Bab 18
Stolen Kiss
Melanjutkan
hidup. Itu yang dikatakan Jihan. Dan kami sepakat untuk melakukannya.
Melanjutkan hidup kami seperti semula, mesti kami tahu, sejak kepergian Olla,
Sonya dan Fifi, keadaan tak akan pernah sama lagi seperti sediakala.
Tentu kami sedih dengan kepergian
mereka, tapi meratapi itu takkan menjadikan keadaan lebih baik.
“Mereka sudah memilih jalan mereka
sendiri, Ki. Dan kita juga harus menjalani bagian hidup kita sendiri. Masih
banyak hal yang harus kita lakukan. Apalagi, ujian nasional sebentar lagi. Kita
fokus aja ke situ, oke?”
Aku mengangguk.
“Tapi kamu nggak menyalahkanku ‘kan,
Jei?” tanyaku.
Jihan menggeleng.
“Tak ada yang perlu disalahkan. Aku
nggak menyalahkanmu atas semua tindakan yang kamu ambil berkaitan dengan Rangga
dan juga kak Jefry. Kamu sudah mengambil langkah yang benar soal kak Jefry. Dia
bersalah. Suka atau tidak, dia memang harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Sementara soal Rangga, well, aku nggak ikut campur dalam urusan
percintaan kalian. Aku tahu pasti bahwa kamu nggak berniat sama sekali
menghancurkan hubungan Fifi dan Rangga. Tapi aku juga nggak menyalahkan Fifi
dan Sonya atas kemarahan mereka padamu. Itu hal yang alami terjadi ketika
sesuatu tak seperti yang mereka bayangkan. Aku yakin, suatu saat nanti, entah
kapan, kemarahan mereka akan sirna. Dan kita semua, bisa baikan lagi kayak
dulu,” jawabnya dengan panjang lebar.
Aku terdiam.
Jihan kembali menggenggam tanganku
dengan erat. Kami berpandangan.
“Kamu nggak perlu menyalahkan dirimu
sendiri. Itu nggak perlu. Dan kamu juga nggak perlu takut akan kehilangan
sahabat-sahabatmu. Seperti yang bisa kamu lihat, masih ada aku ‘kan? Terus,
masih ada juga Rangga, yang sepertinya tetap mengharapkan persahabatan kalian
baikan lagi. Lalu, ada juga Dante, yang sepertinya makin perhatian sama kamu.
Sumpah, aku pernah iri sekali atas persahabatan kalian. Aku tahu Dante cowok
yang aneh, tapi persahabatan kalian terlihat ... alami dan apa adanya,”
lanjutnya.
Aku tersenyum tipis.
“Masih kurang? Tuh ada lagi, si Ronald,
yang kayaknya pantang menyerah untuk bisa mendapatkan cintamu,”
Aku tergelak mendengar nama Ronald
disebut. Cowok manis anak mama, mantan pacar Olla, yang beberapa waktu ini
bersedia jungkir balik untuk bisa mendapatkan cintaku. Ampun deh...
“Dan ada lagi, si Yuda, cowok ganteng
no.3, kapten tim basket, yang kayaknya naruh perhatian sama kamu,”
Aku mendelik. Ingatanku segera tertuju
pada sosok itu. Dulu dia terkenal sebagai cowok paling ganteng di sekolah kami.
Dan tentunya juga paling populer. Bayangin aja, udah jadi kapten tim basket,
cakep, tinggi, ramah lagi. Tentu aja banyak cewek yang bakalan jatuh hati.
Tapi sejak
kedatangan Dante dan Rangga ke sekolah kami, peringkatnya jadi turun drastis.
Ia nggak lagi jadi cowok paling ganteng karena predikat cowok paling ganteng
no.1 jatuh ke tangan Dante, sementara Rangga di no.2, dan alhasil, Yuda harus
berpuas diri menjadi cowok paling ganteng no. 3.
Itulah kenapa, kebanyakan dari kami
sering menjulukinya dengan cowok no.3.
“Yuda?” tanpa sadar aku menggumam.
Jihan mengangguk.
“Jadi kamu nggak nyadar ya? Si Yuda itu
kayaknya jatuh hati sama kamu. Aku sering banget memergoki dia curi-curi
pandang sama kamu. Dan kamu tahu sendiri ‘kan kalo dia tuh perhatian banget
sama kamu. Dia selalu nanyain kamu kalo kamu lagi nggak masuk sekolah. Dan dia
juga sering banget kan bantuin kamu ngerjain tugas. Bahkan ketika kamu lupa
mengerjakan PR, dia akan dengan senang hati mengerjakannya buat kamu,” ujar
Jihan lagi.
Aku menatap Jihan dengan takjub. Idih,
kok dia sehafal itu.
“Kok kamu tahu?”
Jihan tersenyum.
“Kita ini satu kelas, Ki. Jadi aku hafal
sama semua kelakuan anak-anak yang sekelas sama kita. Lagian, kemampuanku tuh
nggak cuma komplain melulu, tapi juga ahli dalam menganalisa situasi dan
kondisi termasuk orang-orangnya,” ia berujar mantap.
“Serius?” tanyaku.
Ia mengangguk dengan mantap.
“Kita akan baik-baik aja. Ngerti?”
kalimat Jihan terdengar tegas. Entah untuk membohongi dirinya sendiri, atau
memang berusaha untuk menghiburku. Tapi yang jelas, aku bersyukur masih menjadi
sahabatnya.
***
“Dante!”
panggilku.
Cowok itu berhenti sejenak di depan
pintu gerbang lalu berbalik menatapku. Aku menghampirinya dengan langkah
panjang.
“Well, mukamu kelihatan .... kusut,”
sapanya.
“Jangan baca pikiranku, oke?” cerocosku.
Dante mengernyit.
“Ada apaan sih?”
“Aku galau,” jawabku cepat.
“Galau? Update status aja di fesbuk,
‘kan lagi ngetren tuh,”
“Aku serius,” ucapku serius.
“Emang aku bercanda?”
Aku memutar bola mataku dengan kesal.
Dante tertawa lirih.
“Iya, iya, sori. Aku emang bercanda. Ada
masalah?”
Aku mengetuk-ngetukkan ujung sepatuku
dengan gusar di tanah, sementara tanganku bermain-main di saku jaketku.
“Kamu nggak lagi baca pikiranku ‘kan?
Sumpah?” aku menebak.
Dante menggeleng.
“Aku sudah lama berhenti melakukan itu,
membaca pikiranmu. Kamu yang minta. Ingat?” jawabnya.
Aku manggut-manggut.
“Jadiii, ada sesuatu?” Dante kembali
bertanya, suaranya lembut.
Aku tak segera menjawab.
Aku sempat mendesah frustasi sebelum
akhirnya membuka mulutku untuk berbicara.
“Kayaknya ini bakal jadi kebiasaan deh,”
ucapku.
“Apa?” Dante menatapku bingung.
“Ya kayak gini. Setiap ada apa-apa,
nggak tahu kenapa, aku selalu aja ingin cerita ke kamu. Curhat padamu, mengadu
padamu, meminta pendapatmu, ini ... bakal merepotkan,” jawabku.
Well, setidaknya aku memang berkata
jujur. Aku sendiri nggak tahu kenapa. Tapi setiap kali aku mempunyai uneg-uneg
yang ingin ku keluarkan, secara otomatis pikiranku tertuju pada Dante. Semua
kayak nyambung secara otomatis. Entahlah, pokoknya setelah cerita dengannya,
curhat dengannya, lega aja...
Dante
terkekeh pelan. “Ya bagus dong, itu tandanya, persahabatan kita memang berjalan
dengan normal. Tadinya aku bisa ngerti apa yang ada di kepalamu tanpa kamu
harus repot-repot membuka mulut. Tapi sekarang, aku sudah menghentikan
kebiasaan itu. Jadi kamu bebas cerita apa aja, sampai lega, dengan mulutmu
sendiri. Aku nggak keberatan,” jawabnya.
Aku menatapnya dengan ragu.
“Oke deh, yuk, sambil jalan,” jawabku.
Kami berjalan beriringan menuju kelas
kami. Dan akupun mulai nyerocos. Aku menceritakan semuanya. Tentang tekanan
batinku karena masalah Olla, Sonya, Fifi, termasuk soal ... Rangga.
Dan Dante senantiasa mendengarkanku
dengan seksama.
“Iya, aku juga udah denger soal kepindahan
mendadak Sonya dan Fifi. Heran aja. Ini ‘kan memasuki tahun terakhir, bentar
lagi ujian nasional. Biasanya, ngurusi pindah itu sulit. Tapi kok mereka bisa
pindah dengan gampang ya?” Dante menggumam seolah bertanya pada dirinya
sendiri.
Aku tak menjawab.
Keluarga Fifi dan Sonya termasuk
keluarga berada. So, mereka pasti bisa mengatur segalanya untuk mengurusi
kepindahannya.
“Jadiii, kamu dan Rangga bakal jadian
nih?”
Aku tak segera menjawab.
“Jangan ngomongin itu deh,” tukasku.
Kami terus melangkahkan kaki kami melewati lapangan basket, untuk selanjutnya
menuju lorong yang mengarah ke kelas kami.
“Aku nyebelin ya, Dan?” tanyaku. Dante
tersenyum.
“Iya,” Jawabnya tegas.
Aku melotot ke arahnya.
“Whoaa, tenang. Jangan keburu ngamuk,
non. Jawabanku belum selesai,” sergahnya seraya terkekeh.
“Iya, kamu emang nyebelin. Sikap
impulsif-mu itu, yang kadang menjengkelkan. Kamu kerap melakukan sesuatu secara
tiba-tiba, cuma nuruti kata hati, tanpa dipikir dulu resikonya. Bahkan
kadang-kadang bikin hidupmu sendiri dalam bahaya. Dan itu yang paling nggak aku
suka. Tapi kalo nggak gitu, bukan Kiki namanya. Ya ‘kan?”
Jawaban Dante membuat langkahku
terhenti. Dante juga melakukan hal yang sama. Kami bertatapan. Aku benar-benar
takjub dengan makhluk ganteng yang satu ini.
“Makasih ya, Dan,” ucapku tulus.
“Buat apa?” Dante mengernyit.
“Karena kamu mau jadi sahabatku,”
jawabku.
Cowok beralis tebal itu tersenyum.
Benar-benar senyum yang menawan.
“Dan terima kasih karena kamu udah
kembali,” ia membalas.
“Kembali? Emang aku dari mana?” tanyaku
heran.
“Hilang,”
“Hilang?” aku mengulangi kata itu.
“Iya, hilang. Kamu nggak nyadar ya?
Beberapa hari ini kamu kayak ditelan bumi. Maksudku, secara harfiah. Kamu ada,
tapi kayak mayat hidup. Aku nggak denger suara ketawamu, nggak denger
celotehanmu, nggak denger kamu mendebatku, pokoknya, kamu bener-bener kayak
zombie. Well, aku ngerti beberapa hari ini kamu lagi banyak masalah. Semoga ini
bisa bikin kamu menjadi manusia yang lebih baik dan bijaksana. Semakin kamu
meratap, masalah semakin rumit. And I
know you’re not. You’re a tough girl. Makasih karena kayaknya nih, kamu dah
‘balik’ lagi ke dunia,”
Aku menatap Dante nyaris tanpa berkedip.
Ajaib. Kalimat yang keluar dari mulutnya benar-benar ajaib!
Aku seperti mendapat suntikan motivasi
yang bener-bener bikin aku ‘balik’!
“Makasih ya,” ucapku lagi, tulus. Dante
mengangkat bahu cuek.
“Dan sejujurnya, kamu masih utang satu
ucapan terima kasih padaku,” peringatnya.
“Tentang?”
“Oh, jadi kamu sudah lupa ya?”
“Apa?” tanyaku tak mengerti.
Dante menatapku dengan tatapan kesal.
Dibuat-buat tentu saja.
“Lupa ya? Terakhir kali kamu
tangis-tangisan sama Leo di stasiun, kamu terus jatuh pingsan. Aku capek-capek
gendongin kamu untuk nyari klinik ato rumah sakit terdekat. Jujur aja, kamu tuh
berat. Eh, begitu kamu sadar, kamu langsung nyerocos minta pulang,” ucapnya.
Aku menepuk jidatku. Ampun deh...
Ya, aku juga masih ingat kok kejadian
tersebut. Waktu itu, sepulang dari Jogya, sepulang dari menemui kak Jefry, dan
terakhir kali aku ketemu Leo, tiba-tiba saja aku jatuh pingsan di stasiun
karena kelelahan. Aku nggak ingat apa yang terjadi kemudian karena ketika aku
membuka mata, aku berada di sebuah klinik, di dekat stasiun, dengan Dante di
sisiku. Ia benar, yang ku ingat dan segera ingin kulakukan waktu itu adalah
pulang. Jadi, tanpa berbasa-basi aku memintanya mengantarkanku pulang.
“Iya, sori banget ya waktu itu udah
ngrepotin kamu. Aku lupa mau ngucapin terima kasih. ‘Kan kamu tahu kalo aku
lagi ... galau,”
“Iya, iya, galau terus dijadiin alasan,”
Aku nyengir.
“Ya udah, terima kasih ya,” ucapku
lembut.
“Ditolak,” jawab Dante.
Aku mengernyit. “Loh, kok?”
“Kelamaan tau,” ia beranjak. Aku
mengekor di belakangnya.
“Dante, please. ‘Kan tadi aku udah
bilang kalo aku tuh ....”
“Galau,”
Aku dan Dante ngakak ketika ternyata
kami mengucapkan kata-kata itu bersamaan.
“My God, kita kayak anak a-be-ge aja
deh,” ucap Dante.
“Kita ini emang masih a-be-ge. Kamunya
aja yang sok tua,” teriakku.
Kami memasuki kelas dengan beriringan.
“Kamu nggak bawa motor ‘kan?” ia
bertanya.
Aku menggeleng.
“Kenapa?”
“Aku mau nunjukin sesuatu ke kamu,”
jawabnya.
“Oh ya? Apa?” tanyaku dengan antusias.
Dante tersenyum dan menggeleng.
“Rahasia,” jawabnya.
***
Aku
menatap Kawasaki Ninja ZX6R yang dikendarai Dante dengan tatapan ragu.
“Kenapa?” ia bertanya.
“Bisa nggak ini dibuat boncengan?”
tanyaku.
“Bisa. Nih,” Dante menyodorkan sebuah
helm retro berwarna nila – yang kebetulan adalah warna kesukaanku - ke arahku. Aku
sempat tersenyum sambil menatap helm tersebut sebelum akhirnya menerimanya.
“Yup, itu emang warna kesukaanmu. Aku
tahu itu,” Dante menimpali tanpa melihat ke arahku.
Aku menyipitkan mataku.
“Curang deh. ‘Kan aku udah bilang,
jangan baca pikiranku,” gerutuku.
Dante cuma tertawa lirih, kali ini
menatap ke arahku.
“Sori, kelupaan. Kadang-kadang, aku bisa
tahu kesukaanmu dan apa yang nggak kamu suka, dengan cara yang ... begitu saja,
sori,” ia mengangkat bahu.
Aku manyun. Iya deh, dimaafin... ucapku dalam hati.
Dante tersenyum.
“Thanks,” jawabnya.
Ha, ia pasti tahu apa yang barusan ku
omongkan di dalam hati!
“Aku nggak nyangka kamu selalu sedia
helm cadangan,” jawabku seraya mengenakan helm tersebut di kepalaku.
“Enggak, aku emang sengaja membawanya
buat kamu karena hari ini aku memang sudah berencana mengajakmu ke suatu tempat,”
ucapku Dante enteng.
“Oh ya? Wah, aku tersanjung nih,”
jawabku.
“Yuk,” ajak Dante, ia sudah siap di
belakang kemudi. Aku segera naik di belakangnya dengan antusias dan segera sepeda
motor sport itu melaju dengan tenang di jalan raya.
Aku tak berhenti bertanya-tanya kemana
ia akan membawaku. Tapi Dante tetap saja menolak untuk menjelaskan.
Dan
sekitar 40 menit kemudian aku di buat takjub ketika kami sampai di sebuah danau
yang kecil dengan pepohonan di sekelilingnya. Ada juga hamparan rumput ilalang
setinggi lutut yang membentang di sisi danau tersebut.
Aku melongo, bahkan sebelum sempat turun
dari motor.
“Astaga, aku baru tahu kalo di sekitar sini
ada tempat seperti ini,” gumamku tanpa sadar seraya melepaskan helmku lalu
melompat turun dari boncengan motor. Dante melakukan hal yang sama. Setelah
memarkir sepeda motor tersebut, ia melangkah mendekati pinggir danau. Dan aku
mengikutinya.
“Ini tempat pelarianku,” gumam Dante
dengan tatapan menerawang ke tengah danau.
“Setiap kali pikiranku suntuk, aku
selalu datang kemari. Sendirian. Tempat ini memang kecil. Tapi begitu tenang
dan damai. Kadang aku hanya duduk di bawah pohon selama berjam-jam untuk merenung
sambil menatap jernihnya air danau. Atau, kadang-kadang aku menjelajahi padang
ilalang dan merasakan daunnya menggelitik kakiku. Entahlah, semua ini membuatku
tenang,” Dante melanjutkan.
Aku menatapnya sekilas lalu menatap
sekelilingku. Sungguh suatu tempat yang tenang, damai, sepi dan menyenangkan.
Aku mendesah sesaat.
“Kamu benar. Tempat ini memang cocok
untuk tempat pelarian ketika kita merasa suntuk,” ujarku.
“Aku berharap aku punya tempat rahasia
kayak gini yang bisa kudatangi ketika kepalaku dipenuhi dengan berbagai
masalah,” ucapku lagi. Aku mengangkat bahuku cuek. Lalu kembali menatap
jernihnya air danau.
“Sekarang ini bisa juga jadi tempat
rahasiamu,” kata Dante, lembut.
Aku menatapnya.
“Sungguh?” aku memastikan.
Cowok itu mengangguk.
“Aku memang sengaja membawamu kemari
untuk menunjukkan tempat menakjubkan ini padamu. Aku tahu beberapa hari ini
kamu sedang banyak masalah. So, semoga tempat pelarian ini bisa sedikit membuat
pikiranmu tenang,” jawabnya.
Aku menatapnya dengan tatapan tersanjung.
“Serius?” tanyaku.
Ia mengangguk lagi.
“Okeee, kamu yang bilang ya. Jadi, kelak
jika ternyata aku menginvasi tempat rahasiamu ini, jangan pernah menyesal
karena pernah menawarkannya padaku untuk dikunjungi. Karena bisa saja, suatu
saat nanti kamu yang tergusur dari sini. Dan jika itu terjadi, bersiap-siaplah
mencari tempat lain untuk pelarian, karena aku nggak bakalan mau berbagi tempat
ini dengan siapapun, termasuk kamu,” candaku.
Dante tertawa lirih.
“Kalo gitu, senang bisa membantu,”
jawabnya enteng.
Kami tertawa.
Untuk
sekian menit ke depan, kami termenung di pinggir danau dengan pikiran kami
masing-masing. Dante terlihat tenggelam dalam lamunannya, begitu pula danganku.
Dan entah mengapa, aku merasakan
kelegaan luar biasa. Merenung di tempat sekeren ini benar-benar membuat beban
di hatiku sedikit berkurang.
“Terima kasih ya, Dan,” ujarku lirih
dengan tatapan yang tak lepas dari tengah danau. Aku mendengar Dante menarik
nafas panjang lalu mengucapkan ‘sama-sama’ dengan lirih pula.
Satu ucapan terima kasih di mulut
sepertinya tidak akan pernah cukup menggambarkan rasa terima kasihku pada Dante
atas apa yang telah di lakukannya padaku. Sehingga akhirnya aku mengucapkan terima kasih beberapa kali di
hati,dan aku punya keyakinan bahwa ia mengerti isi hatiku.
“Ya, ya, ya, nggak perlu berulang-ulang
dong ngucapin terima kasihnya. Satu kali aja udah cukup. Itu udah mewakili
segalanya. Lagian aku capek harus bolak-balik bilang ‘sama-sama’,” gerutunya.
Aku tergelak.
Nah ‘kan? Sesuai yang kuharapkan, ia bisa
membaca tidak hanya pikiranku, tapi juga isi hatiku. Sungguh seseorang yang
ajaib.
Keadaan hening lagi. Kami kembali asyik
dalam pikiran kami masing-masing.
“Boleh
aku menanyakan sesuatu?” aku membuka suara, tanpa melihat ke arahnya.
“Hm?” jawabnya singkat.
“Kamu bisa melihat masa depan, maukah
kamu meramalkan sesuatu padaku?” kali ini aku menatapnya. Dante balas
menatapku, datar. Tak ada keterkejutan dalam ekspresinya.
“Tanyakan saja,” akhirnya ia menjawab.
Aku terdiam sesaat.
“Apa teman-temanku akan kembali padaku?
Sonya dan Fifi? Bisakah kami berbaikan lagi?”
Ia tak menjawab.
“Dan Olla. Apa suatu saat nanti kami
akan ketemu lagi?”
Ia kembali tak menjawab. Perlahan ia
membuang pandangannya kembali ke tengah danau.
“Aku nggak tahu,” jawabnya, pelan.
Aku terkekeh.
“Bohong. Kamu tahu, hanya saja kamu
nggak ingin memberitahuku, ya ‘kan?” tukasku.
“Ada beberapa hal yang memang nggak
boleh untuk diberitahukan, Ki. Itu
takdirmu, dan kamu harus menjalaninya, tak ada yang bisa mengubahnya,” jelasnya.
Ia memasukkan tangannya ke saku celananya.
“Dulu waktu kamu menyelamatkanku dari
runtuhnya atap gedung, bukankah itu sama saja dengan mengubah takdir? Bukankah
semestinya aku sudah celaka?” tanyaku lagi yang kemudian disambut dengan
gelengan kepala oleh Dante.
“Enggak. Ada beberapa hal yang bisa di
rubah. Dan kamu salah satunya. Aku hanya tahu bahwa kamu harus selamat, itu
saja,” ia menjawab. Tetap dengan tatapan mengarah ke tengah danau.
“Kalau aku dan Rangga? Bagaimana kisah
kami akhirnya?”
Dante terdiam lagi.
“Apa yang ingin kamu ketahui?” ia
membuka suara.
“Apa ... aku dan dia akan bersama? Apa
kami ditakdirkan satu sama lain?” ulangku.
Dante terdiam. Aku menyaksikan rahangnya
mengeras. Tatapan matanya menerawang. Kali ini ... kosong. Ada yang bergejolak
di sana. Seperti semacam pergolakan batin.
“Aku nggak tahu,” akhirnya ia menjawab
pendek.
Aku kembali terkekeh.
“Kamu bohong lagi ‘kan?” sindirku.
“Kalo begitu? Apa yang kamu tahu? Pasti
ada ‘kan? Sesuatu hal, tentang diriku, tentang temanku, tentang Rangga, apa
saja?” tanyaku lagi.
Dante tak menjawab lagi. Ia terdiam,
lebih lama.
Putus asa karena tak mendapat tanggapan,
aku membuang pandanganku ke tengah danau.
Hening lagi.
“Aku memang nggak bisa memberitahumu
tentang Olla, Sonya ataupun Fifi. Aku juga nggak bisa memberitahumu tentang
Rangga. Tapi aku bisa memberitahu satu hal,” ucap Dante kemudian. Suaranya
dalam, dan lirih.
Kami sama-sama menoleh dan tatapan kami kembali
beradu.
“Apa itu?” tanyaku pelan.
Tatapan Dante berubah menjadi tatapan
yang tak terbaca olehku. Aku tak tahu harus bagaimana menafsirkannya. Hangat,
lembut, menenangkan, atau ... entah apa?
Dante menelan ludah. Aku berdebar.
“Aku hanya tahu bahwa ... kelak, di masa
yang akan datang, kita akan sering melakukan ini,”
Ini?
Dan yang dimaksud dengan ‘ini’ adalah ... ciuman!
Aku mematung dan sempat merasakan dunia
berputar sekian detik ketika jemari Dante menyentuh daguku lalu cowok jangkung
itu mendaratkan sebuah ciuman lembut di bibirku....
Ya Tuhan ....
Ya
Tuhan ....
Sambikerep,
19-09-2014
12.24
Wiwin
W.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar