Senin, 23 Februari 2015

Bokura Ga Ita - Part 10 (End)



                Tubuh Yano melorot di lantai kamar mandi yang lembab. Phonselnya tergeletak begitu saja di antara dua kakinya. Ia sesenggukan, putus asa. Ia ingin berlari ke tempat Nanami, tapi itu mustahil. Shinkanzen yang ia naiki baru akan berhenti di stasiun selanjutnya, dan itu paling cepat setengah jam kemudian. Setelah itu, jika ingin kembali ke Sapporo maka cara tercepat ia harus naik taksi. Tapi tetap saja, ia baru akan sampai di sana jam 8 pagi keesokan harinya. Yano mengacak rambut-rambutnya sendiri.
          Phoselnya kembali berdering. Ia segera menyambarnya.
“Take?” Ia menyapa tak sabar. Hening sesaat.
Yano ... dia masih di ICU. Dia ...” Take terisak. “Kau harus ke sini, Yano. Bagaimanapun caranya, kau harus ke sini. Ini tak adil untuk Nanami. Ini tak adil baginya.” Suara Take serak.
Yano menelan ludah.
Pulanglah. Temui Nanami. Kau berutang banyak padanya. Kau berutang air mata, penderitaan, kesedihan, dan ... waktu.
Yano menggigit bibirnya keras. Air matanya tak bisa berhenti mengalir.
Dengar sobat, kau mendapat kehormatan dariku. Aku merelakan Nanami untukmu padahal kau tahu bahwa dia satu-satunya wanita yang ku inginkan di dunia ini. Karena itu ... karena itu ... jangan sia-siakan pengorbananku, baka*!
Bibir Yano bergetar.
“Aku akan pulang, Take. Aku pasti pulang.” Ucapnya.
“Kami menunggumu.”
“Aku akan berhenti di stasiun berikutnya lalu ke sana dengan naik taksi. Paling cepat aku akan sampai di sana keesokan harinya.”
“Oke.”
Hening sesaat.
“Take ...” Panggil Yano dengan suara serak.
“Ya?”
“Jika terjadi sesuatu pada Nanami, jangan pernah memaafkanmu.”
Hening lagi.
Aku memang tak berniat memaafkanmu jika hal buruk menimpa Nanami.” Jawab Take. Yano  manggut-manggut.
“Bagus. Karena jika dia pergi, aku juga tak berencana hidup lagi.” Ia memutus pembicaraan.
Lelaki itu kembali menegakkan punggung lalu menyandarkannya di dinding. Kepalanya menengadah hingga air mata mengalir di pelipisnya.
Nanami ...
Jika ada orang yang mampu membuatku bertahan sampai saat ini, kaulah orangnya.
Kenyataan bahwa kita masih berada di bawah langit yang sama, membuatku kuat menghadapi semua cobaan hidup.
Karena itu, kau harus bertahan.
Aku akan menebus semua kesalahanku padamu.
Semuanya.

***

          Yano sampai di stasiun berikut dan segera mendapatkan taksi untuk membawanya kembali ke Sapporo. Pemuda itu menatap phonselnya sesaat setelah taksi yang ia tumpangi berjalan. Battery low.
Sebelum phonselnya mati, ia memutuskan untuk melakukan satu panggilan : ke nomor Nanami.
          Seperti yang  sudah ia duga, phonsel Nanami masih tidak aktif. Ia diterima mesin penjawab. Dan ia meninggalkan pesan suara di sana dengan suara serak.
“Nanami, aku akan pulang menemuimu. Aku akan meninggalkan segalanya, meninggalkan Tokyo, untukmu. Hanya kau yang paling penting. Hanya kau yang paling kuinginkan. Karena itu, bertahanlah. Tunggu kedatanganku. Oke?”
Dan phonselnya mati.

***

          Nanami sudah sadarkan diri. Keningnya memang menerima beberapa jahitan. Tapi cedera kepala yang ia alami tidak parah. Ia bahkan sudah bisa duduk dan mengobrol dengan lancar dengan para dokter dan suster.
          Setelah ruangan sepi,  ia kembali menatap phonselnya di atas meja. Phonsel itu sudah menyala. Dan ia tersenyum.
          Perempuan itu baru menyelesaikan sarapan paginya ketika ia mendengar derap langkah kaki yang kemudian di susul dengan pintu kamarnya yang terbuka secara kasar dan .... Yano muncul dari sana!
Ia mengenakan baju kasual dengan atasan lengan pendek. Tangannya menenteng jaket, sementara tangan yang satunya menenteng tas hitam yang seukuran tak ransel. Pemuda itu bermandikan peluh. Ia menatap langsung ke arah Nanami dengan nafas ngos-ngosan.
          Keduanya berpandangan.
          Hening.
“Aku ... baik-baik saja.” Nanami membuka suara. Yano menelan ludah. Perlahan ia tersenyum, lalu tertawa terbahak-bahak. Dan sekian detik kemudian ia menangis. Tas dan jaket yang ia tenteng meluncur begitu saja. Pemuda itu ambruk. Ia menjatuhkan lututnya ke lantai, melipat kedua tangannya di keramik yang lembab tersebut kemudian menyembunyikan wajahnya di sana. Dan bahunya terguncang. Pemuda itu terisak dengan hebat.
          Nanami melihat adegan itu dengan tertegun. Air matanya menitik. Perlahan ia menyingkap selimut yang menutupi kakinya, lalu dengan tertatih-tatih ia turun dari tempat tidur dan mendekati Yano yang masih terisak dengan hebat.
Dengan menahan nyeri di kening,  ia duduk bersimpuh di dekat pemuda tersebut. Ia mengulurkan tangan dan membelai  rambutnya dengan lembut, lalu meraih kepalanya ke pangkuannya. Dan tangis pemuda itu kian menjadi-jadi. Ia menangis meraung-raung seperti anak kecil, di pangkuan Nanami.
“Aku sudah mendengar pesanmu. Aku baik-baik saja... Aku menunggu kepulanganmu... Aku menepati janjiku ‘kan?” Nanami kembali membelai rambut Yano dengan lembut. Ia mencium puncak kepala Yano dan tangisnyapun ikut pecah. 

Yano ...
Sekarang aku sadar
Kau tidak melarikan diri
Kau hanya jalan-jalan sebentar
Lalu tersesat ....

Kompasmu rusak

Tapi syukurlah
Kau menemukan jalan pulang
Kau kembali, padaku

Kau telah mengalami banyak hal
Kau pasti lelah, ya ‘kan?
Apa semua terlalu menyakitkan buatmu?

Tenanglah
Semua baik-baik saja sekarang
Tak ada yang perlu dikhawatirkan
Tinggalah di sini, bersamaku
Dan beristirahatlah...

***

          Nanami menatap bayangannya di cermin. Perempuan itu tak berhenti tersenyum. Beberapa hari setelah ia diijinkan pulang dari Rumah Sakit, Yano kembali ke Tokyo. Bukan untuk selamanya. Ia kesana untuk membereskan beberapa pekerjaan dan juga meminta maaf pada Yuri karena tak bisa hadir di pemakaman ibunya.
          Dan hari ini, tepat satu bulan setelah Yano ke Tokyo, lelaki itu akan pulang ke sini, selamanya, sesuai janjinya. Ia bahkan sudah membereskan beberapa hal demi bisa  melakukan semua pekerjaannya dari Sapporo.
“Ibu, aku berangkat dulu.” Ia berpamitan pada ibunya yang tengah memasak di dapur. Ibunya tampak heran.
“Mau kemana?”
“Ke stasiun.” Jawab tanpa berhenti tersenyum.
“Untuk apa?”
“Ibu lupa ya? Hari ini Yano kembali. Dan aku berniat menjemputnya.”
Ibu Nanami menatap jam di dinding sekilas. “Tapi ini baru jam setengah lima pagi. Bukankah keretanya baru akan datang jam 7?”
Nanami tersenyum lagi.
“Tidak apa-apa. Aku hanya tidak ingin terlambat menjemputnya saja.” Ia beranjak dengan lincah.
          Dan benarlah, ketika ia sampai di stasiun, tempat itu masih lengang. Kereta yang ditumpangi Yano memang baru akan datang jam 7 nanti. Tapi ia tak keberatan menunggu.
          Perempuan itu mematung di platform, tepat di tepi rel kereta. Pandangannya menerawang ke arah ujung rel, tempat datangnya kereta yang baru akan muncul sekitar 2 jam lagi. Tiba-tiba ingatannya kembali pada peristiwa beberapa tahun yang lalu.
Di stasiun inilah ia mengantarkan Yano pertama kali ketika ia berangkat ke Tokyo. Dan di sinilah ia nyaris patah arang menanti ia kembali, tanpa kabar, selama bertahun-tahun. Nanami sempat berpikir bahwa segala kisah cintanya dengan Yano telah berakhir di sini. Tapi ternyata ia salah. Justru di sinilah, segalanya di mulai.
Lamunan Nanami buyar ketika ia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Aroma cologne yang amat familar. Sosok itu mendekatinya, menyentuh pundaknya, menelusuri lengan tangannya yang terbuka dengan gerakan perlahan, lalu tangan kekar itu menggenggam tangannya untuk kemudian menautkan jemari mereka.
Tidak. Nanami tidak perlu berbalik. Karena ia tahu, siapa sosok yang tengah berdiri di belakangnya, yang sekarang tengah menggenggam erat tangannya.
 Tadaimaa*.” Ia berbisik lembut di dekat telinga Nanami. Suara itu adalah suara yang amat ia kenal. Suara dari sosok manusia yang teramat ia rindukan. Nanami tersenyum. Kedua matanya berkaca-kaca. “Okaeri*.” Jawabnya. Ia memutar tubuh dan sosok Yano sudah berdiri dengan gagah di depannya. Pemuda itu tersenyum.
“Apa kau ke sini pagi-pagi buta begini hanya untuk melamun?” Ia bertanya dengan disertai tawa kecil. Mata itu berbinar-binar, begitu hidup.
“Aku menjemputmu.” Jawab Nanami.
“Sepagi ini?”
Nanami kembali kembali mengangguk. “Aku hanya tak ingin terlambat saja. Lagipula, bukankah keretamu seharusnya datang jam 7?”
Kali ini Yano nyengir.
“Aku sengaja naik kereta dengan jadwal lebih awal. Aku sudah ada di sini sejak setengah jam yang lalu. Aku tak mau terlambat saja.” Jawabnya. Ia menarik tangan Nanami, mendekatinya lalu mengecup kening perempuan itu dengan lembut.
“Aku kembali, untukmu.” Bisiknya. Nanami tersenyum.
“Selamat datang kembali.” Jawabnya seraya menghambur ke arah Yano dan memeluk pemuda itu erat.

***

          Musim panas.
Yano dan Nanami berjalan menyusuri pantai dengan bergandengan tangan. Mereka sepakat menghabiskan sore hari di hari minggu yang cerah itu dengan berjalan-jalan di sana.
“Kapan Take berangkat ke Amerika?” tanya Yano. “Dua minggu yang lalu.” Jawab Nanami. Yano manggut-manggut. Ia tahu bahwa Take memang memutuskan untuk menerima sebuah pekerjaan di Amerika. Sahabat terbaiknya itu juga sudah bicara secara pribadi kepada padanya untuk berpamitan. Tapi ia tak bisa mengantar keberangkatannya karena masih berada di Tokyo.
“Bagaimana dengan Yuri?”
“Baik-baik saja. Ia melanjutkan hidup dan tetap bekerja di toko roti. Ia juga sudah mencari tempat tinggal sendiri.” Jawab Yano. Nanami manggut-manggut. Keduanya terus melangkah menikmati pasir putih yang sesekali disapu ombak tenang.
“Aku mencintaimu, Nanami.” Ucap Yano.
“Aku juga.” Jawab Nanami.
“Aku mencintaimu.”
“Ya.”
“Aku mencintaimu.”
“O-ke...”
“Aku mencintaimu.”
“Hm...” Nanami manggut-manggut.
“Aku mencintaimu.”
“Hari ini aku sudah mendengarmu mengatakan kata-kata itu ratusan kali. Jadi cukup. Aku percaya. Oke.” Nanami menatap lelaki di sampingnya dengan sebal. Yano malah tertawa.
“Aku hanya ingin membayar waktu 5 tahun yang telah kusia-siakan. Ibaratnya setiap hari aku ingin mengatakan ‘aku mencintaimu’ sepuluh kali, dan seharusnya kata-kata itu selalu kuucapkan sejak 5 tahun yang lalu, jadi berapa kata yang sudah kulewatkan? Apa kita perlu menghitungnya? Kau bawa kalkulator?”
Nanami tergelak. Sebuah toyoran di terima Yano di pundaknya. Lelaki itu ikut tertawa.
“Ada hal penting yang ingin ku katakan padamu.” Ucap Yano. Langkah Nanami terhenti tiba-tiba, begitu pula lelaki di sampingnya.  “Apa lagi?” Nanami menatap Yano dengan penuh selidik dan was-was.     
          Yano tersenyum. Ia melepaskan pegangan tangannya lalu mundur beberapa langkah. Lelaki itu menatap lurus ke mata Nanami.
“Nanami Takashi.”
“Ya?” Jawab Nanami dengan sedikit gugup.
“Aku mencintaimu.”
Nanami tersenyum.
“Kau tahu bahwa hatiku adalah milikmu. Sejak dulu. Tapi aku akan tetap mengatakan ini padamu, ratusan kali. Jadi, maukah kau menerimanya lagi?” ucap Yano lagi.
Nanami masih terus tersenyum.
“Hatimu terlalu berat. Bagaimana jika aku tak mampu menerimanya?”
“Karena hati itu berharga, bukankah memang sudah seharusnya berat?”
Nanami tergelak. “Kau benar. Baik, akan kuterima.” Jawabnya.
“Dan ... kau tahu bahwa aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Jadi ....”
          Nanami berubah takjub ketika tiba-tiba Yano berlutut di hadapannya, lalu merogoh sesuatu dari kantong celananya. Kedua matanya segera berkaca-kaca ketika lelaki itu menyodorkan sebuah cincin emas bermata emerald ke arahnya.
“Jadilah keluargaku, Nanami.” Ucapnya.  
“Will you be my family?” Lanjutnya.
Tanpa sadar, air mata Nanami menitik, ia terharu.
“Tapi aku tak bisa masak?” Suaranya bergetar.
Yano menggeleng. “Tak masalah. Aku pernah bekerja di rumah makan. Aku pernah hidup sendiri. Ketika ibuku sakit, akulah yang memasak untuknya. Kelak, biar aku yang memasak untukmu.” Jawabnya.
“Beberapa bulan ini aku makin gendut.”
Yano mengangkat bahu cuek. “Aku tak suka perempuan kurus.” Jawabnya. “Oke, apa lagi?” Kali ini ia bangkit, melangkah perlahan mendekati perempuan di hadapannya.
“Setelah kecelakaan itu, aku cuti terlalu lama. Mungkin aku akan dipecat dan ... aku akan jadi pengangguran.” Ucap Nanami lagi. Air matanya terus menitik.
“Setelah kita berkeluarga, aku ingin kau di rumah. Mengantarkanku ketika aku berangkat kerja, dan menyambutku ketika aku pulang ke rumah. Jadi, tak masalah jika kau tak punya pekerjaan.” Jawab Yano.
“Dan dokter bilang, jahitan di keningku tidak akan bisa hilang.” Nanami sesenggukan.
Yano memiringkan kepalanya dan mengamati luka di kening Nanami.
“Luka itu seksi. Tak masalah juga.” Jawab Yano.
“Jadi ...”
Nanami menatap lelaki dihadapannya dengan perasaan haru luar biasa. Perlahan ia mengangguk. “Iya, aku bersedia.” Jawabnya. Yano tersenyum. Ia meraih tangan Nanami, lalu menyematkan cincin itu di jari manisnya. Dan tanpa mengatakan apapun, ia merengkuh perempuan itu ke dekapannya lalu memeluknya. Erat. Ada banyak hal yang ingin ia ungkapkan sebagai pembayaran atas tahun-tahun yang telah mereka lewatkan. Tapi untuk saat ini, cukup seperti ini. Ia berjanji, ia pasti akan segera membayarnya, berkali lipat.
          Ia akan memberi Nanami cinta, sebanyak yang ia minta.
          Untuknya.
          Hanya untuknya.

          “Aku mencintaimu.” Yano kembali berbisik. Dan ia sadar, air matanya juga menitik. Karena bahagia.



***
Yano ....
Seseorang mengatakan bahwa kenangan dibuat dengan memadukan berbagai fragmen dari apa yang terjadi di masa lalu. Dan untuk sebagian orang, kenangan tak ubahnya seperti ilusi.
Dulu aku juga berpikir seperti itu.
Tapi kenyataan bahwa sekarang kita berada di sini adalah bukti bahwa kita ... ada.

Ibarat sebuah perjalanan...
Ada kalanya kita tersesat
Apa seharusnya kita berhenti?
Atau memutar arah?
Atau tetap berjalan meski jalannya berbatu?
Pilihan apapun yang kita ambil, itulah yang membawa kita pada kehidupan yang sekarang
Kadang kita salah, kadang kita benar
Tapi, itulah yang disebut kenangan.
Jejak kehidupan.

Yano ...
Setelah apa yang kita alami selama ini
Sekarang aku sadar
Aku.
Dilahirkan.
Untuk bertemu denganmu.

Arigatou...
Daisuki dayo...

***

Selesai







Tidak ada komentar:

Posting Komentar