Nanami
menatap bangku Yano yang kosong. Sudah 3 hari ini ia tak masuk sekolah.
Berdasarkan surat ijin yang ia kirimkan, ia tak masuk karena sakit. Sebenarnya
Nanami khawatir. Ia ingin segera berlari ke rumah Yano dan melihat keadaannya.
Tapi begitu mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, ketika Yano membatalkan
janji kencan dengannya hanya untuk menemani Yuri di rumah sakit, amarahnya
kembali membuncah. Ia masih belum bisa terima. Mengingat apa yang pernah
terjadi antara Yuri dan Yano di masa lalu, perasaan Nanami campur aduk.
Cemburu, benci, marah, semuanya jadi satu. Hanya dengan mengingatnya saja, luka
di hatinya seperti kembali ternganga.
“Kau tak ingin menjenguk Yano?” Mizuhara
menanyakan hal yang sama seperti yang di tanyakan Chizu maupun Take sejak
beberapa saat yang lalu.
Nanami menggeleng.
“Nanami?”
“Dia akan baik-baik saja. Yano akan
baik-baik saja.” Potong Nanami. Ia bangkit, meninggalkan kedua rekannya yang
menatapnya dengan tak mengerti.
***
Sosok
itu masuk ke kamar Yano dengan canggung meskipun ibu Yano sudah
mempersilakannya dengan ramah. Yano hanya menatapnya sekilas lalu kembali
membuang pandangannya ke luar jendela. Ia tak beranjak dari atas tempat tidur.
“Bagaimana keadaanmu? Sudah membaik?”
Yuri bertanya dengan ragu.
Yano tak segera menjawab. “Baik.”
Jawabnya kemudian tanpa melihat ke arah Yuri.
Yuri duduk dengan bimbang. Hening
sesaat. Kemudian ia membuka tas nya dan mengeluarkan sebuah buku catatan.
“Aku sudah membuatkanmu rangkuman
pelajaran selama kau tak masuk. Sebentar lagi ujian, aku tak ingin kau
ketinggalan pelajaran.” Yuri meletakkan buku itu di atas meja. Yano tak
menjawab.
“Aku juga membawakanmu soal-soal latihan
untuk ujian nanti dan ...”
“Pergilah, Yuri.” Ucap Yano lirih.
Yuri menatap cowok itu dengan bingung.
Cowok yang bicara tanpa melihat ke
arahnya.
“Pulanglah. Dan tolong, jangan datang
kemari lagi.” Ucapnya lagi.
“Kenapa?” Yuri memberanikan diri untuk
bertanya.
“Karena aku tak mau pacarku marah jika
ia sampai melihatmu di sini.” Jawab Yano.
“Tapi ...”
“Pulanglah.”
Yuri
menggigit bibirnya dengan sedih. Cewek berkaca mata itu bangkit, meraih tasnya
lalu segera melangkahkan kakinya keluar dari kamar Yano tanpa mengatakan
apapun. Yano tetap tak melihat ke arahnya.
***
Nanami
termangu di depan rumah Yano. Ia menatap ke arah kamar Yano yang jendelanya
tertutup. Ia ingin menekan bel untuk bertamu, tapi ia ragu. Jujur ia khawatir
dengan keadaan cowok itu, ia ingin tahu Yano sakit apa, ia ingin tahu keadaannya.
Tapi, lagi-lagi ia belum bisa mengenyahkan kemarahannya. Ia masih marah karena
cowok itu mengabaikannya. Mengabaikannya
hanya untuk menemani Yuri di Rumah sakit!
Tapi, ia tak bisa berhenti mengkhawatir
cowok itu. Tak pernah bisa.
Nanami
menarik nafas sesaat lalu mengulurkan tangannya untuk memencet bel. Tapi belum
sempat jemarinya menekan, pintu rumah terbuka, dan ia melihat sosok cewek
berkaca mata itu keluar dari sana. Yuri.
Nanami mundur beberapa langkah. Yuri
menatapnya sekilas lalu kembali melangkahkan kakinya hingga mereka berpapasan.
“Untuk apa kau ke sini?” Tanya Nanami.
Yuri menghentikan langkahnya lalu menatap Nanami dengan dingin.
“Menjenguk Yano.” Jawabnya singkat.
“Tinggalkan dia, Yuri. Jangan pernah
menemui Yano lagi. Jangan pernah berdekatan lagi dengannya!” Nanami setengah
berteriak. Tatapan Yuri tajam.
“Kenapa aku harus melakukannya?”
“Karena dia adalah pacarku. Dan aku tak
suka kau selalu hadir di antara kami.” Jawab Nanami tegas.
Yuri tersenyum sinis.
“Kau bahkan belum ada setahun menjadi
pacarnya, tapi lagakmu seolah kaulah yang paling pantas mendampinginya. Jika
ada orang yang paling pantas bersamanya, orang itu adalah aku. Kenapa? Karena
aku lebih mengenalnya daripada kau. Aku mengenalnya sejak kecil, aku bersamanya
ketika dia jatuh, aku bersamanya ketika hatinya terluka. Aku bahkan bersamanya
ketika kakakku mencampakannya, aku juga masih bersamanya ketika dia memikirkan
cewek lain. Kau tahu kenapa kau mau melakukannya? Karena aku mencintainya apa
adanya! Aku mencintainya, dengan semua masa lalunya!” Cewek itu berteriak.
Kaki Nanami terasa terpaku di tanah. Ia
mematung.
Mencintainya
apa adanya... Mencintainya dan juga masa lalunya...
“Bisakah kau melakukannya? Bisakah kau
melakukan apa yang telah kulakukan padanya? Tidak ‘kan? Kau bahkan menjauh
darinya ketika ia mengatakan semua masa lalunya. Kau bahkan meninggalkannya
ketika hatinya hancur. Kau tak pantas mendapatkannya, Nanami! Kau tak pantas
bersamanya!” Yuri kembali berteriak.
“Yuri, jangan berteriak seperti itu pada
Nanami.”
Yuri dan Nanami menoleh. Take berdiri
tak jauh pada mereka.
“Tidakkah kata-katamu itu keterlaluan?”
Cowok itu mendekatinya. Yuri menatapnya dengan tajam lalu berbalik,
melangkahkan kakinya meninggalkan mereka berdua.
Take menatap Nanami yang masih tampak
syok. Kedua matanya berkaca-kaca.
“Nanami, jangan pedulikan kata-kata
Yuri. Dia ...”
Kalimat Take terhenti ketika tiba-tiba
ia mendengar jendela dari kamar Yano terbuka. Serta merta Nanami berjingkat,
lalu menyembunyikan dirinya di balik pagar sehingga ia tak terlihat dari kamar
Yano.
“Take? Untuk apa kau berdiri di situ?”
Yano melongokkan kepalanya dan menatap langsung ke arah Take. Take hanya
meringis. Ia melirih ke arah Nanami sesaat.
“Aku ingin menjengukmu.” Jawabnya. Yano
tertawa lirih.
“Woa, kau manis sekali. Tapi pulanglah.
Aku tak apa-apa. Hanya terkena flu saja. Tak perlu masuk ke sini. Kau bisa
ketularan flu-ku.” Ucap Yano. Ia melihat sekelilingnya.
“Apa kau datang sendiri? Kau tak bersama
Nanami?” Ia bertanya lagi tanpa ragu.
Take melirik ke arah Nanami, cewek itu menggeleng.
“E, tidak. Aku datang sendiri.” Jawab
Take kemudian. Yano manggut-manggut.
“Ya sudahlah. Tak apa-apa. Pulanglah,
Take.” Yano menutup jendela. Tapi baru
beberapa detik, jendela kamarnya kembali terbuka.
“Ada apa lagi? Tutuplah jendelanya.
Nanti flu-mu makin parah.” Ucap Take. Yano menatapnya bingung.
“Take, aku benar-benar tak tahu
caranya.” Ujarnya. Take mengernyit.
“Tak tahu caranya, apa?”
“Aku tak tahu bagaimana caranya untuk
selalu bersama Nanami tanpa harus menyakitinya.” Jawab Yano.
Take terdiam. Ia melirik lagi ke arah Nanami,
sesaat.
“Aku selalu saja salah mengambil
keputusan. Alih-alih membuatnya bahagia, aku malah selalu menyakitinya.” Kali
ini kalimat Yano terdengar lebih lirih. Tapi baik Take maupun Nanami yang terus
bersembunyi di bawah pagar, tetap bisa mendengarnya dengan jelas.
“Kepercayaan diriku luntur, Take. Aku
takut.” Lanjutnya.
Take terkekeh demi bisa mencairkan
suasana.
“Kenapa tak percaya diri? Kenapa harus
takut? Toh ini bukan yang pertama kalinya bagimu punya pacar. Ya ‘kan?”
Ujarnya.
Yano terdiam.
“Kau benar, Take. Tapi ini untuk pertama
kalinya ....” Ia menarik nafas panjang. “Ini untuk pertama kalinya aku takut.
Aku takut tak bisa membuat Nanami bahagia.” Jawabnya.
Hening.
Nanami merasakan air matanya menitik. Ia
meringkuk di bawah pagar sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Ah, sudahlah, Take. Pulanglah. Aku akan
segera membaik. Sampaikan salamku pada Nanami kalau kau bertemu dengannya.”
Yano menutup jendela.
Take menatap Nanami. Tampak cewek itu
tengah menahan isak tangisnya.
***
Ibu
Yano mendekati Yano dan menyentuh keningnya dengan lembut. “Tuh ‘kan? Panasmu
sepertinya naik lagi. Jangan membuka jendela lagi ya. Cuaca di luar sedang
tidak bagus.” Perempuan itu mengomel sambil merapikan selimut Yano.
“Ibu, apa Nanami tidak datang kemari?”
Yano bertanya.
Ibu Yano menggeleng.
“Ah, dia tega sekali ya. Aku ‘kan masih
pacarnya. Harusnya sebagai pacar yang baik, dia menjengukku ‘kan?” Ia mengomel.
Ibu Yano menarik nafas panjang. Perlahan ia bangkit, keluar dari kamar Yano,
dan beberapa saat kemudian ia kembali membawa sekeranjang buah-buahan.
“Untukmu.” Ucapnya. Yano menatap ke arah
keranjang di tangan ibunya.
“Bukan dari Yuri ‘kan?”
Ibunya menggeleng.
“Dari Take?”
Ibunya kembali menggeleng. “Dari
Nanami.” Jawabnya kemudian. Yano bangkit seketika.
“Dia kemari?”
Ibunya mengangguk. “Iya, tadi.
Berbarengan dengan Take.” Jawabnya.
Yano menyibakkan selimutnya, melonjakkan
kakinya dari tempat tidur, lalu segera berlari dari kamarnya. Ia keluar dari
rumah, menerjang hujan salju, dengan bertelanjang kaki.
“Yano, jangan seperti itu. Masuklah.”
Ibunya berlari mengejarnya sambil membawakan jaket. Yano menatap ke arah ujung
jalan secara bergantian. Berharap ia masih menemukan sosok Nanami.
“Ia sudah pergi sejak 15 menit yang
lalu. Saat ini, pastilah ia sudah naik bis.” Ucap Ibu Yano sambil melingkarkan
jaket yang dibawanya ke tubuh Yano.
“Masuklah. Flumu bisa tambah parah.”
“Tapi, bu ...”
“Masuklah. Ada yang harus kita
bicarakan.” Ibunya berucap lagi hingga membuat Yano tak punya pilihan selain
mengikuti ibunya kembali ke kamar.
***
“Kita
akan pindah ke Tokyo.”
Ucapan ibunya membuat Yano mematung di
tempat tidurnya. “Pindah?” Ia mengulangi kata itu. Ibu Yano mengangguk.
“Pindah. Kau dan aku.” Ia memastikan.
“Kenapa? Sekolahku ‘kan tinggal satu
tahun lagi.” Yano menatap ibunya dengan tak mengerti. Perempuan itu duduk di
sisi tempat tidur Yano dan menatap putranya dengan dalam.
“Ibu di pecat. Ibu tak punya pekerjaan
lagi, dan ibu juga tak punya tabungan. Kontrakan rumah ini akan berakhir bulan
depan. Jadi, kita harus pergi.”
“Kenapa ke Tokyo?”
“Salah satu teman ibu di Tokyo membantu
ibu mencarikan pekerjaan di sana. Dia juga akan membantu mencarikan rumah
kontrakan yang murah. Jadi, kita tak punya pilihan selain ke sana.” Lanjutnya.
“Kenapa ibu tak mencari pekerjaan di
sini saja?”
“Ibu sudah mencarinya sejak beberapa
minggu yang lalu. Tapi, kota ini kota kecil. Mencari pekerjaan bukan hal yang
mudah.” Jawabnya.
Yano terdiam. Tak tahu harus menjawab
apa.
***
Salju
turun dengan lebat. Tapi itu tak menyurutkan niat Yano untuk datang ke rumah
Take. Sahabatnya sejak kecil itu tampak kaget mendapati dirinya di depan
rumahnya.
“Apa keadaanmu sudah membaik? Masuklah.
Cuaca sedang tidak bagus.” Take mengajaknya masuk dengan nada cemas. Setelah
Yano duduk di sofa hangat yang berada di kamarnya, ia segera membuatkannya teh
hangat.
“Ada sesuatu ‘kan?” Take segera bisa
menebak. Yano tak menjawab.
“Bicaralah. Aku akan mendengarmu.” Ucap
Take lagi.
Yano menyeruput teh hangatnya lalu
meremas-remas tangannya sendiri.
“Aku tak tahu harus bercerita kepada
siapa lagi. Biasanya aku akan segera ke rumah Nanami. Tapi kau sendiri tahu
‘kan? Ia masih marah padaku.”
Take mengangguk. “Bicaralah.”
“Ibuku di pecat. Rumah kontrakan kami
akan segera berakhir bulan depan. Jadi dia mengajakku pindah ke Tokyo.”
Take ternganga.
“Pindah ke Tokyo? Selamanya?”
“Bisa jadi.” Jawab Yano.
“Tapi sekolahmu ‘kan tinggal satu tahun
lagi?”
Yano manggut-manggut. “Aku sedang
berencana untuk menolak ajakan ibuku. Dia bisa ke Tokyo, dan aku tetap ingin di
sini. Toh aku punya pekerjaan paruh waktu ‘kan? Aku bisa mencari semacam dining kitchen room* yang murah. Hidup
sendiri memang bukan hal yang mudah. Tapi, aku pasti bisa. Ya ‘kan? Selain itu
... ” Yano menghentikan kalimatnya sesaat. “Aku tak bisa berjauhan dengan
Nanami.”
Yano kembali menarik nafas berat.
Terlihat sedang memikirkan sesuatu yang berat baginya.
“Tapi, jika aku tetap tinggal di sini.
Maka ibuku akan sendirian di Tokyo. Ya ‘kan? Ia tak punya siapa-siapa selain
aku. Karena itu, aku tak tahu harus bagaimana Take?” Ia menatap sahabatnya dengan tatapan putus asa.
Take menyandarkan punggunggnya di kursi dengan lemas. Ia juga bingung ingin
menjawab apa.
“Tolong jangan ceritakan dulu ini pada
Nanami ya?” pintanya. Take tak menjawab karena ia tahu bahwa ia memang tak bisa
menjanjikan untuk tidak menceritakan hal itu pada Nanami. Karena sesaat setelah
Yano pulang dari rumahnya, cowok itu menyambar jaketnya lalu ia menerjang hujan
salju, menuju rumah Nanami.
Ia memang mencintai Nanami. Tapi ia
takkan mendapatkan cintanya dengan cara seperti ini. Tidak!
***
Nanami
menatap Take dengan heran ketika cowok itu ada di depan pintu rumahnya dengan
nafas terengah-engah. Terlihat ia baru saja menerjang lebatnya hujan salju.
“Take, ada apa? Masuklah. Di luar dingin
sekali.” Ia segera mengajak cowok itu masuk namun ia menolaknya.
“Kau harus bicara dengan Yano, Nanami.
Ini tak adil. Ini tak adil untuk kalian berdua.” Ucapnya dengan nafas tersengal. Nanami mengernyitkan dahinya. “Ada
apa?” Ia bertanya heran.
“Yano, akan ke Tokyo. Ibunya mengajaknya
pindah ke sana. Kondisi keuangan keluarganya sedang tidak bagus. Jadi ...” Take
menelan ludah. “Bicaralah dengannya Nanami. Ku mohon.” Lanjutnya.
Nanami mematung. Yano, pindah ke Tokyo?
Sudah
2 hari ini Yano masuk sekolah seperti biasanya. Tapi ia tak banyak bicara. Yang
ia lakukan di kelas hanyalah diam atau sekedar mencoret-coret bukunya. Dan
ketika waktu istirahat tiba, ia menghilang entah kemana. Cowok itu seperti
sengaja menghindarinya. Menghindarinya?
Tidak.
Bukan Yano yang menghindari Nanami,
tapi, Nanamilah yang masih menjaga jarak dengannya. Nanami ingin mengajaknya
bicara, tapi ia tak tahu bagaimana caranya. Ia tak tahu.
Egonya masih
tinggi, begitu pula harga dirinya. Yano bersalah padanya. Bukankah dia yang
harus menemuinya terlebih dahulu? Bukankah dia yang seharusnya mengajak bicara
terlebih dahulu? Bukankah dia yang seharusnya meminta maaf lagi, ratusan kali,
mengingat apa yang telah ia lakukan padanya selama ini? Bukankah ...
Nanami bersikeras bahwa ia takkan bicara
dengan Yano sebelum cowok itu bicara terlebih dulu dengannya. Tapi mengingat kata-kata
Take bahwa ia akan pindah ke Tokyo, pertahanannya runtuh. Ia menyerah.
Dan
sekarang ...
Di sinilah ia
akhirnya.
Di rumah Yano.
***
Yano terlihat
kaget luar biasa ketika ia pulang dari kerja paruh waktunya, ia mendapati
Nanami sudah ada di rumahnya. Sedang mengobrol dengan ibunya di ruang tamu.
Cewek itu tersenyum melihat
kepulangannya. Ia tersenyum lepas seolah-olah di antara mereka sedang tak
terjadi apa-apa. Yano tampak bengong hingga lupa mengucapkan salam ‘pulang’.
“Okaeri*.”
Nanami menyapa duluan. Yano tergagap. “Tadaimaa*.”
Jawabnya.
“Nanami sudah di sini sejak tadi sore.
Kami mengobrol tentang banyak hal. Sekarang kalian mengobrollah.” Ibu Yano
mengucapkan kalimat tersebut sambil melihat ke arah Yano dan Nanami secara
bergantian. Kemudian ia bangkit.
Meninggalkan mereka berdua.
“Mau ke kamarku?” Yano bertanya dengan
ragu. Nanami mengangguk. Mereka melangkah menaiki tangga menuju kamar di lantai
dua.
“Maaf, aku tak mengira kau akan ke
sini.” Ucap Yano.
“Dan maaf karena aku lancang ke sini
ketika kau tak ada. Aku ingin mengobrol terlebih dulu dengan ibumu.” Jawab
Nanami. Mereka duduk dengan canggung.
Hening sesaat.
“Aku ...”
“Aku ...”
Mereka membuka suara hampir bersamaan.
“Kau dulu.” Yano mengalah. Nanami menatap cowok di hadapannya.
“Aku sudah dengar dari Take. Tentang
rencana kepindahanmu ke Tokyo dengan ibumu.” Ucap Nanami. Yano tampak tertegun.
Tapi ia tak menyanggah. Perlahan ia mengangguk.
“Maafkan aku, Nanami.” Desisnya lirih.
“Ibuku membutuhkanku. Satu-satunya keluarga yang ia punya adalah aku. Jadi ...”
“Aku mengerti.” Nanami memotong. Ia
menelan ludah.
“Aku sudah bicara dengan ibumu. Jika dia
memang membutuhkanmu, pergilah.” Hati Nanami hancur ketika mengucapkan itu.
Tapi ia tak punya pilihan. Egonya tak ingin menghalangi kepergian Yano dengan
ibunya. Ibunya sendirian. Ia membutuhkan Yano, putra satu-satunya, dan juga
satu-satunya keluarga yang ia punya.
“Maafkan aku Nanami. Aku benar-benar
...”
“Aku tak mau putus denganmu.”
Yano menatap Nanami dengan lekat. Cewek
itu juga melakukan hal yang sama.
“Meskipun kau pergi ke Tokyo dengan
ibumu, kau tak berencana putus denganku ‘kan?” Kedua mata Nanami tampak
berkaca-kaca. Yano menatapnya sendu. Ia beringsut, menghampiri Nanami, lalu
memeluknya erat. Ia menggeleng tegas.
“Tidak, Nanami. Aku tak berencana putus
denganmu. Bahkan jika aku ke Tokyo, aku tetap akan berhubungan denganmu. Lewat
telpon, sms, email, semuanya.” Suara Yano tampak bergetar.
“Janji?”
“Janji.” Jawab Yano.
Nanami mencoba tak menangis. Tapi air
matanya menitik begitu saja.
“Kau harus sering menelponku.” Ucapnya.
Yano mengangguk.
“Jika kau sudah mendapat sekolah baru,
kau harus menceritakan padaku tentang semuanya. Tentang sekolahmu, teman-teman
barumu, kegiatanmu. Semuanya.”
Yano kembali mengangguk.
“Jangan lupa, kirimi juga fotomu selama
di sana. oke?”
Lagi-lagi Yano hanya mengangguk. Ia
hanya tak sanggup berbicara lagi karena air matanya juga telah menitik.
“Aku akan belajar dengan tekun. Agar
nilaiku bagus, dan aku bisa masuk universitas Tokyo.”
Nanami merasakan Yano mengangguk.
“Tunggu aku di sana, Yano. Tunggu aku
satu tahun lagi. Aku pasti akan menyusulmu ke sana. Oke?” Nanami terisak.
Yano mempererat pelukannya, dan
lagi-lagi ia hanya mampu mengangguk. Bibirnya bergetar, dan ia terisak.
***
“Aku
memutuskan untuk ikut ibuku ke Tokyo.” Ucap Yano. Take membuang tatapannya ke
arah pantai yang membentang di hadapannya. Sore itu, Yano yang berinisiatif
untuk mengajak Take jalan-jalan. Dia bilang, ia ingin bicara dengannya secara
laki-laki.
“Kau yakin?” Take bertanya.
“Kau pikir aku punya pilihan yang lebih
baik?” Cowok itu balik bertanya. Take manggut-manggut.
“Kau sudah bicara dengan Nanami?”
Yano mengangguk.
“Dia bilang apa?” Take ganti bertanya.
“Dia juga tak punya pilihan lain.” Jawab
Yano. Keduanya menarik nafas berat. Seraya terus menatap laut lepas.
“Take, aku ingin kau menjaga Nanami.
Tapi berjanjilah satu hal padaku.”
“Apa?”
“Jangan menikamku dari belakang.” Ucap
Yano seraya menoleh dan menatap sahabat baiknya tersebut. Take terkekeh seraya
balik menatapnya.
“Aku takkan selicik itu. Aku takkan
pernah mengambil pacar sahabat sendiri. Kecuali ...”
“Kecuali apa?” Yano bertanya penasaran.
“Kecuali jika kau mengabaikannya, jika
kau tak rajin mengirim kabar kepadanya, atau jika kau menghilang begitu saja,
maka akan ku ambil dia darimu hanya dalam sedetak jantung.” Jawab Take.
Yano tertawa miris.
“Aku takkan melakukannya.” Jawabnya.
“Oke, ku pegang kata-katamu.”
Mereka beradu kepalan tangan. Lalu
tertawa.
“Janji lelaki sejati.” Ucap mereka
hampir bersamaan.
***
Platform itu tampak ramai. Tidak hanya
Nanami, Take, Chizu dan Mizuhara yang mengantarkan keberangkatan Yano di
stasiun kereta. Hampir semua anggota club futsal juga hadir di sana.
“Kau harus ikut klub futsal di sekolahmu
yang baru.” Saran Akira. Yano mengangguk.
“Tidak hanya futsal. Aku juga berencana
ikut semua kegiatan olah raga di sana. Kalian ‘kan tahu, aku punya banyak bakat
di bidang olah raga.” Yano terkekeh. Akira meninju lengannya dengan pelan.
Mereka tertawa.
Beberapa
menit sebelum kereta berangkat, Yano menghampiri Nanami. Teman-teman mereka
sengaja menjauh demi memberi privasi pada mereka untuk berpamitan.
Kedua mata Nanami tampak sembab. Ia tak
bisa berhenti menangis sejak semalam.
“Jaga dirimu baik-baik, Nanami.” Kalimat
Yano parau. Nanami mengangguk.
“Kau juga.” Jawabnya. Bibirnya bergetar,
dan air matanya kembali menitik.
“Maaf aku cengeng. Aku tak bermaksud
mengantarkan keberangkatanmu dengan air mata. Tapi entahlah, aku tak bisa
membendungnya.” Ujar Nanami. Yano menatapnya pilu. Ia meraih tubuh Nanami ke
dekapannya lalu mencium puncak kepalanya dengan lembut.
“Yano, jangan pernah merasa sendiri.
Apapun yang terjadi, kau tidak sendirian. Ada aku di sini, yang setia memikirkanmu,
yang setia mencintaimu, yang setia menantimu. Ya?” Bisik Nanami.
Yano mengangguk.
“Sepertinya, aku hidup untuk bertemu
denganmu, Nanami. Jika kau tak bisa menyusulku ke Tokyo, maka, tunggulah. Aku
yang akan kembali ke sini, menemuimu. Oke?”
Nanami mengangguk.
Dengan
berat hati Yano melepaskan pelukannya lalu beranjak memasuki kereta. Pintu
tertutup, dan mereka hanya bisa saling memandang dengan tatapan sedih. Perlahan
kereta berjalan. Dan secara reflek saja, Nanami berlari. Menyusuri platform,
mengejar kereta yang semakin cepat berjalan. Ia terisak, meneriakkan nama Yano.
Langkah kakinya baru terhenti ketika kereta semakin menjauh, membawa Yano pergi
dari hadapannya, dan membawa seluruh hatinya.
Kamisama ...
Lindungi dia dimanapun dia berada
Jaga hatinya untukku
Pertemukan dia dengan orang-orang yang baik
Tak peduli berapa banyak ia menangis dan roboh,
buatlah agar dia bisa bangkit lagi
Itulah doaku...
***
Yano
menatapnya. Menatap tubuh mungil Nanami
belari-lari kecil mengejar kereta. Menatap wajah manisnya yang basah oleh air
mata. Hatinya sesak. Sekarang ia sadar, ia mencintai Nanami, dengan sepenuh
hati.
Kamisama ...
Lindungi Nanami dimanapun dia berada
Jaga hatinya untukku
Pertemukan dia dengan orang-orang yang baik
Tak peduli berapa banyak ia menangis dan roboh,
buatlah agar dia bisa bangkit lagi
Itulah doaku...
Dan air mata Yano kembali menitik.
***
Hari
mulai senja. Cahayanya yang jingga keemasan menyeruak di ufuk barat dan menampilkan landscape bangunan di
sepanjang rel kereta dengan menakjubkan.
Nanami mematung. Tatapannya menerawang
di sepanjang rel kereta yang membentang di hadapannya. Hampir setiap hari ia
menghabiskan waktunya di sini. Di stasiun ini.
Menunggu. Menunggu seseorang yang
sekarang entah berada di mana.
5
tahun yang lalu ia mengantarkan Yano di sini. Mengantarkan keberangkatannya ke
Tokyo. Saat di mana ia bertemu dengannya untuk yang terakhir kalinya. Karena
setelah itu, ia hilang kontak dengannya.
Pemuda
itu menghilang entah kemana.
Tanpa
kabar.
***
Bersambung...
Dining
kitchen room
: ruangan tempat tinggal yang hanya terdiri dari 1 ruang tamu, 1 ruang makan, 1
ruang dapur + kamar mandi. Biasanya sewanya lebih murah.
Tadaimaa : Aku pulang
Okaeri
(nasai) : Selamat datang kembali (di rumah)
Dalam budaya orang Jepang, ketika
seseorang pulang ke rumah (darimanapun dia datang), dia wajib mengucapkan salam
‘tadaimaa’. Dan orang yang ada di
rumah, juga wajib menjawab dengan ‘okaeri(nasai)’.
Kamisama :
Dewa (Tuhan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar