Kamis, 24 September 2015

Fate - Bab 6 (End)



Bab 6


            Aletha bertemu pertama kali dengan sosok itu di perkebunan ayahnya, di suatu sore yang indah. Pertama kali bertemu dengannya, ia tahu sosok itu hanyalah seorang budak. Tapi Aletha tak bisa menyembunyikan ketertarikan akan dirinya.

Luc, pemuda miskin yang hanya bekerja sebagai budak di perkebunan ayahnya. Tapi ia tangguh dan pekerja keras. Pertama kali melihat dirinya, dunia Aletha seperti berhenti berputar. Ia bahkan berhenti bernafas selama sekian saat. Ia begitu ... terpesona.
Dan ia tahu bahwa Luc juga mengalami hal sama. Itu terlihat ketika tatapan mata mereka beradu. Sorot mata Luc tak bisa berbohong bahwa lelaki itu juga terpikat padanya.

Aletha sering datang ke perkebunan hanya untuk bertemu dengannya. Mereka saling curi pandang, saling melempar senyum. Hingga akhirnya, di suatu sore, hari ke – 10, Luc menyapanya.
“Selamat sore, Nona. Saya ... Luc. Saya baru bekerja di sini selama hampir dua minggu.” Ia menyapa dengan sopan. Aletha tersenyum.
“Ya, aku sudah tahu namamu.” Jawab Aletha. Dan ia tak berbohong. Ia memang sudah bertanya tentang nama pemuda itu pada dua orang pengasuhnya.
“Anda ... sangat cantik.” Luc memuji hingga pipi Aletha merona.
“Terima kasih.” Jawabnya sopan.

Dan segalanya bermula. Mereka tak bisa menampik bahwa mereka saling mencintai satu sama lain.  Hingga mereka memutuskan untuk sering bertemu, secara sembunyi-sembunyi. Strata mereka yang terlalu berbeda yang membuat pertemuannya mereka tak bisa dilakukan secara terbuka.

Luc hanya seorang budak. Sementara Aletha adalah seorang putri bangsawan terkemuka.

Mereka sering bertemu di pinggir danau yang berada cukup jauh dari perkebunan ayahnya. Atau terkadang, mereka bertemu di pondok kecil kosong yang berada di dekat hutan. Pondok kayu yang biasanya di gunakan tempat mampir oleh para pemburu, namun sudah lama tempat itu tak digunakan lagi.

“Aku tak bisa seperti ini terus, Luc. Aku akan bicara pada ayah tentang hubungan kita. Bahwa aku mencintaimu, bahwa kita saling mencintai. Kita tak bisa sembunyi-sembunyi seperti ini seumur hidup kita.” Aletha mengeluh pada Luc, di suatu sore berkabut. Ketika mereka kembali bertemu di pondok tua itu.

Luc menatap perempuan yang teramat ia cintai itu dengan bingung.
“Aku takut ayahmu  tidak akan menyetujui hubungan kita. Aku hanya seorang budak, dan ...”
“Jika ayah menolak merestui kita, kita akan kawin lari.” Potong Aletha mantap.
Luc menyentuh pipi Aletha dengan lembut.
“Kawin lari tidak akan cocok untuk seorang puteri.” Desisnya parau.
“Dan aku peduli.” Aletha melingkarkan tangannya di leher Luc, lalu menghadiahinya sebuah ciuman lembut. Dan ia sudah mantap, nanti malam ia akan bicara jujur pada ayahnya bahwa ia jatuh cinta pada Luc. Dan ia akan menikah  dengannya, tidak dengan lelaki manapun.

Namun, sesuai perkiraan Luc. Ayah Aletha tidak menyetujui hubungan mereka. Lelaki tambun itu bahkan menyuruh beberapa orang untuk menyeret Luc ke penjara dan menghajarnya. Sementara ia juga mengurung Aletha di dalam kamar bak tahanan.

Merasa frustasi, Aletha tak kehilangna akal untuk menyuruh penjaga kepercayaannya membantu membebaskan Luc dari penjara. Lalu menitipkan pesan untukknya agar menunggunya di pondok tua di pinggir hutan. Sementara ia sendiri, setelah bersusah payah, ia berhasil kabur dari kamarnya.

Mereka bertemu keesokan malamnya di tempat yang telah mereka sepakati. Tapi ternyata pelarian itu tetap tak membuahkan hasil. Orang-orang suruhan ayah Aletha terus menerus mengejar mereka.
Mereka berhasil membawa paksa Aletha dan menghajar Luc, melukainya tubuhnya, lalu mendorongnya ke jurang.

Dan Aletha merasa hancur.

Terlebih lagi ketika beberapa hari kemudian, mereka membawa sesosok mayat yang diyakini adalah Luc.

Aletha berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa sosok itu bukan Luc. Tapi walaupun sesosok mayat itu sudah membusuk dan tak bisa dikenali, baju yang ia kenakan... baju itu nyaris mirip dengan baju Luc.

Merasa tak sanggup kehilangan Luc, Aletha mengurung diri di kamarnya selama beberapa hari. Ia menolak makan dan menolak bertemu dengan siapapun.

Dan di suatu malam yang gelap, ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Terjun dari jendela kamarnya yang berada pada ketinggian puluhan meter.
Tubuhnya yang ringkih melayang dan menghantam kerasnya tanah. Dan ia meninggal seketika.

***

Luc membuka mata dan mendapati dirinya berada di sebuah pondok kecil di pinggir hutan. Seorang lelaki tua ada di sana bersamanya.
“Oh, kau sudah sadar? Aku menemukanmu pingsan di pinggir sungai.” Lelaki tua itu menyapa.
Sambil meringis, Luc bangkit dan duduk. Tubuhnya yang luka telah di rawat dengan sempurna. Tapi kakinya ...
“Kakimu patah. Aku hanya bisa memberinya papan. Mungkin kau akan cacat selamanya.” Lelaki itu kembali berkata. Luc kembali meringis.
“Terima kasih karena telah menolongku.” Ucapnya tulus.
“Sama-sama.” ia mengulurkan mangkok berisi bubur ke depan Luc. “Makanlah agar kau segera sehat.”
“Terima kasih.” Pemuda itu kembali berkata.

            “Siapa kau? Apa kau terjatuh ke jurang begitu saja?”
Luc tak segera menjawab. Lelaki tua itu menangkap tatapan was-was di mata Luc.
“Tidak apa-apa. Aku hanya nelayan biasa. Bahkan jika kau seorang buronan, aku tak akan melaporkanmu. Aku akan tetap menolongmu sebagai sesama manusia.” Ucapan lelaki tua itu membuat Luc lega.

            “Aku memang buronan.” Jawab Luc kemudian. ia tak tahu kenapa ia bicara jujur padanya. Tapi instingnya mengatakan, orang tua di hadapannya adalah orang baik. Ia takkan menjerumuskan hidupnya pada ayah Aletha
“Kejahatan apa yang kau lakukan? Mencuri? Merampok?”
Luc tak segera menjawab. Ia mengambil sendok dan mulai memakan bubur di mangkok tua dengan perlahan.
“Aku memacari putri seorang bangsawan.” Jawab Luc kemudian.
Lelaki tua yang tengah sibuk menata peralatan memancing itu mendongak dan menatap Luc dengan heran.
“Woa, sepertinya aku pernah mendengar cerita ini. Kau berasal dari kota?”
Luc mengangguk.
“Apa putri bangsawan itu nona Aletha, putri dari saudagar sekaligus bangsawan Zen?”

Bola mata Luc membulat. “Darimana anda tahu?”
Lelaki itu mengangkat bahu.
“Orang-orang di pasar bergosip tentang kisah kalian. Mereka ramai bercerita tentang kisah cinta antara seorang budak dan anak majikan. Aku turut berduka cita atas kematian kekasihmu.” Jawab lelaki tua tersebut. Luc urung memasukkan sesendok bubur ke mulutnya.

“Kematian ... siapa?” Ia bertanya bingung.
Lelaki tua yang terlihat kurus itu juga terlihat bingung. Nampak ada penyesalan di raut wajahnya.
“Oh, aku lupa kalau kau tak sadarkan diri selama beberapa hari. Dan ... maaf jika aku harus menyampaikan berita duka ini padamu.”
Luc merasakan dadanya berdebar. Ia sudah menduga ada yang tidak beres.

“Aletha sudah meninggal. Kata orang-orang, perempuan itu mengakhiri hidupnya dengan terjun dari jendela kamarnya. Ia ... meninggal seketika.”

Sendok kayu di genggaman Luc terlepas dan meluncur bebas ke lantai. Wajahnya pucat pasi.
“Aletha ... meninggal?” suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.
Lelaki tua itu bangkit mendekati Luc lalu menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut. “Aku turut bersedih.” Ujarnya.
Luc mendongak dan menatap lelaki di sampingnya - yang bahkan belum ia ketahui namanya itu - dengan tatapan pilu. “Itu bohong ‘kan?” bibirnya bergetar. Air matanya menitik tanpa bisa ia bendung.

Lelaki tua itu menggeleng.
“Dia sudah meninggal. Ia bahkan sudah dimakamkan 2 hari yang lalu. Aku tahu itu karena waktu itu aku sedang berada di kota untuk menjual ikan hasil tangkapan. Pemakaman itu dihadiri banyak orang, banyak bangsawan.” Ia mengelus punggung Luc karena pemuda itu nampak syok luar biasa.

Dan selanjutnya yang ia dengar adalah sebuah tangisan pilu dari pemuda yang pastinya akan mengalami cacat fisik seumur hidup tersebut.

***

            Sosok itu berjalan terseok-seok menyusuri jalanan berbatu yang licin. Kakinya yang patah tak menyurutkan niatnya untuk terus melangkah. Walau ia kesakitan, ia terus tertatih.

Sepanjang jalan, sosok lelaki yang dipenuhi luka itu terus saja menangis sesenggukan. Hatinya remuk, menangisi kekasihnya, kekasih yang telah meninggalkan ia di dunia ini. Selamanya.

Aletha.
Luc nyaris tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia tak percaya berita bahwa perempuan itu telah meninggal. Demi untuk membuktikan bahwa berita kematian Aletha adalah salah, ia meminta pada lelaki tua yang telah menolongnya dari kematian untuk mengantarkannya ke kota.

Secara sembunyi-sembunyi ia menemui Bhean, penjaga kepercayaan Aletha. Dan yang di sampaikan perempuan setengah baya itu benar-benar membuat hidupnya hancur.
Aletha sudah meninggal, bunuh diri. Ia bahkan membawa Luc ke makamnya.

Dan sekarang, di sinilah Luc. Tidak, bukan di makam Aletha.

Ini adalah tempat terakhir ia bertemu dengan perempuan tersebut. Tempat terakhir ia memeluknya erat sebelum perempuan itu diseret paksa untuk pulang, dan sebelum para penjaga ayah Aletha menghajarnya lalu mendorongnya ke jurang.

Sekarang, di sinilah ia.
Menangis, sesenggukan.
Patah hati.
Hancur.

Dan ... memutuskan untuk mati.


***

            Aku terbangun dengan nafas tersengal. Sel tahanan yang pengap tak mampu menahan tubuhku dari keringat. Peluh membanjiri wajahku, seluruh badanku.
Aku seperti seseorang yang baru saja tersadar dari amnesia.

Mimpi itu seperti memberikan sebuah gambaran yang jelas tentang masa laluku, tentang aku, tentang Luc, tentang kisah kami.

Air mataku menitik.
Luc.

Entah kenapa tiba-tiba saja aku ingin bertemu dengannya.


Sangat.


***

            “Ada pengunjung untukmu.” sipir itu membuka pintu sel tahanan dan memintaku keluar. Aku bangkit dari tempat tidur dan segera beranjak. Ku kira itu adalah pengacaraku, ternyata bukan.
“Emma?” sapaku ketika melihat sahabatku itu di ruang besuk. Aku menghambur ke arahnya dan kami berpelukan.
“Bagaimana keadaanmu?” Emma membimbingku untuk duduk di kursi kayu yang ada di ruangan tersebut. Aku mengangkat bahu frustasi.
“Aku berada di tahanan selama hampir 2 x 24 jam, mereka menginterogasiku tentang suatu tuduhan kejahatan yang mereka sangkakan padaku dan aku baru bertemu pengacaraku satu kali saja. Jadi jika kau mau tahu keadaanku, well, aku tidak baik-baik saja.” Jawabku sambil mengusap kepalaku.

“Bagaimana keadaan Will?” tanyaku lagi.
“Masih sama. Ia belum sadarkan diri.” jawab Emma. Aku mendesah. Emma beringsut mendekatiku dan menggenggam tanganku tanpa ragu.
“Katakan padaku sebenarnya apa yang terjadi? Kau tidak benar-benar melakukannya ‘kan? Kau tidak ....”

Aku menggeleng. “Aku tidak mencelakai Will secara sengaja dan aku juga tidak berselingkuh dengan Luc. Jadi jika Edward bercerita seperti itu padamu, jangan percaya padanya.” Sanggahku.
Emma tampak ragu menatapku. Aku kembali menggeleng. “Aku tidak akan mungkin merencanakan suatu pembunuhan untuk menghabisi Will, Em. Kau tahu bahwa aku tidak akan pernah melakukan hal seperti itu.” tegasku.
“Lalu ... kau dan Luc?”
“Aku mencintainya.”

Kalimat yang meluncur dari mulutku sukses membuat Emma ternganga. “Jadi maksudmu, kau dan ... dia ...”
“Aku mencintainya, tapi aku tak punya affair dengannya.” Potongku. Aku ingin menceritakan kepada Emma perihal ‘ingatanku’ yang seolah kembali, tapi kemudian aku urung.
Aku sendiri bingung kenapa aku harus memberitahu padanya bahwa aku mencintai Luc. Ini seperti pengakuan bunuh diri!

“Aletha ...” Emma memanggilku lirih. Ia bangkit dan mondar-mandir sesaat lalu menatapku. “Aletha, tolong jangan membohongiku. Bicaralah jujur tentang apa yang terjadi padamu, pada Luc, dan pada Will. Kau mengatakan bahwa kau tak mencelakai Will, tapi kau mengakui bahwa kau mencintai Luc. Ada apa denganmu? Aku mengenalmu sebagai perempuan setia, tapi sekarang ...” perempuan itu tampak kecewa. Dan aku tak bisa menampik bahwa ia kecewa karenaku.

Aku menyandarkan punggungku di kursi.
“Aku bertemu dengan Luc beberapa kali. Kami mengobrol, kami bersahabat. Dan itulah yang terjadi. Aku jatuh cinta  padanya.” Aku berbohong. Hanya cerita seperti ini yang mampu kuceritakan pada Emma. Aku tidak mungkin menceritakan padanya bahwa aku dan Luc adalah reinkarnasi sepasang kekasih  ribuan tahun yang lalu. Oh, it must be ridiculous!

“Will curiga bahwa kami berselingkuh, dan kami mulai ribut. Kami bertengkar, aku berlari ke kamar, ia mengejarku, lalu ia terpeleset di tangga dan ia terjatuh.” Jelasku. Emma menatapku tak percaya.
“Aku bertemu kakak Will dan ia sedang menyiapkan tuntutan ganda padamu. Tidak hanya pasal percobaan pembunuhan, tapi juga perselingkuhan. Ia bilang ia punya bukti bahwa kau terlibat affair dengan Luc Sevilin sehingga kau berniat menghabisi suamimu sendiri.” Ucapnya.

Aku mendesah, lelah. Aku memijit kepalaku yang berdenyut. “Tidak seperti itu, Em. Tidak ...” desisku.
Emma terus menatapku lekat. Dan aku tahu, tatapan matanya menyiratkan ketidak percayaan padaku.

Dia tak mempercayaiku ceritaku.

***

            Malam semakin larut dan aku tak yakin pukul berapa tepatnya. Tapi aku baru saja memejamkan mata ketika tiba-tiba pintu selku terbuka, 5 orang lelaki bertubuh tegap masuk dan langsung menyergapku. Aku tak sempat meronta. Mereka membekap mulutku dengan sapu tangan yang telah di olesi dengan – sesuatu – entahlah,  hingga membuatku lemas tak berkutik. Berada di antara alam bawah sadar, samar-samar aku bisa merasakan mereka membopongku dan membawaku entah kemana.

***

            Aku membuka mata ketika merasakan cahaya matahari menerpa wajahku. Serta merta aku bangkit dan menatap sekelilingku.
Sebuah kamar berukuran suit yang tampak mewah dan elegan. Ini bukan sel tahanan. Jelas bukan. Sempat mengira ini mimpi, namun itu terbantahkan ketika aku beranjak turun dan merasakan bahwa apa yang ada di sekelilingku adalah nyata.
Aku berlari ke dekat jendela dan mendapati pemandangan luar biasa dari sana. Aku ternganga.

Yang ku lihat selanjutnya adalah pepohonan, dan pepohonan lagi. Astaga, aku berada di tengah hutan?
Ini tampak seperti aku sedang berada di vila yang berada di lantai tujuh. Itu dikarenakan aku bisa leluasa memandangi hamparan pepohonan di luar sana.

Di mana ini?
Di mana aku?

            Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba pintu terbuka dan sesosok lelaki tampan muncul dari sana. Lelaki tinggi tegap berpakain rapi. Celana linen yang diseterika rapi dan kemeja putih yang ujungnya tak dimasukkan. Penampilannya terlihat makin maskulin karena lengan bajunya ia gulung hingga ke siku. Dan tentu saja itu menunjukkan otot-otot tangannya yang kekar.

Aku ternganga. Lututku lemas seketika.
“Luc?” desisku.

Lelaki itu sempat menatapku dengan canggung lalu melangkah mendekatiku. “Kau sudah sadar?”
“Untuk apa kau di sini?” Aku balik bertanya.
“Ini vilaku. Aku yang membawamu ke sini.” Jawabnya.
“Kenapa kau membawaku kemari?”
Luc tak segera menjawab.

“Aku tahu tentang apa yang terjadi antara kau dan suamimu. Aku tak bisa membiarkanmu tinggal di penjara, jadi aku mengatur rencana untuk membebaskanmu dan melarikanmu ke sini.” Jawabnya.
“Maaf, aku tak bermaksud lancang dengan ikut campur masalah keluargamu. Tapi aku tak akan membiarkanmu tinggal dipenjara lebih lama lagi. Aku takkan tega, sungguh.” Lanjutnya.

“Aku tersangka pembunuhan, kau harus tahu itu. Jika kau membawaku lari dengan cara seperti ini, itu sama saja menjadikanku buronan. Dan kau juga akan menjadi buronan karena membantuku.” Sanggahku.
“Aku tak peduli.” Jawab Luc cepat. “Aku takkan pernah membiarkanmu tinggal di penjara lebih lama lagi. Itu tekadku, walau kau membenciku, walau mereka akan menjadikanku buronan. Toh aku percaya kau tak berniat mencelakai suamimu. Kau takkan tega melakukannya. Aku mengenalmu dengan baik.” Ia kembali menjawab tegas.

            “Vila ini terletak di pulau pribadiku. Takkan ada orang yang tahu. Setidaknya, dalam waktu beberapa hari sampai akhirnya polisi mengerahkan kemampuannya untuk mencarimu. Tapi percayalah, kau aman di sini. Bersamaku.” Mata coklat itu menatapku dengan dalam, tatapan melindungi dan menenangkan.
            “Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Setelah makan, baru kita akan bicara.” Luc berbalik. Langkahnya baru saja akan mencapai pintu ketika akhirnya aku memanggil namanya lirih. “Luc.”
Lelaki itu berbalik. “Hm.” Jawabnya pendek.
Kami berpandangan.
Aku merasakan bibirku bergetar. “Aku ... sudah ingat semuanya,” jawabku kemudian.

Seketika raut muka Luc menunjukkan keterkejutan. Mata coklat itu tertegun menatapku.
Aku menelan ludah dan bersusah payah untuk kembali berkata-kata. “Aku sudah ingat semuanya, Luc. Aku ... ingat tentang kisah kita.” lanjutku.
Rahang Luc tampak kaku. Tatapan kami terkunci satu sama lain untuk waktu yang cukup lama.
“Kalau begitu ...” jakunnya naik turun. “Kalau begitu, apa yang kau tunggu?” Ia merentangkan kedua tangannya. “Kemarilah, Aletha. Kekasihku.”

            Dan pertahananku seketika runtuh. Air mataku menitik. Dengan isak tangis, aku berlari, menghambur ke arah Luc, lalu melemparkan diriku dalam pelukannya. Dan lelaki itu segera memelukku erat.

***

            Setelah selesai sarapan, Luc menemaniku duduk di balkon vila yang menghadap langsung ke hamparan pohon pinus. Kami duduk berdampingan, sama-sama terdiam. Sesekali Luc mengangkat tangan dan menyelipkan rambutku yang tertiup angin ke belakang telinga. Aku menoleh ke arahnya.
“Jadi, kau mengakhiri hidupmu sendiri?” tanyaku. “Kau mengakhiri hidupmu sendiri dengan loncat ke jurang?”
“Apa itu yang kau lihat dalam mimpimu?” Luc balas bertanya.
Aku mengangguk. Luc menarik nafas berat. Memutar tubuhnya, lalu menerawang ke arah pohon pinus yang cabangnya bergoyang-goyang tertiup angin.

            “Setelah ayahmu membawa paksa dirimu, aku kembali ke sana, ke rumahmu. Tapi orang-orang bilang kau sudah mengakhiri hidupmu sendiri. Aku bahkan datang ke pemakamanmu ...” kedua mata Luc tampak berkaca-kaca. Seolah-olah masih menyimpan luka dan duka yang berkepanjangan. Tapi ia tak sendirian, karena akupun merasakan hal yang sama.
           
            “Aku tak sanggup. Aku tak sanggup kehilanganmu sehingga aku memutuskan ... menyusulmu.” Kalimat Luc parau. Tanganku terulur dan kusentuh wajahnya dengan lembut. Luc menggenggam tanganku dan menahannya di sana. “Kau segalanya bagiku, Aletha.” Bisiknya seraya mengecup punggung tanganku. Kami kembali berpandangan.

            “Tapi aku tak bisa di sini selamanya, Luc. Kau tak bisa membawaku pergi. Aku harus kembali untuk memulihkan nama baikku. Jika memang aku harus mengikuti prosedur persidangan, akan kulakukan. Asal aku bisa membuktikan bahwa aku tak bersalah.” Ucapku.
“Aku dan pengacaraku akan mengumpulkan bukti. Dan hingga itu terjadi, aku tak bisa bersembunyi di sini terus.” Lanjutku.
“Lalu?” Luc bertanya bingung.
“Lalu apa yang akan kau lakukan setelah kau terbukti tak bersalah?”

            Aku kembali menatap Luc dengan seksama. “Setelah Will sembuh, aku akan meminta bercerai darinya. Dan aku akan ... bersamamu.” Jawabku kemudian.
Ya, aku takkan bisa lagi berjauhan dengan Luc setelah apa yang menimpa kami. Setelah aku ingat segalanya tentang dia.
Dan Will? Mungkin ini akan terdengar kejam. Tapi sekarang perasaanku padanya takkan sama lagi. Aku takkan bisa mencintainya seperti dulu. Tidak akan bisa.

Kedua mata Luc berbinar. Ia manggut-manggut.
“Oke, aku juga akan membantumu. Akan ku sewakan kau pengacara terbaik di muka bumi ini agar kau bisa segera bebas.” Kalimatnya tegas.
            “Aku butuh phonsel. Aku harus menelpon pengacaraku dan juga Emma.” Pintaku kemudian. Luc manggut-manggut.
“Oke, tapi tidak sekarang. Kau harus beristirahat terlebih dahulu. Kau kelelahan.” Luc bangkit, menarik tanganku, lalu membimbingku ke kamar, tempat pertama kali yang ku tahu ketika aku sampai di sini.

***

            Aku sempat ragu untuk menelpon Emma. Ia pasti sudah mendengar berita bahwa aku melarikan diri dari penjara. Dan bisa jadi, ia juga menduga bahwa aku kabur dengan Luc. Dan itu seolah mendeklarasikan padanya, pada semua orang, bahwa aku benar-benar terlibat perselingkuhan dengan lelaki itu, kemudian berusaha menghabisi nyawa suamiku sendiri, dan sekarang memutuskan kabur dengan selingkuhanku.
            Tapi entah kenapa, aku seperti tak peduli lagi dengan anggapan seluruh dunia tentang aku, Luc maupun Will.
            Aku hanya merasa bahwa aku harus menelpon Emma. Karena ia sahabat terbaikku.
“Halo,” sapaku ragu.
Ya? Ada yang bisa saya bantu?” itu suara Emma.
“Em ...” aku menelan ludah.
Terdengar teriakan dari seberang sana.
Aletha?! Di mana kau sekarang?! Apa yang terjadi denganmu? Aku sudah dengar berita tentangmu dari televisi maupun koran. Mereka bilang kau melarikan diri dari penjara. Oh, astaga, ada apa denganmu? Apa kau baik-baik saja? Dimana kau sekarang?” Emma bertanya dengan nada yang teramat antusias.
Aku tak segera menjawab.
            “Aku berada di suatu tempat yang aman.” Jawabku kemudian.
Polisi sedang mencarimu!” Emma kembali berteriak. Aku manggut-manggut. Sudah ku duga.
Apa kau melarikan diri dengan Luc? Apa ia yang membantu ... pelarianmu?
“Tidak.” Jawabku tegas. Aku harus berbohong, demi keamanan Luc. “Aku melarikan diri dari penjara setelah membodohi sipir. Begitu saja. Sekarang aku disuatu tempat terpencil dan sendirian. Aku hanya perlu untuk menyendiri terlebih dahulu. Dan setelah itu, akau pasti akan menyerahkan diriku  kembali pada polisi.” Lanjutku.
            Kau berencana menyerahkan dirimu kembali pada polisi?” Nada suara Emma tampak bingung.
“Tentu saja. Aku tidak bersalah, Em. Aku tidak pernah melakukan yang mereka tuduhkan padaku. Jadi aku pasti akan kembali dan membuktikan bahwa aku tidak bersalah.” Tegasku. “Jika Will sudah sadar, dia pasti akan menceritakan yang sebenarnya bahwa aku tidak mendorongnya.”
            Aletha, ada yang harus kau ketahui,”
            “Apa?”
            Will sudah sadarkan diri, sejak kemarin. Kondisinya stabil. Dan ia sudah bisa berkomunikasi dengan baik.”
Aku nyaris memekik. “Oh syukurlah,” teriakku girang. “Kalau begitu aku akan segera ke sana, berbicara dengannya, dan aku bisa segera menyerahkan diriku ke polisi. Dan mereka akan tahu bahwa aku tidak bersalah.” Teriakku.
            Aletha, sepertinya ... tidak akan semudah itu.” ucapan Emma membuatku mematung.
“Apa yang terjadi?” desisku. Sejenak Emma terdiam.
“Apa terjadi sesuatu pada Will? Apa dia hilang ingatan? Apa ia lumpuh?” tanyaku bertubi-tubi. Emma tak segera menjawab. Ia seperti kebingungan mencari jawaban.
“Emma! Katakan apa yang terjadi?” teriakku.

            Will, melaporkanmu atas upaya pembunuhan.” Jawaban Emma membuat lututku lemas.
“Apa maksudmu?”
Dia sudah bicara pada polisi. Ia dan kakaknya sudah resmi melaporkanmu ke polisi karena tuduhan percobaan pembunuhan. Will bilang, kau sengaja mendorong tubuhnya dan berusaha membunuhnya agar kau bebas bersama dengan ... Luc. Dia yakin kau punya affair dengan lelaki itu.”
Aku melongo. Oh, tidak.

            “Kenapa dia harus melakukan ini, Em. Kenapa ia harus berbohong pada polisi? Aku tak berkhianat darinya! Aku tak berusaha mengakhiri hidupnya!” teriakku.
Entahlah, Aletha. Aku juga tak mengerti. Aku tak mengerti siapa di antara kalian yang berbohong. Tapi satu hal yang pasti, kau resmi menjadi buronan.”

            Tubuhku limbung. Aku duduk dengan lemas di pinggir ranjang. Ya Tuhan ...
           
“Em, kapan kau mengunjungi Will ke rumah sakit. Aku ingin bicara dengannya lewat telpon. Tolong bantu aku.” Pintaku.
Aku sedang perjalanan ke tempat kerja. Tapi aku bisa mampir ke rumah sakit dan berbicara dengannya jika kau menginginkan.”
“Kalau begitu, please. Bantu aku bicara dengannya.” Desisku.

***

            Sekitar 15 menit kemudian, phonsel baru yang sejak tadi ku timang-timang dengan gusar berdering. Nomor phonsel Emma.
“Halo,” sapaku terlebih dahulu.
Aletha, Will juga ingin berbicara denganmu.” Ucap suara dari seberang sana.
Jeda sesaat, mungkin Emma sedang menyerahkan phonsel tersebut pada Will. Dan aku menunggu dengan tegang.

            Halo.” Itu suara Will. Suaranya terdengar lemah, tapi bisa ku dengar dengan jelas.
“Sayang? Bagaimana keadaanmu? Apa kau sudah membaik?” tanyaku langsung.
Jangan panggil aku ‘sayang’ dengan mulut kotormu itu, Aletha.” Suara Will terdengar mengeram. Aku terkesiap. Will terdengar begitu berbeda.
Apa sekarang kau bersama lelaki itu? huh? Kau bersama dengan selingkuhanmu itu? dasar menjinjikkan.”
Air mataku menitik demi mendengar semua kalimat yang meluncur dari mulut Will.
“Jadi menurutmu aku benar-benar berselingkuh darimu?” tanyaku getir.
Kau pikir aku bodoh? Aku tahu kau berkhianat dariku, jalang! Kakakku mungkin benar, bahwa kau menikahiku hanya untuk uangku saja.”
Mataku terpejam sesaat dan air mataku kembali menitik.

            “Itu tidak benar, Will. Aku menikahimu karena kau mencintaimu. Aku tidak pernah membohongimu. Tidak pernah.” Desisku, dengan isak tertahan.
Cih, kau pikir aku percaya. Kenyataannya kau sekarang bersamanya, pembelaan apa lagi yang bisa kau berikan? Berlarilah jika kau ingin berlari. Sesuka hatimu. Tapi polisi pasti akan segera menemukanmu dan menyeretmu ke penjara.”
Aku ternganga. Apa dia serius?
            “Kau tetap ingin memasukkanku ke penjara?”
            Aku lebih senang melihatmu membusuk di penjara daripada kau memilih bersama lelaki sialan itu!” Will nyaris berteriak. “Setelah kau tertangkap, aku juga akan berusaha sekuat tenaga menjebloskan selingkuhanmu itu ke penjara. Kau buronan, dan membantu buronan adalah kejahatan. Dan aku akan membuat kalian berdua membayar atas apa yang telah kalian lakukan di belakangku. Akan ku pastikan kalau kalian berdua membusuk di penjara!

            Aku menggigit bibirku hingga terasa sakit. Ku pejamkan mataku sesaat demi untuk menahan isak tangisku. Dan dengan suara parau, kalimat itu meluncur dari mulutku.
            “Goodbye, Will.”

            Dan aku mengakhiri pembicaraan. Saluran telepon ku putus.

            Selesai sudah.
            Kisahku dengan Will, selesai sampai di sini.

            Aku seakan seperti tersadar kembali dari tidur panjang. Takdirku ternyata ada di sini. Bukan di tempat lain.
            Perlahan aku bangkit, dan melangkahkan kakiku keluar dari ruangan. Dan dengan bertelanjang kaki, aku mencari Luc.
            Aku menemukan pria itu berdiri di balkon, membelakangiku. Surai rambutnya yang berwarna kecoklatan tampak makin memesona di bawah sinar matahari. Tangannya yang kokoh mencengkeram pagar. Posisi seperti itu sontak membuat kemeja dibagian belakang dan bahunya tertarik hingga menunjukkan punggungnya yang lebar dan kokoh.

            Tanpa menimbulkan suara, aku melangkah mendekatinya. Dan aku yang berinisitif untuk memeluknya dari belakang lalu menyandarkan kepalaku di punggungnya.
            “Aletha?” tubuh Luc tegak seketika, tampak terkejut. Pria itu berniat memutar tubuhnya, tapi aku menahan dengan memperat pelukanku.
            “Ada sesuatu?” nada suaranya tampak cemas.
Aku menggeleng.
“Kau sudah bicara dengan pengacaramu?”
Aku mengangguk.
“Suamimu?”
Aku kembali mengangguk.
“Lalu?”
Aku tak segera menjawab.
“Aletha?”
“Jika kau ingin pergi bersamaku, kemana kau akan membawaku?” potongku lirih.
Luc tak segera menjawab.

            “Aku akan membawamu, kemana saja. Asalkan tempat itu aman bagimu. Bagi kita berdua. Meski kita harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat lain, asal kau masih bersamaku, dan kau aman di sisiku, akan ku bawa kau ke sana.” jawabnya kemudian.

            “Meski kau akan meninggalkan segala yang kau punya? Keluargamu, kekayaanmu, pekerjaanmu, teman-temanmu?”
            “Meski aku harus meninggalkan segalanya, akan ku lakukan demi kau.” Jawabnya lagi.

            Air mataku kembali menitik.
            “Suamiku membuat tuduhan palsu. Ia menolak melepaskanku. Ia sudah berniat untuk membuatku membusuk di penjara. Aku hanya tak percaya bahwa ia tega melakukannya,” aku nyaris terisak.
Luc melepaskan lengan tanganku yang melingkari tubuhnya. Pria itu berbalik lalu menatapku lekat. Tangannya terulur dan menghapus air mataku dengan lembut.
“Kalau begitu, ayo pergi bersamaku.” Ucapnya. “Aku akan membawamu pergi. Kemana saja, dari satu tempat ke tempat lain, asal kau aman, bersamaku, aku akan membawamu.”

            Aku mendongak dan menatapnya dengan rapuh. “Aku buronan, Luc. Jika kau membantuku, kau juga melakukan kejahatan.” Desisku.         Pria itu menggeleng. “Aku tak gentar.” Jawabnya.

            “Aku akan membawamu keluar dari negara ini. Kita akan pergi ke negara lain, kita akan mengganti identitas kita, kita akan hidup bahagia berdua. Jika kita ketahuan, maka kita akan pergi ke negara satunya, lalu membuat identitas baru lagi. Pun bila kita ketahuan lagi, maka kita akan melarikan diri, lagi.” Ia membelai pipiku dengan lembut.

            “Meski kau akan meninggalkan segala yang kau punya?” suaraku serak. Dan pria itu kembali mengangguk mantap.
“Dulu, kita juga melakukannya ‘kan? Demi cinta kita, kita harus melarikan diri dari satu tempat ke tempat yang lain, dikejar-kejar bak buronan. Dan sekarang, jika harus melakukannya lagi, aku tak keberatan.” Jawabnya.
Aku menatap dengannya takjub.
Sekarang aku tahu, di sinilah takdirku. Bersama pria ini. Pria yang telah ku kenal sejak ribuan tahun yang lalu. Pria yang kucintai, sepenuh hati.

Takdir.
Jika memang kisah cinta kami harus ditakdirkan seperti ini, melarikan diri dari satu tempat ke tempat yang lainnya, asalkan bersama, aku juga tak keberatan melaluinya.

Aku hanya ingin bersama Luc, itu saja.

“Aku mencintaimu, Luc.” bisikku. Mata kami beradu, ia tersenyum.
“Aku tahu. Karena akupun begitu.” Ia menunduk dan mendaratkan sebuah ciuman lembut di bibirku. Ciuman pelepas dahaga yang lembut, tak menuntut, tak terburu.
Ciuman yang menandakan bahwa kami saling mencintai, apapun kondisinya.

“Siap berpetualang?” Ia berbisik lirih di sela-sela ciuman kami. Dan aku mengangguk mantap. Tanpa ragu sedikitpun.

****

Selesai.


p.s.
Akhirnya selesai juga. Terima kasih sudah mengikuti cerita ini dari awal. Maaf karena update nya lama. Akhir-akhir ini sempat mengalami ‘writer’s block’. Semacam kondisi dimana penulis kehilangan ide, kehilangan gairah untuk menulis. Tapi sekarang, I’m back!


Salam.
Wiwin Setyobekti.
19.49
24/09/2015