Rabu, 04 Februari 2015

Bokura Ga Ita - Part 7

          Nanami menatap bangku Yano yang kosong. Sudah 3 hari ini ia tak masuk sekolah. Berdasarkan surat ijin yang ia kirimkan, ia tak masuk karena sakit. Sebenarnya Nanami khawatir. Ia ingin segera berlari ke rumah Yano dan melihat keadaannya. Tapi begitu mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, ketika Yano membatalkan janji kencan dengannya hanya untuk menemani Yuri di rumah sakit, amarahnya kembali membuncah. Ia masih belum bisa terima. Mengingat apa yang pernah terjadi antara Yuri dan Yano di masa lalu, perasaan Nanami campur aduk. Cemburu, benci, marah, semuanya jadi satu. Hanya dengan mengingatnya saja, luka di hatinya seperti kembali ternganga.
“Kau tak ingin menjenguk Yano?” Mizuhara menanyakan hal yang sama seperti yang di tanyakan Chizu maupun Take sejak beberapa saat yang lalu.
Nanami menggeleng.
“Nanami?”
“Dia akan baik-baik saja. Yano akan baik-baik saja.” Potong Nanami. Ia bangkit, meninggalkan kedua rekannya yang menatapnya dengan tak mengerti.

***

          Sosok itu masuk ke kamar Yano dengan canggung meskipun ibu Yano sudah mempersilakannya dengan ramah. Yano hanya menatapnya sekilas lalu kembali membuang pandangannya ke luar jendela. Ia tak beranjak dari atas tempat tidur.
“Bagaimana keadaanmu? Sudah membaik?” Yuri bertanya dengan ragu.
Yano tak segera menjawab. “Baik.” Jawabnya kemudian tanpa melihat ke arah Yuri.
Yuri duduk dengan bimbang. Hening sesaat. Kemudian ia membuka tas nya dan mengeluarkan sebuah buku catatan.
“Aku sudah membuatkanmu rangkuman pelajaran selama kau tak masuk. Sebentar lagi ujian, aku tak ingin kau ketinggalan pelajaran.” Yuri meletakkan buku itu di atas meja. Yano tak menjawab.
“Aku juga membawakanmu soal-soal latihan untuk ujian nanti dan ...”
“Pergilah, Yuri.” Ucap Yano lirih.
Yuri menatap cowok itu dengan bingung. Cowok yang bicara tanpa melihat  ke arahnya.
“Pulanglah. Dan tolong, jangan datang kemari lagi.” Ucapnya lagi.
“Kenapa?” Yuri memberanikan diri untuk bertanya.
“Karena aku tak mau pacarku marah jika ia sampai melihatmu di sini.” Jawab Yano.
“Tapi ...”
“Pulanglah.”
          Yuri menggigit bibirnya dengan sedih. Cewek berkaca mata itu bangkit, meraih tasnya lalu segera melangkahkan kakinya keluar dari kamar Yano tanpa mengatakan apapun. Yano tetap tak melihat ke arahnya.

***

          Nanami termangu di depan rumah Yano. Ia menatap ke arah kamar Yano yang jendelanya tertutup. Ia ingin menekan bel untuk bertamu, tapi ia ragu. Jujur ia khawatir dengan keadaan cowok itu, ia ingin tahu Yano sakit apa, ia ingin tahu keadaannya. Tapi, lagi-lagi ia belum bisa mengenyahkan kemarahannya. Ia masih marah karena cowok itu mengabaikannya. Mengabaikannya hanya untuk menemani Yuri di Rumah sakit!
Tapi, ia tak bisa berhenti mengkhawatir cowok itu. Tak pernah bisa.
          Nanami menarik nafas sesaat lalu mengulurkan tangannya untuk memencet bel. Tapi belum sempat jemarinya menekan, pintu rumah terbuka, dan ia melihat sosok cewek berkaca mata itu keluar dari sana. Yuri.
Nanami mundur beberapa langkah. Yuri menatapnya sekilas lalu kembali melangkahkan kakinya hingga mereka berpapasan.
“Untuk apa kau ke sini?” Tanya Nanami. Yuri menghentikan langkahnya lalu menatap Nanami dengan dingin.
“Menjenguk Yano.” Jawabnya singkat.
“Tinggalkan dia, Yuri. Jangan pernah menemui Yano lagi. Jangan pernah berdekatan lagi dengannya!” Nanami setengah berteriak. Tatapan Yuri tajam.
“Kenapa aku harus melakukannya?”
“Karena dia adalah pacarku. Dan aku tak suka kau selalu hadir di antara kami.” Jawab Nanami tegas.
Yuri tersenyum sinis.
“Kau bahkan belum ada setahun menjadi pacarnya, tapi lagakmu seolah kaulah yang paling pantas mendampinginya. Jika ada orang yang paling pantas bersamanya, orang itu adalah aku. Kenapa? Karena aku lebih mengenalnya daripada kau. Aku mengenalnya sejak kecil, aku bersamanya ketika dia jatuh, aku bersamanya ketika hatinya terluka. Aku bahkan bersamanya ketika kakakku mencampakannya, aku juga masih bersamanya ketika dia memikirkan cewek lain. Kau tahu kenapa kau mau melakukannya? Karena aku mencintainya apa adanya! Aku mencintainya, dengan semua masa lalunya!” Cewek itu berteriak.
Kaki Nanami terasa terpaku di tanah. Ia mematung.
Mencintainya apa adanya... Mencintainya dan juga masa lalunya...
“Bisakah kau melakukannya? Bisakah kau melakukan apa yang telah kulakukan padanya? Tidak ‘kan? Kau bahkan menjauh darinya ketika ia mengatakan semua masa lalunya. Kau bahkan meninggalkannya ketika hatinya hancur. Kau tak pantas mendapatkannya, Nanami! Kau tak pantas bersamanya!” Yuri kembali berteriak.
“Yuri, jangan berteriak seperti itu pada Nanami.”
Yuri dan Nanami menoleh. Take berdiri tak jauh pada mereka.
“Tidakkah kata-katamu itu keterlaluan?” Cowok itu mendekatinya. Yuri menatapnya dengan tajam lalu berbalik, melangkahkan kakinya meninggalkan mereka berdua.
Take menatap Nanami yang masih tampak syok. Kedua matanya berkaca-kaca.
“Nanami, jangan pedulikan kata-kata Yuri. Dia ...”
Kalimat Take terhenti ketika tiba-tiba ia mendengar jendela dari kamar Yano terbuka. Serta merta Nanami berjingkat, lalu menyembunyikan dirinya di balik pagar sehingga ia tak terlihat dari kamar Yano.
“Take? Untuk apa kau berdiri di situ?” Yano melongokkan kepalanya dan menatap langsung ke arah Take. Take hanya meringis. Ia melirih ke arah Nanami sesaat.
“Aku ingin menjengukmu.” Jawabnya. Yano tertawa lirih.
“Woa, kau manis sekali. Tapi pulanglah. Aku tak apa-apa. Hanya terkena flu saja. Tak perlu masuk ke sini. Kau bisa ketularan flu-ku.” Ucap Yano. Ia melihat sekelilingnya.
“Apa kau datang sendiri? Kau tak bersama Nanami?” Ia bertanya lagi tanpa ragu.
Take melirik ke arah Nanami, cewek itu menggeleng.
“E, tidak. Aku datang sendiri.” Jawab Take kemudian. Yano manggut-manggut.
“Ya sudahlah. Tak apa-apa. Pulanglah, Take.” Yano menutup jendela. Tapi  baru beberapa detik, jendela kamarnya kembali terbuka.
“Ada apa lagi? Tutuplah jendelanya. Nanti flu-mu makin parah.” Ucap Take. Yano menatapnya bingung.
“Take, aku benar-benar tak tahu caranya.” Ujarnya. Take mengernyit.
“Tak tahu caranya, apa?”
“Aku tak tahu bagaimana caranya untuk selalu bersama Nanami tanpa harus menyakitinya.” Jawab Yano.
Take terdiam. Ia melirik lagi ke arah Nanami, sesaat.
“Aku selalu saja salah mengambil keputusan. Alih-alih membuatnya bahagia, aku malah selalu menyakitinya.” Kali ini kalimat Yano terdengar lebih lirih. Tapi baik Take maupun Nanami yang terus bersembunyi di bawah pagar, tetap bisa mendengarnya dengan jelas.
“Kepercayaan diriku luntur, Take. Aku takut.” Lanjutnya.
Take terkekeh demi bisa mencairkan suasana.
“Kenapa tak percaya diri? Kenapa harus takut? Toh ini bukan yang pertama kalinya bagimu punya pacar. Ya ‘kan?” Ujarnya.
Yano terdiam.
“Kau benar, Take. Tapi ini untuk pertama kalinya ....” Ia menarik nafas panjang. “Ini untuk pertama kalinya aku takut. Aku takut tak bisa membuat Nanami bahagia.” Jawabnya.
Hening.
Nanami merasakan air matanya menitik. Ia meringkuk di bawah pagar sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Ah, sudahlah, Take. Pulanglah. Aku akan segera membaik. Sampaikan salamku pada Nanami kalau kau bertemu dengannya.” Yano menutup jendela.
Take menatap Nanami. Tampak cewek itu tengah menahan isak tangisnya.

***

          Ibu Yano mendekati Yano dan menyentuh keningnya dengan lembut. “Tuh ‘kan? Panasmu sepertinya naik lagi. Jangan membuka jendela lagi ya. Cuaca di luar sedang tidak bagus.” Perempuan itu mengomel sambil merapikan selimut Yano.
“Ibu, apa Nanami tidak datang kemari?” Yano bertanya.
Ibu Yano menggeleng.
“Ah, dia tega sekali ya. Aku ‘kan masih pacarnya. Harusnya sebagai pacar yang baik, dia menjengukku ‘kan?” Ia mengomel. Ibu Yano menarik nafas panjang. Perlahan ia bangkit, keluar dari kamar Yano, dan beberapa saat kemudian ia kembali membawa sekeranjang buah-buahan.
“Untukmu.” Ucapnya. Yano menatap ke arah keranjang di tangan ibunya.
“Bukan dari Yuri ‘kan?”
Ibunya menggeleng.
“Dari Take?”
Ibunya kembali menggeleng. “Dari Nanami.” Jawabnya kemudian. Yano bangkit seketika.
“Dia kemari?”
Ibunya mengangguk. “Iya, tadi. Berbarengan dengan Take.” Jawabnya.
Yano menyibakkan selimutnya, melonjakkan kakinya dari tempat tidur, lalu segera berlari dari kamarnya. Ia keluar dari rumah, menerjang hujan salju, dengan bertelanjang kaki.
“Yano, jangan seperti itu. Masuklah.” Ibunya berlari mengejarnya sambil membawakan jaket. Yano menatap ke arah ujung jalan secara bergantian. Berharap ia masih menemukan sosok Nanami.
“Ia sudah pergi sejak 15 menit yang lalu. Saat ini, pastilah ia sudah naik bis.” Ucap Ibu Yano sambil melingkarkan jaket yang dibawanya ke tubuh Yano.
“Masuklah. Flumu bisa tambah parah.”
“Tapi, bu ...”
“Masuklah. Ada yang harus kita bicarakan.” Ibunya berucap lagi hingga membuat Yano tak punya pilihan selain mengikuti ibunya kembali ke kamar.

***

          “Kita akan pindah ke Tokyo.”
Ucapan ibunya membuat Yano mematung di tempat tidurnya. “Pindah?” Ia mengulangi kata itu. Ibu Yano mengangguk.
“Pindah. Kau dan aku.” Ia memastikan.
“Kenapa? Sekolahku ‘kan tinggal satu tahun lagi.” Yano menatap ibunya dengan tak mengerti. Perempuan itu duduk di sisi tempat tidur Yano dan menatap putranya dengan dalam.
“Ibu di pecat. Ibu tak punya pekerjaan lagi, dan ibu juga tak punya tabungan. Kontrakan rumah ini akan berakhir bulan depan. Jadi, kita harus pergi.”
“Kenapa ke Tokyo?”
“Salah satu teman ibu di Tokyo membantu ibu mencarikan pekerjaan di sana. Dia juga akan membantu mencarikan rumah kontrakan yang murah. Jadi, kita tak punya pilihan selain ke sana.” Lanjutnya.
“Kenapa ibu tak mencari pekerjaan di sini saja?”
“Ibu sudah mencarinya sejak beberapa minggu yang lalu. Tapi, kota ini kota kecil. Mencari pekerjaan bukan hal yang mudah.” Jawabnya.
Yano terdiam. Tak tahu harus menjawab apa.

***

          Salju turun dengan lebat. Tapi itu tak menyurutkan niat Yano untuk datang ke rumah Take. Sahabatnya sejak kecil itu tampak kaget mendapati dirinya di depan rumahnya.
“Apa keadaanmu sudah membaik? Masuklah. Cuaca sedang tidak bagus.” Take mengajaknya masuk dengan nada cemas. Setelah Yano duduk di sofa hangat yang berada di kamarnya, ia segera membuatkannya teh hangat.
“Ada sesuatu ‘kan?” Take segera bisa menebak. Yano tak menjawab.
“Bicaralah. Aku akan mendengarmu.” Ucap Take lagi.
Yano menyeruput teh hangatnya lalu meremas-remas tangannya sendiri.
“Aku tak tahu harus bercerita kepada siapa lagi. Biasanya aku akan segera ke rumah Nanami. Tapi kau sendiri tahu ‘kan? Ia masih marah padaku.”
Take mengangguk. “Bicaralah.”
“Ibuku di pecat. Rumah kontrakan kami akan segera berakhir bulan depan. Jadi dia mengajakku pindah ke Tokyo.”
Take ternganga.
“Pindah ke Tokyo? Selamanya?”
“Bisa jadi.” Jawab Yano.
“Tapi sekolahmu ‘kan tinggal satu tahun lagi?”
Yano manggut-manggut. “Aku sedang berencana untuk menolak ajakan ibuku. Dia bisa ke Tokyo, dan aku tetap ingin di sini. Toh aku punya pekerjaan paruh waktu ‘kan? Aku bisa mencari semacam dining kitchen room* yang murah. Hidup sendiri memang bukan hal yang mudah. Tapi, aku pasti bisa. Ya ‘kan? Selain itu ... ” Yano menghentikan kalimatnya sesaat. “Aku tak bisa berjauhan dengan Nanami.”
Yano kembali menarik nafas berat. Terlihat sedang memikirkan sesuatu yang berat baginya.
“Tapi, jika aku tetap tinggal di sini. Maka ibuku akan sendirian di Tokyo. Ya ‘kan? Ia tak punya siapa-siapa selain aku. Karena itu, aku tak tahu harus bagaimana Take?” Ia  menatap sahabatnya dengan tatapan putus asa. Take menyandarkan punggunggnya di kursi dengan lemas. Ia juga bingung ingin menjawab apa.
“Tolong jangan ceritakan dulu ini pada Nanami ya?” pintanya. Take tak menjawab karena ia tahu bahwa ia memang tak bisa menjanjikan untuk tidak menceritakan hal itu pada Nanami. Karena sesaat setelah Yano pulang dari rumahnya, cowok itu menyambar jaketnya lalu ia menerjang hujan salju, menuju rumah Nanami.
Ia memang mencintai Nanami. Tapi ia takkan mendapatkan cintanya dengan cara seperti ini. Tidak!

***

          Nanami menatap Take dengan heran ketika cowok itu ada di depan pintu rumahnya dengan nafas terengah-engah. Terlihat ia baru saja menerjang lebatnya hujan salju.
“Take, ada apa? Masuklah. Di luar dingin sekali.” Ia segera mengajak cowok itu masuk namun ia menolaknya.
“Kau harus bicara dengan Yano, Nanami. Ini tak adil. Ini tak adil untuk kalian berdua.” Ucapnya dengan nafas  tersengal. Nanami mengernyitkan dahinya. “Ada apa?” Ia bertanya heran.
“Yano, akan ke Tokyo. Ibunya mengajaknya pindah ke sana. Kondisi keuangan keluarganya sedang tidak bagus. Jadi ...” Take menelan ludah. “Bicaralah dengannya Nanami. Ku mohon.” Lanjutnya.
Nanami mematung. Yano, pindah ke Tokyo?

          Sudah 2 hari ini Yano masuk sekolah seperti biasanya. Tapi ia tak banyak bicara. Yang ia lakukan di kelas hanyalah diam atau sekedar mencoret-coret bukunya. Dan ketika waktu istirahat tiba, ia menghilang entah kemana. Cowok itu seperti sengaja menghindarinya. Menghindarinya? Tidak.
Bukan Yano yang menghindari Nanami, tapi, Nanamilah yang masih menjaga jarak dengannya. Nanami ingin mengajaknya bicara, tapi ia tak tahu bagaimana caranya. Ia tak tahu.
Egonya masih tinggi, begitu pula harga dirinya. Yano bersalah padanya. Bukankah dia yang harus menemuinya terlebih dahulu? Bukankah dia yang seharusnya mengajak bicara terlebih dahulu? Bukankah dia yang seharusnya meminta maaf lagi, ratusan kali, mengingat apa yang telah ia lakukan padanya selama ini? Bukankah ...
Nanami bersikeras bahwa ia takkan bicara dengan Yano sebelum cowok itu bicara terlebih dulu dengannya. Tapi mengingat kata-kata Take bahwa ia akan pindah ke Tokyo, pertahanannya runtuh. Ia menyerah.
          Dan sekarang ...
Di sinilah ia akhirnya.
Di rumah Yano.

***

Yano terlihat kaget luar biasa ketika ia pulang dari kerja paruh waktunya, ia mendapati Nanami sudah ada di rumahnya. Sedang mengobrol dengan ibunya di ruang tamu.
Cewek itu tersenyum melihat kepulangannya. Ia tersenyum lepas seolah-olah di antara mereka sedang tak terjadi apa-apa. Yano tampak bengong hingga lupa mengucapkan salam ‘pulang’.
Okaeri*.” Nanami menyapa duluan. Yano tergagap. “Tadaimaa*.” Jawabnya.
“Nanami sudah di sini sejak tadi sore. Kami mengobrol tentang banyak hal. Sekarang kalian mengobrollah.” Ibu Yano mengucapkan kalimat tersebut sambil melihat ke arah Yano dan Nanami secara bergantian. Kemudian ia bangkit.  Meninggalkan mereka berdua.
“Mau ke kamarku?” Yano bertanya dengan ragu. Nanami mengangguk. Mereka melangkah menaiki tangga menuju kamar di lantai dua.
“Maaf, aku tak mengira kau akan ke sini.” Ucap Yano.
“Dan maaf karena aku lancang ke sini ketika kau tak ada. Aku ingin mengobrol terlebih dulu dengan ibumu.” Jawab Nanami. Mereka duduk dengan canggung.
Hening sesaat.
“Aku ...”
“Aku ...”
Mereka membuka suara hampir bersamaan. “Kau dulu.” Yano mengalah. Nanami menatap cowok di hadapannya.
“Aku sudah dengar dari Take. Tentang rencana kepindahanmu ke Tokyo dengan ibumu.” Ucap Nanami. Yano tampak tertegun. Tapi ia tak menyanggah. Perlahan ia mengangguk.
“Maafkan aku, Nanami.” Desisnya lirih. “Ibuku membutuhkanku. Satu-satunya keluarga yang ia punya adalah aku. Jadi ...”
“Aku mengerti.” Nanami memotong. Ia menelan ludah.
“Aku sudah bicara dengan ibumu. Jika dia memang membutuhkanmu, pergilah.” Hati Nanami hancur ketika mengucapkan itu. Tapi ia tak punya pilihan. Egonya tak ingin menghalangi kepergian Yano dengan ibunya. Ibunya sendirian. Ia membutuhkan Yano, putra satu-satunya, dan juga satu-satunya keluarga yang ia punya.
“Maafkan aku Nanami. Aku benar-benar ...”
“Aku tak mau putus denganmu.”
Yano menatap Nanami dengan lekat. Cewek itu juga melakukan hal yang sama.
“Meskipun kau pergi ke Tokyo dengan ibumu, kau tak berencana putus denganku ‘kan?” Kedua mata Nanami tampak berkaca-kaca. Yano menatapnya sendu. Ia beringsut, menghampiri Nanami, lalu memeluknya erat. Ia menggeleng tegas.
“Tidak, Nanami. Aku tak berencana putus denganmu. Bahkan jika aku ke Tokyo, aku tetap akan berhubungan denganmu. Lewat telpon, sms, email, semuanya.” Suara Yano tampak bergetar.
“Janji?”
“Janji.” Jawab Yano.
Nanami mencoba tak menangis. Tapi air matanya menitik begitu saja.
“Kau harus sering menelponku.” Ucapnya. Yano mengangguk.
“Jika kau sudah mendapat sekolah baru, kau harus menceritakan padaku tentang semuanya. Tentang sekolahmu, teman-teman barumu, kegiatanmu. Semuanya.”
Yano kembali mengangguk.
“Jangan lupa, kirimi juga fotomu selama di sana. oke?”
Lagi-lagi Yano hanya mengangguk. Ia hanya tak sanggup berbicara lagi karena air matanya juga telah menitik.
“Aku akan belajar dengan tekun. Agar nilaiku bagus, dan aku bisa masuk universitas Tokyo.”
Nanami merasakan Yano mengangguk.
“Tunggu aku di sana, Yano. Tunggu aku satu tahun lagi. Aku pasti akan menyusulmu ke sana. Oke?” Nanami terisak.
Yano mempererat pelukannya, dan lagi-lagi ia hanya mampu mengangguk. Bibirnya bergetar, dan ia terisak.

***

          “Aku memutuskan untuk ikut ibuku ke Tokyo.” Ucap Yano. Take membuang tatapannya ke arah pantai yang membentang di hadapannya. Sore itu, Yano yang berinisiatif untuk mengajak Take jalan-jalan. Dia bilang, ia ingin bicara dengannya secara laki-laki.
“Kau yakin?” Take bertanya.
“Kau pikir aku punya pilihan yang lebih baik?” Cowok itu balik bertanya. Take manggut-manggut.
“Kau sudah bicara dengan Nanami?”
Yano mengangguk.
“Dia bilang apa?” Take ganti bertanya.
“Dia juga tak punya pilihan lain.” Jawab Yano. Keduanya menarik nafas berat. Seraya terus menatap laut lepas.
“Take, aku ingin kau menjaga Nanami. Tapi berjanjilah satu hal padaku.”
“Apa?”
“Jangan menikamku dari belakang.” Ucap Yano seraya menoleh dan menatap sahabat baiknya tersebut. Take terkekeh seraya balik menatapnya.
“Aku takkan selicik itu. Aku takkan pernah mengambil pacar sahabat sendiri. Kecuali ...”
“Kecuali apa?” Yano bertanya penasaran.
“Kecuali jika kau mengabaikannya, jika kau tak rajin mengirim kabar kepadanya, atau jika kau menghilang begitu saja, maka akan ku ambil dia darimu hanya dalam sedetak jantung.” Jawab Take.
Yano tertawa miris.
“Aku takkan melakukannya.” Jawabnya.
“Oke, ku pegang kata-katamu.”
Mereka beradu kepalan tangan. Lalu tertawa.
“Janji lelaki sejati.” Ucap mereka hampir bersamaan.

***

          Platform itu tampak ramai. Tidak hanya Nanami, Take, Chizu dan Mizuhara yang mengantarkan keberangkatan Yano di stasiun kereta. Hampir semua anggota club futsal juga hadir di sana.
“Kau harus ikut klub futsal di sekolahmu yang baru.” Saran Akira. Yano mengangguk.
“Tidak hanya futsal. Aku juga berencana ikut semua kegiatan olah raga di sana. Kalian ‘kan tahu, aku punya banyak bakat di bidang olah raga.” Yano terkekeh. Akira meninju lengannya dengan pelan. Mereka tertawa.
          Beberapa menit sebelum kereta berangkat, Yano menghampiri Nanami. Teman-teman mereka sengaja menjauh demi memberi privasi pada mereka untuk berpamitan.
Kedua mata Nanami tampak sembab. Ia tak bisa berhenti menangis sejak semalam.
“Jaga dirimu baik-baik, Nanami.” Kalimat Yano parau. Nanami mengangguk.
“Kau juga.” Jawabnya. Bibirnya bergetar, dan air matanya kembali menitik.
“Maaf aku cengeng. Aku tak bermaksud mengantarkan keberangkatanmu dengan air mata. Tapi entahlah, aku tak bisa membendungnya.” Ujar Nanami. Yano menatapnya pilu. Ia meraih tubuh Nanami ke dekapannya lalu mencium puncak kepalanya dengan lembut.
“Yano, jangan pernah merasa sendiri. Apapun yang terjadi, kau tidak sendirian. Ada aku di sini, yang setia memikirkanmu, yang setia mencintaimu, yang setia menantimu. Ya?” Bisik Nanami.
Yano mengangguk.
“Sepertinya, aku hidup untuk bertemu denganmu, Nanami. Jika kau tak bisa menyusulku ke Tokyo, maka, tunggulah. Aku yang akan kembali ke sini, menemuimu. Oke?”
Nanami mengangguk.
          Dengan berat hati Yano melepaskan pelukannya lalu beranjak memasuki kereta. Pintu tertutup, dan mereka hanya bisa saling memandang dengan tatapan sedih. Perlahan kereta berjalan. Dan secara reflek saja, Nanami berlari. Menyusuri platform, mengejar kereta yang semakin cepat berjalan. Ia terisak, meneriakkan nama Yano. Langkah kakinya baru terhenti ketika kereta semakin menjauh, membawa Yano pergi dari hadapannya, dan membawa seluruh hatinya.

Kamisama ...
Lindungi dia dimanapun dia berada
Jaga hatinya untukku
Pertemukan dia dengan orang-orang yang baik
Tak peduli berapa banyak ia menangis dan roboh, buatlah agar dia bisa bangkit lagi

Itulah doaku...

***

          Yano menatapnya.  Menatap tubuh mungil Nanami belari-lari kecil mengejar kereta. Menatap wajah manisnya yang basah oleh air mata. Hatinya sesak. Sekarang ia sadar, ia mencintai Nanami, dengan sepenuh hati.

Kamisama ...
Lindungi Nanami dimanapun dia berada
Jaga hatinya untukku
Pertemukan dia dengan orang-orang yang baik
Tak peduli berapa banyak ia menangis dan roboh, buatlah agar dia bisa bangkit lagi

Itulah doaku...

Dan air mata Yano kembali menitik.



***

         
          Hari mulai senja. Cahayanya yang jingga keemasan menyeruak di ufuk barat  dan menampilkan landscape bangunan di sepanjang rel kereta dengan menakjubkan.
Nanami mematung. Tatapannya menerawang di sepanjang rel kereta yang membentang di hadapannya. Hampir setiap hari ia menghabiskan waktunya di sini. Di stasiun ini.
Menunggu. Menunggu seseorang yang sekarang entah berada di mana.
          5 tahun yang lalu ia mengantarkan Yano di sini. Mengantarkan keberangkatannya ke Tokyo. Saat di mana ia bertemu dengannya untuk yang terakhir kalinya. Karena setelah itu, ia hilang kontak dengannya.
          Pemuda itu menghilang entah kemana.
          Tanpa kabar.

***

Bersambung...




Dining kitchen room : ruangan tempat tinggal yang hanya terdiri dari 1 ruang tamu, 1 ruang makan, 1 ruang dapur + kamar mandi. Biasanya sewanya lebih murah.
Tadaimaa             : Aku pulang
Okaeri (nasai)       : Selamat datang kembali (di rumah)
Dalam budaya orang Jepang, ketika seseorang pulang ke rumah (darimanapun dia datang), dia wajib mengucapkan salam ‘tadaimaa’. Dan orang yang ada di rumah, juga wajib menjawab dengan ‘okaeri(nasai)’.
Kamisama             : Dewa (Tuhan)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar