Olla
duduk berselonjor di karpet dengan punggung yang bersandar di sofa. Sementara
aku, Fifi, Sonya dan Jihan duduk di sekelilingnya. Kami sama-sama duduk di
lantai.
Seperti yang sudah kami duga sebelumnya.
Olla di usir dari rumah oleh orang tuanya karena kehamilan itu. Kami menduga
pengusiran itu karena emosi yang bersifat sementara. Tapi, berdasarkan emosi
atau tidak, Olla sudah mantap untuk meninggalkan rumah, dengan lapang dada.
Jihan sempat mengusulkan untuk
menggugurkan janinnya, tapi sebelum aku mengungkapkan keberatanku atas ide itu,
Olla sudah menolaknya mentah-mentah.
“Aku akan menjadi manusia terkutuk jika
aku sampai menggugurkan bayi ini. Ingat, Jei, aku sudah melakukan kesalahan
fatal dengan kehamilan ini. Dan aku nggak mau mengulangi kesalahan yang sama
dengan menggugurkannya,” jawabnya dengan mata berkaca-kaca.
“Jadi sekarang gimana, La?” tangis Jihan
nyaris pecah.
“Joe bersedia bertanggung jawab. Jadi
kami sepakat menikah secara sederhana di kantor catatan sipil. Begitu saja.
Setelah itu, kami akan pergi ke Surabaya. Aku tahu ini tak akan mudah. Tapi
kami sepakat untuk bertanggung jawab atas perbuatan kami dan merawat bayi ini
dengan baik. Joe akan mencari pekerjaan di sana. Entah di bengkel atau di toko,
yang jelas, dia akan segera mendapatkan pekerjaan. Setelah bayi ini lahir, aku
juga akan segera mencari pekerjaan. Percayalah, kami pasti bisa merawat anak
ini dengan baik,” Olla menjelaskan panjang lebar tentang rencananya.
Dan tangisku pecah. Aku terisak.
Ya Tuhan, aku hanya tak menyangka bahwa
semua akan berakhir seperti ini. Olla kami, yang lucu, yang imut, yang ceria, yang
terkadang menjengkelkan, yang bercita-cita ingin jadi artis, kenapa harus
berakhir seperti ini?
Olla
beringsut dan menggenggam tanganku dengan erat. “Ki, percayalah padaku. Aku
akan berusaha bertanggung jawab dengan perbuatanku. Ini tak mudah. Tapi
yakinlah padaku bahwa aku mampu melakukannya,” air mata Olla menitik.
“Kalo begitu nggak usah pergi, La. Di
sini aja. Ki semua bisa kok bantu. Bantu kamu dan Joe nyari pekerjaan, nyari
rumah kontrakan, ngrawat bayi kamu kalo udah lahir...”
Olla menggeleng.
“Enggak, Ki. Tolong biarkan aku
melakukan hal ini dengan caraku, oke?”
Air mataku terus menitik. Lalu aku
menghambur ke arah Olla dan memeluknya dengan erat. Jihan, Sonya, dan Fifi pun
melakukan hal yang sama. Kami berpelukan dan menangis, bersama-sama....
Dan
begitulah akhirnya, sore itu juga kami mengantarkan Olla dan Joe ke stasiun.
Ternyata Joe sudah menyiapkan keberangkatan mereka ke Surabaya dengan kereta....
Dan entah kenapa, firasatku mengatakan
bahwa aku telah benar-benar kehilangan Olla...
Aku
pulang dari stasiun dengan perasaan remuk redam. Ketika sampai di rumah,
Leo-lah yang pertama kali menyambut kepulanganku.
“Kamu nggak apa-apa ‘kan ki?” ia bertanya
dengan nada cemas. Aku tersenyum dan menggeleng. Ia mengikutiku sampai ke
kamar. Aku meletakkan tas punggungku di atas tempat tidur lalu menghempaskan
tubuhku di sofa, sofa yang biasa di tempati Leo. Kami berdiam diri selama
sekian menit. Leo seperti sengaja memberikan waktu padaku untuk berpikir,
merenung dan menenangkan diri.
“Sori ya, Leo. Aku nggak bermaksud
mengabaikan kamu. Aku cuma sedikit ... kacau,” ucapku lirih seraya melirik ke
arah Leo. Cowok itu tersenyum dan manggut-manggut.
“Ki, ketahuilah bahwa ... aku juga ingin
melakukan hal yang sama padamu, seperti yang dilakukan Dante, ketika kamu
merasa suntuk dan perlu tempat untuk ... meredam kesedihanmu,”
Kalimat Leo membuatku tertegun. Aku
mendongak dan menatap ke arahnya.
“Maksudnya?” tanyaku lirih.
Leo terdiam sesaat.
“Ketika kamu merasa down, sedih dan kacau, ketahuilah bahwa aku juga ingin melakukan
apa yang dilakukan Dante padamu. Menghiburmu, menenangkanmu, menggenggam
tanganmu, memelukmu, tapi ... kau tahu bahwa aku tak bisa melakukannya. Ah,
andaikan saja aku bisa menyentuhmu, aku pasti ....”
Pandangan kami terkunci satu sama lain. Aku menyaksikan tatapan penuh luka di
kedua mata Leo. Dan tiba-tiba saja hatiku ikut terluka. Leo ingin menggenggam
tanganku, memelukku, menenangkanku tapi .... dia tak bisa menyentuhku!
Aku membenamkan kepalaku ke sofa dan
menutup mukaku dengan kedua tanganku. Bahuku terguncang, aku terisak.
Leo beranjak dan berlutut di hadapanku.
Aku kembali mendengar ia mengucapkan kata maaf. Aku menggeleng beberapa kali.
Aku ingin mengatakan padanya.
It’s
okay...
It’s
okay...
Tapi bibirku tak mampu melakukannya.
***
Aku
memasuki ruang kelas dengan buru-buru dan bermaksud menemui Dante. Tapi
bangkunya kosong. Aku nanya ke anak-anak yang lain tapi mereka tak tahu. Hingga
akhirnya aku merasakan kedatangan Leo di sampingku.
“Bicaralah denganku sebentar, Ki,”
ucapnya. Aku mengangguk samar lalu mengikutinya. Kami ke tempat sepi, dimana
anak-anak yang lain nggak bisa melihatku ngomong ‘sendirian’.
“Sebenarnya tadi malam aku ingin cerita
ke kamu. Tapi karena kamu terlihat capek, aku urung melakukannya,” ucapnya.
“Soal Dante?” tanyaku pelan. Ia
mengangguk.
“Sori kami nggak cerita ke kamu, tapi
sejak kemarin kami menemui kelima orang yang ada di daftar tersebut. Dante
menemui mereka langsung satu persatu. Dan ... ia membaca pikiran mereka,”
Aku mengernyit.
“Lalu?”
“Dante membaca pikiran mereka secara
marathon dan tiba-tiba saja ia jatuh pingsan,”
Aku melotot.
“Jadi, dia nggak masuk sekolah hari ini
karena di rawat di rumah sakit. Kata dokter, dia kelelahan,”
“Astaga,” desisku lirih.
“Kenapa kamu nggak melarangnya
menggunakan kemampuannya? Tenaga Dante bisa tersedot habis dan dia bisa tewas,”
desisku lagi.
“Aku sudah melarangnya. Tapi dia bilang,
nggak ada cara lain lagi. Hanya itu satu-satunya cara untuk memudahkan
penyelidikan kita,” jawab Leo.
Aku menggigit bibirku.
“Oke deh, ntar aku ke sana,” ucapku. Aku
beranjak, mengambil tas ku kembali di kelas lalu melangkah menuju gerbang. Hari
itu aku memutuskan membolos dan menemui Dante.
***
Ketika
aku sampai di rumah sakit, Dante masih tertidur dengan di temani kakak perempuannya,
kak Rea.
“Masuklah, Ki,” ia menyilakan.
“Nggak masuk sekolah?” ia kembali
bertanya.
Aku tersenyum dan menggeleng.
“Ya udah deh, kalo gitu. Sekali-kali
mbolos sih nggak apa-apa. Asal jangan sering-sering aja,” ucapnya.
Aku nyengir.
“Kebetulan nih. Aku mau keluar dulu beli
sesuatu. Bisa gantiin jagain dia?”
“Iya kak,” jawabku cepat.
Aku melangkah ke samping tempat tidur
Dante dan menatapnya dengan cemas.
“Nggak apa-apa. Dia cuma butuh ...
banyak istirahat,” ucap kakak Dante lalu beranjak keluar kamar. Aku mengangguk
dan kembali menatap Dante.
Aku mematung sesaat. Semoga dia nggak apa-apa...
“Aku emang nggak apa-apa. Tenang aja,
aku nggak bakalan mati,” kedua mata Dante perlahan terbuka. Dan entah mengapa,
aku lega luar biasa.
“Kamu pura-pura tidur?”
“Siapa yang tidur? Mataku memang
terpejam, tapi aku nggak tidur,”
“Kalo gitu, begitu mendengar
kedatanganku kenapa kamu nggak langsung menyapaku,”
“Kan kamu masih ngobrol sama kak Rea,”
“Iya sih, tapi paling enggak ‘kan kamu
membuka mata terus ...”
“Terlihat kaget dengan kedatanganmu
gitu?”
Aku mendelik.
“jangan bilang kalo kamu juga udah tahu
kalo aku bakal datang kemari,”
“Emang udah,” jawabnya enteng.
Aku melotot. Sialan! Tetap aja dia
cenayang.
“Stop buang-buang energi dengan membaca
pikiranku, oke!” aku nyaris berteriak.
Kami bersitegang. Tapi, aku senang kami
masih bila melakukannya. Karena itu berarti, dia memang baik-baik saja.
“Kok kamu ceroboh banget sih. Membaca
pikiran mereka satu persatu, astaga, Dante, kamu bisa saja tewas kehabisan
energi,” ucapku lagi.
Dante mengerang cuek.
“I’m
fine, okay? Aku hanya butuh satu atau dua hari untuk memulihkan tenagaku.
Lagian, energiku memang tersedot habis. Tapi setidaknya itu bermanfaat,”
Aku menatapnya dengan serius.
“Oh ya? Apa itu?”
Dante tak segera menjawab.
“Leo tidak mati karena tersesat. Tapi terbunuh,”
Aku terkesiap.
“Oleh siapa?” tanyaku.
Kembali Dante tak segera menjawab.
“Aku tak bisa menjelaskan detilnya
karena sekarang menjadi tugasmu untuk menyelesaikannya. Temuilah kakak temanmu,
dia yang tahu segalanya,”
Aku terhenyak.
“Kak Jefry Kurniawan, kakaknya Sonya?”
aku memastikan.
Dante hanya mengangguk pelan.
Aku terduduk lemas di kursiku.
***
Sonya
menatapku dengan tak percaya. Ada kilat amarah di kedua matanya setelah aku
menceritakan segalanya padanya.
Ya, aku telah menceritakan semuanya.
Tentang Leo, tengan hantu yang gentayangan itu, yang kemungkinan besar
meninggal karena hal tak wajar. Dan juga tentang dugaan keterlibatan kak Jefry
dalam kematiannya. Sebenarnya aku ingin menemui kak Jefry langsung, tapi
sepertinya akan lebih bijak kalau aku menemui Sonya lebih dahulu.
“Maksudmu, selama ini kamu telah diikuti
hantu gentayangan yang kamu temui pertama kali di hutan beberapa waktu yang
lalu, dan hantu itu mengaku bahwa ia mati karena di bunuh kakakku, begitu?”
Aku mendesah.
“Nggak gitu, Sonya. aku nggak mengatakan
kalo Leo mati karena dibunuh kak Jefry. Tapi yang jelas, ia meninggal nggak
wajar, dan itu yang menyebabkan ia gentayangan terus. Dan orang yang tahu
tentang peristiwa beberapa tahun lalu itu ya kak Jefry. Aku nggak mengatakan
kalo kak Jefry yang membunuhnya. Mungkin itu hanya kecelakaan ato apa, makanya
aku pengen ketemu langsung sama kak Jefry,”
Sonya mendengus kesal.
“Kamu jadi aneh deh Ki sejak kamu deket
sama cowok freak yang satu kelas sama
kamu itu,” ucapnya. Aku menelengkan kepalaku heran.
“Siapa?”
“Itu, si Dante, cowok baru yang aneh,
yang seolah-olah punya dunia sendiri, kayaknya kamu ketularan aneh deh dari dia
hingga kamu berkhayal yang bukan-bukan,”
“Dia nggak aneh, Sonya. Dia cuma
pendiam. Dan ya, aku emang deket
dengannya. Dan itu cuma sebatas sahabat karena kami satu kelas. Dan satu kali, dia
nggak ada hubungannya dengan masalah ini,” aku menegaskan.
“Mungkin dia memang nggak ada
hubungannya dengan masalah ini, tapi kamu bener-bener aneh sejak bersahabat
dengannya. Kamu sekarang jarang ngumpul di base
camp, jarang hang out bareng kita
lagi, bahkan masalah Olla pun kamu baru tahu belakangan ini. Kamu pikir kami
nggak tahu kalo kamu sering maen ke rumah Dante. Terserah deh kalo kamu mau
pacaran sama dia, tapi menurut kami, dia cowok yang aneh. Dan jangan katakan
kalo kamu menjauhi kami karena cowok itu,”
Aku terhenyak.
Aku
menjauhi kalian di base camp hanya untuk menghindari Rangga... Desisku dalam
hati.
“Apa yang terjadi pada Olla itu bukan
salahku. Oke. Dan sekali lagi, jangan libatkan Dante dalam masalah ini. Aku
jarang ke base camp karena sibuk, bukan karena hal yang lainnya. Kamu sendiri
‘kan juga tahu itu kalo aku beberapa kali jadi panitia di kegiatan sekolah,”
“Iya, tapi tetap saja kamu berbeda,”
Aku mengibaskan tanganku dengan putus
asa.
“Terserah deh. Aku nggak peduli lagi
siapa yang menuduh siapa telah berubah. Pokoknya, aku akan menemui kak Jefry
langsung untuk menjelaskan tentang Leo. Dan aku tak keberatan untuk pergi ke
Jogja sendirian,” aku bangkit.
“Silahkan aja. Dan aku akan pastikan
kalo kakakku tak bersalah,” Sonya berteriak.
Aku menatapnya lekat.
“Aku juga berharap dia tak bersalah,
Sonya. Tapi jika dia memang ikut terlibat dalam kematian Leo, dia harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya,” aku beranjak.
“Dan jika kamu membuat kakakku berakhir
di penjara, persahabatan kita berakhir,” kalimat Sonya membuat langkahku
terhenti. Perlahan aku berbalik dan menatapnya lagi.
“Aku juga barsyukur kalo ia tak bersalah.
Tapi jika dia memang bersalah, dan kau masih tetap menyalahkanku, oke,
persahabatan kita selesai,” aku kembali melangkahkan kakiku meninggalkan Sonya.
***
“Kita
harus ke Jogja. Nggak ada jalan lain,” ucapku pada Leo seraya memasukan beberapa baju ke dalam tas punggungku.
“Sekarang?” ia bertanya.
“Ntar sore. Aku udah pesen tiket kereta
yang akan berangkat jam 5 nanti,” jawabku.
“Ke sana sama siapa?”
“Ya kita berdua,” jawabku lagi.
“Dante nggak diajak?”
Aku menggeleng.
“Kenapa?”
Aku berdiri dan menatap isi lemariku
yang acak-acakan.
“Sudah cukup baginya untuk terlibat,
Leo. Aku nggak mau dia tewas karena kemampuannya,” ucapku.
“Tapi...”
Kalimat Leo terhenti ketika tiba-tiba
jendela kamarku terbuka. Dan Rangga muncul dari sana...
Aku mematung.
Sejak pengakuan cintanya beberapa waktu
yang lalu, ini untuk yang pertama kalinya kami bertemu.
Aku melirik ke arah Leo, tapi ternyata
hantu itu sudah lenyap. Oh, dia pernah mengatakan bahwa ia akan menjaga
privasiku, termasuk soal cowok yang satu ini.
“Rangga,” panggilku lirih.
Rangga meloncat masuk dengan gesit.
Setelah membenahi rambutnya, ia menatapku dan berdiri dengan kaku.
Kami sama-sama mematung.
Hening sesaat.
“Aku nggak bisa, Ki,” ia membuka suara
lirih.
Aku menelan ludah. Tak mampu bergerak.
“Aku nggak bisa,” ia melangkah
mendekatiku. “Aku nggak bisa jauh dari kamu,” lanjutnya.
“Aku mencintaimu, Ki. Dan aku tahu kamu
pun merasakan hal yang sama. Kamu senantiasa menatapku dengan cara yang
berbeda. Tatapan yang penuh cinta,”
Kami berdiri berhadapan.
“Aku akan putus dengan Fifi,” ia kembali
berkata-kata. Dan kembali aku tak mampu bersuara.
“Karena aku benar-benar nggak bisa jauh
dari kamu,” desisnya.
Aku masih linglung ketika Rangga merengkuhku,
lalu mendaratkan sebuah ciuman lembut di bibirku.
Dan tepat ketika itu terjadi, pintu
kamarku terbuka, dan Fifi muncul dari sana.....
Nganjuk, 09-09-2014
13.23
Ww
Gambar : lupa di ambil dari mana. hehehe...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar