Bab 6
Aletha bertemu pertama kali dengan
sosok itu di perkebunan ayahnya, di suatu sore yang indah. Pertama kali bertemu
dengannya, ia tahu sosok itu hanyalah seorang budak. Tapi Aletha tak bisa
menyembunyikan ketertarikan akan dirinya.
Luc,
pemuda miskin yang hanya bekerja sebagai budak di perkebunan ayahnya. Tapi ia
tangguh dan pekerja keras. Pertama kali melihat dirinya, dunia Aletha seperti
berhenti berputar. Ia bahkan berhenti bernafas selama sekian saat. Ia begitu
... terpesona.
Dan
ia tahu bahwa Luc juga mengalami hal sama. Itu terlihat ketika tatapan mata
mereka beradu. Sorot mata Luc tak bisa berbohong bahwa lelaki itu juga terpikat
padanya.
Aletha
sering datang ke perkebunan hanya untuk bertemu dengannya. Mereka saling curi
pandang, saling melempar senyum. Hingga akhirnya, di suatu sore, hari ke – 10,
Luc menyapanya.
“Selamat
sore, Nona. Saya ... Luc. Saya baru bekerja di sini selama hampir dua minggu.”
Ia menyapa dengan sopan. Aletha tersenyum.
“Ya,
aku sudah tahu namamu.” Jawab Aletha. Dan ia tak berbohong. Ia memang sudah
bertanya tentang nama pemuda itu pada dua orang pengasuhnya.
“Anda
... sangat cantik.” Luc memuji hingga pipi Aletha merona.
“Terima
kasih.” Jawabnya sopan.
Dan
segalanya bermula. Mereka tak bisa menampik bahwa mereka saling mencintai satu
sama lain. Hingga mereka memutuskan
untuk sering bertemu, secara sembunyi-sembunyi. Strata mereka yang terlalu
berbeda yang membuat pertemuannya mereka tak bisa dilakukan secara terbuka.
Luc
hanya seorang budak. Sementara Aletha adalah seorang putri bangsawan terkemuka.
Mereka
sering bertemu di pinggir danau yang berada cukup jauh dari perkebunan ayahnya.
Atau terkadang, mereka bertemu di pondok kecil kosong yang berada di dekat
hutan. Pondok kayu yang biasanya di gunakan tempat mampir oleh para pemburu,
namun sudah lama tempat itu tak digunakan lagi.
“Aku
tak bisa seperti ini terus, Luc. Aku akan bicara pada ayah tentang hubungan
kita. Bahwa aku mencintaimu, bahwa kita saling mencintai. Kita tak bisa
sembunyi-sembunyi seperti ini seumur hidup kita.” Aletha mengeluh pada Luc, di
suatu sore berkabut. Ketika mereka kembali bertemu di pondok tua itu.
Luc
menatap perempuan yang teramat ia cintai itu dengan bingung.
“Aku
takut ayahmu tidak akan menyetujui
hubungan kita. Aku hanya seorang budak, dan ...”
“Jika
ayah menolak merestui kita, kita akan kawin lari.” Potong Aletha mantap.
Luc
menyentuh pipi Aletha dengan lembut.
“Kawin
lari tidak akan cocok untuk seorang puteri.” Desisnya parau.
“Dan
aku peduli.” Aletha melingkarkan tangannya di leher Luc, lalu menghadiahinya
sebuah ciuman lembut. Dan ia sudah mantap, nanti malam ia akan bicara jujur
pada ayahnya bahwa ia jatuh cinta pada Luc. Dan ia akan menikah dengannya, tidak dengan lelaki manapun.
Namun,
sesuai perkiraan Luc. Ayah Aletha tidak menyetujui hubungan mereka. Lelaki
tambun itu bahkan menyuruh beberapa orang untuk menyeret Luc ke penjara dan
menghajarnya. Sementara ia juga mengurung Aletha di dalam kamar bak tahanan.
Merasa
frustasi, Aletha tak kehilangna akal untuk menyuruh penjaga kepercayaannya
membantu membebaskan Luc dari penjara. Lalu menitipkan pesan untukknya agar
menunggunya di pondok tua di pinggir hutan. Sementara ia sendiri, setelah
bersusah payah, ia berhasil kabur dari kamarnya.
Mereka
bertemu keesokan malamnya di tempat yang telah mereka sepakati. Tapi ternyata
pelarian itu tetap tak membuahkan hasil. Orang-orang suruhan ayah Aletha terus
menerus mengejar mereka.
Mereka
berhasil membawa paksa Aletha dan menghajar Luc, melukainya tubuhnya, lalu mendorongnya
ke jurang.
Dan
Aletha merasa hancur.
Terlebih
lagi ketika beberapa hari kemudian, mereka membawa sesosok mayat yang diyakini
adalah Luc.
Aletha
berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa sosok itu bukan Luc. Tapi walaupun
sesosok mayat itu sudah membusuk dan tak bisa dikenali, baju yang ia kenakan...
baju itu nyaris mirip dengan baju Luc.
Merasa
tak sanggup kehilangan Luc, Aletha mengurung diri di kamarnya selama beberapa
hari. Ia menolak makan dan menolak bertemu dengan siapapun.
Dan di suatu malam yang gelap, ia memutuskan untuk
mengakhiri hidupnya. Terjun dari jendela kamarnya yang berada pada ketinggian
puluhan meter.
Tubuhnya yang ringkih melayang dan menghantam
kerasnya tanah. Dan ia meninggal seketika.
***
Luc membuka mata dan mendapati dirinya berada di
sebuah pondok kecil di pinggir hutan. Seorang lelaki tua ada di sana
bersamanya.
“Oh,
kau sudah sadar? Aku menemukanmu pingsan di pinggir sungai.” Lelaki tua itu
menyapa.
Sambil
meringis, Luc bangkit dan duduk. Tubuhnya yang luka telah di rawat dengan
sempurna. Tapi kakinya ...
“Kakimu
patah. Aku hanya bisa memberinya papan. Mungkin kau akan cacat selamanya.”
Lelaki itu kembali berkata. Luc kembali meringis.
“Terima
kasih karena telah menolongku.” Ucapnya tulus.
“Sama-sama.”
ia mengulurkan mangkok berisi bubur ke depan Luc. “Makanlah agar kau segera
sehat.”
“Terima
kasih.” Pemuda itu kembali berkata.
“Siapa kau? Apa kau terjatuh ke
jurang begitu saja?”
Luc
tak segera menjawab. Lelaki tua itu menangkap tatapan was-was di mata Luc.
“Tidak
apa-apa. Aku hanya nelayan biasa. Bahkan jika kau seorang buronan, aku tak akan
melaporkanmu. Aku akan tetap menolongmu sebagai sesama manusia.” Ucapan lelaki
tua itu membuat Luc lega.
“Aku memang buronan.” Jawab Luc
kemudian. ia tak tahu kenapa ia bicara jujur padanya. Tapi instingnya
mengatakan, orang tua di hadapannya adalah orang baik. Ia takkan menjerumuskan
hidupnya pada ayah Aletha
“Kejahatan
apa yang kau lakukan? Mencuri? Merampok?”
Luc
tak segera menjawab. Ia mengambil sendok dan mulai memakan bubur di mangkok tua
dengan perlahan.
“Aku
memacari putri seorang bangsawan.” Jawab Luc kemudian.
Lelaki
tua yang tengah sibuk menata peralatan memancing itu mendongak dan menatap Luc
dengan heran.
“Woa,
sepertinya aku pernah mendengar cerita ini. Kau berasal dari kota?”
Luc
mengangguk.
“Apa
putri bangsawan itu nona Aletha, putri dari saudagar sekaligus bangsawan Zen?”
Bola
mata Luc membulat. “Darimana anda tahu?”
Lelaki
itu mengangkat bahu.
“Orang-orang
di pasar bergosip tentang kisah kalian. Mereka ramai bercerita tentang kisah
cinta antara seorang budak dan anak majikan. Aku turut berduka cita atas
kematian kekasihmu.” Jawab lelaki tua tersebut. Luc urung memasukkan sesendok
bubur ke mulutnya.
“Kematian
... siapa?” Ia bertanya bingung.
Lelaki
tua yang terlihat kurus itu juga terlihat bingung. Nampak ada penyesalan di
raut wajahnya.
“Oh,
aku lupa kalau kau tak sadarkan diri selama beberapa hari. Dan ... maaf jika
aku harus menyampaikan berita duka ini padamu.”
Luc
merasakan dadanya berdebar. Ia sudah menduga ada yang tidak beres.
“Aletha
sudah meninggal. Kata orang-orang, perempuan itu mengakhiri hidupnya dengan
terjun dari jendela kamarnya. Ia ... meninggal seketika.”
Sendok
kayu di genggaman Luc terlepas dan meluncur bebas ke lantai. Wajahnya pucat
pasi.
“Aletha
... meninggal?” suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.
Lelaki
tua itu bangkit mendekati Luc lalu menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut. “Aku
turut bersedih.” Ujarnya.
Luc
mendongak dan menatap lelaki di sampingnya - yang bahkan belum ia ketahui
namanya itu - dengan tatapan pilu. “Itu bohong ‘kan?” bibirnya bergetar. Air
matanya menitik tanpa bisa ia bendung.
Lelaki
tua itu menggeleng.
“Dia
sudah meninggal. Ia bahkan sudah dimakamkan 2 hari yang lalu. Aku tahu itu
karena waktu itu aku sedang berada di kota untuk menjual ikan hasil tangkapan.
Pemakaman itu dihadiri banyak orang, banyak bangsawan.” Ia mengelus punggung
Luc karena pemuda itu nampak syok luar biasa.
Dan
selanjutnya yang ia dengar adalah sebuah tangisan pilu dari pemuda yang
pastinya akan mengalami cacat fisik seumur hidup tersebut.
***
Sosok itu berjalan terseok-seok
menyusuri jalanan berbatu yang licin. Kakinya yang patah tak menyurutkan
niatnya untuk terus melangkah. Walau ia kesakitan, ia terus tertatih.
Sepanjang
jalan, sosok lelaki yang dipenuhi luka itu terus saja menangis sesenggukan.
Hatinya remuk, menangisi kekasihnya, kekasih yang telah meninggalkan ia di dunia
ini. Selamanya.
Aletha.
Luc
nyaris tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia tak percaya berita bahwa
perempuan itu telah meninggal. Demi untuk membuktikan bahwa berita kematian
Aletha adalah salah, ia meminta pada lelaki tua yang telah menolongnya dari
kematian untuk mengantarkannya ke kota.
Secara
sembunyi-sembunyi ia menemui Bhean, penjaga kepercayaan Aletha. Dan yang di
sampaikan perempuan setengah baya itu benar-benar membuat hidupnya hancur.
Aletha
sudah meninggal, bunuh diri. Ia bahkan membawa Luc ke makamnya.
Dan
sekarang, di sinilah Luc. Tidak, bukan di makam Aletha.
Ini
adalah tempat terakhir ia bertemu dengan perempuan tersebut. Tempat terakhir ia
memeluknya erat sebelum perempuan itu diseret paksa untuk pulang, dan sebelum
para penjaga ayah Aletha menghajarnya lalu mendorongnya ke jurang.
Sekarang,
di sinilah ia.
Menangis,
sesenggukan.
Patah
hati.
Hancur.
Dan
... memutuskan untuk mati.
***
Aku
terbangun dengan nafas tersengal. Sel tahanan yang pengap tak mampu menahan
tubuhku dari keringat. Peluh membanjiri wajahku, seluruh badanku.
Aku seperti seseorang yang baru saja
tersadar dari amnesia.
Mimpi itu seperti memberikan sebuah
gambaran yang jelas tentang masa laluku, tentang aku, tentang Luc, tentang
kisah kami.
Air mataku menitik.
Luc.
Entah kenapa tiba-tiba saja aku ingin
bertemu dengannya.
Sangat.
***
“Ada
pengunjung untukmu.” sipir itu membuka pintu sel tahanan dan memintaku keluar.
Aku bangkit dari tempat tidur dan segera beranjak. Ku kira itu adalah
pengacaraku, ternyata bukan.
“Emma?” sapaku ketika melihat sahabatku
itu di ruang besuk. Aku menghambur ke arahnya dan kami berpelukan.
“Bagaimana keadaanmu?” Emma membimbingku
untuk duduk di kursi kayu yang ada di ruangan tersebut. Aku mengangkat bahu
frustasi.
“Aku berada di tahanan selama hampir 2 x
24 jam, mereka menginterogasiku tentang suatu tuduhan kejahatan yang mereka
sangkakan padaku dan aku baru bertemu pengacaraku satu kali saja. Jadi jika kau
mau tahu keadaanku, well, aku tidak baik-baik saja.” Jawabku sambil mengusap
kepalaku.
“Bagaimana keadaan Will?” tanyaku lagi.
“Masih sama. Ia belum sadarkan diri.”
jawab Emma. Aku mendesah. Emma beringsut mendekatiku dan menggenggam tanganku
tanpa ragu.
“Katakan padaku sebenarnya apa yang
terjadi? Kau tidak benar-benar melakukannya ‘kan? Kau tidak ....”
Aku menggeleng. “Aku tidak mencelakai
Will secara sengaja dan aku juga tidak berselingkuh dengan Luc. Jadi jika
Edward bercerita seperti itu padamu, jangan percaya padanya.” Sanggahku.
Emma tampak ragu menatapku. Aku kembali
menggeleng. “Aku tidak akan mungkin merencanakan suatu pembunuhan untuk
menghabisi Will, Em. Kau tahu bahwa aku tidak akan pernah melakukan hal seperti
itu.” tegasku.
“Lalu ... kau dan Luc?”
“Aku mencintainya.”
Kalimat yang meluncur dari mulutku
sukses membuat Emma ternganga. “Jadi maksudmu, kau dan ... dia ...”
“Aku mencintainya, tapi aku tak punya
affair dengannya.” Potongku. Aku ingin menceritakan kepada Emma perihal
‘ingatanku’ yang seolah kembali, tapi kemudian aku urung.
Aku sendiri bingung kenapa aku harus
memberitahu padanya bahwa aku mencintai Luc. Ini seperti pengakuan bunuh diri!
“Aletha ...” Emma memanggilku lirih. Ia
bangkit dan mondar-mandir sesaat lalu menatapku. “Aletha, tolong jangan
membohongiku. Bicaralah jujur tentang apa yang terjadi padamu, pada Luc, dan
pada Will. Kau mengatakan bahwa kau tak mencelakai Will, tapi kau mengakui
bahwa kau mencintai Luc. Ada apa denganmu? Aku mengenalmu sebagai perempuan
setia, tapi sekarang ...” perempuan itu tampak kecewa. Dan aku tak bisa
menampik bahwa ia kecewa karenaku.
Aku menyandarkan punggungku di kursi.
“Aku bertemu dengan Luc beberapa kali.
Kami mengobrol, kami bersahabat. Dan itulah yang terjadi. Aku jatuh cinta padanya.” Aku berbohong. Hanya cerita seperti
ini yang mampu kuceritakan pada Emma. Aku tidak mungkin menceritakan padanya
bahwa aku dan Luc adalah reinkarnasi sepasang kekasih ribuan tahun yang lalu. Oh, it must be ridiculous!
“Will curiga bahwa kami berselingkuh,
dan kami mulai ribut. Kami bertengkar, aku berlari ke kamar, ia mengejarku,
lalu ia terpeleset di tangga dan ia terjatuh.” Jelasku. Emma menatapku tak
percaya.
“Aku bertemu kakak Will dan ia sedang
menyiapkan tuntutan ganda padamu. Tidak hanya pasal percobaan pembunuhan, tapi
juga perselingkuhan. Ia bilang ia punya bukti bahwa kau terlibat affair dengan
Luc Sevilin sehingga kau berniat menghabisi suamimu sendiri.” Ucapnya.
Aku mendesah, lelah. Aku memijit
kepalaku yang berdenyut. “Tidak seperti itu, Em. Tidak ...” desisku.
Emma terus menatapku lekat. Dan aku
tahu, tatapan matanya menyiratkan ketidak percayaan padaku.
Dia tak mempercayaiku ceritaku.
***
Malam
semakin larut dan aku tak yakin pukul berapa tepatnya. Tapi aku baru saja
memejamkan mata ketika tiba-tiba pintu selku terbuka, 5 orang lelaki bertubuh
tegap masuk dan langsung menyergapku. Aku tak sempat meronta. Mereka membekap
mulutku dengan sapu tangan yang telah di olesi dengan – sesuatu – entahlah, hingga membuatku lemas tak berkutik. Berada di
antara alam bawah sadar, samar-samar aku bisa merasakan mereka membopongku dan
membawaku entah kemana.
***
Aku
membuka mata ketika merasakan cahaya matahari menerpa wajahku. Serta merta aku
bangkit dan menatap sekelilingku.
Sebuah kamar berukuran suit yang tampak
mewah dan elegan. Ini bukan sel tahanan. Jelas bukan. Sempat mengira ini mimpi,
namun itu terbantahkan ketika aku beranjak turun dan merasakan bahwa apa yang
ada di sekelilingku adalah nyata.
Aku berlari ke dekat jendela dan
mendapati pemandangan luar biasa dari sana. Aku ternganga.
Yang ku lihat selanjutnya adalah
pepohonan, dan pepohonan lagi. Astaga, aku berada di tengah hutan?
Ini tampak seperti aku sedang berada di
vila yang berada di lantai tujuh. Itu dikarenakan aku bisa leluasa memandangi
hamparan pepohonan di luar sana.
Di mana ini?
Di mana aku?
Aku
tersentak kaget ketika tiba-tiba pintu terbuka dan sesosok lelaki tampan muncul
dari sana. Lelaki tinggi tegap berpakain rapi. Celana linen yang diseterika
rapi dan kemeja putih yang ujungnya tak dimasukkan. Penampilannya terlihat
makin maskulin karena lengan bajunya ia gulung hingga ke siku. Dan tentu saja
itu menunjukkan otot-otot tangannya yang kekar.
Aku ternganga. Lututku lemas seketika.
“Luc?” desisku.
Lelaki itu
sempat menatapku dengan canggung lalu melangkah mendekatiku. “Kau sudah sadar?”
“Untuk apa kau di sini?” Aku balik
bertanya.
“Ini vilaku. Aku yang membawamu ke
sini.” Jawabnya.
“Kenapa kau membawaku kemari?”
Luc tak segera menjawab.
“Aku tahu
tentang apa yang terjadi antara kau dan suamimu. Aku tak bisa membiarkanmu
tinggal di penjara, jadi aku mengatur rencana untuk membebaskanmu dan
melarikanmu ke sini.” Jawabnya.
“Maaf, aku tak bermaksud lancang dengan
ikut campur masalah keluargamu. Tapi aku tak akan membiarkanmu tinggal
dipenjara lebih lama lagi. Aku takkan tega, sungguh.” Lanjutnya.
“Aku tersangka pembunuhan, kau harus
tahu itu. Jika kau membawaku lari dengan cara seperti ini, itu sama saja
menjadikanku buronan. Dan kau juga akan menjadi buronan karena membantuku.”
Sanggahku.
“Aku tak peduli.” Jawab Luc cepat. “Aku
takkan pernah membiarkanmu tinggal di penjara lebih lama lagi. Itu tekadku,
walau kau membenciku, walau mereka akan menjadikanku buronan. Toh aku percaya
kau tak berniat mencelakai suamimu. Kau takkan tega melakukannya. Aku
mengenalmu dengan baik.” Ia kembali menjawab tegas.
“Vila
ini terletak di pulau pribadiku. Takkan ada orang yang tahu. Setidaknya, dalam
waktu beberapa hari sampai akhirnya polisi mengerahkan kemampuannya untuk
mencarimu. Tapi percayalah, kau aman di sini. Bersamaku.” Mata coklat itu
menatapku dengan dalam, tatapan melindungi dan menenangkan.
“Aku
sudah menyiapkan sarapan untukmu. Setelah makan, baru kita akan bicara.” Luc
berbalik. Langkahnya baru saja akan mencapai pintu ketika akhirnya aku
memanggil namanya lirih. “Luc.”
Lelaki itu berbalik. “Hm.” Jawabnya
pendek.
Kami berpandangan.
Aku merasakan bibirku bergetar. “Aku ...
sudah ingat semuanya,” jawabku kemudian.
Seketika raut
muka Luc menunjukkan keterkejutan. Mata coklat itu tertegun menatapku.
Aku menelan ludah dan bersusah payah
untuk kembali berkata-kata. “Aku sudah ingat semuanya, Luc. Aku ... ingat
tentang kisah kita.” lanjutku.
Rahang Luc tampak kaku. Tatapan kami
terkunci satu sama lain untuk waktu yang cukup lama.
“Kalau begitu ...” jakunnya naik turun.
“Kalau begitu, apa yang kau tunggu?” Ia merentangkan kedua tangannya.
“Kemarilah, Aletha. Kekasihku.”
Dan
pertahananku seketika runtuh. Air mataku menitik. Dengan isak tangis, aku
berlari, menghambur ke arah Luc, lalu melemparkan diriku dalam pelukannya. Dan
lelaki itu segera memelukku erat.
***
Setelah
selesai sarapan, Luc menemaniku duduk di balkon vila yang menghadap langsung ke
hamparan pohon pinus. Kami duduk berdampingan, sama-sama terdiam. Sesekali Luc
mengangkat tangan dan menyelipkan rambutku yang tertiup angin ke belakang
telinga. Aku menoleh ke arahnya.
“Jadi, kau mengakhiri hidupmu sendiri?”
tanyaku. “Kau mengakhiri hidupmu sendiri dengan loncat ke jurang?”
“Apa itu yang kau lihat dalam mimpimu?”
Luc balas bertanya.
Aku mengangguk. Luc menarik nafas berat.
Memutar tubuhnya, lalu menerawang ke arah pohon pinus yang cabangnya
bergoyang-goyang tertiup angin.
“Setelah
ayahmu membawa paksa dirimu, aku kembali ke sana, ke rumahmu. Tapi orang-orang
bilang kau sudah mengakhiri hidupmu sendiri. Aku bahkan datang ke pemakamanmu
...” kedua mata Luc tampak berkaca-kaca. Seolah-olah masih menyimpan luka dan
duka yang berkepanjangan. Tapi ia tak sendirian, karena akupun merasakan hal
yang sama.
“Aku
tak sanggup. Aku tak sanggup kehilanganmu sehingga aku memutuskan ...
menyusulmu.” Kalimat Luc parau. Tanganku terulur dan kusentuh wajahnya dengan
lembut. Luc menggenggam tanganku dan menahannya di sana. “Kau segalanya bagiku,
Aletha.” Bisiknya seraya mengecup punggung tanganku. Kami kembali berpandangan.
“Tapi
aku tak bisa di sini selamanya, Luc. Kau tak bisa membawaku pergi. Aku harus
kembali untuk memulihkan nama baikku. Jika memang aku harus mengikuti prosedur
persidangan, akan kulakukan. Asal aku bisa membuktikan bahwa aku tak bersalah.”
Ucapku.
“Aku dan pengacaraku akan mengumpulkan
bukti. Dan hingga itu terjadi, aku tak bisa bersembunyi di sini terus.”
Lanjutku.
“Lalu?” Luc bertanya bingung.
“Lalu apa yang akan kau lakukan setelah
kau terbukti tak bersalah?”
Aku
kembali menatap Luc dengan seksama. “Setelah Will sembuh, aku akan meminta
bercerai darinya. Dan aku akan ... bersamamu.” Jawabku kemudian.
Ya, aku takkan bisa lagi berjauhan
dengan Luc setelah apa yang menimpa kami. Setelah aku ingat segalanya tentang
dia.
Dan Will? Mungkin ini akan terdengar
kejam. Tapi sekarang perasaanku padanya takkan sama lagi. Aku takkan bisa
mencintainya seperti dulu. Tidak akan bisa.
Kedua mata Luc
berbinar. Ia manggut-manggut.
“Oke, aku juga akan membantumu. Akan ku
sewakan kau pengacara terbaik di muka bumi ini agar kau bisa segera bebas.” Kalimatnya
tegas.
“Aku
butuh phonsel. Aku harus menelpon pengacaraku dan juga Emma.” Pintaku kemudian.
Luc manggut-manggut.
“Oke, tapi tidak sekarang. Kau harus
beristirahat terlebih dahulu. Kau kelelahan.” Luc bangkit, menarik tanganku,
lalu membimbingku ke kamar, tempat pertama kali yang ku tahu ketika aku sampai
di sini.
***
Aku
sempat ragu untuk menelpon Emma. Ia pasti sudah mendengar berita bahwa aku
melarikan diri dari penjara. Dan bisa jadi, ia juga menduga bahwa aku kabur
dengan Luc. Dan itu seolah mendeklarasikan padanya, pada semua orang, bahwa aku
benar-benar terlibat perselingkuhan dengan lelaki itu, kemudian berusaha
menghabisi nyawa suamiku sendiri, dan sekarang memutuskan kabur dengan
selingkuhanku.
Tapi
entah kenapa, aku seperti tak peduli lagi dengan anggapan seluruh dunia tentang
aku, Luc maupun Will.
Aku
hanya merasa bahwa aku harus menelpon Emma. Karena ia sahabat terbaikku.
“Halo,” sapaku ragu.
“Ya?
Ada yang bisa saya bantu?” itu suara Emma.
“Em ...” aku menelan ludah.
Terdengar teriakan dari seberang sana.
“Aletha?!
Di mana kau sekarang?! Apa yang terjadi denganmu? Aku sudah dengar berita
tentangmu dari televisi maupun koran. Mereka bilang kau melarikan diri dari
penjara. Oh, astaga, ada apa denganmu? Apa kau baik-baik saja? Dimana kau
sekarang?” Emma bertanya dengan nada yang teramat antusias.
Aku tak segera menjawab.
“Aku
berada di suatu tempat yang aman.” Jawabku kemudian.
“Polisi
sedang mencarimu!” Emma kembali berteriak. Aku manggut-manggut. Sudah ku
duga.
“Apa
kau melarikan diri dengan Luc? Apa ia yang membantu ... pelarianmu?”
“Tidak.” Jawabku tegas. Aku harus
berbohong, demi keamanan Luc. “Aku melarikan diri dari penjara setelah
membodohi sipir. Begitu saja. Sekarang aku disuatu tempat terpencil dan
sendirian. Aku hanya perlu untuk menyendiri terlebih dahulu. Dan setelah itu,
akau pasti akan menyerahkan diriku
kembali pada polisi.” Lanjutku.
“Kau berencana menyerahkan dirimu kembali
pada polisi?” Nada suara Emma tampak bingung.
“Tentu saja. Aku tidak bersalah, Em. Aku
tidak pernah melakukan yang mereka tuduhkan padaku. Jadi aku pasti akan kembali
dan membuktikan bahwa aku tidak bersalah.” Tegasku. “Jika Will sudah sadar, dia
pasti akan menceritakan yang sebenarnya bahwa aku tidak mendorongnya.”
“Aletha, ada yang harus kau ketahui,”
“Apa?”
“Will sudah sadarkan diri, sejak kemarin.
Kondisinya stabil. Dan ia sudah bisa berkomunikasi dengan baik.”
Aku nyaris memekik. “Oh syukurlah,”
teriakku girang. “Kalau begitu aku akan segera ke sana, berbicara dengannya,
dan aku bisa segera menyerahkan diriku ke polisi. Dan mereka akan tahu bahwa
aku tidak bersalah.” Teriakku.
“Aletha, sepertinya ... tidak akan semudah
itu.” ucapan Emma membuatku mematung.
“Apa yang terjadi?” desisku. Sejenak
Emma terdiam.
“Apa terjadi sesuatu pada Will? Apa dia
hilang ingatan? Apa ia lumpuh?” tanyaku bertubi-tubi. Emma tak segera menjawab.
Ia seperti kebingungan mencari jawaban.
“Emma! Katakan apa yang terjadi?”
teriakku.
“Will, melaporkanmu atas upaya pembunuhan.”
Jawaban Emma membuat lututku lemas.
“Apa maksudmu?”
“Dia
sudah bicara pada polisi. Ia dan kakaknya sudah resmi melaporkanmu ke polisi
karena tuduhan percobaan pembunuhan. Will bilang, kau sengaja mendorong
tubuhnya dan berusaha membunuhnya agar kau bebas bersama dengan ... Luc. Dia
yakin kau punya affair dengan lelaki itu.”
Aku melongo. Oh, tidak.
“Kenapa
dia harus melakukan ini, Em. Kenapa ia harus berbohong pada polisi? Aku tak
berkhianat darinya! Aku tak berusaha mengakhiri hidupnya!” teriakku.
“Entahlah,
Aletha. Aku juga tak mengerti. Aku tak mengerti siapa di antara kalian yang
berbohong. Tapi satu hal yang pasti, kau resmi menjadi buronan.”
Tubuhku
limbung. Aku duduk dengan lemas di pinggir ranjang. Ya Tuhan ...
“Em, kapan kau mengunjungi Will ke rumah
sakit. Aku ingin bicara dengannya lewat telpon. Tolong bantu aku.” Pintaku.
“Aku
sedang perjalanan ke tempat kerja. Tapi aku bisa mampir ke rumah sakit dan
berbicara dengannya jika kau menginginkan.”
“Kalau begitu, please. Bantu aku bicara
dengannya.” Desisku.
***
Sekitar
15 menit kemudian, phonsel baru yang sejak tadi ku timang-timang dengan gusar
berdering. Nomor phonsel Emma.
“Halo,” sapaku terlebih dahulu.
“Aletha,
Will juga ingin berbicara denganmu.” Ucap suara dari seberang sana.
Jeda sesaat, mungkin Emma sedang
menyerahkan phonsel tersebut pada Will. Dan aku menunggu dengan tegang.
“Halo.” Itu suara Will. Suaranya
terdengar lemah, tapi bisa ku dengar dengan jelas.
“Sayang? Bagaimana keadaanmu? Apa kau
sudah membaik?” tanyaku langsung.
“Jangan
panggil aku ‘sayang’ dengan mulut kotormu itu, Aletha.” Suara Will
terdengar mengeram. Aku terkesiap. Will terdengar begitu berbeda.
“Apa
sekarang kau bersama lelaki itu? huh? Kau bersama dengan selingkuhanmu itu?
dasar menjinjikkan.”
Air mataku menitik demi mendengar semua
kalimat yang meluncur dari mulut Will.
“Jadi menurutmu aku benar-benar
berselingkuh darimu?” tanyaku getir.
“Kau
pikir aku bodoh? Aku tahu kau berkhianat dariku, jalang! Kakakku mungkin benar,
bahwa kau menikahiku hanya untuk uangku saja.”
Mataku terpejam sesaat dan air mataku
kembali menitik.
“Itu
tidak benar, Will. Aku menikahimu karena kau mencintaimu. Aku tidak pernah
membohongimu. Tidak pernah.” Desisku, dengan isak tertahan.
“Cih,
kau pikir aku percaya. Kenyataannya kau sekarang bersamanya, pembelaan apa lagi
yang bisa kau berikan? Berlarilah jika kau ingin berlari. Sesuka hatimu. Tapi
polisi pasti akan segera menemukanmu dan menyeretmu ke penjara.”
Aku ternganga. Apa dia serius?
“Kau
tetap ingin memasukkanku ke penjara?”
“Aku lebih senang melihatmu membusuk di
penjara daripada kau memilih bersama lelaki sialan itu!” Will nyaris
berteriak. “Setelah kau tertangkap, aku
juga akan berusaha sekuat tenaga menjebloskan selingkuhanmu itu ke penjara. Kau
buronan, dan membantu buronan adalah kejahatan. Dan aku akan membuat kalian
berdua membayar atas apa yang telah kalian lakukan di belakangku. Akan ku
pastikan kalau kalian berdua membusuk di penjara!”
Aku
menggigit bibirku hingga terasa sakit. Ku pejamkan mataku sesaat demi untuk
menahan isak tangisku. Dan dengan suara parau, kalimat itu meluncur dari
mulutku.
“Goodbye,
Will.”
Dan
aku mengakhiri pembicaraan. Saluran telepon ku putus.
Selesai
sudah.
Kisahku
dengan Will, selesai sampai di sini.
Aku
seakan seperti tersadar kembali dari tidur panjang. Takdirku ternyata ada di
sini. Bukan di tempat lain.
Perlahan
aku bangkit, dan melangkahkan kakiku keluar dari ruangan. Dan dengan
bertelanjang kaki, aku mencari Luc.
Aku
menemukan pria itu berdiri di balkon, membelakangiku. Surai rambutnya yang
berwarna kecoklatan tampak makin memesona di bawah sinar matahari. Tangannya
yang kokoh mencengkeram pagar. Posisi seperti itu sontak membuat kemeja
dibagian belakang dan bahunya tertarik hingga menunjukkan punggungnya yang
lebar dan kokoh.
Tanpa
menimbulkan suara, aku melangkah mendekatinya. Dan aku yang berinisitif untuk
memeluknya dari belakang lalu menyandarkan kepalaku di punggungnya.
“Aletha?”
tubuh Luc tegak seketika, tampak terkejut. Pria itu berniat memutar tubuhnya,
tapi aku menahan dengan memperat pelukanku.
“Ada
sesuatu?” nada suaranya tampak cemas.
Aku menggeleng.
“Kau sudah bicara dengan pengacaramu?”
Aku mengangguk.
“Suamimu?”
Aku kembali mengangguk.
“Lalu?”
Aku tak segera menjawab.
“Aletha?”
“Jika kau ingin pergi bersamaku, kemana
kau akan membawaku?” potongku lirih.
Luc tak segera menjawab.
“Aku
akan membawamu, kemana saja. Asalkan tempat itu aman bagimu. Bagi kita berdua.
Meski kita harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat lain, asal kau
masih bersamaku, dan kau aman di sisiku, akan ku bawa kau ke sana.” jawabnya
kemudian.
“Meski
kau akan meninggalkan segala yang kau punya? Keluargamu, kekayaanmu,
pekerjaanmu, teman-temanmu?”
“Meski
aku harus meninggalkan segalanya, akan ku lakukan demi kau.” Jawabnya lagi.
Air
mataku kembali menitik.
“Suamiku
membuat tuduhan palsu. Ia menolak melepaskanku. Ia sudah berniat untuk
membuatku membusuk di penjara. Aku hanya tak percaya bahwa ia tega
melakukannya,” aku nyaris terisak.
Luc melepaskan lengan tanganku yang
melingkari tubuhnya. Pria itu berbalik lalu menatapku lekat. Tangannya terulur
dan menghapus air mataku dengan lembut.
“Kalau begitu, ayo pergi bersamaku.”
Ucapnya. “Aku akan membawamu pergi. Kemana saja, dari satu tempat ke tempat
lain, asal kau aman, bersamaku, aku akan membawamu.”
Aku
mendongak dan menatapnya dengan rapuh. “Aku buronan, Luc. Jika kau membantuku,
kau juga melakukan kejahatan.” Desisku.
Pria itu menggeleng. “Aku tak gentar.” Jawabnya.
“Aku
akan membawamu keluar dari negara ini. Kita akan pergi ke negara lain, kita
akan mengganti identitas kita, kita akan hidup bahagia berdua. Jika kita
ketahuan, maka kita akan pergi ke negara satunya, lalu membuat identitas baru
lagi. Pun bila kita ketahuan lagi, maka kita akan melarikan diri, lagi.” Ia
membelai pipiku dengan lembut.
“Meski
kau akan meninggalkan segala yang kau punya?” suaraku serak. Dan pria itu
kembali mengangguk mantap.
“Dulu, kita juga melakukannya ‘kan? Demi
cinta kita, kita harus melarikan diri dari satu tempat ke tempat yang lain,
dikejar-kejar bak buronan. Dan sekarang, jika harus melakukannya lagi, aku tak
keberatan.” Jawabnya.
Aku menatap dengannya takjub.
Sekarang aku tahu, di sinilah takdirku.
Bersama pria ini. Pria yang telah ku kenal sejak ribuan tahun yang lalu. Pria
yang kucintai, sepenuh hati.
Takdir.
Jika memang kisah cinta kami harus
ditakdirkan seperti ini, melarikan diri dari satu tempat ke tempat yang
lainnya, asalkan bersama, aku juga tak keberatan melaluinya.
Aku hanya ingin bersama Luc, itu saja.
“Aku mencintaimu, Luc.” bisikku. Mata
kami beradu, ia tersenyum.
“Aku tahu. Karena akupun begitu.” Ia
menunduk dan mendaratkan sebuah ciuman lembut di bibirku. Ciuman pelepas dahaga
yang lembut, tak menuntut, tak terburu.
Ciuman yang menandakan bahwa kami saling
mencintai, apapun kondisinya.
“Siap berpetualang?” Ia berbisik lirih
di sela-sela ciuman kami. Dan aku mengangguk mantap. Tanpa ragu sedikitpun.
****
Selesai.
p.s.
Akhirnya selesai juga. Terima kasih
sudah mengikuti cerita ini dari awal. Maaf karena update nya lama. Akhir-akhir
ini sempat mengalami ‘writer’s block’. Semacam kondisi dimana penulis
kehilangan ide, kehilangan gairah untuk menulis. Tapi sekarang, I’m back!
Salam.
Wiwin Setyobekti.
19.49
24/09/2015