Selamat ulang tahun, Nanami
Selamat ulang tahun, sayang ...
Kenangan kita selalu ada di sana
17 tahun, aku masih muda, rentan dan tak berdaya
Membuat kesalahan yang sama, lagi dan lagi
Dan kau masih tetap saja tegar
Tapi, di sanalah kenanganku berakhir
Di tempat itu, saat usia kita masih 17 tahun
Dan karena itu berakhir di sana, hidupku seperti
terhenti
***
Chizu
berlari-lari keci menghampiri Nanami yang tengah melenggang menyusuri trotoar.
“Selamat. Aku dengar kau dipanggil untuk wawancara kerja.” Ia menghambur ke
arah perempuan tersebut lalu merangkul pundaknya. Nanami tersenyum.
“Iya. Dari 10 surat lamaran yang ku
kirim ke beberapa perusahaan, ini yang pertama kalinya aku mendapat panggilan
wawancara.” Jawabnya.
“Semoga diterima.”
“Terima kasih.” Jawabnya lagi.
“Di perusahaan apa?”
“Periklanan.”
Mereka melangkah beriringan menyusuri
pinggir jalan sambil mengobrol lagi.
“Bagaimana persiapan pernikahanmu?”
Chizu tersenyum dengan mata berbinar.
“Sudah hampir selesai.” Jawabnya. Bulan depan, ia akan melangsungkan pernikahan
dengan Shota. Mereka sudah pacaran sejak SMA dan mereka sepakat untuk mengikat
janji suci yang akan dilaksanakan beberapa minggu lagi. Nanami turut gembira
dengan berita tersebut, sangat.
“Kau dari stasiun lagi?” Chizu menatap
Nanami dengan penuh selidik. Perempuan itu hanya tersenyum kecut.
“Nanami, ini sudah 5 tahun, sejak Yano
pergi. Sudah saatnya kau melupakannya. Ia menghilang begitu saja tanpa jejak,
tanpa kabar, itu berarti ia sengaja tak ingin ditemukan. Jadi, lupakan dia Nanami.
Kau harus mulai menata hatimu lagi.” Ucap Chizu lirih. Nanami tak menjawab. Ia
kembali merenung.
Ya,
sudah 5 tahun berlalu sejak Yano berangkat ke Tokyo. Awal keberadaannya di sana,
mereka masih berkomunikasi dengan baik. Yano rajin menelponnya, mengiriminya
email, mengiriminya foto kegiatannya selama sekolah di Tokyo, memberitahunya
segala hal yang berkaitan dengan kehidupannya di sana, semuanya. Mereka rajin
berkirim kabar. Tapi aktivitas itu ternyata tak bertahan lama karena beberapa
bulan setelahnya, Yano makin jarang menelponnya. Terkadang ia membalas pesan
singkatnya 3 hari sekali, lalu berubah menjadi seminggu sekali. Dan setelah
itu, Yano hanya menelponnya sebulan sekali. Nanami selalu bertanya ada apa
dengannya, tapi Yano memastikan bahwa ia baik-baik saja. Ia hanya terlalu sibuk
mengurusi tugas-tugas sekolah dan persiapan ujian.
Dan tepat
beberapa minggu menjelang ujian akhir, Yano berhenti menghubunginya. Ia tak
lagi menerima kabar dari pemuda itu, sama sekali, sampai detik ini.
Nanami gagal
masuk ke Universitas Tokyo, tapi beberapa kali ia datang ke Tokyo untuk mencari
tahu tentang Yano. Ia datang ke sekolahnya, ke alamat rumah terakhir yang
pernah ia berikan, tapi ia tak menemukannya. Yano menghilang begitu saja, tanpa
jejak, tanpa kabar berita. Dan Nanami selalu pulang dari Tokyo dengan tangan
kosong, kecewa.
“Aku tahu kau selalu
datang ke stasiun setiap 3 atau 4 hari sekali. Kau harus segera
menghentikannya, Nanami. Usahamu sia-sia. Pencarianmu selama ini ke Tokyo tak
pernah membuahkan hasil. Penantianmu di stasiun juga hanya buang-buang waktu.
Relakan dia, Nanami. Yano tak akan kembali.” Ucap Chizu lagi.
Nanami mendesah
pelan.
“Aku hanya ingin
tahu keadaannya, Chizu. Bahkan jika dia mencampakkanku, menemukan orang lain
yang ia cintai, aku akan tetap lega jika
telah memastikan bahwa dia baik-baik saja.” Jawabnya.
“Aku hanya tak
habis pikir, kenapa dia pergi begitu saja.” Desisnya, parau. Chizu mengelus
pundaknya dengan lembut, mencoba untuk senantiasa memberinya semangat. Mereka
saling pandang, tersenyum getir, lalu terus melangkah menyusuri trotoar.
“Oh iya, nanti
malam Takeuchi sudah menyiapkan pesta kejutan untuk ulang tahunmu, di kafe
biasanya.” Ucap Chizu kemudian. Nanami tertawa dan mengangguk. “Itu bukan pesta
kejutan lagi. Aku toh sudah tahu.
Setiap tahun ‘kan dia selalu melakukan hal yang sama.” ujarnya. Chizu ikut tertawa.
“Take adalah
pemuda yang baik, Nanami. Dan kami semua juga tahu kalau ia menyukaimu, sejak
dulu. Jika ada orang yang bisa membahagiakanmu, dialah orangnya.” Nada suara
Chizu terdengar serius. Nanami menatapnya, tak kalah serius.
“Kami hanya
teman, Chizu. Dan aku tak bisa menganggapnya lebih.” Jawabnya.
Dan mereka terus
melangkah, tanpa berkata-kata lagi.
***
Pesta
ulang tahun Nanami, yang masih saja disebut sebagai pesta kejutan meskipun yang
berulang tahun sudah mengetahuinya, berlangsung dengan seru dan meriah. Take
menyewa sebuah ruang VIP di kafe langganan mereka yang dihadiri beberapa teman
SMA Nanami dan juga beberapa teman Take dari kantor tempat ia bekerja. Take
bekerja di sebuah kantor pemasaran tempat tinggal. Nanami sering mengunjungi
tempat kerjanya sehingga ia juga mengenal hampir seluruh rekan-rekan kerjanya.
“Kau mendapat panggilan wawancara ‘kan?”
Take menyuapi Nanami dengan sesendok kue tart. Nanami menerima suapan tersebut
lalu mengangguk.
“Selamat ulang tahun dan semoga kau sukses
di wawancara tersebut.” Ucapnya lagi. Nanami tersenyum dan kembali mengangguk.
“Setelah ini, jangan pulang dulu ya.
Ikutlah denganku ke suatu tempat. Ada yang harus kita bicarakan.”
Nanami menatap Take bingung. Tapi
akhirnya ia mengangguk. Dan semua orang kembali berpesta, berkaraoke, dan makan
sepuasnya.
***
Nanami
takjub luar biasa ketika ternyata Take mengajaknya mengunjungi mantan SMA-nya.
Terlebih lagi ketika ternyata pemuda itu mengajaknya ke atap gedung. Memorinya
segera flashback. Ia jadi teringat masa-masa SMA ketika ia suka merenung di
sini, di atap ini, bersama Yano.
“Apa kau menyuap pak satpam agar mau
membukakan pintu gerbang untuk kita?” tanya Nanami. Take hanya terkekeh.
Mereka berdiri bersebelahan di pagar
balkon, menatap hamparan ruang kelas dan juga lapangan basket berikut lapangan
bola voli.
“Bicaralah, Take. Ada yang ingin kau
bicarakan ‘kan?” Nanami membuka suara setelah beberapa menit mereka larut dalam
lamunan masing-masing. Terdengar Take menarik nafas panjang. Ia memutar
tubuhnya menghadap Nanami. Perempuan itu juga melakukan hal yang sama.
Keduanya berpandangan.
“Nanami, tidakkah kau capek menunggu?”
Take membuka suara.
Nanami mengernyit. “Hm?” ia terlihat
bingung.
“Tidakkah kau capek menunggu Yano?” Take
bertanya lagi. Yano?
Nanami mematung.
“Nanami, tinggallah bersamaku. Dia tidak
akan muncul lagi di hadapanmu.” Ucapan Take membuat tubuh Nanami kaku.
“Apa ... maksudmu?” bibir perempuan itu
bergetar. “Yano memang memang tak ada kabar, tapi aku yakin bahwa ia bukan tipe
orang yang pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa. Kenyataan bahwa selama ini
aku hilang kontak dengannya, bukan berarti bahwa ia sengaja tak ingin
ditemukan. Aku percaya bahwa ....”
“Nanami, mempunyai keyakinan dan
berpura-pura tidak melihat kenyataan adalah dua hal yang berbeda.” Potong Take.
Pemuda itu meraih sesuatu dari dalam tasnya lalu menyodorkannya ke arah Nanami.
Nanami mengamati benda di tangan Take.
Sebuah Arloji di dalam kotak tembus pandang.
Kaki perempuan itu gemetar. Ia ingat itu
arloji siapa. Arloji itu ia yang beli, hadiah pertama kali yang dia beri untuk
Yano!
“Apa maksudnya ini?” Ia menggumam lirih.
Tangannya terulur dan meraih arloji tersebut. “Take ... apa maksudnya ini?”
perempuan itu menatap Take.
“Ada sesuatu yang kusembunyikan darimu,
Nanami.” Ucap Take dengan ragu.
“Apa?” Tanya Nanami penasaran.
Take tak segera menjawab.
“Sekitar empat tahun yang lalu, beberapa
hari setelah ulang tahunmu yang ke-18, Yano menemuiku.” Ucapnya. Nanami menelan
ludah.
“Dia takkan menemuimu lagi, Nanami. Dia
sudah memutuskan untuk pergi, menempuh jalannya sendiri, meninggalkanmu.” Take
melanjutkan.
Bibir Nanami bergetar. Kedua matanya
berkaca-kaca.
“Kenapa? Apa ... yang terjadi ...?” Ia
berucap lirih.
Take menggeleng.
“Dia memutuskan untuk meninggalkan semua
kenangannya di kota ini, semua kenangannya tentangmu, tentang kita. Awalnya aku
mengira, dia hanya butuh waktu untuk kembali ke sini. Tapi ternyata aku salah.
Dia serius. Dia serius ingin pergi.”
Air mata Nanami menitik.
“Lupakan dia, Nanami. Dia takkan pulang
ke sini lagi.” Take melanjutkan lagi.
Nanami limbung. Ia terisak.
“Apa salahku padanya, Take? Kenapa dia
melakukan ini padaku?” ucapnya di sela isak tangisnya.
Take menghampirinya, meraih bahunya,
lalu memeluk tubuhnya erat.
“Mulai sekarang, kau bisa berbagi
kesedihanmu denganku. Kau bisa berbagi keluh kesah denganku. Aku akan
senantiasa di sisimu.” Ia berbisik di dekat telinga Nanami dengan pilu. Dan
perempuan itu terus terisak di pelukannya.
***
5 tahun yang
lalu ....
***
Nanami, setiap malam aku selalu bermimpi
Aku bermimpi pergi ke tempatmu
Akan ku taruh semua pakaianku di tas lalu aku pergi
ke bandara
Penerbangannya memakan waktu satu setengah jam
Setelah tiba di bandara, aku naik bis menuju kota
Aku melewati lapangan hijau dalam 30 menit
Otanoshike, Tottori ...
Turun dari bis di depan Nisseki Juuji
Aku menyeberangi lampu pemberhentian, dan berlari
melewati Kouseinenkin Hall
Berlari ke rumah Yanagimachi
Meninggalkan bawaanku di rumahnya lalu naik sepeda
Melewati taman
Aku terus melaju, lurus ...
Lurus
Ke tempatmu...
Lalu aku akan langsung menemuimu
Memelukmu, menangis di bahumu
Aku akan meminta maaf padamu
Lalu menceritakan segalanya padamu
Maaf karena aku tak bisa lagi menghubungimu
Maaf karena aku tak bisa lagi berkirim kabar padamu
Banyak hal telah terjadi
Beberapa bulan setelah sampai di Tokyo, ibu
didiagnosa kanker
Ia dipecat dari pekerjaannya, kami tak punya uang
lagi
Ibu keluar masuk rumah sakit
Aku terpaksa mengambil banyak pekerjaan
Tiga pekerjaan paruh waktu, sekaligus
Pulang sekolah aku bekerja paruh waktu di restoran
Malamnya aku bekerja di sebuah rumah makan cepat
saji
Dan menjelang pagi, aku membantu mengantarkan susu
dan koran
Aku sering tidak masuk sekolah, aku sering ikut
ujian susulan
Nilaiku jelek
Maafkan aku, Nanami
Maafkan aku
***
Yano!
Yano!
Yano
tergagap. Seseorang mengguncang bahunya hingga ia terbangun dari tidurnya.
Segera pemuda itu bangkit. Kepala pelayan di restoran tempat ia bekerja telah
berdiri di sisinya.
“Bangunlah. Waktu istirahatmu sudah selesai.
Kau harus segera kembali bekerja.” Ucapnya. Yano mengangguk. “Baik pak.” Jawabnya seraya merapikan alat-alat tulisnya
yang berserakan di meja yang berada di ruang istirahat.
Waktu
istirahat 30 menit, sebenarnya ia berniat memanfaatkannya untuk belajar dan
mengerjakan tugas sekolah, tapi apa boleh buat, ia malah ketiduran.
Setelah merapikan alat-alat tulisnya,
cowok itu bergegas mencuci muka, lalu segera kembali bekerja melayani para tamu
di restoran.
***
Yano
menatap nilai hasil ujian yang di pasang di papan pengumuman dengan muka kusut.
Nilainya turun lagi.
“Kau tidak akan lulus kalau nilaimu
seperti ini.” Aki, teman baiknya selama di Tokyo sekaligus teman satu kelasnya,
berdiri di sisinya sambil menatap Yano dengan miris. Yano menarik nafas
panjang. “Aku tahu.” Jawabnya singkat.
“Kau harus mengurangi kerja paruh
waktumu agar kau punya cukup waktu untuk belajar. Lagipula, lihatlah, kau
pucat. Dan kau makin kurus. Ingat, beberapa minggu yang lalu kau tiba-tiba
pingsan di ruang kelas. Petugas UKS mengatakan kau kelelahan. Jadi, jangan
terlalu memaksakan diri, Yano.” Ucap Aki lagi.
Yano menatap cewek di sampingnya lalu
tersenyum.
“Terima kasih. Aku akan baik-baik saja.”
Jawabnya. Tapi berhenti dari pekerjaanya adalah hal yang mustahil ia lakukan
karena lusa ibunya harus pergi lagi ke rumah sakit, dan ia akan selalu berusaha
sekuat tenaga untuk mencari biaya.
“Lusa ibuku harus kembali ke rumah
sakit, jadi ....” kalimat Yano terhenti ketika tiba-tiba saja ia limbung lalu
ambruk di lantai. Anak-anak berteriak lalu berhamburan mendekatinya.
Beberapa anak laki-laki dengan sigap
mengangkat tubuhnya lalu segera melarikannya ke ruang UKS.
***
Ketika
Yano membuka mata, ia menemukan dirinya di ruang klinik dengan jarum infus
tertancap di tangannya. Ia menemukan Aki dan beberapa temannya menungguinya.
Pemuda itu bangkit.
“Oh, kau sudah sadar?” Aki berseru.
Beberapa temannya mendekatinya.
“Kau kelelahan dan dehidrasi. Jadi kau
terpaksa di infus.” Mereka menjelaskan.
“Jam berapa sekarang?” Yano bertanya.
“5 sore.” Aki menjawab. Yano membelalak.
“Aku harus bekerja.” Jawabnya. Pemuda
itu mencoba turun dari tempat tidur, tapi beberapa temannya menahannya.
“Ijin dulu untuk satu hari, kesehatanmu
lebih penting.”
“Tapi ...”
“Aku sudah telpon ibumu kalau kau ada
kegiatan mendadak di sekolah. Jadi tenanglah, ia takkan khawatir. Yang penting,
kau harus pulih dulu. Oke?”
Yano menatap meraka satu persatu dengan
tatapan protes.
“Jangan khawatir soal biaya. Kami
mendapatkan bantuan dana dari sekolah.” Aki menjelaskan kembali. Dan Yano tak
punya pilihan selain tinggal semalam di klinik dan menghabiskan beberapa botol
infus.
***
Ibu
Yano sudah berangkat duluan ke rumah sakit dengan naik taksi ketika Yano sampai
di rumah, sepulang kerja. Pemuda itu segera merapikan beberapa baju dan
peralatan mandi untuk segera dimasukkan ke dalam tas ranselnya. Hari ini ibunya
akan menjalani kemotherapy yang ke 3, total dari 9 kemo yang direncanakan. Dan sudah
bisa dipastikan, ia akan tinggal di rumah sakit selama 2 atau 3 hari.
Setelah
acara berkemas-kemas beres, pemuda itu segera beranjak, bermaksud untuk segera
menyusul ibunya ke rumah sakit. Tapi begitu membuka pintu rumahnya, tubuhnya
mematung. Ia menyaksikan sesosok perempuan mungil berdiri di depannya.
“Yuri?” Ia memanggil lirih. Cewek itu
tersenyum. Ia menyapa dengan ragu.
“Kenapa kau bisa di sini?” Yano langsung
bertanya.
“Aku pindah ke Tokyo, sejak beberapa
bulan yang lalu.” Jawabnya.
“Sekolahmu?”
“Aku berhenti sekolah. Sekarang aku
bekerja, di sebuah toko roti. Ibuku juga ikut bersamaku.”
Yano mengernyit.
“Berhenti sekolah? Kenapa kau lakukan
itu?” Ia bertanya kesal. Yuri terdiam sesaat.
“Aku melakukannya untukmu.” Jawabnya kemudian.
Yano melongo.
“Aku sengaja ke Tokyo untuk mengikutimu.
Dan hal yang tidak mungkin untukku untuk terus bersekolah. Kau tahu sendiri ‘kan?
Biaya hidup di Tokyo mahal, sementara ibuku sakit-sakitan. Jadi aku memutuskan
untuk bekerja saja.” Ia melanjutkan.
Yano menatap perempuan di hadapannya
dengan jijik.
“Aku tak peduli apa alasanmu pindah ke
sini. Tapi ku harap, jangan menemuiku lagi.” Yano membanting pintu lalu
beranjak meninggalkan Yuri dengan langkah cepat.
“Yano?” Cewek itu memanggil.
Yano berbalik.
“Aku membencimu! Kau dengar? Jadi jangan
menunjukkan mukamu lagi dihadapanku!” Ia kembali berteriak sebelum akhirnya
kembali melangkah, menuju stasiun kereta.
***
Ibu
Yano tengah berbaring di ranjang ketika sosok perempuan yang terlihat 10 tahun
lebih tua darinya itu memasuki kamarnya.
“Apa kabar, Yoko?” Perempuan itu
menyapa.
Yoko, ibu Yano menatapnya dengan tatapan
terkejut.
“Untuk apa kau kemari?” Yoko bertanya
sinis. Perempuan setengah baya di hadapannya itu tersenyum.
“Jadi kau masih ingat padaku?”
Yoko tertawa. “Michiko, tentu saja aku
masih ingat padamu. Kenapa kau kemari? Ingin bersorak atas apa yang menimpaku?”
sindirnya.
Perempuan yang dipanggil Michiko itu
tersenyum lembut.
“Aku sudah tahu semua yang menimpamu,
Yoko. Aku juga sudah tahu tentang penyakit kanker hati yang kau idap. Jadi, aku
datang ke sini untuk memberimu maaf.” Jawabnya.
Yoko menatap perempuan itu dengan
tatapan menusuk.
“Aku memaafkan semua perbuatanmu. Aku memaafkan
perselingkuhanmu dengan suamiku. Kita sudah sama-sama tua, tak ada gunanya
menyimpan dendam satu sama lain. Terlebih lagi karena Kazuya sudah meninggal
sekitar 2 tahun yang lalu. Aku memaafkannya, dan juga memaafkanmu.” Ucapnya.
Yoko membelalak.
“Kazuya meninggal?” Ia bertanya. Michiko
mengangguk.
“Karena sakit.” Jawabnya.
“Aku sengaja mencarimu, mencari
keberadaan putera, putera Kazuya. Di mana aku bisa menemuinya? Yano Motoharu.” Ia
melanjutkan.
“Kenapa kau ada perlu dengan puteraku?”
Michiko tak segera menjawab.
“Yoko, aku akan menanggung semua biaya
pengobatanmu. Tapi, berikan Yano padaku.” Ujarnya kemudian. Yoko melotot.
“Apa maksudmu?”
“Aku dan Kazuya tidak memiliki
keturunan. Jadi, aku membutuhkan Yano sebagai penerus keluarga kami. Aku ingin
dia menyandang nama keluarga ayahnya. Dan yang terpenting lagi, ada beberapa
perusahaan peninggalan Kazuya yang harus diambil alih oleh ahli warisnya yang
syah.” Ucapnya lagi.
“Jadi ...”
“Tidak.” Yoko menjawab cepat.
“Bahkan jika kau menawarkan seluruh
uangmu, harta kekayaanmu, aku tidak akan memberikan Yano padamu. Dia puteraku,
hanya puteraku, dan satu-satunya keluarga yang kumiliki. Ia akan selalu
menyandang nama keluargaku, bukan nama keluarga ayahnya. Jadi, jangan pernah
terpikir untuk mengambilnya dariku.” Ia berucap dengan tegas dengan tatapan
lurus ke arah Michiko.
“Pergilah, Michiko. Jangan datang kemari
lagi.”
Michiko menarik nafas panjang.
“Semoga kau mau memikirkannya lagi.
Hubungi aku jika kau berubah pikiran.” Michiko beranjak.
Ia
menutup pintu dari luar dengan perlahan. Langkahnya urung ketika ia menyaksikan
sesosok pemuda jangkung berdiri bersandar di samping pintu. Mereka bertatapan.
“Yano Motoharu?” Michiko bertanya
langsung. Yano mengangguk.
“Kau ... mendengar semua yang kami
bicarakan tadi?”
Yano kembali mengangguk.
“Bisa kita bicara sebentar?” Michiko
bertanya dan lagi-lagi Yano hanya mengangguk.
Mereka melangkah menuju kantin rumah
sakit.
“Kau
seperti ayahmu. Tinggi, tampan dan sopan.” Michiko membuka suara.
Yano hanya mengangguk, berterima kasih.
“Seperti yang sudah kau dengar. Aku berniat
membiayai pengobatan ibumu. Aku juga akan membiayai pendidikanmu, sampai
perguruan tinggi. Kau boleh bersekolah dimanapun yang kau inginkan. Tapi, ikutlah
bersamaku dan jadilah anakku. Bagaimana?” Michiko bertanya dengan sopan.
Yano tersenyum tipis.
“Terima kasih atas niat baik anda. Tapi seperti
yang sudah anda dengar dari ibuku, nama belakangku adalah nama belakang ibuku. Jadi,
saya adalah anak yatim. Saya tidak punya ayah. Saya mohon, jangan temui ibu
saya lagi. Dia sedang tidak sehat. Saya tidak ingin kesehatannya makin
terganggu. Mohon pengertiannya.” Yano membungkuk dengan hormat. Michiko menelan
ludah. Kecewa. Tapi perlahan ia tersenyum.
“Jika kau butuh sesuatu, kau bisa datang
padaku, kapanpun kau mau. Ya?” ia berucap lembut. Yano mengangguk lagi. “Terima
kasih.” Ucapnya.
***
Yano
menatap tiket pesawat di tangannya dengan mata berbinar. Bibirnya tak berhenti
tersenyum. Ia sudah menunggu saat ini selama berbulan-bulan. Ia juga sudah
mati-matian menyisihkan gajinya demi bisa membeli tiket ini. Lusa, Nanami ulang
tahun. Dan ia akan kesana, mengunjunginya, memberinya kejutan.
“Ibu, aku ingin ke Sapporo. Aku ingin
mengunjungi Nanami, 2 hari saja. Lusa ia ulang tahun.” Ia meminta ijin pada
ibunya ketika sore itu mereka makan bersama di meja makan.
Ibunya menatapnya tajam. Ia bangkit.
“Tidak. kau tak boleh ke sana.” Ia
setengah berteriak. Yano bangkit.
“Kalau begitu, sehari saja bu. Aku akan
ke sana, lalu menemuinya sebentar, kemudian segera kembali lagi ke sini. Ya?”
Yano memohon.
Ibunya menggeleng.
“Tidak! Kau pasti ingin menemui Michiko ‘kan?
Kau ingin pergi ke rumah ayahmu ‘kan?”
Yano menarik nafas panjang.
“Ibu, aku akan menemui Nanami. Bukan keluarga
ayahku.” Jawabnya.
“Bohong! Kau pasti akan menemui mereka. Kau
akan ikut mereka ‘kan? Kau akan meninggalkanku ‘kan? Tidak, aku tidak
mengijinkanmu.” Ibu Yano berlari ke arah pintu, menarik beberapa kursi lalu
mendorongnya ke arah pintu.
“Kau tidak boleh pergi! Kau tidak boleh
bertemu ayahmu!” Ia berteriak, histeris. Yano mendekatinya.
“Aku tidak akan meninggalkanmu, ibu. Aku
janji. Aku hanya akan menemui Nanami karena ia ulang tahun. Itu saja!” ia juga
ikut berteriak.
“Bohong! Kau pasti ingin menelantarkanku
seperti yang dilakukan ayahmu! Kau akan meninggalkanku sendirian demi uang yang
ditawarkan Michiko padamu! Ya ‘kan?”
“Kenapa ibu tak percaya padaku! Aku satu-satunya
anakmu, satu-satunya keluargamu, aku tidak akan menelantarkanmu!” Yano menarik
kursi di belakang pintu lalu mengembalikannya ke tempatnya semua. Wajahnya merah
padam karena marah.
“Aku tidak percaya padamu! Kau pasti
seperti ayahmu yang menelantarkanku sendirian!”
“Sudah ku bilang aku tidak akan
melakukannya! Kenapa sulit bagi ibu untuk mempercayaiku!” Yano menendang daun
pintu dengan keras, lalu melangkahkan kakinya keluar apartemen dengan amarah. Ia hanya melangkah, tak tentu arah.
Ia baru saja sampai di anak tangga yang
terakhir ketika ia mendengar orang-orang yang tinggal di kawasan apartemennya
mulai ribut.
“Ada seseroang jatuh! Panggilkan ambulan!”
Mereka berteriak silih berganti.
Yano mendongak, menatap kamarnya yang
berada di lantai 3. Dan seketika kakinya lemas. Jendela kamarnya terbuka.
“Ya Tuhan, ibuuuuuu!!”
***
Upacara pemakaman
ibu Yano berlangsung sepi. Hanya dihadiri beberapa petugas pemakaman dan
beberapa teman Yano, termasuk Aki.
“Kami turut
berbelasungkawa,Yano.” Ia memeluk Yano dengan erat sambil menepuk-nepuk
punggungnya. Yano hanya mengangguk, tanpa mampu berkata-kata. Semalam, ia sudah
menangis tanpa henti. Suaranya habis, begitu pula air matanya.
Setelah pemakaman
selesai, pemuda itu segera kembali ke apartemennya dengan gontai. Kini, ruangan
itu sepi.
Ia mengeluarkan
sebuah lilin, meletakkannya di lantai, lalu menyalakannya.
Selamat ulang tahun, Nanami...
Selamat ulang tahun yang ke-18, sayang ...
Maaf, aku tak bisa menemuimu....
Yano
meniup lilin tersebut hingga padam. Air matanya menitik. Bersamaan dengan
padamnya lilin tersebut, kehidupannya seperti terhenti.
***
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar