Fifi
menatapku dengan mata berkaca-kaca. Ada
luka di sana. Tapi ia tahu bahwa aku juga merasakan hal yang sama. Terluka. Dan
pedih.
“Oke, apa yang ingin kau jelaskan?” Fifi
berkata sambil mengatupkan giginya. Jelas bahwa ia sedang menahan amarah.
Aku menggeleng.
“Nggak ada... Nggak ada yang bisa ku
jelaskan. Apa yang kamu lihat, itulah yang terjadi,” jawabku lirih.
Tangis Fifi pecah. Ia sempat menutup
mukanya dengan kedua tangannya. Dan aku membiarkannya. Membiarkan ia menangis
selama sekian detik sampai tenang.
Setelah memergoki aku dan Rangga
berciuman di kamarku, Fifi segera berlari meninggalkan kami. Aku segera
mengejarnya. Bukan karena aku harus menjelaskan sesuatu padanya, tapi karena
aku wajib mengejarnya. Karena dia adalah sahabatku, itu saja.
“Kenapa kau lakukan ini padaku, Ki?
Kalian berciuman, kau menciumnya, pacarku,” ia bergumam di sela-sela tangisnya.
Tenggorokanku kering.
“Sejak kapan kalian berhubungan di
belakangku?”
“Aku tidak punya hubungan dengannya,”
ucapku tegas.
Fifi tersenyum sinis.
“Oh, yang benar aja? Kalian berciuman,
pasti kalian punya hubungan khusus. Dan mungkin itu alasannya karena beberapa
waktu yang lalu ia minta putus denganku,”
Ucapnya dengan amarah tertahan.
“Aku tidak punya hubungan apapun
dengannya atau bahkan berselingkuh dengannya. Aku hanya akan minta maaf soal
ciuman itu, tapi tidak dengan yang lainnya,” aku nyaris berteriak frustasi.
Kami kembali bertatapan.
“Kamu mencintainya ‘kan?”
“Ya,” jawabku cepat.
Fifi tampak tertegun dengan jawabanku.
“Kalo begitu kenapa waktu itu kamu
bohong padaku. Kamu bilang kamu tak mencintainya?”
“Karena aku ingin menjaga perasaanmu,
karena kita bersahabat, itu saja,” jawabku.
Fifi mengacak-acak rambutnya dengan
kesal. Ia membuang tatapan ke jalan raya sesaat sebelum kembali menatapku.
“Sejak kapan?”
“Sejak SD,” jawabku lagi. Fifi tampak
terpukul dengan jawabanku. Aku tak punya pilihan lagi, tak ada gunanya aku
menyembunyikan semuanya.
“Aku mencintainya sejak kecil. Dan jika
kamu mau tahu, dia adalah cinta pertamaku,”
Air mata Fifi kembali menitik. Dan aku
tahu bahwa akupun mengalami hal yang sama karena pipiku pun telah basah oleh
air mataku.
“Kenapa kamu nggak ngomong dari dulu,
Ki?”
Aku terkekeh sinis.
“Kamu pengen aku ngomong kayak gimana,
Fi? Semua terjadi dengan cepat. Rangga balik ke Indonesia, berkenalan denganmu,
dan setelah itu kalian jadian. Kamu mau aku ngomong, ‘helo, Fi, yang kamu
pacari itu sahabatku sejak kecil dan cinta pertamaku’, gitu?”
Fifi terduduk lemas di pot taman pinggir
jalan. Akupun ikut duduk, tak jauh darinya. Sesaat tatapan kami mengarah ke
orang-orang yang berlalu lalang di pinggir jalan. Kami bersitegang tanpa
menghiraukan mereka.
“Tetap saja yang kamu cium itu pacarku,
Ki,” ia kembali menggumam.
“Ya, aku tahu itu dan aku sudah mengaku
bahwa aku salah. Aku sudah minta maaf. Dan aku hanya akan minta maaf untuk itu,
bukan untuk yang lainnya,” balasku.
“Bahkan meskipun kau sudah merebut
pacarku?”
“Aku tidak merebut dia darimu,”
“Tapi kemungkinannya, dia akan
meninggalkanku demi dirimu, begitu ‘kan?”
Aku menarik nafas panjang.
“Bahkan jika itu terjadi, bukankah kita
sudah sepakat untuk bersaing secara sportif seandainya kita mencintai cowok
yang sama? Jika memang begitu, harusnya kamu rela bila dia memilihku,sama
seperti aku merelakannya ketika kau berpacaran dengannya,” jawabku tegas.
Fifi menatapku dengan tajam. Ia bangkit.
“Oke, jika dia meninggalkanku demi
dirimu, ambil saja. Dan persahabatan kita berakhir,” ia beranjak,
meninggalkanku dalam diam.
Dan aku tak berusaha mengejarnya lagi.
Ketika aku bangkit dan berniat
melangkahkan kakiku kembali ke rumah, tampak Rangga tengah menungguku dan
menatapku dengan tatapan sayu.
Aku melangkah mendekatinya.
“Selesaikanlah urusanmu dengannya.
Setelah urusan kalian selesai, baru kita bicara,” tanpa menunggu Rangga
berkata-kata, aku meninggalkannya.
***
Kereta
baru berangkat 15 menit lagi. Jadi aku memilih duduk-duduk sebentar di bangku
yang berada di peron dan membiarkan Leo mondar-mandir di sekelilingku.
“Kamu yakin akan berangkat ke Jogja
sekarang ini?” ia kembali bertanya dan aku juga kembali menagangguk.
Hantu itu berdiri sesaat di sampingku.
“Ki, kamu nggak harus memaksakan diri.
Jika ... suasana hatimu ... masih kacau, kamu bisa menunda keberangkatanmu.
Oke? Aku nggak keberatan menunggu lagi. Yang penting, kamu baik-baik aja dulu,
ya?”
Kalimat Leo terdengar cemas. Aku
mendongak dan balas menatapnya.
“Aku baik-baik aja. Urusanku dengan
Rangga dan Fifi akan kuselesaikan nanti aja sepulang dari Jogja, oke,” aku
menegaskan dengan kalimat lirih agar orang-orang di sekitarku nggak mengira
bahwa aku lagi ngomong sendiri.
Raut muka Leo tampak ingin protes lagi.
Tapi aku segera menunjukkan jempol tanganku lalu memberinya isyarat dengan
membuat lingkaran dari jempol dan jari telunjukku, yang menunjukkan bahwa aku
baik-baik saja.
Aku kembali menyandarkan punggungku ke
sandaran bangku dan menatap orang-orang yang berlalu lalang. Sebelum akhirnya
pandangan mataku kembali tertuju pada 2 buah tiket kereta yang berada dalam genggaman tanganku yang lain.
Aku tersenyum miris. Tak dapat ku
percaya aku membeli 2 tiket. Tadinya tiket itu kuperuntukkan untukku dan juga
untuk Leo. Tapi sesaat aku lupa bahwa Leo adalah hantu. Dan dia tidak butuh
tiket kereta. Haha, LOL!
“Kebetulan. Tiketnya buat aku aja,”
suara itu muncul bersamaan dengan adanya tas ransel yang mendarat begitu saja
di dekat kakiku.
Aku menoleh. Dan sosok itu sudah duduk
di sampingku. Kedua mataku mengerjap. Dante...
“Kok
... di sini?” tanyaku tanpa sadar. Dante menatapku dengan datar.
“Aku akan ikut kamu ke Jogja,” jawabnya.
Aku menatapnya dengan bingung.
“Kok kamu tahu kalo ... aku akan ke
Jogja?”
Dante menyipitkan matanya ke arahku
seolah mengatakan ‘gue cenayang, dan gue
bisa baca pikiran loe, oke? Ada masalah?’
Aku nyengir. Rasanya seperti maling yang
ketahuan sewaktu menjalankan aksinya.
“Jadiii, maksudnya nih, kamu mau pergi
ke Jogja berduaan sama dia, gitu?” Dante menunjuk ke arah Leo dengan tatapan
kesal.
“Dan kamu pikir, kalo sampek ada apa-apa
sama kamu, makhluk ini -- ” ia kembali menunjuk ke arah Leo,”-- bisa melindungimu, gitu?”
Aku tak menjawab.
“Sori, tapi aku meragukannya, seratus
persen!” lanjut Dante lagi. Leo tampak
sewot.
“Iya, iya, aku memang nggak bisa melindunginya
andaikan aja dia dapat bahaya. Puas?” ucapnya dengan nada menyindir.
“Puas,” jawab Dante pendek dan cuek.
Aku masih bengong. Menatap Dante dan Leo
secara bergantian, lalu kembali menatap Dante lagi dengan was-was.
“Kamu membaca pikiranku lagi?” akhirnya
aku menanyakannya.
“Enggak, anggap aja kita punya telepati
yang bisa konek secara otomatis hingga aku bisa mengetahui isi hati kamu,
begitu aja. Udah, nggak usah dibahas lagi,” jawabnya sambil membuang tatapanya
ke arah orang yang berlalu lalang.
Entah kenapa, tiba-tiba saja aku merasa
takjub.
“Kita ini ibarat satu tim, Ki. Mestinya
kamu nggak berniat ke Jogja sendirian. Kan aku masih bisa bantu,” ia protes
tanpa menatap ke arahku.
“Sori, aku cuma nggak mau kamu...”
“Aku nggak akan tewas dengan
kemampuanku, oke. Aku tahu kapan menggunakannya dan kapan harus menahannya. It’s simple. Dan yang jelas, aku bisa
menjaga diri, yuk,” Dante bangkit. Meraih tas ranselnya ke punggung lalu
beranjak. Langkahnya terhenti ketika ia menyadari bahwa aku masih mematung di
tempat dudukku. Ia berbalik dan menghampiriku.
“Kelamaan deh kamu,” ia meraih tanganku
dan menarik tubuhku hingga aku bangkit.
“Iya, tunggu,” aku meraih tas ranselku
lalu berjalan di belakang Dante. Dan langkah kakiku berubah kaku ketika aku
menyadari ia masih menggandeng tanganku hingga kami mencapai pintu kereta. Genggaman
tangan Dante kuat dan ... hangat. Seketika perasaanku campur aduk. Antara
kaget, takjub, malu, tertegun, entahlah, gak bisa lagi dijelaskan dengan
kata-kata.
“Tunggu, Leo gimana?” tanyaku sambil
menoleh ke belakang. Dan kulihat Leo masih ditempatnya semula.
“Dia ‘kan hantu. Dia nggak perlu naik
kereta. Dia bisa nyampek Jogja dengan ... terbang,” jawab Dante, setengah
bercanda. Aku ganti menatap Dante. “Oh ya?” dan ketika aku kembali menatap Leo,
ia melambaikan tangannya ke arahku sambil berteriak. “Sampai ketemu di Jogja,”
Dan cling! Dia hilang ....
***
Setelah
sampai di Jogja, aku segera menuju apartemen kak Jefry. Aku sudah tahu
tempatnya karena sebelumnya Sonya pernah mangajakku ke sana.
Tadinya aku sempat mengira bahwa
kedatangan kami ke sana dan pertemuan kami dengan kak Jefry akan berlangsung
dramatis. Tapi ternyata tidak. Kak Jefry menyambut kedatangan kami dengan
tangan terbuka.
“Sonya sudah menelponku. Dia bilang
bahwa kamu bakal datang kemari. Masuklah,” ia menyilakan kami masuk ke
apartemennya. Aku melirik Dante yang ternyata juga tengah melirik ke arahku. Ia
mengangguk. Dan akhirnya aku mengikuti kak Jefri. Pemuda itu tampak berbeda.
Wajahnya kusut, matanya sayu, tampak ada lingkaran hitam di bawah matanya.
Kelihatan kalau ia kelelahan dan kurang tidur. Sempat aku berpikir. Astaga, dia
benar-benar beda dengan Leo meskipun mereka seumuran. Kak Jefri sudah kelihatan
lebih tua, sementara Leo, masih seperti seumuran kami.
Aku
dan Dante duduk di kursi yang berada dekat pintu keluar, sementara kak Jefry
duduk di seberang kami. Mukanya pucat, tapi ia masih sempat tersenyum, beberapa
kali.
“Apakah dia....” kalimat kak Jefry
terhenti sesaat, “Leo,” lanjutnya dengan terbata-bata. “Ikut kemari?”
Pertanyaannya ragu-ragu.
“Sonya sudah menceritakan semuanya pada
kak Jefry?” tanyaku.
Kak Jefry mengangguk pelan.
Aku melirik Leo yang berdiri dekat
jendela. Hantu itu menggeleng.
“Tidak, kak. Dia tidak ikut kemari.
Maksudku, belum,” aku berbohong.
Kak Jefry manggut-manggut.
“Aku sudah siap, Ki. Apa yang ingin kamu
ketahui dariku?” kak Jefry tampak pasrah.
Aku menggeleng.
“Bukan aku, kak. Leo-lah yang ingin
tahu. Dia bilang, ia akan terus gentayangan jika ia tak tahu apa yang
menyebabkan kematiannya,” jawabku.
“Ya, Sonya sudah cerita semua,”
“Kak Jefri nggak menganggapku gila
‘kan?”
Kak Jefry menggeleng.
“Aku percaya padamu. Karena cepat atau
lambat, dengan cara apapun, hal ini tetap akan terbongkar,” Jawabnya.
Aku membenahi posisiku dudukku.
“Jadi, sebenarnya apa yang terjadi
antara kak Jefry dengan Leo beberapa tahun yang lalu? Apa yang menyebabkan Leo
tewas?” tanyaku langsung.
Siku kak Jefry bertumpu pada pahanya.
Beberapa kali tangannya mengacak-acak rambutnya dengan putus asa.
Aku melirik ke arah Dante, was-was saja
jika ia sampai menggunakan kekuatannya untuk membaca pikiran kak Jefri. Tapi
aku lega ketika menyaksikan tatapan matanya yang datar. Ia terlihat santai dan
percaya bahwa kak Jefri akan mengakui perbuatannya tanpa ia harus campur
tangan.
“Aku memang bersalah, Ki. Akulah yang
menyebabkan ia tewas,” ucapnya dengan suara gemetar. Kedua matanya tampak
berkaca-kaca. Aku menelan ludah. Sumpah, bukan ini yang ingin aku dengar.
Leo tampak terpaku. Ia menatap kak Jefry
nyaris tanpa berkedip.
“Akulah yang mendorongnya ke jurang,”
lanjutnya. Aku melorot lemas di kursiku.
“Kenapa kak?” tanyaku.
Ia menggleng-geleng dengan frustasi.
“Waktu itu aku masih muda, Ki. Aku
egois. Aku begitu marah ketika cewek yang kucintai ternyata malah berpacaran
dengannya. Aku membencinya. Karena itulah aku
menyiapkan rencana itu sekian lama. Aku mengajaknya mendaki, dan ketika
dia lengah, aku mendorongnya. Tubuhnya terjun ke jurang, menghantam bebatuan,
dan ... ya Tuhan, Ki, aku benar-benar nggak percaya bahwa aku tega
melakukannya. Aku benar-benar kejam,” air mata kak Jefry menitik. Dan hatiku
ikut sakit.
“Bertahun-tahun aku hidup dengan rasa
bersalah ini, Ki. Aku benar-benar tersiksa. Aku sempat ingin mengakui perbuatanku
dan menyerahkan diriku ke polisi, tapi nyaliku terlalu ciut. Aku memendam semua
rahasia itu sendirian, dan jujur, aku sudah nggak kuat, Ki,” kalimat kak Jefry
terdengar bergetar.
“Makanya ketika Sonya menelponku dan
menanyakan soal Leo, akhirnya aku sadar bahwa sudah waktunya bagiku untuk mempertanggungjawabkan
perbuatanku. Laporkan saja aku ke polisi. Aku tak keberatan,” lanjutnya.
“Teman-teman kakak tak tahu?”
Ia menggeleng.
“Mereka tak tahu apa-apa,”
“Lalu kenapa pihak sekolah seperti
menutup-nutupi khusus ini?”
“Karena mereka nggak mau nama sekolah
tercemar dengan adanya berita bahwa salah satu siswa mereka tersesat di hutan
dan tak dapat ditemukan. Itu saja,” kak Jefry menyeka air matanya dengan
punggung tangannya. Aku melihat ke arah Leo. Dan ia tampak tertegun.
“Aku berharap ia ada di sini agar aku
bisa meminta maaf secara langsung padanya,” kak Jefry melanjutkan.
“Dia ada di sini kok, sejak tadi. Dia
sudah mendengarkan semua pengakuan kak Jefry,” ceplosku.
Kak Jefry terkesiap. Ia menatap ke
sekeliling apartemennya.
“Benarkah kamu di sini, bro?” kak Jefry
seperti bicara pada angin.
“Aku minta maaf, bro. Aku salah. Aku
yang mencelakaimu. Aku akan bertanggung jawab dengan perbuatanku. Jadi,
maafkanlah aku dan ... pergilah dengan tenang,” air mata kak Jefry kembali
menitik.
Aku menatap Leo yang masih berdiri
laksana patung.
“Leo,” panggilku lirih. Ia menoleh ke
arahku.
“Cukup, Ki. Ini sudah cukup. Jangan
diteruskan lagi. Sekarang aku sudah ingat semuanya. Yang penting bagiku adalah
aku tahu penyebab kematianku, jadi bilang padanya bahwa aku memaafkannya dan
... aku tak mau ia berakhir di penjara,” ucap Leo.
“Bagaimanapun juga dulu kami bersahabat,
Ki,” ia melanjutkan, getir.
Tatapan mataku kembali beradu dengan kak
Jefry.
“Dia
sudah memaafkanmu, kak. Tapi ia tak mau kau berakhir di penjara. Dia
hanya butuh tahu apa yang menyebabkan kematiannya. Itu saja,” jelasku.
Kedua mata kak Jefry mengerjap. Setengah
tak percaya.
Aku mengangguk.
Memastikan itu padanya.
***
Ketika
kami meninggalkan aparteman kak Jefry, lelaki itu masih nampak terpukul. Tampak
jelas bahwa ia masih menyimpan rasa bersalah yang teramat dalam. Tapi, bukankah
Leo sudah memaafkannya? Jadi, hanya butuh waktu saja baginya untuk benar-benar
menjadikannya kenangan, lalu memulai hidup baru yang lebih baik.
Hari itu juga
kami langsung cabut dari Jogja dan kembali pulang dengan kereta. Sepanjang
perjalanan aku tertidur pulas karena kelelahan. Aku baru terbangun ketika Dante
menyentuh pundakku dengan lembut dan mengatakan bahwa kami sudah sampai.
“Leo mana?” aku menatap sekelilingku
ketika menyadari bahwa sosok hantu itu tak ku temui sejak dari apartemen kak
Jefry, di stasiun, di kereta, lalu sampai sini, di peron stasiun lagi ...
“Tuh,” sahut Dante pendek seraya
menunjuk arah belakangku dengan dagunya. Aku berbalik dan sosok itu sudah ada
di belakangku hanya dalam sekedipan mata.
“Kalian bicaralah dulu, aku akan membeli
sesuatu,” Dante beranjak meninggalkan kami seolah memberi waktu pada kami untuk
berpamitan.
Berpamitan?
Astaga, hatiku berdesir memikirkanya...
“Jadi, kamu bener-bener akan pergi?
Sekarang juga?” aku bertanya tak sabar.
Leo tersenyum dan mengangguk.
“Selamanya?”
Ia kembali mengangguk.
“Dengan tenang?”
Dan ia kembali mengangguk.
“Apa kita nggak akan bisa ketemu lagi?”
Leo tak menjawab. Ia menatapku dengan
agak ragu.
“Mungkin sesekali aku akan
mengunjungimu,” jawabnya kemudian.
Kedua mataku melebar karena antusias.
“Oh ya? Kapan?”
“Mmm, mungkin ketika kamu menikah? Atau
ketika kamu punya anak? Atau ketika kamu punya cucu? Atau ... ketika kamu sudah
beranjak tua,” jawabnya lagi.
“Janji?” tegasku.
Leo hanya tersenyum. Aku tahu ia takkan
pernah bisa menjanjikan apa-apa.
“Kak Jefry bilang, kamu punya pacar
ketika meninggal. Apa kamu tak ingin menemuinya? Mengetahui kabarnya?” tanyaku
lagi.
Leo menggeleng, lagi.
“Nggak perlu, Ki. Dia masa lalu. Dan aku
tak berhak lagi tahu tentang keadaannya. Toh itu nggak penting lagi bagiku,
atau bahkan baginya,” jawabnya.
Aku manggut-manggut.
Ku arahkan tatapanku ke ujung sepatuku
yang kotor terkena debu.
Hening sesaat.
“Oh ya? Kamu nggak pamitan pada Dante?”
aku mendongak dan menatapnya.
“Sudah,” ucapnya.
“Kapan?”
“Ketika kamu ketiduran di kereta. Aku
sudah berpamitan dengannya dan mengucapkan terima kasih padanya,” lanjutnya.
Aku manggut-manggut.
Hening lagi.
“Ki, sebelum pergi. Ada yang harus ku
beritahukan padamu,” kembali Leo tampak ragu-ragu. Aku tersenyum kecut. “Oke,”
jawabku pendek.
“Sepertinya aku jatuh cinta padamu, Ki,”
Kalimat itu membuatku tertegun. Tadinya
aku mengetuk-ngetukkan ujung sepatuku di aspal, tapi kalimat yang meluncur dari
bibir Leo membuat gerakan itu terhenti. Dan secara otomatis tatapan mataku
beradu dengan mata Leo. Mata yang indah, bening, tapi ... tak hidup.
“Aku jatuh cinta padamu sejak kita
bertemu dan tersesat di hutan. Perasaan ini jelas-jelas tak pantas kumiliki
karena aku hanyalah makhluk yang tak hidup lagi. Tapi setidaknya, sebelum aku
pergi, kamu tahu bahwa ... kamu punya penggemar dari alam lain,” Leo bermaksud
melucu, tapi aku tak mampu tersenyum.
“Aku sempat berpikir untuk mengurungkan
niatku mencari tahu sebab kematianku agar aku bisa terus bergentayangan di
sisimu, bersahabat denganmu. Tapi jelas itu tak diperbolehkan. Aku hantu, dan
aku harus kembali ke tempatku, cepat atau lambat. Tapi semoga kamu nggak
melupakanku, Ki,”
Bibirku kelu tanpa tahu harus
mengucapkan apa.
Ah, andaikan Leo adalah cenayang seperti
Dante, tentu ia akan tahu bahwa aku sempat mencintainya, walau sesaat, dan sempat
juga merasakan patah hati untuk yang pertama kalinya...
“Aku juga menyayangimu, Leo,” akhirnya
aku mampu mengucapkan kalimat itu walau susah payah.
Leo tersenyum.
“Terima kasih,” jawabnya.
Tiba-tiba ia membungkuk, lalu mengecup
keningku.
Dan tubuhku seperti membeku. Aku
merasakannya!
Bibirnya yang dingin, di keningku....
“That’s
the best thing that I can do, Ki,” Ia berbisik.
“A
farewell kiss,” lanjutnya.
Tatapan kami kembali beradu. Aku
merasakan kedua mataku basah.
“Selamat tinggal,” ucapnya lirih.
Aku mengangguk dan tersenyum hambar.
“Selamat tinggal,” balasku.
Perlahan sosok Leo memudar hingga
akhirnya lenyap sama sekali.
Lagi-lagi ada yang terasa sakit di sini,
di hati.
Aku menghembuskan nafas dengan maksud
mengurangi rasa sakit itu.
Aku memang akan kehilangan sosok hantu
keren itu...
Tapi setidaknya, aku lega karena dia
sudah bisa pergi dengan tenang...
“Butuh tisu?”
Aku menggeleng tanpa melihat ke arahnya.
“Aku sudah memanggil taksi untukmu,”
Aku mendongak.
“Taksi? ‘Kan mahal?” protesku.
“Biar kamu bisa nyampek rumah dengan
cepat. Kamu kelelahan,” jawabnya.
“Tapi ...”
“Aku yang bayar. Udah deh nggak usah
rewel, yuk,” Dante beranjak. Aku mengekor di belakangnya dengan langkah berat.
“Kamu sendiri pulangnya gimana?”
tanyaku.
“Aku bawa sepeda motor. Ada diparkiran.
Akan ku ambil setelah aku nganterin kamu ke taksi,” jawabnya.
Langkah Dante semakin cepat. Atau aku
yang lambat?
“Kiki...?” Dante memanggil namaku dan
berbalik dengan tiba-tiba ke arahku.
Aku ingin menjawab tapi lidahku terasa
berat untuk digerakkan. Kakiku juga berat. Serasa membawa beban ratusan kilo.
Yang
kuingat selanjutnya adalah, kepalaku nyaris saja menghantam pot di pinggir
jalan jika saja Dante tak segera menangkap tubuhku yang limbung.
Aku ambruk.
Tak sadarkan diri.
Kelelahan
luar biasa...
Lelah fisik dan mental!
Nganjuk, 11-09-2014
23.58
WW