Senin, 28 April 2014

cerpen "Bonsai" part 2



Aku terduduk lesu di depan bu Mutia. Siang itu ketika waktu istirahat, aku nekat menemuinya untuk mengatakan bahwa aku ingin berhenti sekolah. Tentu saja wali kelasku yang baik hati itu kaget bukan kepalang. “Ndar, kamu sadar dengan apa yang kamu bicarakan?”  Aku mengangguk. “tekad saya sudah bulat,Bu.  Saya ingin berhenti sekolah,”       “Alasannya...?”      “saya sudah tidak punya biaya lagi untuk melanjutkan sekolah,” jawabku. Bu Mutia menatapku lekat. Sorot matanya tegas. Aku menunduk. Jujur, aku tak berani beradu pandang dengan Beliau. Aku merasa kecil, dekil! Padahal beliau mempunyai sorot mata yang teduh dan nyaman.
“Ndar, kamu bohong pada Ibu. Ibu tahu itu... bukankah sebagian biaya sekolahmu ditanggung oleh sekolah. Kamu ‘kan sudah mendapatkan beasiswa untuk murid tidak mampu. Dan rumahmu juga tidak terlalu jauh dengan sekolah sehingga kamu selalu pulang dan pergi ke sekolah dengan jalan kaki. Kamu tidak pernah keluar ongkos untuk naik kendaraan umum. Jadi, bagaimana mungkin kamu mengatakan bahwa kamu sedang dalam kesulitan biaya sekolah? Alasanmu tidak masuk akal,”
Aku terdiam. Aku tahu bu Mutia adalah orang yang sangat teliti. Tentunya akan sulit bagiku untuk  mengelabuinya.
“Ibu tahu bukan itu alasannya. Sekarang, jelaskan pada ibu, ada apa sebenarnya? Kamu ada masalah dengan keluargamu?”   Aku menggeleng.
“Dengan teman-temanmu?”    Aku kembali menggeleng.
“lantas...?”    Aku tak segera menjawab.
“saya malu, bu....” jawabku kemudian.
Bu Mutia mengernyitkan dahinya. “Malu kenapa...?” aku terdiam sesaat.
“Saya malu, bu. Saya malu dengan fisikku yang tidak sempurna. Saya malu di panggil bonsai. Saya malu di katakan cebol oleh teman-teman.....”
Bu Mutia membelalak. “Astagfirullah..... Ndar, siapa yang bilang begitu?” Bu Mutia beranjak dari kursinya lalu memelukku dengan lembut. “setahu ibu, semua baik-baik saja...”
Aku menggeleng. Air mataku menitik. “enggak, bu. Mereka sering mengolok-olok saya dengan sebutan bonsai. Saya....”
Bu mutia menatapku dengan lembut. Beliau membantuku menyeka air mataku yang mulai berderai. “Ndar, selama ini ibu mengenalmu sebagi manusia yang kuat dan tegar. Tapi kenapa sekarang kamu jadi lemah begini...?”
“Bu ...........”       “Nanti sore, datanglah ke rumah ibu. Kita bicarakan ini di sana, empat mata. Oke?”     “tapi Bu...?”    “Ibu tunggu,”

***


Aku berdiri mematung selama beberapa detik. Kutatap rumah sederhana yang berada di depanku. Rumah sederhana bercat biru yang dipenuhi dengan bunga melati. Bunga melati dimana-mana. Di halaman rumah, di pot-pot, di teras rumah. Ah, itu adalah bunga kesukaan bu Mutia. Sesaat aku kembali bimbang. Masuk ke rumah itu? Ataukah kembali pulang? Pulang? Ataukah...
“Ndar, kok berdiri di situ? Ayo masuk!”  Suara itu membuyarkan lamunanku. Seorang wanita setengah baya dengan jilbab warna merah tua berdiri di depan pintu. Senyumnya yang hangat membuat kakiku tergerak untuk mendekat. Kucium punggung tangannya, Beliau membelai kepalaku dengan lembut lalu mempersilakanku masuk.
“Ayo silakan duduk. Ibu buatkan minum dulu ya..” Bu Mutia beranjak.
Aku menatap sekelilingku. Ini pertama kalinya aku ke sini. Rumah yang begitu nyaman. Beberapa lukisan besar tergantung di dinding. Lukisan yang indah. Pastinya harganya mahal..
Benda-benda antik terpajang di sudut ruangan. Hai, apakah itu hand made? Antik sekali. Rumah ini seperti museum benda-benda bersejarah. Sayup-sayup aku juga mendengar suara musik yang mengalir dengan lembut dan ... merdu sekali. Aku buta soal musik. Tapi, jujur, musiknya enak sekali untuk di dengar telinga. Ah, ini seperti terapi menenangkan jiwa. Haha....
“Ibu tetap tidak setuju kalau kamu ingin berhenti sekolah. Apalagi alasanmu begitu tidak masuk akal buat ibu,”  Bu Mutia muncul sambil membawa baki berisi secangkir teh dan setoples roti kering.
“Ayo diminum dulu ....”
“keinginan saya sudah bulat, bu.”  Perhatianku tidak bisa beralih ke arah minuman yang beliau suguhkan.
“Kenapa sih, Ndar? Selama ini ibu mengenalmu sebagai cewek yang cuek, tegar, dan kuat. Kamu tidak pernah care dengan ucapan-ucapan mereka.  Selama ini kamu selalu menganggapnya lelucon. Kenapa sekarang kamu berubah..?”     “pokoknya saya  malu, bu...”  Bu Mutia menarik nafas panjang.
“Ndar, coba lihat lukisan yang ada di sana!”  Bu Mutia menunjuk ke arah 3 lukisan yang terpajang di dinding. Lukisan yang besar dan indah. Aku sudah mengamatinya sedari tadi..
“bagaimana menurutmu? Indah bukan?”  sesaat aku tak mengerti dengan maksud dan arah pembicaraan bu Mutia. Tapi pada akhirnya, aku mengangguk.
“apakah Ibu sedang menyuruhku menjadi pelukis?”   Mendengar pertanyaanku, bu Mutia tertawa.
“haha,tentu saja tidak. Ibu Cuma ingin tahu pendapatmu tentang lukisan itu,”
“Lukisannya bagus. Tentu pelukisnya adalah orang beruntung yang di anugerahi bakat besar oleh Tuhan sehingga mampu menggerakkan tangannya untuk membuat lukisan sebagus itu...”
Bu Mutia tersenyum mendengar jawabanku. “Kamu benar, Ndar. Mereka adalah orang beruntung yang di anugerahi Tuhan bakat besar. Lukisan itu dilukis dengan kaki. Sedangkan dua di antaranya dilukis dengan menggunakan mulut...”
Aku mengernyitkan dahiku.
“kenapa, bu? Apakah mereka pemain sirkus ...?”
“bukan, Ndar. Tapi karena mereka tidak punya tangan untuk melukis,”
Aku melotot. Hah!?
“Mereka dilahirkan cacat, tanpa kedua tangan. Tapi dengan segala keterbatasan itu, mereka mampu membuat karya yang berguna untuk orang lain dan juga dirinya sendiri. Mereka adalah manusia yang senantiasa berusaha dan tak kenal lelah untuk berjuang meraih kesuksesan.”
 “semua benda yang ada di ruangan ini, rata-rata dibuat oleh orang yang dilahirkan dengan keterbatasan. Hiasan dinding, dipan, kursi, almari, rak buku, bahkan kursi rotan yang sedang kamu duduki itupun, dikerjakan oleh orang cacat....”
Bu Mutia beranjak mengambil sebuah majalah di tumpukan buku lalu menyodorkannya padaku. Majalah ‘Story’.
“di dalam majalah itu ada sebuah cerita yang sangat bagus. Judulnya ‘Di tembak bidadari’ halaman  22. Ibu pikir, ceritanya bisa memberikanmu inspirasi hingga kau bisa mengerti makna tentang rasa syurkur dan kepercayaan diri,”
Aku meraih majalah itu dengan perlahan.
“saya sudah pernah baca cerita itu bu,” jawabku pelan. Ya, ceritanya tentang seorang anak laki-laki bernama Jundi yang hanya punya tinggi 130 cm. Namun, ia tak pernah merasa minder dengan kekurangan fisiknya. Sebaliknya, ia senantiasa merasa percaya diri dan berpikir positif dalam menjalani hidupnya. Dan yang pasti, ia adalah orang yang senantiasa bersyukur. Tapi, ini hanya sebuah cerpen,bukan kehidupan nyata. Kalo toh dia nyata, kami berbeda. Bedanya adalah, Jundi dilahirkan dengan bakat ‘percaya diri’. Sedangkan aku...
Bukannya aku tidak bersyukur, tapi kami memang benar-benar berbeda.
“bagus dong kalo kamu sudah baca. Ibu harap kamu bisa mendapatkan nilai positif dari cerita tersebut,”
Aku terdiam. “Kenapa bu Mutia menceritakan semua ini padaku?” Aku bertanya dengan perlahan. “supaya kamu bisa berkaca. Supaya kamu bisa mengambil hikmah dari apa yang ibu ceritakan. Ndar, kamu harus tahu, di luar sana, begitu banyak manusia yang dilahirkan tanpa kesempurnaan. Ada yang gak punya tangan, ada yang gak punya kaki, ada yang buta, tuli, bisu, bahkan ada yang gak bisa apa-apa selain makan dan tidur. Tapi hanya sebagian dari mereka mampu berjuang dan hidup layak. Kamu tahu kenapa? Karena mereka adalah manusia yang mau berusaha dan tidak meminta belas kasihan dari orang lain! Dan yang pasti, mereka senantiasa percaya diri dan bersyukur dengan apa yang telah Tuhan berikan pada mereka,”
“bu Mutia hanya menceritakan hal yang muluk-muluk...!” Aku memotong.
“Muluk-muluk bagaimana?” 
“Mereka seperti itu karena mereka adalah orang yang beruntung...”
“apa kamu merasa bahwa kamu bukanlah orang yang beruntung?”
“bukan!”         
 “kenapa kamu bilang begitu, Ndar?” bu Mutia kembali menatapku lekat. Aku menelan ludah sebelum akhirnya kembali menjawab.
“karena saya tidak punya apa-apa untuk dibanggakan! Keluargaku miskin, aku cacat, tanpa bakat, apa yang  bisa dibanggakan, bu...??”
“karena kamu hanya bisa mengeluh, meratapi diri sendiri, putus asa. Ketahuilah, di muka bumi ini, bukan kamu satu-satunya orang yang patut dikasihani!” kata-kata bu Mutia mulai meninggi.  
Aku terisak. Ia menatapku tajam.
“saya bingung, bu! Saya tidak tahu harus bagaimana lagi?”
Bu Mutia tak berkata-kata. Ia hanya menatapku dan membiarkanku terus terisak. Keadaan hening sesaat.
“Ndar, jadi orang itu, jangan hanya bisa mengeluh, mengumpat, putus asa, dan meratapi diri sendiri. Bangkitlah! Kalau kamu terus menyerah pada keadaan, kamu akan hancur dengan sendirinya. Ingat, hanya orang kuat yang mau berjuang dan berusahalah yang akhirnya bisa bertahan hidup. Jangan kamu pikir bahwa keadaanmu sekarang adalah akhir dari segalanya. Lakukan sesuatu yang bermanfaat untuk dirimu, keluargamu, dan orang-orang yang menyayangimu. Buatlah mereka bangga,” Bu Mutia berkata dengan lembut. Hatiku berdesir. “Lalu saya harus bagaimana, Bu?”
“tetap sekolah, dan belajarlah dengan rajin. Buktikan bahwa kamu punya sesuatu untuk dibanggakan...”
Aku terdiam kembali. “bu, apa nantinya aku bisa menikah? Apakah ada orang yang mau menerimaku apa adanya?”
Bu Mutia tersenyum. “Percayalah, Tuhan akan memberikanmu yang terbaik asal kamu mau berusaha dan tak kenal kata menyerah. Oke?”
Bu Mutia membantu menghapus air mataku lalu memelukku dengan hangat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar