Yano
membuka pintu hanya untuk mendapati Yuri berdiri dengan kikuk di depan
apartemennya. Cowok itu baru selesai
berkemas-kemas. Hari ini, ia
sudah memutuskan pindah ke sebuah apartemen yang lebih kecil dan lebih murah
dan tentu saja lebih dekat dengan restoran tempat ia bekejerja.
“Untuk apa kau kemari?” Ia bertanya
dengan nada tak ramah ke arah perempuan berkaca mata tersebut.
“Aku, turut berduka cita atas apa yang
menimpa ibumu. Maaf, aku baru mengetahuinya.” Jawabnya, lirih.
“Pulanglah. Jangan datang kemari lagi
karena aku akan pergi.” Ucap Yano tetap dengan kalimat yang tak ramah. Ia
berbalik, masuk kembali ke dalam rumahnya tanpa menutup pintu. Yuri melangkah
menyusulnya.
“Kau mau kemana?” cewek itu bertanya.
“Pindah.” Yano menjawab singkat.
“Kenapa?”
Yano kembali merapikan barang-barangnya
tanpa melihat ke arah Yuri. “Sewa apartemen ini terlalu mahal. Aku tak sanggup
membayarnya.” Jawabnya.
“Lalu sekolahmu?”
“Aku berencana berhenti.”
Yuri mematung, menatap cowok yang terus
bicara tanpa menatap ke arah dirinya.
“Apa kau sangat membenciku, Yano?” cewek
itu bertanya, suaranya tak lagi lirih. Yano terdiam. Ia menegakkan tubuhnya
lalu berbalik dan menatap Yuri.
“Kau sudah tahu jawabannya.” Ucapnya
tegas. Kedua mata Yuri berkaca-kaca.
“Bencilah, kalau kau ingin benci. Tapi
fakta bahwa kita pernah melakukan sesuatu yang istimewa, kau takkan bisa
menyangkalnya.”
“Itu sebuah kesalahan! Apa yang terjadi
di antara kita adalah sebuah kesalahan! Jangan pernah mengungkitnya lagi!” Yano
berteriak. Ia menendang sebuah kardus di depannya dengan kesal. Bibir Yuri
bergetar.
Hening.
“Apakah kau tidak punya perasaan padaku,
sedikit saja? Walau hanya sedikit saja?” Yuri menatap lurus ke arah Yano. Cowok
itu juga membalasnya. Ia menggeleng.
“Tidak. Maaf.” Jawabnya.
Air mata Yuri menitik.
“Ada sebuah rahasia yang ingin
kuceritakan padamu.” Suara Yuri terdengar bergetar. Yano mengernyit. “Apa?”
Cewek
di hadapannya menelan ludah. “Ketika kakakku meninggal, dia tidak
mengkhianatimu.” Ucapnya. “Selama menjadi pacarmu ia memang punya banyak pacar
gelap. Tapi pada waktu itu, hari ketika
dia mengalami kecelakaan dan meninggal, dia tidak mengkhianatimu. Lelaki yang
bersamanya waktu itu bukan selingkuhannya, tapi pacar temannya. Dia minta
tolong pada kakakku untuk menemaninya membeli kado.”
Yano mematung.
“Bagaimana kau tahu?” Ia mendesis.
“Karena waktu itu aku juga bersama
mereka. Tapi aku tidak ikut mereka berbelanja melainkan turun di tempat les.
Jika saja aku ikut mereka, bisa dipastikan, aku pasti juga meninggal bersamaan
dengan kakakku.” Jawab Yuri.
“Kenapa kau baru menceritakan ini
padaku?” Tatapan Yano tampak kosong.
“Karena aku mencintaimu. Kupikir dengan
kepergian kakakku, kau bisa memberikan sedikit saja perhatianmu kepadaku. Tapi
ternyata aku salah.” Air mata Yuri kembali menitik. “Lepas dari kakakku, kau
malah jatuh cinta dengan Nanami.” Ia mundur beberapa langkah. Ia menggeleng
dengan putus asa.
“Aku menyerah, Yano. Aku tak bisa lagi
hidup seperti ini. Selamat tinggal.”
Dan
semua terjadi begitu cepat. Tiba-tiba saja Yuri mengeluarkan sebuah gunting
dari tas nya lalu mengarahkan ujung gunting sepanjang 10 cm itu ke lehernya
sendiri. Yano membelalak.
“Tidakkk!!!”
***
Yano, 5 tahun telah berlalu ....
Tapi aku tak pernah berhenti berdoa pada Tuhan
Dimanapun kau berada, dengan siapapun kau saat ini,
semoga kau selalu hidup bahagia ....
***
Stasiun
ramai oleh orang yang berlalu lalang berikut kereta yang datang dan pergi
sesuai jadwal. Nanami hanya duduk mematung di salah satu kursi tunggu.
Perempuan yang mengenakan pakaian kantor itu sudah berada di sana selama hampir
satu jam.
Ia sudah memutuskan, ini akan menjadi
yang terakhir kalinya.
Ya,
ini akan menjadi terakhir kalinya ia berkunjung ke stasiun untuk menunggu Yano.
Ia memutuskan untuk tidak melakukannya lagi. Take bilang, Yano sudah memilih
jalannya sendiri, dan Nanami akan merelakannya. Ia akan merelakannya.
***
Nanami tiba di apartemennya pukul
11 malam. Perempuan itu segera takjub ketika menemui sebuah candle light dinner telah tertata dengan
manis di meja makannya, sementara Take berdiri di samping meja dan menyilakan
perempuan itu dengan senyumnya yang hangat.
Selama ini Take memang sering berkunjung
ke apartemen Nanami. Ia bahkan punya kunci duplikatnya. Selain itu, hubungan
mereka juga semakin membaik. Membaik tidak dalam artian mereka pacaran. Tapi
tak bisa dipungkiri, Take adalah satu-satunya lelaki yang bertahun-tahun ini
dekat dengan Nanami. Begitu pula sebaliknya.
“Okaeri.”
Lelaki itu menyapa. Nanami tergelak. “Kau yang menyiapkannya?” Ia bertanya dengan
wajah berseri. Take mengangguk. “Surprise. Anggap saja ini perayaan karena hari
ini kau resmi naik jabatan di kantor.” Ia menjawab. Nanami tersenyum.
“Sugoi*
(Hebat). Trims ya, Take. Ngomong-ngomong, aku hanya menjadi asisten manajer.
Tak perlu dirayakan semewah ini.” Ucapnya.
“Apapun itu harus dirayakan. Itu sebagai
pertanda bahwa kita bersyukur dengan anugerah dari yang maha kuasa. Oke?”
Take menatap Nanami dengan lembut. Ia
menarik salah satu kursi lalu membimbing Nanami untuk duduk di sana. Sementara
ia sendiri duduk di seberang meja.
“Kau yang terbaik, Take.”
“Terima kasih.”
Mereka
melewati acara makan malam dengan disertai obrolan tentang kegiatan mereka
masing-masing di tempat kerjanya. Nanami menceritakan tentang proses
dipilihanya dia menjadi asisten manajer. Sementara Take bercerita bahwa minggu
ini ia berhasil menjual 5 apartemen mewah kepada beberapa artis ternama. Dan
bonus yang ia terima, tentu saja luar biasa.
Setelah
acara makan malam selesai dan mereka melakukan aktivitas cuci piring bersama-sama,
mereka menghabiskan malam yang tersisa dengan duduk-duduk di balkon. Angin
malam berdesir menerpa untaian rambut Nanami ketika Take berdehem, “Apakah aku
belum bisa memenangkan hatimu, Nanami?” Ia bertanya seraya menatap perempuan di
sampingnya. Nanami menoleh dan balas menatap Take. Ini untuk kesekian kalinya
Take menyatakan cinta padanya. Dan mungkin akan menjadi kesekian kalinya ia
menjawab dengan jawaban yang sama.
“Kau sudah tahu siapa yang telah
memenangkan seluruh hatiku, Take. Bahkan jika ia tak berada di sampingku,
selamanya, perasaanku padanya tak pernah berubah.” Jawabnya.
Take
tersenyum kecut seraya manggut-manggut. “Aku tahu. Apapun yang telah Yano
lakukan padamu, bahkan jika ia meninggalkanmu, mengkhianatimu, perasaanmu
padanya takkan pernah berubah. Ya ‘kan?”
Kali ini Nanami yang tersenyum getir.
“Maafkan aku, Take. Aku tahu kamu lelaki yang baik. Tapi, sudah saatnya aku
memikul sendiri bebanku, kesedihanku. Kau harus terus melanjutkan hidup dan
menemukan orang yang cocok untukmu. Percayalah, kau akan menemukan orang yang
lebih baik dariku.” Jawabnya.
“Dan kau harus percaya padaku, bahkan
jika kau menolakku berkali-kali, perasaanku padamu juga takkan berubah. Sama
seperti apa yang kau rasakan pada Yano.” Jawab Take. Keduanya terdiam.
“Aku ada sesuatu untukmu.” Take merogoh
sesuatu dari saku jasnya. Ia mengeluarkan selembar kertas lalu menyodorkannya
ke arah Nanami.
“Apa ini?” Tanya Nanami.
“Alamat Yano.” Jawab Take. Tubuh Nanami
membeku seketika.
“Maaf, selama ini tanpa sepengetahuanmu,
aku terus berusaha mencari keberadaan Yano atas bantuan Akira. Kau ingat ‘kan
dia bekerja sebagai detektif swasta. Aku tidak melakukannya untukmu Nanami. Aku
melakukannya untukku sendiri. Aku hanya ingin tahu saja pilihan hidup seperti
apa yang telah diambil oleh Yano sehingga ia tega meninggalkan kekasih,
teman-temannya, dan juga semua kenangannya di kota ini. Dia berutang banyak
penjelasan padaku. Padaku, sahabat
masa kecilnya, sahabat terbaiknya.” Jelasnya. Nanami tetap mematung. Take
meraih tangannya lalu meletakkan lembaran kertas itu di genggaman tangannya.
“Lihatlah dulu.” Ucapnya.
Nanami menatap lembaran kertas di
tangannya kemudian dengan tangan gemetar, ia membuka lipatannya lalu membaca
deretan kalimat yang tertera di sana.
“Yano Nagakura?” Ia mengernyit sambil
menatap Take. Take mengangguk.
“Dia bukan lagi Yano Motoharu, melainkan
Yano Nagakura. Aku tidak tahu alasannya kenapa dia mengubah nama keluarganya.
Itulah yang akan kucari tahu selanjutnya. Mau menemuinya bersama-sama?” Take
menawarkan.
Nanami terdiam. Perlahan ia menggeleng
lalu menyerahkan kembali kertas tersebut ke arah Take.
“Aku takkan menemuinya, Take. Tidak
akan. Dia pasti punya alasan sendiri untuk menghilang. Dan aku takkan mencari
tahu apa alasannya tersebut. Yang terpenting adalah, dia baik-baik saja.” Bibir
Nanami bergetar. Take tahu bahwa perempuan itu sedang menahan tangis.
Pemuda
itu beranjak, meraih kepala Nanami, lalu membenamkannya ke pelukannya. “Tak
apa-apa. Menangislah kalau kau ingin menangis. Luapkan semua emosimu. Aku ada
di sini untukmu.” Bisiknya. Dan tak butuh waktu lama hingga akhirnya tangis
Nanami benar-benar pecah. Bahu perempuan itu terguncang dan ia terisak di
pelukan Take.
***
Yano Nagakura.
Take
menatap ke arah papan nama di samping pintu lalu ke arah kertas di tangannya
secara bergantian. Setelah memastikan ia berada di alamat yang benar, ia
menekan bel. Ia hanya perlu memencet bel satu kali karena setelah itu pintu
perlahan terbuka dan ... sesosok perempuan muncul dari sana. Take terkesiap.
Sosok perempuan itu adalah sosok yang ia kenal!
“Yuri?” Ia mendesis tak percaya. Yuri
juga tampak mengalami keterjutan yang sama.
“Takeuchi?” Ia memanggil lirih. Keduanya
berpandangan beberapa saat sebelum akhirnya Yuri menyilakan Take masuk.
***
“Jadi
selama ini ternyata kalian tinggal bersama?” Tanya Take. Yuri tak menjawab. Ia
meletakkan secangkir teh ke atas meja, tepat di depan Take. “Silahkan.”
Ucapnya.
“Sudah berapa lama kalian tinggal
bersama?” Take kembali bertanya. Yuri berdiri mematung tanpa menjawab.
“Apa kalian menikah? Atau kalian hanya
tidur bersama?” Take bertanya tak sabar tanpa membuang pandangannya dari
perempuan tersebut.
“Apa kau ke sini hanya untuk
menginterogasiku?” tanya Yuri getir.
“Ya.” Take menjawab cepat.
“Aku tak mengerti, kenapa harus kau?!
Yano meninggalkan segalanya, kekasihnya, teman-temannya, kenangan-kenangannya,
demi ... kau?! Kenapa harus kau?!” Take menyambar cangkir di meja dan ...
prankkk! Cangkir itu meluncur ke lantai dan hancur berkeping-keping. Yuri
tersentak kaget. Take menyisir rambutnya dengan frustasi. Hening sesaat.
“Maaf, aku hanya terlalu emosi.”
Ucapnya. Tanpa berkata-kata Yuri beranjak, merapikan cangkir yang hancur
berantakan di lantai, lalu membawanya ke dapur. Dan beberapa saat kemudian ia
kembali dengan membawa cangkir baru – masih berisi teh.
“Silahkan.” Ia kembali menyilakan. Take
terdiam kemudian menarik nafas panjang. Ia menatap perempuan di hadapannya
dengan tatapan tak mengerti.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Ia
kembali bertanya. Yuri balas menatap lelaki tersebut.
“Kami memang tinggal bertanya. Tapi dia
hanya menganggapku kerabat.” Jawabnya. “Dia tidak memilihku, Take. Dia hanya
berusaha menyelamatkanku.” Lanjutnya.
“Beberapa tahun yang lalu, aku nyaris
mengakhiri hidupku sendiri. Aku hanya merasa frustasi, putus asa. Aku datang ke
Tokyo tanpa bekal apa-apa. Aku terlalu nekat. Segalanya berjalan tak sesuai
rencana. Rumit. Aku kesulitan keuangan, dan tiba-tiba saja ibuku koma karena
terkena stroke. Belum lagi, aku menerima kebencian mendalam dari Yano. Aku
putus asa. Aku berniat bunuh diri.” Kedua mata Yuri berkaca-kaca.
“Tapi kemudian Yano menyelamatkanku. Dia
mengijinkanku menumpang di apartemennya. Ia juga banting tulang membantu
pengobatan ibuku. Ia bahkan bersedia diadopsi keluarga ayahnya demi bisa
membayar semua biaya rumah sakit karena kau tahu sendiri ‘kan, biaya rumah
sakit sangat mahal. Belum lagi Yano masih harus melanjutkan sekolahnya.
Sementara gajiku bekerja di toko roti, tidak seberapa.” Lanjutnya.
“Lalu ibumu?”
“Dia masih koma. Ia sudah koma selama 5
tahun. Aku sempat menyerah dan meminta dokter mencabut semua alat bantu di
tubuhnya agar ia bisa pergi dengan tenang. Tapi Yano melarang. Dia bilang, bisa
hidup adalah anugerah. Maka kita tak boleh melarangnya.” Jawabnya.
Take terdiam.
“Yano mengalami trauma dengan apa yang
menimpa ibunya dan kakakku. Mereka meninggal meskipun Yano sudah berusaha
melindungi mereka. Itulah sebabnya ia memilih untuk tidak mengabaikan aku dan
ibuku, karena ia tak ingin mengalami penyesalan yang sama seperti yang ia alami
ketika ia kehilangan ibunya dan juga kakakku.” Air mata Yuri menitik, tapi ia
segera menghapusnya.
“Sekarang dimana Yano berada?”
“Ia bekerja di salah satu perusahaan
ayahnya sebagai asisten grafis. Jangan membayangkan ia menjadi pangeran muda
dengan gelimpangan harta peninggalan ayahnya. Ia masih pemuda yang sama.
Sederhana dan bersahaja. Ia memang menyandang nama keluarga ayahnya, tapi
secara finansial, ia hidup dengan gajinya sendiri.” Perempuan itu kembali
menjelaskan. Take bangkit. “Aku akan menemuinya.” Ujarnya.
***
Yano
menatap Take yang berdiri termangu tepat di depan gedung tempat ia bekerja. Ia
mengerutkan keningnya, lalu merapatkan jaketnya untuk selanjutnya melangkah
menghampiri sahabatnya yang saat ini tengah menatap nanar ke arahnya.
“Kaget karena aku berhasil menemukanmu?”
Sapa Take sinis. Yano tersenyum.
“Bagaimana kabarmu, Take? Kau terlihat
makin dewasa dengan stelan jas itu. Kau menjadi pekerja kantoran sekarang?” Ia
balas menyapa dengan pertanyaan.
“Dan kau masih saja seperti dulu. Arogan
dan menyebalkan. Tapi syukurlah kau baik-baik saja.” Jawab Take.
“Kau juga terlihat sehat. Dan aku senang
melihatnya. Ingin berkunjung ke rumahku?”
Take tersenyum sinis.
“Aku sudah dari sana.” Jawabnya pendek.
Yano tampak tertegun. Mereka berpandangan.
“Yano, kenapa harus Yuri?” Tanya Take dengan suara parau. “Kenapa kau lebih memilih dia daripada Nanami? Kenapa kau lebih memilih menolong Yuri dan ibunya lalu mengabaikan Nanami?” Laki-laki itu nyaris berteriak.
“Yano, kenapa harus Yuri?” Tanya Take dengan suara parau. “Kenapa kau lebih memilih dia daripada Nanami? Kenapa kau lebih memilih menolong Yuri dan ibunya lalu mengabaikan Nanami?” Laki-laki itu nyaris berteriak.
Yano
menelan ludah. Ia terdiam sesaat.
“Take, jika ada orang yang tenggelam di
hadapanmu, siapa yang akan kau tolong?” suaranya terdengar bergetar.
“Apa maksudmu?” Take bertanya bingung.
Yano memasukkan tangannya ke saku jaketnya lalu menarik nafas panjang. Pemuda
itu duduk di salah satu kursi di taman gedung tersebut sebelum akhirnya kembali
berkata-kata.
“Jika ada orang yang tenggelam di
hadapanmu, entah itu teman, keluarga, atau kekasih, maka aku akan menyelamatkan
orang yang tidak bisa berenang.” Ucapnya.
Take tak melepaskan tatapannya dari
pemuda tersebut.
“Itulah yang terjadi antara aku, Yuri,
ibunya dan juga ... Nanami. Yuri datang ke Tokyo mengikutiku tanpa bekal
apa-apa. Ia terpuruk. Ia mengalami masa-masa sulit. Terlebih lagi ketika ibunya
jatuh sakit dan mengalami koma. Ia tak punya siapa-siapa tempat ia bersandar
dan meminta pertolongan. Dan itulah yang akhirnya kulakukan padanya. Aku
berusaha menyelamatkannya, agar ia tak tenggelam.” Suara Yano getir.
“Dan .. Nanami?”
Yano kembali menarik nafas panjang.
“Nanami, kekasihku, aku mencintainya.
Dengan sepenuh hatiku. Tapi aku tahu dia perempuan yang kuat, ia tegar. Sebesar
apapun cobaan yang ia hadapi, ia takkan runtuh. Terlebih lagi karena ia
dikelilingi orang-orang yang menyayanginya. Keluarganya, sahabat-sahabatnya,
dan juga kau. Itulah yang mendasari diriku untuk mengambil keputusan itu.”
“Menolong Yuri dan ibunya lalu
mengabaikan Nanami?”
Yano mengangguk pelan. Ia menunduk
dengan lemah.
“Aku memang bersalah, Take. Aku
mengabaikannya, aku menghilang darinya. Tapi aku yakin bahwa Nanami akan
baik-baik saja. Ia akan melewati semua ini. Karena dia adalah perempuan yang
kuat.” Ucapnya lagi.
Take
tertawa sinis. Ia beranjak. Menarik kerah baju Yano, lalu memberikan sebuah
pukulan telak ke wajahnya. Yano jatuh terjengkang. Ia tak berusaha membalas
pukulan Take. Cowok itu hanya terduduk letih seraya menghapus darah yang mulai
keluar dari bibirnya yang robek.
“Kau ingin tahu siapa yang tenggelam,
hah?!! Nanamilah orangnya!” Take berteriak marah.
“Nanami-lah yang tenggelam! Kau tak tahu
kesedihan yang ia alami sejak kau menghilang! Kau tak tahu seberapa banyak air
mata yang telah ia keluarkan karena dirimu!” Kedua mata Take berkaca-kaca. Ia
terduduk lemas di samping Yano.
“Setiap malam, setiap malam, Yano. Ia menangisimu, ia mendoakanmu.” Suaranya
parau.
“Awal kau menghilang, dia mengalami
depresi. Dokter bilang, dia mengalami gangguan kepanikan. Terkadang ia
kesulitan bernafas ketika batinnya tertekan. Ia tak bisa naik kereta, ia tak
bisa naik pesawat. Atau ia akan muntah, bahkan ketika di perutnya tak ada lagi
yang bisa dimuntahkan. Dia hampir menyerah, Yano. Dia hampir menyerah.” Kristal
bening-bening mengumpul di sudut mata Take.
Yano menatapnya dengan mata terbelalak.
Take mengangguk.
“Karena kau. Kaulah penyebab sehingga ia
harus keluar masuk rumah sakit untuk menjalani pengobatannya.” Lanjutnya.
“Sekarang Nanami memang sudah membaik.
Gangguan itu sudah jauh berkurang dari beberapa tahun yang lalu. Seperti yang
kau bilang, Nanami gadis yang kuat, ia tegar. Ia bisa bangkit melewati masa-masa
sulitnya. Tapi kenyataan itu akan terus menghantuinya. Kau, telah membiarkan ia tenggelam.” Tatapan Take lurus ke arah
Yano hingga membuat lelaki itu diam mematung tak berdaya.
***
Nanami
nyaris menjatuhkan map-map yang ada di dekapannya ketika sosok itu seolah
secara ajaib muncul di hadapannya. Ia berdiri di seberang jalan, menatap lurus
ke arahnya, tersenyum lalu melambaikan tangan. Tenggorokan Nanami tercekat. Ingin ia
menjatuhkan map-map di tangannya lalu berlari, menyeberang jalan untuk kemudian
menghambur ke arah sosok itu. Sosok yang menghilang sejak 5 tahun lalu, sosok
yang kini terlihat lebih dewasa dan ... baik-baik saja.
“Yano.” Nanami mendesis lirih.
Yano
terus tersenyum seraya melenggang, menyeberangi jalan, kemudian melangkah
mendekati Nanami yang masih berdiri mematung.
“Yo*.” Yano menyapa
seraya melambaikan tangannya.
“Mau makan bolu kukus bersama-sama?” Ia
kembali berujar dengan nada biasa, seolah mereka seperti dua orang manusia yang
setiap hari bertemu. Nanami menelan ludah. Perlahan ia bergerak, mendekati Yano
dan ... Plakkk! Ia menampar pipi Yano.
Yano meringis sesaat seraya memegangi
pipinya. “Whoa, lama tak ketemu kau makin kuat, Nanami.” Sindir Yano seraya
terkekeh sinis. Nanami menatapnya dengan marah.
“Itu untuk tahun-tahun yang kulewatkan
tanpa dirimu, untuk tahun-tahun setelah kau meninggalkan aku tanpa kabar!” Ia
berteriak.
Yano
tersenyum. Ia manggut-manggut. “Gomenashai*.” Ucapnya, lirih.
“Sekarang, bisa kita makan bolu kukus bersama-sama?”
Air mata Nanami menitik, tapi perlahan
ia mengangguk.
Yano
menggenggam tangan Nanami dan mereka berjalan menyusuri trotoar menuju toko
roti, tempat dijualnya bolu kukus favorit Yano. Mereka sering jajan di sana
ketika masih duduk di bangku SMA. Setelah kenyang dengan bolu kukus, mereka
berjalan-jalan di taman. Mereka duduk-duduk di sana sembari mengobrol hal
biasa.
“Aku tak perlu menanyakan kabarmu karena
kau terlihat baik-baik saja.” Ucap Nanami. Yano tertawa.
“Dan aku juga tak perlu menanyakan
kabarmu karena kau terlihat baik-baik saja dan ... makin cantik.” Jawab Yano.
Nanami tersenyum. “Terima kasih.” Jawabnya.
“Tapi kau benar-benar berbeda. Lihatlah,
Nanami dengan rok pendek, blouse, dan ... sepatu heel. Woa, keren.” Ucap Yano
lagi hingga membuat Nanami tertawa.
“Apa yang membuatmu datang kembali ke
kota ini?” tanya Nanami kemudian. Yano menatapnya. Karena kau, ucapnya dalam hati.
“Ada pekerjaan yang harus ku selesaikan
di sini. Nanti malam aku sudah harus pulang kembali ke Tokyo.” Jawabnya. Nanami
manggut-manggut.
“Pulang.”
Ia mendesis. “Sekarang kau menggunakan kata ‘pulang’ untuk Tokyo. Berarti
rumahmu memang di sana ‘kan?”
Yano hanya tersenyum kecut. Keduanya
terdiam sesaat.
“Aku sudah dengar semuanya dari Take.
Tentang kau, Yuri dan ibunya yang sakit.” Ucap Nanami tanpa menatap ke arah
Yano. Lelaki itu juga melakukan hal yang sama. ia menerawang ke langit yang
mulai gelap.
“Apa ibunya bisa disembuhkan?”
Yano menggeleng.
“Dokter bilang, tak ada harapan. Kami
hanya tinggal menunggu waktu sampai ia bisa pergi dengan tenang.” Jawabnya.
“Aku turut sedih.”
“Terima kasih.”
Hening lagi.
“Setelah
mendengar alasanmu pergi, sekarang aku tak marah lagi padamu, Yano. Kau tak
perlu lagi merasa bersalah padaku. Aku lega kau baik-baik saja dan ... aku
memaafkanmu.” Ucap Nanami lagi.
Yano merasakan dadanya sesak. Tadinya ia
kesini untuk berbicara langsung pada Nanami, meminta maaf padanya, tapi ia
bahkan tak mampu berucap apa-apa. Dan sekarang, justru Nanami-lah yang dengan
lapang hati memaafkannya. Betapa ia adalah lelaki brengsek tak tahu diri. Ia
merutuki diri sendiri.
“Aku harus pulang.” Nanami bangkit.
“Terima kasih hari ini kau sudah mengajakku jalan-jalan.” Ia menatap Yano
dengan lembut.
“Nanami, aku ....”
“Tidak, Yano. Kau tak perlu menjelaskan
apa-apa lagi padaku. Sudah cukup, aku sudah tahu semuanya.”
Yano bangkit. Ia
menyentuh pipi Nanami dengan jemarinya, lalu menyelipkan untaian rambutnya yang
tertiup angin ke belakang telinganya. Pemuda itu menelan ludah. Perlahan ia
merapikan jaket dan juga syal Nanami.
“Jangan sampai
kedinginan.” Ucapnya lirih. Nanami mengangguk. Yano mendekatinya, menempelkan
keningnya pada kening Nanami. Air matanya menitik.
“Pulanglah.
Teruslah melangkah, jangan menoleh lagi ke belakang. Tinggalkan aku, lupakan
aku.” Bisiknya. Nanami mengangguk. Air matanya juga menitik.
“Daijubu*.
Aku baik-baik saja, Yano. Aku akan baik-baik saja, percayalah padaku.”
Balasnya. Lirih. Lalu perempuan itu berbalik, terus melangkah meninggalkan
Yano, tanpa menoleh kembali ke arah lelaki tersebut.
Yano menatap
kepergian perempuan itu dengan berlinang air mata. Hatinya hancur, lagi.
Pemuda itu
menghempaskan tubuhnya kembali ke bangku taman. Rasanya kebas. Tak bertenaga.
Ia baru saja menghimpun seluruh tenaganya kembali ketika phonselnya berdering.
“Halo.” Ucapnya
setelah menekan tombol ‘oke’. Terdengar suara perempuan dari seberang sana,
menangis.
“Yuri?”
“Ibuku ... meninggal.”
***
Kereta
yang ditumpangi Yano baru saja berjalan meninggalkan stasiun sekitar beberapa
menit yang lalu. Namun pemuda itu duduk dengan gusar. Ia menimang-nimang
phonsel di tangannya dengan tangan gemetar. Tidak, ia tidak gusar karena ingin
menelpon Yuri. Sebaliknya, ia gusar karena ingin menelpon Nanami.
Ia ingin menelpon perempuan tersebut dan
memberitahunya bahwa ia sedang dalam perjalanan kembali ke Tokyo sekaligus ia
ingin memberi tahu bahwa ibu Yuri telah meninggal. Tapi, ia bingung. Setidaknya
ia ingin menelpon untuk berpamitan. Tapi, ia ragu. Apa Nanami akan menjawab
telponnya? Apa yang akan dikatakan perempuan itu jika ia tahu ia sedang dalam
perjalanan ke Tokyo?
“Kau
baik-baik saja?” Seorang penumpang yang duduk di samping Yano bertanya dengan
cemas. Yano tersenyum kaku. “Saya baik-baik saja. Hanya ... gugup.” Jawabnya.
Perempuan itu manggut-manggut.
Yano kembali menatap ke arah phonselnya.
Dan akhirnya ia memutuskan, ia akan menelpon Nanami untuk berpamitan.
Yano
sudah melakukan panggilan sebanyak 3 kali, dan tetap tak ada jawaban. Barulah
di panggilan yang ke-empat, ia mendengar suaranya dari seberang sana.
“Halo,”
“Halo,
Nanami. Ini ... Yano.”
Hening sesaat.
“Yano, ada apa?”
“Aku
sedang dalam perjalanan kembali ke Tokyo dengan kereta. Maaf, aku tidak bisa
berpamitan secara langsung padamu. Ibu Yuri meninggal. Jadi aku terlalu
buru-buru.”
“Ibu Yuri meninggal? Aku ikut berbela sungkawa.”
“Terima
kasih.”
Hening lagi.
“Kau
sedang sibuk?”
“Tidak. Aku sedang dalam perjalanan
pulang. Aku sedang bersiap-siap memanggil taksi.”
Keduanya kembali sama-sama terdiam.
“Nanami,
aku tahu hubungan kita tidak akan pernah seperti dulu. Tapi ....”
“Yano, aku .....”
Tiba-tiba
Yano mendengar suara ban berdecit yang kemudian di susul dengan bunyi berdebum
yang amat keras. Seperti sesuatu yang bertabrakan.
Tut
.... tut .... tut ....
Pembicaraan
antara dia dan Nanami terputus. Yano merasakan dadanya berdebar. Tiba-tiba saja
ia merasakan ketakutan luar biasa menghinggapinya. Ia berusaha melakukan
penggilan kembali, berulang-ulang. Tapi nihil. Phonsel Nanami tak aktif.
Ada
apa denganmu, Nanami?
Teriaknya dalam hati. Setelah gagal menelpon phonsel Nanami, Yano memutuskan
untuk menelpon Take.
“Halo.”
“Halo.
Take, aku Yano. Bisa kau hubungi Nanami. Beberapa menit yang lalu aku bicara
dengannya di telepon. Tapi kemudian pembicaraan kami terputus. Tolong cari tahu
apa sesuatu menimpa dirinya. Aku cemas.”
“Dimana kau sekarang?”
“Aku
sedang dalam perjalanan kembali Tokyo.”
“Oke. Aku akan menemuinya.”
“Take?”
“Ya.”
“Beritahu aku
kalau dia baik-baik saja.”
“Oke.”
Dan pembicaraan
di antara mereka terputus.
Yano kembali
menimang-nimang phonselnya dengan gusar. Pembicaraannya dengan Take berlangsung
sekitar 1 jam yang lalu. Dan sampai detik ini ia belum menerima kabar tentang
keadaan Nanami.
“Apa kau sakit?”
Perempuan di samping Yano kembali bertanya. Yano menggigit bibirnya bingung.
“Saya hanya
gugup. Saya baik-baik saja.” Jawabnya. Karena tak sabar, akhirnya memutuskan
untuk kembali menelpon Take. Dan ia bersyukur karena sahabatnya itu
menjawabnya.
“Take, apa yang
sebenarnya ....”
“Nanami mengalami kecelakaan.”
Jawaban itu
membuat jantung Yano berhenti berdetak selama sekian detik.
“Apa maksudmu?”
“Ia tertabrak mobil. Sekarang aku sedang di
rumah sakit. Dokter baru saja melakukan CT scan. kepalanya terluka dan dia belum
sadarkan diri, Yano. Dia belum sadarkan diri.” Suara Take terdengar
meratap. Yano menelan ludah. Dadanya sakit. CT
scan? Belum sadarkan diri?
“Apa dia terluka
di tempat lain selain di kepalanya?” Suara Yano nyaris tak terdengar.
“Entahlah, Yano. Aku tak tahu. Aku ....”
tiba-tiba saja ia mendengar Take terisak. “Aku
melihat darah di tasnya ... di bajunya. Darah .. dimana-mana. Ia mengeluarkan
banyak darah, Yano. Aku takut ia ... ia .... ” Suara Take terbata-bata.
Phonsel di
genggaman tangan Yano meluncur ke lantai. Kedua lengannya terkulai lemas. Air mata
Yano menitik.
Tidak.
Ini pasti salah.
Seseorang, bantu aku.
Tolong beritahu aku bahwa aku sedang bermimpi.
***
Bersambung...
Yo
: Halo ( sapaan ini tergolong informal
dan biasanya diucapkan antar teman atau antar orang yang sudah saling mengenal
dengan baik, dimana umur mereka sebaya)
Daijubu
: aku baik-baik saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar