Selasa, 08 September 2015

Cerpen Kiki Kaka 21 : Let him go ...



Bab 21
Let him go...

          Akhirnya, base camp itu kembali ‘berpenghuni’. Maksudku tidak benar-benar berpenghuni karena baru ada aku, Jihan dan Olla – minus Fifi dan Sonya, tentu saja. Tapi setidaknya itu jauh lebih baik daripada beberapa tahun belakangan ini tempat ini vakum. Ya, memang setelah persahabatan kami berantakan, aku dan Jihan lebih suka nongkrong di kampus atau di kafe. Kadang-kadang pula di rumah Dante atau sekedar  bersantai di rumah Rangga. Kalo toh kami di base camp ini, itupun sekedar mampir untuk bersih-bersih.
          Dan sore itu benar-benar menjadi momen yang berbeda karena kami bertiga duduk-duduk santai di lantai, di atas karpet bergambar Doraemon milik Jihan, tepat seperti yang biasa kami lakukan sewaktu masih es-em-a. Kami bercerita banyak hal. Seolah-olah kami nggak ketemu selama ratusan tahun. Halah...
          Olla mantap bercerai dengan Joe. Ia juga sudah berbaikan lagi dengan orang tuanya. Tadinya orang tua Olla sempat marah dan tak mau menerima Olla kembali. Tapi begitu mereka melihat Daniel, mereka luluh secara otomatis. Mereka bisa menerima kembali kehadiran Olla sekaligus Daniel kecil yang lucu dan imut. Mereka bahkan mau memfasilitasi Olla untuk membuka toko kecil-kecilan agar ia bisa mandiri dan membuka lembaran hidup yang baru.
          Aku juga menceritakan semua tentang Fifi dan Sonya kepada Olla. Semuanya, tanpa kecuali! Termasuk soal kak Jefry, soal Rangga, keretakan di antara aku dan Fifi, Olla berhak tahu semuanya...
“Kamu boleh menghakimiku, La. Jika kamu menganggap akulah penyebab Sonya dan Fifi pergi, aku akan terima. Tapi setidaknya, kamu sudah dengar keseluruhan ceritanya dari mulutku sendiri,” ucapku.
Olla tersenyum. Ia beringsut dan menggenggam tanganku.
“Iya, kemarin Jihan juga sudah cerita dikit soal itu. Aku nggak menghakimimu kok, Ki. Aku yakin bukan kamu penyebab persahabatan kita berantakan. Apa yang terjadi di antara kita semua, itu adalah bagian dari hidup kita. Dan tugas kita selanjutnya adalah menjalani bagian hidup itu dengan sabar. Ingat, aku sudah melewati bagianku, melewati masa-masa sulit bersama Joe dan Daniel,  dan aku sabar menghadapinya. Segala sesuatu pasti ada titik temu, yakinlah itu,” ucapnya lembut.
“Trims,” jawabku. Ia mengangguk.
“Dan selamat karena sebentar lagi kamu akan bertunangan,” ucap Olla lagi. Aku mengangguk lagi. Kami tertawa.
“Nah, kamu heran nggak sih, La, dengan Kiki yang sekarang,” sela Jihan.
“Heran apa?” Olla menoleh ke arah Jihan yang tengah sibuk mengupas buah mangga.
“Nih anak __” Jihan menunjuk ke arahku dengan pisau buah hingga sempat membuatku jejeritan, “Sori,” ia nyengir. Tapi toh kembali menunjukku dengan pisau buah itu lagi.
“Nih anak waktu es-em-a ‘kan nggak populer- populer amat. Dekil, cuek, jelek, nggak laku lagi. Eh, sekarang begitu masuk kuliah, seabrek tuh cowok-cowok yang mau jungkir balik memperebutkan cintanya. Kurang kerjaan banget deh ya cowok-cowok itu, di lihat dari mana coba?” ucapnya kesal. Aku mendelik.
“Heh, bilang aja kamu cemburu karena sekarang kamu yang nggak laku. Aku jelek? Aku dekil? Helloooo, aku tuh manis, Jei. Wajar dong kalo banyak cowok jungkir balik memperebutkan cintaku, ngiri ya?” omelku.
Jihan mencibir, Olla tertawa. Sungguh, senang sekali bisa mendengar tawanya lagi...
“Beneran? Wuih, hebat dong... dulu waktu masih es-em-a, si Fifi ‘kan yang punya penggemar paling banyak. Secara dia ‘kan manis, pinter, pindem, baik, kaya lagi. Jadi kayaknya gelarnya bakal jatuh ke tanganmu nih?” Olla terkekeh.
Aku ikut terkekeh.
“nggak apa-apa. Asal gelar miss complain nggak jatuh ke tanganku aja, najis,” sergahku. Jihan melotot sementara Olla kembali tertawa.  
“Yang naksir Kiki ganteng-ganteng gak?” tanya Olla pada Jihan.
Jihan mengangguk mantap.
“Nggak bisa dipercaya deh, La. Tapi sumpah, Kiki tuh di kelilingi cowok-cowok berkualitas. Ada calon pengacara, si Rangga, yang bentar lagi jadi tunangannya dia. Terus ada si Dante, calon dokter yang tetep cinta mati sama dia tanpa syarat dan ketentuan yang berlaku, terus ... si Yoga, mantan cowok paling cakep di es-em-a kita dulu, sekarang ia punya bisnis sendiri lho. Hebat ‘kan? Terus ada lagi polisi ganteng ....”
Plukk, aku segera melempar bantal sofa ke arahnya berharap agar dia berhenti ngoceh.
“Asal bukan ganteng-ganteng serigala aja,” teriakku. Aku melotot ke arah Jihan lalu menggeleng samar. Berharap agar ia tidak menyebutkan nama Ronald. Bagaimanapun juga, Ronald adalah mantan Olla. Dan aku tidak ingin Olla merasa nggak nyaman lagi.
Kedua mata Jihan mengerjap. Dan ia berhenti mengoceh. Syukurlah ....
“Kalo kamu, Jei? Gimana?” Olla bertanya tiba-tiba.
Jihan manyun.
“Aku belum laku,” ucapnya kemudian dengan nada menyedihkan tapi lebay. Aku ngakak. Olla juga.

***

          Rangga menggandeng tanganku dengan erat dan kami melangkah memasuki toko perhiasan tersebut dengan langkah ringan. Sore itu, kami berniat mengambil cincin pertunangan kami yang telah selesai dipesan.
Ketika seorang pegawai menyambut kami dengan ramah dan mengambilkan sepasang cincin pesanan kami di kotak beludru warna merah, wajah Rangga berbinar. Dan aku yakin wajahku pun begitu.
“Ingin dipakaikan sekarang?” ia bertanya sambil menunjukkan cincin tersebut. Aku tersenyum dan mengangguk. Dan serta merta Rangga mengambil salah satu cincin yang lebih kecil lalu segera menyematkan di jari manisku, kemudian aku juga melakukan hal yang sama. Mengambil cincin yang satunya lalu menyematkannya ke jari manis Rangga. Kami tertawa sambil saling menunjukkan cincin di jemari kami.
“Well, karena sudah ada cincin, berarti hari ini aku resmi melamarmu. Sori ya kalo kurang romantis,” ucap Rangga. Aku kembali tersenyum.
“This is the best thing, don’t worry,” jawabku.
Setelah mengucapkan terima kasih pada pegawai yang melayani kami, kami kembali bergandengan tangan ketika melangkah keluar dari toko tersebut untuk selanjutnya menuju mobil yang terparkir di seberang jalan.
Sebelum menjalankan mobil, Rangga sempat mendaratkan sebuah ciuman lembut di keningku.
“Aku bahagia, Ki,” bisiknya. Aku tersenyum.
“Aku juga,” jawabku.
Dan segera mobil yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan sedang di jalanan raya. Selama dalam perjalanan, tak henti-hentinya kami saling bercanda. Rangga tertawa, lepas. Kedua matanya berbinar ceria. Dan senyum lembut juga tak pernah hilang dari bibirnya. Entah itu hanya perasaanku saja atau apa, tapi hari ini Rangga benar-benar terlihat tampan luar biasa...
“Aku mencintaimu, Ki,” Rangga menggenggam tanganku dengan satu tangannya, sementara tangan yang satunya berada di kemudi.
“Aku juga,” jawabku.
“Mencintaimu dengan sepenuh hatiku,” ucapnya lagi.
“Aku juga,” jawabku lagi.
Rangga terkekeh.
“Kok sedari tadi ‘aku juga, aku juga’ sih?” tukasnya. Aku ikut terkekeh.
“Aku juga mencintaimu, dengan sepenuh hatiku, puas?” godaku. Rangga mengangguk.
“Puas,” jawabnya pendek. Di selingi tawa kecil.
Tangan kami masih bertaut ketika tiba-tiba phonselku berdering.
“Sebentar,” ucapku. Dan dengan berat hati, Rangga melepaskan pegangan tangannya.
Aku meraih tas ku, mengobrak-abrik isinya lalu meraih phonsel kecil yang nyelempit di bagian paling bawah tasku.
Aku mengambilnya dan segera menatap ke layar. Dante ....
“Halo, Dante ...” sapaku segera.
Ki! Dimanapun kamu berada sekarang, segera menyingkir dari situ!!” aku mendengar Dante berteriak. Nafasnya memburu.
“Ada apa sih?” tanyaku lirih.
Menyingkir dari situ!
“Tapi ...” kata-kataku terputus ketika tiba-tiba saja aku merasakan mobil kami oleng, phonselku terjatuh dan otomatis aku berpegangan pada dashboard. Suara rem berdecit, Rangga membanting kemudi ke arah kiri, dan entah darimana tiba-tiba saja sebuah dump truck dari arah berlawanan melaju dengan kencang ke arah kami. Kedua mataku sempat mengerjap sebelum akhirnya mobil kami saling bertabrakan. Hantaman itu terdengar begitu keras. Aku memekik. Dan sekian detik selanjutnya .... gelap.

***

          Aku mendengar tangis. Aku juga mendengar namaku dipanggil berulang-ulang. Siapa? Siapa yang menangis? Siapa yang memanggilku?
Aku ingin membuka mata, tapi tak bisa.
Suara-suara itu terus berseliweran di kepalaku. Tangisan dan panggilan yang tak bisa ku ketahui dari siapa.
Susah payah aku berusaha lagi untuk membuka mataku. Dan seketika kepalaku seperti di hantam baja. Sakit. Sakit luar biasa.
Ada apa denganku? Apa aku mati?
“Kiki,”
Kembali seseorang memanggil namaku dengan lembut. Itu suara mama!
Entah itu nyata atau mimpi, tapi aku seperti melihat mereka. Ada Mama, Papa, Olla, Jihan, Dante, Sonya dan Fifi.
Sonya dan Fifi ..? Mereka di sini?
Ah, aku pasti bermimpi.

***

          Aku mengerjap lalu membuka mata. Ya, benar-benar membuka mata. Pening mendera tapi perlahan namun pasti aku mampu melihat sekelilingku dengan jelas. Selang infus terpasang di tiang di sisi ranjangku sementara Mama duduk di kursi di sisi yang satunya. Papa nampak berdiri di ujung ranjang sambil terus menatapku dengan tatapan cemas. Dan ada Dante di sisinya. Raut mukanya pucat pasi. Ia juga tampak cemas dan gelisah.
“Syukurlah kamu sudah sadar sayang, kami cemas sekali,” ucap Mama dengan mata berkaca-kaca. Aku menatapnya lekat. Bingung.
“Kamu lupa dengan apa yang terjadi padamu? Kamu mengalami kecelakaan kemarin sore,” ucapnya lagi. Aku tak menjawab. Perlahan aku mengangguk pelan. Ya, aku ingat bahwa aku mengalami kecelakaan mobil. Aku menelan ludah.
“Lukaku parah?” tanyaku lirih.  
Mama menggeleng.
“Kepalamu mengalami sedikit benturan. Keningmu harus dijahit. Tapi tak apa-apa,” jawab Mama.
“Ada yang patah?” tanyaku lagi. Mama menggeleng.
Aku memejamkan mata sesaat untuk mengurangi rasa sakit yang menderaku. Lalu membuka mata untuk selanjutnya tatapan mataku beradu dengan beberapa temanku yang berdiri tak jauh dari jendela, mereka mengawasiku.
Olla, Jihan, Sonya dan Fifi ....
Kepalaku berdenyut-denyut.
“Sonya? Fifi?” tanpa sadar aku menggumam. Kedua sahabatku itu hanya mematung. Kedua mata Sonya tampak berkaca-kaca. Sementara Fifi memalingkan wajahnya hanya untuk menyembunyikan tangisnya.
“Kalian di sini?” tanyaku lagi.
Sonya tampak ragu menjawab.
“Dante memberitahu kak Jefry kalo kamu mengalami kecelakaan. Lalu kak Jefry memberitahuku dan aku pun langsung memberitahu Fifi. Selama ini aku dan Fifi masih sering berkomunikasi,” jawabnya agak terbata.
Aku terdiam.
Tidak.
Ada sesuatu yang tak beres.
Jika hanya karena aku mengalami kecelakaan, Sonya dan Fifi takkan berada di sini!
“Rangga?” tanyaku lagi. Aku menatap sekelilingku tapi sosok itu tak ada.
“Rangga ... dia bagaimana?” suaraku gemetar.
Tak ada jawaban.
Aku menatap mamaku, berharap mendapat jawaban. Tapi ia bangkit, menuju ke pelukan papa lalu terisak di dadanya. Sonya menggigit bibirnya keras-keras tanpa melihat ke arahku. Fifi juga masih berpaling dariku, dengan bahu terguncang, tangisnya kian menjadi.
Sementara Olla dan Jihan hanya menunduk tak bersuara.
Tatapan mataku beralih ke arah Dante.
“Rangga ... dia bagaimana?” tanyaku lagi. Dante beranjak mendekatiku. Ia mendekatkan wajahnya ke arahku lalu mengusap pipiku dengan lembut menggunakan jemari tangannya. Tatapan kami beradu. Ada yang tak beres!
“Ki ...” panggilnya lirih.
Aku mengangguk. Ya, katakanlah sesuatu...
“Tabahkan hatimu ya ....” bisiknya.
Rangga meninggal...
Tubuhku membeku seketika.
Kalimat itu tak terucap di mulut Dante. Tapi aku bisa mendengarnya jelas.
Aku menggeleng pelan.
“Itu nggak mungkin ...” desisku.
Dante mengangguk.
“Dia meninggal, Ki. Dokter tak mampu menyelamatkannya. Benturan di kepalanya terlalu parah,”
Jantungku seperti berhenti berdetak sekian detik.
Rasa sakit menjalar dari ujung kaki hingga kepala. Aku merasakan Dante meremas tangan dan lenganku dengan lembut, bermaksud untuk menenangkanku. Tapi ia tak berhasil.
Bahuku terguncang. Dan tangisku pecah.
“Ranggaaaaa....!!!!”

***

          Aku berharap ini hanya mimpi. Berharap bahwa aku akan terbangun dengan sakit kepala sesaat karena mimpi buruk, lalu menyadari bahwa hari sudah pagi.
Tapi ternyata tidak.
          Sekarang, di sinilah aku. Di depan makam Rangga.
Dokter melarangku menghadiri pemakamanya karena keadaanku belum memungkinkan untuk keluar dari rumah sakit. Barulah setelah 3 hari, aku bisa ke sini.
Duduk bersimpuh di samping makamnya. 
Aku mematung, berjam-jam. Tanpa mampu berkata apa-apa. Tak ada air mata. Tak ada isak tangis. Tubuh dan jiwaku terlalu sakit hingga aku tak mampu melakukannya lagi.
Olla dan Jihan sempat menemaniku beberapa saat. Tapi aku segera menyuruh mereka pulang. Aku bilang pada mereka bahwa aku perlu waktu untuk menyendiri dan mereka menurutinya.
Tapi, Dante masih ada di sana .....
Berdiri mematung, tak jauh dariku.
“Pulanglah, Dante. Aku ingin sendiri, di sini, beberapa saat lagi,” ucapku lirih tanpa melihat ke arahnya.
“Tidak,” ia menjawab cepat.
“Aku akan pergi, kalau kamu sudah siap untuk pergi dari sini,” ia menjawab lagi.
Aku mendongak lalu menatapnya.
“Please, Dante. Aku butuh waktu untuk menyendiri dan berpikir,” ucapku lagi.
Dante menggeleng.
“Tidak,” jawabnya.
“Bahkan jika kamu mengutukku, membenciku, aku takkan pernah meninggalkanmu di sini sendirian. Pegang kata-kataku,” ucapnya lagi.
Aku berpaling dan kembali menatap makam Rangga.
Setelah hampir satu jam kemudian aku menarik nafas panjang.
“Oke, aku sudah siap untuk pergi,” ucapku. Aku bangkit. Aku sempat nyaris terjungkal karena kakiku kram akibat terlalu lama bersimpuh, tapi Dante, sekali lagi, mampu menahan tubuhku dengan sigap, hingga aku tak terjatuh.
“Bisa bawa aku ke danau?” tanyaku.
Dante hanya mengangguk tanpa bersuara.
Ia menggamit bahuku dan membawaku ke mobilnya. Aku sempat ragu sesaat.
“Aku akan menyetir dengan hati-hati,” ujarnya. Ia membuka pintu mobil lalu membantuku duduk di kursi penumpang.
Mobil itu melaju perlahan. Ia membawaku ke danau, tempat persembunyian Dante, dan juga tempat persembunyianku, tempat yang biasa kami datangi jika ada masalah mendera kami.
          Aku menyusuri padang ilalang kemudian menyusuri jalan setapak berkerikil untuk selanjutnya menuju pinggir danau. Rasa perih di kakiku karena terkena kerikil tajam menyadarkanku bahwa ternyata aku bertelanjang kaki. Aku tak ingat untuk memakai sepatu ataupun sandal.
Aku kembali mematung di pinggir danau dengan tatapan menerawang ke tengah danau yang tenang. Aku merasakan kehadiran Dante di sisiku yang setia membiarkanku dalam diam.
“Kamu tahu ‘kan kalo kecelakaan itu akan terjadi?” tanyaku lirih. Tanpa menolah ke arah Dante.
“Ya, aku hanya terlambat mengetahuinya. ‘Tanda’ akan peristiwa kecelakaan itu baru kudapatkan beberapa saat sebelum kecelakaan itu terjadi. Jadi, maaf karena aku tak mengetahuinya lebih awal,” suara Dante tampak parau.
Aku menelan ludah.
“Jadi, kamu tahu kalo Rangga akan meninggal?”
“Tidak,” ia kembali menjawab.
“Lalu, apa yang kamu ketahui?”
Dante tak segera menjawab.
Aku kembali menoleh dan menatapnya dengan dalam.
Katakan apa yang kamu ketahui, Dante ...
“Kalian saling mencintai, tapi tidak ditakdirkan untuk bersama ...” ucapnya kemudian.
Tidak ditakdirkan bersama?
Aku dan Rangga tidak ditakdirkan untuk bersama meski saling mencintai?
Dante mengangguk samar.
“Kalian akan tetap berpisah. Ku pikir kalian akan sekedar putus, atau jika menikah, kalian akan bercerai. Aku benar-benar tak tahu bahwa kenyataannya akan seperti ini. Aku benar-benar tak tahu bahwa Rangga akan meninggalkan kamu, meninggalkan kita, selamanya,” lanjutnya lagi.
Aku menelan ludah. Pandanganku mulai kabur karena terhalang oleh air mata.
Bibirku bergetar.
“Rangga .... tak suka melihatku menangis. Jadi aku benar-benar tak bisa ... menangis di hadapannya,” suaraku parau.
Dante menggigit bibirnya. Perlahan ia mengangguk.
“It’s oke. Kamu bisa menumpahkan semua tangismu di sini. Aku tak melarangmu,” ucapnya pelan.
Dan aku ambruk. Kedua lututku menghantam dinginnya bebatuan danau. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku dan tangisku pecah. Aku terisak.
Aku nggak bisa ....
Aku nggak kuat ....
Aku nggak bisa menghadapi semua ini, Dante ....
Ini terlalu sulit bagiku ....
Aku meratap.
Dante berlutut di hadapanku, ia meraih kedua tanganku lalu menggenggamnya erat. Ia menatapku dalam, lalu menghapus air mata di pipiku dengan jemarinya. Tatapan kami terkunci sesaat.
Dan dadaku sesak ketika aku melihat kristal-kristal bening di sudut matanya....

          Jika ada yang harus sakit, aku saja. Kamu jangan.
          Jika ada yang harus terluka, aku saja. Kamu jangan.

Dan isak tangisku kembali pecah...



Nganjuk, 10-10-2014
00.55
Wiwin W.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar