Senin, 23 Februari 2015

Bokura Ga Ita - Part 10 (End)



                Tubuh Yano melorot di lantai kamar mandi yang lembab. Phonselnya tergeletak begitu saja di antara dua kakinya. Ia sesenggukan, putus asa. Ia ingin berlari ke tempat Nanami, tapi itu mustahil. Shinkanzen yang ia naiki baru akan berhenti di stasiun selanjutnya, dan itu paling cepat setengah jam kemudian. Setelah itu, jika ingin kembali ke Sapporo maka cara tercepat ia harus naik taksi. Tapi tetap saja, ia baru akan sampai di sana jam 8 pagi keesokan harinya. Yano mengacak rambut-rambutnya sendiri.
          Phoselnya kembali berdering. Ia segera menyambarnya.
“Take?” Ia menyapa tak sabar. Hening sesaat.
Yano ... dia masih di ICU. Dia ...” Take terisak. “Kau harus ke sini, Yano. Bagaimanapun caranya, kau harus ke sini. Ini tak adil untuk Nanami. Ini tak adil baginya.” Suara Take serak.
Yano menelan ludah.
Pulanglah. Temui Nanami. Kau berutang banyak padanya. Kau berutang air mata, penderitaan, kesedihan, dan ... waktu.
Yano menggigit bibirnya keras. Air matanya tak bisa berhenti mengalir.
Dengar sobat, kau mendapat kehormatan dariku. Aku merelakan Nanami untukmu padahal kau tahu bahwa dia satu-satunya wanita yang ku inginkan di dunia ini. Karena itu ... karena itu ... jangan sia-siakan pengorbananku, baka*!
Bibir Yano bergetar.
“Aku akan pulang, Take. Aku pasti pulang.” Ucapnya.
“Kami menunggumu.”
“Aku akan berhenti di stasiun berikutnya lalu ke sana dengan naik taksi. Paling cepat aku akan sampai di sana keesokan harinya.”
“Oke.”
Hening sesaat.
“Take ...” Panggil Yano dengan suara serak.
“Ya?”
“Jika terjadi sesuatu pada Nanami, jangan pernah memaafkanmu.”
Hening lagi.
Aku memang tak berniat memaafkanmu jika hal buruk menimpa Nanami.” Jawab Take. Yano  manggut-manggut.
“Bagus. Karena jika dia pergi, aku juga tak berencana hidup lagi.” Ia memutus pembicaraan.
Lelaki itu kembali menegakkan punggung lalu menyandarkannya di dinding. Kepalanya menengadah hingga air mata mengalir di pelipisnya.
Nanami ...
Jika ada orang yang mampu membuatku bertahan sampai saat ini, kaulah orangnya.
Kenyataan bahwa kita masih berada di bawah langit yang sama, membuatku kuat menghadapi semua cobaan hidup.
Karena itu, kau harus bertahan.
Aku akan menebus semua kesalahanku padamu.
Semuanya.

***

          Yano sampai di stasiun berikut dan segera mendapatkan taksi untuk membawanya kembali ke Sapporo. Pemuda itu menatap phonselnya sesaat setelah taksi yang ia tumpangi berjalan. Battery low.
Sebelum phonselnya mati, ia memutuskan untuk melakukan satu panggilan : ke nomor Nanami.
          Seperti yang  sudah ia duga, phonsel Nanami masih tidak aktif. Ia diterima mesin penjawab. Dan ia meninggalkan pesan suara di sana dengan suara serak.
“Nanami, aku akan pulang menemuimu. Aku akan meninggalkan segalanya, meninggalkan Tokyo, untukmu. Hanya kau yang paling penting. Hanya kau yang paling kuinginkan. Karena itu, bertahanlah. Tunggu kedatanganku. Oke?”
Dan phonselnya mati.

***

          Nanami sudah sadarkan diri. Keningnya memang menerima beberapa jahitan. Tapi cedera kepala yang ia alami tidak parah. Ia bahkan sudah bisa duduk dan mengobrol dengan lancar dengan para dokter dan suster.
          Setelah ruangan sepi,  ia kembali menatap phonselnya di atas meja. Phonsel itu sudah menyala. Dan ia tersenyum.
          Perempuan itu baru menyelesaikan sarapan paginya ketika ia mendengar derap langkah kaki yang kemudian di susul dengan pintu kamarnya yang terbuka secara kasar dan .... Yano muncul dari sana!
Ia mengenakan baju kasual dengan atasan lengan pendek. Tangannya menenteng jaket, sementara tangan yang satunya menenteng tas hitam yang seukuran tak ransel. Pemuda itu bermandikan peluh. Ia menatap langsung ke arah Nanami dengan nafas ngos-ngosan.
          Keduanya berpandangan.
          Hening.
“Aku ... baik-baik saja.” Nanami membuka suara. Yano menelan ludah. Perlahan ia tersenyum, lalu tertawa terbahak-bahak. Dan sekian detik kemudian ia menangis. Tas dan jaket yang ia tenteng meluncur begitu saja. Pemuda itu ambruk. Ia menjatuhkan lututnya ke lantai, melipat kedua tangannya di keramik yang lembab tersebut kemudian menyembunyikan wajahnya di sana. Dan bahunya terguncang. Pemuda itu terisak dengan hebat.
          Nanami melihat adegan itu dengan tertegun. Air matanya menitik. Perlahan ia menyingkap selimut yang menutupi kakinya, lalu dengan tertatih-tatih ia turun dari tempat tidur dan mendekati Yano yang masih terisak dengan hebat.
Dengan menahan nyeri di kening,  ia duduk bersimpuh di dekat pemuda tersebut. Ia mengulurkan tangan dan membelai  rambutnya dengan lembut, lalu meraih kepalanya ke pangkuannya. Dan tangis pemuda itu kian menjadi-jadi. Ia menangis meraung-raung seperti anak kecil, di pangkuan Nanami.
“Aku sudah mendengar pesanmu. Aku baik-baik saja... Aku menunggu kepulanganmu... Aku menepati janjiku ‘kan?” Nanami kembali membelai rambut Yano dengan lembut. Ia mencium puncak kepala Yano dan tangisnyapun ikut pecah. 

Yano ...
Sekarang aku sadar
Kau tidak melarikan diri
Kau hanya jalan-jalan sebentar
Lalu tersesat ....

Kompasmu rusak

Tapi syukurlah
Kau menemukan jalan pulang
Kau kembali, padaku

Kau telah mengalami banyak hal
Kau pasti lelah, ya ‘kan?
Apa semua terlalu menyakitkan buatmu?

Tenanglah
Semua baik-baik saja sekarang
Tak ada yang perlu dikhawatirkan
Tinggalah di sini, bersamaku
Dan beristirahatlah...

***

          Nanami menatap bayangannya di cermin. Perempuan itu tak berhenti tersenyum. Beberapa hari setelah ia diijinkan pulang dari Rumah Sakit, Yano kembali ke Tokyo. Bukan untuk selamanya. Ia kesana untuk membereskan beberapa pekerjaan dan juga meminta maaf pada Yuri karena tak bisa hadir di pemakaman ibunya.
          Dan hari ini, tepat satu bulan setelah Yano ke Tokyo, lelaki itu akan pulang ke sini, selamanya, sesuai janjinya. Ia bahkan sudah membereskan beberapa hal demi bisa  melakukan semua pekerjaannya dari Sapporo.
“Ibu, aku berangkat dulu.” Ia berpamitan pada ibunya yang tengah memasak di dapur. Ibunya tampak heran.
“Mau kemana?”
“Ke stasiun.” Jawab tanpa berhenti tersenyum.
“Untuk apa?”
“Ibu lupa ya? Hari ini Yano kembali. Dan aku berniat menjemputnya.”
Ibu Nanami menatap jam di dinding sekilas. “Tapi ini baru jam setengah lima pagi. Bukankah keretanya baru akan datang jam 7?”
Nanami tersenyum lagi.
“Tidak apa-apa. Aku hanya tidak ingin terlambat menjemputnya saja.” Ia beranjak dengan lincah.
          Dan benarlah, ketika ia sampai di stasiun, tempat itu masih lengang. Kereta yang ditumpangi Yano memang baru akan datang jam 7 nanti. Tapi ia tak keberatan menunggu.
          Perempuan itu mematung di platform, tepat di tepi rel kereta. Pandangannya menerawang ke arah ujung rel, tempat datangnya kereta yang baru akan muncul sekitar 2 jam lagi. Tiba-tiba ingatannya kembali pada peristiwa beberapa tahun yang lalu.
Di stasiun inilah ia mengantarkan Yano pertama kali ketika ia berangkat ke Tokyo. Dan di sinilah ia nyaris patah arang menanti ia kembali, tanpa kabar, selama bertahun-tahun. Nanami sempat berpikir bahwa segala kisah cintanya dengan Yano telah berakhir di sini. Tapi ternyata ia salah. Justru di sinilah, segalanya di mulai.
Lamunan Nanami buyar ketika ia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Aroma cologne yang amat familar. Sosok itu mendekatinya, menyentuh pundaknya, menelusuri lengan tangannya yang terbuka dengan gerakan perlahan, lalu tangan kekar itu menggenggam tangannya untuk kemudian menautkan jemari mereka.
Tidak. Nanami tidak perlu berbalik. Karena ia tahu, siapa sosok yang tengah berdiri di belakangnya, yang sekarang tengah menggenggam erat tangannya.
 Tadaimaa*.” Ia berbisik lembut di dekat telinga Nanami. Suara itu adalah suara yang amat ia kenal. Suara dari sosok manusia yang teramat ia rindukan. Nanami tersenyum. Kedua matanya berkaca-kaca. “Okaeri*.” Jawabnya. Ia memutar tubuh dan sosok Yano sudah berdiri dengan gagah di depannya. Pemuda itu tersenyum.
“Apa kau ke sini pagi-pagi buta begini hanya untuk melamun?” Ia bertanya dengan disertai tawa kecil. Mata itu berbinar-binar, begitu hidup.
“Aku menjemputmu.” Jawab Nanami.
“Sepagi ini?”
Nanami kembali kembali mengangguk. “Aku hanya tak ingin terlambat saja. Lagipula, bukankah keretamu seharusnya datang jam 7?”
Kali ini Yano nyengir.
“Aku sengaja naik kereta dengan jadwal lebih awal. Aku sudah ada di sini sejak setengah jam yang lalu. Aku tak mau terlambat saja.” Jawabnya. Ia menarik tangan Nanami, mendekatinya lalu mengecup kening perempuan itu dengan lembut.
“Aku kembali, untukmu.” Bisiknya. Nanami tersenyum.
“Selamat datang kembali.” Jawabnya seraya menghambur ke arah Yano dan memeluk pemuda itu erat.

***

          Musim panas.
Yano dan Nanami berjalan menyusuri pantai dengan bergandengan tangan. Mereka sepakat menghabiskan sore hari di hari minggu yang cerah itu dengan berjalan-jalan di sana.
“Kapan Take berangkat ke Amerika?” tanya Yano. “Dua minggu yang lalu.” Jawab Nanami. Yano manggut-manggut. Ia tahu bahwa Take memang memutuskan untuk menerima sebuah pekerjaan di Amerika. Sahabat terbaiknya itu juga sudah bicara secara pribadi kepada padanya untuk berpamitan. Tapi ia tak bisa mengantar keberangkatannya karena masih berada di Tokyo.
“Bagaimana dengan Yuri?”
“Baik-baik saja. Ia melanjutkan hidup dan tetap bekerja di toko roti. Ia juga sudah mencari tempat tinggal sendiri.” Jawab Yano. Nanami manggut-manggut. Keduanya terus melangkah menikmati pasir putih yang sesekali disapu ombak tenang.
“Aku mencintaimu, Nanami.” Ucap Yano.
“Aku juga.” Jawab Nanami.
“Aku mencintaimu.”
“Ya.”
“Aku mencintaimu.”
“O-ke...”
“Aku mencintaimu.”
“Hm...” Nanami manggut-manggut.
“Aku mencintaimu.”
“Hari ini aku sudah mendengarmu mengatakan kata-kata itu ratusan kali. Jadi cukup. Aku percaya. Oke.” Nanami menatap lelaki di sampingnya dengan sebal. Yano malah tertawa.
“Aku hanya ingin membayar waktu 5 tahun yang telah kusia-siakan. Ibaratnya setiap hari aku ingin mengatakan ‘aku mencintaimu’ sepuluh kali, dan seharusnya kata-kata itu selalu kuucapkan sejak 5 tahun yang lalu, jadi berapa kata yang sudah kulewatkan? Apa kita perlu menghitungnya? Kau bawa kalkulator?”
Nanami tergelak. Sebuah toyoran di terima Yano di pundaknya. Lelaki itu ikut tertawa.
“Ada hal penting yang ingin ku katakan padamu.” Ucap Yano. Langkah Nanami terhenti tiba-tiba, begitu pula lelaki di sampingnya.  “Apa lagi?” Nanami menatap Yano dengan penuh selidik dan was-was.     
          Yano tersenyum. Ia melepaskan pegangan tangannya lalu mundur beberapa langkah. Lelaki itu menatap lurus ke mata Nanami.
“Nanami Takashi.”
“Ya?” Jawab Nanami dengan sedikit gugup.
“Aku mencintaimu.”
Nanami tersenyum.
“Kau tahu bahwa hatiku adalah milikmu. Sejak dulu. Tapi aku akan tetap mengatakan ini padamu, ratusan kali. Jadi, maukah kau menerimanya lagi?” ucap Yano lagi.
Nanami masih terus tersenyum.
“Hatimu terlalu berat. Bagaimana jika aku tak mampu menerimanya?”
“Karena hati itu berharga, bukankah memang sudah seharusnya berat?”
Nanami tergelak. “Kau benar. Baik, akan kuterima.” Jawabnya.
“Dan ... kau tahu bahwa aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Jadi ....”
          Nanami berubah takjub ketika tiba-tiba Yano berlutut di hadapannya, lalu merogoh sesuatu dari kantong celananya. Kedua matanya segera berkaca-kaca ketika lelaki itu menyodorkan sebuah cincin emas bermata emerald ke arahnya.
“Jadilah keluargaku, Nanami.” Ucapnya.  
“Will you be my family?” Lanjutnya.
Tanpa sadar, air mata Nanami menitik, ia terharu.
“Tapi aku tak bisa masak?” Suaranya bergetar.
Yano menggeleng. “Tak masalah. Aku pernah bekerja di rumah makan. Aku pernah hidup sendiri. Ketika ibuku sakit, akulah yang memasak untuknya. Kelak, biar aku yang memasak untukmu.” Jawabnya.
“Beberapa bulan ini aku makin gendut.”
Yano mengangkat bahu cuek. “Aku tak suka perempuan kurus.” Jawabnya. “Oke, apa lagi?” Kali ini ia bangkit, melangkah perlahan mendekati perempuan di hadapannya.
“Setelah kecelakaan itu, aku cuti terlalu lama. Mungkin aku akan dipecat dan ... aku akan jadi pengangguran.” Ucap Nanami lagi. Air matanya terus menitik.
“Setelah kita berkeluarga, aku ingin kau di rumah. Mengantarkanku ketika aku berangkat kerja, dan menyambutku ketika aku pulang ke rumah. Jadi, tak masalah jika kau tak punya pekerjaan.” Jawab Yano.
“Dan dokter bilang, jahitan di keningku tidak akan bisa hilang.” Nanami sesenggukan.
Yano memiringkan kepalanya dan mengamati luka di kening Nanami.
“Luka itu seksi. Tak masalah juga.” Jawab Yano.
“Jadi ...”
Nanami menatap lelaki dihadapannya dengan perasaan haru luar biasa. Perlahan ia mengangguk. “Iya, aku bersedia.” Jawabnya. Yano tersenyum. Ia meraih tangan Nanami, lalu menyematkan cincin itu di jari manisnya. Dan tanpa mengatakan apapun, ia merengkuh perempuan itu ke dekapannya lalu memeluknya. Erat. Ada banyak hal yang ingin ia ungkapkan sebagai pembayaran atas tahun-tahun yang telah mereka lewatkan. Tapi untuk saat ini, cukup seperti ini. Ia berjanji, ia pasti akan segera membayarnya, berkali lipat.
          Ia akan memberi Nanami cinta, sebanyak yang ia minta.
          Untuknya.
          Hanya untuknya.

          “Aku mencintaimu.” Yano kembali berbisik. Dan ia sadar, air matanya juga menitik. Karena bahagia.



***
Yano ....
Seseorang mengatakan bahwa kenangan dibuat dengan memadukan berbagai fragmen dari apa yang terjadi di masa lalu. Dan untuk sebagian orang, kenangan tak ubahnya seperti ilusi.
Dulu aku juga berpikir seperti itu.
Tapi kenyataan bahwa sekarang kita berada di sini adalah bukti bahwa kita ... ada.

Ibarat sebuah perjalanan...
Ada kalanya kita tersesat
Apa seharusnya kita berhenti?
Atau memutar arah?
Atau tetap berjalan meski jalannya berbatu?
Pilihan apapun yang kita ambil, itulah yang membawa kita pada kehidupan yang sekarang
Kadang kita salah, kadang kita benar
Tapi, itulah yang disebut kenangan.
Jejak kehidupan.

Yano ...
Setelah apa yang kita alami selama ini
Sekarang aku sadar
Aku.
Dilahirkan.
Untuk bertemu denganmu.

Arigatou...
Daisuki dayo...

***

Selesai







Senin, 16 Februari 2015

Bokura Ga ita - part 9



          Yano membuka pintu hanya untuk mendapati Yuri berdiri dengan kikuk di depan apartemennya. Cowok itu baru selesai  berkemas-kemas.  Hari ini, ia sudah memutuskan pindah ke sebuah apartemen yang lebih kecil dan lebih murah dan tentu saja lebih dekat dengan restoran tempat ia bekejerja.
“Untuk apa kau kemari?” Ia bertanya dengan nada tak ramah ke arah perempuan berkaca mata tersebut.
“Aku, turut berduka cita atas apa yang menimpa ibumu. Maaf, aku baru mengetahuinya.” Jawabnya, lirih.
“Pulanglah. Jangan datang kemari lagi karena aku akan pergi.” Ucap Yano tetap dengan kalimat yang tak ramah. Ia berbalik, masuk kembali ke dalam rumahnya tanpa menutup pintu. Yuri melangkah menyusulnya.
“Kau mau kemana?” cewek itu bertanya. “Pindah.” Yano menjawab singkat.
“Kenapa?”
Yano kembali merapikan barang-barangnya tanpa melihat ke arah Yuri. “Sewa apartemen ini terlalu mahal. Aku tak sanggup membayarnya.” Jawabnya.
“Lalu sekolahmu?”
“Aku berencana berhenti.”
Yuri mematung, menatap cowok yang terus bicara tanpa menatap ke arah dirinya.
“Apa kau sangat membenciku, Yano?” cewek itu bertanya, suaranya tak lagi lirih. Yano terdiam. Ia menegakkan tubuhnya lalu berbalik dan menatap Yuri.
“Kau sudah tahu jawabannya.” Ucapnya tegas. Kedua mata Yuri berkaca-kaca.
“Bencilah, kalau kau ingin benci. Tapi fakta bahwa kita pernah melakukan sesuatu yang istimewa, kau takkan bisa menyangkalnya.”
“Itu sebuah kesalahan! Apa yang terjadi di antara kita adalah sebuah kesalahan! Jangan pernah mengungkitnya lagi!” Yano berteriak. Ia menendang sebuah kardus di depannya dengan kesal. Bibir Yuri bergetar.
Hening.
“Apakah kau tidak punya perasaan padaku, sedikit saja? Walau hanya sedikit saja?” Yuri menatap lurus ke arah Yano. Cowok itu juga membalasnya. Ia menggeleng.
“Tidak. Maaf.” Jawabnya.
Air mata Yuri menitik.
“Ada sebuah rahasia yang ingin kuceritakan padamu.” Suara Yuri terdengar bergetar. Yano mengernyit. “Apa?”
          Cewek di hadapannya menelan ludah. “Ketika kakakku meninggal, dia tidak mengkhianatimu.” Ucapnya. “Selama menjadi pacarmu ia memang punya banyak pacar gelap. Tapi pada  waktu itu, hari ketika dia mengalami kecelakaan dan meninggal, dia tidak mengkhianatimu. Lelaki yang bersamanya waktu itu bukan selingkuhannya, tapi pacar temannya. Dia minta tolong pada kakakku untuk menemaninya membeli kado.”
Yano mematung.
“Bagaimana kau tahu?” Ia mendesis.
“Karena waktu itu aku juga bersama mereka. Tapi aku tidak ikut mereka berbelanja melainkan turun di tempat les. Jika saja aku ikut mereka, bisa dipastikan, aku pasti juga meninggal bersamaan dengan kakakku.” Jawab Yuri.
“Kenapa kau baru menceritakan ini padaku?” Tatapan Yano tampak kosong.
“Karena aku mencintaimu. Kupikir dengan kepergian kakakku, kau bisa memberikan sedikit saja perhatianmu kepadaku. Tapi ternyata aku salah.” Air mata Yuri kembali menitik. “Lepas dari kakakku, kau malah jatuh cinta dengan Nanami.” Ia mundur beberapa langkah. Ia menggeleng dengan putus asa.
“Aku menyerah, Yano. Aku tak bisa lagi hidup seperti ini. Selamat tinggal.”
          Dan semua terjadi begitu cepat. Tiba-tiba saja Yuri mengeluarkan sebuah gunting dari tas nya lalu mengarahkan ujung gunting sepanjang 10 cm itu ke lehernya sendiri. Yano membelalak.
“Tidakkk!!!”

***

Yano, 5 tahun telah berlalu ....
Tapi aku tak pernah berhenti berdoa pada Tuhan
Dimanapun kau berada, dengan siapapun kau saat ini, semoga kau selalu hidup bahagia ....

***

          Stasiun ramai oleh orang yang berlalu lalang berikut kereta yang datang dan pergi sesuai jadwal. Nanami hanya duduk mematung di salah satu kursi tunggu. Perempuan yang mengenakan pakaian kantor itu sudah berada di sana selama hampir satu jam.
Ia sudah memutuskan, ini akan menjadi yang terakhir kalinya.
          Ya, ini akan menjadi terakhir kalinya ia berkunjung ke stasiun untuk menunggu Yano. Ia memutuskan untuk tidak melakukannya lagi. Take bilang, Yano sudah memilih jalannya sendiri, dan Nanami akan merelakannya. Ia akan merelakannya.

***

          Nanami tiba di apartemennya pukul 11 malam. Perempuan itu segera takjub ketika menemui sebuah candle light dinner telah tertata dengan manis di meja makannya, sementara Take berdiri di samping meja dan menyilakan perempuan itu dengan senyumnya yang hangat.
Selama ini Take memang sering berkunjung ke apartemen Nanami. Ia bahkan punya kunci duplikatnya. Selain itu, hubungan mereka juga semakin membaik. Membaik tidak dalam artian mereka pacaran. Tapi tak bisa dipungkiri, Take adalah satu-satunya lelaki yang bertahun-tahun ini dekat dengan Nanami. Begitu pula sebaliknya.
Okaeri.” Lelaki itu menyapa. Nanami tergelak. “Kau yang menyiapkannya?” Ia bertanya dengan wajah berseri. Take mengangguk. “Surprise. Anggap saja ini perayaan karena hari ini kau resmi naik jabatan di kantor.” Ia menjawab. Nanami tersenyum.
Sugoi* (Hebat). Trims ya, Take. Ngomong-ngomong, aku hanya menjadi asisten manajer. Tak perlu dirayakan semewah ini.” Ucapnya.
“Apapun itu harus dirayakan. Itu sebagai pertanda bahwa kita bersyukur dengan anugerah dari yang maha kuasa. Oke?”
Take menatap Nanami dengan lembut. Ia menarik salah satu kursi lalu membimbing Nanami untuk duduk di sana. Sementara ia sendiri duduk di seberang meja.
“Kau yang terbaik, Take.”
“Terima kasih.”
          Mereka melewati acara makan malam dengan disertai obrolan tentang kegiatan mereka masing-masing di tempat kerjanya. Nanami menceritakan tentang proses dipilihanya dia menjadi asisten manajer. Sementara Take bercerita bahwa minggu ini ia berhasil menjual 5 apartemen mewah kepada beberapa artis ternama. Dan bonus yang ia terima, tentu saja luar biasa.
          Setelah acara makan malam selesai dan mereka melakukan aktivitas cuci piring bersama-sama, mereka menghabiskan malam yang tersisa dengan duduk-duduk di balkon. Angin malam berdesir menerpa untaian rambut Nanami ketika Take berdehem, “Apakah aku belum bisa memenangkan hatimu, Nanami?” Ia bertanya seraya menatap perempuan di sampingnya. Nanami menoleh dan balas menatap Take. Ini untuk kesekian kalinya Take menyatakan cinta padanya. Dan mungkin akan menjadi kesekian kalinya ia menjawab dengan jawaban yang sama.
“Kau sudah tahu siapa yang telah memenangkan seluruh hatiku, Take. Bahkan jika ia tak berada di sampingku, selamanya, perasaanku padanya tak pernah berubah.” Jawabnya.
          Take tersenyum kecut seraya manggut-manggut. “Aku tahu. Apapun yang telah Yano lakukan padamu, bahkan jika ia meninggalkanmu, mengkhianatimu, perasaanmu padanya takkan pernah berubah. Ya ‘kan?”
Kali ini Nanami yang tersenyum getir. “Maafkan aku, Take. Aku tahu kamu lelaki yang baik. Tapi, sudah saatnya aku memikul sendiri bebanku, kesedihanku. Kau harus terus melanjutkan hidup dan menemukan orang yang cocok untukmu. Percayalah, kau akan menemukan orang yang lebih baik dariku.” Jawabnya.
“Dan kau harus percaya padaku, bahkan jika kau menolakku berkali-kali, perasaanku padamu juga takkan berubah. Sama seperti apa yang kau rasakan pada Yano.” Jawab Take. Keduanya terdiam.
“Aku ada sesuatu untukmu.” Take merogoh sesuatu dari saku jasnya. Ia mengeluarkan selembar kertas lalu menyodorkannya ke arah Nanami.
“Apa ini?” Tanya Nanami.
“Alamat Yano.” Jawab Take. Tubuh Nanami membeku seketika.
“Maaf, selama ini tanpa sepengetahuanmu, aku terus berusaha mencari keberadaan Yano atas bantuan Akira. Kau ingat ‘kan dia bekerja sebagai detektif swasta. Aku tidak melakukannya untukmu Nanami. Aku melakukannya untukku sendiri. Aku hanya ingin tahu saja pilihan hidup seperti apa yang telah diambil oleh Yano sehingga ia tega meninggalkan kekasih, teman-temannya, dan juga semua kenangannya di kota ini. Dia berutang banyak penjelasan padaku. Padaku, sahabat masa kecilnya, sahabat terbaiknya.” Jelasnya. Nanami tetap mematung. Take meraih tangannya lalu meletakkan lembaran kertas itu di genggaman tangannya. “Lihatlah dulu.” Ucapnya.
Nanami menatap lembaran kertas di tangannya kemudian dengan tangan gemetar, ia membuka lipatannya lalu membaca deretan kalimat yang tertera di sana.
“Yano Nagakura?” Ia mengernyit sambil menatap Take. Take mengangguk.
“Dia bukan lagi Yano Motoharu, melainkan Yano Nagakura. Aku tidak tahu alasannya kenapa dia mengubah nama keluarganya. Itulah yang akan kucari tahu selanjutnya. Mau menemuinya bersama-sama?” Take menawarkan.
Nanami terdiam. Perlahan ia menggeleng lalu menyerahkan kembali kertas tersebut ke arah Take.
“Aku takkan menemuinya, Take. Tidak akan. Dia pasti punya alasan sendiri untuk menghilang. Dan aku takkan mencari tahu apa alasannya tersebut. Yang terpenting adalah, dia baik-baik saja.” Bibir Nanami bergetar. Take tahu bahwa perempuan itu sedang menahan tangis.
          Pemuda itu beranjak, meraih kepala Nanami, lalu membenamkannya ke pelukannya. “Tak apa-apa. Menangislah kalau kau ingin menangis. Luapkan semua emosimu. Aku ada di sini untukmu.” Bisiknya. Dan tak butuh waktu lama hingga akhirnya tangis Nanami benar-benar pecah. Bahu perempuan itu terguncang dan ia terisak di pelukan Take.

***

          Yano Nagakura.
          Take menatap ke arah papan nama di samping pintu lalu ke arah kertas di tangannya secara bergantian. Setelah memastikan ia berada di alamat yang benar, ia menekan bel. Ia hanya perlu memencet bel satu kali karena setelah itu pintu perlahan terbuka dan ... sesosok perempuan muncul dari sana. Take terkesiap. Sosok perempuan itu adalah sosok yang ia kenal!
“Yuri?” Ia mendesis tak percaya. Yuri juga tampak mengalami keterjutan yang sama.
“Takeuchi?” Ia memanggil lirih. Keduanya berpandangan beberapa saat sebelum akhirnya Yuri menyilakan Take masuk.

***

          “Jadi selama ini ternyata kalian tinggal bersama?” Tanya Take. Yuri tak menjawab. Ia meletakkan secangkir teh ke atas meja, tepat di depan Take. “Silahkan.” Ucapnya.
“Sudah berapa lama kalian tinggal bersama?” Take kembali bertanya. Yuri berdiri mematung tanpa menjawab.
“Apa kalian menikah? Atau kalian hanya tidur bersama?” Take bertanya tak sabar tanpa membuang pandangannya dari perempuan tersebut.
“Apa kau ke sini hanya untuk menginterogasiku?” tanya Yuri getir.
“Ya.” Take menjawab cepat.
“Aku tak mengerti, kenapa harus kau?! Yano meninggalkan segalanya, kekasihnya, teman-temannya, kenangan-kenangannya, demi ... kau?! Kenapa harus kau?!” Take menyambar cangkir di meja dan ... prankkk! Cangkir itu meluncur ke lantai dan hancur berkeping-keping. Yuri tersentak kaget. Take menyisir rambutnya dengan frustasi. Hening sesaat.
“Maaf, aku hanya terlalu emosi.” Ucapnya. Tanpa berkata-kata Yuri beranjak, merapikan cangkir yang hancur berantakan di lantai, lalu membawanya ke dapur. Dan beberapa saat kemudian ia kembali dengan membawa cangkir baru – masih berisi teh.
“Silahkan.” Ia kembali menyilakan. Take terdiam kemudian menarik nafas panjang. Ia menatap perempuan di hadapannya dengan tatapan tak mengerti.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Ia kembali bertanya. Yuri balas menatap lelaki tersebut.
“Kami memang tinggal bertanya. Tapi dia hanya menganggapku kerabat.” Jawabnya. “Dia tidak memilihku, Take. Dia hanya berusaha menyelamatkanku.” Lanjutnya.
“Beberapa tahun yang lalu, aku nyaris mengakhiri hidupku sendiri. Aku hanya merasa frustasi, putus asa. Aku datang ke Tokyo tanpa bekal apa-apa. Aku terlalu nekat. Segalanya berjalan tak sesuai rencana. Rumit. Aku kesulitan keuangan, dan tiba-tiba saja ibuku koma karena terkena stroke. Belum lagi, aku menerima kebencian mendalam dari Yano. Aku putus asa. Aku berniat bunuh diri.” Kedua mata Yuri berkaca-kaca.
“Tapi kemudian Yano menyelamatkanku. Dia mengijinkanku menumpang di apartemennya. Ia juga banting tulang membantu pengobatan ibuku. Ia bahkan bersedia diadopsi keluarga ayahnya demi bisa membayar semua biaya rumah sakit karena kau tahu sendiri ‘kan, biaya rumah sakit sangat mahal. Belum lagi Yano masih harus melanjutkan sekolahnya. Sementara gajiku bekerja di toko roti, tidak seberapa.” Lanjutnya.
“Lalu ibumu?”
“Dia masih koma. Ia sudah koma selama 5 tahun. Aku sempat menyerah dan meminta dokter mencabut semua alat bantu di tubuhnya agar ia bisa pergi dengan tenang. Tapi Yano melarang. Dia bilang, bisa hidup adalah anugerah. Maka kita tak boleh melarangnya.” Jawabnya.
Take terdiam.
“Yano mengalami trauma dengan apa yang menimpa ibunya dan kakakku. Mereka meninggal meskipun Yano sudah berusaha melindungi mereka. Itulah sebabnya ia memilih untuk tidak mengabaikan aku dan ibuku, karena ia tak ingin mengalami penyesalan yang sama seperti yang ia alami ketika ia kehilangan ibunya dan juga kakakku.” Air mata Yuri menitik, tapi ia segera menghapusnya.
“Sekarang dimana Yano berada?”
“Ia bekerja di salah satu perusahaan ayahnya sebagai asisten grafis. Jangan membayangkan ia menjadi pangeran muda dengan gelimpangan harta peninggalan ayahnya. Ia masih pemuda yang sama. Sederhana dan bersahaja. Ia memang menyandang nama keluarga ayahnya, tapi secara finansial, ia hidup dengan gajinya sendiri.” Perempuan itu kembali menjelaskan. Take bangkit. “Aku akan menemuinya.” Ujarnya.

***

          Yano menatap Take yang berdiri termangu tepat di depan gedung tempat ia bekerja. Ia mengerutkan keningnya, lalu merapatkan jaketnya untuk selanjutnya melangkah menghampiri sahabatnya yang saat ini tengah menatap nanar ke arahnya.
“Kaget karena aku berhasil menemukanmu?” Sapa Take sinis. Yano tersenyum.
“Bagaimana kabarmu, Take? Kau terlihat makin dewasa dengan stelan jas itu. Kau menjadi pekerja kantoran sekarang?” Ia balas menyapa dengan pertanyaan.
“Dan kau masih saja seperti dulu. Arogan dan menyebalkan. Tapi syukurlah kau baik-baik saja.” Jawab Take.
“Kau juga terlihat sehat. Dan aku senang melihatnya. Ingin berkunjung ke rumahku?”
Take tersenyum sinis.
“Aku sudah dari sana.” Jawabnya pendek. Yano tampak tertegun. Mereka berpandangan.
“Yano, kenapa harus Yuri?” Tanya Take dengan suara parau. “Kenapa kau lebih memilih dia daripada Nanami? Kenapa kau lebih memilih menolong Yuri dan ibunya lalu mengabaikan Nanami?” Laki-laki itu nyaris berteriak.
          Yano menelan ludah. Ia terdiam sesaat.
“Take, jika ada orang yang tenggelam di hadapanmu, siapa yang akan kau tolong?” suaranya terdengar bergetar.
“Apa maksudmu?” Take bertanya bingung. Yano memasukkan tangannya ke saku jaketnya lalu menarik nafas panjang. Pemuda itu duduk di salah satu kursi di taman gedung tersebut sebelum akhirnya kembali berkata-kata.
“Jika ada orang yang tenggelam di hadapanmu, entah itu teman, keluarga, atau kekasih, maka aku akan menyelamatkan orang yang tidak bisa berenang.” Ucapnya.
Take tak melepaskan tatapannya dari pemuda tersebut.
“Itulah yang terjadi antara aku, Yuri, ibunya dan juga ... Nanami. Yuri datang ke Tokyo mengikutiku tanpa bekal apa-apa. Ia terpuruk. Ia mengalami masa-masa sulit. Terlebih lagi ketika ibunya jatuh sakit dan mengalami koma. Ia tak punya siapa-siapa tempat ia bersandar dan meminta pertolongan. Dan itulah yang akhirnya kulakukan padanya. Aku berusaha menyelamatkannya, agar ia tak tenggelam.” Suara Yano getir.
“Dan .. Nanami?”
Yano kembali menarik nafas panjang.
“Nanami, kekasihku, aku mencintainya. Dengan sepenuh hatiku. Tapi aku tahu dia perempuan yang kuat, ia tegar. Sebesar apapun cobaan yang ia hadapi, ia takkan runtuh. Terlebih lagi karena ia dikelilingi orang-orang yang menyayanginya. Keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan juga kau. Itulah yang mendasari diriku untuk mengambil keputusan itu.”
“Menolong Yuri dan ibunya lalu mengabaikan Nanami?”
Yano mengangguk pelan. Ia menunduk dengan lemah.
“Aku memang bersalah, Take. Aku mengabaikannya, aku menghilang darinya. Tapi aku yakin bahwa Nanami akan baik-baik saja. Ia akan melewati semua ini. Karena dia adalah perempuan yang kuat.” Ucapnya lagi.
          Take tertawa sinis. Ia beranjak. Menarik kerah baju Yano, lalu memberikan sebuah pukulan telak ke wajahnya. Yano jatuh terjengkang. Ia tak berusaha membalas pukulan Take. Cowok itu hanya terduduk letih seraya menghapus darah yang mulai keluar dari bibirnya yang robek.
“Kau ingin tahu siapa yang tenggelam, hah?!! Nanamilah orangnya!” Take berteriak marah.
“Nanami-lah yang tenggelam! Kau tak tahu kesedihan yang ia alami sejak kau menghilang! Kau tak tahu seberapa banyak air mata yang telah ia keluarkan karena dirimu!” Kedua mata Take berkaca-kaca. Ia terduduk lemas di samping Yano.
“Setiap malam, setiap malam, Yano. Ia menangisimu, ia mendoakanmu.” Suaranya parau.
“Awal kau menghilang, dia mengalami depresi. Dokter bilang, dia mengalami gangguan kepanikan. Terkadang ia kesulitan bernafas ketika batinnya tertekan. Ia tak bisa naik kereta, ia tak bisa naik pesawat. Atau ia akan muntah, bahkan ketika di perutnya tak ada lagi yang bisa dimuntahkan. Dia hampir menyerah, Yano. Dia hampir menyerah.” Kristal bening-bening mengumpul di sudut mata Take.
Yano menatapnya dengan mata terbelalak. Take mengangguk.
“Karena kau. Kaulah penyebab sehingga ia harus keluar masuk rumah sakit untuk menjalani pengobatannya.” Lanjutnya.
“Sekarang Nanami memang sudah membaik. Gangguan itu sudah jauh berkurang dari beberapa tahun yang lalu. Seperti yang kau bilang, Nanami gadis yang kuat, ia tegar. Ia bisa bangkit melewati masa-masa sulitnya. Tapi kenyataan itu akan terus menghantuinya. Kau, telah membiarkan ia tenggelam.” Tatapan Take lurus ke arah Yano hingga membuat lelaki itu diam mematung tak berdaya.

***

          Nanami nyaris menjatuhkan map-map yang ada di dekapannya ketika sosok itu seolah secara ajaib muncul di hadapannya. Ia berdiri di seberang jalan, menatap lurus ke arahnya, tersenyum lalu melambaikan tangan.  Tenggorokan Nanami tercekat. Ingin ia menjatuhkan map-map di tangannya lalu berlari, menyeberang jalan untuk kemudian menghambur ke arah sosok itu. Sosok yang menghilang sejak 5 tahun lalu, sosok yang kini terlihat lebih dewasa dan ... baik-baik saja.
“Yano.” Nanami mendesis lirih.
          Yano terus tersenyum seraya melenggang, menyeberangi jalan, kemudian melangkah mendekati Nanami yang masih berdiri mematung.
“Yo*.” Yano menyapa seraya melambaikan tangannya.
“Mau makan bolu kukus bersama-sama?” Ia kembali berujar dengan nada biasa, seolah mereka seperti dua orang manusia yang setiap hari bertemu. Nanami menelan ludah. Perlahan ia bergerak, mendekati Yano dan ... Plakkk! Ia menampar pipi Yano.
Yano meringis sesaat seraya memegangi pipinya. “Whoa, lama tak ketemu kau makin kuat, Nanami.” Sindir Yano seraya terkekeh sinis. Nanami menatapnya dengan marah.
“Itu untuk tahun-tahun yang kulewatkan tanpa dirimu, untuk tahun-tahun setelah kau meninggalkan aku tanpa kabar!” Ia berteriak.
          Yano tersenyum. Ia manggut-manggut. “Gomenashai*.” Ucapnya, lirih. “Sekarang, bisa kita makan bolu kukus bersama-sama?”
Air mata Nanami menitik, tapi perlahan ia mengangguk.
          Yano menggenggam tangan Nanami dan mereka berjalan menyusuri trotoar menuju toko roti, tempat dijualnya bolu kukus favorit Yano. Mereka sering jajan di sana ketika masih duduk di bangku SMA. Setelah kenyang dengan bolu kukus, mereka berjalan-jalan di taman. Mereka duduk-duduk di sana sembari mengobrol hal biasa.
“Aku tak perlu menanyakan kabarmu karena kau terlihat baik-baik saja.” Ucap Nanami. Yano tertawa.
“Dan aku juga tak perlu menanyakan kabarmu karena kau terlihat baik-baik saja dan ... makin cantik.” Jawab Yano. Nanami tersenyum. “Terima kasih.” Jawabnya.
“Tapi kau benar-benar berbeda. Lihatlah, Nanami dengan rok pendek, blouse, dan ... sepatu heel. Woa, keren.” Ucap Yano lagi hingga membuat Nanami tertawa.
“Apa yang membuatmu datang kembali ke kota ini?” tanya Nanami kemudian. Yano menatapnya. Karena kau, ucapnya dalam hati.
“Ada pekerjaan yang harus ku selesaikan di sini. Nanti malam aku sudah harus pulang kembali ke Tokyo.” Jawabnya. Nanami manggut-manggut.
Pulang.” Ia mendesis. “Sekarang kau menggunakan kata ‘pulang’ untuk Tokyo. Berarti rumahmu memang di sana ‘kan?”
Yano hanya tersenyum kecut. Keduanya terdiam sesaat.
“Aku sudah dengar semuanya dari Take. Tentang kau, Yuri dan ibunya yang sakit.” Ucap Nanami tanpa menatap ke arah Yano. Lelaki itu juga melakukan hal yang sama. ia menerawang ke langit yang mulai gelap.
“Apa ibunya bisa disembuhkan?”
Yano menggeleng.
“Dokter bilang, tak ada harapan. Kami hanya tinggal menunggu waktu sampai ia bisa pergi dengan tenang.” Jawabnya.
“Aku turut sedih.”
“Terima kasih.”
Hening lagi.
          “Setelah mendengar alasanmu pergi, sekarang aku tak marah lagi padamu, Yano. Kau tak perlu lagi merasa bersalah padaku. Aku lega kau baik-baik saja dan ... aku memaafkanmu.” Ucap Nanami lagi.
Yano merasakan dadanya sesak. Tadinya ia kesini untuk berbicara langsung pada Nanami, meminta maaf padanya, tapi ia bahkan tak mampu berucap apa-apa. Dan sekarang, justru Nanami-lah yang dengan lapang hati memaafkannya. Betapa ia adalah lelaki brengsek tak tahu diri. Ia merutuki diri sendiri.
“Aku harus pulang.” Nanami bangkit. “Terima kasih hari ini kau sudah mengajakku jalan-jalan.” Ia menatap Yano dengan lembut.
“Nanami, aku ....”
“Tidak, Yano. Kau tak perlu menjelaskan apa-apa lagi padaku. Sudah cukup, aku sudah tahu semuanya.”
Yano bangkit. Ia menyentuh pipi Nanami dengan jemarinya, lalu menyelipkan untaian rambutnya yang tertiup angin ke belakang telinganya. Pemuda itu menelan ludah. Perlahan ia merapikan jaket dan juga syal Nanami.
“Jangan sampai kedinginan.” Ucapnya lirih. Nanami mengangguk. Yano mendekatinya, menempelkan keningnya pada kening Nanami. Air matanya menitik.
“Pulanglah. Teruslah melangkah, jangan menoleh lagi ke belakang. Tinggalkan aku, lupakan aku.” Bisiknya. Nanami mengangguk. Air matanya juga menitik.
Daijubu*. Aku baik-baik saja, Yano. Aku akan baik-baik saja, percayalah padaku.” Balasnya. Lirih. Lalu perempuan itu berbalik, terus melangkah meninggalkan Yano, tanpa menoleh kembali ke arah lelaki tersebut.
Yano menatap kepergian perempuan itu dengan berlinang air mata. Hatinya hancur, lagi.
Pemuda itu menghempaskan tubuhnya kembali ke bangku taman. Rasanya kebas. Tak bertenaga. Ia baru saja menghimpun seluruh tenaganya kembali ketika phonselnya berdering.
“Halo.” Ucapnya setelah menekan tombol ‘oke’. Terdengar suara perempuan dari seberang sana, menangis.
“Yuri?”
“Ibuku ... meninggal.”


***

          Kereta yang ditumpangi Yano baru saja berjalan meninggalkan stasiun sekitar beberapa menit yang lalu. Namun pemuda itu duduk dengan gusar. Ia menimang-nimang phonsel di tangannya dengan tangan gemetar. Tidak, ia tidak gusar karena ingin menelpon Yuri. Sebaliknya, ia gusar karena ingin menelpon Nanami.
Ia ingin menelpon perempuan tersebut dan memberitahunya bahwa ia sedang dalam perjalanan kembali ke Tokyo sekaligus ia ingin memberi tahu bahwa ibu Yuri telah meninggal. Tapi, ia bingung. Setidaknya ia ingin menelpon untuk berpamitan. Tapi, ia ragu. Apa Nanami akan menjawab telponnya? Apa yang akan dikatakan perempuan itu jika ia tahu ia sedang dalam perjalanan ke Tokyo?
          “Kau baik-baik saja?” Seorang penumpang yang duduk di samping Yano bertanya dengan cemas. Yano tersenyum kaku. “Saya baik-baik saja. Hanya ... gugup.” Jawabnya. Perempuan itu manggut-manggut.
Yano kembali menatap ke arah phonselnya. Dan akhirnya ia memutuskan, ia akan menelpon Nanami untuk berpamitan.
          Yano sudah melakukan panggilan sebanyak 3 kali, dan tetap tak ada jawaban. Barulah di panggilan yang ke-empat, ia mendengar suaranya dari seberang sana.
          “Halo,”
          “Halo, Nanami. Ini ... Yano.”
Hening sesaat.
          “Yano, ada apa?”
          “Aku sedang dalam perjalanan kembali ke Tokyo dengan kereta. Maaf, aku tidak bisa berpamitan secara langsung padamu. Ibu Yuri meninggal. Jadi aku terlalu buru-buru.”
          “Ibu Yuri meninggal? Aku ikut berbela sungkawa.”
          “Terima kasih.”
Hening lagi.
          “Kau sedang sibuk?”
          “Tidak. Aku sedang dalam perjalanan pulang. Aku sedang bersiap-siap memanggil taksi.”
Keduanya kembali sama-sama terdiam.
          “Nanami, aku tahu hubungan kita tidak akan pernah seperti dulu. Tapi ....”
          “Yano, aku .....”
          Tiba-tiba Yano mendengar suara ban berdecit yang kemudian di susul dengan bunyi berdebum yang amat keras. Seperti sesuatu yang bertabrakan.
          Tut .... tut .... tut ....
          Pembicaraan antara dia dan Nanami terputus. Yano merasakan dadanya berdebar. Tiba-tiba saja ia merasakan ketakutan luar biasa menghinggapinya. Ia berusaha melakukan penggilan kembali, berulang-ulang. Tapi nihil. Phonsel Nanami tak aktif.
Ada apa denganmu, Nanami? Teriaknya dalam hati. Setelah gagal menelpon phonsel Nanami, Yano memutuskan untuk menelpon Take.
          “Halo.”
          “Halo. Take, aku Yano. Bisa kau hubungi Nanami. Beberapa menit yang lalu aku bicara dengannya di telepon. Tapi kemudian pembicaraan kami terputus. Tolong cari tahu apa sesuatu menimpa dirinya. Aku cemas.”
          “Dimana kau sekarang?”
          “Aku sedang dalam perjalanan kembali Tokyo.”
          “Oke. Aku akan menemuinya.”
          “Take?”
          “Ya.”
“Beritahu aku kalau dia baik-baik saja.”
“Oke.”
Dan pembicaraan di antara mereka terputus.

Yano kembali menimang-nimang phonselnya dengan gusar. Pembicaraannya dengan Take berlangsung sekitar 1 jam yang lalu. Dan sampai detik ini ia belum menerima kabar tentang keadaan Nanami.
“Apa kau sakit?” Perempuan di samping Yano kembali bertanya. Yano menggigit bibirnya bingung.
“Saya hanya gugup. Saya baik-baik saja.” Jawabnya. Karena tak sabar, akhirnya memutuskan untuk kembali menelpon Take. Dan ia bersyukur karena sahabatnya itu menjawabnya.
“Take, apa yang sebenarnya ....”
“Nanami mengalami kecelakaan.”
Jawaban itu membuat jantung Yano berhenti berdetak selama sekian detik.
“Apa maksudmu?”
Ia tertabrak mobil. Sekarang aku sedang di rumah sakit. Dokter baru saja melakukan CT scan. kepalanya terluka dan dia belum sadarkan diri, Yano. Dia belum sadarkan diri.” Suara Take terdengar meratap. Yano menelan ludah. Dadanya sakit. CT scan? Belum sadarkan diri?
“Apa dia terluka di tempat lain selain di kepalanya?” Suara Yano nyaris tak terdengar.
Entahlah, Yano. Aku tak tahu. Aku ....” tiba-tiba saja ia mendengar Take terisak. “Aku melihat darah di tasnya ... di bajunya. Darah .. dimana-mana. Ia mengeluarkan banyak darah, Yano. Aku takut ia ... ia .... ” Suara Take terbata-bata.
Phonsel di genggaman tangan Yano meluncur ke lantai. Kedua lengannya terkulai lemas. Air mata Yano menitik.
Tidak.
Ini pasti salah.
Seseorang, bantu aku.
Tolong beritahu aku bahwa aku sedang bermimpi.


***

Bersambung...





Yo     : Halo ( sapaan ini tergolong informal dan biasanya diucapkan antar teman atau antar orang yang sudah saling mengenal dengan baik, dimana umur mereka sebaya)
Daijubu : aku baik-baik saja.