Selasa, 02 September 2014

Cerpen Kiki Kaka 14 : Ujian



          Sejak pernyataan cinta mendadak dari Rangga beberapa waktu yang lalu, hubungan kami sedikit renggang. Kami saling menghindari satu sama lain. Seperti ada kesepakatan tak tertulis di antara kami bahwa kami sama-sama butuh ruang untuk merenung dan berpikir.
Sekarang aku tahu bahwa Rangga mencintaiku, tapi dia tak perlu tahu bahwa aku juga mencintainya.
Ini menyakitkan. Bahkan lebih menyakitkan dari sekedar tahu bahwa ia berpacaran dengan sahabatku.  
Tapi sekali lagi, bahwa kami juga seolah sepakat bahwa tak ada dari kami yang boleh mengambil langkah apapun. Maju juga tidak, mundur juga tidak. Karena kami sadar bahwa jika ada di antara kami mengambil sikap, situasi akan semakin rumit. Kami yakin bahwa pengambilan sikap, apapun itu, hanya akan melahirkan KESALAHAN FATAL!
Jadi, biarlah semua apa adanya. Seperti sedia kala. Jika ada yang berubah, biarlah waktu yang menentukan kemana hati kami harus mengambil keputusan ...
          Lamunanku buyar ketika aku merasakan seseorang menyentuh lenganku. Aku menoleh, dan Dante sudah berdiri di sampingku. Rupanya ia menyentuh lenganku dengan sikunya.
“Mukamu yang suntuk itu lebih nyebelin dari muka pak satpam yang lagi marah-marah,” ia menunjuk ke arah pak satpam yang lagi ngedumel ke beberapa anak yang memarkir sepeda motornya di tempat yang salah. Aku mencibir.
Sekarang Dante juga hafal kebiasaanku. Ketika aku lagi suntuk, aku memang selalu ‘melarikan’ diri ke atap gedung, dan karena dia cenayang, dia bisa dengan mudah menemukanku.
“Kamu nggak lagi baca pikiranku ‘kan?” semprotku.
Ia menggeleng.
“Beneran?”
Dante mendesah.
“Beneran. Nih, lihat aja sendiri,” cowok itu kembali berpaling dan kami bertatapan. Aku menatap ke arah sorot matanya dan mata teduh itu terlihat ... santai. Oke, aku percaya padanya.
Ha, kadang aku sendiri tak percaya dengan apa yang ku jalani dengan Dante. Percayalah, sekarang persahabatan kami berjalan dengan amat baik. Kadang aku sendiri mengira bahwa Dante yang sedari awal dingin dan angkuh, akan  sangat sulit di ajak sahabatan. Tapi ternyata, aku salah.
Persahabatan kami mengalir begitu saja, sangat alami. Dan aku benar-benar bersyukur pada Tuhan karena dia cowok yang menyenangkan dan perhatian. Semakin hari kami semakin akrab. Dan hal yang luar biasa adalah, sekarang aku makin sering melihatnya tersenyum dan tertawa. Sungguh itu sebuah anugerah. Yakin deh, senyum itu juga makin sering membuatku klepek-klepek! Haha...
Kami juga mulai sepakat tentang beberapa hal. Termasuk soal membaca pikiran. Karena kami sudah bersahabat, kami sepakat soal privacy. Dante bersedia untuk tidak lagi membaca pikiranku seenak jidatnya. Dan ia membagi rahasianya padaku bahwa jika ia sedang membaca pikiran seseorang, sorot matanya akan terlihat serius. Tapi jika tidak, maka mata bening itu akan terlihat santai dan ramah.
Lagipula, ia mengatakan bahwa membaca pikiran seseorang benar-benar menyedot energi. Ia pernah mengatakan bahwa ia sempat jatuh pingsan setelah membaca pikiran seseorang.
“Waktu itu kamu sempat membaca pikiranku, kenapa nggak jatuh pingsan?” tanyaku waktu itu. Dan Dante hanya mengangkat bahu tak mengerti.
“Aku sendiri juga nggak tahu. Biasanya setelah membaca pikiran seseorang, energiku tersedot habis. Tapi denganmu, entahlah, semua terjadi begitu saja. Tak seburuk biasanya,” itu jawabannya. Dan aku tak menanyakan lebih lanjut tentang perbedaanku dengan orang lain itu, karena Dante pun mati-matian tak tahu alasannya.
          Dan percayalah, selain rasa was-was (yang terkadang kurasakan), bersahabat dengan seorang cenayang ternyata banyak manfaatnya.
Salah satunya adalah, dia bisa meramalkan hal-hal sepele yang bakalan terjadi. Contoh kecil, pertandingan sepak bola. Kami pernah menonton pertandingan bola bareng-bareng di rumahnya (aku juga sering berkunjung ke rumahnya), dan ditengah-tengah pertandingan dia mematikan tivinya. Alasannya : dia sudah tahu tim mana yang bakalan menang. (keren ‘kan?)
Bahkan pilpres beberapa waktu lalu pun, dia sudah tahu calon presiden mana yang bakalan terpilih. Dan, Oh my God, tebakannya betul! (Bayangkan saja kamu punya teman kayak dia, kamu pasti bakalan seneng 7 hari 7 malam! Sama kayak gue...)
Terkadang aku memaksanya untuk ‘melihat’ masa depanku. Aku menanyainya dengan pertanyaan-pertanyaan standar semacam :
Apakah aku akan lulus dengan nilai bagus?
Apakah aku akan berhasil masuk kuliah di Universitas idamanku?
Apa aku akan menikah dengan orang yang ku cintai?
Berapa anak yang akan aku punyai?
Dan lain-lain..
Dan lain-lain..
Tapi, jika aku sudah banyak nanya, Dante hanya akan menjawabku dengan pelototan kesal.
“Pelit amat sih berbagi informasi,” gumamku. Dan Dante hanya mendesah.
“Bukannya gitu, Ki. Tapi emang ada beberapa hal yang nggak semestinya ku beritahukan. Karena jika aku memberitahukan semua yang aku tahu, aku pasti melawan hukum alam. Lagian bayangin aja kalo kamu tahu semua kehidupanmu di masa mendatang, maka hidupmu nggak bakal menarik lagi karena kamu sudah tahu apa yang akan menimpamu dan kamu dapatkan,”
Dan kata-katanya emang bener.
“Wuiih, kalo ada yang tahu tentang kemampuanmu, kamu pasti bakalan terkenal. Kayak mama laurent, hihihi...” ucapku sambil terkikik.
Dan jawaban Dante pada pendapatku ini membuatku tersanjung.
“Di dunia ini, hanya ada 4 orang yang tahu tentang kemampuanku. Ayahku, ibuku, kakak perempuanku, dan kamu. Dan aku sangat berharap bahwa kamu akan menjadi orang terkhir yang mengetahui tentang siapa diriku yang sebenarnya. Aku percaya kamu bisa menjaga rahasiaku, Ki. Aku tidak mau kemampuanku menjadi konsumsi publik. Dan yang terpenting lagi, aku tak mau dimanfaatkan,”
Dan aku sudah bertekad, aku akan menjadi sahabat Dante yang dapat dipercaya...

          “Jadiii, apa yang membuatmu suntuk?” Dante mengulangi pertanyaannya. Aku tak segera menjawab. Entah kenapa, tiba-tiba saja sempat terpikir di benakku agar Dante membaca saja pikiranku hingga aku tak harus capek-capek menjelaskan padanya.
“Hanya suntuk saja,” jawabku pendek.
Dante menatapku penuh selidik.
“Ngomongin yang lain aja, oke,” sergahku. Dante manggut-manggut.
“Kalo begitu, bersiaplah karena nanti malam kita akan mengadakan sedikit kegiatan di SMA 17, mantan sekolahnya Leo,”
“Kenapa harus malam?” tanyaku.
“Karena satu-satunya cara untuk mengetahui data siapa aja yang ikut pendakian bersama Leo beberapa tahun yang lalu adalah dengan menyelinap ke sekolah tersebut. Dan otomatis, tindakan penyelinapan harus kita lakukan malam hari agar nggak ketahuan,”
Aku mengernyit dengan penjelasan Dante.
“Tunggu, jika kita mendapatkan informasi itu dengan cara menyelinap ala mata-mata, apakah itu berarti kematian Leo memang tak wajar hingga mendapatkan informasi itu dari pihak sekolah akan terlihat begitu sulit?,” Aku menyimpulkan.
Dante tak segera menjawab. Ia membuang tatapan ke langit sesaat lalu menarik nafas panjang sebelum akhirnya menjawab.
“Itu benar, Ki. Mungkin ini terlalu dini, tapi firasatku mengatakan bahwa mendapatkan info tentang pendakian itu ke pihak sekolah tidak akan mendapatkan hasil. Dan ... firasatku juga mengatakan bahwa ada yang tidak beres dengan kematian Leo hingga pihak sekolah sengaja menutup-nutupi masalah ini. Bagaimana detilnya peristiwa itu terjadi,itulah yang akan kita cari tahu,”
Aku mendengarkan penjelasan Dante dengan seksama.
“Aku nggak akan mengijinkan Kiki ikut rencana nanti malam,”
Leo tiba-tiba muncul di samping Dante.
“Kenapa enggak?” Aku dan Dante bertanya hampir bersamaan.
Leo menatap ke arahku dengan cemas.
“Itu berbahaya, Ki. Kalo sampai ketahuan, urusannya bisa sampek ke polisi. Menyelinap itu sama saja dengan tindakan kriminal,” ujarnya.
“Ya sama aja, dong. Itu berarti juga berbahaya buat Dante. Kalo dia sampek ketahuan, dia bisa berakhir di penjara,” belaku.
“Iya, tapi Dante beda. Ia bisa menjaga dirinya sendiri. Sedangkan kamu?”
“Aku juga bisa kok menjaga diriku sendiri,” jawabku cepat.
Dante melihat kearahku, lalu ke arah Leo.
“Kamu denger itu ‘kan? Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Lagipula, aku juga sanggup menjaganya dan memastikan bahwa dia baik-baik saja,” ucap Dante.
Leo menatap Dante tetap dengan tatapan kesal.
“Kamu mungkin cenayang, tapi kamu bukan orang yang punya kekuatan supernatural yang mampu menolongnya kapanpun dan dimanapun dia membutuhkan,”
“Aku mampu melindunginya, dia bakalan aman bersamaku,” Dante ngotot.
“Maaf, tapi aku meragukannya,” Leo juga ngotot.
“Kamu ini gimana sih?  Yang meminta pertolongan padanya itu sebenarnya kamu sendiri. Sekarang kenapa kamu sok protektif begini?”  Dante tampak kesal.
“Hei, bicaralah lebih sopan padaku. Bagaimanapun juga aku ini lebih tua dari kamu. Jadi perlakukan aku sebagai kakakmu,” Leo juga tampak makin kesal.
Dante mencibir sinis.
“Kamu tewas ketika seumuran denganku. Dan bisa di bilang, usia kita sekarang, sama. Nggak ada kakak-kakak an, nggak ada adik-adik an, puas?”
Aku menatap Leo dan Dante secara bergantian. Percayalah, mereka akan selalu bersitegang begini ketika bertemu. Dan aku benar-benar nggak ngerti apa yang menyebabkan hal ini pada mereka. Yang jelas, sejak mereka bertemu untuk pertama kalinya. Percikan-percikan permusuhan mulai terlihat di antara mereka.
“Udah deh. Jangan kayak anak kecil gini dong?” leraiku sebal.
“Pokoknya nanti aku ikut. Dan nggak ada yang bisa melarangku, titik,” Aku beranjak meninggalkan mereka.
Aku bahkan belum sepenuhnya meninggalkan mereka dan baru menginjakkan kakiku di tangga ketika aku mendengar mereka kembali beradu argumen.
Aku memutar bola mataku dengan kesal.
Cowok kadang-kadang emang hobi berantem kayak cewek!

***

          Dante melongo sambil menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki ketika sore itu aku datang ke rumahnya sambil menyandang tas ransel yang penuh dengan benda-benda pendakian.
“Mau camping?” sindir Dante. Aku mendengus sambil menjatuhkan tas ranselku yang beratnya hampir 10 kilo ke teras Dante.
“Kan kita mau menyelinap. So, aku bawa peralatan yang lengkap-kap,” Ucapku bangga sambil membuka isi tasku.
“Ada tali, gunting, tang, palu, gergaji, pisau – aku bawain pisau dalam edisi lengkap, dari pisau lipat sampai pisau roti, trus aku juga bawain beberapa peralatan pak tukang di sini, yah barangkali aja kita butuh mendobrak pagar,” Aku menyeringai.
Dante kembali melongo menyaksikan tas ku yang dipenuhi barang-barang pertukangan.
“Astaga,” ia menggumam lirih.
“So, jam berapa kita melancarkan aksi kita?” tanyaku antusias. Dante tak segera menjawab. Ia meraih tas ranselku.  Lalu berkata, “Yuk, ada yang mau ku omongin sama kamu,” ia beranjak, mengajakku ikut serta. Ia melewati ruang tamu menuju tangga yang mengarah ke kamarnya. Jujur, ini juga bukan yang pertama kalinya aku bertandang ke kamarnya, hehehe...
Setelah sampai di kamarnya, ia menaruh tak ranselku di sebelah pintu lalu ia beranjak mengambil secarik kertas yang tergeletak di meja belajarnya.
“Nih,” ia menyodorkan kertas tersebut. Aku menerimanya dengan heran.
“Malam ini kita nggak jadi menyelinap. Aku dan Leo sudah menyelesaikan misi kita, tadi siang, sepulang sekolah,” lanjut Dante. Aku melotot.
“Apa?” Aku memekik. Dante cuma mengangkat bahu cuek.
“Setelah kupikir-pikir, memang berbahaya kalo kamu ikut serta. So, tadi siang aku dan Leo datang ke SMA 17, aku menyamar sebagai anak Pecinta Alam yang ada kepentingan dengan beberapa kegiatan ekstra. Dan atas panduan Leo, aku berhasil menemukan ini di ruang kesiswaan,” ia menunjuk kembali ke arah kertas di tanganku.
Aku menatap cowok itu dengan marah.
“Ini pengkhianatan namanya. Buat apa kamu ngajak-ngajak kalo akhirnya kamu berangkat sendiri. Kalian tega banget sih?” gerutuku.
Dante mendesah.
“Itu nggak penting, Ki. Yang terpenting sekarang adalah kita sudah dapat data siapa aja yang ikut pendakian dengan Leo. Dan tugas kita selanjutnya adalah mencari tahu keberadaan orang-orang tersebut, dan membongkar kejadian yang sebenarnya yang menyebabkan Leo mati,” jelas Dante.
Aku menatap sekeliling. “Dia nggak di sini?” tanyaku setelah aku sadar ketidakberadaan Leo.
“Dia pergi, takut kena marah sama kamu,” ucap Dante datar. “Udah deh, langsung aja dipelajari nama ke sembilan orang yang ada di daftar tersebut. Barangkali aja ada yang ... kamu kenal,” ucapan cowok itu terdengar ragu.
Kemarahanku sirna seketika dan segera berganti rasa antusias untuk membaca nama-nama berikut alamat lengkap di kertas tersebut. Ada sembilan nama yang tertera di kertas tersebut. Dan keningku segera mengerut ketika aku sampai pada urutan no 9. Sebuah nama yang tampaknya tidak asing bagiku. Jefry Kurniawan.
Otakku bekerja dengan cepat untuk mengingat nama tersebut. Dan sekian detik kemudian aku terhenyak. Jefry Kurniawan? Bukankah itu .... kakaknya Sonya?
Alamak, kenapa aku baru ingat kalo kakaknya Sonya yang tengah kuliah di Jogyakarta itu dulunya adalah alumni SMA 17? Bodoh banget sih aku...
“Ada yang kamu kenal ‘kan?” Dante seperti memastikan. Aku tak menjawab.
“It’s okey. Kita ‘kan belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jadi kita tak perlu berburuk sangka. Ntar kalo urusanmu dengan sahabat-sahabatmu sudah selesai, kita akan mulai mencari tahu tentang ke sembilan orang ini,”
Aku mendongak dan menatap Dante.
“Urusan? Aku nggak punya urusan apa-apa dengan teman-temanku,” sergahku. Tatapan Dante tampak dingin. Dan ketakutan segera menyergapku.
“Ada sesuatu?” aku bertanya. Dante tak menjawab. Ia terlihat bingung mengulur waktu.
“Dante? Please, ada apa?” tanyaku lagi, dengan ketakutan yang makin tinggi.
Tepat ketika Dante berbalik menatap keluar jendela, phonselku berdering. Aku melihatnya. Dari Jihan. Tanpa berpikir dulu kali aku menekan tombol ‘ok’.
“Halo,”
“Ki, segeralah ke rumahku. Penting,” suara Jihan tampak panik.
Aku menatap punggung Dante. Dadaku berdesir. Cowok itu berbalik.
“Pergilah. Tas mu biar di sini dulu,” ucapnya.
Tanpa menunggu lagi, aku berjingkat, meninggalkan kamar Dante. Aku berlari ke arah sepeda motorku yang terparkir di halaman rumah Dante, menyalakan mesin dengan tergesa-gesa dan segera meluncur di jalanan. Menuju rumah Jihan.

***

          Ketika sampai di sana, suasana hening. Olla duduk di sofa dengan pucat, Fifi duduk di sampingnya dan memeluk pundaknya. Sonya duduk termangu di depan jendela sementara Jihan hilir mudik.
Mata mereka tampak merah, seperti habis menangis. Olla juga, malah lebih parah. Maskaranya berlepotan. Sisa-sisa air mata masih tampak di kedua pipinya.
“Ada apa?” tanyaku lirih. Dan tangis Olla kembali meledak. Fifi juga kembali ikut menangis. Aku menatap mereka dengan bingung.
“Ada apa?” aku mengulangi pertanyaanku dengan suara lebih keras. Sonya berbalik, menatapku, dan ia-lah yang berbicara.
“Olla hamil, Ki. 2 bulan,” ucapnya.
Kalimat Sonya ibarat petir yang menggelegar tepat di atas kepalaku. Lututku terasa lemas. Tapi aku masih mampu berdiri dengan tegak.
Tatapan mataku ku alihkan ke arah Olla yang sesenggukan.
“Dengan siapa?” tanyaku. Suaraku nyaris tertelan kembali di tenggorokan.
“Joe, pacar barunya, anak punk juga,” kembali Sonya menjawab pertanyaanku. Olla terus sesenggukan. Fifi menepuk-nepuk pundaknya dengan maksud untuk menenangkannya.
“Aku salah, Ki,” jawab Olla lirih.
Aku merasakan gigiku bergemerutuk karena amarah.
“Kegilaan apa yang merasukimu hingga kamu melakukan kesalahan sefatal ini!!??” aku berteriak. Jihan beranjak mendekatiku dan memegang tanganku.
“Ssstt, tenangkan dirimu, Ki. Olla sudah cukup tertekan,” ucapnya lirih.
“Aku memang salah, Ki. Harusnya aku mendengarkan nasehatmu. Harusnya aku tak tergoda. Tapi, aku benar-benar mencintainya,”
“Mencintainya bukan berarti kamu harus berhubungan sex dengannya ‘kan?!” aku kembali merasakan amarah menderaku.
“Aku tahu. Tapi, aku tak bisa menahan diri. Kami tak bisa menahan diri. Semua terjadi begitu saja,” jawab Olla disela-sela isak tangisnya.
Aku tertawa getir.
“Terjadi begitu saja? Tak bisa menahan diri? Kamu bener-bener...” aku mengacak-acak rambutku dengan kesal sebelum jatuh terduduk di sofa, di seberang Olla.
“Kamu melanggar aturan dalam persahabatan kita, La. Kita sudah sepakat untuk tidak melibatkan narkoba, minuman keras, dan sex bebas. Tapi nyatanya? Kamu melakukan kesalahan fatal,” desisku lirih.
Olla terus terisak.
“Sekarang bagaimana? Apa kamu hanya akan menangis terus seperti itu sepanjang hari?”
“Aku nggak tahu, Ki. Aku bingung. Jika orang tuaku mengetahui hal ini, mereka pasti mengusirku dari rumah,”
“Jika memang itu hukumanmu, kamu memang pantas menerimanya,” ucapku tanpa sadar.
“Kata-katamu keterlaluan, Ki,” Sonya berteriak.
Aku bangkit. Masih dengan tatapan tertuju pada Olla.
“Kamu sudah dewasa ‘kan? Mestinya kamu sudah bisa berpikir jernih dan bisa mengambil keputusan dengan kehamilanmu. Maaf, La. Bukannya aku nggak care sama kamu. Tapi saat ini aku hanya sedang marah, itu saja,” aku beranjak, meninggalkan base camp kami di rumah Jihan. Tepat ketika aku membuka pintu, Rangga muncul di hadapanku. Pandangan kami terkunci sesaat, lalu tatapan matanya beralih ke arah Fifi.
Ah, pasti Fifi yang memberitahunya untuk datang kemari. Dan entah kenapa, kemarahanku terasa makin berlipat-lipat.
Aku berlalu, melewatinya tanpa menyapanya.
Persetan!

***

          Aku berjalan dengan air mata yang terus menitik. Amarah dan rasa lelah terasa bercampur jadi satu. Peristiwa-peristiwa yang terjadi beberapa hari terakhir ini berseliweran di kepalaku.
Aku teringat dengan Rangga, teringat dengan pengakuan cintanya. Kemudian aku teringat nama-nama dalam daftar yang kemungkinan terlibat dalam peristiwa kematian Leo, dan salah satunya adalah kakak Sonya. Dan sekarang, Olla seperti menghempaskanku ke dalam tanah dengan berita kehamilannya!
Entahlah, aku hanya merasa teramat letih.
Aku lelah.
Aku butuh sesuatu untuk bersandar.
Aku butuh seseorang yang mampu memelukku, menenangkanku, dan meredam tangisku.
I need a hug.
I really need a hug...
          Dan sosok itu terlintas di benakku. Dan seperti sebuah keajaiban ketika aku mendengar suaranya, memanggilku namaku, lirih.
Langkahku terhenti. Aku berbalik. Dan sosok itu muncul dari kelokan kecil. Ia tengah melangkah ke arahku.
Aku sempat berpikir untuk berlari ke arahnya. Tapi tatapan mata itu membuat kakiku terpaku di tanah. Tatapan matanya seolah mengatakan : Tetaplah di situ, biar aku yang menghampirimu .....
Dan aku membiarkannya, mendekatiku, merengkuhku, lalu membelai kepalaku dengan lembut.
Air mataku terus menitik.
Membasahi bajunya.
Dan aku terus terisak.
Terisak dalam pelukannya.

Dalam pelukan Dante...


Nganjuk, 03 September 2014
0.53
WW.

Gambar : Aliando S.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar