Tubuh
Yano melorot di lantai kamar mandi yang lembab. Phonselnya tergeletak begitu
saja di antara dua kakinya. Ia sesenggukan, putus asa. Ia ingin berlari ke
tempat Nanami, tapi itu mustahil. Shinkanzen yang ia naiki baru akan berhenti
di stasiun selanjutnya, dan itu paling cepat setengah jam kemudian. Setelah
itu, jika ingin kembali ke Sapporo maka cara tercepat ia harus naik taksi. Tapi
tetap saja, ia baru akan sampai di sana jam 8 pagi keesokan harinya. Yano
mengacak rambut-rambutnya sendiri.
Phoselnya
kembali berdering. Ia segera menyambarnya.
“Take?” Ia menyapa tak sabar. Hening
sesaat.
“Yano
... dia masih di ICU. Dia ...” Take terisak. “Kau harus ke sini, Yano. Bagaimanapun caranya, kau harus ke sini. Ini
tak adil untuk Nanami. Ini tak adil baginya.” Suara Take serak.
Yano menelan ludah.
“Pulanglah.
Temui Nanami. Kau berutang banyak padanya. Kau berutang air mata, penderitaan,
kesedihan, dan ... waktu.”
Yano menggigit bibirnya keras. Air
matanya tak bisa berhenti mengalir.
“Dengar
sobat, kau mendapat kehormatan dariku. Aku merelakan Nanami untukmu padahal kau
tahu bahwa dia satu-satunya wanita yang ku inginkan di dunia ini. Karena itu
... karena itu ... jangan sia-siakan pengorbananku, baka*!”
Bibir Yano bergetar.
“Aku akan pulang, Take. Aku pasti
pulang.” Ucapnya.
“Kami
menunggumu.”
“Aku akan berhenti di stasiun berikutnya
lalu ke sana dengan naik taksi. Paling cepat aku akan sampai di sana keesokan
harinya.”
“Oke.”
Hening sesaat.
“Take ...” Panggil Yano dengan suara
serak.
“Ya?”
“Jika terjadi sesuatu pada Nanami,
jangan pernah memaafkanmu.”
Hening lagi.
“Aku
memang tak berniat memaafkanmu jika hal buruk menimpa Nanami.” Jawab Take.
Yano manggut-manggut.
“Bagus. Karena jika dia pergi, aku juga
tak berencana hidup lagi.” Ia memutus pembicaraan.
Lelaki itu kembali menegakkan punggung
lalu menyandarkannya di dinding. Kepalanya menengadah hingga air mata mengalir
di pelipisnya.
Nanami ...
Jika ada orang yang mampu membuatku bertahan sampai
saat ini, kaulah orangnya.
Kenyataan bahwa kita masih berada di bawah langit
yang sama, membuatku kuat menghadapi semua cobaan hidup.
Karena itu, kau harus bertahan.
Aku akan menebus semua kesalahanku padamu.
Semuanya.
***
Yano
sampai di stasiun berikut dan segera mendapatkan taksi untuk membawanya kembali
ke Sapporo. Pemuda itu menatap phonselnya sesaat setelah taksi yang ia tumpangi
berjalan. Battery low.
Sebelum phonselnya mati, ia memutuskan
untuk melakukan satu panggilan : ke nomor Nanami.
Seperti
yang sudah ia duga, phonsel Nanami masih
tidak aktif. Ia diterima mesin penjawab. Dan ia meninggalkan pesan suara di
sana dengan suara serak.
“Nanami, aku akan pulang menemuimu. Aku
akan meninggalkan segalanya, meninggalkan Tokyo, untukmu. Hanya kau yang paling
penting. Hanya kau yang paling kuinginkan. Karena itu, bertahanlah. Tunggu
kedatanganku. Oke?”
Dan phonselnya mati.
***
Nanami
sudah sadarkan diri. Keningnya memang menerima beberapa jahitan. Tapi cedera kepala
yang ia alami tidak parah. Ia bahkan sudah bisa duduk dan mengobrol dengan
lancar dengan para dokter dan suster.
Setelah
ruangan sepi, ia kembali menatap
phonselnya di atas meja. Phonsel itu sudah menyala. Dan ia tersenyum.
Perempuan
itu baru menyelesaikan sarapan paginya ketika ia mendengar derap langkah kaki
yang kemudian di susul dengan pintu kamarnya yang terbuka secara kasar dan ....
Yano muncul dari sana!
Ia mengenakan baju kasual dengan atasan
lengan pendek. Tangannya menenteng jaket, sementara tangan yang satunya
menenteng tas hitam yang seukuran tak ransel. Pemuda itu bermandikan peluh. Ia
menatap langsung ke arah Nanami dengan nafas ngos-ngosan.
Keduanya
berpandangan.
Hening.
“Aku ... baik-baik saja.” Nanami membuka
suara. Yano menelan ludah. Perlahan ia tersenyum, lalu tertawa terbahak-bahak.
Dan sekian detik kemudian ia menangis. Tas dan jaket yang ia tenteng meluncur
begitu saja. Pemuda itu ambruk. Ia menjatuhkan lututnya ke lantai, melipat
kedua tangannya di keramik yang lembab tersebut kemudian menyembunyikan wajahnya
di sana. Dan bahunya terguncang. Pemuda itu terisak dengan hebat.
Nanami
melihat adegan itu dengan tertegun. Air matanya menitik. Perlahan ia menyingkap
selimut yang menutupi kakinya, lalu dengan tertatih-tatih ia turun dari tempat
tidur dan mendekati Yano yang masih terisak dengan hebat.
Dengan menahan nyeri di kening, ia duduk bersimpuh di dekat pemuda tersebut.
Ia mengulurkan tangan dan membelai
rambutnya dengan lembut, lalu meraih kepalanya ke pangkuannya. Dan tangis
pemuda itu kian menjadi-jadi. Ia menangis meraung-raung seperti anak kecil, di
pangkuan Nanami.
“Aku sudah mendengar pesanmu. Aku
baik-baik saja... Aku menunggu kepulanganmu... Aku menepati janjiku ‘kan?”
Nanami kembali membelai rambut Yano dengan lembut. Ia mencium puncak kepala
Yano dan tangisnyapun ikut pecah.
Yano ...
Sekarang aku sadar
Kau tidak melarikan diri
Kau hanya jalan-jalan sebentar
Lalu tersesat ....
Kompasmu rusak
Tapi syukurlah
Kau menemukan jalan pulang
Kau kembali, padaku
Kau telah mengalami banyak hal
Kau pasti lelah, ya ‘kan?
Apa semua terlalu menyakitkan buatmu?
Tenanglah
Semua baik-baik saja sekarang
Tak ada yang perlu dikhawatirkan
Tinggalah di sini, bersamaku
Dan beristirahatlah...
***
Nanami
menatap bayangannya di cermin. Perempuan itu tak berhenti tersenyum. Beberapa
hari setelah ia diijinkan pulang dari Rumah Sakit, Yano kembali ke Tokyo. Bukan
untuk selamanya. Ia kesana untuk membereskan beberapa pekerjaan dan juga meminta
maaf pada Yuri karena tak bisa hadir di pemakaman ibunya.
Dan
hari ini, tepat satu bulan setelah Yano ke Tokyo, lelaki itu akan pulang ke
sini, selamanya, sesuai janjinya. Ia bahkan sudah membereskan beberapa hal demi
bisa melakukan semua pekerjaannya dari
Sapporo.
“Ibu, aku berangkat dulu.” Ia berpamitan
pada ibunya yang tengah memasak di dapur. Ibunya tampak heran.
“Mau kemana?”
“Ke stasiun.” Jawab tanpa berhenti
tersenyum.
“Untuk apa?”
“Ibu lupa ya? Hari ini Yano kembali. Dan
aku berniat menjemputnya.”
Ibu Nanami menatap jam di dinding
sekilas. “Tapi ini baru jam setengah lima pagi. Bukankah keretanya baru akan
datang jam 7?”
Nanami tersenyum lagi.
“Tidak apa-apa. Aku hanya tidak ingin
terlambat menjemputnya saja.” Ia beranjak dengan lincah.
Dan
benarlah, ketika ia sampai di stasiun, tempat itu masih lengang. Kereta yang
ditumpangi Yano memang baru akan datang jam 7 nanti. Tapi ia tak keberatan
menunggu.
Perempuan
itu mematung di platform, tepat di tepi rel kereta. Pandangannya menerawang ke
arah ujung rel, tempat datangnya kereta yang baru akan muncul sekitar 2 jam
lagi. Tiba-tiba ingatannya kembali pada peristiwa beberapa tahun yang lalu.
Di stasiun
inilah ia mengantarkan Yano pertama kali ketika ia berangkat ke Tokyo. Dan di
sinilah ia nyaris patah arang menanti ia kembali, tanpa kabar, selama
bertahun-tahun. Nanami sempat berpikir bahwa segala kisah cintanya dengan Yano
telah berakhir di sini. Tapi ternyata ia salah. Justru di sinilah, segalanya di
mulai.
Lamunan Nanami
buyar ketika ia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Aroma cologne
yang amat familar. Sosok itu mendekatinya, menyentuh pundaknya, menelusuri
lengan tangannya yang terbuka dengan gerakan perlahan, lalu tangan kekar itu
menggenggam tangannya untuk kemudian menautkan jemari mereka.
Tidak. Nanami
tidak perlu berbalik. Karena ia tahu, siapa sosok yang tengah berdiri di
belakangnya, yang sekarang tengah menggenggam erat tangannya.
“Tadaimaa*.”
Ia berbisik lembut di dekat telinga Nanami. Suara itu adalah suara yang amat ia
kenal. Suara dari sosok manusia yang teramat ia rindukan. Nanami tersenyum.
Kedua matanya berkaca-kaca. “Okaeri*.”
Jawabnya. Ia memutar tubuh dan sosok Yano sudah berdiri dengan gagah di
depannya. Pemuda itu tersenyum.
“Apa kau ke sini
pagi-pagi buta begini hanya untuk melamun?” Ia bertanya dengan disertai tawa
kecil. Mata itu berbinar-binar, begitu hidup.
“Aku
menjemputmu.” Jawab Nanami.
“Sepagi ini?”
Nanami kembali
kembali mengangguk. “Aku hanya tak ingin terlambat saja. Lagipula, bukankah
keretamu seharusnya datang jam 7?”
Kali ini Yano nyengir.
“Aku sengaja naik kereta dengan jadwal
lebih awal. Aku sudah ada di sini sejak setengah jam yang lalu. Aku tak mau
terlambat saja.” Jawabnya. Ia menarik tangan Nanami, mendekatinya lalu mengecup
kening perempuan itu dengan lembut.
“Aku kembali, untukmu.” Bisiknya. Nanami
tersenyum.
“Selamat datang kembali.” Jawabnya
seraya menghambur ke arah Yano dan memeluk pemuda itu erat.
***
Musim
panas.
Yano dan Nanami berjalan menyusuri
pantai dengan bergandengan tangan. Mereka sepakat menghabiskan sore hari di
hari minggu yang cerah itu dengan berjalan-jalan di sana.
“Kapan Take berangkat ke Amerika?” tanya
Yano. “Dua minggu yang lalu.” Jawab Nanami. Yano manggut-manggut. Ia tahu bahwa
Take memang memutuskan untuk menerima sebuah pekerjaan di Amerika. Sahabat
terbaiknya itu juga sudah bicara secara pribadi kepada padanya untuk
berpamitan. Tapi ia tak bisa mengantar keberangkatannya karena masih berada di
Tokyo.
“Bagaimana dengan Yuri?”
“Baik-baik saja. Ia melanjutkan hidup
dan tetap bekerja di toko roti. Ia juga sudah mencari tempat tinggal sendiri.”
Jawab Yano. Nanami manggut-manggut. Keduanya terus melangkah menikmati pasir
putih yang sesekali disapu ombak tenang.
“Aku mencintaimu, Nanami.” Ucap Yano.
“Aku juga.” Jawab Nanami.
“Aku mencintaimu.”
“Ya.”
“Aku mencintaimu.”
“O-ke...”
“Aku mencintaimu.”
“Hm...” Nanami manggut-manggut.
“Aku mencintaimu.”
“Hari ini aku sudah mendengarmu
mengatakan kata-kata itu ratusan kali. Jadi cukup. Aku percaya. Oke.” Nanami
menatap lelaki di sampingnya dengan sebal. Yano malah tertawa.
“Aku hanya ingin membayar waktu 5 tahun
yang telah kusia-siakan. Ibaratnya setiap hari aku ingin mengatakan ‘aku
mencintaimu’ sepuluh kali, dan seharusnya kata-kata itu selalu kuucapkan sejak
5 tahun yang lalu, jadi berapa kata yang sudah kulewatkan? Apa kita perlu
menghitungnya? Kau bawa kalkulator?”
Nanami tergelak. Sebuah toyoran di
terima Yano di pundaknya. Lelaki itu ikut tertawa.
“Ada hal penting yang ingin ku katakan
padamu.” Ucap Yano. Langkah Nanami terhenti tiba-tiba, begitu pula lelaki di
sampingnya. “Apa lagi?” Nanami menatap
Yano dengan penuh selidik dan was-was.
Yano
tersenyum. Ia melepaskan pegangan tangannya lalu mundur beberapa langkah.
Lelaki itu menatap lurus ke mata Nanami.
“Nanami Takashi.”
“Ya?” Jawab Nanami dengan sedikit gugup.
“Aku mencintaimu.”
Nanami tersenyum.
“Kau tahu bahwa hatiku adalah milikmu.
Sejak dulu. Tapi aku akan tetap mengatakan ini padamu, ratusan kali. Jadi,
maukah kau menerimanya lagi?” ucap Yano lagi.
Nanami masih terus tersenyum.
“Hatimu terlalu berat. Bagaimana jika
aku tak mampu menerimanya?”
“Karena hati itu berharga, bukankah
memang sudah seharusnya berat?”
Nanami tergelak. “Kau benar. Baik, akan
kuterima.” Jawabnya.
“Dan ... kau tahu bahwa aku tak punya
siapa-siapa lagi di dunia ini. Jadi ....”
Nanami
berubah takjub ketika tiba-tiba Yano berlutut di hadapannya, lalu merogoh
sesuatu dari kantong celananya. Kedua matanya segera berkaca-kaca ketika lelaki
itu menyodorkan sebuah cincin emas bermata emerald ke arahnya.
“Jadilah keluargaku, Nanami.” Ucapnya.
“Will
you be my family?”
Lanjutnya.
Tanpa sadar, air mata Nanami menitik, ia
terharu.
“Tapi aku tak bisa masak?” Suaranya
bergetar.
Yano menggeleng. “Tak masalah. Aku
pernah bekerja di rumah makan. Aku pernah hidup sendiri. Ketika ibuku sakit,
akulah yang memasak untuknya. Kelak, biar aku yang memasak untukmu.” Jawabnya.
“Beberapa bulan ini aku makin gendut.”
Yano mengangkat bahu cuek. “Aku tak suka
perempuan kurus.” Jawabnya. “Oke, apa lagi?” Kali ini ia bangkit, melangkah
perlahan mendekati perempuan di hadapannya.
“Setelah kecelakaan itu, aku cuti
terlalu lama. Mungkin aku akan dipecat dan ... aku akan jadi pengangguran.”
Ucap Nanami lagi. Air matanya terus menitik.
“Setelah kita berkeluarga, aku ingin kau
di rumah. Mengantarkanku ketika aku berangkat kerja, dan menyambutku ketika aku
pulang ke rumah. Jadi, tak masalah jika kau tak punya pekerjaan.” Jawab Yano.
“Dan dokter bilang, jahitan di keningku
tidak akan bisa hilang.” Nanami sesenggukan.
Yano memiringkan kepalanya dan mengamati
luka di kening Nanami.
“Luka itu seksi. Tak masalah juga.”
Jawab Yano.
“Jadi ...”
Nanami menatap lelaki dihadapannya
dengan perasaan haru luar biasa. Perlahan ia mengangguk. “Iya, aku bersedia.”
Jawabnya. Yano tersenyum. Ia meraih tangan Nanami, lalu menyematkan cincin itu
di jari manisnya. Dan tanpa mengatakan apapun, ia merengkuh perempuan itu ke
dekapannya lalu memeluknya. Erat. Ada banyak hal yang ingin ia ungkapkan
sebagai pembayaran atas tahun-tahun yang telah mereka lewatkan. Tapi untuk saat
ini, cukup seperti ini. Ia berjanji, ia pasti akan segera membayarnya, berkali
lipat.
Ia
akan memberi Nanami cinta, sebanyak yang ia minta.
Untuknya.
Hanya
untuknya.
“Aku
mencintaimu.” Yano kembali berbisik. Dan ia sadar, air matanya juga menitik.
Karena bahagia.
***
Yano ....
Seseorang
mengatakan bahwa kenangan dibuat dengan memadukan berbagai fragmen dari apa
yang terjadi di masa lalu. Dan untuk sebagian orang, kenangan tak ubahnya
seperti ilusi.
Dulu aku juga
berpikir seperti itu.
Tapi kenyataan
bahwa sekarang kita berada di sini adalah bukti bahwa kita ... ada.
Ibarat sebuah
perjalanan...
Ada kalanya kita
tersesat
Apa seharusnya
kita berhenti?
Atau memutar
arah?
Atau tetap
berjalan meski jalannya berbatu?
Pilihan apapun
yang kita ambil, itulah yang membawa kita pada kehidupan yang sekarang
Kadang kita
salah, kadang kita benar
Tapi, itulah
yang disebut kenangan.
Jejak kehidupan.
Yano ...
Setelah apa yang
kita alami selama ini
Sekarang aku
sadar
Aku.
Dilahirkan.
Untuk bertemu
denganmu.
Arigatou...
Daisuki dayo...
***
Selesai