well, biarkan aku jadi sutradara... (fanfiction aja deh..)
dan karakternya adalah :
![]() |
Park Si Yeon as Karenina |
![]() |
Choi Woo Hyuk as Alex |
Karenina mengangkat kopernya dengan tergesa-gesa.
Bi Sumi yang menggendong Alea, putrinya yang baru berumur 9 bulan, juga
mengikuti langkahnya dengan tergesa-gesa. “kita harus cepat, Bi. Acaranya sudah
mau dimulai. Aku tak mau ketinggalan,” ujarnya. Bi Sumi hanya menyahut pendek.
Ketika sampai di lobby hotel, langkah Karenina
terhenti ketika seorang pemuda menghampirinya.
“Tante, maaf mengganggu. Tapi ini keadaan darurat.
Tolong pinjami saya hp, tante,”
Karenina mengernyitkan dahinya. Tante? Panggilan ini
terdengar begitu sensitif di telinganya.
Apakah ia sudah kelihatan tua? Oke, dia memang
sudah punya anak, tapi umurnya baru 29 tahun, setidaknya belum ada 30-an ‘kan?
Jadi, masih terlalu dini untuk dipanggil tante.
“maaf, tapi saya terburu-buru,”
“tante, plis!”
“tapi...,”
“ini menyangkut hidup mati seseorang!” suara
pemuda itu meninggi. Karenina melongo. Hah?
“oke, oke,” ia mengeluarkan hp dari dalam tasnya
lalu menyodorkannya ke arah pemuda tersebut.
“Bi, tolong bawa Alea ke kamar, nanti aku menyusul,”
ucapnya pada bi Sumi. Perempuan paruh baya itu mengangguk lalu beranjak.
Karenina melirik arlojinya. 5 menit lagi acara
diklat jurnalistik yang di adakan di
aula hotel dimulai. Ia benar-benar tak ingin melewatkan semenit pun. Ini
kesempatan emas baginya untuk menambah wawasan tentang tulis menulis.
“maaf, aku sedang terburu-buru. Bisakah kau lebih
cepat sedikit,” Karenina mulai tak sabar.
Pemuda itu seakan tak menggubris. Beberapa kali ia
terlihat melakukan panggilan tapi sepertinya tak ada jawaban. Wajahnya tampak
gusar.
Karenina menarik nafas panjang.
Ini tak
bisa dibiarkan! Pemuda asing ini tak boleh mengacaukan segalanya!
Akhirnya, dengan sangat terpaksa, langkah terakhir
yang ia tempuh adalah menyambar hape dari tangan pemuda tersebut lalu segera
melarikan diri.
“maaf, aku sedang terburu-buru, pinjam saja hape
pada orang lain!” teriaknya.
Pemuda itu sempat melongo. “tante, aku sedang
menunggu sms balasan!”
Karenina tak menggubris. Ia terus berlari tanpa
mempedulikan pemuda tersebut.
Pemuda itu hanya bisa mengacak-acak rambutnya
dengan kesal.
***
Karenina
berhasil mengikuti acara 2 menit sebelum acara di mulai. Di tengah-tengah
acara, tiba-tiba hp-nya berbunyi. Sebuah
pesan bertambah di kotak masuk. Nomor yang tak di kenal.
Jangan
mencariku lagi. Aku pergi. Maaf.
Sejenak Karenina tercenung bingung. Tapi, ia
kemudian ingat dengan pemuda yang meminjam hp-nya di lobby tadi.
Ia mengecek pesan di kotak keluar. Beberapa pesan
terkirim ke nomor yang sama, nomor asing yang baru saja berkirim sms.
Kamu ada
di mana?
Balas
sms-ku.
Angkat
telponku!
Jangan
membuatku cemas!
Aku
mencintaimu, jangan pergi begitu saja.
Karenina sempat tersenyum. Haha, masalah
percintaan anak muda rupanya.
“dasar bocah, aku tak tahu harus bagaimana
menyampaikan pesan ini padamu. Tapi kalau kelak kita bertemu, aku pasti akan
menyampaikannya padamu. Tapi jika tidak, maaf ya,”
Karenina menggumam pelan tanpa membalas sms
tersebut.
***
Karenina
mencium tangan putrinya yang mulai merangkah tersebut dengan lembut. “Kasihan
anak mama, kangen ya? Jalan-jalan ke pantai, yuk,” ujarnya. Bocah 9 bulan itu
tertawa riang di gendongan ibunya.
“Bi, aku ingin mengajak Alea jalan-jalan ke
pantai,”
“perlu di temani, bu?”
“tidak, hanya sebentar saja kok,”
Karenina beranjak. Jarak pantai dengan hotel
tempat ia menginap memang tidak terlau jauh, jadi ia merasa tak perlu di temani
oleh pembantunya.
Ketika sampai di sana, ia menatap sesosok pemuda
tampan yang tengah duduk termangu menatap laut lepas. Ia sempat ragu, namun
akhirnya merasa yakin bahwa itu adalah pemuda yang sama yang pernah meminjam
hape-nya di lobby hotel, beberapa hari yang lalu.
Ia sempat mematung beberapa saat sebelum akhirnya
memutuskan untuk menyapanya.
“halo, kau masih ingat padaku?”
Pemuda itu mendongak, matanya menyipit penuh tanda
tanya.
‘beberapa hari yang lalu kau meminjam hape-ku di
lobby hotel,” Karenina berusaha untuk mengingatkan kembali. Sekian detik
kemudian, sebuah senyum menawan mulai merekah di bibir pemuda tersebut. Ia
berdiri.
Karenina terkesiap, ia tak menyangka ternyata
pemuda itu begitu tinggi. Tubuhnya menjulang sekitar 185 cm. Lebih tinggi 10 cm
dari suaminya.
Oke, ini memang bukan pertemuannya yang pertama
kali. Tapi, jujur ia tidak begitu memperhatikan ketika beberapa hari yang lalu
bertemu dengannya di lobby hotel.
“oh, tante? Aduh, maaf banget ya waktu itu aku
mengganggu. Aku merasa panik karena ternyata hape-ku ketinggalan di kamar hotel
sementara aku harus cepat-cepat menemukan__” pemuda itu menghentikan
kata-katanya. “ah, sudahlah. Tak perlu di bahas lagi,” lanjutnya kemudian.
Karenina tersenyum.
“It’s ok. Tapi aku juga minta maaf karena aku
tidak bisa membantumu terlalu jauh. Aku benar-benar terburu-buru waktu itu. Mm,
tapi aku ingin menyampaikan pesan,”
‘pesan?” pemuda itu mengangkat alis. Karenina
mengangguk. Tapi sesaat kemudian terdengar ia mengeluh. Hp-nya ada di kamar
hotel!
“maaf, aku tidak bermaksud mempermainkanmu. Tapi,
aku lupa membawa hape-ku,”
Pemuda itu kembali tersenyum.
“tidak apa-apa, tante,”
“dia bilang dia ingin pergi dan jangan mencarinya
lagi. Itu sms yang aku terima. Kau boleh tidak percaya kalau kau tidak ingin
mempercayainya. Tapi, itu yang sebenarnya. Maaf membuatmu kecewa,”
Pemuda itu tersenyum kecut. Sesaat perhatiannya
beralih pada Alea yang ada di gendongan Karenina. “ini anak tante?” Karenina
mengangguk.
“hallo, sayang. Kenalan sama Om yuk. Ih, lucu
banget. Cantik lagi, kayak ibunya,”
Pemuda itu tak menyadari bahwa kata-katanya sempat
membuat pipi Karenina merona. Walau hanya sekian detik. Sesaat sebelum pergi,
pemuda itu memperkenalkan dirinya.
“aku Richard Alexander, tante. Kalo kita ketemu
lagi, panggil saja Lex, atau Alex, atau Richard. Tante___”
“Karenina,”
“semoga kita ketemu lagi, cantik,”
Nah, kalimat yang ini tidak membuat pipi Karenina
merona lagi karena pemuda bernama Richard Alexander itu mengucapkannya pada
Alea.
***
Hari
itu Karenina mendapat tugas untuk menulis laporan tentang kegiatan di kampung
nelayan yang terletak di pulau seberang. Peserta diklat jurnalistik telah
dibagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 orang
peserta. Masing-masing kelompok telah di terjunkan di beberapa lokasi yang
berbeda.
Dengan naik perahu motor, hanya perlu waktu 10
menit untuk sampai di pulau seberang. Meski melelahkan, Karenina betul-betul
menikmati kegiatan tersebut.
Ketika waktu menunjukkan jam 3 sore, ketua
kelompok menginstruksikan semua anggotanya untuk segera kembali ke perahu
motor.
Karenina baru saja akan melangkahkan kakinya
ketika sepasang mata beningnya menangkap sesosok tubuh jangkung yang melangkah
menuju tebing. Richard Alexander! Ya,
tak salah lagi. Pemuda itu adalah dia!
Kenapa
dia ada di sini? Karenina
bertanya-tanya dalam hati. Tapi, beberapa detik kemudian ia tersentak. Astaga, jangan-jangan bocah itu ingin bunuh
diri!?
Karenina beranjak. “hei, mau kemana? Kita sudah
mau balik!”
“kalian duluan saja, aku masih ada urusan
penting,”
Karenina berlari menyusul sesosok tubuh jangkung
itu tanpa mempedulikan teriakan rekan-rekannya.
“stop! Berhenti di situ!”
Alex menoleh. Ia tampak kaget melihat Karenina.
“Kau ingin bunuh diri karena putus cinta!? Apa
otakmu sudah tidak waras!?”
Alex mengernyitkan dahinya. “what?”
“dasar bocah! Perempuan itu memang sudah
meninggalkanmu, tapi bukan berarti kamu harus bunuh diri dengan loncat dari
atas tebing!”
Alex melongo mendengar ocehan Karenina.
“Apa? Aku bunuh diri? Loncat dari atas tebing?
Maksud __ tante?”
Sesaat kemudian, Alex tertawa terbahak-bahak.
Karenina terdiam. Mencoba mencerna sikap pemuda tersebut.
“Oh God, tidak. Tante pasti salah paham. Aku tidak
pernah berniat bunuh diri, apalagi terjun dari atas tebing. Aku hanya ingin
memotret __ sunset,” ia menunjukkan kamera polaroid yang di tentengnya.
Karenina mendesah, menyadari kekeliruannya.
“astaga, ku pikir kau ingin bunuh diri,” gumamnya.
Alex kembali tertawa.
“tante, plis deh. Jangan paranoid. Tebing ini gak
begitu tinggi. Apa tante pikir aku bisa mati hanya dengan loncat dari sini?”
Karenina kembali mendesah. “kau benar, harusnya
aku juga berpikir sampai ke situ,” jawabnya.
“ngomong-ngomong, sedang apa tante di sini?’
Kata-kata Alex membuat Karenina tersadar. “astaga,
mereka pasti benar-benar telah meninggalkan aku!” pekiknya.
Perempuan itu beranjak. “siapa__?” Alex mengikuti
langkahnya. “aku pikir aku akan menyelamatkanmu dari usaha bunuh diri hingga
tanpa sadar aku telah menyuruh rekan-rekanku untuk kembali ke hotel terlebih
dahulu,” ia menuruni jalanan menurun dengan tergesa-gesa.
“rekan-rekan siapa?” Alex mengekor di belakangnya. “ceritanya panjang,” Karenina menjawab tanpa melihat ke arah pemuda tersebut. tapi, sesaat kemudian__
“tante, awas!” Alex memekik ketika
tiba-tiba Karenina terpeleset dan tubuhnya terpelanting beberapa meter dari
atas bukit. Ia menjerit dan meringis kesakitan.
“astaga, tante tak apa-apa?” Alex menghampirinya
dengan wajah cemas.
Karenina tak menjawab. Alex membantunya berdiri. Perempuan
itu menjerit.
“kakiku sakit!” teriaknya. “sepertinya kaki tante terkilir,”
“tolong bantu aku ___” Karenina belum sempat
melanjutkan kata-katanya ketika tiba-tiba Alex berlutut lalu membopong tubuhnya
dan membawanya menuruni bukit dengan hati-hati.
“Astaga, kau tidak perlu menggendongku. Kau hanya
perlu memapahku saja. Toh aku masih bisa berjalan. Turunkan aku,”
“ aku akan membawa tante ke rumah salah satu
penduduk agar kaki tante bisa segera di obati,”
“tidak, aku ingin segera kembali ke hotel,”
‘tante lihat ‘kan? Tidak ada lagi perahu motor.
Rekan-rekan tante pasti telah kembali terlebih dahulu,”
“lantas?”
“Kita tunggu perahu motor berikutnya. Sekitar 3
jam lagi,’
“apa!?” Karenina berteriak nyaris di dekat telinga
Alex.
***
“merasa lebih baik?” tanya Alex.
Karenina mengangguk. Setelah di pijit Alex, pergelangan kakinya yang terkilir
memang terasa membaik.
“memar di kening tante akan hilang dalam 2 atau 3
hari. Tidak usah terlalu khawatir,”
Karenina kembali mengangguk. “thanks,” jawabnya.
“jangan khawati, sekitar 30 menit lagi akan ada
perahu motor. Tidak sampai 3 jam. Tadi aku hanya bercanda,”
Karenina manggut-manggut. Bocah ini sepertinya
memang ahli membuat sport jantung.
‘jadi tante ingin menjadi wartawan?” Alex duduk di
samping Karenina.
Perempuan itu menggeleng. “tidak, aku ingin jadi
novelis,”
Alex mengernyitkan dahinya.
‘ingin jadi novelis kenapa tante ikut diklat
jurnalistik?”
“hanya ingin menambah pengetahuan aja,” jawabnya
kemudian sambil memijit sendiri pergelangan kakinya dengan pelan.
Alex memandangi perempuan itu dengan seksama.
Andai saja ini pertemuan pertama dengannya, ia pasti benar-benar terkecoh.
Sepatu kets, celana jins, kaos lengan pendek,
tubuh ramping, wajah cantik alami tanpa sentuhan make-up, rambut hitam panjang
yang di kuncir kuda, astaga, perempuan ini benar-benar cantik.
Beberapa helai rambut yang jatuh menimpa wajahnya
sempat membuat Alex ingin menyentuhnya lalu menyelipkannya di belakang
telinganya.
Tapi, ia segera mendapatkan kembali akal sehatnya.
“tante benar-benar sudah menikah?”
Karenina mendelik ke arah Alex. “aku punya anak,
tentu saja sudah menikah. Apa kau pikir aku hamil di luar nikah?’
‘jadi Alea itu benar-benar anak tante?”
Karenina kembali mendelik.
“hei, bocah, kalau dia anak tetanggaku, aku tidak
akan repot-repot membawanya kemari,”
“ya maaf, aku hanya merasa bahwa payudara tante
terlalu kecil untuk ukuran wanita yang menyusui, yang rata-rata punya ukuran
agak__besar. Makanya aku menanyakannya,”
Karenina melotot.
“dasar bocah, bicaralah lebih sopan! Bagaimanapun
juga aku ini lebih tua darimu. Jika kau bertanya lagi tentang payudara, akan ku
laporkan kau ke polisi atas tuduhan pelecehan seksual!”
“tante, aku menanyakan sesuatu hal yang ilmiah,
kurang sopan bagaimana? Dan, jangan memanggilku bocah. Aku bukan anak es-em-a
lagi,’
“lantas, kenapa kau terus memanggilku tante?
Apakah umurku sudah terlihat begitu tua?”
“karena lebih tua, maka ku panggil tante,”
‘dan karena lebih muda maka kau ku panggil bocah.
Umurmu pasti belum genap 20 tahun?’
“dua bulan lagi umurku genap 21 tahun,”
“Mahasiswa?”
“sudah lulus. Sekarang masih pengangguran,”
“Oke, semoga cepat dapat pekerjaan,”
“thanks,”
Obrolan keduanya terhenti ketika tiba-tiba hp
Karenina berbunyi. Seketika wajahnya berubah jadi tegang ketika tahu siapa yang
menelpon. Beberapa saat ia sempat menarik nafas panjang sebelum menerima telpon
tersebut.
“hai, sayang. Aku baik, Alea juga baik. Ya, aku
sangat menikmati liburan ini. Sekarang? Mm__aku sedang jalan-jalan di pantai
bersama Alea sambil menikmati sunset. 3 minggu lagi
baru ke Indonesia. Oke, oke, bye,” pembicaraan
terhenti. Alex menatapnya dengan penuh selidik.
“apakah sekarang kita sedang berjalan-jalan di
pantai sambil menikmati sunset?”
Karenina tak menjawab.
“tante berbohong pada suami tante?”
“tidak. Aku hanya___”
“astaga! Tante berselingkuh? Apakah tante kesini
untuk menemui selingkuhan tante?”
Karenina tersentak. Tapi ia tak marah. Sesaat
kemudian ia malah tergelak.
“ya ampun, bocah macam apa sebenarnya kau ini?
Sejak kau tadi kau bicara ceplas-ceplos seenak perutmu! kenapa kau bisa
mengambil kesimpulan seperti itu? Tidak! Aku tidak berselingkuh. Aku hanya
melakukan sedikit kebohongan padanya,”
“sedikit?”
Karenina mengangguk.
“semacam apa?”
“aku meminta ijinnya untuk berlibur kesini. Padahal
tujuanku yang sebenarnya adalah aku ingin mengikuti diklat jurnalistik yang
diselenggarakan salah satu media cetak terbesar di negara ini,”
Alex mengernyitkan dahinya.
“itu bukan hal yang buruk ‘kan? Kenapa harus
berbohong?”
“karena dia tidak mau aku jadi penulis,”
Karenina terdiam sesaat.
“Al, suamiku bukan tipe orang yang suka bila
istrinya bekerja,”
Tanpa sadar ia memanggil Alex dengan sebuatan
‘Al’. Dan entah kenapa, Alex senang mendengarnya. Biasanya ia dipanggil Lex,
Alex, atau nama depannya, Richard. Dan, Karenina adalah orang yang pertama kali
memanggilnya ‘Al’.
“ia menginginkan aku menjadi ibu rumah tangga
biasa. Mengurus rumah, mengurus anak-anak, dan juga mengurus suami. Ia tak mau
aku menjalani karir, apapun bentuknya. Ia takut jika aku berkarir, maka
konsentrasiku pada keluarga akan berkurang,’
‘apa tante
orang yang kurang bisa membagi waktu?”
“tentu saja tidak. Aku yakin bahwa aku bisa
membagi waktuku antara keluarga dan pekerjaan. Hanya saja, suamiku tidak
menghendakinya,’
Karenina terdiam. Astaga, ia menceritakan
kehidupan keluarganya pada orang ini? Pemuda yang baru ia kenal beberapa saat yang lalu? Ada apa
dengannya?
“sudahlah, aku tidak ingin membicarakannya lagi,”
Alex manggut-manggut. “oke,” jawabnya.
“lantas, bagaimana denganmu? Apa kau berhasil
menemuinya?”
“siapa?”
“pacarmu. Perempuan yang kau kejar di lobi hotel
ketika kita pertama kali bertemu,”
Alex tak menjawab. Karenina menyadari kebodohannya
karena menanyakan sesuatu yang pribadi pada orang yang baru ia kenal.
“sori kalau aku menanyakan sesuatu yang pribadi,”
“aku tidak berhasil menemuinya,” Alex membuka
suara.
“selama disini aku merenung. Dan sepertinya,
berpisah dengannya adalah jalan yang terbaik. Aku mencintainya, tante. Tapi aku
terlalu capek untuk diinterogasi,”
“diinterogasi?” Karenina bertanya dengan penuh
keheranan.
“ya, aku capek di interogasi, dan aku capek
bertengkar dengannya. Dia tak pernah percaya padaku secara tulus. Apapun yang
kulakukan, ia selalu memata-mataiku. Di mana? Dengan siapa? Sedang apa?
Melelahkan sekali menjalani hubungan seperti ini,”
“astaga, apa kau punya kredibilitas yang buruk
hingga ia tak pernah percaya padamu?”
‘tidak, asal tante tahu aku adalah pria yang
setia. Hanya saja, ada sedikit kesalahpahaman di antara kami. Dia memergoki aku
makan malam dengan salah satu teman wanitaku, jadi dia pikir___”
‘kau mengkhianatinya!?”
“Berkhianat?
Oh God, never! Aku tak pernah berkhianat. Aku selalu setia menjaga komitmen
yang telah kubuat bersama pasanganku, meskipun aku punya banyak penggemar
wanita. Itu adalah makan malam biasa. Dan tidak lebih. Dia adalah teman masa
kecilku, dan kami hanya sekedar melepas kangen karena lama tak bertemu.
Lagipula, sebetulnya kami makan malam beramai-ramai. Ada beberapa teman lain
yang bersama kami. Aku berusaha menjelaskan itu. Tapi Anna tak pernah
mempercayainya,’
‘Anna?”
“Pacarku, ah, tidak, mungkin sekarang akan lebih
tepat menyebutnya mantan pacar,”
Karenina manggut-manggut.
“Anna bilang, dia pergi berlibur ke pulau ini
untuk menenangkan diri. Aku menyusulnya jauh-jauh dari Jakarta untuk
menjernihkan masalah kami. Tapi seperti yang tante
tahu, ia bahkan tak mau menemuiku,”
“apa dia perempuan yang terlalu posesif?”
‘entahlah, yang jelas, aku lelah dengan hubungan
kami,”
“tapi sepertinya kau teramat mencintainya?”
“waktu pasti akan membuatku melupakannya,”
“Sudah berapa lama kalian berhubungan?”
“Sekitar 2 tahun,’
“Wah, itu termsuk lama. Sepertinya hubungan kalian
tidak main-main,”
‘tante, aku tak pernah bermain-main dengan hati
seseorang,” jawaban Alex terdengar kesal.
“Oke, oke, sori. Dia teman semasa kuliah?”
Alex mengangguk.
“pastinya dia orang yang cantik,”
‘Tentu, aku punya selera yang tinggi soal wanita,”
“Lantas, kenapa kau tetap ingin berpisah
dengannya?”
Alex menatap Karenina dengan lekat.
“Apakah
tante sadar bahwa tante baru saja menanyakan tentang kehidupan pribadiku?”
Karenina membalas tatapan itu dengan tegas.
‘Dan apakah kau sadar bahwa aku juga telah
menceritakan sedikit kehidupan pribadiku padamu?”
Keduanya berpandangan.
“Apakah ini berarti bahwa kita telah menjadi
teman?” tanya Alex.
“Menurutmu?” Karenina balik bertanya.
“Sepertinya kita akan jadi teman baik,”
“Oke,”
“Oke,” Karenina memberikan jawaban yang sama.
Keduanya tertawa. Alex merasakan keanehan pada
dirinya. Ia baru saja menceritakan sedikit kehidupan pribadinya pada seseorang
yang baru ia kenal. Padahal, ia bukan tipe orang yang suka menceritakan
kehidupan pribadinya pada orang lain. Bahkan pada keluarganya sekalipun.
Astaga, ada apa dengannya?
“Tante__”
“Kenapa kau suka memanggilku tante?” Karenina
memotong.
“Maaf, ini kebiasaan. Karena tanteku juga seumuran
dengan tante. Jadi, ketika kita pertama kali bertemu, reflek saja aku memanggil
tante. Tante tidak suka panggilan itu?”
“Aku __?”
“Maaf, aku tidak bisa menghentikan panggilan itu,”
“Kenapa?”
“Karena panggilan itu terdengar seru sekali. Kita
sepertinya punya hubungan yang unik, tidak hanya sekedar teman baik,”
Karenina tertawa. “Dasar bocah, kau
kekanak-kanakan sekali,”
Obrolan mereka terhenti ketika sebuah perahu motor
datang. Keduanya menarik nafas lega. Alex kembali menggendong dan membantu
Karenina
menaiki perahu motor. Perlu waktu sekitar 20 menit
untuk sampai ke hotel tempat Karenina menginap.
“Aku akan membantu tante ke kamar,”
“Tidak, terima kasih. Aku bisa ke kamar sendiri.
Percayalah, kakiku sudah jauh lebih baik,” Karenina menolak dengan halus.
“Tante yakin?”
Karenina mengangguk.
“Oke, bisa pinjam hp-nya?”
“Lagi?”
Alex mengangguk. “Bukankah kau membawa hp sendiri?”
“Plis,”
Karenina tak kuasa menolak. Ia meraih phonsel di
tasnya dan mengulurkannya pada Alex. Sesaat kemudian ia tampak mengetikkan
sesuatu. “sudah,” ia mengulurkan kembali phonsel tersebut ke arah Karenina.
“Hanya begitu?” Karenina keheranan.
“Ya, aku sudah menyimpan nomorku di hape tante.
Kalau tante butuh apa-apa, tante bisa telpon aku. Oke?”
Karenina tertawa. Pintar sekali bocah ini.
“Oke, thanks ya. Bye,” ia beranjak dengan
tertatih-tatih.
Lanjut ke part 2