Selasa, 21 Juni 2016

NEPHILIM #8



Ara merasakan seseorang menepuk-nepuk pipinya.
“Hei, bangunlah!"
Panggilan itu terdengar berulang-ulang, kembali diselingi dengan tepukkan di pipi.
“Hei, bangunlah!”
Lagi, kali ini terdengar lebih keras.
Ara mengerang lirih. Ia mencoba membuka mata, dan segera ia diserang rasa sakit di sekujur tubuh. Rasanya pegal, sakit, pening, ah, entahlah. Semua terasa bercampur jadi satu. Di kaki, di badan, di tangan, di kepala, di semuanya.
“Kau tak apa-apa?”
Ara kembali mencoba membuka mata demi untuk menatap seraut wajah kelelahan yang kini berada tepat di depan wajahnya. Lelaki yang tadi, yang ia temui ketika ...
“Oh, syukurlah. Akhirnya kau membuka mata,” ia berujar lega seraya beranjak mengambil sesuatu dan selanjutnya Ara merasakan tetesan air segar pada bibirnya. Rupanya lelaki itu menyuapinya air dari botol kecil yang ia bawa.
Setelah merasakan kerongkongannya dilewati air, perlahan Ara merasakan tubuhnya sedikit bertenaga. Ia menggeliat pelan, lalu berusaha bangkit. Lelaki itu tak tinggal diam. Dengan cekatan ia membantu Ara duduk.

Ara menatapnya bingung. Lelaki itu meniup poninya sendiri dengan  kesal.
“Jangan katakan kalau kau lupa dengan apa yang terjadi. Aku malas menjelasakannya. Jadi ingat-ingatlah sendiri,” ucapnya ketus.
“Aku ingat,” ucap Ara cepat, namun lirih.
“Syukurlah. Dan kau masih ingat namaku ‘kan?”
Ara kembali menatap lelaki di sampingnya dengan seksama. “Dodo,” jawabnya.
“Good,” lelaki itu menjawab pendek seraya beringsut menjauhi Ara, kemudian menyandarkan punggungnya di dinding batu.

“Aku sudah memeriksa tubuhmu, dan bersyukurlah, tak ada yang patah. Hanya keningmu yang sedikit berdarah. Itupun sudah ku beri plester luka,” lelaki itu kembali berujar. Dan seketika Ara mendelik.
“Memeriksa? Tubuhku?” ia berucap tak percaya seraya meraba keningnya yang ternyata sudah tertutup plester. Dodo hanya mengangkat bahu cuek.
“Aku harus melakukannya. Hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja. Tak lebih. Ah, sudahlah. Makanlah dulu buah-buahan itu agar kau segera punya tenaga dan kita bisa meninggalkan tempat ini,” lelaki itu menunjuk ke arah setumpuk buah-buahan di samping Ara, dengan dagunya. Gadis itu menatap tumpukkan buah di sampingnya dengan takjub.
“Kapan kau mendapatkan buah-buahan ini? Apa kau membawanya?”
“Aku mencarinya. Ketika kau tak sadarkan diri, aku berkeliling dan mencoba mencari buah liar,”
“Apa?” Ara kembali mendelik. “Maksudmu, kau meninggalkanku ketika aku jatuh pingsan, sendirian? Bagaimana jika aku dimakan hewan buas?” ia protes.
Dodo terkekeh. “Intinya kan sekarang kau masih utuh dan hidup. Selesai,” jawabnya. “Makanlah,”

Ara menggigit bibirnya kesal. Namun setelah dipikir-pikir lagi, tak ada gunanya ia bersikap seperti itu. Toh pemuda di hadapannya ini telah menyelamatkan nyawanya, merawat lukanya, dan bahkan mencarikan makanan untuknya.
“Siapa namamu?”
“Ara.” Ara menjawab tanpa perlu berpikir lama.
“Dan ceritakan padaku, kenapa kau bisa berbaur dengan vampir?”
Nah, untuk pertanyaan yang itu, Ara perlu waktu sejenak untuk menjawabnya.
“Keberatan menjawab?” Lelaki itu mendesak setelah menyadari Ara sibuk mengunyah makanan di mulutnya seolah tak berniat mengeluarkan kata-kata.

“Well, kau punya hak untuk tak menjawab pertanyaanku. Tapi jika ingin menjadi partner yang baik, maka kau harus bicara jujur tentang siapa dirimu, dan kenapa kau bisa bersama makhluk penghisap darah itu? Umurmu pasti sekitar 18 tahun, masih sekolah, jadi kenapa kau bisa terlibat dalam hal-hal seperti ini?”

Lagi-lagi Ara tak segera tak menjawab.
“Kenapa kita akan menjadi partner?” tanyanya kemudian.
“Seperti yang kau lihat sekarang? Kita jatuh ke dasar jurang dengan kedalaman puluhan meter. Kita terisolir, dan belum tentu bisa keluar dari sini. Kita perlu waktu untuk memulihkan tenaga, memahami situasi, memahami medan, lalu keluar dari sini. Jadi ...”Dodo menelengkan kepalanya. “Untuk beberapa waktu yang akan datang, kita akan menghabiskan waktu bersama-sama. Itu sama artinya bahwa, kita akan menjadi partner yang saling membantu. Dan untuk bisa menjadi partner yang baik, maka aku perlu tahu banyak hal tentang dirimu. Agar aku yakin bahwa kau bukan sekutu Vampir yang akan tiba-tiba mengumpankan aku pada mereka,” kalimatnya terdengar seperti  sebuah peringatan.
“Aku takkan mengumpankanmu pada Vampir,” Ara menjawab sengit, setelah menghabiskan 3 butir jambu.
Dodo hanya mengangkat bahu.

Ara menatap sekelilingnya. Ia seperti tak mengenali hari. Pagi, siang, ataukah malam.
Suasana agak gelap, tapi tak tahu itu dikarenakan pergantian waktu menjelang senja, ataukah karena mereka memang berada di dasar lembah yang minim cahaya matahari.
“Bisakah kita bicara nanti. Aku pusing, aku butuh istirahat.” Jawabnya. Mulanya ia mengira Dodo akan membentaknya, tapi ternyata lelaki itu malah mengangguk seraya menjawab ‘oke’.
“Istirahatlah. Kita bicara nanti.” Ia melepaskan jaketnya lalu menyodorkannya pada Ara. “Pakailah, bajumu tipis. Kau pasti kedinginan.” Ujarnya sopan.
Ara menggeleng. “Tidak, terima kasih. Aku tidak butuh jaket,” jawabnya.
“Kalau begitu, apa kau butuh diriku untuk menghangatkanmu,”
Ara melotot. “Hei!!” teriaknya. Dan Dodo kembali terkikik geli.
“Bercanda,” ucapnya.
Ara mendengus seraya menyambar jaket tersebut.

***

“Kau tahu tentang Nephilim?” Ara bertanya ragu ke arah Dodo. Ia merapatkan jaketnya. Maksudnya, jaket pinjaman dari Dodo. Lelaki itu terdiam sesaat lalu mengangguk.
“Keturunan dari malaikat dan manusia ‘kan?”
“Darimana kau tahu?”
Dodo terkekeh. “Aku sudah bertahun-tahun berkecimpung dengan dunia vampir. Jadi aku juga tahu tentang makhluk abadi lainnya,” jawabnya.
“Kalau Imp? Apa kau juga tahu?”
Lagi-lagi lelaki itu mengangguk.
“Keturunan manusia dan iblis,”
Ara ternganga. “Woa, kau hebat sekali.” Desisnya tanpa sadar.

“Ada apa dengan mereka? Kenapa kau menanyakannya?” tanya Dodo kemudian.
“Aku berteman dengan mereka,”
“Yang mana? Nephilim atau Imp?”
“Dua-duanya,” jawaban Ara kembali membuat Dodo terkesima.
“Serius?” desisnya. “Kau, manusia, berteman dengan Nephilim dan juga Imp?”
“Termasuk vampir yang beberapa waktu yang lalu kau temui. Kami juga berteman,” ucap Ara lagi, sedikit berbohong. Dan Dodo kembali  ternganga.
“Woa, keren,” ucapnya tanpa sadar. Ara hanya meringis.

“Kalau begitu, ceritakan sebenarnya apa yang terjadi padamu, dengan para makhluk abadi itu. Kenapa kau bisa bersama mereka?”
Ara menyeringai. “Well, ceritanya panjang ...”
“Waktuku lebih dari cukup untuk mendengarkan semua dongengmu. Jadi, lakukanlah. Atau kita akan keluar dari sini sendiri-sendiri. Sudah ku bilang ‘kan? Aku tak sudi punya partner abal-abal,”
Ara mendesah. “Oke, Oke,” jawabnya kesal.

Dan akhirnya, Ara menceritakan segalanya dari awal hingga akhir. Semuanya. Tentang para Nephilim yang tiba-tiba tinggal di samping rumahnya, tentang Habin, tentang pertempuran mereka dengan para malaikat, bahkan tentang vampir dan juga Imp yang  bersamanya beberapa waktu yang lalu.
Ketika Dodo bertanya padanya apakah ia terlibat kisah cinta terlarang dengan salah satu makhluk abadi hingga gadis itu rela melibatkan dirinya dengan bahaya, Ara menjawab tegas : iya.
“Aku jatuh cinta padanya. Perasaan itu datang begitu saja dan tak bisa ku cegah. Dan sepertinya, aku rela melakukan apapun demi bisa bersamanya,” ucapnya.

Dodo menatapnya dengan bimbang.
“Kau membuatku terkesima dengan kisahmu, nona. Ini seperti dalam film-film. Tapi ...” Ia terdengar ragu.
“Mencintai makhluk abadi bukan ide yang bagus. Manusia menua, ringkih, dan akhirnya mati. Sementara mereka tidak. Belum lagi serentetan pertempuran yang mungkin tidak akan pernah ada habisnya. Saranku ...” Ia menatap Ara dengan seksama. “Kau harus mulai menata hatimu untuk mencoba melupakannya, lalu memulai hidup baru yang lebih ... alamiah.” Ujarnya mantap.
“Aku tak bermaksud mencampuri urusanmu, sungguh. Tapi ini demi kebaikanmu.”
“Aku berencana menjadi vampir agar bisa sama-sama menjadi makhluk abadi,” jawab Ara putus asa.

Dodo menggeleng.
“Kau pikir setelah menjadi vampir kau bisa bersama dengan Nephilim itu?” Ia menggeleng.
“Tidak semudah itu.” Lelaki itu memperbaiki posisi duduknya dan menatap gadis  di depannya dengan  seksama.  “Ara ...” Ini untuk pertama kalinya ia memanggil namanya, dan dengan lembut pula.
“Menjadi vampir muda tidak mudah. Kau akan senantiasa lapar, haus, dan kau akan membunuh manusia dengan membabi buta, tanpa belas kasihan. Keinginan untuk menghisap darah tidak akan pernah bisa kau bendung. Dan jujur, aku ngeri membayangkan dirimu seperti itu.” ucapnya.
Ara balas menatap lelaki itu dengan bimbang.
“Apa semua vampir muda selalu seperti itu?”
Dodo kembali mengangguk. “Mereka nyaris tak punya pengendalian diri. Mereka butuh ratusan tahun untuk bisa menjadi vampir dewasa, vampir yang bisa mengontrol dirinya sendiri. Ada kok beberapa vampir yang tidak lagi membunuh orang. Mereka makan dengan membeli darah dari Bank darah.” Lanjutnya.

“Dan satu lagi yang pasti, jika kau menjadi vampir muda yang membunuh orang tanpa belas kasihan, maka kami, para Hunter akan memburumu dan tak segan-segan membunuhmu.”

Hening sesaat. Ara menarik nafas panjang. Seolah butuh banyak energi untuk sekedar bernafas. Semilir angin menerbangkan beberapa untaian rambutnya yang berjuntain. Dodo tergoda untuk menyentuh untaian rambut tersebut. Dan tanpa ragu tangannya terulur lalu menyelipkan rambut-rambut itu ke belakang telinga Ara.
Keduanya berpandangan. Canggung dan bingung.
Dodo berdehem lalu beringsut mundur dan kembali menyandarkan punggungnya di dinding batu.

“Kenapa kau bisa menjadi pemburu Vampir?” tanya Ara kemudian.
“Keturunan. Ini profesi turun temurun. Dan aku sekedar menjalankan tugasku,”
“Maksudmu, orang tuamu juga pemburu Vampir?”
Dodo mengangguk. “Tepatnya, leluhurku.” Jawabnya. “Mereka semua pemburu Vampir. Di siang hari, kami bekerja seperti orang pada umumnya. Dan di malam hari, tidak setiap malam, hanya malam-malam tertentu saja, kami berburu. Mencari Vampir yang berkeliaran yang membahayakan orang, lalu menghabisinya.”
“Siapa yang memberi perintah pada kalian untuk membasmi Vampir?” tanya Ara lagi.
Dodo mengangkat bahu. “Entahlah. Aku hanya tahu bahwa beberapa Vampir berbahaya harus segera dimusnahkan. Begitu saja. Dan ...” Ia manggut-manggut. “Aku menikmati profesiku seperti ini. Walaupun terkadang nyawaku sendiri hampir melayang.” Kalimatnya enteng.

Kali ini Ara yang manggut-manggut.

“Oke, sudah siap untuk pergi?” Dodo meraih busur silang di sisinya lalu mengutak-atiknya sekilas. Dan Ara mengangguk tanpa ragu. “Ya,” jawabnya.
Lelaki dihadapannya tersenyum lalu bangkit.
“Ayo,” ia mengulurkan tangannya ke arah Ara. Gadis itu terdiam sesaat, tapi akhirnya ia menerima uluran tangan tersebut.

***


Sementara itu di rumah peristirahatan Dika, mereka terlihat gusar dan tak tenang. Berkali-kali Dika mondar-mandir mencoba untuk bisa berpikir jernih. Sementara Woody dan Gio juga tampak tegang, sedangkan Joey mendampingi Bob yang turun tangan mengobati Jun.
Luka itu parah. Tapi Vampir mempunyai sistem penyembuhan diri yang cepat. Hanya dalam hitungan menit, luka pada vampir itu berangsur-angsur sembuh.

“Aku tak bisa membiarkan mereka sendirian di luar sana. Vernon entah kemana, dan Ara juga. Ini berbahaya sekali.” Desisnya. Tatapannya singgah ke arah saudara-saudaranya lalu ke arah Jun.
“Kau sudah bisa bergerak cepat?” ia bertanya langsung. Jun mengangguk.
“Kalau begitu begini,” Dika bersedekap tegas. “Kita akan berpencar mencari keberadaan mereka,” lanjutnya. Woody dan Gio berpandangan silih berganti, begitu pula dengan yang lainnya.

“Jun dan Hans, bisakah kalian membantuku?” Kali ini Dika menatap langsung ke arah dua vampir itu. Yang disebut namanya hanya saling menatap. Tapi akhirnya mereka mengangguk.
“Silahkan. Aku akan mencoba apapun sebisaku. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena kalian telah membantu merawat lukaku,” jawab Jun tegas.
Dika tersenyum. “Bagus,” desisnya lega.

“Setelah senja tiba, kita akan berpencar. Aku, Woody, Gio dan Jun akan pergi mencari keberadaan Ara. Sementara Joey, Bob dan Hans, akan pergi mencari Vernon. Aku sengaja memisah Jun dan Hans karena hanya mereka yang mampu mendeteksi keberadaan Vernon dan Ara. Jun akan membantuku mencari Ara, dan Hans akan membantumu mencari Vernon.” Kalimat yang terakhir ia tujukan ke arah Joey. Lelaki berambut panjang itu mengangguk.
“Siapapun yang menemukan mereka terlebih dahulu, maka kita haru segera memberi kabar,” Lanjut Dika lagi. Tatapannya tak beralih dari Joey seolah ini hanya pembicaraan diantara mereka berdua.

Ia memang sengaja membuat tim yang berbeda dengan Joey karena hanya mereka berdua yang mampu berkomunikasi jarak jauh melalui kekuatan pikiran. Sebenarnya Vernon juga bisa. Tapi dalam keadaan panik, sosok itu seolah sengaja membuat dirinya tak terdeteksi.

Jadi, jika Joey bisa menemukan Vernon terlebih dahulu, maka ia akan memberitahukannya pada Dika. Begitu pula sebaliknya.
“Baik,” jawab lelaki itu singkat.

Dan sesaat setelah senja tiba, para Nephilim itu bergerak mengambil senjata, lalu melesat keluar sesuai tim yang telah ditentukan, yang masing-masing didampingi dengan satu vampir.

***

Setapak demi setapak, Ara dan Dodo berhasil keluar dari dasar lembah. Kedua manusia itu terkapar kelelahan  sesaat setelah menginjakkan kakinya di tanah berbatu, dekat dengan lereng lain.
Ara segera ambruk. Nafasnya naik turun. Ia sudah berjalan dari senja ke senja berikutnya. Dan sekarang kakinya serasa mau patah. Tubuhnya lelah luar biasa.

“Kau tak apa-apa?” Dodo terbaring terlentang. Dadanya naik turun. Nafasnya tersengal.
Karena tak mendapat jawaban dari gadis yang terbaring di sisinya, ia bangkit dan beringsut ke arahnya.
Mata gadis itu setengah terpejam, ia terlihat kesulitan mengatur nafas.
“Hei,” Dodo menepuk pipinya dengan lembut. Ada nada khawatir pada nada suaranya.
“Kepalaku pusing,” akhirnya gadis itu menjawab lirih.
Dodo menelan ludah. Pemuda itu bangkit, lalu dengan sisa tenaga yang masih ia miliki, ia mengangkat tubuh gadis mungil itu, menggendongnya sambil melangkah perlahan, membawanya ke tempat yang lebih nyaman.

Setelah menemukan tanah datar dekat pohon, ia menurunkan tubuh gadis itu dengan hati-hati.
“Kau mampu duduk?” Dodo kembali bertanya. Ara mengangguk.
“Aku hanya merasa sedikit pusing karena lelah. Aku perlu waktu untuk memulihkan tenaga,” jawabnya.
Dodo mengambil botol air minumnya yang masih tersisa sedikit lalu menyodorkannya ke arah Ara. Awalnya Ara menolak minum, tapi setelah dipaksa, akhirnya gadis itu bersedia minum beberapa teguk.

Dodo meneguk sisanya, lalu ikut duduk di sisi Ara. Keduanya terdiam sesaat. Sibuk memulihkan tenaga.
“Firasatku mengatakan bahwa jalan raya tak jauh lagi,” lelaki itu memecah keheningan.
“Dari mana kau tahu?”
“Telingaku sudah terlatih. Aku bisa mendengar deru mobil dari puluhan kilometer. Jadi sudah bisa dipastikan, jalan raya tak jauh lagi.” Ia menatap Ara dengan yakin. “Aku tak ingin bermalam di hutan. Jadi, aku takkan menunggu sampai tenagamu pulih. Aku akan menggendongmu ke sana,  ke jalan raya, kemudian mencari tumpangan, dan ... pulang.” lanjutnya lagi. 
Ara tak menjawab.
“Ngomong-ngomong. Kemana aku harus mengantarkanmu pulang?”
“Eh?” Ara terlihat bingung menjawab.
“Di mana kau tinggal? Aku akan mengantarkanmu ke sana dan memastikanmu selamat sampai rumah.” Ujar Dodo lagi.
Ara terdiam. Mendengar kata ‘rumah’ dan ‘pulang’, air matanya nyaris tumpah.
Rumah?
Pulang?
Kemana ia akan pergi?
Ia tak punya siapa-siapa. Satu-satunya alasan ia sampai bertahan hidup hingga saat ini adalah keberadaan Vernon.
Dan sekarang? Ia bahkan tak tahu pemuda itu ada di mana.

“Ara?”
Panggilan itu membuyarkan lamunan Ara. Gadis itu tergagap.
“Kau tak apa-apa?”
Ia menelan ludah. “Aku ...” kalimatnya tertahan ketika tiba-tiba Dodo bangkit dan sikap tubuhnya terlihat waspada. Pemuda itu menatap sekeliling dengan was-was.
“Ada apa?”
“Ada yang datang,” ia berbisik lirih. “Dan aku mencium ... aroma vampir,” lanjutnya.
Ara ikut tersentak. Dengan tertatih ia ikut bangkit, dan secara naluriah ia berlindung di balik punggung Dodo sembari menatap sekelilingnya dengan perasaan takut.

Dan akhirnya beberapa sosok itu muncul.
Beberapa pemuda jangkung dan ...
“Ara!?” Gio yang pertama kali meneriakkan namanya.
Ara menyipitkan mata dan menatap sosok yang muncul dari kegelapan. Hingga akhirnya ia yakin, sosok yang muncul satu persatu itu adalah mereka!
Dika, Woody, Gio dan ... Jun!

Melihat kedatangan Jun, Dodo segera menarik senjata api dari pinggangnya dengan cekatan dan segera menodongkannya secara acak ke arah Jun dan juga para Nephilim. Keadaan sempat tegang, hingga akhirnya Ara-lah yang mencairkan suasana.
“Ah, aku senang bertemu dengan kalian.” Ara nyaris memekik karena girang. Ia menatap Dodo dan mencoba menenangkannya.
“Mereka para Nephilim, mereka temanku.” Ucapnya.
“Dia Vampir,” dan Dodo kembali mengarahkan senjatanya tepat ke arah Jun.
“Iya, tapi dia ... juga temanku.” Jawab Ara ragu seraya melirik ke arah Jun. Sementara Vampir itu hanya bersedekap angkuh.

Tetap dengan tatapan waspada, Dodo menyarungkan kembali senjatanya. Dan setelah itu Ara bergerak, menghambur ke arah Dika dan memeluknya secara bergantian dengan Gio beserta Woody.
“Oh, aku senang sekali bertemu dengan kalian. Ku pikir aku takkan bertemu dengan kalian lagi.” ia setengah meratap.
“Dan aku senang kau baik-baik saja. Kami sangat cemas ketika mendengar kau diculik,” sahut Woody sambil melirik ke arah Dodo yang masih nampak bersitatap tegang dengan Jun. Mendengar kalimat itu, Hunter itu memutar bola matanya kesal lalu balas menatap Woody.
“Aku tidak menculiknya. Aku justru berniat menyelamatkannya.” Jawabnya jengkel.
“Dia benar,” Ara nimbrung. “Dia menyelamatkanku.” Lanjutnya.
“Ngomong-ngomong, di mana Vernon?”
Tak ada jawaban sejenak.
“Dia sedang dalam perjalanan menyusul ke sini,” akhirnya Dika yang menjawab.
Gio dan Woody melayangkan tatapan protes ke arahnya, mengira bahwa lelaki itu tengah membohongi Ara. Tapi akhirnya Dika kembali berkata, “Joey berhasil menemukannya. Aku sudah memberitahu ia posisi kita,”

Gio dan Woody manggut-manggut.
Ara melangkah mendekati Dodo dan menatapnya lembut.
“Terima kasih karena kau berusaha menyelamatkanku. Tapi percayalah, mereka ---,” ia menunjuk ke arah Dika, Gio, Woody dan juga Jun, “---tidak berbahaya buatku. Mereka takkan menyakitiku. Jadi aku akan ikut pulang dengan mereka.” Ucapnya.
Dodo manggut-manggut. Sorot matanya menampakkan keberatan. Tapi akhirnya mulutnya berkata, “Oke,”
Dia baru saja ingin mengatakan sesuatu kembali ketika tiba-tiba atmosfir di sekitar mereka berubah seketika.

Angin berhembus dengan kencang. Seolah siap meluluh lantakkan apa saja yang di lewati. Debu berterbangan. Pohon-pohon bergoyang dengan hebat, bahkan sempat menjatuhkan rantingnya yang patah. Ara sempat menjerit panik sambil membungkukkan badannya. Dan Dodo secara reflek merentangkan tangannya dan mendekap gadis itu dengan sikap protektif.
“Malaikat datang,” Dika mendesis. Woody dan Gio langsung bersikap siaga.
“Jun, pergilah. Ini bukan pertempuranmu!” Dika kembali berteriak. Sementara Jun terlihat enggan untuk beranjak.
“Pergilah. Cari Hans, dan menyingkirlah dari sini. Malaikat juga takkan segan menghabisi Vampir,”
Kalimat Dika itu akhirnya membuat Jun beranjak, lalu melesat pergi.

Dika ganti menatap ke arah Dodo dan Ara.
“Pergilah dari sini! Cari tempat yang aman!” teriaknya. Ara berniat protes, tapi mulutnya bahkan belum sempat terbuka ketika tiba-tiba beberapa makhluk bersayap muncul dengan cara elegan, namun segera melesat dan menyerang membabi buta ke arah Dika, Gio dan Woody. Dan dalam hitungan detik, pertempuran sengit terjadi antara Nephilim dan malaikat.

“Ayo,” Dodo bangkit, menarik tangan Ara.
“Aku tak bisa meninggalkan mereka.” Jawab Ara sambil menepis tangan Dodo. Ia enggan bergerak.
“Aku tahu malaikat tidak melukai manusia. Tapi jika berkaitan dengan tugas mereka, lain lagi ceritanya.” Dodo berkata gusar.  Ia menyiapkan busur silang di tangannya, sekedar berjaga-jaga.
“Tapi ...”

Suara berdebum. Beberapa pohon tumbang. Dan ia melihat beberapa sosok terhempas. Tapi ia tak yakin itu Nephilim atau malaikat.

Ara masih nampak tercengang dengan apa yang terpampang di hadapannya sampai ia tak menyadari ketika sebuah sentuhan lembut mendarat di pipinya. Gadis itu tersentak. Ia menoleh ... dan segera tatapan matanya beradu dengan sepasang mata coklat memikat, yang akhir-akhir ini begitu ia rindukan. Sepasang mata coklat yang membuatnya terpikat, jatuh cinta, dan bersedia melakukan apa saja demi dirinya.

Tatapan mereka beradu. Pemilik sepasang mata coklat itu tersenyum haru.

“Vernon!” Ara berteriak. Dan segera ia menghambur ke arah lelaki itu, lalu memeluknya erat tanpa ragu.
Vernon pun melakukan hal yang sama. Ia memeluk tubuh Ara dengan erat, menyurukkan wajahnya di rambut gadis itu, nyaris menumpahkan air matanya di sana.

Dodo yang menatap adegan itu dengan canggung akhirnya memilih untuk pergi, bergerak menjauhi mereka menuju sebuah pohon besar. Ia berniat bersembunyi di sana dan menyadari ketika ada sosok lain di sana. Seorang pemuda agak gemuk yang menatap pertempuran antara malaikat dengan Nephilim dengan wajah takut.
“Kau di pihak mana?” tanya Dodo langsung.
“Aku teman Ara.” Jawab Bob tanpa basa basi. Dodo mengangkat bahu cuek dan memilih untuk ikut bergabung di samping pemuda itu.

Sementara itu, Ara tak henti-hentinya mengucap syukur karena bisa kembali bertemu dengan Vernon.
“Kenapa kau pergi begitu saja? Kenapa kau meninggalkanku? Aku khawatir padamu,” gadis itu sesenggukan.
Tangan Vernon terulur untuk menghapus air matanya.
“Maafkan aku. Aku hanya mencoba memberikan jalan terbaik untukmu.” Suara Vernon parau.
“Bersamamu adalah yang terbaik. Ingat itu,”
Vernon kembali menyentuh pipi Ara dengan lembut. Merasa tak rela berpisah lagi dengannya.

Dan tiba-tiba mereka mendengar Gio berteriak.
“Dika! Woody --- ” ia terdengar panik. “WOODY TERLUKA!”

Vernon kembali menatap Ara. “Tetaplah di sini,” titahnya. Ia mendaratkan ciuman ringan di kening Ara lalu beranjak, meninggalkannya, menuju ke arah datangnya suara Gio.
Dan lagi-lagi Ara merasakan ada yang hilang dari dirinya. Merasakan ciuman Vernon yang ringan di keningnya, firasatnya mengatakan situasi ini akan lebih sulit dari biasanya.

Dan tanpa perlu berpikir dua kali, tanpa memikirkan keselamatannya, Ara berlari. Mengikuti langkah kaki Vernon, menuju ke arah Gio yang tengah duduk bersimpuh dengan memangku Woody.
Dan Ara tercengang. Menyaksikan keadaan Woody, perutnya mulas seketika.
Ia terkapar tak bergerak di pangkuan saudaranya. Tubuhnya terluka dan berdarah-darah. Matanya terpejam dan ia tak berkutik sama sekali.
Gio sesenggukan.
“Vernon ... dia tak bergerak.” Air mata pemuda itu berderaian. Vernon hanya mampu menelan ludah sembari ikut duduk di samping tubuh Woody. Rahangnya kaku, tak mampu mengeluarkan kata-kata.

“Jangan pergi, Woody ...” Gio kembali sesenggukan. Ia memeluk tubuh saudaranya dengan erat. “Hanya kau satu-satunya saudara yang ku punya. Tolong jangan pergi ... jangan ...” Gio berujar pilu.
Air mata Ara kembali menitik menyaksikan adegan itu. Selama ini ia mengenal  sosok Gio yang begitu tegar, cuek dan kekanak-kanakkan. Tapi untuk kali ini, ia melihat sosok itu begitu rapuh. Tak berdaya.
Dua Nephilim yang sering ia sebut sebagai duo anak TK dan sering menghiasi harinya dengan tawa dan canda, lalu sekarang ia menyaksikan salah satu dari mereka terkapar mengenaskan, hatinya terluka.
Ia seakan tak sanggup menyaksikan hal seperti ini. Gadis itu terisak.

Kembali terdengar suara berdebum disertai beberapa ledakan. Beberapa pohon kembali tumbang yang kemudian diikuti debu bertebaran dan asap di mana-mana.
Vernon bangkit. Sepasang mata coklatnya sibuk mencari keberadaan Joey dan Dika.

Lalu tiba-tiba saja waktu seperti berhenti berjalan. Para malaikat bersenjata yang tadinya melakukan penyerangan membabi buta, tiba-tiba saja terdiam patuh. Pemandangan yang tadinya gelap karena malam hari ditambah dengan adanya asap dan debu, tiba-tiba saja sirna dengan begitu ajaib. Terang benderang, layaknya siang hari. Tak ada angin berhembus. Bahkan sekedar suara gesekan ranting pohonpun tak terdengar sama sekali.

Dan bersamaan dengan itu, sesosok makhluk bersayap muncul dari sana. Dari arah yang berlawanan. Perlahan, dan elegan.
Sosok malaikat berambut blonde dan bermata tajam. Warna sayapnya yang kuning keemasan menciptakan aura mistis luar biasa dari dirinya. Energi yang terpancar dari setiap inchi tubuhnya menandakan bahwa ia bukan sembarang malaikat.
Ia malaikat tertinggi, dengan kemampuan luar biasa yang tak pantas diremehkan.

“Halo,” Ia menyapa datar.
Vernon dan Ara terpaku di tempatnya sementara Gio masih bersimpuh dengan tubuh Woody dipangkuannya.
Joey dan Dika muncul dari sisi yang bersebelahan dengan mereka dan segera beranjak untuk berdiri di samping Vernon. Masing-masing dari mereka tetap terlihat waspada.
“Perlukah aku memperkenalkan diri?” Senyum tipis sempat menghiasi bibir malaikat itu.
“Aku akan bersikap sopan. Namaku Woozi dan ...” mata kelamnya seolah menusuk. “Aku lebih suka berdiskusi dengan baik daripada sekedar bermain perang-perangan seperti ini. Kalian tahu ‘kan aku tak suka repot? Jadi ...”

Sekilas Vernon menangkap tatapan mata Dika. Tatapan itu tampak putus asa. Seolah mengatakan bahwa : ini akan menjadi pertempuran terakhir dari mereka.

Vernon menelan ludah. Ia menoleh ke arah Ara, hendak mengatakan sesuatu, tapi tak mampu.
“Ara ...” Panggilnya lirih. Gadis itu balas menatapnya dengan bingung.
Keduanya berpandangan sesaat, sampai akhirnya perhatian mereka kembali ke arah malaikat bernama Woozi tersebut. Sosok itu kembali tersenyum. Tapi kali ini senyuman licik.
“Ikutlah bersamaku, para Nephilim.” Ia berucap datar. Dan bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja sebuah lubang serupa Black Hole muncul di hadapannya.

Lubang itu seolah membuat tubuh Joey dan Dika terangkat lalu tertarik ke dalamnya. Hal serupa juga terjadi dengan Gio. Pelukannya pada Woody terlepas dan tubuhnya terangkat, lalu ikut terserap masuk menyusul Dika dan Joey.
Nasib Vernon pun tak jauh berbeda.
Tubuhnya terangkat, melayang, lalu melesat ke dalam lubang tersebut.
“Tidak!” Ara menjerit.
Dengan sekuat tenaga ia berlari, berusaha menggapai tangan Vernon dan menarik tubuhnya.
“Tidak! Jangan!”  Gadis itu menjerit. Menggapai tangan Vernon dan menggenggamnya erat, berharap cara itu dapat menyelamatkan dari lubang terkutuk itu.

“Jangan... ! Ku mohon...!” Ara sesenggukan. Ia nyaris ikut terseret ke dalam lubang bersama Vernon, dan ia tak peduli. Vernon menatapnya dengan pilu.
“Aku mencintaimu, Ara!” teriaknya. “Dan hiduplah dengan baik!”
Bersamaan dengan itu pegangan tangan mereka terlepas. Lubang itu menelan tubuh Vernon, membawanya entah kemana kemudian lenyap begitu saja.

Ara ambruk. Tubuhnya tersuruk ke tanah. Dan gadis itu terisak dengan hebat.

“Tidak ...,” desisnya pilu. Bahunya terguncang. Menatap ke arah malaikat bersayap kuning keemasan yang berdiri dengan angkuh di hadapannya.

“Jangan lakukan ini padaku ...” suaranya serak.

“Jangan ambil dia ...”

“Kumohon ...”

Dan air matanya terus menitik.


****

Bersambung....


Next, final chapter!
Don’t miss it!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar