Kamis, 29 Januari 2015

Bokura Ga Ita - Part 6



          Take berlari-lari kecil menghampiri Nanami yang telah menunggunya di depan pintu gerbang. Sebenarnya kemarin ia telah mengutarakan niatnya untuk mengajak Nanami berjalan-jalan di pinggir sungai. Take mengatakan bahwa ada dua anak anjing liar yang terlantar di sana dan saat ini belum ada yang mau mengadopsinya. Take berniat melakukannya, tapi sayangnya orang tuanya tak mengijinkannya memelihara binatang karena mereka punya usaha toko makanan.
Take tahu Nanami  suka binatang. Ketika ia menceritakan tentang dua anak anjing itu, Nanami antusias untuk mengadopsinya.
“Ah, ku pikir kau lupa.” Ujar Nanami. Take meringis menyesal.
“Maaf, ada sesuatu yang harus ku kerjakan lebih dulu. Tapi, hari ini jadi ‘kan?”
Nanami mengangguk. Ia menunjukkan tas yang ditentengnya. “Lihat, aku membawa banyak makanan untuk anjingnya. Mereka harus di rayu-rayu dulu agar mau diajak pulang.” Ujarnya.
“Whoa, kau pengalaman juga ya?”
Nanami kembali mengangguk dengan antusias.
“Aku sudah berhasil membawa 2 ekor kucing dan seekor anjing liar.” Jawabnya lagi.
Mereka berjalan beriringan menuju halte bis.  
“Take, terima kasih ya.” Ucap Nanami ketika mereka duduk bersebelahan di kursi tunggu halte karena bis yang akan mereka tumpangi belum datang.
“Untuk apa?” Take menatapnya bingung.
“Aku tahu akhir-akhir ini kau berusaha menghiburku atas apa yang terjadi antara aku dan Yano.” Jawabnya. Take manggut-manggut.
“Aku hanya tak suka melihatmu murung. Kau lebih cantik kalau sering tersenyum dan ceria seperti biasanya.” Ujarnya.
Nanami memeluk tas di pangkuannya. Ia menatap ke arah jalanan yang tidak terlalu ramai.
“Kau pernah berkata bahwa mencintai Yano ibarat ikut lomba lari. Tak peduli seberapa sering aku harus jatuh bangun, jungkir balik, aku harus berlari sampai selesai. Tapi, ternyata itu tak mudah, Take. Aku mencintai Yano dengan segenap hatiku. Tapi jika ia masih saja terpuruk dengan kenangan Nana, maka  aku takkan bisa membahagiakannya. Karena orang yang ia harapkan ternyata bukanlah aku, melainkan Nana.” Ucap Nanami.
Take menarik nafas panjang. Ia menatap cewek di sampingnya dengan lembut.
“Semua orang butuh waktu, Nanami. Sama seperti dirimu yang seolah-olah butuh waktu untuk menerima Yano apa adanya, Yano juga butuh waktu untuk melupakan Nana selamanya.” Ujarnya.
Nanami terdiam.
“Take, dalam hal ini, apa aku yang bersalah?” Kali ini Ia menatap Take. “Apa aku bersalah karena tak bisa memahami Yano sepenuhnya? Apa aku bersalah karena tak bisa menerima Yano hanya karena ia masih mencintai Nana?”
Take menggeleng pelan.
“Aku tak tahu, Nanami. Hanya kau yang bisa menjawab pertanyaan itu. Tapi satu hal yang pasti, kau tak akan pernah bisa menandingi Nana. Kau tahu kenapa? Karena kau masih hidup, dan dia sudah tidak ada. Orang hidup, takkan pernah bisa bersaing dengan orang mati.” Ujarnya lirih.
Nanami termangu.
“Oh, itu bis nya datang.” Take bangkit. “Yuk.” Ajaknya ketika ia menyadari Nanami masih duduk mematung.
Nanami tergagap dan mendongak. “Ya.” Ia bangkit. Bis baru saja berhenti di depan halte ketika mereka melihat Yano berlari ke arah mereka dengan nafas terengah-engah.
“Nanami!” Panggilnya.
Nanami dan Take menatapnya dengan bingung. Yano berhenti tak jauh dari mereka, meletakkan kedua tangannya di lutut lalu menata nafasnya yang naik turun.
“Aku tak mau putus denganmu.” Ucapnya dengan nafas tersengal. Tatapannya lurus ke arah Nanami.
“Jika kau menganggap aku kurang baik untukmu, maka aku akan berusaha lebih baik. Jika kau memintaku melakukan apapun untukmu, maka akan kulakukan.” Yano menelan ludah.  Ia menegakkan tubuhnya.
“Jika kau memintaku melupakan Nana selamanya, maka akan kulakukan. Apapun itu, akan kulakukan untukmu!” Teriaknya.
Nanami terhenyak.
“Aku mungkin masih teringat akan Nana. Tapi apa yang kurasakan padamu adalah nyata. Cintaku nyata, perhatianku nyata, rasa sayangku nyata. Kembalilah padaku, Nanami!” Ia kembali berteriak.
Nanami mematung. Take beranjak memasuki bis.
“Nanami. Bis-nya akan segera berjalan.” Panggilnya seraya mengulurkan tanganya ke arah cewek yang tampak bingung tersebut.
Nanami menatap ke arah Take, lalu kembali ke arah Yano. Tapi akhirnya ia menerima uluran tangan Take dan melangkahkan kakinya memasuki bis. Pintu tertutup dan kendaraan itu mulai berjalan. Yano berlari mendekati pintu.
“Aku akan menunggumu, Nanami! Aku akan menunggumu kembali padaku!”
Teriaknya. Bis berjalan semakin cepat, dan langkah Yano terhenti.

***

          Nanami memeluk tas di dekapannya dengan lebih erat. Pikirannya terasa kalut. Bis yang ia tumpangi terus berjalan, tapi ia tahu hatinya tertinggal di sana,  di halte, tempat Yano berada.
“Kau ingin turun di pemberhentian berikutnya?” Pertanyaan Take seakan membuat Nanami terjaga dari tidur. “Eh?” Ia bingung. Cowok yang duduk di sampingnya tersenyum.
“Pemberhentian selanjutnya tidak terlalu jauh dengan sekolah. Kau bisa kembali ke sana.” Ucapnya lagi. Nanami menunduk. Batinnya bergolak.
“Take, apa menurutmu saat ini Yano sedang menangis?” Tanyanya pelan.
Take tak segera menjawab. “Sepertinya begitu.” Jawabnya kemudian, lebih pelan.
Nanami merasakan dadanya sesak.
          “Jika kita menunda acara hari ini, kau tak keberatan ‘kan?” Ia mendongak, menatap Take. Cowok itu balas menatapnya. Ia tersenyum lalu mengangguk.
“Kembalilah ke sekolah. Tak apa-apa.” Ujarnya. “Dia di halaman belakang, di pojok, dekat ruang seni. Itu tempat persembunyiannya ketika suasana hatinya sedang tak baik.” Lanjutnya. Nanami tak bersuara, tapi Take tahu bahwa cewek itu telah memutuskan untuk kembali ke sekolah, menemui Yano.

***

          Sesuai perkiraan Take, Yano ada di sana. Di halaman belakang, dekat ruang seni. Cowok itu merebahkan tubuhnya di rerumputan dengan posisi terlentang. Salah satu tangannya mengepal di atas rumput, sementara lengan tangan yang satunya ia gunakan untuk menutupi kedua matanya.
“Yano.” Panggil Nanami lirih. Cowok itu tak bersuara. Tapi ia yakin panggilannya di dengar olehnya.
          Nanami melangkahkan kakinya untuk mendekatinya. Hatinya tercabik-cabik. Ia hanya tak bisa mengerti dengan hubungan mereka. Ada apa dengan mereka berdua?
Nanami tak ingin menyakiti hati Yano. Begitu pula sebaliknya, ia tak ingin disakiti olehnya. Kenyataannya, cowok itu telah membuat hatinya terluka sehingga ia memutuskan untuk meninggalkannya.
Tapi sekarang, di sinilah dia. Mengejar Yano, lagi...
          Nanami duduk di samping Yano.
“Kenapa kau kemari?” Yano membuka suara. Suaranya yang parau, seolah menyimpan jutaan luka dan penyesalan. Cowok itu tak merubah posisinya. Ia tetap terlentang, tak bergerak. Ia juga tak berusaha menyingkirkan lengan yang menutupi sebagian dari wajahnya.
“Karena ku pikir kau akan menangis.” Jawab Nanami seraya menatap Yano lagi.
Yano terkekeh sinis.
“Aku tak menangis. Aku tak menangis.” Jawabnya. Tapi Nanami tahu cowok itu berbohong. Karena ia melihat air bening mengalir di pelipisnya.
          Bibir Nanami bergetar. Ia menggigitnya keras hingga terasa sakit. Dan perlahan air matanya pun menitik tanpa bisa ia tahan.
“Kau menyebalkan, Nanami.” Desis Yano.
“Kau menyebalkan dari awal kita bertemu. Mengatakan sesuatu sekehendak hatimu, mengatakan bahwa kau jatuh cinta padaku, lalu membuat perasaanku jungkir balik. Setelah itu kau pergi, meninggalkanku begitu saja, seenak hatimu.” Lanjutnya. Bibirnya bergetar. Air mata makin deras mengaliri pelipisnya.
“Kau pembohong.” Ucapnya lagi.
“Kau pembohong besar. Kau telah berjanji untuk senantiasa bersamaku. Kau telah berjanji untuk tidak meninggalkanku. Kenyatannya apa? Kau pergi. Kau pergi begitu saja.”
          Nanami memeluk lututnya lalu menyembunyikan wajahnya di sana. Dan tangisnya pecah. Ia terisak.
          Keduanya sama-sama menangis, selama beberapa menit.
          Dan setelah lelah menangis, Yano bangkit. Ia menatap Nanami yang masih menyembunyikan wajahnya di dekapan lututnya. Cowok itu beringsut, meraih kepalanya, lalu memeluk cewek itu dengan erat.
“Kembalilah padaku, Nanami.” Ucapnya tulus.
Nanami tak menjawab. Tapi Yano merasakan anggukan kepalanya.


***

          Take menghempaskan tubuhnya di samping Yano yang menghabiskan waktu istirahatnya hanya dengan duduk-duduk di bangku taman.
“Jadi, kalian sudah berbaikan lagi.” Ia bertanya antusias. Yano hanya menjawab dengan senyuman.
“Syukurlah. Kalau begitu aku punya hadiah untukmu.”
Yano menatap sahabatnya itu dengan bingung. Take mengeluarkan phonselnya. Ia menunjukkan sesuatu. Foto Nanami, mengenakan yukata! Yano membelalak.
“Kau bilang kau sudah menghapusnya?” Spontan ia berteriak. Take tertawa.
“Aku berbohong.” Jawabnya enteng hingga membuat Yano kesal.
“Akan ku kirimkan padamu.” Ujarnya lagi. Dan hanya dalam hitungan detik, foto itu sudah terkirim ke phonsel Yano.
“Oke. Aku kemari untuk itu saja.” Take bangkit.
“Apa ini artinya kau menyerah akan Nanami?” Yano bertanya. Sahabatnya itu tertawa. Ia menggeleng.
“Jika kau baik padanya, aku takkan mengejarnya lagi. Tapi jika sampai kau melukai hatinya, aku akan merebutnya darimu.” Jawabnya. Yano mencibir.
“Sialan kau.” Desisnya. Take kembali tertawa seraya melambaikan tangannya dan beranjak meninggalkannya.
          Ketika sampai di lapangan futsal, cowok itu segera di sambut histeris oleh Akira, Shota dan Kenta.
“Kau hebat, Take. Kau berhasil membuat Yano dan Nanami berbaikan kembali.” Seru Akira antusias. Take menatapnya bingung.
“Maksudnya?” Ia menggaruk-garuk kepalanya tak mengerti.
“Coba kalau kau tak berpura-pura menyukai Nanami, maka Yano tidak akan tergerak untuk membuat Nanami kembali padanya.” Jelas Akira lagi.
“Ide yang cerdas. Sengaja membuat Yano cemburu dan akhirnya ....”
“Aku tidak pura-pura.” Potong Take.  Ketiga sahabatnya bengong.
“Aku tidak berpura-pura. Aku memang jatuh cinta dengan Nanami.” Lanjutnya.
Mereka terbelalak.
“Haa??” Ketiga cowok yang merupakan sahabat baik Take dan Yano itu berteriak hampir bersamaan. Tapi dalam hitungan detik kemudian, teriakan histeris mereka segera berubah melow.
“Ooh, kasihan sekali kau, Take. Kau baik-baik saja ‘kan? Tidak patah hati ‘kan? Apa hatimu masih terluka sekarang?” Mereka bergantian memeluk Take dan menepuk-nepuk pundaknya.
Take hanya nyengir menghadapi ulah rekan-rekannya.

***

          Nanami sedang merapikan alat-alat tulis di meja belajarnya ketika phonselnya berbunyi dan ia menerima pesan singkat dari Yano.

Besok minggu, ayo kita jalan-jalan. Hanya kita berdua saja, seharian penuh. Kita ketemu di Sankaku Park, jam 7. Oke?

Nanami tersenyum membaca pesan tersebut. Hatinya gembira bukan main. Cewek itu menghempaskan tubuhnya di ranjang sambil membaca pesan tersebut berulang-ulang. Seharian penuh, hanya mereka berdua.

***

          Salju mulai turun. Nanami duduk di sebuah bangku di bawah pohon di Sankaku Park sambil sesekali merapatkan jaketnya. Sebenarnya tadi ia berniat memakai celana panjang mengingat cuaca sedang dingin. Tapi karena hari ini adalah hari spesial bersama Yano, ia memutuskan mengenakan sebuah dress selutut yang feminin dipadu sepatu ankle boots dengan kaos kaki pendek. Hari ini ia sengaja berdandan lebih spesial mengingat ini hari kencan spesial semenjak mereka mulai berbaikan kembali. Ia sudah menyusun rencana mengenai aktivitas yang akan mereka lakukan hari ini. Jalan-jalan di taman hiburan, menonton film, makan kudapan kecil di area food court, mereka akan melakukan aktivitas spesial hari ini. Pasti.
          Cewek itu melirik arloji di pergelangan tangannya. Mereka janjian ketemu jam 7, tapi sekarang sudah hampir jam 8. Ia menatap sekelilingnya, tak ada tanda-tanda kemunculan Yano.
Nanami nyaris menggigil. Tapi ia tak berniat beranjak. Berkali-kali ia mengecek phonselnya, barangkali saja ada pesan dari Yano. Tapi tak ada. Dan barulah sekitar 15 menit kemudian, phonselnya berdering.
“Yano...” Panggilnya segera setelah ia menekan tombol ‘oke’.
“Nanami, maafkan aku. Sepertinya kita harus menunda acara hari ini.” Jawab Yano.
“Dimana kau? Apa yang terjadi?” tanya Nanami.
“Tiba-tiba saja ada urusan mendadak yang harus ku kerjakan. Bisakah kau pulang? Nanti aku akan ke rumahmu.”
“Jam berapa?”
Yano tak segera menjawab.
“Mmm... aku tak tahu. Karena sepertinya, ini akan sedikit lama.”
Nanami terdiam sesaat.
“Katakan padaku apa yang terjadi.” Ucapnya kemudian, tegas.
Hening.
“Ibunya Yuri pingsan. Sekarang aku bersamanya di rumah sakit.” Jawabnya kemudian.
Nanami seraya membeku seketika. Sesuatu seakan menohok jantungnya hingga membuat dadanya sesak. Yuri! Yuri, lagi! 
“Bagaimana keadaan ibunya?”
“Sepertinya terkena stroke. Dia belum keluar dari ruang ICU.”
Nanami terdiam.
“Kenapa harus kau yang bersamanya?” Desisnya kemudian, menahan amarah.
Yano tak segera menjawab.
“Kenapa harus kau yang bersamanya?!” Teriaknya.
“Selain ibunya, Yuri tak punya siapa-siapa lagi tempat ia bergantung.  Jadi ... aku tak bisa mengabaikannya.”
Rahang Nanami mengeras. Giginya bergemurutuk.
Tak bisa mengabaikannya?
“YANO, AKU TAK PEDULI! ABAIKAN SAJA DIA DAN CEPAT DATANG KEMARI! AKU TAKKAN PULANG!!”
“Nanami ...”
Pembicaraan terputus. Nanami memasukkan phonselnya ke tas dengan kesal. Kedua matanya berkaca-kaca. Ia takkan pulang. Bahkan jika dia harus membeku di taman ini, ia takkan pulang sampai Yano datang! Itu tekadnya.

***

          Take sedang membantu di toko makanan milik orang tuanya ketika phonselnya berdering. Cowok jangkung itu melemparkan apronnya lalu meraih phonselnya yang tergeletak di meja kasir.
“Halo, Yano?”
“Halo, Take. Aku bisa minta tolong?
“Ada apa?”
Yano terdiam sesaat.
“Nanami sedang menungguku di Sankaku Park. Tapi saat ini, aku tak bisa menemuinya. Jadi, bisakah kau menggantikan aku ke sana.” Suara Yano terdengar pelan.
Take terhenyak.
“Masalah apa lagi yang sedang kau buat?” Ia bertanya langsung.
Yano tak segera menjawab.
“Aku di rumah sakit. Ibunya Yuri pingsan. Jadi aku membantunya membawanya ke sini.” Jawabnya kemudian.
Baka! Kalau begitu kenapa kau tak meninggalkannya sebentar lalu segera menemui Nanami? Kenapa harus kau yang bertanggung jawab atas hidup Yuri dan ibunya?!” Take berteriak emosi.
“Aku tak bisa, Take. Kau tahu Yuri bernasib sama sepertiku. Dia tak punya ayah. Dia tak punya keluarga lain. Yang dia punya hanya ibunya. Jika tidak kepadaku, kepada siapa lagi ia bergantung?
Gigi Take bergemerutuk.
“Sudah ku bilang, apa yang terjadi antara kau dan Yuri adalah masa lalu. Sampai kapan kau akan terus merasa bersalah padanya?!” teriaknya.
Yano tak menjawab.
“Nanami masih di sana. Di taman. Ku mohon, ajaklah dia pulang.” ucapnya kemudian.
Take merasakan rahangnya mengeras.
“Aku sudah memperingatkanmu, Yano. Jika kau membuat Nanami menangis, akan rebut dia darimu, sialan!”
Take menutup telpon dengan marah, lalu beranjak meraih jaketnya kemudian segera berlari menerjang salju, menuju ke tempat Nanami berada.

***

          Yano dan Yuri duduk di ruang tunggu dengan cemas. Beberapa kali Yuri menyeka air matanya yang mengalir dengan deras.
“Bagaimana jika dia meninggal, Yano? Aku tak punya siapa-siapa lagi selain ibuku.” Ucap Yuri di sela isak tangisnya. Yano menatapnya.
“Dia akan baik-baik saja.” Jawabnya. Cowok itu mengetukkan tangannya di kursi tunggu dengan gusar. Ia khawatir dengan ibu Yuri, tapi di satu sisi, ia juga mencemaskan Nanami. Salju turun dengan lebat. Cewek itu pasti kedinginan di taman.
          Beberapa menit kemudian dokter keluar dari ruang ICU dan menemui mereka.
Dia mengatakan bahwa kondisi ibu Yuri mulai stabil tapi belum bisa dipindahkan ke ruang perawatan. Yuri tampak lega. Dan kesempatan itu dimanfaakan Yano untuk pamit.
“Kau baik-baik saja ‘kan kalau aku keluar sebentar? Ada suatu urusan yang harus segera ku selesaikan.” Ucapnya. Yuri menatapnya. Tapi perlahan ia mengangguk.
“Terima kasih untuk hari ini.”
“Tak masalah.” Yano bangkit lalu beranjak menuju pintu keluar. Yuri mengikuti di belakangya.
“Kau takkan ingin makan dulu di kantin?”  Ia menawarkan. Yano menggeleng cepat.
“Tidak, terima kasih. Aku harus segera pergi dulu. Jaa.  Yano segera berlari menerjang hujan salju tanpa menunggu Yuri berkata-kata lagi.

***

          Nafas Take terengah-engah. Perlu waktu 10 menit untuk mengitari taman dan mencari keberadaan Nanami. Hingga akhirnya ia menemukan cewek itu, duduk mematung di kursi, kedinginan, dan menangis.
Take mendekatinya dengan pilu.

Yano mencintaimu...
Kau juga mencintainya...
Kalian pasangan yang sempurna.
Aku hanyalah seseorang yang cintanya bertepuk sebelah tangan.
Dan aku sudah sering merelakan kalian berdua untuk bersama.
Tapi sekarang, aku melihatmu menangis. Lagi.
Kau menangis lagi karena dia...
Sekarang aku tak peduli lagi. Persetan dengan persahabatan.
Aku takkan menyerahkanmu padanya!
Aku takkan membiarkanmu menangis lagi karena dia!

          Take menyentuh kepala Nanami dengan lembut. Cewek itu mendongak. Matanya basah. Bibirnya mulai membiru.
“Ayo kita pulang.” Ucap Take lirih. Tangis Nanami pecah.
“Dia tidak datang, Take. Dia tidak datang menemuiku.” Gumamnya. Bibirnya tampak bergetar.
Take mengangguk. Ia merangkul pundak Nanami, memeluk cewek itu dengan erat, lalu membelai kepalanya dengan lembut.
“Ayo kita pulang.” Ucapnya lagi, lebih lirih. Lebih kepada sebuah bisikan di telinga Nanami.

***

          Dan Yano terlambat.
          Ia terlalu terlambat ketika sampai di taman. Nanami sudah tak ada di sana. berkali-kali ia mencoba menelponnya, tapi phonsel cewek itu tak aktif. Dengan nafas yang masih tersengal, cowok itu beranjak menghentikan taksi, lalu menyuruh pak sopir memutar arah, menuju rumah Nanami.
Ketika sampai di sana, ia masih sempat melihat Nanami dan Take.
“Nanami!” Panggil Yano seraya mendekati cewek tersebut. Nanami mundur beberapa langkah dan memilih bersembunyi di belakang tubuh Take. Ia hanya tak ingin Yano melihat dirinya menangis.
“Aku tadi ke taman, mencarimu.” Ucapnya. Nanami tak bersuara, Take juga hanya membisu.
“Nanami, maafkan aku. Aku tak bermaksud mengingkari janji. Tapi, seseorang membutuhkan bantuanku. Jadi ...”
“Pulanglah, Yano.” Nanami membuka suara. Tanpa melihat ke arah cowok tersebut.
“Nanami, ku mohon.” Yano memelas.
“Pulanglah.” Lagi-lagi Nanami berkata lirih.
Take balas menatapnya.
“Pulanglah dulu, Yano. Biarkan Nanami sendirian dulu.” Selanya.
“Aku akan pulang tapi setelah berbicara dengan Nanami.” Yano ngotot.
Nanami terisak di balik punggung Take. Perlahan cewek itu beringsut dan menghadap Yano.
“Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Yano. Kau sudah menentukan pilihan ingin bersama siapa. Pulanglah. Aku tak mau bicara denganmu, aku tak mau melihatmu lagi! Kau senantiasa memintaku untuk tidak mengkhianatimu. Tapi justru kaulah yang telah mengkhianatiku!” Teriaknya.
Yano membelalak. Ia bergerak maju, menarik lengan tangan Nanami lalu mencengkeramnya erat.
“Siapa yang berkhianat? Berkhianat adalah ketika kita menghancurkan hati seseorang, menginjak-injaknya, lalu meninggalkannya begitu saja! Kapan aku pernah melakukannya? Kapan aku pernah meninggalkanmu begitu saja?!” Cengkeraman Yano kian kuat hingga membuat Nanami meringis.
“Yano, kau menyakitinya.” Take menghalau tangan Yano lalu mendorongnya mundur. Nanami juga mundur beberapa langkah. Sementara Take berdiri di antara mereka.
“Aku menolong Yuri sebagai manusia. Bukan karena alasan yang lainnya. Jika terjadi padamu, ada seseorang nyaris mati di hadapanmu, kau juga akan menolongnya ‘kan? Ya ‘kan?” Yano menatap langsung ke arah Take.
“Yano ...”
“Hanya saja yang kau tolong itu adalah Yuri. Dia bukan orang luar. Dia adalah seseorang yang pernah terlibat langsung dengan masa lalumu. Dan itu membuat hatiku sakit!” Nanami berteriak. Air matanya mengalir deras.
Yano menatapnya dengan putus asa.
“Pulanglah. Aku tak mau melihatmu lagi.” cewek itu kembali berucap, datar.
Yano merasakan kedua bahunya lemas. Tatapan matanya seketika gelap, tanpa ekspresi, seolah jiwanya telah menghilang entah kemana.
“Terserah kau saja, Nanami. Terserah kau saja.” Suara cowok itu parau. Ia berbalik, melangkahkan kakinya dengan gontai, meninggalkan Take dan Nanami.

***

Bersambung ....
         
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar