Selasa, 08 September 2015

Cerpen Kiki Kaka 22 : Dante dan Kiki



Aku masih bergelung di tempat tidur ketika mama masuk ke kamarku. Mataku terpejam, tapi aku tak tidur.
Kudengar langkahnya menuju jendela, membuka korden, lalu ia mendekatiku, menyentuh keningku dengan lembut.
“Sayang,” panggilnya lirih.
“Hm,” jawabku pendek, tanpa membuka mata, tanpa mengubah posisi tubuhku yang meringkuk di bawah selimut.
“Ada Fifi,” lanjutnya.
Aku tak segera menjawab.
“Suruh dia pulang lagi, Ma. Aku males ketemu siapa-siapa,” jawabku, tetap dengan mata terpejam.
“Tapi Ki, bertemu dengan banyak orang akan bagus untuk  membuat suasana hatimu lebih baik. Kamu nggak bisa kayak gini, terus? Kamu menolak kedatangan semua orang, termasuk Dante, Jihan, Olla, Sonya, dan sekarang, Fifi. Sampai kapan kamu akan begini terus?”
Aku tak menjawab.
“Kiki, Mama mohon ...”
“Aku sudah di sini, tante,” suara Fifi terdengar dari arah pintu kamarku. Aku membuka mataku perlahan. Mama bangkit, lalu beranjak menghampiri sahabatku itu.
“Akan tante tinggalkan kalian berdua,” Mama beranjak.
Fifi melangkah mendekati ranjangku.
“Ki,” panggilnya. Kami berpandangan. Perlahan aku bangkit lalu duduk, tetap dengan selimut menutupi bagian bawah tubuhku.
“Maaf kalo kamu harus melihatku kayak gini,” ucapku lirih sambil merapikan rambutku yang berantakan. Fifi duduk di sampingku.
“Aku mengkhawatirkanmu, Ki,” ucapnya.
Aku terus menyisir rambutku dengan jemari tanganku tanpa membuka suara.
“Sampai kapan kamu akan begini terus?” ia bertanya lagi.
Aku tak menjawab.
“Ini sudah hampir 3 bulan sejak kematian Rangga, tapi sekarang kamulah yang berubah seperti mayat hidup. Kamu mengurung diri di kamar, menolak bertemu orang, jarang makan, kuliahmu juga berantakan. Yang kamu lakukan hanyalah meratap. Ayolah, Ki. Hentikan semua ini. Hadapilah kenyataan. Rangga sudah pergi. Meratapi kepergiannya tidak akan membuat dia kembali lagi. Kami semua mengkhawatirkanmu, Ki,” ucap Fifi lagi.
Aku terdiam.
Ya, kamu benar, Fi. Meratapi kepergian Rangga tidak akan membuat dia hidup lagi. Tapi ini sulit. Melupakannya tidak semudah mengedipkan mata. Semua hal di sekitarku mengingatkanku akan dirinya. Dan mau tak mau, luka itu selalu kembali terluka ...
“Kenapa kamu peduli padaku, Fi? Kenapa kamu jauh-jauh datang dari Amerika untuk mengkhawatirkanku? Bukankah kamu bilang persahabatan kita sudah berakhir?” tanyaku lirih.
Fifi menatapku dalam.
“Aku salah, Ki. Meninggalkanmu dan mengakhiri persahabatan kita adalah sebuah kesalahan fatal bagiku. Dulu aku memang membencimu, membenci Rangga. Aku berpikir bahwa kamu telah merebut Rangga dariku, kalian mempecundangi aku. Tapi lambat laun akhirnya aku sadar, bukan kamu yang telah merebut Rangga dariku karena sejak awal aku emang nggak pernah memilikinya. Dia hanya mencintaimu seorang, Ki,” ucapnya.
“Aku ingin menemuimu sejak bertahun-tahun yang lalu, Ki. Tapi aku terlalu malu untuk bertemu denganmu. Terlalu malu untuk memintamu agar menerimaku lagi sebagai sahabat,” Fifi meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kami berpandangan.
“Kami tau kamu terluka, Ki. Aku tak tahu seberapa parah luka yang kamu alami dengan kepergian Rangga, tapi, biarkan kami membantumu untuk menghadapinya sama-sama. Sahabat-sahabatmu ada di sini, Ki. Jihan, Olla, Sonya, Dante, dan aku. Semuanya. Kami ada di sini jika kamu ingin menangis, menumpahkan semua kesedihanmu, butuh tempat untuk berbagi. Ya?”
Mata Fifi tampak berkaca-kaca. Kristal-kristal bening itu menitik. Dan hatiku kembali sakit. Rasa sakit yang berbeda ketika Rangga pergi..
Rasa sakit ini pernah ku rasakan ketika aku menyaksikan Dante ... menangis.
Air mataku menitik. Aku menghambur ke arah Fifi dan memeluknya erat. Kami menangis.
“Maafkan aku, Ki. Aku benar-benar minta maaf karena pernah meninggalkanmu sebagai seorang sahabat,” ucap Fifi di sela-sela tangisnya. Aku hanya mengangguk.
“Dan maafkan aku soal Rangga ya, Ki. Maafkan aku,” jawabku kemudian.
Fifi menggeleng.
“Tak ada yang perlu dimaafkan, Ki. Tak ada....” jawabnya lirih.
Kami berpandangan lagi. Sesenggukan.
“Ada seseorang yang juga ingin bertemu denganmu,” kata Fifi seraya menghapus air matanya dengan punggung tangannya.
“Siapa?” tanyaku.
Fifi menatap ke arah pintu kamar yang terbuka.
“Masuklah,” ucapnya kemudian. Dan dia muncul dari sana. Sonya...
Sonya menatapku. Air mata mengalir dengan deras dari kedua matanya yang bening.
Aku baru tersadar kalau ternyata Sonya berada di sana, berdiri di luar kamarku, sejak tadi.
“Sonya ...”panggilku lirih. Ia menggigit bibirnya sesaat sebelum berkata-kata.
“Aku sudah lama ingin mengatakan ini padamu, Ki. Tapi aku tak punya keberanian. Tolong maafkan aku, maafkan kak Jefry, maafkan aku karena menumpukan semua kesalahan itu padamu. Bisakah kita bersahabat lagi?” ucapnya dengan isak tertahan.
Aku menyingkirkan selimutku, turun dari tempat tidur, lalu menghambur ke arah Sonya.
Kami berpelukan dan terisak.
Dan kejutan itu ternyata tak berhenti disitu karena sesaat kemudian, Olla dan Jihan muncul dari balik pintu.
Aku memandang mereka satu persatu dengan bingung.
“Jadi sejak tadi kalian berada di sini?” tanyaku. Olla dan Jihan mengangguk.
“Kita berlima adalah sahabat selamanya,” ucap Jihan. Ia juga menangis, Olla juga menangis.
Dan jadilah kami berlima berpelukan bersama-sama. Sebentar-sebentar menangis, sebentar-sebentar tertawa, lalu menangis lagi...
Terima kasih karena kalian semua  ada di sini...
Ucapku dalam hati.

***

          Dan base camp itu kembali hidup ....
          Base camp itu kembali ‘berpenghuni’, dengan personil lengkap...
          Memang semua kembali kepada aktivitasnya semula. Fifi kembali melanjutkan studinya ke Amerika, Sonya kembali sibuk mengurusi keluarga kecilnya – ternyata ia juga telah menikah dan memiliki seorang putri berusia 1 tahun, sayangnya suaminya bukan Dimas, pacara es-em-a nya, melainkan seseorang yang ia kenal dari tempat tinggal barunya - , Olla juga kembali sibuk mengurusi tokonya, dan Jihan juga mulai sibuk mengurusi kuliahnya. Dan aku mulia menata hidupku kembali yang sempat terbengkalai selama beberapa bulan. Apa boleh buat, yudisium ku harus mundur setahun karena banyak hal, pekerjaan paruh waktuku juga selesai, aku diberhentikan. Tapi tak apa-apa, aku bisa melamar pekerjaan di tempat lain sambil menunggu satu tahun lagi untuk mengikuti yudisium.
          Biarpun begitu, kami semua sepakat untuk senantiasa ngumpul-ngumpul di base camp, satu bulan sekali. Menyenangkan, tentu saja. Dante juga ikut serta, karena secara otomatis, dia masuk menjadi anggota kami. hahaha....
Momen-momen manis di es-em-a seperti kembali lagi terulang. Kami duduk-duduk bareng, mengobrol banyak hal. Bercerita tentang hal-hal sepele, tapi selalu menyenangkan untuk diceritakan. Mereka juga rajin memberikan support padaku agar bisa melewati masa-masa sulit karena kepergian Rangga. Tidak mudah, tapi dengan berlalunya waktu, dan dengan dukungan mereka di sisiku, aku yakin luka akan kepergian Rangga akan terobati.
We’re back!
Ya, kami semua sudah kembali ....

Terima kasih, sahabat ...
Terima kasih untuk semuanya ....

***

          Dan waktu terus berlalu...
          Luka terobati...
          Sedu sedan tak ada lagi...
          5 tahun terlalu lama...
          Tapi tak apa...
          Sekarang, aku baik-baik saja...
          Melepaskan Rangga....

***

          Aku merapikan meja kerjaku dan segera menghambur keluar. Hari ini aku sudah minta ijin pada atasanku untuk pulang 15 menit lebih awal.
Aku masih bekerja di toko buku yang sama sejak beberapa tahun yang lalu, sejak aku batal ikut yudisium. Bedanya sekarang aku tidak jadi karyawati lagi. Setelah mendapat gelar sarjana, aku resmi naik pangkat menjadi supervisor.
“Buru-buru amat? Ada kencan dengan pak dokter ya?” Elia, rekan kerjaku nyeletuk dari balik mejanya. Aku cuma nyengir sambil melambaikan tanganku tanpa menghentikan langkahku. Yang dia maksud dengan pak dokter tentu saja Dante.
Kebanyakan dari rekanku sudah kenal baik dengan Dante karena ia sering kemari, sekedar mampir atau menjemputku pulang. Bahkan kadang-kadang ia juga nganterin aku kerja. Itulah mengapa mereka berpikir kalau aku dan Dante adalah sepasang kekasih. Aku sudah menjelaskan beberapa kali kalau kami hanyalah sahabat, tapi mereka tak percaya. Jadi ya, kubiarkan saja mereka berpikir seenaknya.
Hubunganku dengan Dante pun tetap saja berjalan dengan unik. Kami tetap menjadi sahabat baik, lebih dari sahabat malahan, tapi tak bisa juga disebut sebagai sepasang kekasih.
Yang jelas, Dante masih single, aku juga masih single, dan kami selalu ada satu sama lain jika saling membutuhkan. Dia satu-satunya lelaki yang selalu ada ketika kubutuhkan kapanpun dan dimanapun, dan aku juga berusaha ada kapanpun dan dimanapun dia membutuhkanku. Jadi, bagaimana kami menerjemahkan hubungan kami? Entahlah, kami hanya menjalaninya begitu saja. Alamiah...
          Seperti halnya sore ini. Aku sengaja pulang lebih awal agar bisa membantu Dante berkemas-kemas untuk pindah ke apartemen barunya. Minggu depan ia resmi bekerja di sebuah klinik terkemuka di kota ini, jadi ia sengaja mencari apartemen yang dekat dengan tempat kerjanya. Dan aku sudah janji untuk membantu kepindahannya.
Aku menghentikan sebuah taksi dan segera menyuruhnya mengantarkanku ke rumah Dante. Taksi itu baru saja berjalan ketika phonselku berbunyi dan sebuah pesan masuk bertambah. Dari Dante.

Aku sudah selesai berkemas-kemas. Barang-barangku sudah di angkut mobil box. Segera saja meluncur ke apartemen baruku...

Itu bunyi pesan singkatnya. Dan tanpa menunggu lagi, aku menyuruh pak sopir mengubah haluan dan mengatakan padanya alamat apartemen Dante.

          Ketika sampai di sana, barang-barang Dante yang dikemas di kardus berserakan di lantai di dalam apartemen. 
Dante meletakkan tangannya di pinggang dan menatap kardus-kardus itu dengan frustasi.
“Wow, ini bener-bener mirip kayak kapal pecah,” sindirku. Dante mendengus.
“Kayaknya tadi nggak sebanyak ini deh. Aku yakin banget kok kalo aku cuma membawa barang-barang yang penting aja,” ucapnya. Ia berjongkok dan mulai membuka kemasan itu satu persatu.
Aku tersenyum, meletakkan tas ku di atas salah satu kardus. Alih-alih membantu Dante membongkar barang-barangnya, aku malah melangkahkan kakiku menuju jendela apartemennya. Sesaat aku terkesima. Tempat ini begitu nyaman, nyaris separo kota ini bisa dilihat dari apartemen yang berada di lantai 50 ini.
“Ini keren,” desisku.
“Kamu suka apartemen ini?”
“Ya,” jawabku pendek tanpa mengalihkan pandanganku dari pemandangan yang terpampang di depanku.
“Kalo gitu, kamu bisa datang ke sini kapan saja kamu mau. Kamu juga boleh menginap kalo mau. Ntar ku kasih kunci duplikatnya,”
Aku mendelik dan menatap Dante.
“Menginap di sini? Hellooo, kita bisa digerebek pak RT tahu?” tukasku kesal. Dante terkekeh.
“Disini nggak ada pak RT, ki?,” belanya. Aku beranjak.
“Yuk ah, segera bekerja,” tukasku lagi.
“Emang sejak tadi aku bekerja. Nih lihat, aku sudah bongkar-bongkar dan mulai menata. Kamunya aja yang manyun berdiri di depan jendela kayak bos,” jawab Dante.
Aku mendelik. Dan Dante ngakak.
Aku segera melepaskan blazerku hingga menyisakan tank top hitam, lalu segera membantu Dante membongkar kardus-kardus dan segera menata barang-barang tersebut.
          Sekitar jam 11 malam pekerjaan kami selesai 80 persen. Kamar tidur, kamar mandi, dapur, ruang kerja, ruang tengah, nyaris telah tertata rapi. Yang tersisa adalah beberapa kardus yang berisi buku yang ingin Dante tata sendiri.
“Cari makan dulu yuk,” Dante mengusulkan. Aku mengiyakan.
Aku baru saja mencuci tangan ketika phonselku berdering. Dante yang meraihnya.
“Dari Olla,” teriaknya. Aku segera berlari-lari kecil menyambar phonsel tersebut.
“Halo, Olla,” sapaku.
“Ki, kamu dimana? Cepat kemari, Ki. Aku di rumah sendirian. Dan kayaknya, aku mau melahirkan,” suara Olla terdengar dari seberang sana. Aku melotot.
“Hah? Melahirkan? Sekarang? Bukannya kata dokter masih bulan depan bayi itu akan lahir,” aku nyaris berteriak.
“Nggak tau nih, cepat kemari ya,” ucapnya lagi.
          Olla memang hamil anak kedua. Setahun tahun yang lalu ia menikah lagi.  coba tebak dengan siapa? Dengan Ronald. Yup, mantan pacarnya ketika es-em-a dan yang juga pernah jungkir balik mengejar cintaku.
Setelah Olla resmi pindah ke kota ini lagi, komunikasi antara ia dan Ronald kembali terjalin. Dan sungguh berita yang luar biasa ketika beberapa waktu kemudian secara langsung Ronald menemuiku dan mengatakan bahwa ia  ingin menikahi Olla. Tentu saja aku senang bukan kepalang. Ronald adalah lelaki yang baik, dan aku yakin ia bisa membuat Olla bahagia. Lagian, akan menjadi sebuah kisah yang manis kalau pasangan hidup kita adalah mantan pacar ketika es-em-a.
“Emang Ronald kemana, La?”
“Dinas malam,”
“Oke, aku ke sana,” aku menutup pembicaraan.
“Olla akan melahirkan?” tanya Dante.
Aku mengangguk.
“Oke deh, ku antarkan pake mobilku,” lanjutnya. Dan aku kembali mengangguk.

          Aku sampai di rumah Olla bersamaan dengan Jihan. Dan tanpa menunggu lagi, aku segera membantu Olla naik ke mobil Dante untuk segera di bawa ke rumah sakit, sementara Jihan sibuk menggandeng Daniel.
“Kamu gimana sih, La? Kenapa si Kiki yang mesti kamu telpon duluan? Harusnya tuh aku dulu karena rumahku lebih dekat sama kamu. Kiki tuh lagi ada di apartemennya Dante, jauh,” dia segera ngomel-ngomel ketika tahu bahwa akulah orang pertama yang ditelpon Olla.
“Ya  nggak tahu, ketika ngerasa sakit, yang ada di kepalaku duluan ya Kiki,” jawab Olla di sela-sela erangan rasa sakit.  
“Itu namanya pilih kasih. Yang bisa dimintain tolong ‘kan bukan cuma Kiki doang,” dan Jihan terus saja ngomel-ngomel.
Mereka terus saja adu argumen sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Jihan masih terus mengomel, Olla masih terus mengerang dan juga ... mengomel. Astaga...
Tepat ketika Olla sudah berada di ruang persalinan, Ronald telpon ke phonselku.
“Gimana, Ki? Bayinya udah lahir? Olla gimana? Dia baik-baik aja ‘kan?” cerocosnya.
“Kamu di mana sih? Penting mana istri sama pekerjaan?” teriakku.
“Iya, iya, ini aku sudah dalam perjalanan ke situ kok. Tolong bilang dulu ke Olla jangan biarkan bayinya lahir dulu. Aku nggak mau ketinggalan momen saat bayi itu lahir ke dunia. Nih aku sudah menyiapkan alat perekam untuk mengabadikan momen bersejarah itu,”
Aku melotot.
“Kampret! Emang bayi bisa diajak janjian?!” teriakku.
“Iya, iya, pokoknya aku akan berusaha nyampek situ secepatnya,” jawab Ronald.
“Oke, tapi hati-hati,” balasku. Dan ia menutup pembicaraan.
Selang beberapa saat, Sonya juga sampai di rumah sakit.
“Gimana? Bayinya udah lahir?” ia bertanya. Kami menggeleng.
“Fifi juga sudah dalam perjalanan ke sini kok,” lanjutnya. Aku kembali melotot.
“Amerika ke sini?” aku memastikan.
Sonya mengangguk.
“Iya, pakek jet pribadi,” jawabku. Alamak...
“Ronald belum datang ‘kan? Ya udah, biar aku di dalam nemenin Olla,” Sonya beranjak.
“Oh iya, bilang ke Olla, jangan biarkan bayinya keluar dulu kalo Ronald belum datang, itu permintaan khusus dari yang punya anak,” ucapku kesal. Sonya sempat tertawa sebelum masuk ke dalam ruangan.
          Tapi sungguh ajaib, bayi Olla benar-benar lahir ke dunia, setelah Ronald datang dan mengawasi secara langsung selama proses kelahiran tersebut.
Kami semua besorak lega ketika bayi itu lahir sehat, dan Olla juga nampak sehat. Mereka bahkan sudah dipindahkan ke ruang perawatan beberapa jam kemudian.
Aku manatap takjub ke arah bayi perempuan berkulit kemerahan itu, terlebih ketika Ronald meletakkannya di gendongannya dengan hati-hati. Aku terpesona. Interaksi keduanya benar-benar ... luar biasa.
Kebahagiaan begitu besar tampak jelas dari raut muka Ronald. Olla yang tampak kelelahanpun menunjukkan ekspresi yang sama.
Oh, apa mempunyai bayi benar-benar semenakjubkan itu?
Mereka benar-benar tampak luar biasa.
Dan entah mengapa, tiba-tiba saja aku membayangkan diriku mempunyai bayi sendiri.
Aku merasakan Dante menyentuh kepalaku dengan lembut.
“Kalo pengen punya bayi sendiri, harus menikah dulu. Oke?” ucapnya setengah berbisik di telingaku. Aku melotot ke arahnya. Curang! Kamu membaca pikiranku!
Dante tertawa lirih.
“Kamu bisa pulang dulu kok, Ki. Kamu nampak lelah. Biar Ronald, aku dan Jihan yang di sini jagain Olla. Lagian, bentar lagi mungkin Fifi juga datang,” ucap Sonya.
“Beneran nggak apa-apa?” tanyaku. Mereka mengangguk yakin.
Dan akhirnya, aku pamit dan memilih pulang terlebih dahulu di antarkan Dante.
Karena terlalu kelelahan, aku tak menyadari bahwa mataku langsung terpejam ketika memasuki mobil Dante. Aku ketiduran...

***

          Aku membuka mata tepat ketika sinar mentari menerobos melalui korden jendela. Aku menggeliat sesaat dan segera menyadari bahwa aku tidak berada di kamarku!
Aku terhenyak dan segera berjingkat. Aku melangkahkan kakiku keluar kamar. Dan tampak Dante sedang berkutat di dapur membuat sarapan pagi.
“Kok aku bisa di sini?” tanyaku.
Dante menoleh dan tersenyum.
“Terlalu jauh untuk mengantarkanmu pulang. Kamu tidur pulas dan tampak kelelahan. Jadi aku sengaja menggendongmu dan membawamu ke sini. Tuh, aku udah bikin teh buat kamu. Santai aja, ini baru jam 6. Hari ini kamu dapat shift siang ‘kan?” ucapnya sambil menunjuk ke secangkir teh yang berada di meja makan.
Aku menyisir rambutku dengan jemari lalu duduk di kursi, tepat di depan secangkir teh buatan Dante.
“Kok aku nggak dibangunkan?” tanyaku sambil menyeruput teh tersebut perlahan.
Dante cuma menggeleng.
“Yakin kamu menggendongku dari parkiran sampek sini?” tanyaku lagi.
“Ada pilihan lain?”
“Ya, mungkin kamu membawaku ke sini dengan kekuatan telekinesismu,” ucapku lagi. Dante terkekeh. Ia menyajikan beberapa roti bakar dan telur goreng di depanku.
“Membawamu dari parkiran ke sini tuh nggak perlu kekuatan telekinesis. Tahu kenapa? Karena kamu tuh kecil,” ucapnya.
“Sarapan dulu, nih,” ia membawa piring yang berisi sarapannya sendiri lalu duduk di seberangku.
“Kayaknya aku mau mandi dulu deh,” ucapku. Dante mengangguk.
“Oke, aku sudah nyiapin sikat gigi baru dan handuk baru buatmu. Ada di kamar mandi. Aku juga punya beberapa kaos oblong baru yang belum pernah ku pakai. Mau ku ambilkan untuk ganti?”
Aku mengangguk. Segera Dante beranjak mengambilkan baju ganti  sementara aku beranjak ke kamar mandi.

***

          Setelah selesai sarapan, Dante kembali asyik menata buku-bukunya di rak. Sementara aku duduk tercenung di depan jendela apartemennya. Pandanganku masih takjub menatap indahnya kota dari apartemen ini.
“Masih mengagumi apartemenku?” tanya Dante dari balik punggungku. Aku mengangguk.
“Silahkan sombong, tapi iya,” jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
“Aku nggak tahu gimana caranya kamu menemukan apartemen senyaman ini. Tapi kelak kalo aku sudah punya cukup uang, aku akan mencari apartemen yang persis kayak gini. Tenang, nyaman, bisa melihat pemandangan kota dari jendela kamar, whoaa, ini benar-benar menakjubkan,” jelasku.
“Kalo gitu, tinggalah di sini, bersamaku,”
Kalimat yang meluncur dari mulut Dante membuatku membalikkan badan. Dan ternyata Dante juga tengah menatap ke arahku.
“Tinggalah bersamaku,” ia mengulangi kalimat itu.
Aku terdiam.
Tatapan kami terkunci dan hening sesaat.
“Seorang lelaki meminta seorang perempuan tinggal bersama, apa ini berarti sebuah lamaran?” tanyaku memastikan. Dante meletakkan buku ditangannya di susunan rak terakhir lalu bergerak mendekatiku.
“Ya,” jawabnya kemudian, tegas.
Aku mematung.
“Kamu tahu bahwa aku mencintaimu sejak dulu, Ki. Dan aku juga tahu bahwa kamu mulai merasakan hal yang sama denganku. Kamu mulai mencintaiku ‘kan?”
Aku terhenyak.
Ya, mustahil bisa berbohong pada cenayang.
Tapi ia benar. Seiring berjalannya waktu, aku memang menemukan cinta baru pada diri Dante. Cinta yang alami, yang makin hari kian besar. Perasaan itu tak bisa dihindari, tak bisa disangkal.
Aku bahagia bersama Dante, aku nyaman bersamanya, dan aku akan senang hati membuatnya bahagia, membalas semua kebaikan dan perhatian yang selama ini ia curahkan padaku tanpa ragu, tanpa pamrih, tanpa syarat.
Dante, adalah sebuah anugerah tersendiri bagiku. Hanya saja aku tak menemukan cara untuk memperjelas hubungan di antara kami.
“Tak perlu memperjelas apa-apa lagi, Ki. Toh semuanya sudah jelas. Kita saling mencintai, saling melengkapi, saling berbagi baik suka maupun duka. Aku tulus mencintaimu dengan sepenuh hatiku. Ini memang bukan sebuah lamaran yang romantis. Tapi aku benar-benar ingin menikah denganmu,” ucapnya lagi.
Tatapan kami kembali terkunci. Aku menelan ludah. Sebenarnya tak perlu berpikir dua kali untuk menjawab lamarannya. Tapi tetap saja, ini sedikit mendadak buatku.
“Kamu tak perlu menjawab sekarang, Ki,” ucapnya kemudian. Keningku berkerut.
“Ada sesuatu yang harus kamu ketahui terlebih dahulu sebelum kamu menjawab lamaranku. Duduklah dulu,”
Dante menyentuh kedua bahuku lalu membimbingku duduk di sofa di dekat jendela, sementara ia duduk di kursi depannya.
“Ada apa?” tanyaku cemas.
Dante menelan ludah. Ia menggigit bibirnya, lalu menatapku dengan tatapan ragu.
“Waktuku nggak banyak, Ki,” ucapnya kemudian.
Lirih.
“Maksudmu?”
Dante kembali terdiam.
“Aku mendapatkan penglihatan tentang masa depanku. Dan apa yang kulihat adalah, umurku tak panjang. Aku akan segera meninggal dalam waktu beberapa tahun yang akan datang. Tak lama lagi,” jelasnya.
Aku terbelalak.
“Apa ...  maksudmu?” suaraku bergetar.
Dante mengangguk pelan, putus asa.
“Itu benar, Ki. Waktuku tak banyak lagi di dunia ini. Aku memang pernah mengatakan padamu bahwa kita ditakdirkan untuk bersama. Tapi takdir itu masih bisa kau ubah. Percayalah Ki, sebenarnya aku tak ingin memberitahumu soal ini. Tapi, bertahun-tahun yang lalu aku nyaris melihatmu hancur berkeping-keping ketika Rangga meninggalkanmu. Dan aku tak ingin melakukan hal yang sama padamu. Membuatmu hancur berantakan dengan kematianku,” tatapan Dante sendu.
Ulu hatiku sakit. Aku tak mampu bergerak.
“Keputusan ada di tanganmu, Ki. Jika kamu masih mau menghabiskan waktu yang tersisa bersamaku, menikmati setiap detik, setiap menit, maka kita akan menikah. Tapi maaf, aku tak bisa menghabiskan masa tua bersamamu,” kali ini suara Dante-lah yang bergetar.
“Tapi jika kamu tak sanggup menghadapi kematianku, maka tolak-lah lamaranku. Dan cobalah untuk melupakanku, mulai dari sekarang ....” ia melanjutkan.
Aku merasa hampa seketika.
Perlahan aku memejamkan mata lalu menunduk, dan bersamaan dengan itu, air mataku menitik di pangkuanku .....


Bersambung...
Selanjutnya : Kiki Kaka (End)


Nganjuk, 20-10-2014
21.26
Wiwin W.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar