Kamis, 11 September 2014

Cerpen Kiki Kaka 16 : Farewell Kiss



          Fifi menatapku dengan  mata berkaca-kaca. Ada luka di sana. Tapi ia tahu bahwa aku juga merasakan hal yang sama. Terluka. Dan pedih.
“Oke, apa yang ingin kau jelaskan?” Fifi berkata sambil mengatupkan giginya. Jelas bahwa ia sedang menahan amarah.
Aku menggeleng.
“Nggak ada... Nggak ada yang bisa ku jelaskan. Apa yang kamu lihat, itulah yang terjadi,” jawabku lirih.
Tangis Fifi pecah. Ia sempat menutup mukanya dengan kedua tangannya. Dan aku membiarkannya. Membiarkan ia menangis selama sekian detik sampai tenang.
Setelah memergoki aku dan Rangga berciuman di kamarku, Fifi segera berlari meninggalkan kami. Aku segera mengejarnya. Bukan karena aku harus menjelaskan sesuatu padanya, tapi karena aku wajib mengejarnya. Karena dia adalah sahabatku, itu saja.
“Kenapa kau lakukan ini padaku, Ki? Kalian berciuman, kau menciumnya, pacarku,” ia bergumam di sela-sela tangisnya.
Tenggorokanku kering.
“Sejak kapan kalian berhubungan di belakangku?”
“Aku tidak punya hubungan dengannya,” ucapku tegas.
Fifi tersenyum sinis.
“Oh, yang benar aja? Kalian berciuman, pasti kalian punya hubungan khusus. Dan mungkin itu alasannya karena beberapa waktu yang lalu ia minta putus denganku,”
Ucapnya dengan amarah tertahan.
“Aku tidak punya hubungan apapun dengannya atau bahkan berselingkuh dengannya. Aku hanya akan minta maaf soal ciuman itu, tapi tidak dengan yang lainnya,” aku  nyaris berteriak frustasi.  
Kami kembali bertatapan.
“Kamu mencintainya ‘kan?”
“Ya,” jawabku cepat.
Fifi tampak tertegun dengan jawabanku.
“Kalo begitu kenapa waktu itu kamu bohong padaku. Kamu bilang kamu tak mencintainya?”
“Karena aku ingin menjaga perasaanmu, karena kita bersahabat, itu saja,” jawabku.
Fifi mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Ia membuang tatapan ke jalan raya sesaat sebelum kembali menatapku.
“Sejak kapan?”
“Sejak SD,” jawabku lagi. Fifi tampak terpukul dengan jawabanku. Aku tak punya pilihan lagi, tak ada gunanya aku menyembunyikan semuanya.
“Aku mencintainya sejak kecil. Dan jika kamu mau tahu, dia adalah cinta pertamaku,”
Air mata Fifi kembali menitik. Dan aku tahu bahwa akupun mengalami hal yang sama karena pipiku pun telah basah oleh air mataku.
“Kenapa kamu nggak ngomong dari dulu, Ki?”
Aku terkekeh sinis.
“Kamu pengen aku ngomong kayak gimana, Fi? Semua terjadi dengan cepat. Rangga balik ke Indonesia, berkenalan denganmu, dan setelah itu kalian jadian. Kamu mau aku ngomong, ‘helo, Fi, yang kamu pacari itu sahabatku sejak kecil dan cinta pertamaku’, gitu?”
Fifi terduduk lemas di pot taman pinggir jalan. Akupun ikut duduk, tak jauh darinya. Sesaat tatapan kami mengarah ke orang-orang yang berlalu lalang di pinggir jalan. Kami bersitegang tanpa menghiraukan mereka.
“Tetap saja yang kamu cium itu pacarku, Ki,” ia kembali menggumam.
“Ya, aku tahu itu dan aku sudah mengaku bahwa aku salah. Aku sudah minta maaf. Dan aku hanya akan minta maaf untuk itu, bukan untuk yang lainnya,” balasku.
“Bahkan meskipun kau sudah merebut pacarku?”
“Aku tidak merebut dia darimu,”
“Tapi kemungkinannya, dia akan meninggalkanku demi dirimu, begitu ‘kan?”
Aku menarik nafas panjang.
“Bahkan jika itu terjadi, bukankah kita sudah sepakat untuk bersaing secara sportif seandainya kita mencintai cowok yang sama? Jika memang begitu, harusnya kamu rela bila dia memilihku,sama seperti aku merelakannya ketika kau berpacaran dengannya,” jawabku tegas.
Fifi menatapku dengan tajam. Ia bangkit.
“Oke, jika dia meninggalkanku demi dirimu, ambil saja. Dan persahabatan kita berakhir,” ia beranjak, meninggalkanku dalam diam.
Dan aku tak berusaha mengejarnya lagi.
Ketika aku bangkit dan berniat melangkahkan kakiku kembali ke rumah, tampak Rangga tengah menungguku dan menatapku dengan tatapan sayu.
Aku melangkah mendekatinya.
“Selesaikanlah urusanmu dengannya. Setelah urusan kalian selesai, baru kita bicara,” tanpa menunggu Rangga berkata-kata, aku meninggalkannya.

***

          Kereta baru berangkat 15 menit lagi. Jadi aku memilih duduk-duduk sebentar di bangku yang berada di peron dan membiarkan Leo mondar-mandir di sekelilingku.
“Kamu yakin akan berangkat ke Jogja sekarang ini?” ia kembali bertanya dan aku juga kembali menagangguk.
Hantu itu berdiri sesaat di sampingku.
“Ki, kamu nggak harus memaksakan diri. Jika ... suasana hatimu ... masih kacau, kamu bisa menunda keberangkatanmu. Oke? Aku nggak keberatan menunggu lagi. Yang penting, kamu baik-baik aja dulu, ya?”
Kalimat Leo terdengar cemas. Aku mendongak dan balas menatapnya.
“Aku baik-baik aja. Urusanku dengan Rangga dan Fifi akan kuselesaikan nanti aja sepulang dari Jogja, oke,” aku menegaskan dengan kalimat lirih agar orang-orang di sekitarku nggak mengira bahwa aku lagi ngomong sendiri.
Raut muka Leo tampak ingin protes lagi. Tapi aku segera menunjukkan jempol tanganku lalu memberinya isyarat dengan membuat lingkaran dari jempol dan jari telunjukku, yang menunjukkan bahwa aku baik-baik saja.
Aku kembali menyandarkan punggungku ke sandaran bangku dan menatap orang-orang yang berlalu lalang. Sebelum akhirnya pandangan mataku kembali tertuju pada 2 buah tiket kereta yang  berada dalam genggaman tanganku yang lain.
Aku tersenyum miris. Tak dapat ku percaya aku membeli 2 tiket. Tadinya tiket itu kuperuntukkan untukku dan juga untuk Leo. Tapi sesaat aku lupa bahwa Leo adalah hantu. Dan dia tidak butuh tiket kereta. Haha, LOL!
“Kebetulan. Tiketnya buat aku aja,” suara itu muncul bersamaan dengan adanya tas ransel yang mendarat begitu saja di dekat kakiku.
Aku menoleh. Dan sosok itu sudah duduk di sampingku. Kedua mataku mengerjap. Dante...
 “Kok ... di sini?” tanyaku tanpa sadar. Dante menatapku dengan datar.
“Aku akan ikut kamu ke Jogja,” jawabnya.
Aku menatapnya dengan bingung.
“Kok kamu tahu kalo ... aku akan ke Jogja?”
Dante menyipitkan matanya ke arahku seolah mengatakan ‘gue cenayang, dan gue bisa baca pikiran loe, oke? Ada masalah?’
Aku nyengir. Rasanya seperti maling yang ketahuan sewaktu menjalankan aksinya.
“Jadiii, maksudnya nih, kamu mau pergi ke Jogja berduaan sama dia, gitu?” Dante menunjuk ke arah Leo dengan tatapan kesal.
“Dan kamu pikir, kalo sampek ada apa-apa sama kamu, makhluk ini -- ” ia kembali menunjuk ke arah Leo,”-- bisa  melindungimu, gitu?”
Aku tak menjawab.
“Sori, tapi aku meragukannya, seratus persen!”  lanjut Dante lagi. Leo tampak sewot.
“Iya, iya, aku memang nggak bisa melindunginya andaikan aja dia dapat bahaya. Puas?” ucapnya dengan nada menyindir.
“Puas,” jawab Dante pendek dan cuek.
Aku masih bengong. Menatap Dante dan Leo secara bergantian, lalu kembali menatap Dante lagi dengan was-was.
“Kamu membaca pikiranku lagi?” akhirnya aku menanyakannya.
“Enggak, anggap aja kita punya telepati yang bisa konek secara otomatis hingga aku bisa mengetahui isi hati kamu, begitu aja. Udah, nggak usah dibahas lagi,” jawabnya sambil membuang tatapanya ke arah orang yang berlalu lalang.
Entah kenapa, tiba-tiba saja aku merasa takjub.
“Kita ini ibarat satu tim, Ki. Mestinya kamu nggak berniat ke Jogja sendirian. Kan aku masih bisa bantu,” ia protes tanpa menatap ke arahku.
“Sori, aku cuma nggak mau kamu...”
“Aku nggak akan tewas dengan kemampuanku, oke. Aku tahu kapan menggunakannya dan kapan harus menahannya. It’s simple. Dan yang jelas, aku bisa menjaga diri, yuk,” Dante bangkit. Meraih tas ranselnya ke punggung lalu beranjak. Langkahnya terhenti ketika ia menyadari bahwa aku masih mematung di tempat dudukku. Ia berbalik dan menghampiriku.
“Kelamaan deh kamu,” ia meraih tanganku dan menarik tubuhku hingga aku bangkit.
“Iya, tunggu,” aku meraih tas ranselku lalu berjalan di belakang Dante. Dan langkah kakiku berubah kaku ketika aku menyadari ia masih menggandeng tanganku hingga kami mencapai pintu kereta. Genggaman tangan Dante kuat dan ... hangat. Seketika perasaanku campur aduk. Antara kaget, takjub, malu, tertegun, entahlah, gak bisa lagi dijelaskan dengan kata-kata.
“Tunggu, Leo gimana?” tanyaku sambil menoleh ke belakang. Dan kulihat Leo masih ditempatnya semula.
“Dia ‘kan hantu. Dia nggak perlu naik kereta. Dia bisa nyampek Jogja dengan ... terbang,” jawab Dante, setengah bercanda. Aku ganti menatap Dante. “Oh ya?” dan ketika aku kembali menatap Leo, ia melambaikan tangannya ke arahku sambil berteriak. “Sampai ketemu di Jogja,” Dan cling! Dia hilang ....  

***

          Setelah sampai di Jogja, aku segera menuju apartemen kak Jefry. Aku sudah tahu tempatnya karena sebelumnya Sonya pernah mangajakku ke sana.
Tadinya aku sempat mengira bahwa kedatangan kami ke sana dan pertemuan kami dengan kak Jefry akan berlangsung dramatis. Tapi ternyata tidak. Kak Jefry menyambut kedatangan kami dengan tangan terbuka.
“Sonya sudah menelponku. Dia bilang bahwa kamu bakal datang kemari. Masuklah,” ia menyilakan kami masuk ke apartemennya. Aku melirik Dante yang ternyata juga tengah melirik ke arahku. Ia mengangguk. Dan akhirnya aku mengikuti kak Jefri. Pemuda itu tampak berbeda. Wajahnya kusut, matanya sayu, tampak ada lingkaran hitam di bawah matanya. Kelihatan kalau ia kelelahan dan kurang tidur. Sempat aku berpikir. Astaga, dia benar-benar beda dengan Leo meskipun mereka seumuran. Kak Jefri sudah kelihatan lebih tua, sementara Leo, masih seperti seumuran kami.
          Aku dan Dante duduk di kursi yang berada dekat pintu keluar, sementara kak Jefry duduk di seberang kami. Mukanya pucat, tapi ia masih sempat tersenyum, beberapa kali.
“Apakah dia....” kalimat kak Jefry terhenti sesaat, “Leo,” lanjutnya dengan terbata-bata. “Ikut kemari?” Pertanyaannya ragu-ragu.
“Sonya sudah menceritakan semuanya pada kak Jefry?” tanyaku.
Kak Jefry mengangguk pelan.
Aku melirik Leo yang berdiri dekat jendela. Hantu itu menggeleng.
“Tidak, kak. Dia tidak ikut kemari. Maksudku, belum,” aku berbohong.
Kak Jefry manggut-manggut.
“Aku sudah siap, Ki. Apa yang ingin kamu ketahui dariku?” kak Jefry tampak pasrah.
Aku menggeleng.
“Bukan aku, kak. Leo-lah yang ingin tahu. Dia bilang, ia akan terus gentayangan jika ia tak tahu apa yang menyebabkan kematiannya,” jawabku.
“Ya, Sonya sudah cerita semua,”
“Kak Jefri nggak menganggapku gila ‘kan?”
Kak Jefry menggeleng.
“Aku percaya padamu. Karena cepat atau lambat, dengan cara apapun, hal ini tetap akan terbongkar,” Jawabnya.
Aku membenahi posisiku dudukku.
“Jadi, sebenarnya apa yang terjadi antara kak Jefry dengan Leo beberapa tahun yang lalu? Apa yang menyebabkan Leo tewas?” tanyaku langsung.
Siku kak Jefry bertumpu pada pahanya. Beberapa kali tangannya mengacak-acak rambutnya dengan putus asa.
Aku melirik ke arah Dante, was-was saja jika ia sampai menggunakan kekuatannya untuk membaca pikiran kak Jefri. Tapi aku lega ketika menyaksikan tatapan matanya yang datar. Ia terlihat santai dan percaya bahwa kak Jefri akan mengakui perbuatannya tanpa ia harus campur tangan.
“Aku memang bersalah, Ki. Akulah yang menyebabkan ia tewas,” ucapnya dengan suara gemetar. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. Aku menelan ludah. Sumpah, bukan ini yang ingin aku dengar.
Leo tampak terpaku. Ia menatap kak Jefry nyaris tanpa berkedip.
“Akulah yang mendorongnya ke jurang,” lanjutnya. Aku melorot lemas di kursiku.
“Kenapa kak?” tanyaku.
Ia menggleng-geleng dengan frustasi.
“Waktu itu aku masih muda, Ki. Aku egois. Aku begitu marah ketika cewek yang kucintai ternyata malah berpacaran dengannya. Aku membencinya. Karena itulah aku  menyiapkan rencana itu sekian lama. Aku mengajaknya mendaki, dan ketika dia lengah, aku mendorongnya. Tubuhnya terjun ke jurang, menghantam bebatuan, dan ... ya Tuhan, Ki, aku benar-benar nggak percaya bahwa aku tega melakukannya. Aku benar-benar kejam,” air mata kak Jefry menitik. Dan hatiku ikut sakit.
“Bertahun-tahun aku hidup dengan rasa bersalah ini, Ki. Aku benar-benar tersiksa. Aku sempat ingin mengakui perbuatanku dan menyerahkan diriku ke polisi, tapi nyaliku terlalu ciut. Aku memendam semua rahasia itu sendirian, dan jujur, aku sudah nggak kuat, Ki,” kalimat kak Jefry terdengar bergetar.
“Makanya ketika Sonya menelponku dan menanyakan soal Leo, akhirnya aku sadar bahwa sudah waktunya bagiku untuk mempertanggungjawabkan perbuatanku. Laporkan saja aku ke polisi. Aku tak keberatan,” lanjutnya.
“Teman-teman kakak tak tahu?”
Ia menggeleng.
“Mereka tak tahu apa-apa,”
“Lalu kenapa pihak sekolah seperti menutup-nutupi khusus ini?”
“Karena mereka nggak mau nama sekolah tercemar dengan adanya berita bahwa salah satu siswa mereka tersesat di hutan dan tak dapat ditemukan. Itu saja,” kak Jefry menyeka air matanya dengan punggung tangannya. Aku melihat ke arah Leo. Dan ia tampak tertegun.
“Aku berharap ia ada di sini agar aku bisa meminta maaf secara langsung padanya,” kak Jefry melanjutkan.
“Dia ada di sini kok, sejak tadi. Dia sudah mendengarkan semua pengakuan kak Jefry,” ceplosku.
Kak Jefry terkesiap. Ia menatap ke sekeliling apartemennya.
“Benarkah kamu di sini, bro?” kak Jefry seperti bicara pada angin.
“Aku minta maaf, bro. Aku salah. Aku yang mencelakaimu. Aku akan bertanggung jawab dengan perbuatanku. Jadi, maafkanlah aku dan ... pergilah dengan tenang,” air mata kak Jefry kembali menitik.
Aku menatap Leo yang masih berdiri laksana patung.
“Leo,” panggilku lirih. Ia menoleh ke arahku.
“Cukup, Ki. Ini sudah cukup. Jangan diteruskan lagi. Sekarang aku sudah ingat semuanya. Yang penting bagiku adalah aku tahu penyebab kematianku, jadi bilang padanya bahwa aku memaafkannya dan ... aku tak mau ia berakhir di penjara,” ucap Leo.
“Bagaimanapun juga dulu kami bersahabat, Ki,” ia melanjutkan, getir.
Tatapan mataku kembali beradu dengan kak Jefry.
“Dia  sudah memaafkanmu, kak. Tapi ia tak mau kau berakhir di penjara. Dia hanya butuh tahu apa yang menyebabkan kematiannya. Itu saja,” jelasku.
Kedua mata kak Jefry mengerjap. Setengah tak percaya.
Aku mengangguk.
Memastikan itu padanya.

***

          Ketika kami meninggalkan aparteman kak Jefry, lelaki itu masih nampak terpukul. Tampak jelas bahwa ia masih menyimpan rasa bersalah yang teramat dalam. Tapi, bukankah Leo sudah memaafkannya? Jadi, hanya butuh waktu saja baginya untuk benar-benar menjadikannya kenangan, lalu memulai hidup baru yang lebih baik.
Hari itu juga kami langsung cabut dari Jogja dan kembali pulang dengan kereta. Sepanjang perjalanan aku tertidur pulas karena kelelahan. Aku baru terbangun ketika Dante menyentuh pundakku dengan lembut dan mengatakan bahwa kami sudah sampai.
“Leo mana?” aku menatap sekelilingku ketika menyadari bahwa sosok hantu itu tak ku temui sejak dari apartemen kak Jefry, di stasiun, di kereta, lalu sampai sini, di peron stasiun lagi ...
“Tuh,” sahut Dante pendek seraya menunjuk arah belakangku dengan dagunya. Aku berbalik dan sosok itu sudah ada di belakangku hanya dalam sekedipan mata.
“Kalian bicaralah dulu, aku akan membeli sesuatu,” Dante beranjak meninggalkan kami seolah memberi waktu pada kami untuk berpamitan.
Berpamitan?
Astaga, hatiku berdesir memikirkanya...
“Jadi, kamu bener-bener akan pergi? Sekarang juga?” aku bertanya tak sabar.
Leo tersenyum dan mengangguk.
“Selamanya?”
Ia kembali mengangguk.
“Dengan tenang?”
Dan ia kembali mengangguk.
“Apa kita nggak akan bisa ketemu lagi?”
Leo tak menjawab. Ia menatapku dengan agak ragu.
“Mungkin sesekali aku akan mengunjungimu,” jawabnya kemudian.
Kedua mataku melebar karena antusias.
“Oh ya? Kapan?”
“Mmm, mungkin ketika kamu menikah? Atau ketika kamu punya anak? Atau ketika kamu punya cucu? Atau ... ketika kamu sudah beranjak tua,” jawabnya lagi.
“Janji?” tegasku.
Leo hanya tersenyum. Aku tahu ia takkan pernah bisa menjanjikan apa-apa.
“Kak Jefry bilang, kamu punya pacar ketika meninggal. Apa kamu tak ingin menemuinya? Mengetahui kabarnya?” tanyaku lagi.
Leo menggeleng, lagi.
“Nggak perlu, Ki. Dia masa lalu. Dan aku tak berhak lagi tahu tentang keadaannya. Toh itu nggak penting lagi bagiku, atau bahkan baginya,” jawabnya.
Aku manggut-manggut.
Ku arahkan tatapanku ke ujung sepatuku yang kotor terkena debu.
Hening sesaat.
“Oh ya? Kamu nggak pamitan pada Dante?” aku mendongak dan menatapnya.
“Sudah,” ucapnya.
“Kapan?”
“Ketika kamu ketiduran di kereta. Aku sudah berpamitan dengannya dan mengucapkan terima kasih padanya,” lanjutnya.
Aku manggut-manggut.
Hening lagi.
“Ki, sebelum pergi. Ada yang harus ku beritahukan padamu,” kembali Leo tampak ragu-ragu. Aku tersenyum kecut. “Oke,” jawabku pendek.
“Sepertinya aku jatuh cinta padamu, Ki,”
Kalimat itu membuatku tertegun. Tadinya aku mengetuk-ngetukkan ujung sepatuku di aspal, tapi kalimat yang meluncur dari bibir Leo membuat gerakan itu terhenti. Dan secara otomatis tatapan mataku beradu dengan mata Leo. Mata yang indah, bening, tapi ... tak hidup.
“Aku jatuh cinta padamu sejak kita bertemu dan tersesat di hutan. Perasaan ini jelas-jelas tak pantas kumiliki karena aku hanyalah makhluk yang tak hidup lagi. Tapi setidaknya, sebelum aku pergi, kamu tahu bahwa ... kamu punya penggemar dari alam lain,” Leo bermaksud melucu, tapi aku tak mampu tersenyum.
“Aku sempat berpikir untuk mengurungkan niatku mencari tahu sebab kematianku agar aku bisa terus bergentayangan di sisimu, bersahabat denganmu. Tapi jelas itu tak diperbolehkan. Aku hantu, dan aku harus kembali ke tempatku, cepat atau lambat. Tapi semoga kamu nggak melupakanku, Ki,”
Bibirku kelu tanpa tahu harus mengucapkan apa.
Ah, andaikan Leo adalah cenayang seperti Dante, tentu ia akan tahu bahwa aku sempat mencintainya, walau sesaat, dan sempat juga merasakan patah hati untuk yang pertama kalinya...
“Aku juga menyayangimu, Leo,” akhirnya aku mampu mengucapkan kalimat itu walau susah payah.
Leo tersenyum.
“Terima kasih,” jawabnya.
Tiba-tiba ia membungkuk, lalu mengecup keningku.
Dan tubuhku seperti membeku. Aku merasakannya!
Bibirnya yang dingin, di keningku....
“That’s the best thing that I can do, Ki,” Ia berbisik.
A farewell kiss,” lanjutnya.
Tatapan kami kembali beradu. Aku merasakan kedua mataku basah.
“Selamat tinggal,” ucapnya lirih.
Aku mengangguk dan tersenyum hambar.
“Selamat tinggal,” balasku.
Perlahan sosok Leo memudar hingga akhirnya lenyap sama sekali.
Lagi-lagi ada yang terasa sakit di sini, di hati.
Aku menghembuskan nafas dengan maksud mengurangi rasa sakit itu.
Aku memang akan kehilangan sosok hantu keren itu...
Tapi setidaknya, aku lega karena dia sudah bisa pergi dengan tenang...
         
“Sudah?” Dante seperti berada di sisiku secara tiba-tiba. Aku mengucek-ucek kedua mataku lalu mengangguk.
“Butuh tisu?”
Aku menggeleng tanpa melihat ke arahnya.
“Aku sudah memanggil taksi untukmu,”
Aku mendongak.
“Taksi? ‘Kan mahal?” protesku.
“Biar kamu bisa nyampek rumah dengan cepat. Kamu kelelahan,” jawabnya.
“Tapi ...”
“Aku yang bayar. Udah deh nggak usah rewel, yuk,” Dante beranjak. Aku mengekor di belakangnya dengan langkah berat.
“Kamu sendiri pulangnya gimana?” tanyaku.
“Aku bawa sepeda motor. Ada diparkiran. Akan ku ambil setelah aku nganterin kamu ke taksi,” jawabnya.
Langkah Dante semakin cepat. Atau aku yang lambat?
“Kiki...?” Dante memanggil namaku dan berbalik dengan tiba-tiba ke arahku.
Aku ingin menjawab tapi lidahku terasa berat untuk digerakkan. Kakiku juga berat. Serasa membawa beban ratusan kilo.
          Yang kuingat selanjutnya adalah, kepalaku nyaris saja menghantam pot di pinggir jalan jika saja Dante tak segera menangkap tubuhku yang limbung.
Aku ambruk.
Tak sadarkan diri.
Kelelahan luar biasa...

Lelah fisik dan mental!


Nganjuk, 11-09-2014

23.58

WW

Selasa, 09 September 2014

Cerpen Kiki Kaka 15 : Rumit



          Olla duduk berselonjor di karpet dengan punggung yang bersandar di sofa. Sementara aku, Fifi, Sonya dan Jihan duduk di sekelilingnya. Kami sama-sama duduk di lantai.
Seperti yang sudah kami duga sebelumnya. Olla di usir dari rumah oleh orang tuanya karena kehamilan itu. Kami menduga pengusiran itu karena emosi yang bersifat sementara. Tapi, berdasarkan emosi atau tidak, Olla sudah mantap untuk meninggalkan rumah, dengan lapang dada.
Jihan sempat mengusulkan untuk menggugurkan janinnya, tapi sebelum aku mengungkapkan keberatanku atas ide itu, Olla sudah menolaknya mentah-mentah.
“Aku akan menjadi manusia terkutuk jika aku sampai menggugurkan bayi ini. Ingat, Jei, aku sudah melakukan kesalahan fatal dengan kehamilan ini. Dan aku nggak mau mengulangi kesalahan yang sama dengan menggugurkannya,” jawabnya dengan mata berkaca-kaca.
“Jadi sekarang gimana, La?” tangis Jihan nyaris pecah.
“Joe bersedia bertanggung jawab. Jadi kami sepakat menikah secara sederhana di kantor catatan sipil. Begitu saja. Setelah itu, kami akan pergi ke Surabaya. Aku tahu ini tak akan mudah. Tapi kami sepakat untuk bertanggung jawab atas perbuatan kami dan merawat bayi ini dengan baik. Joe akan mencari pekerjaan di sana. Entah di bengkel atau di toko, yang jelas, dia akan segera mendapatkan pekerjaan. Setelah bayi ini lahir, aku juga akan segera mencari pekerjaan. Percayalah, kami pasti bisa merawat anak ini dengan baik,” Olla menjelaskan panjang lebar tentang rencananya.
Dan tangisku pecah. Aku terisak.
Ya Tuhan, aku hanya tak menyangka bahwa semua akan berakhir seperti ini. Olla kami,  yang lucu, yang imut, yang ceria, yang terkadang menjengkelkan, yang bercita-cita ingin jadi artis, kenapa harus berakhir seperti ini?
          Olla beringsut dan menggenggam tanganku dengan erat. “Ki, percayalah padaku. Aku akan berusaha bertanggung jawab dengan perbuatanku. Ini tak mudah. Tapi yakinlah padaku bahwa aku mampu melakukannya,” air mata Olla menitik.
“Kalo begitu nggak usah pergi, La. Di sini aja. Ki semua bisa kok bantu. Bantu kamu dan Joe nyari pekerjaan, nyari rumah kontrakan, ngrawat bayi kamu kalo udah lahir...”
Olla menggeleng.
“Enggak, Ki. Tolong biarkan aku melakukan hal ini dengan caraku, oke?”
Air mataku terus menitik. Lalu aku menghambur ke arah Olla dan memeluknya dengan erat. Jihan, Sonya, dan Fifi pun melakukan hal yang sama. Kami berpelukan dan menangis, bersama-sama....
          Dan begitulah akhirnya, sore itu juga kami mengantarkan Olla dan Joe ke stasiun. Ternyata Joe sudah menyiapkan keberangkatan mereka ke Surabaya dengan kereta....

Dan entah kenapa, firasatku mengatakan bahwa aku telah benar-benar kehilangan Olla...

          Aku pulang dari stasiun dengan perasaan remuk redam. Ketika sampai di rumah, Leo-lah yang pertama kali menyambut kepulanganku.
“Kamu nggak apa-apa ‘kan ki?” ia bertanya dengan nada cemas. Aku tersenyum dan menggeleng. Ia mengikutiku sampai ke kamar. Aku meletakkan tas punggungku di atas tempat tidur lalu menghempaskan tubuhku di sofa, sofa yang biasa di tempati Leo. Kami berdiam diri selama sekian menit. Leo seperti sengaja memberikan waktu padaku untuk berpikir, merenung dan menenangkan diri.
“Sori ya, Leo. Aku nggak bermaksud mengabaikan kamu. Aku cuma sedikit ... kacau,” ucapku lirih seraya melirik ke arah Leo. Cowok itu tersenyum dan manggut-manggut.
“Ki, ketahuilah bahwa ... aku juga ingin melakukan hal yang sama padamu, seperti yang dilakukan Dante, ketika kamu merasa suntuk dan perlu tempat untuk ... meredam kesedihanmu,”
Kalimat Leo membuatku tertegun. Aku mendongak dan menatap ke arahnya.
“Maksudnya?” tanyaku lirih.
Leo terdiam sesaat.
“Ketika kamu merasa down, sedih dan kacau, ketahuilah bahwa aku juga ingin melakukan apa yang dilakukan Dante padamu. Menghiburmu, menenangkanmu, menggenggam tanganmu, memelukmu, tapi ... kau tahu bahwa aku tak bisa melakukannya. Ah, andaikan saja aku bisa menyentuhmu, aku pasti ....”
Pandangan kami terkunci satu sama  lain. Aku menyaksikan tatapan penuh luka di kedua mata Leo. Dan tiba-tiba saja hatiku ikut terluka. Leo ingin menggenggam tanganku, memelukku, menenangkanku tapi .... dia tak bisa menyentuhku!
Aku membenamkan kepalaku ke sofa dan menutup mukaku dengan kedua tanganku. Bahuku terguncang, aku terisak.
Leo beranjak dan berlutut di hadapanku. Aku kembali mendengar ia mengucapkan kata maaf. Aku menggeleng beberapa kali.
Aku ingin mengatakan padanya.
It’s okay...
It’s okay...
Tapi bibirku tak mampu melakukannya.

***

          Aku memasuki ruang kelas dengan buru-buru dan bermaksud menemui Dante. Tapi bangkunya kosong. Aku nanya ke anak-anak yang lain tapi mereka tak tahu. Hingga akhirnya aku merasakan kedatangan Leo di sampingku.
“Bicaralah denganku sebentar, Ki,” ucapnya. Aku mengangguk samar lalu mengikutinya. Kami ke tempat sepi, dimana anak-anak yang lain nggak bisa melihatku ngomong ‘sendirian’.
“Sebenarnya tadi malam aku ingin cerita ke kamu. Tapi karena kamu terlihat capek, aku urung melakukannya,” ucapnya.
“Soal Dante?” tanyaku pelan. Ia mengangguk.
“Sori kami nggak cerita ke kamu, tapi sejak kemarin kami menemui kelima orang yang ada di daftar tersebut. Dante menemui mereka langsung satu persatu. Dan ... ia membaca pikiran mereka,”
Aku mengernyit.
“Lalu?”
“Dante membaca pikiran mereka secara marathon dan tiba-tiba saja ia jatuh pingsan,”
Aku melotot.
“Jadi, dia nggak masuk sekolah hari ini karena di rawat di rumah sakit. Kata dokter, dia kelelahan,”
“Astaga,” desisku lirih.
“Kenapa kamu nggak melarangnya menggunakan kemampuannya? Tenaga Dante bisa tersedot habis dan dia bisa tewas,” desisku lagi.
“Aku sudah melarangnya. Tapi dia bilang, nggak ada cara lain lagi. Hanya itu satu-satunya cara untuk memudahkan penyelidikan kita,” jawab Leo.
Aku menggigit bibirku.
“Oke deh, ntar aku ke sana,” ucapku. Aku beranjak, mengambil tas ku kembali di kelas lalu melangkah menuju gerbang. Hari itu aku memutuskan membolos dan menemui Dante.

***

          Ketika aku sampai di rumah sakit, Dante masih tertidur dengan di temani kakak perempuannya, kak Rea.
“Masuklah, Ki,” ia menyilakan.
“Nggak masuk sekolah?” ia kembali bertanya.
Aku tersenyum dan menggeleng.
“Ya udah deh, kalo gitu. Sekali-kali mbolos sih nggak apa-apa. Asal jangan sering-sering aja,” ucapnya.
Aku nyengir.
“Kebetulan nih. Aku mau keluar dulu beli sesuatu. Bisa gantiin jagain dia?”
“Iya kak,” jawabku cepat.
Aku melangkah ke samping tempat tidur Dante dan menatapnya dengan cemas.
“Nggak apa-apa. Dia cuma butuh ... banyak istirahat,” ucap kakak Dante lalu beranjak keluar kamar. Aku mengangguk dan kembali menatap Dante.
Aku mematung sesaat. Semoga dia nggak apa-apa...
“Aku emang nggak apa-apa. Tenang aja, aku nggak bakalan mati,” kedua mata Dante perlahan terbuka. Dan entah mengapa, aku lega luar biasa.
“Kamu pura-pura tidur?”
“Siapa yang tidur? Mataku memang terpejam, tapi aku nggak tidur,”
“Kalo gitu, begitu mendengar kedatanganku kenapa kamu nggak langsung menyapaku,”
“Kan kamu masih ngobrol sama kak Rea,”
“Iya sih, tapi paling enggak ‘kan kamu membuka mata terus ...”
“Terlihat kaget dengan kedatanganmu gitu?”
Aku mendelik.
“jangan bilang kalo kamu juga udah tahu kalo aku bakal datang kemari,”
“Emang udah,” jawabnya enteng.
Aku melotot. Sialan! Tetap aja dia cenayang.
“Stop buang-buang energi dengan membaca pikiranku, oke!” aku nyaris berteriak.
Kami bersitegang. Tapi, aku senang kami masih bila melakukannya. Karena itu berarti, dia memang baik-baik saja.
“Kok kamu ceroboh banget sih. Membaca pikiran mereka satu persatu, astaga, Dante, kamu bisa saja tewas kehabisan energi,” ucapku lagi.
Dante mengerang cuek.
I’m fine, okay? Aku hanya butuh satu atau dua hari untuk memulihkan tenagaku. Lagian, energiku memang tersedot habis. Tapi setidaknya itu bermanfaat,”
Aku menatapnya dengan serius.
“Oh ya? Apa itu?”
Dante tak segera menjawab.
“Leo tidak mati karena tersesat. Tapi terbunuh,”
Aku terkesiap.
“Oleh siapa?” tanyaku.
Kembali Dante tak segera menjawab.
“Aku tak bisa menjelaskan detilnya karena sekarang menjadi tugasmu untuk menyelesaikannya. Temuilah kakak temanmu, dia yang tahu segalanya,”
Aku terhenyak.
“Kak Jefry Kurniawan, kakaknya Sonya?” aku memastikan.
Dante hanya mengangguk pelan.
Aku terduduk lemas di kursiku.

***

          Sonya menatapku dengan tak percaya. Ada kilat amarah di kedua matanya setelah aku menceritakan segalanya padanya.
Ya, aku telah menceritakan semuanya. Tentang Leo, tengan hantu yang gentayangan itu, yang kemungkinan besar meninggal karena hal tak wajar. Dan juga tentang dugaan keterlibatan kak Jefry dalam kematiannya. Sebenarnya aku ingin menemui kak Jefry langsung, tapi sepertinya akan lebih bijak kalau aku menemui Sonya lebih dahulu.
“Maksudmu, selama ini kamu telah diikuti hantu gentayangan yang kamu temui pertama kali di hutan beberapa waktu yang lalu, dan hantu itu mengaku bahwa ia mati karena di bunuh kakakku, begitu?”
Aku mendesah.
“Nggak gitu, Sonya. aku nggak mengatakan kalo Leo mati karena dibunuh kak Jefry. Tapi yang jelas, ia meninggal nggak wajar, dan itu yang menyebabkan ia gentayangan terus. Dan orang yang tahu tentang peristiwa beberapa tahun lalu itu ya kak Jefry. Aku nggak mengatakan kalo kak Jefry yang membunuhnya. Mungkin itu hanya kecelakaan ato apa, makanya aku pengen ketemu langsung sama kak Jefry,”
Sonya mendengus kesal.
“Kamu jadi aneh deh Ki sejak kamu deket sama cowok freak yang satu kelas sama kamu itu,” ucapnya. Aku menelengkan kepalaku heran.
“Siapa?”
“Itu, si Dante, cowok baru yang aneh, yang seolah-olah punya dunia sendiri, kayaknya kamu ketularan aneh deh dari dia hingga kamu berkhayal yang bukan-bukan,”
“Dia nggak aneh, Sonya. Dia cuma pendiam. Dan  ya, aku emang deket dengannya. Dan itu cuma sebatas sahabat karena kami satu kelas. Dan satu kali, dia nggak ada hubungannya dengan masalah ini,” aku menegaskan.  
“Mungkin dia memang nggak ada hubungannya dengan masalah ini, tapi kamu bener-bener aneh sejak bersahabat dengannya. Kamu sekarang jarang ngumpul di base camp, jarang hang out bareng kita lagi, bahkan masalah Olla pun kamu baru tahu belakangan ini. Kamu pikir kami nggak tahu kalo kamu sering maen ke rumah Dante. Terserah deh kalo kamu mau pacaran sama dia, tapi menurut kami, dia cowok yang aneh. Dan jangan katakan kalo kamu menjauhi kami karena cowok itu,”
Aku terhenyak.
Aku menjauhi kalian di base camp hanya untuk menghindari Rangga... Desisku dalam hati.
“Apa yang terjadi pada Olla itu bukan salahku. Oke. Dan sekali lagi, jangan libatkan Dante dalam masalah ini. Aku jarang ke base camp karena sibuk, bukan karena hal yang lainnya. Kamu sendiri ‘kan juga tahu itu kalo aku beberapa kali jadi panitia di kegiatan sekolah,”
“Iya, tapi tetap saja kamu berbeda,”
Aku mengibaskan tanganku dengan putus asa.
“Terserah deh. Aku nggak peduli lagi siapa yang menuduh siapa telah berubah. Pokoknya, aku akan menemui kak Jefry langsung untuk menjelaskan tentang Leo. Dan aku tak keberatan untuk pergi ke Jogja sendirian,” aku bangkit.
“Silahkan aja. Dan aku akan pastikan kalo kakakku tak bersalah,” Sonya berteriak.
Aku menatapnya lekat.
“Aku juga berharap dia tak bersalah, Sonya. Tapi jika dia memang ikut terlibat dalam kematian Leo, dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya,” aku beranjak.
“Dan jika kamu membuat kakakku berakhir di penjara, persahabatan kita berakhir,” kalimat Sonya membuat langkahku terhenti. Perlahan aku berbalik dan menatapnya lagi.
“Aku juga barsyukur kalo ia tak bersalah. Tapi jika dia memang bersalah, dan kau masih tetap menyalahkanku, oke, persahabatan kita selesai,” aku kembali melangkahkan kakiku meninggalkan Sonya.

***

          “Kita harus ke Jogja. Nggak ada jalan lain,” ucapku pada Leo seraya memasukan  beberapa baju ke dalam tas punggungku.
“Sekarang?” ia bertanya.
“Ntar sore. Aku udah pesen tiket kereta yang akan berangkat jam 5 nanti,” jawabku.
“Ke sana sama siapa?”
“Ya kita berdua,” jawabku lagi.
“Dante nggak diajak?”
Aku menggeleng.
“Kenapa?”
Aku berdiri dan menatap isi lemariku yang acak-acakan.
“Sudah cukup baginya untuk terlibat, Leo. Aku nggak mau dia tewas karena kemampuannya,” ucapku.
“Tapi...”
Kalimat Leo terhenti ketika tiba-tiba jendela kamarku terbuka. Dan Rangga muncul dari sana...
Aku mematung.
Sejak pengakuan cintanya beberapa waktu yang lalu, ini untuk yang pertama kalinya kami bertemu.
Aku melirik ke arah Leo, tapi ternyata hantu itu sudah lenyap. Oh, dia pernah mengatakan bahwa ia akan menjaga privasiku, termasuk soal cowok yang satu ini.
“Rangga,” panggilku lirih.
Rangga meloncat masuk dengan gesit. Setelah membenahi rambutnya, ia menatapku dan berdiri dengan kaku.
Kami sama-sama mematung.
Hening sesaat.
“Aku nggak bisa, Ki,” ia membuka suara lirih.
Aku menelan ludah. Tak mampu bergerak.
“Aku nggak bisa,” ia melangkah mendekatiku. “Aku nggak bisa jauh dari kamu,” lanjutnya.
“Aku mencintaimu, Ki. Dan aku tahu kamu pun merasakan hal yang sama. Kamu senantiasa menatapku dengan cara yang berbeda. Tatapan yang penuh cinta,”
Kami berdiri berhadapan.
“Aku akan putus dengan Fifi,” ia kembali berkata-kata. Dan kembali aku tak mampu bersuara.
“Karena aku benar-benar nggak bisa jauh dari kamu,” desisnya.
Aku masih linglung ketika Rangga merengkuhku, lalu mendaratkan sebuah ciuman lembut di bibirku.
Dan tepat ketika itu terjadi, pintu kamarku terbuka, dan Fifi muncul dari sana.....




Nganjuk, 09-09-2014
13.23
Ww


Gambar : lupa di ambil dari mana. hehehe...