Bab 20
Connection
Akhirnya,
kami berempat kuliah di tempat yang sama. Seperti rencana semula, aku, Jihan
dan Dante memantapkan diri untuk kuliah di kampus yang sudah kami idam-idamkan
sejak es-em-a. Sebuah kampus terbesar di kota kami. Sementara Rangga, awalnya
ia berniat mengambil beasiswa ke Universitas Indonesia, tapi karena sekarang ia
pacarku, ia lebih memilih untuk mengikutiku. Dia bilang, dia akan lebih bahagia
jika berada dekat dengan diriku. Romantis banget.
Kami mengambil fakultas yang berbeda.
Jika aku dan Jihan tertarik untuk mengambil fakultas ekonomi, Rangga memilih
fakultas hukum, sementara Dante, ia memilih berada di fakultas kedokteran.
Menyenangkan ketika lambat laun, kami
mulai bisa membangun sebuah persahabatan baru antara kami berempat. Dan lebih
menyenangkan lagi ketika hubungan Dante dan Rangga yang dulunya sempat dingin,
kini sudah semakin membaik. Tidak akrab sih, tapi setidaknya, mereka sudah bisa
saling mengobrol tanpa harus saling adu argumen.
Terkadang kami bahkan hang out berempat.
Jalan-jalan ketika malam minggu, nonton film di bioskop bareng-bareng, atau
bahkan sekedar nongkrong di alun-alun kota. Tidak bisa di sebut double date sih karena Jihan dan Dante
kekeuh untuk tidak saling tertarik. Aku sempat terpikir untuk mencomblangi
mereka, tapi Jihan berkoar bahwa, bahkan jika Dante adalah lelaki terakhir di
muka bumi ini, dia tidak akan pernah bisa jatuh cinta padanya. Sementara Dante,
seperti biasa, ia hanya akan menatapku dengan sorot mata yang seolah mengatakan
: hentikan ide gilamu itu, selamanya!
Dante, kadang aku tak mengerti dengan
dirinya. Aku bahkan sempat merasa bahwa kami sama-sama punya telepati. Selama
kami kuliah, kami semakin sering berkomunikasi hanya dengan tatapan mata, walau
hanya secara tak sengaja. Jelas ia bisa membaca isi hatiku, dan seolah-olah aku
pun sekarang punya kemampuan untuk membaca isi hatinya. Karena itulah aku tak
pernah berhenti bersyukur pada Tuhan karena mengirimkan seorang sahabat yang
unik dan baik seperti dia.
Aku
rutin mengunjungi kak Jefry di penjara setiap sebulan sekali. Kadang di temani
Jihan, kadang dengan Rangga, kadang juga di temani Dante. Kak Jefry tetap
menyambut kedatanganku dengan ramah meski akulah orang yang telah menyebabkan
ia di penjara. Tapi sungguh, ia tak punya dendam sama sekali denganku. Yang
tetap ia tolak adalah, memberitahuku alamat Sonya yang baru. Ya, aku masih hilang
kontak dengannya, sejak pertemuan kami terakhir kali di masa es-em-a. Dia
sengaja menghindar dariku sehingga enggan untuk ditemukan. Itulah mengapa ia
selalu mewanti-wanti pada kak Jefry agar tidak memberitahuku di mana ia tinggal
sekarang.
“Tak perlu mencarinya, Ki. Dia sudah
melanjutkan hidupnya dengan baik. Kamu juga, lanjutkanlah hidupmu dengan baik,”
itu yang selalu kak Jefry katakan jika aku menanyakan alamat Sonya dengannya.
Mungkin dia memang masih marah padaku.
Aku juga belum dapat menemukan kembali
keberadaan Fifi dan Olla. Mereka benar-benar hilang di telan bumi...
Rombongan
pecinta alam kami sampai di kampus sekitar pukul 4 sore setelah menghabiskan 3
hari 2 malam melakukan pendakian ke gunung.
Dengan tas ransel yang berada di
punggungku yang beratnya nyaris mencapai 10 kilo, aku turun dari kendaraan bak
terbuka dengan susah payah. Ketika menapak tanah, kakiku seperti mau remuk
berkeping-keping. Capek sekali.
Aku menatap ke penjuru parkiran. Mobil
Rangga belum kelihatan.
“Belum di jemput Rangga, Ki?” tanya
Yohan, ketua klub pecinta alam kami. Aku menggeleng.
“Mau pulang bareng aku? Kan kita
searah,”tawarnya lagi. Aku tersenyum dan menggeleng.
“Nggak usah deh. Lagian aku masih ada
kepentingan lain kok,” jawabku. Yohan manggut-manggut seraya pamit undur diri
duluan.
Aku melangkahkan kakiku melewati
parkiran tersebut untuk selanjutnya menuju gedung yang berada di sebelahnya.
Gedung fakultas kedokteran.
Firasatku mengatakan Dante masih ada di
ruang praktek anak-anak FK. Karena memang begitulah kebiasannya.
Setelah menaiki tangga aku segera menuju
ruang praktek tersebut. Aku bersyukur karena ruangan itu terletak di lantai
satu. Coba kalau ada di lantai 4 atau 5, aku pasti sudah jatuh pingsan di anak
tangga.
Ketika
sampai di ruangan tersebut, pintu tampak terbuka sedikit. Dan aku segera nyelonong
masuk begitu saja, seperti kebiasaanku. Dan senyumku segera merekah ketika aku
melihat Dante ada di sana, mengutak-atik beberapa peralatan medis sambil sesekali
membaca sesuatu dari phonselnya.
“Baru pulang ya, Ki?” ia menyapa duluan,
dengan tatapan tetap ke arah phonsel.
“Hm,” jawabku pendek seraya melepaskan
tas ranselku lalu menjatuhkannya ke sebelah pintu.
Dante mendongak.
“Kamu baik-baik saja? Belum di jemput
Rangga?” ia bertanya.
Aku duduk di salah satu ranjang pasien.
“Aku nggak baik. Dan ya, Rangga belum
menjemputku,” jawabku.
Dante meletakkan alat yang sejak tadi ia
utak-atik, mengambil phonsel untuk selanjutnya ia letakkan di sakunya, lalu
beranjak mendekatiku.
“Oke, jadi di mana yang luka?” ia
menebak.
Aku melepaskan jaketku hingga menyisakan
t-shirt hitam tanpa lengan, lalu menunjukkan sebuah perban darurat di lengan
atasku sebelah kanan.
“Aku mengalami kecelakaan kecil dan ini -
tergores ranting,” jawabku.
Dante menatap sekilas ke arah lukaku,
lalu beranjak menuju lemari kecil berisi obat-obatan. Sesaat kemudian ia kembali
dengan membawa pinset, perban baru dan juga obat-obatan.
“Luka ini sudah dua hari yang lalu
‘kan?” ia bertanya sambil melepas perban di lenganku. Aku sempat meringis
kesakitan, lalu mengangguk.
“Obat-obatan kami terbatas. Nggak
infeksi ‘kan?” aku bertanya.
Dante menggeleng tanpa mengalihkan
pandangannya dari luka tersebut.
“Aku bersyukur Rangga masih baik-baik
saja sampek sekarang,” gumamnya.
Aku mengernyit.
“Maksudnya?”
Dante tak segera menjawab karena terlalu
serius membersihkan lukaku.
“Jika saja itu aku, punya pacar kayak kamu yang hobi
banget mendaki, hobi banget menerjang bahaya, dan sering pulang dalam keadaan
terluka, aku pasti sudah berkali-kali terkena serangan jantung karena
mengkhawatirkanmu,” jawabnya.
Aku tertawa.
“Kamu ‘kan cenayang, nggak mungkin kena
serangan jantung,” jawabku. Dante mengangkat bahu.
“Setidaknya, kurangilah dulu hobimu
untuk mendaki. Ingat, sebentar lagi kamu menikah, Ki. Jaga diri kamu
baik-baik,” Dante memperingatkan.
Aku kembali tertawa.
“Helo, aku baru akan bertunangan, belum
menikah, oke?” jawabku.
“Ya tetap saja bertunangan pasti
ending-nya menikah,”
“Iya, tapi itu masih lama,” jawabku.
Dante menatapku. Dan kembali dari tatapan
itu, aku mengerti maksudnya.
Jangan
banyak bicara. Diamlah sampai aku selesai merawat lukamu.
Aku kembali terkekeh.
“Siap, pak dokter,” jawabku. Dan Dante
segera melanjutkan pekerjaannya membersihkan dan merawat lukaku.
Ya, bulan depan,
tiga bulan sebelum yudisium, aku dan Rangga memang sepakat untuk bertunangan.
Bukan suatu keputusan yang terburu-buru mengingat kami belum lulus. Tapi, saat
ini Rangga sudah mendapat pekerjaan paruh waktu di sebuah kantor advokasi
sementara aku sendiri juga sudah punya penghasilan dari bekerja paruh waktu di
sebuah perusahaan periklanan. Itulah kenapa,tanpa proses yang bertele-tele,
kami sepakat bertunangan. Kami sudah merancang sebuah pesta pertunangan yang
sederhana yang dihadiri orang-orang terdekat saja. Dan setelah kami lulus dan
mendapatkan pekerjaan tetap, barulah kami akan merencanakan tentang pernikahan.
Dan sepertinya, itu masih lama. Setidaknya, dengan bertunangan dulu, kami
serius untuk berkomitmen...
“Sudah
selesai,” Dante mengangguk lega. “Dan Rangga sudah ada di parkiran,” lanjutnya
sambil merapikan peralatan medisnya.
“Oh ya?” tanyaku. Cowok itu kembali
mengangguk. Ia membantuku memakaikan jaketku dengan hati-hati.
“Segeralah ke sana. Sebelum dia bingung
nyariin kamu kemana-mana,” ucapnya lagi.
Aku mengangguk. “Oke,” jawabku.
“Dan bilang padanya untuk menyetir
dengan hati-hati,” ucapnya lagi.
“Iya,” jawabku pendek.
“Dan bilang juga padanya, jika dia
ugal-ugalan di jalan raya, aku yang akan nganterin kamu pulang, oke?”
Aku tersenyum.
“Iya, iya, cerewet ah,” ucapku lalu
turun dari ranjang pasien, kemudian beranjak meraih tas ranselku. Aku sempat
melemparkan senyum lagi ke arah Dante sebelum menutup pintu, lalu bergerak
menuju parkiran untuk segera menemui Rangga, calon tunanganku.
Sore
itu, sepulang dari kampus, Ronald mengunjungiku di rumah. Ah, aku lupa
menceritakan soal Ronald, mantan pacar Olla itu. Sumpah deh, sekarang dia
menjadi sosok yang berbeda. Kalau dulu Ronald terkenal cengeng dan anak mama,
sekarang ia sudah menjadi sosok cowok yang bener-bener ‘gentle’. Setamat
es-em-a, ia melanjutkan pendidikan di akademi kepolisian, itulah yang
menyebabkan ia berubah seratus persen.
Sekarang Ronald tinggi tegap, tegas, dan
yang pasti – ia mahir judo. Aku bahkan sempat bilang padanya dengan nada
bercanda bahwa karena ia sekarang mahir judo, ia bisa menjaga dirinya sendiri,
sehingga nggak perlu lagi ngejar-ngejar aku. (Btw, ia masih kekeuh untuk
mengejar-ngejar cintaku, hahaha..) Tapi eh dia malah bilang, kalo sekarang,
ialah yang akan jagain aku. Tuh ‘kan? Keras kepalanya nggak berubah.
Meski kami
berjauhan, selama ini ia senantiasa menyempatkan diri untuk mengunjungiku di
rumah ketika ia tak bertugas. Persahabatan kami masih langgeng. Kami juga masih
sering berkomunikasi via email dan pesan singkat. Jujur, keberadaannya
benar-benar membuatku seneng. Ronald pernah menjadi bagian hidup Olla, dan juga
sahabat-sahabatku yang lain. Ia ada di sana, di kisah-kisah kami selama di
es-em-a. Jadi keberadaannya seolah mengingatkanku bahwa, sahabat-sahabatku yang
lain, Fifi dan Sonya pun - masih ada bersamaku...
“Aku menemukan
Olla, Ki,” ucapnya setelah aku menyodorkan sekotak kue dan segelas teh manis di
depannya. Aku terkesiap.
“Sungguh? Dimana? Emang selama ini kamu
masih nyariin dia ya?” tanyaku tak sabar.
Ronald menggeleng.
“Beberapa waktu yang lalu aku dan
rekan-rekan ke Surabaya, urusan pekerjaan. Waktu makan siang di sebuah
restoran, tanpa sengaja aku melihat Olla di sana. Ia ... membersihkan lantai,”
jawabnya tampak ragu.
Aku tertegun.
“Untungnya dia tak melihatku. Aku ingin
menyapanya, tapi aku takut, jika ia sampai melihatku, ia pasti akan kabur. Lalu
secara sembunyi-sembunyi aku mengikutinya selama beberapa hari. Dan aku
menemukan tempat tinggalnya,” Ronald mengeluarkan secarik kertas dari sakunya
lalu menyodorkannya padaku.
“Temuilah dia, Ki. Keadaannya ...
menyedihkan,” gumamnya pelan.
Aku menerima secarik kertas tersebut
dengan dada berdebar. Menyedihkan? Apa Olla baik-baik saja? Apa ia mengalami
hal buruk? Pikiran itu segera menghantuiku tanpa mampu ku bendung.
***
Akhirnya
aku menemukan rumah kontrakan itu setelah hampir setengah jam berputar-putar di
perkampungan kumuh ini. Rumah? Itu lebih mirip kandang ayam. Hanya berbentuk
kotak yang di bangun sembarangan di pinggir bantaran kali dan dari bahan-bahan
kayu bekas. Keadaan rumah di sekitar tempat itu pun tak jauh berbeda.
Perutku terasa melilit seketika. Ini
tidak mungkin. Olla tidak mungkin tinggal di tempat seperti ini. Ronald pasti
salah!
“Kayaknya bener ini deh, Ki,” suara
Rangga di sampingku membuatku tersentak. Ia tengah menatap ke arah rumah itu
dan juga ke secarik kertas di tangannya secara bergantian. Ketika pandanganku
kembali terarah ke rumah itu, tampak pintu yang terlihat ‘darurat’ itu
bergerak. Dan dengan secepat kilat, aku mendorong Rangga untuk bersembunyi di
balik rumah yang lain.
“Kenapa kita harus sembunyi?” Rangga
bertanya tak mengerti dengan suara lirih. Wajah kami hanya berjarak beberapa
senti. Aku menggeleng takut. Cowok itu menatapku lembut.
“Kamu harus menghadapinya, Ki.
Sepertinya itu memang dia,” Rangga mengarahkan telunjuknya ke arah rumah
tersebut. Aku menoleh perlahan. Dan tampak olehku, sesosok tubuh perempuan
kurus tengah membuang bungkusan sampah di depan rumah.
Aku terpana.
Sosok itu terlihat ... ringkih dan
rapuh. Rambutnya di tali ke belakang dengan berantakan, wajahnya yang tak
tersapu make up tampak pucat. Aku nyaris memekik.
Perlahan aku bangkit dan beranjak
mendekati sosok itu, tanpa ia sadari. Dan ketika jarak kami semakin dekat, aku
memberanikan diri memanggil namanya.
“Olla...” panggilku.
Ia menoleh, ke arahku. Terdiam sesaat,
lalu tersentak. Kedua matanya yang sayu melebar karena kaget. Dan segera air
mata itu menitik dari sana.
“Kiki,” ia memanggil.
Aku berlari ke arahnya, ia juga berlari
ke arahku. Dan kami berpelukan sambil terisak.
Setelah
sekian menit bertangis-tangisan, Olla menyilakan aku dan Rangga ke ‘gubuk’nya.
ya, ini benar-benar gubuk. Hanya ada satu ruangan. Ruang tamu, alas tidur,
dapur, semua jadi satu.
“Maaf, beginilah adanya,” jawab Olla
sambil terkekeh. Tapi ia dengan bangga menunjukkan seorang balita yang tengah
tertidur pulas di alas tidur yang terbuat dari kapuk yang sebenarnya sudah tak
layak pakai.
“Namanya Daniel. Ia hampir lima tahun,
lucu ‘kan?” ia duduk di samping balita tersebut sambil mengelus keningnya. Aku
juga beringsut duduk di dekatnya. Kupandangi wajah balita itu. Tampan. Tapi
terlihat kurus.
“Dia tampan,” gumamku. Olla tersenyum.
Kami kembali berpandangan.
“Maaf, aku cuma bisa ngasih air putih,”
ucapnya lagi sambil melihat ke arah Rangga yang duduk dengan kikuk. Aku
menggeleng sambil meraih tangannya, lalu menggenggamnya erat.
“Kita masih sahabat ‘kan, La,” suaraku
terdengar bergetar.
“Apapun itu, ceritalah padaku. Kita
pasti bisa menghadapinya bersama. Ya?” lanjutku lagi. Olla menggigit bibirnya
keras. Kedua matanya basah. Tak pelak lagi, kedua mataku juga basah.
“Ya beginilah, Ki. Seperti yang kamu
lihat, hidup memang tak gampang. Kami telah melalui banyak hal. Aku dan Joe
mati-matian mencari pekerjaan, tapi ternyata semua tak semudah yang kami
bayangkan. Aku tak punya keahlian, Joe juga. Kamu tahu sendiri ‘kan bahwa kami
cuma punya ijasah SMP. Bahkan sekedar menjadi cleaning service-pun, susah.
Belum lagi ...” kalimat Olla terhenti. Ia menelan ludah dan air matanya
mengalir deras.
“Belum lagi, Joe mulai terlibat
obat-obatan. Ia tak terkendali, kami sering bertengkar, dan ...”
Aku menyentuh pipi Olla, ada luka memar
di sana. Ia menggeleng dan menghalau tanganku dengan lembut.
“Dia yang melakukan ini?” aku
memastikan. Ia tak menjawab.
“Orang teler memang sering bikin
masalah. Pertengkaran suami istri, yaa.. begitulah,” Olla tersenyum kecut.
Tatapan matanya singgah ke balita mungilnya.
“Dia nggak pantas hidup seperti ini, Ki.
Anakku tidak seharusnya hidup seperti ini,” desisnya.
Ia menatapku dalam.
“Aku nggak tahu harus minta tolong pada
siapa lagi? Aku ingin pulang, tapi orang tuaku pasti belum memaafkanku. Aku
ingin minta bantuanmu, tapi aku nggak tahu bagaimana caranya...” isak tangis
Olla tertahan. Bahunya terguncang. Aku memeluknya lembut.
“Ikutlah pulang bersamaku, La. Aku akan
membawamu dari sini,” ucapku, janji.
“Tapi Ki ...” kalimat Olla terhenti
ketika seorang lelaki jangkung berpenampilan berantakan masuk ke dalam rumah.
Joe.
Ia
menatap kami silih berganti dengan tatapan tak suka. “Aku tidak menerima tamu.
Pergilah kalian!” tiba-tiba ia berteriak.
“Sstt, kamu bisa membangunkan Daniel,”
Olla bangkit dan berusaha menenangkan Joe.
“Aku nggak peduli. Keluar kalian semua.
Kalian hanya manusia-manusia munafik yang seneng melihat orang lain susah, ya
‘kan?!”
“Joe!” Olla membentak.
Daniel menggeliat, membuka mata lalu
mulai menangis. Olla segera beranjak ke arahnya lalu menggendongnya. Joe melangkah
menuju lemari yang acak-acakkan, lalu membongkarnya dengan membabi buta.
“Apa yang kamu lakukan?” Olla kembali
berteriak.
“Aku butuh uang,” jawab Joe enteng. Olla
bergerak menghalaunya tapi Joe menepisnya dengan kasar. Aku yang naik pitam
segera beranjak mendekati lelaki itu lalu menarik bajunya.
“Kamu nggak pantes memperlakukan wanita
kayak gitu!” aku memekik. Alhasil, Joe malah mendorong tubuhku hingga nyaris
menabrak Olla yang tengah menggendong Daniel dengan tegang.
Rangga bergerak, menarik kerah baju Joe
lalu memukulnya. Mereka terlibat baku hantam di ruangan yang sempit itu. Olla
terisak, dan sesekali aku memekik ketika Joe berhasil memukul Rangga.
“Hentikan! Atau aku akan memanggil
polisi!” aku mengancam. Tapi tak membuahkan hasil. Joe dan Rangga tetap
terlibat pergumulan sengit.
Dan semua terjadi begitu saja, begitu
cepat, tanpa bisa kucegah. Joe menarik sebuah pisau lipat dari saku jaketnya,
lalu menghujamkannya ke perut Rangga. Lelaki yang kucintai itu ambruk bersimbah
darah. Aku memekik.
Dan tiba-tiba saja pintu terhempas
kembali, kali ini lebih keras, seperti terdorong angin kencang. Lalu pisau di
tangan Joe terlempar begitu saja, di susul dengan sebuah kursi tua di sudut
ruangan yang tiba-tiba saja terhempas ke arah Joe dan menghantam tubuhnya
hingga lelaki itu ikut ambruk.
Reflek aku mengalihkan pandanganku ke
arah pintu. Dan dia muncul dari sana.
Dante ...
***
Dokter
bergerak dengan sigap untuk menyelamatkan nyawa Rangga. Nyawanya tertolong.
Bahkan bisa dikatakan baik-baik saja.
“Dia nggak apa-apa. Dia juga nggak
melewati masa kritis kok. Mungkin 4 atau 5 hari, dia sudah diperbolehkan
pulang. Jadi, berhentilah menangis,oke?” itu kata dokter setelah selesai
mengobati Rangga. Aku, Olla dan Dante yang tengah menunggu di ruang tunggu
menarik nafas lega.
“Apa saya boleh menemuinya dokter?”
tanyaku dengan suara bergetar.
Dokter itu tersenyum.
“Boleh. Tapi dia masih tertidur.
Sebaiknya tunggulah sekitar 1 jam lagi, oke?” ia menepuk pundakku lalu berlalu,
setelah terlebih dulu tersenyum ke arah Dante. Itu pasti ucapan terima kasih
karena sebelum di bawa ke rumah sakit ini, Dante telah terlebih dahulu
memberikan pertolongan pertama pada luka Rangga hingga pendarahan yang ia alami
tidak fatal.
Dante mendekatiku.
Dengan lembut, Ia menyelipkan beberapa
untaian rambutku yang berantakan ke belakang telinga, lalu menghapus air mataku.
“Dengar sendiri ‘kan apa yang dibilang
dokter? Rangga nggak apa-apa. Dia akan segera sembuh. Lukanya nggak parah,”
ucapnya.
Aku mengangguk.
“Trims ya, Dan,” balasku.
“Oke, aku akan meninggalkan kalian
berdua. Jika butuh sesuatu, aku ada di kantin,” Dante bergerak menyusuri lorong
rumah sakit. Aku menatap Olla yang tengah duduk membisu di sudut kursi. Dan aku
menghampirinya lalu duduk di sampingnya.
“Maaf ya, Ki. Aku bener-benar nggak
nyangka semua akan seperti ini,” suara Olla tampak lemah. Aku memeluk
pundaknya.
“Rangga nggak apa-apa. Dia akan segera
membaik. Aku sudah menelpon Jihan. Sebentar lagi dia akan nyampe sini, dia
pasti senang bertemu denganmu,” jawabku.
“Pulanglah bersama kami, La. Kami akan
membantumu menemui orang tuamu untuk meminta maaf. Kamu nggak layak lagi hidup
dengan Joe. Dia bukan lelaki yang baik. Kamu harus memikirkan Daniel, anakmu.
Dia jauh lebih penting daripada lelaki itu,” lanjutku. Olla mengangguk. Air
matanya kembali menitik.
“Aku tak berniat membuat hidup Joe
berakhir di penjara, La. Tapi ...” kalimatku terhenti. Ah, aku tak percaya
bahwa aku akan melakukan ini lagi. Membuat hidup seseorang berakhir di penjara,
lagi?
Setelah perkelahian di rumah kontrakan
itu usai, aku benar-benar menelpon polisi untuk menceritakan segalanya. Tak
butuh waktu lama dan juga proses yang berbelit-belit bagi mereka untuk membawa
Joe atas tuduhan penyerangan terhadap Rangga, karena dari keterangan polisi,
Joe juga sudah menjadi incaran para penyelidik karena kasus narkoba. Mereka
sudah menemukan bukti-bukti bahwa Joe terlibat pengedaran ganja sekaligus
pengguna. Sehingga, ada atau tidak kasus penusukan Rangga, Joe tetap akan di
tangkap polisi, cepat atau lambat.
Olla menatapku sendu. Ia menggeleng.
“Bukan salahmu, Ki. Joe memang pantas
menerimanya. Ia pantas di penjara karena dia toh juga bukan suami sekaligus
ayah yang baik,” ucapnya.
“Aku sudah mantap untuk bercerai
dengannya. Itu lebih baik daripada hidupku dan juga hidup Daniel menderita,”
lanjutnya.
Aku memberinya pelukan. Kami saling
menguatkan.
“Aku, Jihan, Rangga dan juga Dante pasti
akan membantumu membuka lembaran hidup yang baru, La. Hidup yang baik untukmu
dan juga Daniel,” gumamku. Aku merasakan Olla mengangguk. Pasti.
***
Sesuai
yang dijanjikannya, aku bisa menemukan Dante di kantin rumah sakit yang berada
di lantai satu. Ia menatapku dan tatapan itu mengatakan : Aku tahu apa yang akan kamu tanyakan. Tapi tidak di sini. Kita keluar.
Aku mengangguk. Dante bangkit dari
kursinya lalu beranjak, entah kemana, sementara aku terus mengekor di
belakangnya.
Kami menaiki tangga beberapa kali dan
aku tahu kemana tujuannya. Atap gedung.
Dante bersandar di pagar pembatas tanpa
melihat ke arahku.
“Jadi, kamu punya kemampuan telekinesis
sekarang?” tanyaku kemudian. Dante menarik nafas panjang lalu menatap langit
yang mendung.
“Darimana kamu tahu?” ia bertanya.
Aku tertawa lirih.
“Dante, aku sudah sekian tahun menjadi
sahabatmu. Dan aku tahu nyaris semua kekuatanmu. Dan yang barusan terjadi
kemarin, itu berbeda. Kamu berada sekitar 100 meter dari Joe tapi tanpa
menyentuhnya, pisau di tangannya terlempar. Dan kursi itu? tidak mungkin kursi
itu terbang begitu saja ke arah Joe. Kamu pasti telah melakukannya.
Menggerakannya dengan kekuatan pikiranmu lalu menghantamkanmu ke arahnya. Ya
‘kan?” aku memastikan.
Dante tertawa lirih lalu menatapku.
Tapi, tatapan matanya aneh. Terlihat
hampa.... Aku sempat bingung dengan tatapan itu. Ada apa dengannya?
“Kamu pemerhati yang hebat,” ucapnya
kemudian.
“Sejak kapan kamu punya kemampuan itu?”
“Belum lama. Sekitar satu tahun ini.
Tadinya aku tak menyadarinya. Tapi akhirnya aku tahu bahwa aku mampu
menggerakkan sesuatu hanya dengan pikiranku,” jawabnya tenang.
“Kereeen,” ucapku tanpa sadar. Dante
kembali terkekeh.
“Kamu mau melihatnya?” tiba-tiba ia
memberi ide.
“Kamu mau menunjukkannya padaku?” aku
antusias. Dante mengangguk.
Dan tak butuh waktu lama, Dante
menggerakkan tangannya dan ajaib... bangku kosong dan rusak yang berada di
sudut tiba-tiba bergerak lalu terangkat dengan perlahan. Aku takjub.
“whoaa...” gumamku tanpa sadar, takjub.
“Oke, cukup itu saja,” Dante kembali
meletakkan bangku itu dengan perlahan. Lagi-lagi, tanpa menyentuhnya.
“Itu bener-bener hebat, Dan,” ucapku
lagi dengan antusiasme yang sama. Dante kembali tersenyum lembut. Lagi-lagi aku
melihatnya. Bibirnya tersenyum, tapi tatapan matanya tampak hampa...
“Ada masalah?” tanyaku jujur. Ia
menggeleng.
“Kamu terlihat sedang memikirkan
sesuatu,” ucapku lagi. Dante terdiam sesaat.
“Sori ya, Ki. Aku nggak bisa datang
lebih awal. Coba kalo aku datang lebih awal, Rangga pasti tak terluka,” ucapnya
kemudian. Aku menggeleng.
“Dante, kamu sudah melakukan yang
terbaik. Rangga selamat. Dia akan baik-baik saja. Dan jujur aku nggak tahu
harus bagaimana lagi mengucapkan terima kasih padamu. Pokoknya kamu bener-bener
yang ... terbaik. Kamu selalu ada untuk membantuku, tanpa pamrih, tanpa syarat.
Aku bahkan nggak tahu harus bagaimana lagi membalas semua kebaikanmu,” tukasku.
“Tenanglah, toh 3 atau 4 hari lagi ia
sudah boleh pulang. Kami tetap bisa melangsungkan pesta pertunangan kok, ‘kan
itu masih bulan depan,” jawabku seraya menyenggol lengannya dengan bahuku. Ia
tersenyum lagi. Tapi tatapan hampa di matanya tetap tak lenyap. Dan kali ini,
aku benar-benar tak memahaminya ....
Aku ikut bersandar di pagar pembatas ...
Pandangan Dante menerawang ke langit
mendung. Aku juga mengikutinya.
Hening sesaat.
Dan entah apa yang ada di otakku ketika
kalimat itu meluncur dari bibirku.
“Jika saja aku punya dua hati, aku pasti
akan memberikan satunya untukmu ...” ucapku seraya menoleh ke arah Dante. Cowok
itu juga menatapku.
Ekspresinya datar, sama dengan diriku.
“Dan aku pasti akan menerimanya dengan
sepenuh hati...” jawabnya kemudian.
Kami berpandangan, dalam diam...
Nganjuk, 03-10-2014
10.23
Wiwin W.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar