Sejak
pernyataan cinta mendadak dari Rangga beberapa waktu yang lalu, hubungan kami
sedikit renggang. Kami saling menghindari satu sama lain. Seperti ada
kesepakatan tak tertulis di antara kami bahwa kami sama-sama butuh ruang untuk
merenung dan berpikir.
Sekarang aku tahu bahwa Rangga
mencintaiku, tapi dia tak perlu tahu bahwa aku juga mencintainya.
Ini menyakitkan. Bahkan lebih
menyakitkan dari sekedar tahu bahwa ia berpacaran dengan sahabatku.
Tapi sekali lagi, bahwa kami juga seolah
sepakat bahwa tak ada dari kami yang boleh mengambil langkah apapun. Maju juga
tidak, mundur juga tidak. Karena kami sadar bahwa jika ada di antara kami
mengambil sikap, situasi akan semakin rumit. Kami yakin bahwa pengambilan
sikap, apapun itu, hanya akan melahirkan KESALAHAN FATAL!
Jadi, biarlah semua apa adanya. Seperti
sedia kala. Jika ada yang berubah, biarlah waktu yang menentukan kemana hati
kami harus mengambil keputusan ...
Lamunanku
buyar ketika aku merasakan seseorang menyentuh lenganku. Aku menoleh, dan Dante
sudah berdiri di sampingku. Rupanya ia menyentuh lenganku dengan sikunya.
“Mukamu yang suntuk itu lebih nyebelin
dari muka pak satpam yang lagi marah-marah,” ia menunjuk ke arah pak satpam
yang lagi ngedumel ke beberapa anak yang memarkir sepeda motornya di tempat
yang salah. Aku mencibir.
Sekarang Dante juga hafal kebiasaanku.
Ketika aku lagi suntuk, aku memang selalu ‘melarikan’ diri ke atap gedung, dan
karena dia cenayang, dia bisa dengan mudah menemukanku.
“Kamu nggak lagi baca pikiranku ‘kan?”
semprotku.
Ia menggeleng.
“Beneran?”
Dante mendesah.
“Beneran. Nih, lihat aja sendiri,” cowok
itu kembali berpaling dan kami bertatapan. Aku menatap ke arah sorot matanya
dan mata teduh itu terlihat ... santai. Oke, aku percaya padanya.
Ha, kadang aku sendiri
tak percaya dengan apa yang ku jalani dengan Dante. Percayalah, sekarang
persahabatan kami berjalan dengan amat baik. Kadang aku sendiri mengira bahwa
Dante yang sedari awal dingin dan angkuh, akan sangat sulit di ajak sahabatan. Tapi ternyata,
aku salah.
Persahabatan kami mengalir begitu saja,
sangat alami. Dan aku benar-benar bersyukur pada Tuhan karena dia cowok yang
menyenangkan dan perhatian. Semakin hari kami semakin akrab. Dan hal yang luar
biasa adalah, sekarang aku makin sering melihatnya tersenyum dan tertawa.
Sungguh itu sebuah anugerah. Yakin deh, senyum itu juga makin sering membuatku klepek-klepek! Haha...
Kami juga mulai sepakat tentang beberapa
hal. Termasuk soal membaca pikiran. Karena kami sudah bersahabat, kami sepakat
soal privacy. Dante bersedia untuk
tidak lagi membaca pikiranku seenak jidatnya. Dan ia membagi rahasianya padaku
bahwa jika ia sedang membaca pikiran seseorang, sorot matanya akan terlihat
serius. Tapi jika tidak, maka mata bening itu akan terlihat santai dan ramah.
Lagipula, ia mengatakan bahwa membaca
pikiran seseorang benar-benar menyedot energi. Ia pernah mengatakan bahwa ia
sempat jatuh pingsan setelah membaca pikiran seseorang.
“Waktu itu kamu sempat membaca
pikiranku, kenapa nggak jatuh pingsan?” tanyaku waktu itu. Dan Dante hanya
mengangkat bahu tak mengerti.
“Aku sendiri juga nggak tahu. Biasanya
setelah membaca pikiran seseorang, energiku tersedot habis. Tapi denganmu,
entahlah, semua terjadi begitu saja. Tak seburuk biasanya,” itu jawabannya. Dan
aku tak menanyakan lebih lanjut tentang perbedaanku dengan orang lain itu,
karena Dante pun mati-matian tak tahu alasannya.
Dan
percayalah, selain rasa was-was (yang terkadang kurasakan), bersahabat dengan
seorang cenayang ternyata banyak manfaatnya.
Salah satunya adalah, dia bisa
meramalkan hal-hal sepele yang bakalan terjadi. Contoh kecil, pertandingan
sepak bola. Kami pernah menonton pertandingan bola bareng-bareng di rumahnya
(aku juga sering berkunjung ke rumahnya), dan ditengah-tengah pertandingan dia mematikan
tivinya. Alasannya : dia sudah tahu tim mana yang bakalan menang. (keren ‘kan?)
Bahkan pilpres beberapa waktu lalu pun,
dia sudah tahu calon presiden mana yang bakalan terpilih. Dan, Oh my God,
tebakannya betul! (Bayangkan saja kamu punya teman kayak dia, kamu pasti
bakalan seneng 7 hari 7 malam! Sama kayak gue...)
Terkadang aku
memaksanya untuk ‘melihat’ masa depanku. Aku menanyainya dengan
pertanyaan-pertanyaan standar semacam :
Apakah aku akan lulus dengan nilai
bagus?
Apakah aku akan berhasil masuk kuliah di
Universitas idamanku?
Apa aku akan menikah dengan orang yang
ku cintai?
Berapa anak yang akan aku punyai?
Dan lain-lain..
Dan
lain-lain..
Tapi, jika aku sudah banyak nanya, Dante
hanya akan menjawabku dengan pelototan kesal.
“Pelit amat sih berbagi informasi,”
gumamku. Dan Dante hanya mendesah.
“Bukannya gitu, Ki. Tapi emang ada
beberapa hal yang nggak semestinya ku beritahukan. Karena jika aku
memberitahukan semua yang aku tahu, aku pasti melawan hukum alam. Lagian bayangin
aja kalo kamu tahu semua kehidupanmu di masa mendatang, maka hidupmu nggak
bakal menarik lagi karena kamu sudah tahu apa yang akan menimpamu dan kamu
dapatkan,”
Dan kata-katanya emang bener.
“Wuiih, kalo ada yang tahu tentang
kemampuanmu, kamu pasti bakalan terkenal. Kayak mama laurent, hihihi...” ucapku
sambil terkikik.
Dan jawaban Dante pada pendapatku ini
membuatku tersanjung.
“Di dunia ini, hanya ada 4 orang yang
tahu tentang kemampuanku. Ayahku, ibuku, kakak perempuanku, dan kamu. Dan aku
sangat berharap bahwa kamu akan menjadi orang terkhir yang mengetahui tentang
siapa diriku yang sebenarnya. Aku percaya kamu bisa menjaga rahasiaku, Ki. Aku
tidak mau kemampuanku menjadi konsumsi publik. Dan yang terpenting lagi, aku
tak mau dimanfaatkan,”
Dan aku sudah bertekad, aku akan menjadi
sahabat Dante yang dapat dipercaya...
“Jadiii,
apa yang membuatmu suntuk?” Dante mengulangi pertanyaannya. Aku tak segera
menjawab. Entah kenapa, tiba-tiba saja sempat terpikir di benakku agar Dante
membaca saja pikiranku hingga aku tak harus capek-capek menjelaskan padanya.
“Hanya suntuk saja,” jawabku pendek.
Dante menatapku penuh selidik.
“Ngomongin yang lain aja, oke,”
sergahku. Dante manggut-manggut.
“Kalo begitu, bersiaplah karena nanti
malam kita akan mengadakan sedikit kegiatan di SMA 17, mantan sekolahnya Leo,”
“Kenapa harus malam?” tanyaku.
“Karena satu-satunya cara untuk
mengetahui data siapa aja yang ikut pendakian bersama Leo beberapa tahun yang
lalu adalah dengan menyelinap ke sekolah tersebut. Dan otomatis, tindakan penyelinapan
harus kita lakukan malam hari agar nggak ketahuan,”
Aku mengernyit dengan penjelasan Dante.
“Tunggu, jika kita mendapatkan informasi
itu dengan cara menyelinap ala mata-mata, apakah itu berarti kematian Leo
memang tak wajar hingga mendapatkan informasi itu dari pihak sekolah akan
terlihat begitu sulit?,” Aku menyimpulkan.
Dante tak segera menjawab. Ia membuang
tatapan ke langit sesaat lalu menarik nafas panjang sebelum akhirnya menjawab.
“Itu benar, Ki. Mungkin ini terlalu
dini, tapi firasatku mengatakan bahwa mendapatkan info tentang pendakian itu ke
pihak sekolah tidak akan mendapatkan hasil. Dan ... firasatku juga mengatakan
bahwa ada yang tidak beres dengan kematian Leo hingga pihak sekolah sengaja
menutup-nutupi masalah ini. Bagaimana detilnya peristiwa itu terjadi,itulah
yang akan kita cari tahu,”
Aku mendengarkan penjelasan Dante dengan
seksama.
“Aku nggak akan mengijinkan Kiki ikut
rencana nanti malam,”
Leo tiba-tiba muncul di samping Dante.
“Kenapa enggak?” Aku dan Dante bertanya
hampir bersamaan.
Leo menatap ke arahku dengan cemas.
“Itu berbahaya, Ki. Kalo sampai
ketahuan, urusannya bisa sampek ke polisi. Menyelinap itu sama saja dengan
tindakan kriminal,” ujarnya.
“Ya sama aja, dong. Itu berarti juga
berbahaya buat Dante. Kalo dia sampek ketahuan, dia bisa berakhir di penjara,”
belaku.
“Iya, tapi Dante beda. Ia bisa menjaga
dirinya sendiri. Sedangkan kamu?”
“Aku juga bisa kok menjaga diriku
sendiri,” jawabku cepat.
Dante melihat kearahku, lalu ke arah
Leo.
“Kamu denger itu ‘kan? Dia bisa menjaga
dirinya sendiri. Lagipula, aku juga sanggup menjaganya dan memastikan bahwa dia
baik-baik saja,” ucap Dante.
Leo menatap Dante tetap dengan tatapan
kesal.
“Kamu mungkin cenayang, tapi kamu bukan
orang yang punya kekuatan supernatural yang mampu menolongnya kapanpun dan
dimanapun dia membutuhkan,”
“Aku mampu melindunginya, dia bakalan
aman bersamaku,” Dante ngotot.
“Maaf, tapi aku meragukannya,” Leo juga
ngotot.
“Kamu ini gimana sih? Yang meminta pertolongan padanya itu
sebenarnya kamu sendiri. Sekarang kenapa kamu sok protektif begini?” Dante tampak kesal.
“Hei, bicaralah lebih sopan padaku.
Bagaimanapun juga aku ini lebih tua dari kamu. Jadi perlakukan aku sebagai
kakakmu,” Leo juga tampak makin kesal.
Dante mencibir sinis.
“Kamu tewas ketika seumuran denganku.
Dan bisa di bilang, usia kita sekarang, sama. Nggak ada kakak-kakak an, nggak
ada adik-adik an, puas?”
Aku menatap Leo dan Dante secara
bergantian. Percayalah, mereka akan selalu bersitegang begini ketika bertemu.
Dan aku benar-benar nggak ngerti apa yang menyebabkan hal ini pada mereka. Yang
jelas, sejak mereka bertemu untuk pertama kalinya. Percikan-percikan permusuhan
mulai terlihat di antara mereka.
“Udah deh. Jangan kayak anak kecil gini
dong?” leraiku sebal.
“Pokoknya nanti aku ikut. Dan nggak ada
yang bisa melarangku, titik,” Aku beranjak meninggalkan mereka.
Aku bahkan belum sepenuhnya meninggalkan
mereka dan baru menginjakkan kakiku di tangga ketika aku mendengar mereka
kembali beradu argumen.
Aku memutar bola mataku dengan kesal.
Cowok kadang-kadang emang hobi berantem
kayak cewek!
***
Dante
melongo sambil menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki ketika sore itu
aku datang ke rumahnya sambil menyandang tas ransel yang penuh dengan
benda-benda pendakian.
“Mau camping?” sindir Dante. Aku
mendengus sambil menjatuhkan tas ranselku yang beratnya hampir 10 kilo ke teras
Dante.
“Kan kita mau menyelinap. So, aku bawa
peralatan yang lengkap-kap,” Ucapku bangga sambil membuka isi tasku.
“Ada tali, gunting, tang, palu, gergaji,
pisau – aku bawain pisau dalam edisi lengkap, dari pisau lipat sampai pisau
roti, trus aku juga bawain beberapa peralatan pak tukang di sini, yah
barangkali aja kita butuh mendobrak pagar,” Aku menyeringai.
Dante kembali melongo menyaksikan tas ku
yang dipenuhi barang-barang pertukangan.
“Astaga,” ia menggumam lirih.
“So, jam berapa kita melancarkan aksi
kita?” tanyaku antusias. Dante tak segera menjawab. Ia meraih tas
ranselku. Lalu berkata, “Yuk, ada yang
mau ku omongin sama kamu,” ia beranjak, mengajakku ikut serta. Ia melewati
ruang tamu menuju tangga yang mengarah ke kamarnya. Jujur, ini juga bukan yang
pertama kalinya aku bertandang ke kamarnya, hehehe...
Setelah sampai di kamarnya, ia menaruh
tak ranselku di sebelah pintu lalu ia beranjak mengambil secarik kertas yang
tergeletak di meja belajarnya.
“Nih,” ia menyodorkan kertas tersebut.
Aku menerimanya dengan heran.
“Malam ini kita nggak jadi menyelinap.
Aku dan Leo sudah menyelesaikan misi kita, tadi siang, sepulang sekolah,”
lanjut Dante. Aku melotot.
“Apa?” Aku memekik. Dante cuma
mengangkat bahu cuek.
“Setelah kupikir-pikir, memang berbahaya
kalo kamu ikut serta. So, tadi siang aku dan Leo datang ke SMA 17, aku menyamar
sebagai anak Pecinta Alam yang ada kepentingan dengan beberapa kegiatan ekstra.
Dan atas panduan Leo, aku berhasil menemukan ini di ruang kesiswaan,” ia
menunjuk kembali ke arah kertas di tanganku.
Aku menatap cowok itu dengan marah.
“Ini pengkhianatan namanya. Buat apa
kamu ngajak-ngajak kalo akhirnya kamu berangkat sendiri. Kalian tega banget
sih?” gerutuku.
Dante mendesah.
“Itu nggak penting, Ki. Yang terpenting
sekarang adalah kita sudah dapat data siapa aja yang ikut pendakian dengan Leo.
Dan tugas kita selanjutnya adalah mencari tahu keberadaan orang-orang tersebut,
dan membongkar kejadian yang sebenarnya yang menyebabkan Leo mati,” jelas
Dante.
Aku menatap sekeliling. “Dia nggak di
sini?” tanyaku setelah aku sadar ketidakberadaan Leo.
“Dia pergi, takut kena marah sama kamu,”
ucap Dante datar. “Udah deh, langsung aja dipelajari nama ke sembilan orang
yang ada di daftar tersebut. Barangkali aja ada yang ... kamu kenal,” ucapan
cowok itu terdengar ragu.
Kemarahanku sirna seketika dan segera
berganti rasa antusias untuk membaca nama-nama berikut alamat lengkap di kertas
tersebut. Ada sembilan nama yang tertera di kertas tersebut. Dan keningku
segera mengerut ketika aku sampai pada urutan no 9. Sebuah nama yang tampaknya
tidak asing bagiku. Jefry Kurniawan.
Otakku bekerja dengan cepat untuk
mengingat nama tersebut. Dan sekian detik kemudian aku terhenyak. Jefry
Kurniawan? Bukankah itu .... kakaknya Sonya?
Alamak, kenapa aku baru ingat kalo
kakaknya Sonya yang tengah kuliah di Jogyakarta itu dulunya adalah alumni SMA
17? Bodoh banget sih aku...
“Ada yang kamu kenal ‘kan?” Dante
seperti memastikan. Aku tak menjawab.
“It’s okey. Kita ‘kan belum tahu apa
yang sebenarnya terjadi. Jadi kita tak perlu berburuk sangka. Ntar kalo
urusanmu dengan sahabat-sahabatmu sudah selesai, kita akan mulai mencari tahu
tentang ke sembilan orang ini,”
Aku mendongak dan menatap Dante.
“Urusan? Aku nggak punya urusan apa-apa
dengan teman-temanku,” sergahku. Tatapan Dante tampak dingin. Dan ketakutan
segera menyergapku.
“Ada sesuatu?” aku bertanya. Dante tak
menjawab. Ia terlihat bingung mengulur waktu.
“Dante? Please, ada apa?” tanyaku lagi,
dengan ketakutan yang makin tinggi.
Tepat ketika Dante berbalik menatap
keluar jendela, phonselku berdering. Aku melihatnya. Dari Jihan. Tanpa berpikir
dulu kali aku menekan tombol ‘ok’.
“Halo,”
“Ki, segeralah ke rumahku. Penting,”
suara Jihan tampak panik.
Aku menatap punggung Dante. Dadaku
berdesir. Cowok itu berbalik.
“Pergilah. Tas mu biar di sini dulu,”
ucapnya.
Tanpa menunggu lagi, aku berjingkat,
meninggalkan kamar Dante. Aku berlari ke arah sepeda motorku yang terparkir di
halaman rumah Dante, menyalakan mesin dengan tergesa-gesa dan segera meluncur
di jalanan. Menuju rumah Jihan.
***
Ketika
sampai di sana, suasana hening. Olla duduk di sofa dengan pucat, Fifi duduk di
sampingnya dan memeluk pundaknya. Sonya duduk termangu di depan jendela
sementara Jihan hilir mudik.
Mata mereka tampak merah, seperti habis
menangis. Olla juga, malah lebih parah. Maskaranya berlepotan. Sisa-sisa air
mata masih tampak di kedua pipinya.
“Ada apa?” tanyaku lirih. Dan tangis
Olla kembali meledak. Fifi juga kembali ikut menangis. Aku menatap mereka
dengan bingung.
“Ada apa?” aku mengulangi pertanyaanku
dengan suara lebih keras. Sonya berbalik, menatapku, dan ia-lah yang berbicara.
“Olla hamil, Ki. 2 bulan,” ucapnya.
Kalimat Sonya ibarat petir yang
menggelegar tepat di atas kepalaku. Lututku terasa lemas. Tapi aku masih mampu
berdiri dengan tegak.
Tatapan mataku ku alihkan ke arah Olla
yang sesenggukan.
“Dengan siapa?” tanyaku. Suaraku nyaris
tertelan kembali di tenggorokan.
“Joe, pacar barunya, anak punk juga,”
kembali Sonya menjawab pertanyaanku. Olla terus sesenggukan. Fifi menepuk-nepuk
pundaknya dengan maksud untuk menenangkannya.
“Aku salah, Ki,” jawab Olla lirih.
Aku merasakan gigiku bergemerutuk karena
amarah.
“Kegilaan apa yang merasukimu hingga
kamu melakukan kesalahan sefatal ini!!??” aku berteriak. Jihan beranjak
mendekatiku dan memegang tanganku.
“Ssstt, tenangkan dirimu, Ki. Olla sudah
cukup tertekan,” ucapnya lirih.
“Aku memang salah, Ki. Harusnya aku
mendengarkan nasehatmu. Harusnya aku tak tergoda. Tapi, aku benar-benar
mencintainya,”
“Mencintainya bukan berarti kamu harus
berhubungan sex dengannya ‘kan?!” aku kembali merasakan amarah menderaku.
“Aku tahu. Tapi, aku tak bisa menahan
diri. Kami tak bisa menahan diri. Semua terjadi begitu saja,” jawab Olla
disela-sela isak tangisnya.
Aku tertawa getir.
“Terjadi begitu saja? Tak bisa menahan
diri? Kamu bener-bener...” aku mengacak-acak rambutku dengan kesal sebelum
jatuh terduduk di sofa, di seberang Olla.
“Kamu melanggar aturan dalam
persahabatan kita, La. Kita sudah sepakat untuk tidak melibatkan narkoba,
minuman keras, dan sex bebas. Tapi nyatanya? Kamu melakukan kesalahan fatal,”
desisku lirih.
Olla terus terisak.
“Sekarang bagaimana? Apa kamu hanya akan
menangis terus seperti itu sepanjang hari?”
“Aku nggak tahu, Ki. Aku bingung. Jika
orang tuaku mengetahui hal ini, mereka pasti mengusirku dari rumah,”
“Jika memang itu hukumanmu, kamu memang
pantas menerimanya,” ucapku tanpa sadar.
“Kata-katamu keterlaluan, Ki,” Sonya
berteriak.
Aku bangkit. Masih dengan tatapan
tertuju pada Olla.
“Kamu sudah
dewasa ‘kan? Mestinya kamu sudah bisa berpikir jernih dan bisa mengambil
keputusan dengan kehamilanmu. Maaf, La. Bukannya aku nggak care sama kamu. Tapi saat ini aku hanya sedang marah, itu saja,”
aku beranjak, meninggalkan base camp kami di rumah Jihan. Tepat ketika aku
membuka pintu, Rangga muncul di hadapanku. Pandangan kami terkunci sesaat, lalu
tatapan matanya beralih ke arah Fifi.
Ah, pasti Fifi yang memberitahunya untuk
datang kemari. Dan entah kenapa, kemarahanku terasa makin berlipat-lipat.
Aku berlalu, melewatinya tanpa
menyapanya.
Persetan!
***
Aku
berjalan dengan air mata yang terus menitik. Amarah dan rasa lelah terasa
bercampur jadi satu. Peristiwa-peristiwa yang terjadi beberapa hari terakhir ini
berseliweran di kepalaku.
Aku teringat dengan Rangga, teringat
dengan pengakuan cintanya. Kemudian aku teringat nama-nama dalam daftar yang
kemungkinan terlibat dalam peristiwa kematian Leo, dan salah satunya adalah
kakak Sonya. Dan sekarang, Olla seperti menghempaskanku ke dalam tanah dengan
berita kehamilannya!
Entahlah, aku hanya merasa teramat
letih.
Aku lelah.
Aku butuh sesuatu untuk bersandar.
Aku butuh seseorang yang mampu
memelukku, menenangkanku, dan meredam tangisku.
I
need a hug.
I
really need a hug...
Dan
sosok itu terlintas di benakku. Dan seperti sebuah keajaiban ketika aku
mendengar suaranya, memanggilku namaku, lirih.
Langkahku terhenti. Aku berbalik. Dan sosok
itu muncul dari kelokan kecil. Ia tengah melangkah ke arahku.
Aku sempat berpikir untuk berlari ke arahnya.
Tapi tatapan mata itu membuat kakiku terpaku di tanah. Tatapan matanya seolah
mengatakan : Tetaplah di situ, biar aku
yang menghampirimu .....
Dan aku membiarkannya, mendekatiku,
merengkuhku, lalu membelai kepalaku dengan lembut.
Air mataku terus menitik.
Membasahi bajunya.
Dan aku terus terisak.
Terisak dalam pelukannya.
Dalam pelukan Dante...
Nganjuk,
03 September 2014
0.53
WW.
Gambar
: Aliando S.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar