Bab 19
Love Hurts
I just can’t believe it!
Ya,
benar-benar tak dapat kupercaya bahwa dalam waktu yang relatif tak terlalu
lama, aku mencium dua cowok yang berbeda dan benar-benar sebuah ciuman yang ...
berbeda.
Berbeda? Yup.
Ayolah, aku sudah 17 tahun ke atas dan
sebentar lagi lulus es-em-a. Jadi aku akan tetap membahasnya. Oke?
Well,
di mulai dari ciuman Rangga dulu. Haha, aku seperti mengerjakan tugas procedure
text dalam pelajaran bahasa inggris hingga harus menjelaskannya satu persatu.
Tapi apa boleh buat. Aku akan tetap menganalisanya!
Okeiiii, ciuman Rangga yang mendadak dan
tak dapat ku duga tetap saja bisa dikatakan manis, tapi tak romantis. Ibaratnya
nih ya, aku lagi minum es jeruk di tengah badai salju dengan suhu di bawah nol
derajat celcius! Bisa nggak dibayangin?
Es jeruk memang terasa manis, dingin dan
menyegarkan (Tentu saja, ‘kan itu salah satu minuman favoritku), tapi jika
diminum pada cuaca yang dingin, tentu rasanya ... aneh. Tidak pada tempatnya,
itu maksudku.
Jadi, ciuman itu terasa tak .... tepat.
Mungkin karena waktu itu Rangga masih berpacaran dengan Fifi sehingga ada rasa
bersalah yang menghinggapiku, dan ciuman itu, mungkin, tak seharusnya terjadi.
Dan
untuk Dante...
Ciuman
itu .....
Mmmm,
gimana ya?
Aduh,
sumpah aku nggak tahu!
Aku
tak bisa menjelaskannya!
Aneh...
Aku memang tak mencintainya. Selama ini
aku hanya mengaguminya sebagai sahabat dan sebagai seseorang yang senantiasa
ada bilamana kubutuhkan. Tapi, entahlah, aku hanya merasa bahwa ciuman itu
terjadi begitu ... alami. Dan apa
adanya. Pokoknya, apa adanya, titik.
“Kelak,
di masa yang akan datang, kita akan sering melakukan ini...”
Kalimat itu terus saja terngiang di
telingaku. Apa maksudnya? Apa itu berarti kami akan bersama-sama di masa yang
akan datang? Atau ... kami berjodoh. Ah, itu tidak mungkin. Aku ‘kan mencintai
Rangga? Tapi __
Sebenarnya aku ingin menanyakan hal itu
pada Dante. Menanyakan ‘ramalannya’ tentang masa depan kami. Tapi sepertinya ia
enggan membahasnya. Setelah ciuman itu terjadi, atau ketika kami bertemu di
sekolah, sorot matanya seakan mengatakan : Tak
ada yang perlu dibahas. Biarkan semua mengalir apa adanya ....
Nah loh, hanya dari sorot mata saja aku
tahu apa yang dia katakan. Aku juga heran. Kenapa sekarang aku seperti punya
kemampuan untuk membaca pikirannya? Aku bahkan sering mengetahui apa yang ada
di pikirannya walau hanya dari tatapan mata.
Apa-apaan itu?
Telepati?
Ini gila.
Ini bullshit.
Semakin banyak hal nggak masuk akal yang
menderaku, aku harus siap-siap masuk rumah sakit jiwa!
Sudahlah, membiarkan semua mengalir apa adanya, ya?
Okay,
I’ll do it..!
***
Pengumuman kelulusan.
Aku
ternganga beberapa saat di depan papan pengumuman ketika mengetahui bahwa Dante
dan Rangga lulus dengan nilai tertinggi. Nilai mereka sama persis. Nilai yang
nyaris sempurna.
“Whoa, aku bener-bener nggak nyangka
kalo ternyata Dante itu pinter,” Jihan nimbrung di sampingku. Aku
manggut-manggut.
“Aku juga nggak nyangka. Emang sih
Rangga pinter sejak dulu, tapi kalo Dante, well, dia bahkan jarang belajar,”
sambungku.
Semoga dia tak menggunakan kemampuan
cenayangnya untuk mendapatkan bocoran soal. Gerutuku dalam hati.
“I’m
listening,”
Suara itu mengagetkan kami. Serta merta
aku dan Jihan menoleh dan menemukan Dante sudah berdiri di belakang kami. Tangannya
bersedekap di dada dengan angkuh.
“Maksudnya kalo Rangga dapat nilai bagus
itu sesuatu hal yang wajar, sementara kalo aku yang dapat nilai bagus, nggak
wajar gitu?” Dante menatap ke arahku dan ke arah Jihan secara bergantian. Ada nada protes pada
kalimatnya. Kami nyengir.
“Hehe, maksudnya bukan gitu, Dan. Tapi
kami ‘kan jarang lihat kamu belajar selama di kelas,” ucap Jihan. Aku
mengangguk tanda setuju.
“Iya tuh, kami emang jarang lihat kamu
belajar di kelas. Yang ada malah, kamu duduk-duduk doang, atau kadang-kadang
... ketiduran. Setiap kali aku maen ke rumahmu, kamu malah asyik maen video
game,” tambahku.
Dante memutar bola matanya dengan kesal.
“Ya kamu ‘kan nggak nungguin aku selama
24 jam, Ki. Gimana kamu bisa tahu kalo aku nggak belajar?” ia kembali protes.
Tatapan matanya dalam ke arahku. Dan lagi-lagi, aku seperti mampu ‘membaca’
tatapan itu. Sorot mata itu seakan mengatakan : aku tidak menggunakan kekuatan cenayangku untuk hal-hal sepele seperti
itu, oke?
Aku menelan ludah. Apa-apaan ini? Kok
aku seperti mendengarkannya secara langsung mengucapkan kalimat itu?
“Kalo mau berantem, berantem berdua aja
ya, aku nggak ikut-ikut, permisi,” Jihan ngacir sebelum aku mengatakan apa-apa.
“Iya, iya, sori. Jangan ngambek dong,
please,” ucapku lagi ke arah Dante. Cowok itu mendengus sesaat lalu beranjak.
“Yuk, ke kantin,” ucapnya tanpa banyak basa-basi.
“Kamu yang traktir?”
“Yo’i,”
“Siap!” teriakku seraya berlari-lari
kecil menyamai langkahnya. Aku sempat mendengar Dante terkekeh tipis. Nih orang
emang kayak nggak punya urat tersinggung deh...
“Jadi kamu akan menerima beasiswa itu?”
tanyaku.
“Beasiswa apa?” Dante balik bertanya.
“Biasanya ‘kan 3 lulusan tertinggi di
sekolah kita selalu mendapatkan beasiswa untuk bisa belajar gratis di
Universitas Indonesia,” jelasku.
Dante mengangkat bahu cuek.
“Nggak tertarik,” jawabnya pendek. Aku
melotot.
“Kok bisa? Banyak lho yang rela jungkir
balik untuk bisa belajar gratis di kampus itu. Kamu dapat kesempatan, eh, malah
disia-siakan,” ucapku.
“Ya itu ‘kan orang lain. Aku enggak.
Lagian aku sudah memutuskan kok mau kuliah di mana,” jawabnya. Kami terus
berjalan beriringan menuju kantin.
“Mana?” tanyaku antusias.
“Kampus terbesar di kota ini,” jawabnya
lagi. Aku menatapnya.
“Kok bisa sama sih? Aku dan Jihan rencananya
juga mau kuliah di kampus itu,” jawabku, lebih antusias. Dante balas menatapku.
“Oh ya? Sama dong,” jawabnya pendek.
Aku menatapnya dengan penuh selidik.
“Jangan-jangan... kamu sengaja kuliah di
kampus itu untuk mengikutiku ya?” semprotku.
Dante tertawa.
“Kamu ge-er deh,” jawabnya seraya
mengacak-acak rambutku.
“Lha terus, kenapa kamu memilih kuliah
di Universitas biasa jika kenyataannya kamu punya kesempatan untuk kuliah di
Universitas nomor satu di negeri ini?” tanyaku lagi.
Dante kembali terkekeh.
Ia menghentikan langkahnya, aku juga. Ia
menatapku dalam.
“Kamu sendiri, kenapa memilih kuliah di
kampus itu. Aku tahu kok kamu tuh nggak bodo-bodo amat. Kamu tuh pinter, Ki.
Ada banyak kampus yang lebih bonafit yang lebih cocok buat kamu, tapi mengapa
kamu dan Jihan tetap memutuskan kuliah di sini, di kota ini, di kampus yang
sebetulnya bisa dikatakan ... biasa,” ia balas bertanya.
Aku terdiam sesaat.
“Karena aku cinta dengan kota
kelahiranku. Aku suka dengan kota ini.
Kota kecil yang nyaman dan banyak kenangan. Itulah alasannya, aku
memilih untuk tetap berada di sini,” jawabku.
Setidaknya aku menjawab jujur. Aku
memang tak berniat pergi dari kota ini. Selain karena aku memang mencintai kota
kelahiranku, aku dan Jihan punya firasat
bahwa suatu saat nanti, entah kapan,
sahabat kami akan kembali lagi ke sini, ke kota ini, ke base camp kami
...
Dante tersenyum lembut.
“Sama dong, Ki. Alasanku untuk memilih
kuliah di sini adalah karena aku mencintai kota ini ...” ucapnya.
Dan
kamu.
Aku
mematung. Aku mendengarnya. Dan kamu.
Siapa yang barusan bicara? Dante? Itu suaranya. Tapi ...
“Tadi kamu bilang apa?” tanyaku.
Dante mengernyit.
“Apa?” ia balik bertanya.
“Kamu mencintai kota ini dan ... dan
apa?” tanyaku lagi.
Dante menggeleng tak mengerti.
“Apaan sih? Udah deh, yuk, aku lapar,”
ia beranjak.
Aku sempat mematung sebelum akhirnya
melangkahkan kakiku mengikutinya.
Sesaat setelah kami tiba di kantin,
phonselku berbunyi. Pesan masuk dari Rangga.
Sepulang
sekolah nanti aku ingin bicara. Penting. Tulisnya.
“Siapa?” Dante bertanya.
“Rangga,” jawabku.
Ia manggut-manggut.
“Ada masalah?”
Aku menggeleng.
“Dia hanya ingin bicara,” jawabku
pendek.
Dante kembali manggut-manggut. Dan kami
menghabiskan sisa istirahat siang itu di kantin.
***
Aku memasuki rumah Dante dengan
tergesa-gesa. Aku bahkan nyelonong begitu saja memasuki ruang tamu tanpa
mengetuk pintu. Dan tepat ketika itu, kak Rea muncul dari ruang tengah.
“Pelan-pean dong, Ki. Kamu bisa nabrak
pintu kalo cara masuknya kayak gitu,” ia menyapa sambil terkekeh. Karena
terlalu sering kemari, kak Rea sudah menganggapku sebagai adiknya sendiri. Aku
bahkan sering kemari tanpa harus mengetuk pintu dan langsung aja nyelonong ke
kamar Dante. Hubungan yang aneh bukan? Seolah kami sudah bersahabat sejak kecil,
sama hal nya seperti persahabatanku dengan Rangga.
Aku nyengir sambil membalas sapaan kak
Rea.
“Dante di kamar ‘kan kak?” tanyaku.
Perempuan yang telah menyelesaikan pendidikan sarjananya itu mengangguk.
“Iya, langsung aja ke sana. Tapi awas,
jangan lari-lari kayak gitu. Kakak nggak mau kamu jungkir balik kayak
anak-anak,” ia mewanti-wanti.
“Sip,” jawabku. Dan tanpa menunggu lagi,
aku segera beranjak menaiki tangga, menuju kamar Dante.
Ketika sampai di sana, Dante sedang
duduk di meja belajarnya. Ia tampak mencoret-coret sesuatu di sebuah buku. Biasanya
ia menggambar sketsa, itu hobinya.
“Dante.” Panggilku antusias.
Cowok itu menoleh.
“Ya, mau cerita sesuatu ‘kan?” ia segera
bisa menebak. Bahkan tanpa kemampuan cenayangnya, ia mulai hafal jika
kebiasaanku adalah : mencari dirinya hanya untuk menceritakan sesuatu atau
sekedar mengeluarkan uneg-uneg.
“hu-uh,” aku mengangguk. Aku
mendekatinya sementara ia tetap duduk santai di kursi di depan meja belajarnya.
“Biarkan aku menceritakan ini sampai
selesai dengan mulutku sendiri, oke? Jangan menggunakan kekuatanmu untuk
membaca pikiranku,” aku seperti memperingatkan.
Ia tersenyum dan mengangguk lembut.
“Silahkan,” jawabnya.
Aku mondar-mandir sesaat sebelum
akhirnya benar-benar menghadap dirinya.
“Tadi sepulang sekolah aku ketemuan
dengan Rangga. Kami berbicara banyak. Dan ...” kalimatku terhenti.
“Dan ....?” Dante menanti dengan tak
sabar.
Aku menelan ludah.
“Dan aku jadian dengannya,” jawabku
kemudian.
Dante tampak tertegun. Pensil di
tangannya menggelinding ke lantai.
Hening sesaat.
“Sori,” ucapnya seraya bangkit lalu
memungut pensil tersebut kemudian memasukkannya ke kotak pensil.
Ia menatapku lalu tersenyum dengan kaku.
“Jadi, kalian resmi berpacaran
sekarang?”
Aku mengangguk.
“Selamat kalo begitu,” ucapnya seraya
menyandarkan pinggulnya di pinggiran meja.
“Tapi ... kamu tidak akan meninggalkanku
sebagai sahabatmu ‘kan?” tanyaku ragu.
Dante menatapku heran.
“Maksudnya?”
Aku meremas-remas tanganku yang terasa
berkeringat.
“Yaa... kamu tahu sendirilah apa yang
terjadi pada Sonya, Fifi .... Aku harap kamu nggak meninggalkanku dengan
keputusan yang ku ambil ini,”
Dante tersenyum.
“Aku nggak sama dengan mereka, Ki.
Percayalah, keputusan apapun yang kamu ambil, kita akan tetap jadi sahabat yang
baik. Bahkan jika kamu menolakku puluhan kali, aku akan tetap dengan senang
hati menjadi sahabatmu,” ucapnya lagi, dengan nada lembut.
Aku mematung.
Menolakmu?
“Menolakmu?” Aku mengulangi kalimat itu.
Dante kembali tersenyum canggung. Ia
mengalihkan tatapannya ke lantai, lalu kembali manatapku dalam.
“Aku tidak mencium cewek secara
sembarangan, Ki. Aku hanya mencium cewek yang benar-benar ku cintai. Aku
mengira ciuman itu mampu menahanmu. Tapi ternyata ...” kalimatnya terhenti.
“Ah, sudahlah. Tak perlu di bahas lagi.
Semua sudah berjalan sebagaimana mestinya, apa adanya. Dan memang beginilah
adanya. Aku tak menyesalinya,” ujarnya.
Ia beranjak mendekatiku, lalu
menggenggam tanganku dengan lembut.
“Percayalah, kita akan tetap menjadi
sahabat baik. Aku pastikan itu,” ia seperti berjanji pada dirinya sendiri.
Tatapan kami terkunci dan keadaan hening
kembali.
Menolaknya?
Ciuman itu adalah ungkapan cinta
darinya?
Tiba-tiba aku seperti tak mengenali
diriku sendiri....
Nganjuk, 23-09-2014
11.59
Wiwin W.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar