Senin, 30 Mei 2016

NEPHILIM #6





Alam bawah sadar Ara dipenuhi dengan berbagai kenangan yang saling tumpang tindih.
Kecelakaan kedua orang tuanya, kematian Habin, Dino, Josh, dan juga peritiwa-peristiwa antara dirinya dan para Nephilim.
Ia tak tahu apakah ia masih hidup ataukah sudah mati. Yang jelas, ia merasakan sakit di mana-mana. Di kepala, di kaki, di ulu hati, semuanya sakit.
Suara-suara juga berseliweran di kepalanya. Entah suara siapa.

Seseorang memanggil namanya berulang-ulang. Ia juga mendengar isak tangis.

Siapa yang memanggil namanya?
Siapa yang menangis?

Vernon?

Tiba-tiba ia ingat dengan pemuda itu. Nephilim baik hati yang membuat dunianya jungkir balik. Ingin ia membuka mata, bersuara, tapi semakin ia berusaha, rasa sakit yang menghinggapi tubuhnya kian menjadi.
Akhirnya ia memutuskan untuk menyerah. Menerima rasa sakit di sekujur tubuhnya.

***

Ara tak ingat awal mulanya ketika ia bisa membuka mata. Masih diserang rasa pening, ia menatap sekelilingnya. Sebuah ruangan minimalis bernuansa coklat tua. Dan, ada sosok itu di sampingnya. Vernon!

“Ver--,”
“Syukurlah,” Vernon mendekatkan wajahnya ke arah Ara dan berbisik mengucap syukur berulang-ulang. Dan jelas ia bisa melihat bahwa pemuda itu berurai air mata.
“Terima kasih karena kau tidak pergi, Ara. Terima kasih,” Ia menyentuh tangan Ara dan mengecupnya berulang-ulang.
“Kau menangis?”
Vernon menggigit bibir. “Hanya terlalu senang karena kau membuka mata,” jawabnya.

Ara terdiam, mencoba mengingat apa yang barusan menimpanya.
Dan akhirnya ia ingat tentang semuanya. Tentang Josh, tentang malaikat yang berusaha membunuhnya dan ...
“Josh?” ia bertanya lirih.
Vernon menatapnya. Tak mampu menjawab. Dan ketidak mampuannya untuk menjawab tentang Josh seolah memberitahu dirinya bahwa, malaikat itu telah pergi untuk selamanya.

Ara memejamkan mata. Dan air mata meleleh membasahi pelipisnya.
“Maafkan aku. Maafkan aku ... Jika saja ia tak bersamaku, ia pasti ...”
“Ssstt...” Vernon menggeleng. Menyentuh pipi Ara dengan lembut.
“Bukan,” ia menatap gadis itu dengan penuh kasih.  “Bukan salahmu. Ini memang pertempuran kami. Ada kau atau tidak, kami pasti memang akan saling membunuh.”
“Joey?”
Vernon mengangkat bahu. “Dia berduka, tapi ia akan baik-baik saja. Percayalah. Oke,” lelaki itu kembali berujar lembut.

“Di mana kita?” Ara kembali bertanya ketika menyadari bahwa ruangan yang ia tempati terasa asing baginya.
“Dika punya sahabat lama yang punya keahlian mengobati. Kami membawamu ke sini,” jawab Vernon.
Dan sesaat kemudian Woody dan Gio datang ke kamar, tergopoh-gopoh dengan Dika di belakang mereka.
Kedua lelaki kembar itu segera menyeruak dan berlutut di samping ranjang tempat Ara terbaring. Raut muka mereka terlihat lelah. Tapi ada binar kelegaan di sana.

“Ara, syukurlah kau sudah sadar. Kami benar-benar khawatir padamu. Sejak kau tak sadarkan diri, Woody tak berhenti menangis, Vernon juga.” Ujar Gio. Woody melirik ke arahnya dengan kesal.
“Kau juga begitu ‘kan? Kau juga menangis sesenggukan setiap hari sejak Ara terluka,” balasnya. Gio mendelik. Sebuah toyoran segera ia sarangkan di bahu Woody.
“Jangan ribut. Biarkan Ara istirahat.” Ucapan Dika yang serius menghentikan keributan kecil di antara mereka. Lelaki berwajah bijak itu menatap Ara dengan penuh rasa syukur.
“Kami benar-benar lega kau kembali lagi, Ara. Lukamu parah, tapi kau gadis yang kuat. Terima kasih karena kau bisa bertahan.” Ucapnya.
Ara tersenyum lemah.
“Terima kasih karena kalian telah menyelamatkanku,” jawabnya. Dika mengangguk. Ia menarik kerah baju Woody dan Gio.
“Sekarang ayo kita keluar. Biarkan dia istirahat.” Ajaknya.
“Lalu kenapa kau biarkan Vernon di sini? Kami ‘kan juga ingin menjaga Ara,” Woody protes.
“Iya, kalau kami kau suruh keluar, kenapa Vernon tidak?” Gio juga ikut mengomel.
Dika menggigit bibir kesal.
“Karena kalian suka berisik, dan Vernon tidak. Sekarang, ayo keluar,” tanpa membiarkan kedua pria itu saling membantah lagi, ia menariknya cepat, keluar kamar.


***

Ara menatap seorang pemuda asing yang melenggang masuk ke kamar dengan langkah santai. Posturnya agak gemuk dan tak terlalu tinggi. Ia mengenakan baju kasual yang terlihat sedikit ketat. Entah karena ia agak gemuk, atau karena bajunya yang terlalu kekecilan.

“Hai, aku Bob.” Ia menyapa terlebih dahulu. “Senang melihatmu sehat kembali setelah sempat mengalami sekarat,” lanjutnya. “Oke, Ara---,” Ia mendekati Ara yang masih berbaring. Vernon sedang keluar. Jadi ia sendirian saat ini.
“Siapa kau?” potong Ara.
“Aku Bob,” lelaki itu kembali menjawab santai.
“Maksudku ... siapa kau? Kenapa kau ada di sini?”
Bob memutar matanya kesal.
“Ini rumahku. Tentu saja aku di sini,” jawabnya.
“Kau sahabat Dika?”
“Tepatnya aku sahabat DK, Vernon, Joey, Woody, Gio, mendiang Josh dan juga Dino. Puas? Ada lagi yang ingin kau tanyakan makhluk fana?” kalimatnya sedikit ketus.

Ara menelan ludah mendengar lelaki itu memanggilnya makhluk fana.
“Apa kau makhluk abadi?”
“Yup,” ia menjawab pendek seraya berdiri di samping ranjang Ara dan bersedekap angkuh.
“Kau apa? Malaikat atau Nephilim?”
“Bukan keduanya.”
“Vampir?”
“Bukan juga,”
“Lalu?”

Bob menarik nafas kesal menghadapi  pertanyaan Ara yang bertubi-tubi.
“Nona, aku ke sini untuk memeriksa lukamu, bukan untuk menghadapi sesi tanya jawab,” lelaki itu beranjak dan membuka baju Ara bagian atas dengan tak sabaran untuk memeriksa luka panah di dadanya. Reflek gadis itu merapatkan bajunya dengan takut.
Bob kembali mendesah.
“Aku dokter, jadi kau tak perlu takut. Aku sudah mempunyai masa kerja ratusan tahun, jadi jangan takut kau akan mengalami malapraktek. Ingat, aku dokter yang berpengalaman, saaangaat berpengalaman.” Ucapnya kesal.
“Tapi aku tak tahu siapa kau?”
“Kan sudah aku bilang kalau aku itu sahabat Dika, aku yang punya rumah ini dan aku seorang dokter yang merawatmu. Berhentilah cerewet, dasar perempuan,” dengusnya seraya kembali menarik baju Ara kemudian memeriksa lukanya.
Malas berdebat lagi, akhirnya Ara membiarkannya.

Sesaat setelah ia selesai memeriksa lukanya, Vernon muncul dari balik pintu.
“Bagaimana keadaannya?” tanya lelaki itu. Bob berbalik dan menatap ke arah pemuda gondrong tersebut.
“Dia gadis yang kuat. Dan lukanya membaik dengan cepat.” Jawabnya.
“Tapi pacarmu ini cerewet sekali,” keluhnya.
Ara mendelik. “Aku bukan---,”
“Minum obatnya dengan teratur. Jika tidak, awas kau,” Bob memotong ketus seraya beranjak keluar. Vernon tersenyum mengucapkan terima kasih seraya duduk di sisi Ara.
Sebelum ia sempat bertanya, Vernon dengan suka rela menjelaskan tentang lelaki itu.

“Dia Bob, teman kami. Dia dokter dan dia baik hati, jangan takut.” Ucapnya.
“Dia bukan Nephilim, bukan malaikat, bukan pula vampir. Aku dengar dia barusan bilang kalau dia juga makhluk abadi.  Lalu dia apa?”
“Imp.” Jawab Vernon cepat.
Ara menatapnya bingung. “Imp? Apalagi itu?”
“Setengah manusia dan iblis.”
“Eh?”
Vernon mengangguk.
“Sama seperti kami, dia juga keturunan. Tapi dia keturunan manusia dan iblis. Jangan khawatir, gen manusia yang ia punya lebih mendominasi. Jadi, yaa, ia seperti manusia pada umumnya. Kadang baik, kadang jika marah, ia seperti iblis.” Lelaki itu terkekeh.
Ara melongo.

Setelah Nephilim, sekarang ia berhadapan denga Imp. Oh astaga ....

“Dia juga menjalani hidupnya seperti manusia pada umumnya. Seperti kami juga. Bedanya, kami berbisnis, Bob memutuskan sekolah kedokteran. Ia juga berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.”
“Apa dia juga diburu?”
Vernon menggeleng. “Tidak. Dia berpindah-pindah karena siklus saja. Orang di sekitarnya menua, dan dia tidak. Makanya ia sering berpergian. Sungguh suatu keberuntungan kami bisa menemukannya di sini,” jawabnya. Ara mengangguk-angguk.
“Apa Nephilim dan Imp tidak saling bermusuhan?” tanya Ara lagi.
“Tidak juga. Ada yang bermusuhan, ada juga yang tidak. Tergantung dari situasi dan siapa yang dihadapai. Intinya, kami tidak saling bersinggungan satu sama lain. Bob baik karena ia berutang budi pada Dika. Dulu ia pernah menyelamatkannya. Dan mulai sejak itulah, ia bersahabat dengan kami.” lanjutnya.
Ara kembali mengangguk-angguk.

Obrolan mereka terhenti ketika tiba-tiba pintu kembali terbuka dan kali ini Joey muncul dari sana. Sejak sadarkan diri dari pingsan yang cukup lama, ini pertama kalinya Ara melihat lelaki berambut panjang tersebut.
“Vernon, bisa tinggalkan aku dengan Joey?” Ara meminta lirih. Vernon mengangguk seraya bangkit.
“Aku akan meninggalkan kalian berdua,” ucapnya seraya meninggalkan ia dengan Joey.

Joey mengangguk dengan kikuk lalu mendekati Ara.
“Maaf aku baru menemuimu. Aku tak bermaksud apa-apa. Hanya –,” Ia membuka suara. “Kau tahu bahwa keadaanku sedang tidak baik. Aku perlu waktu untuk ... menenangkan diri,”

Ara menatapnya dengan tatapan iba.
“Joey, maafkan aku. Maafkan soal Josh. Aku tidak bermaksud menjadi penyebab ia akan ...” Suaranya tercekat.
Lelaki cantik di hadapannya menggeleng.
“Tidak, bukan salahmu. Ini memang betul-betul pertempuran kami. Jikalau toh ada yang harus mati lagi, kami sudah cukup siap untuk itu. Meskipun tetap saja, ini begitu menyakitkan.”
Ia duduk di kursi di dekat ranjang. Kedua matanya berkaca-kaca.
“Aku hanya terlalu mencintainya, Ara. Dia memperlakukan aku apa adanya, tanpa rasa takut. Ia bahkan rela meninggalkan segalanya demi aku. Ini ... terlalu berat buatku,”
Ara mencoba bangkit. Dengan menahan perih, ia mencoba duduk. Gadis itu mengulurkan tangannya lalu meraih tangan Joey. Air matanya menitik.
“Kemarilah,” bisiknya.
Joey bangkit, duduk di samping Ara, dan gadis itu segera memberikannya pelukan.
“Aku turut bersedih,” bisiknya.
Dan Joey terisak. Dalam pelukan Ara.

***

Ara sedang menikmati cahaya matahari pagi hari dari balik jendela kamarnya ketika Vernon masuk dan menyapa.
“Wow, kau makin membaik sekarang,” ucap Vernon.
Ara tersenyum dan mengangguk. “Aku sudah bisa berdiri dan berjalan sendiri. Tidak terlalu jauh, tapi ini lebih baik,” jawabnya.
“Mau ku bawa ke balkon?” Vernon menawarkan.
“Mau.” Jawab Ara cepat.

Lelaki itu bergerak, lalu mengangkat tubuh Ara dengan ringan.
“Aku bisa berjalan sendiri,” Ara protes.
“Tidak, akan lebih aman kalau aku menggendongmu ke sana.” jawab Vernon tegas.
Dan Ara merasakan pipinya bersemu merah.

Lelaki itu membawa Ara ke balkon lalu mendudukkannya di sebuah kursi panjang dari kayu. Gadis itu menghirup udara pagi yang begitu segar. Entah kenapa ia serasa hidup lagi. Rasanya sudah lama sekali ia tidak menikmati saat-saat seperti ini.

“Kau senang?” Vernon duduk di sampingnya. Ara mengangguk.
“Setidaknya setelah ini aku siap untuk berpetualang lagi denganmu, berlari dari satu tempat ke tempat lain,” jawabnya dengan kekehan lirih.
Vernon tersenyum kecut.

Hening sesaat.

“Maafkan aku, Ara.” Vernon memecah keheningan.
“Untuk?” Ara menjawab tanpa melihat ke arah lelaki yang duduk di sisinya.
“Karena aku nyaris membuatmu mati. Jika saja aku tak membawamu bersamaku, kau tak akan perlu mempertaruhkan nyawamu.”
Ara menggeleng lalu menatap Vernon.
“Kita sudah membahasnya. Tolong jangan mengungkitnya lagi. Aku yang ingin ikut bersamamu, bukan kau yang memaksaku. Jadi, berhentilah membicarakan ini. Aku siap berangkat mengikutimu, kapanpun kau memintaku. Oke?” Ia menjawab tegas.

Vernon kembali terdiam.
Hening lagi.

“Ada yang harus ku ceritakan padamu, Ara.” Suara Vernon terdengar berat.
Ara kembali menatapnya. Kali ini sorot matanya terlihat heran.
Vernon menarik nafas sesaat.
“Maaf karena aku tak mampu menjagamu sehingga kau terluka. Dan ... maaf karena aku tak mampu menyelamatkan Habin lagi.”
Ara tercenung, menyadari kalimat Vernon yang ganjil.

Lagi?
Kenapa dia bilang ia tak bisa menyelamatkannya lagi?
‘Lagi’?
Apa maksudnya?

“Apa maksudmu kau tak mampu menyelamatkannya lagi? Lagi. Apa itu artinya kau sudah pernah menyelamatkannya?”
Lagi-lagi Vernon tak segera menjawab. Lelaki itu menelan ludah sebelum akhirnya kembali berkata-kata.
“Ara ...” Suaranya lirih. “Sebenarnya aku sudah bertemu denganmu sejak dua tahun yang lalu. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak aku menyelamatkanmu dari kecelakaan itu.” ucapnya.
Ara tercengang.

Kecelakaan?

“Hari ketika kau mengalami kecelakaan dengan kedua orang tuamu, akulah yang telah menyelamatkanmu dan juga Habin. Aku berhasil mengeluarkan kalian sesaat sebelum mobil itu meledak.” Ucapnya lagi.

Kedua mata Ara membulat karena kaget. Ia menatap lelaki di hadapannya nyaris tak berkedip.
“Berceritalah dengan lebih jelas,” titahnya dengan suara berat.
Vernon meremas jemarinya dengan gusar sebelum akhirnya kembali berkata-kata.

“Waktu itu aku hanya sedang lewat ketika melihat mobil yang kalian tumpangi terperosok ke jurang. Orang tuamu sudah meninggal di tempat kejadian ketika aku sampai di sana. Dan sebelum mobil itu meledak, kau dan Habin berhasil ku keluarkan. Sementara ayah dan ibumu --- maafkan aku. Aku tak mampu menyelamatkan mereka.”

Ara tampak terpukul dengan cerita yang diutarakan Vernon.
Segera pikirannya kembali ke peristiwa sekitar dua tahun yang lalu ketika ia dan seluruh keluarganya mengalami kecelakaan.
Banyak yang menduga bahwa ia dan Habin bisa selamat dari kecelakaan mengenaskan itu karena sebuah keajaiban. Banyak juga yang mempertanyakan bagaimana ceritanya dua bocah itu bisa selamat sementara kedua orang tua mereka terpanggang di dalam mobil?

Ternyata, inilah alasannya.
Karena Vernon telah menyelamatkan mereka!

“Aku tahu Habin baik-baik saja. dan aku tahu bahwa kau mengalami patah tulang rusuk sebelah kanan. Ketika kau dirawat di Rumah Sakit, aku selalu rajin mengunjungimu secara sembunyi-sembunyi. Dan dari situlah, akhirnya aku menyadari bahwa ... aku telah jatuh cinta padamu.”

Kedua mata Ara mengerjap. Vernon mencintainya...

“Kepindahanku di sebelah rumahmu bukan disengaja, Ara. Akulah yang telah membujuk Dika agar membeli rumah itu dan kami bisa tinggal tepat di sebelah rumahmu. Kau tahu alasannya? Karena aku memang telah jatuh cinta padamu.” Vernon kembali bercerita dengan canggung.
“Sebenarnya Dika sudah melarangku. Ia keberatan dan mengatakan padaku bahwa mencintai manusia hanya akan menempatkannya pada bahaya. Tapi ... ,” Kalimatnya terhenti sesaat. “Tapi aku tak bisa menahan diriku. Aku tak bisa menahan rasa cintaku padamu. Dan aku ingin berada di sisimu,” lanjutnya.

Kenangan-kenangan awal pertemuannya dengan Vernon mulai bermunculan di benak Ara. Ia ingat bahwa ia nyaris mati tertimpa dahan pohon yang jatuh. Ternyata, itu juga bukan suatu kebetulan.
Vernon ada di sana untuk menyelamatkan nyawanya!

“Maafkan aku Ara ...” Kedua mata Vernon berkaca-kaca hingga membuat dada Ara sesak.
“Maafkan aku. ... Jika saja aku mendengarkan saran Dika, jika saja aku tidak nekat tinggal di dekat rumahmu, jika saja aku tidak nekat mendekatimu, mungkin saat ini kau masih hidup bahagia dengan adikmu. Kau tak perlu susah-susah bersamaku hingga akhirnya dapat membahayakan nyawamu...” dan kristal bening di mata berwarna coklat itu menitik.

“Aku tahu bahwa mencintai seorang makhluk fana adalah sesuatu yang tidak mungkin buatku. Tapi aku benar-benar tak bisa menahan diriku untuk mencintaimu. Cinta ini bisa jadi cinta terlarang, tapi setidaknya kau tahu bahwa ... kau punya penggemar dari makhluk abadi,” suaranya tercekat.

Ara menelan ludah. Ia merasakan kedua matanya juga basah.
Jadi seperti inikah ceritanya?
Pemuda di hadapannya ini begitu mencintainya hingga ia berniat menerjang takdir demi dirinya?

“Karena itu Ara ...” Lelaki itu kembali berucap. “Demi keselamatanmu, aku tak bisa lagi membawamu. Kau harus aman. Jadi ---,” bibirnya bergetar.
“Kita akan berpisah.”

Air mata Ara menitik.

“Aku akan pergi, dan Bob akan mengantarkanmu ke tempat asalmu.” Ucap Vernon lagi.

Ara menggeleng lirih. “Tidak ...” desisnya.
Gadis mungil itu beringsut mendekati Vernon lalu menyentuh pipinya dengan lembut.
“Kau tak bisa meninggalkanku begitu saja setelah apa yang ku alami bersamamu, Vernon. Tidak akan,” Ia berbisik pilu.
“Tapi Ara ...”
Ara mendekatkan wajahnya ke arahnya lalu mencium bibir lelaki itu dengan lembut. Air matanya jatuh berderaian.
“Tidak,” ia berbisik di atas bibirnya.
“Kau tidak akan pergi meninggalkanku. Kau sudah berjanji membawaku. Dan kau harus menepatinya,” dan ia kembali mencium bibir Vernon, kali ini lebih lembut.

Vernon memejamkan matanya dengan frustasi, sebuah kebingungan yang tak berujung.
Yang mampu ia lakukan saat ini adalah membingkai wajah Ara dengan kedua tangannya, lalu membalas ciuman perempuan tersebut dengan sepenuh hati.
Dalam hati ia menjerit pilu, jika saja ia mampu, ia bersedia menukar segala yang ia punya demi bisa mengabadikan momen ini.
Momen bersama Ara, memeluknya, dan mencium bibir manisnya dengan sepenuh jiwa raga.

***

Ketika Ara bangun keesoka harinya, yang ia temukan adalah secarik kertas di meja rias yang berisi ucapan perpisahan. Dari Vernon.

--Maafkan aku, Ara. Mulai sekarang, hiduplah dengan baik. Selamat tinggal.—

Gadis itu membaca tulisan itu berulang-ulang dengan hati hancur. Ia terisak seketika.


***

Ara menuruni anak tangga dan mencari keberadaan Bob. Ia tak tahu obat apa yang telah ia berikan padanya. Tapi keadaannya membaik dengan cepat. Tubuhnya kian bugar dan luka bekas panah di dadanya juga mengering dengan cepat.
Mungkin karena ia bukan manusia sehingga ia bisa mengobati seseorang dengan kekuatan supernatural agar lekas sembuh? Mungkin saja.

“Hai, kau sudah bangun? Sudah merasa lebih baik?” Bob menyapa dari balik meja kerjanya.
Ara nekat menerobos kamar pribadinya demi untuk bertemu dengan dirinya.
“Kapan mereka pergi?” tanya Ara langsung.
“Siapa?” Bob menjawab santai tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas di hadapannya.
“Tentu saja Vernon dan saudara-saudaranya. Tolong jangan bertele-tele aku sedang buru-buru! Kapan dan kemana mereka pergi?!” Nada suara Ara meninggi. Terdengar putus asa.

Bob melipat kedua tangannya di permukaan meja lalu menatap Ara dengan jengkel.
“Lalu, kalau kau  tahu kemana mereka akan pergi, apa yang akan kau lakukan?”
“Mengejarnya, tentu saja.” jawab Ara cepat.
Bob menarik nafas.
“Vernon benar, Ara. Bersama mereka hanya akan membahayakan nyawamu sendiri. Manusia bepergian dengan Nephilim, bukan ide yang baik. Mengertilah, apa yang ia lakukan hanya demi kepentinganmu. Ia tak ingin kau tewas,”
“Aku tak akan tewas! Bahkan jika aku tewas, aku tak keberatan!” Ara menjerit.
“Kau manusia yang keras kepala!” Bob  bangkit.
“Tetap saja aku tak akan memberitahumu kemana mereka pergi. Aku sudah berjanji padanya untuk mengantarkanmu dengan selamat ke kota asalmu. Dan aku akan melakukannya, walau aku harus menyeretmu dengan paksa.”

Bibir Ara berdecih kesal. Ia meremas rambutnya dengan acak-acakan. Dan ketika tatapannya singgah pada beberapa senjata api dan juga busur silang yang terpajang rapi di lemari kaca dengan bingkai besi, ide itu muncul.

“Ajari aku menggunakan itu,” Ia berujar sembari menunjuk senjata-senjata itu dengan dagunya.
Bob mengernyitkan dahinya.
“Untuk apa kau ingin belajar?”
Ara tak menjawab. Gadis itu bergerak, membuka pintu lemari, lalu mengeluarkan sebuah pistol semi otomatis dan sebuah busur silang.
“Aku harus bisa menggunakan senjata. Jadi jika aku bergabung dengan para Nephilim itu, aku bisa menjaga diriku sendiri tanpa harus mati konyol.” Ia mengacungkan pistol itu ke arah Bob.
“Aku pernah ikut klub Archery. Jadi aku sedikit bisa menggunakan busur silang. Tapi yang ini ...” Ia kembali menodongkan senjata api itu ke arah Bob hingga sempat membuat lelaki itu bergidik.
“Ajari aku menggunakan ini. Aku gadis yang pintar. Kau hanya perlu menunjukkan padaku beberapa kali dan aku akan mempelajarinya dengan baik. Percayalah padaku,”

Bob mendesah jengkel.
“Kau benar-benar gadis yang merepotkan.” Desisnya. Tapi toh ia tetap mengajari Ara cara menggunakan senjata api tersebut.

Ara baru beberapa kali belajar cara menggunakan senjata api ketika tiba-tiba pintu terhempas dan terbuka dengan kasar.
Ia dan Bob baru mencerna apa yang sedang terjadi ketika tiba-tiba dua bayangan melesat dan kini sudah berada tepat di depan mereka.
Ara membelalak.
Duo vampir, Jun dan Hans!

Ia baru saja mengarahkan senjata api di tangannya ke arah Jun ketika tiba-tiba sosok bermata tajam itu kembali melesat, mengarahkan jemarinya ke leher Ara.
“Apa-yang-kau-inginkan?” Ara terbata, nyaris tak bisa bernafas karena lelaki itu mencekik lehernya.
“Lepaskan dia!” Kali ini Bob berteriak. Di tangannya sudah ada busur silang yang mengarah langsung ke arah Vampir itu.
Jun dan Hans menyeringai ke arah Imp tersebut.

“Kau tahu aku adalah makhluk abadi. Dan aku tak segan-segan untuk menembak langsung ke jantung kalian! Sekarang, lepaskan dia!” perintahnya.
Masih merasa enggan, toh Jun akhirnya melepaskan cekikannya. Ara terbatuk seraya menyentuh lehernya sendiri.

“Jangan berlebihan begitu, Imp. Aku tahu kau hebat. Tapi sekarang, rasanya tak akan mungkin kau bisa menghabisi dua vampir sekaligus,” Hans terkekeh mengejek.
“Mungkin tidak, tapi panahku cukup untuk menghabisi salah satu dari kalian. Dan bagiku, itu sudah cukup.” Jawab Bob. Anak panah yang siap dilesatkan, mengarah langsung ke jantung Jun.
“Jadi, apa yang membuat kalian datang kemari dengan cara yang tidak sopan seperti ini? Kita tak ada permusuhan ‘kan?” desis Bob lagi.
Ara sempat terkesima. Imp yang terlihat penakut itu ternyata bisa juga bersikap gentle dan menawan.

“Kami hanya jalan-jalan. Dan tiba-tiba saja kami mencium aroma darah yang ... teramat menggiurkan. Kami tak bermaksud mengganggu wilayahmu. Tapi, kau tahu sendiri kan? Vampir lemah dengan aroma darah. Dan aroma itu menggiring kami ke sini begitu saja,” jawab Jun dengan arogan.

“Dia tidak bebas. Gadis ini ada dalam tanggung jawabku. Dan aku takkan membiarkan kalian memangsanya. Jadi, segera tinggalkan tempat ini.” ancam Bob lagi.
Jun dan Hans berpandangan. Terlihat sedang memikirkan sesuatu.
Sebelum dua vampir itu sempat berkata-kata, Ara teringat akan sesuatu.

“Ayo kita buat perjanjian,” ia berseru dengan spontan.
Jun, Hans dan Bob menatapnya dengan heran. Ara melirik sekilas ke arah Bob, lalu menatap Jun dan Hans dengan mantap.

“Bawa aku pada para Nephilim itu. Dan setelah itu, kalian bisa menghisap darahku. Bagaimana?”

Bob terbelalak. “Apa yang ---? Apa kau gila!” teriaknya.
“Tidak. Aku serius. Vampir bisa mendeteksi keberadaan Nephilim ‘kan? Bawa aku pada mereka. Dan kalian bisa memangsaku. Oke?”
Mulut Bob ternganga. Sementara Jun dan Hans berpandangan tak mengerti.
“Ara, kau pasti gila. Jika Vampir memangsamu, kau akan ---,”
“Aku sudah bosan jadi manusia.” Jawab Ara lagi mantap.

Jun tertawa.
“Woa, apa ini masalah cinta antara manusia dan Nephilim? Menarik sekali,” ujarnya.
“Setuju.” Hans yang menjawab terlebih dahulu.

“Ara, pikirkan baik-baik. Ini tidak semudah yang kau pikirkan. Berpikirlah lebih jernih!” Bob membentak.
Namun gadis itu sudah mantap. Ia menggeleng ke arah Imp itu, lalu menatap dua Vampir di hadapannya sembari bekata, “Deal.”

Katakanlah mungkin sekarang Ara sedang kalap. Tapi tekadnya sudah bulat.
Ia tidak akan diam berpangku tangan. Jika memang harus, ia akan ikut bertarung di antara sekian makhluk abadi dan terlibat permusuhan di dalamnya.

Ia teringat dengan kata-kata Josh beberapa waktu yang lalu.

--Kelak, jika kau menemukan seseorang yang membuatmu jatuh cinta setengah mati, mampu membuatmu aman walau sebilah pisau ditodongkan ke lehermu, mampu menyerap semua energi positif yang kau miliki, kau akan mengerti dan memahami keputusan yang ku ambil. Mencintai tanpa pamrih, tanpa peduli resiko yang kau dapat. Walau harus berkorban nyawa, walau harus meninggalkan segala yang kau punya. Asalkan bisa bersamanya, konsekuensi itu sepadan.—

Dan sekarang Ara berada pada fase itu.
Ia akan melakukan segala yang ia bisa, dan mengorbankan semua yang ia punya.
Demi bisa bersamanya.
Bersama sosok yang telah beberapa kali menyelamatkan nyawanya.
Bersama sosok makhluk abadi yang telah memiliki seluruh jiwa dan raganya.
Bersama sosok Nephilim memikat yang telah mencuri hatinya.

Vernon.

***

Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar