Bab 21
Let him go...
Akhirnya,
base camp itu kembali ‘berpenghuni’. Maksudku tidak benar-benar berpenghuni
karena baru ada aku, Jihan dan Olla – minus Fifi dan Sonya, tentu saja. Tapi setidaknya
itu jauh lebih baik daripada beberapa tahun belakangan ini tempat ini vakum. Ya,
memang setelah persahabatan kami berantakan, aku dan Jihan lebih suka nongkrong
di kampus atau di kafe. Kadang-kadang pula di rumah Dante atau sekedar bersantai di rumah Rangga. Kalo toh kami di
base camp ini, itupun sekedar mampir untuk bersih-bersih.
Dan
sore itu benar-benar menjadi momen yang berbeda karena kami bertiga duduk-duduk
santai di lantai, di atas karpet bergambar Doraemon milik Jihan, tepat seperti
yang biasa kami lakukan sewaktu masih es-em-a. Kami bercerita banyak hal.
Seolah-olah kami nggak ketemu selama ratusan tahun. Halah...
Olla
mantap bercerai dengan Joe. Ia juga sudah berbaikan lagi dengan orang tuanya.
Tadinya orang tua Olla sempat marah dan tak mau menerima Olla kembali. Tapi
begitu mereka melihat Daniel, mereka luluh secara otomatis. Mereka bisa
menerima kembali kehadiran Olla sekaligus Daniel kecil yang lucu dan imut.
Mereka bahkan mau memfasilitasi Olla untuk membuka toko kecil-kecilan agar ia
bisa mandiri dan membuka lembaran hidup yang baru.
Aku
juga menceritakan semua tentang Fifi dan Sonya kepada Olla. Semuanya, tanpa
kecuali! Termasuk soal kak Jefry, soal Rangga, keretakan di antara aku dan Fifi,
Olla berhak tahu semuanya...
“Kamu boleh menghakimiku, La. Jika kamu
menganggap akulah penyebab Sonya dan Fifi pergi, aku akan terima. Tapi
setidaknya, kamu sudah dengar keseluruhan ceritanya dari mulutku sendiri,”
ucapku.
Olla tersenyum. Ia beringsut dan
menggenggam tanganku.
“Iya, kemarin Jihan juga sudah cerita
dikit soal itu. Aku nggak menghakimimu kok, Ki. Aku yakin bukan kamu penyebab
persahabatan kita berantakan. Apa yang terjadi di antara kita semua, itu adalah
bagian dari hidup kita. Dan tugas kita selanjutnya adalah menjalani bagian hidup
itu dengan sabar. Ingat, aku sudah melewati bagianku, melewati masa-masa sulit
bersama Joe dan Daniel, dan aku sabar
menghadapinya. Segala sesuatu pasti ada titik temu, yakinlah itu,” ucapnya
lembut.
“Trims,” jawabku. Ia mengangguk.
“Dan selamat karena sebentar lagi kamu
akan bertunangan,” ucap Olla lagi. Aku mengangguk lagi. Kami tertawa.
“Nah, kamu heran nggak sih, La, dengan
Kiki yang sekarang,” sela Jihan.
“Heran apa?” Olla menoleh ke arah Jihan
yang tengah sibuk mengupas buah mangga.
“Nih anak __” Jihan menunjuk ke arahku
dengan pisau buah hingga sempat membuatku jejeritan, “Sori,” ia nyengir. Tapi
toh kembali menunjukku dengan pisau buah itu lagi.
“Nih anak waktu es-em-a ‘kan nggak
populer- populer amat. Dekil, cuek, jelek, nggak laku lagi. Eh, sekarang begitu
masuk kuliah, seabrek tuh cowok-cowok yang mau jungkir balik memperebutkan
cintanya. Kurang kerjaan banget deh ya cowok-cowok itu, di lihat dari mana
coba?” ucapnya kesal. Aku mendelik.
“Heh, bilang aja kamu cemburu karena
sekarang kamu yang nggak laku. Aku jelek? Aku dekil? Helloooo, aku tuh manis,
Jei. Wajar dong kalo banyak cowok jungkir balik memperebutkan cintaku, ngiri
ya?” omelku.
Jihan mencibir, Olla tertawa. Sungguh,
senang sekali bisa mendengar tawanya lagi...
“Beneran? Wuih, hebat dong... dulu waktu
masih es-em-a, si Fifi ‘kan yang punya penggemar paling banyak. Secara dia ‘kan
manis, pinter, pindem, baik, kaya lagi. Jadi kayaknya gelarnya bakal jatuh ke
tanganmu nih?” Olla terkekeh.
Aku ikut terkekeh.
“nggak apa-apa. Asal gelar miss complain
nggak jatuh ke tanganku aja, najis,” sergahku. Jihan melotot sementara Olla
kembali tertawa.
“Yang naksir Kiki ganteng-ganteng gak?”
tanya Olla pada Jihan.
Jihan mengangguk mantap.
“Nggak bisa dipercaya deh, La. Tapi
sumpah, Kiki tuh di kelilingi cowok-cowok berkualitas. Ada calon pengacara, si
Rangga, yang bentar lagi jadi tunangannya dia. Terus ada si Dante, calon dokter
yang tetep cinta mati sama dia tanpa syarat dan ketentuan yang berlaku, terus
... si Yoga, mantan cowok paling cakep di es-em-a kita dulu, sekarang ia punya
bisnis sendiri lho. Hebat ‘kan? Terus ada lagi polisi ganteng ....”
Plukk, aku segera melempar bantal sofa
ke arahnya berharap agar dia berhenti ngoceh.
“Asal bukan ganteng-ganteng serigala
aja,” teriakku. Aku melotot ke arah Jihan lalu menggeleng samar. Berharap agar
ia tidak menyebutkan nama Ronald. Bagaimanapun juga, Ronald adalah mantan Olla.
Dan aku tidak ingin Olla merasa nggak nyaman lagi.
Kedua mata Jihan mengerjap. Dan ia
berhenti mengoceh. Syukurlah ....
“Kalo kamu, Jei? Gimana?” Olla bertanya
tiba-tiba.
Jihan manyun.
“Aku belum laku,” ucapnya kemudian
dengan nada menyedihkan tapi lebay. Aku ngakak. Olla juga.
***
Rangga
menggandeng tanganku dengan erat dan kami melangkah memasuki toko perhiasan
tersebut dengan langkah ringan. Sore itu, kami berniat mengambil cincin
pertunangan kami yang telah selesai dipesan.
Ketika seorang pegawai menyambut kami
dengan ramah dan mengambilkan sepasang cincin pesanan kami di kotak beludru
warna merah, wajah Rangga berbinar. Dan aku yakin wajahku pun begitu.
“Ingin dipakaikan sekarang?” ia bertanya
sambil menunjukkan cincin tersebut. Aku tersenyum dan mengangguk. Dan serta
merta Rangga mengambil salah satu cincin yang lebih kecil lalu segera
menyematkan di jari manisku, kemudian aku juga melakukan hal yang sama.
Mengambil cincin yang satunya lalu menyematkannya ke jari manis Rangga. Kami tertawa
sambil saling menunjukkan cincin di jemari kami.
“Well, karena sudah ada cincin, berarti
hari ini aku resmi melamarmu. Sori ya kalo kurang romantis,” ucap Rangga. Aku
kembali tersenyum.
“This is the best thing, don’t worry,”
jawabku.
Setelah mengucapkan terima kasih pada
pegawai yang melayani kami, kami kembali bergandengan tangan ketika melangkah
keluar dari toko tersebut untuk selanjutnya menuju mobil yang terparkir di
seberang jalan.
Sebelum menjalankan mobil, Rangga sempat
mendaratkan sebuah ciuman lembut di keningku.
“Aku bahagia, Ki,” bisiknya. Aku
tersenyum.
“Aku juga,” jawabku.
Dan segera mobil yang kami tumpangi
melaju dengan kecepatan sedang di jalanan raya. Selama dalam perjalanan, tak
henti-hentinya kami saling bercanda. Rangga tertawa, lepas. Kedua matanya
berbinar ceria. Dan senyum lembut juga tak pernah hilang dari bibirnya. Entah
itu hanya perasaanku saja atau apa, tapi hari ini Rangga benar-benar terlihat
tampan luar biasa...
“Aku mencintaimu, Ki,” Rangga
menggenggam tanganku dengan satu tangannya, sementara tangan yang satunya
berada di kemudi.
“Aku juga,” jawabku.
“Mencintaimu dengan sepenuh hatiku,”
ucapnya lagi.
“Aku juga,” jawabku lagi.
Rangga terkekeh.
“Kok sedari tadi ‘aku juga, aku juga’
sih?” tukasnya. Aku ikut terkekeh.
“Aku juga mencintaimu, dengan sepenuh
hatiku, puas?” godaku. Rangga mengangguk.
“Puas,” jawabnya pendek. Di selingi tawa
kecil.
Tangan kami masih bertaut ketika
tiba-tiba phonselku berdering.
“Sebentar,” ucapku. Dan dengan berat
hati, Rangga melepaskan pegangan tangannya.
Aku meraih tas ku, mengobrak-abrik
isinya lalu meraih phonsel kecil yang nyelempit di bagian paling bawah tasku.
Aku mengambilnya dan segera menatap ke
layar. Dante ....
“Halo, Dante ...” sapaku segera.
“Ki!
Dimanapun kamu berada sekarang, segera menyingkir dari situ!!” aku
mendengar Dante berteriak. Nafasnya memburu.
“Ada apa sih?” tanyaku lirih.
“Menyingkir
dari situ!”
“Tapi ...” kata-kataku terputus ketika
tiba-tiba saja aku merasakan mobil kami oleng, phonselku terjatuh dan otomatis
aku berpegangan pada dashboard. Suara rem berdecit, Rangga membanting kemudi ke
arah kiri, dan entah darimana tiba-tiba saja sebuah dump truck dari arah
berlawanan melaju dengan kencang ke arah kami. Kedua mataku sempat mengerjap
sebelum akhirnya mobil kami saling bertabrakan. Hantaman itu terdengar begitu
keras. Aku memekik. Dan sekian detik selanjutnya .... gelap.
***
Aku
mendengar tangis. Aku juga mendengar namaku dipanggil berulang-ulang. Siapa? Siapa yang menangis? Siapa yang
memanggilku?
Aku ingin membuka mata, tapi tak bisa.
Suara-suara itu terus berseliweran di
kepalaku. Tangisan dan panggilan yang tak bisa ku ketahui dari siapa.
Susah payah aku berusaha lagi untuk
membuka mataku. Dan seketika kepalaku seperti di hantam baja. Sakit. Sakit luar
biasa.
Ada
apa denganku? Apa aku mati?
“Kiki,”
Kembali seseorang memanggil namaku
dengan lembut. Itu suara mama!
Entah itu nyata atau mimpi, tapi aku
seperti melihat mereka. Ada Mama, Papa, Olla, Jihan, Dante, Sonya dan Fifi.
Sonya dan Fifi ..? Mereka di sini?
Ah, aku pasti bermimpi.
***
Aku
mengerjap lalu membuka mata. Ya, benar-benar membuka mata. Pening mendera tapi perlahan
namun pasti aku mampu melihat sekelilingku dengan jelas. Selang infus terpasang
di tiang di sisi ranjangku sementara Mama duduk di kursi di sisi yang satunya.
Papa nampak berdiri di ujung ranjang sambil terus menatapku dengan tatapan
cemas. Dan ada Dante di sisinya. Raut mukanya pucat pasi. Ia juga tampak cemas
dan gelisah.
“Syukurlah kamu sudah sadar sayang, kami
cemas sekali,” ucap Mama dengan mata berkaca-kaca. Aku menatapnya lekat.
Bingung.
“Kamu lupa dengan apa yang terjadi
padamu? Kamu mengalami kecelakaan kemarin sore,” ucapnya lagi. Aku tak
menjawab. Perlahan aku mengangguk pelan. Ya, aku ingat bahwa aku mengalami
kecelakaan mobil. Aku menelan ludah.
“Lukaku parah?” tanyaku lirih.
Mama menggeleng.
“Kepalamu mengalami sedikit benturan.
Keningmu harus dijahit. Tapi tak apa-apa,” jawab Mama.
“Ada yang patah?” tanyaku lagi. Mama
menggeleng.
Aku memejamkan mata sesaat untuk
mengurangi rasa sakit yang menderaku. Lalu membuka mata untuk selanjutnya
tatapan mataku beradu dengan beberapa temanku yang berdiri tak jauh dari
jendela, mereka mengawasiku.
Olla, Jihan, Sonya dan Fifi ....
Kepalaku berdenyut-denyut.
“Sonya? Fifi?” tanpa sadar aku
menggumam. Kedua sahabatku itu hanya mematung. Kedua mata Sonya tampak
berkaca-kaca. Sementara Fifi memalingkan wajahnya hanya untuk menyembunyikan
tangisnya.
“Kalian di sini?” tanyaku lagi.
Sonya tampak ragu menjawab.
“Dante memberitahu kak Jefry kalo kamu
mengalami kecelakaan. Lalu kak Jefry memberitahuku dan aku pun langsung
memberitahu Fifi. Selama ini aku dan Fifi masih sering berkomunikasi,” jawabnya
agak terbata.
Aku terdiam.
Tidak.
Ada sesuatu yang tak beres.
Jika hanya karena aku mengalami
kecelakaan, Sonya dan Fifi takkan berada di sini!
“Rangga?” tanyaku lagi. Aku menatap
sekelilingku tapi sosok itu tak ada.
“Rangga ... dia bagaimana?” suaraku
gemetar.
Tak ada jawaban.
Aku menatap mamaku, berharap mendapat
jawaban. Tapi ia bangkit, menuju ke pelukan papa lalu terisak di dadanya. Sonya
menggigit bibirnya keras-keras tanpa melihat ke arahku. Fifi juga masih
berpaling dariku, dengan bahu terguncang, tangisnya kian menjadi.
Sementara Olla dan Jihan hanya menunduk
tak bersuara.
Tatapan mataku beralih ke arah Dante.
“Rangga ... dia bagaimana?” tanyaku
lagi. Dante beranjak mendekatiku. Ia mendekatkan wajahnya ke arahku lalu
mengusap pipiku dengan lembut menggunakan jemari tangannya. Tatapan kami
beradu. Ada yang tak beres!
“Ki ...” panggilnya lirih.
Aku mengangguk. Ya, katakanlah sesuatu...
“Tabahkan hatimu ya ....” bisiknya.
Rangga
meninggal...
Tubuhku membeku seketika.
Kalimat itu tak terucap di mulut Dante.
Tapi aku bisa mendengarnya jelas.
Aku menggeleng pelan.
“Itu nggak mungkin ...” desisku.
Dante mengangguk.
“Dia meninggal, Ki. Dokter tak mampu
menyelamatkannya. Benturan di kepalanya terlalu parah,”
Jantungku seperti berhenti berdetak
sekian detik.
Rasa sakit menjalar dari ujung kaki
hingga kepala. Aku merasakan Dante meremas tangan dan lenganku dengan lembut,
bermaksud untuk menenangkanku. Tapi ia tak berhasil.
Bahuku terguncang. Dan tangisku pecah.
“Ranggaaaaa....!!!!”
***
Aku
berharap ini hanya mimpi. Berharap bahwa aku akan terbangun dengan sakit kepala
sesaat karena mimpi buruk, lalu menyadari bahwa hari sudah pagi.
Tapi ternyata tidak.
Sekarang,
di sinilah aku. Di depan makam Rangga.
Dokter melarangku menghadiri pemakamanya
karena keadaanku belum memungkinkan untuk keluar dari rumah sakit. Barulah
setelah 3 hari, aku bisa ke sini.
Duduk bersimpuh di samping makamnya.
Aku mematung, berjam-jam. Tanpa mampu
berkata apa-apa. Tak ada air mata. Tak ada isak tangis. Tubuh dan jiwaku
terlalu sakit hingga aku tak mampu melakukannya lagi.
Olla dan Jihan
sempat menemaniku beberapa saat. Tapi aku segera menyuruh mereka pulang. Aku
bilang pada mereka bahwa aku perlu waktu untuk menyendiri dan mereka
menurutinya.
Tapi, Dante masih ada di sana .....
Berdiri mematung, tak jauh dariku.
“Pulanglah, Dante. Aku ingin sendiri, di
sini, beberapa saat lagi,” ucapku lirih tanpa melihat ke arahnya.
“Tidak,” ia menjawab cepat.
“Aku akan pergi, kalau kamu sudah siap
untuk pergi dari sini,” ia menjawab lagi.
Aku mendongak lalu menatapnya.
“Please, Dante. Aku butuh waktu untuk
menyendiri dan berpikir,” ucapku lagi.
Dante menggeleng.
“Tidak,” jawabnya.
“Bahkan jika kamu mengutukku,
membenciku, aku takkan pernah meninggalkanmu di sini sendirian. Pegang
kata-kataku,” ucapnya lagi.
Aku berpaling dan kembali menatap makam
Rangga.
Setelah hampir satu jam kemudian aku
menarik nafas panjang.
“Oke, aku sudah siap untuk pergi,”
ucapku. Aku bangkit. Aku sempat nyaris terjungkal karena kakiku kram akibat
terlalu lama bersimpuh, tapi Dante, sekali lagi, mampu menahan tubuhku dengan
sigap, hingga aku tak terjatuh.
“Bisa bawa aku ke danau?” tanyaku.
Dante hanya mengangguk tanpa bersuara.
Ia menggamit bahuku dan membawaku ke
mobilnya. Aku sempat ragu sesaat.
“Aku akan menyetir dengan hati-hati,”
ujarnya. Ia membuka pintu mobil lalu membantuku duduk di kursi penumpang.
Mobil itu melaju perlahan. Ia membawaku
ke danau, tempat persembunyian Dante, dan juga tempat persembunyianku, tempat
yang biasa kami datangi jika ada masalah mendera kami.
Aku
menyusuri padang ilalang kemudian menyusuri jalan setapak berkerikil untuk
selanjutnya menuju pinggir danau. Rasa perih di kakiku karena terkena kerikil
tajam menyadarkanku bahwa ternyata aku bertelanjang kaki. Aku tak ingat untuk
memakai sepatu ataupun sandal.
Aku kembali mematung di pinggir danau
dengan tatapan menerawang ke tengah danau yang tenang. Aku merasakan kehadiran
Dante di sisiku yang setia membiarkanku dalam diam.
“Kamu tahu ‘kan kalo kecelakaan itu akan
terjadi?” tanyaku lirih. Tanpa menolah ke arah Dante.
“Ya, aku hanya terlambat mengetahuinya.
‘Tanda’ akan peristiwa kecelakaan itu baru kudapatkan beberapa saat sebelum
kecelakaan itu terjadi. Jadi, maaf karena aku tak mengetahuinya lebih awal,”
suara Dante tampak parau.
Aku menelan ludah.
“Jadi, kamu tahu kalo Rangga akan
meninggal?”
“Tidak,” ia kembali menjawab.
“Lalu, apa yang kamu ketahui?”
Dante tak segera menjawab.
Aku kembali menoleh dan menatapnya
dengan dalam.
Katakan
apa yang kamu ketahui, Dante ...
“Kalian saling mencintai, tapi tidak
ditakdirkan untuk bersama ...” ucapnya kemudian.
Tidak
ditakdirkan bersama?
Aku
dan Rangga tidak ditakdirkan untuk bersama meski saling mencintai?
Dante mengangguk samar.
“Kalian akan tetap berpisah. Ku pikir
kalian akan sekedar putus, atau jika menikah, kalian akan bercerai. Aku
benar-benar tak tahu bahwa kenyataannya akan seperti ini. Aku benar-benar tak
tahu bahwa Rangga akan meninggalkan kamu, meninggalkan kita, selamanya,”
lanjutnya lagi.
Aku menelan ludah. Pandanganku mulai
kabur karena terhalang oleh air mata.
Bibirku bergetar.
“Rangga .... tak suka melihatku
menangis. Jadi aku benar-benar tak bisa ... menangis di hadapannya,” suaraku
parau.
Dante menggigit bibirnya. Perlahan ia
mengangguk.
“It’s oke. Kamu bisa menumpahkan semua
tangismu di sini. Aku tak melarangmu,” ucapnya pelan.
Dan aku ambruk. Kedua lututku menghantam
dinginnya bebatuan danau. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku dan
tangisku pecah. Aku terisak.
Aku
nggak bisa ....
Aku
nggak kuat ....
Aku
nggak bisa menghadapi semua ini, Dante ....
Ini
terlalu sulit bagiku ....
Aku meratap.
Dante berlutut di hadapanku, ia meraih
kedua tanganku lalu menggenggamnya erat. Ia menatapku dalam, lalu menghapus air
mata di pipiku dengan jemarinya. Tatapan kami terkunci sesaat.
Dan dadaku sesak ketika aku melihat
kristal-kristal bening di sudut matanya....
Jika ada yang harus sakit, aku saja.
Kamu jangan.
Jika ada yang harus terluka, aku saja.
Kamu jangan.
Dan isak tangisku kembali pecah...
Nganjuk, 10-10-2014
00.55
Wiwin W.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar