I’m okay…..
Aku menatap arloji di pergelangan tanganku dengan sedikit kesal.
God,I’ve been waiting for 25 minutes! Ini sudah terlalu lama!
Kemana Ega?
Biasanya dia gak pernah ngaret kayak gini. Dia juga gak mungkin lupa
menjemputku sepulang les. Dia toh hafal betul semua jadwalku. Tapi….
Aku mencoba
menghubungi ponselnya berkali-kali. Tapi nihil. Nomornya gak aktif.
“oke, aku bisa pulang naik angkot,“gumamku
lirih. Sesaat aku mendesah. Shit, jam
segini mana ada angkot? Aku memencet nomor di ponselku dengan geram. Akhirnya
aku memutuskan untuk menghubungi Meta, sahabat
terbaikku, untuk menjemputku. Malamnya, aku menerima sms permintaan maaf dari
Ega karena tidak menjemputku. Dia ketiduran. Well, I forgive him….
Tapi, kejadian
di hari itu kembali terulang dan lagi. Dia lupa menjemputku dari tempat les.
Dan, untuk ke sekian kalinya…..
***
“Mungkin aku akan putus dengan Ega,” Aku mendesah. Meta membeliak, menatapku lekat. Setengah tak percaya.
“emangnya kenapa? Kalian berantem? Bukannya selama ini kalian baik-baik
aja? Jangan karena akhir-akhir ini dia sering lupa menjemputmu di tempat les,
lantas kamu mau putus dengannya? Dia ‘kan udah minta maaf, dan kamu juga selalu
memaafkannya. Baikan lagi deh kalian, ya ‘kan?”
Aku terdiam sesaat. “tadinya sih iya, sekarang enggak lagi. Lagian,
masalahnya bukan itu doang kok. Ada cewek lain yang ia suka,”. Meta tertawa
mendengar jawabanku. “aduh, Rin. Please deh, aku tuh udah kenal Ega sejak lama.
Aku tahu banget siapa dia. Dia tuh bukan tipe cowok playboy yang mudah kecantol sama cewek lain. Satu hal yang pasti, dia
tu cinta mati sama kamu,”
Aku tetap terdiam. Meta menepuk pundakku dengan lembut.
“tenang aja, gak usah terlalu dipikirin. Kalian ‘kan udah pacaran sejak
kelas 2 es-em-pe, udah 4 tahun lebih. Gak mungkin bisa putus semudah itu,”
Aku kembali mendesah pelan. Well, akupun berharap hubunganku dengan Ega
akan baik-baik saja. Tapi, kenyataan sudah di depan mata. Hubungan kami sedang
dalam masalah. Terasa hambar. Tak ada kehangatan. Yang ada hanya rasa dingin
bak gunung es dari kutub utara! Aku tahu, Ega tengah memikirkan sesuatu. Ada
yang bergejolak di hatinya. Dan aku tahu itu apa? Tapi, jujur, aku merasa takut
mengakuinya. Aku berharap ini salah. Tapi....
Ada cewek lain yang ia suka! Ada cewek lain yang singgah di hatinya! Dan
cewek itu adalah Novia!
Cewek manis dari kelas sebelah yang juga jago main basket, sama seperti
Ega. Aku sering memergoki mereka berduaan. Ega menatapnya dengan cara yang
berbeda. Cara yang sama ketika ia mengungkapkan cinta dan mengajakku pacaran.
Mata bening itu masih saja dipenuhi dengan kehangatan dan cinta. Hanya saja,
sekarang cinta itu bukan untukku. Melainkan untuk dia! Untuk Novia!
Aku kembali mendesah. Ku letakkan kepalaku di bangku. Dadaku rasanya sesak,
sakit.
“Rin, are you okay?” aku tak menjawab pertanyaan Meta. Ku rasakan sebuah
sentuhan lembut di keningku. “Rin, kamu sakit?” Deg, itu suara Ega. Aku
mendongak. Ega tengah menatapku dengan dalam. Sesaat aku hanya terdiam hingga
membuat Ega mengulangi pertanyaannya. “kamu sakit?” aku gelagapan. “Ng....
enggak tuh,” jawabku. Ku tatap mata bening itu dengan lekat. Kemana binar itu?
Binar mata penuh cinta yang beberapa tahun ini menjadi milikku. Aku mencoba
mencari dan menyelaminya ke dalam mata bening Ega, tapi, tak ada!
“ke kantin yuk,” ajaknya. “e... iya,” jawabku seraya beranjak. Kami berlalu
meninggalkan Meta yang tetap tersenyum penuh support kepadaku.
***
Hatiku berdebar-debar
ketika melewati kelas Novia. Lagi-lagi dia ada di sana. Ega ada di dalam kelas
itu. Bersama Novia, duduk di sampingnya, mengobrol dengannya, bercanda
dengannya dan... akrab sekali.
Ku percepat langkah kakiku dengan harapan mereka tak melihatku. Tapi telat.
Ekor mata Ega keburu menangkapku. “Karin!” Ega beranjak dan berlari
menghampiriku. “kemana aja, dari tadi ku cariin kok gak ketemu?” aku tersenyum
blo’on. “yaa.. muter-muter aja. Dari kantin, ke
perpustakaan, ke gedung kesenian, ke lapangan basket, pokoknya ...
jalan-jalan,” Ega hanya manggut-manggut mendengar jawabanku yang agak senewen.
“pulang bareng’kan?” aku hanya mengangguk. Pulang bareng? Ya iyyalah.. selama
ini ‘kan emang selalu pulang bareng. Kenapa harus nanya lagi? Gerutuku dalam
hati..
“Vi, aku pulang duluan ya,bye,” Ega melambaikan tangan. Cewek itu
tersenyum. Sesaat senyumannya sempat singgah padaku. Apa boleh buat, akupun
ikut tersenyum. Tanpa sadar aku sempat mengumpat dalam hati. Sialan! Situasi
macam ini!!??
***
Meta melangkah dengan
tergesa-gesa ke arahku. “Rin, ke kantin yuk. Ada sesuatu yang mo ku omongin
sama kamu,” wajahnya tampak ragu.
Aku mengernyitkan dahiku. “penting?” ia mengangguk. “Mmm, gimana ya? Aku
masih ada sedikit urusan dengan ketua OSIS. Bisa gak kita omongin setelah
pulang sekolah?” Meta terdiam. “bisa sih. Tapi mulutku nih udah gak tahan
pingin ngomong,” raut wajah Meta terlibat tak sabar. “ya udah deh. Tunggu di
sana aja, sepuluh menit lagi aku nyusul,” jawabku. “oke,” Meta mengangguk lalu
ngacir ke kantin. Aku melanjutkan langkahku menuju ruang OSIS. 10 menit
kemudian aku baru bisa menemui Meta di kantin.
“mau ngomongin apa? Kelihatannya serius banget?” tanyaku. Meta kembali
menyeruput es teh di depannya. Ia tak langsung menjawab.
“Rin, janji ya kamu nggak bakal marah padaku kalo aku ngomongin masalah
ini?” ujarnya. Aku tersenyum. “masalah apaan sih? Belum-belum kok dah ngasih
MOU,” jawabku. Meta mendesah. “ini soal Ega,” aku mengernyitkan dahiku.
“so....?”
“kemarin waktu di Mall,tanpa sengaja aku ngelihat Ega,” Meta kembali
terdiam sesaat. “dan... dia gak sendirian. Ada Novia di sampingnya,” Meta
menatapku dengan serius.
Aku menelan ludah. Rasanya aku sudah bisa menebak arah pembicaraannya.
“mereka gak ngelihat aku, tapi aku bisa ngelihat mereka dengan jelas.
Mereka begitu akrab dan .... mesra. Oke, anggaplah aku punya intepretasi yang
salah soal mereka. Tapi, apa Ega udah bilang ke kamu kalo kemarin ia keluar
dengan Novia?”
Aku menggeleng. “kamu gak berpikir kalo aku lagi ngarang cerita ‘kan?” Meta
bertanya agak menyelidiki. Aku tersenyum dan kembali menggeleng. “Ta, aku
percaya sama apa yang kamu lihat. Tapi, mungkin aja mereka ketemu di Mall
secara gak sengaja,” aku berusaha menyembunyikan gundah di hatiku dengan tetap
berpikir positif. Aku tidak meragukan cerita Meta. Tapi aku hanya berusaha
untuk tidak
membiarkanku jatuh terlalu dalam. Memikirkan mereka berduaan saja sudah
cukup membuat hatiku terluka. Apalagi kalo Meta melihatnya dengan mata
kepalanya sendiri.
“tapi, Rin. Ini sudah yang ketiga kalinya aku memergoki mereka jalan
berduaan,”
Deg. Jantungku rasanya berdentum dengan keras. What!? Yang ketiga kalinya!?
Aku terdiam.
“gini aja deh, Rin. Aku akan membantumu untuk membicarakan hal ini dengan
Ega. Yaa barangkali aja selama ini ia memang gak jujur sama kamu,” ucap Meta.
Aku menggeleng. “gak usah, Ta. Biar aku yang bicara sendiri
dengannya,”
“kamu yakin?” aku
mengangguk. Apakah aku punya cukup keberanian untuk mengajaknya bicara tentang Novia? Ah, sepertinya tidak. Tapi,
sampai kapan aku akan terus berada pada posisi yang gak jelas seperti ini?
Aku mencintai Ega. I really love him! Dan, aku gak ingin kehilangan dia.
Ah, memikirkannya saja rasanya sakit. Tapi, seandainya dia memang sudah tidak
menginginkan hubungan kami berlanjut, aku harus bagaimana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar