Minggu, 08 Februari 2015

Bokura Ga Ita - Part 8



Selamat ulang tahun, Nanami
Selamat ulang tahun, sayang ...

Kenangan kita selalu ada di sana
17 tahun, aku masih muda, rentan dan tak berdaya
Membuat kesalahan yang sama, lagi dan lagi
Dan kau masih tetap saja tegar

Tapi, di sanalah kenanganku berakhir
Di tempat itu, saat usia kita masih 17 tahun
Dan karena itu berakhir di sana, hidupku seperti terhenti


*** 


          Chizu berlari-lari keci menghampiri Nanami yang tengah melenggang menyusuri trotoar. “Selamat. Aku dengar kau dipanggil untuk wawancara kerja.” Ia menghambur ke arah perempuan tersebut lalu merangkul pundaknya. Nanami tersenyum.
“Iya. Dari 10 surat lamaran yang ku kirim ke beberapa perusahaan, ini yang pertama kalinya aku mendapat panggilan wawancara.” Jawabnya.
“Semoga diterima.”
“Terima kasih.” Jawabnya lagi.
“Di perusahaan apa?”
“Periklanan.”
Mereka melangkah beriringan menyusuri pinggir jalan sambil mengobrol lagi.
“Bagaimana persiapan pernikahanmu?”
Chizu tersenyum dengan mata berbinar. “Sudah hampir selesai.” Jawabnya. Bulan depan, ia akan melangsungkan pernikahan dengan Shota. Mereka sudah pacaran sejak SMA dan mereka sepakat untuk mengikat janji suci yang akan dilaksanakan beberapa minggu lagi. Nanami turut gembira dengan berita tersebut, sangat.
“Kau dari stasiun lagi?” Chizu menatap Nanami dengan penuh selidik. Perempuan itu hanya tersenyum kecut.
“Nanami, ini sudah 5 tahun, sejak Yano pergi. Sudah saatnya kau melupakannya. Ia menghilang begitu saja tanpa jejak, tanpa kabar, itu berarti ia sengaja tak ingin ditemukan. Jadi, lupakan dia Nanami. Kau harus mulai menata hatimu lagi.” Ucap Chizu lirih. Nanami tak menjawab. Ia kembali merenung.
          Ya, sudah 5 tahun berlalu sejak Yano berangkat ke Tokyo. Awal keberadaannya di sana, mereka masih berkomunikasi dengan baik. Yano rajin menelponnya, mengiriminya email, mengiriminya foto kegiatannya selama sekolah di Tokyo, memberitahunya segala hal yang berkaitan dengan kehidupannya di sana, semuanya. Mereka rajin berkirim kabar. Tapi aktivitas itu ternyata tak bertahan lama karena beberapa bulan setelahnya, Yano makin jarang menelponnya. Terkadang ia membalas pesan singkatnya 3 hari sekali, lalu berubah menjadi seminggu sekali. Dan setelah itu, Yano hanya menelponnya sebulan sekali. Nanami selalu bertanya ada apa dengannya, tapi Yano memastikan bahwa ia baik-baik saja. Ia hanya terlalu sibuk mengurusi tugas-tugas sekolah dan persiapan ujian.
Dan tepat beberapa minggu menjelang ujian akhir, Yano berhenti menghubunginya. Ia tak lagi menerima kabar dari pemuda itu, sama sekali, sampai detik ini.
Nanami gagal masuk ke Universitas Tokyo, tapi beberapa kali ia datang ke Tokyo untuk mencari tahu tentang Yano. Ia datang ke sekolahnya, ke alamat rumah terakhir yang pernah ia berikan, tapi ia tak menemukannya. Yano menghilang begitu saja, tanpa jejak, tanpa kabar berita. Dan Nanami selalu pulang dari Tokyo dengan tangan kosong, kecewa.
“Aku tahu kau selalu datang ke stasiun setiap 3 atau 4 hari sekali. Kau harus segera menghentikannya, Nanami. Usahamu sia-sia. Pencarianmu selama ini ke Tokyo tak pernah membuahkan hasil. Penantianmu di stasiun juga hanya buang-buang waktu. Relakan dia, Nanami. Yano tak akan kembali.” Ucap Chizu lagi.
Nanami mendesah pelan.
“Aku hanya ingin tahu keadaannya, Chizu. Bahkan jika dia mencampakkanku, menemukan orang lain yang ia cintai, aku akan  tetap lega jika telah memastikan bahwa dia baik-baik saja.” Jawabnya.
“Aku hanya tak habis pikir, kenapa dia pergi begitu saja.” Desisnya, parau. Chizu mengelus pundaknya dengan lembut, mencoba untuk senantiasa memberinya semangat. Mereka saling pandang, tersenyum getir, lalu terus melangkah menyusuri trotoar.
“Oh iya, nanti malam Takeuchi sudah menyiapkan pesta kejutan untuk ulang tahunmu, di kafe biasanya.” Ucap Chizu kemudian. Nanami tertawa dan mengangguk. “Itu bukan pesta kejutan lagi. Aku toh sudah tahu. Setiap tahun ‘kan dia selalu melakukan hal yang sama.” ujarnya. Chizu ikut tertawa.
“Take adalah pemuda yang baik, Nanami. Dan kami semua juga tahu kalau ia menyukaimu, sejak dulu. Jika ada orang yang bisa membahagiakanmu, dialah orangnya.” Nada suara Chizu terdengar serius. Nanami menatapnya, tak kalah serius.
“Kami hanya teman, Chizu. Dan aku tak bisa menganggapnya lebih.” Jawabnya.
Dan mereka terus melangkah, tanpa berkata-kata lagi.

***  

          Pesta ulang tahun Nanami, yang masih saja disebut sebagai pesta kejutan meskipun yang berulang tahun sudah mengetahuinya, berlangsung dengan seru dan meriah. Take menyewa sebuah ruang VIP di kafe langganan mereka yang dihadiri beberapa teman SMA Nanami dan juga beberapa teman Take dari kantor tempat ia bekerja. Take bekerja di sebuah kantor pemasaran tempat tinggal. Nanami sering mengunjungi tempat kerjanya sehingga ia juga mengenal hampir seluruh rekan-rekan kerjanya.
“Kau mendapat panggilan wawancara ‘kan?” Take menyuapi Nanami dengan sesendok kue tart. Nanami menerima suapan tersebut lalu mengangguk.
“Selamat ulang tahun dan semoga kau sukses di wawancara tersebut.” Ucapnya lagi. Nanami tersenyum dan kembali mengangguk.
“Setelah ini, jangan pulang dulu ya. Ikutlah denganku ke suatu tempat. Ada yang harus kita bicarakan.”
Nanami menatap Take bingung. Tapi akhirnya ia mengangguk. Dan semua orang kembali berpesta, berkaraoke, dan makan sepuasnya.

***

          Nanami takjub luar biasa ketika ternyata Take mengajaknya mengunjungi mantan SMA-nya. Terlebih lagi ketika ternyata pemuda itu mengajaknya ke atap gedung. Memorinya segera flashback. Ia jadi teringat masa-masa SMA ketika ia suka merenung di sini, di atap ini, bersama Yano.
“Apa kau menyuap pak satpam agar mau membukakan pintu gerbang untuk kita?” tanya Nanami. Take hanya terkekeh.
Mereka berdiri bersebelahan di pagar balkon, menatap hamparan ruang kelas dan juga lapangan basket berikut lapangan bola voli.
“Bicaralah, Take. Ada yang ingin kau bicarakan ‘kan?” Nanami membuka suara setelah beberapa menit mereka larut dalam lamunan masing-masing. Terdengar Take menarik nafas panjang. Ia memutar tubuhnya menghadap Nanami. Perempuan itu juga melakukan hal yang sama.
Keduanya berpandangan.
“Nanami, tidakkah kau capek menunggu?” Take membuka suara.
Nanami mengernyit. “Hm?” ia terlihat bingung.
“Tidakkah kau capek menunggu Yano?” Take bertanya lagi. Yano?
Nanami mematung.
“Nanami, tinggallah bersamaku. Dia tidak akan muncul lagi di hadapanmu.” Ucapan Take membuat tubuh Nanami kaku.
“Apa ... maksudmu?” bibir perempuan itu bergetar. “Yano memang memang tak ada kabar, tapi aku yakin bahwa ia bukan tipe orang yang pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa. Kenyataan bahwa selama ini aku hilang kontak dengannya, bukan berarti bahwa ia sengaja tak ingin ditemukan. Aku percaya bahwa ....”
“Nanami, mempunyai keyakinan dan berpura-pura tidak melihat kenyataan adalah dua hal yang berbeda.” Potong Take. Pemuda itu meraih sesuatu dari dalam tasnya lalu menyodorkannya ke arah Nanami.
Nanami mengamati benda di tangan Take. Sebuah Arloji di dalam kotak tembus pandang.
Kaki perempuan itu gemetar. Ia ingat itu arloji siapa. Arloji itu ia yang beli, hadiah pertama kali yang dia beri untuk Yano!
“Apa maksudnya ini?” Ia menggumam lirih. Tangannya terulur dan meraih arloji tersebut. “Take ... apa maksudnya ini?” perempuan itu menatap Take.
“Ada sesuatu yang kusembunyikan darimu, Nanami.” Ucap Take dengan ragu.
“Apa?” Tanya Nanami penasaran.
Take tak segera menjawab.
“Sekitar empat tahun yang lalu, beberapa hari setelah ulang tahunmu yang ke-18, Yano menemuiku.” Ucapnya. Nanami menelan ludah.
“Dia takkan menemuimu lagi, Nanami. Dia sudah memutuskan untuk pergi, menempuh jalannya sendiri, meninggalkanmu.” Take melanjutkan.
Bibir Nanami bergetar. Kedua matanya berkaca-kaca.
“Kenapa? Apa ... yang terjadi ...?” Ia berucap lirih.
Take menggeleng.
“Dia memutuskan untuk meninggalkan semua kenangannya di kota ini, semua kenangannya tentangmu, tentang kita. Awalnya aku mengira, dia hanya butuh waktu untuk kembali ke sini. Tapi ternyata aku salah. Dia serius. Dia serius ingin pergi.”
Air mata Nanami menitik.
“Lupakan dia, Nanami. Dia takkan pulang ke sini lagi.” Take melanjutkan lagi.
Nanami limbung. Ia terisak.
“Apa salahku padanya, Take? Kenapa dia melakukan ini padaku?” ucapnya di sela isak tangisnya.
Take menghampirinya, meraih bahunya, lalu memeluk tubuhnya erat.  
“Mulai sekarang, kau bisa berbagi kesedihanmu denganku. Kau bisa berbagi keluh kesah denganku. Aku akan senantiasa di sisimu.” Ia berbisik di dekat telinga Nanami dengan pilu. Dan perempuan itu terus terisak di pelukannya.

***

5 tahun yang lalu ....

***

Nanami, setiap malam aku selalu bermimpi
Aku bermimpi pergi ke tempatmu
Akan ku taruh semua pakaianku di tas lalu aku pergi ke bandara
Penerbangannya memakan waktu satu setengah jam
Setelah tiba di bandara, aku naik bis menuju kota
Aku melewati lapangan hijau dalam 30 menit
Otanoshike, Tottori ...
Turun dari bis di depan Nisseki Juuji
Aku menyeberangi lampu pemberhentian, dan berlari melewati Kouseinenkin Hall
Berlari ke rumah Yanagimachi
Meninggalkan bawaanku di rumahnya lalu naik sepeda
Melewati taman
Aku terus melaju, lurus ...
Lurus
Ke tempatmu...
Lalu aku akan langsung menemuimu
Memelukmu, menangis di bahumu
Aku akan meminta maaf padamu
Lalu menceritakan segalanya padamu

Maaf karena aku tak bisa lagi menghubungimu
Maaf karena aku tak bisa lagi berkirim kabar padamu

Banyak hal telah terjadi
Beberapa bulan setelah sampai di Tokyo, ibu didiagnosa kanker
Ia dipecat dari pekerjaannya, kami tak punya uang lagi
Ibu keluar masuk rumah sakit
Aku terpaksa mengambil banyak pekerjaan
Tiga pekerjaan paruh waktu, sekaligus
Pulang sekolah aku bekerja paruh waktu di restoran
Malamnya aku bekerja di sebuah rumah makan cepat saji
Dan menjelang pagi, aku membantu mengantarkan susu dan koran
Aku sering tidak masuk sekolah, aku sering ikut ujian susulan
Nilaiku jelek

Maafkan aku, Nanami
Maafkan aku

***

          Yano! Yano!
          Yano tergagap. Seseorang mengguncang bahunya hingga ia terbangun dari tidurnya. Segera pemuda itu bangkit. Kepala pelayan di restoran tempat ia bekerja telah berdiri di sisinya.
“Bangunlah. Waktu istirahatmu sudah selesai. Kau harus segera kembali bekerja.” Ucapnya. Yano mengangguk. “Baik pak.”  Jawabnya seraya merapikan alat-alat tulisnya yang berserakan di meja yang berada di ruang istirahat.
          Waktu istirahat 30 menit, sebenarnya ia berniat memanfaatkannya untuk belajar dan mengerjakan tugas sekolah, tapi apa boleh buat, ia malah ketiduran.
Setelah merapikan alat-alat tulisnya, cowok itu bergegas mencuci muka, lalu segera kembali bekerja melayani para tamu di restoran.

***

          Yano menatap nilai hasil ujian yang di pasang di papan pengumuman dengan muka kusut. Nilainya turun lagi.
“Kau tidak akan lulus kalau nilaimu seperti ini.” Aki, teman baiknya selama di Tokyo sekaligus teman satu kelasnya, berdiri di sisinya sambil menatap Yano dengan miris. Yano menarik nafas panjang. “Aku tahu.” Jawabnya singkat.
“Kau harus mengurangi kerja paruh waktumu agar kau punya cukup waktu untuk belajar. Lagipula, lihatlah, kau pucat. Dan kau makin kurus. Ingat, beberapa minggu yang lalu kau tiba-tiba pingsan di ruang kelas. Petugas UKS mengatakan kau kelelahan. Jadi, jangan terlalu memaksakan diri, Yano.” Ucap Aki lagi.
Yano menatap cewek di sampingnya lalu tersenyum.
“Terima kasih. Aku akan baik-baik saja.” Jawabnya. Tapi berhenti dari pekerjaanya adalah hal yang mustahil ia lakukan karena lusa ibunya harus pergi lagi ke rumah sakit, dan ia akan selalu berusaha sekuat tenaga untuk mencari biaya.
“Lusa ibuku harus kembali ke rumah sakit, jadi ....” kalimat Yano terhenti ketika tiba-tiba saja ia limbung lalu ambruk di lantai. Anak-anak berteriak lalu berhamburan mendekatinya.
Beberapa anak laki-laki dengan sigap mengangkat tubuhnya lalu segera melarikannya ke ruang UKS.

***

          Ketika Yano membuka mata, ia menemukan dirinya di ruang klinik dengan jarum infus tertancap di tangannya. Ia menemukan Aki dan beberapa temannya menungguinya.
Pemuda itu bangkit.
“Oh, kau sudah sadar?” Aki berseru. Beberapa temannya mendekatinya.
“Kau kelelahan dan dehidrasi. Jadi kau terpaksa di infus.” Mereka menjelaskan.
“Jam berapa sekarang?” Yano bertanya.
“5 sore.” Aki menjawab. Yano membelalak.
“Aku harus bekerja.” Jawabnya. Pemuda itu mencoba turun dari tempat tidur, tapi beberapa temannya menahannya.
“Ijin dulu untuk satu hari, kesehatanmu lebih penting.”
“Tapi ...”
“Aku sudah telpon ibumu kalau kau ada kegiatan mendadak di sekolah. Jadi tenanglah, ia takkan khawatir. Yang penting, kau harus pulih dulu. Oke?”
Yano menatap meraka satu persatu dengan tatapan protes.
“Jangan khawatir soal biaya. Kami mendapatkan bantuan dana dari sekolah.” Aki menjelaskan kembali. Dan Yano tak punya pilihan selain tinggal semalam di klinik dan menghabiskan beberapa botol infus.

***
         
          Ibu Yano sudah berangkat duluan ke rumah sakit dengan naik taksi ketika Yano sampai di rumah, sepulang kerja. Pemuda itu segera merapikan beberapa baju dan peralatan mandi untuk segera dimasukkan ke dalam tas ranselnya. Hari ini ibunya akan menjalani kemotherapy yang ke 3, total dari 9 kemo yang direncanakan. Dan sudah bisa dipastikan, ia akan tinggal di rumah sakit selama 2 atau 3 hari.
          Setelah acara berkemas-kemas beres, pemuda itu segera beranjak, bermaksud untuk segera menyusul ibunya ke rumah sakit. Tapi begitu membuka pintu rumahnya, tubuhnya mematung. Ia menyaksikan sesosok perempuan mungil berdiri di depannya.
“Yuri?” Ia memanggil lirih. Cewek itu tersenyum. Ia menyapa dengan ragu.
“Kenapa kau bisa di sini?” Yano langsung bertanya.
“Aku pindah ke Tokyo, sejak beberapa bulan yang lalu.” Jawabnya.
“Sekolahmu?”
“Aku berhenti sekolah. Sekarang aku bekerja, di sebuah toko roti. Ibuku juga ikut bersamaku.”
Yano mengernyit.
“Berhenti sekolah? Kenapa kau lakukan itu?” Ia bertanya kesal. Yuri terdiam sesaat.
“Aku melakukannya untukmu.” Jawabnya kemudian. Yano melongo.
“Aku sengaja ke Tokyo untuk mengikutimu. Dan hal yang tidak mungkin untukku untuk terus bersekolah. Kau tahu sendiri ‘kan? Biaya hidup di Tokyo mahal, sementara ibuku sakit-sakitan. Jadi aku memutuskan untuk bekerja saja.” Ia melanjutkan.
Yano menatap perempuan di hadapannya dengan jijik.
“Aku tak peduli apa alasanmu pindah ke sini. Tapi ku harap, jangan menemuiku lagi.” Yano membanting pintu lalu beranjak meninggalkan Yuri dengan langkah cepat.
“Yano?” Cewek itu memanggil.
Yano berbalik.
“Aku membencimu! Kau dengar? Jadi jangan menunjukkan mukamu lagi dihadapanku!” Ia kembali berteriak sebelum akhirnya kembali melangkah, menuju stasiun kereta.

***

          Ibu Yano tengah berbaring di ranjang ketika sosok perempuan yang terlihat 10 tahun lebih tua darinya itu memasuki kamarnya.
“Apa kabar, Yoko?” Perempuan itu menyapa.
Yoko, ibu Yano menatapnya dengan tatapan terkejut.
“Untuk apa kau kemari?” Yoko bertanya sinis. Perempuan setengah baya di hadapannya itu tersenyum.
“Jadi kau masih ingat padaku?”
Yoko tertawa. “Michiko, tentu saja aku masih ingat padamu. Kenapa kau kemari? Ingin bersorak atas apa yang menimpaku?” sindirnya.
Perempuan yang dipanggil Michiko itu tersenyum lembut.
“Aku sudah tahu semua yang menimpamu, Yoko. Aku juga sudah tahu tentang penyakit kanker hati yang kau idap. Jadi, aku datang ke sini untuk memberimu maaf.” Jawabnya.
Yoko menatap perempuan itu dengan tatapan menusuk.
“Aku memaafkan semua perbuatanmu. Aku memaafkan perselingkuhanmu dengan suamiku. Kita sudah sama-sama tua, tak ada gunanya menyimpan dendam satu sama lain. Terlebih lagi karena Kazuya sudah meninggal sekitar 2 tahun yang lalu. Aku memaafkannya, dan juga memaafkanmu.” Ucapnya.
Yoko membelalak.
“Kazuya meninggal?” Ia bertanya. Michiko mengangguk.
“Karena sakit.” Jawabnya.
“Aku sengaja mencarimu, mencari keberadaan putera, putera Kazuya. Di mana aku bisa menemuinya? Yano Motoharu.” Ia melanjutkan.
“Kenapa kau ada perlu dengan puteraku?”
Michiko tak segera menjawab.
“Yoko, aku akan menanggung semua biaya pengobatanmu. Tapi, berikan Yano padaku.” Ujarnya kemudian. Yoko melotot.
“Apa maksudmu?”
“Aku dan Kazuya tidak memiliki keturunan. Jadi, aku membutuhkan Yano sebagai penerus keluarga kami. Aku ingin dia menyandang nama keluarga ayahnya. Dan yang terpenting lagi, ada beberapa perusahaan peninggalan Kazuya yang harus diambil alih oleh ahli warisnya yang syah.” Ucapnya lagi.
“Jadi ...”
“Tidak.” Yoko menjawab cepat.
“Bahkan jika kau menawarkan seluruh uangmu, harta kekayaanmu, aku tidak akan memberikan Yano padamu. Dia puteraku, hanya puteraku, dan satu-satunya keluarga yang kumiliki. Ia akan selalu menyandang nama keluargaku, bukan nama keluarga ayahnya. Jadi, jangan pernah terpikir untuk mengambilnya dariku.” Ia berucap dengan tegas dengan tatapan lurus ke arah Michiko.
“Pergilah, Michiko. Jangan datang kemari lagi.”
Michiko menarik nafas panjang.
“Semoga kau mau memikirkannya lagi. Hubungi aku jika kau berubah pikiran.” Michiko beranjak.
          Ia menutup pintu dari luar dengan perlahan. Langkahnya urung ketika ia menyaksikan sesosok pemuda jangkung berdiri bersandar di samping pintu. Mereka bertatapan.
“Yano Motoharu?” Michiko bertanya langsung. Yano mengangguk.
“Kau ... mendengar semua yang kami bicarakan tadi?”
Yano kembali mengangguk.
“Bisa kita bicara sebentar?” Michiko bertanya dan lagi-lagi Yano hanya mengangguk.
Mereka melangkah menuju kantin rumah sakit.
          “Kau seperti ayahmu. Tinggi, tampan dan sopan.” Michiko membuka suara.
Yano hanya mengangguk, berterima kasih.
“Seperti yang sudah kau dengar. Aku berniat membiayai pengobatan ibumu. Aku juga akan membiayai pendidikanmu, sampai perguruan tinggi. Kau boleh bersekolah dimanapun yang kau inginkan. Tapi, ikutlah bersamaku dan jadilah anakku. Bagaimana?” Michiko bertanya dengan sopan.
Yano tersenyum tipis.
“Terima kasih atas niat baik anda. Tapi seperti yang sudah anda dengar dari ibuku, nama belakangku adalah nama belakang ibuku. Jadi, saya adalah anak yatim. Saya tidak punya ayah. Saya mohon, jangan temui ibu saya lagi. Dia sedang tidak sehat. Saya tidak ingin kesehatannya makin terganggu. Mohon pengertiannya.” Yano membungkuk dengan hormat. Michiko menelan ludah. Kecewa. Tapi perlahan ia tersenyum.
“Jika kau butuh sesuatu, kau bisa datang padaku, kapanpun kau mau. Ya?” ia berucap lembut. Yano mengangguk lagi. “Terima kasih.” Ucapnya.

***

          Yano menatap tiket pesawat di tangannya dengan mata berbinar. Bibirnya tak berhenti tersenyum. Ia sudah menunggu saat ini selama berbulan-bulan. Ia juga sudah mati-matian menyisihkan gajinya demi bisa membeli tiket ini. Lusa, Nanami ulang tahun. Dan ia akan kesana, mengunjunginya, memberinya kejutan.
“Ibu, aku ingin ke Sapporo. Aku ingin mengunjungi Nanami, 2 hari saja. Lusa ia ulang tahun.” Ia meminta ijin pada ibunya ketika sore itu mereka makan bersama di meja makan.
Ibunya menatapnya tajam. Ia bangkit.
“Tidak. kau tak boleh ke sana.” Ia setengah berteriak. Yano bangkit.
“Kalau begitu, sehari saja bu. Aku akan ke sana, lalu menemuinya sebentar, kemudian segera kembali lagi ke sini. Ya?” Yano memohon.
Ibunya menggeleng.
“Tidak! Kau pasti ingin menemui Michiko ‘kan? Kau ingin pergi ke rumah ayahmu ‘kan?”
Yano menarik nafas panjang.
“Ibu, aku akan menemui Nanami. Bukan keluarga ayahku.” Jawabnya.
“Bohong! Kau pasti akan menemui mereka. Kau akan ikut mereka ‘kan? Kau akan meninggalkanku ‘kan? Tidak, aku tidak mengijinkanmu.” Ibu Yano berlari ke arah pintu, menarik beberapa kursi lalu mendorongnya ke arah pintu.
“Kau tidak boleh pergi! Kau tidak boleh bertemu ayahmu!” Ia berteriak, histeris. Yano mendekatinya.
“Aku tidak akan meninggalkanmu, ibu. Aku janji. Aku hanya akan menemui Nanami karena ia ulang tahun. Itu saja!” ia juga ikut berteriak.
“Bohong! Kau pasti ingin menelantarkanku seperti yang dilakukan ayahmu! Kau akan meninggalkanku sendirian demi uang yang ditawarkan Michiko padamu! Ya ‘kan?”
“Kenapa ibu tak percaya padaku! Aku satu-satunya anakmu, satu-satunya keluargamu, aku tidak akan menelantarkanmu!” Yano menarik kursi di belakang pintu lalu mengembalikannya ke tempatnya semua. Wajahnya merah padam karena marah.
“Aku tidak percaya padamu! Kau pasti seperti ayahmu yang menelantarkanku sendirian!”
“Sudah ku bilang aku tidak akan melakukannya! Kenapa sulit bagi ibu untuk mempercayaiku!” Yano menendang daun pintu dengan keras, lalu melangkahkan kakinya keluar apartemen dengan  amarah. Ia hanya melangkah, tak tentu arah.
Ia baru saja sampai di anak tangga yang terakhir ketika ia mendengar orang-orang yang tinggal di kawasan apartemennya mulai ribut.
“Ada seseroang jatuh! Panggilkan ambulan!” Mereka berteriak silih berganti.  
Yano mendongak, menatap kamarnya yang berada di lantai 3. Dan seketika kakinya lemas. Jendela kamarnya terbuka.
“Ya Tuhan, ibuuuuuu!!”

***

Upacara pemakaman ibu Yano berlangsung sepi. Hanya dihadiri beberapa petugas pemakaman dan beberapa teman Yano, termasuk Aki.
“Kami turut berbelasungkawa,Yano.” Ia memeluk Yano dengan erat sambil menepuk-nepuk punggungnya. Yano hanya mengangguk, tanpa mampu berkata-kata. Semalam, ia sudah menangis tanpa henti. Suaranya habis, begitu pula air matanya.
Setelah pemakaman selesai, pemuda itu segera kembali ke apartemennya dengan gontai. Kini, ruangan itu sepi.
Ia mengeluarkan sebuah lilin, meletakkannya di lantai, lalu menyalakannya.

Selamat ulang tahun, Nanami...
Selamat ulang tahun yang ke-18, sayang ...
Maaf, aku tak bisa menemuimu....

          Yano meniup lilin tersebut hingga padam. Air matanya menitik. Bersamaan dengan padamnya lilin tersebut, kehidupannya seperti terhenti.

***

Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar