan
erat. “Hanya kau satu-satunya saudara yang ku punya. Tolong jangan pergi ...
jangan ...” Gio berujar pilu.
Air
mata Ara kembali menitik menyaksikan adegan itu. Selama ini ia mengenal sosok Gio yang begitu tegar, cuek dan
kekanak-kanakkan. Tapi untuk kali ini, ia melihat sosok itu begitu rapuh. Tak
berdaya.
Dua
Nephilim yang sering ia sebut sebagai duo anak TK dan sering menghiasi harinya
dengan tawa dan canda, lalu sekarang ia menyaksikan salah satu dari mereka
terkapar mengenaskan, hatinya terluka.
Ia
seakan tak sanggup menyaksikan hal seperti ini. Gadis itu terisak.
Kembali
terdengar suara berdebum disertai beberapa ledakan. Beberapa pohon kembali
tumbang yang kemudian diikuti debu bertebaran dan asap di mana-mana.
Vernon
bangkit. Sepasang mata coklatnya sibuk mencari keberadaan Joey dan Dika.
Lalu
tiba-tiba saja waktu seperti berhenti berjalan. Para malaikat bersenjata yang
tadinya melakukan penyerangan membabi buta, tiba-tiba saja terdiam patuh.
Pemandangan yang tadinya gelap karena malam hari ditambah dengan adanya asap
dan debu, tiba-tiba saja sirna dengan begitu ajaib. Terang benderang, layaknya
siang hari. Tak ada angin berhembus. Bahkan sekedar suara gesekan ranting
pohonpun tak terdengar sama sekali.
Dan
bersamaan dengan itu, sesosok makhluk bersayap muncul dari sana. Dari arah yang
berlawanan. Perlahan, dan elegan.
Sosok
malaikat berambut blonde dan bermata tajam. Warna sayapnya yang kuning keemasan
menciptakan aura mistis luar biasa dari dirinya. Energi yang terpancar dari
setiap inchi tubuhnya menandakan bahwa ia bukan sembarang malaikat.
Ia
malaikat tertinggi, dengan kemampuan luar biasa yang tak pantas diremehkan.
“Halo,”
Ia menyapa datar.
Vernon
dan Ara terpaku di tempatnya sementara Gio masih bersimpuh dengan tubuh Woody
dipangkuannya.
Joey
dan Dika muncul dari sisi yang bersebelahan dengan mereka dan segera beranjak
untuk berdiri di samping Vernon. Masing-masing dari mereka tetap terlihat
waspada.
“Perlukah
aku memperkenalkan diri?” Senyum tipis sempat menghiasi bibir malaikat itu.
“Aku
akan bersikap sopan. Namaku Woozi dan ...” mata kelamnya seolah menusuk. “Aku
lebih suka berdiskusi dengan baik daripada sekedar bermain perang-perangan
seperti ini. Kalian tahu ‘kan aku tak suka repot? Jadi ...”
Sekilas
Vernon menangkap tatapan mata Dika. Tatapan itu tampak putus asa. Seolah
mengatakan bahwa : ini akan menjadi
pertempuran terakhir dari mereka.
Vernon
menelan ludah. Ia menoleh ke arah Ara, hendak mengatakan sesuatu, tapi tak
mampu.
“Ara
...” Panggilnya lirih. Gadis itu balas menatapnya dengan bingung.
Keduanya
berpandangan sesaat, sampai akhirnya perhatian mereka kembali ke arah malaikat
bernama Woozi tersebut. Sosok itu kembali tersenyum. Tapi kali ini senyuman
licik.
“Ikutlah
bersamaku, para Nephilim.” Ia berucap datar. Dan bersamaan dengan itu,
tiba-tiba saja sebuah lubang serupa Black Hole muncul di hadapannya.
Lubang
itu seolah membuat tubuh Joey dan Dika terangkat lalu tertarik ke dalamnya. Hal
serupa juga terjadi dengan Gio. Pelukannya pada Woody terlepas dan tubuhnya
terangkat, lalu ikut terserap masuk menyusul Dika dan Joey.
Nasib
Vernon pun tak jauh berbeda.
Tubuhnya
terangkat, melayang, lalu melesat ke dalam lubang tersebut.
“Tidak!”
Ara menjerit.
Dengan
sekuat tenaga ia berlari, berusaha menggapai tangan Vernon dan menarik
tubuhnya.
“Tidak!
Jangan!” Gadis itu menjerit. Menggapai
tangan Vernon dan menggenggamnya erat, berharap cara itu dapat menyelamatkan
dari lubang terkutuk itu.
“Jangan...
! Ku mohon...!” Ara sesenggukan. Ia nyaris ikut terseret ke dalam lubang
bersama Vernon, dan ia tak peduli. Vernon menatapnya dengan pilu.
“Aku
mencintaimu, Ara!” teriaknya. “Dan hiduplah dengan baik!”
Bersamaan
dengan itu pegangan tangan mereka terlepas. Lubang itu menelan tubuh Vernon,
membawanya entah kemana kemudian lenyap begitu saja.
Ara
ambruk. Tubuhnya tersuruk ke tanah. Dan gadis itu terisak dengan hebat.
“Tidak
...,” desisnya pilu. Bahunya terguncang. Menatap ke arah malaikat bersayap
kuning keemasan yang berdiri dengan angkuh di hadapannya.
“Jangan lakukan ini padaku ...” suaranya serak.
“Jangan
ambil dia ...”
“Kumohon
...”
Dan
air matanya terus menitik.
****
Bersambung....
Next,
final chapter!
Don’t
miss it!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar