Aku masih
bergelung di tempat tidur ketika mama masuk ke kamarku. Mataku terpejam, tapi
aku tak tidur.
Kudengar langkahnya menuju jendela,
membuka korden, lalu ia mendekatiku, menyentuh keningku dengan lembut.
“Sayang,” panggilnya lirih.
“Hm,” jawabku pendek, tanpa membuka
mata, tanpa mengubah posisi tubuhku yang meringkuk di bawah selimut.
“Ada Fifi,” lanjutnya.
Aku tak segera menjawab.
“Suruh dia pulang lagi, Ma. Aku males
ketemu siapa-siapa,” jawabku, tetap dengan mata terpejam.
“Tapi Ki, bertemu dengan banyak orang
akan bagus untuk membuat suasana hatimu
lebih baik. Kamu nggak bisa kayak gini, terus? Kamu menolak kedatangan semua
orang, termasuk Dante, Jihan, Olla, Sonya, dan sekarang, Fifi. Sampai kapan
kamu akan begini terus?”
Aku tak menjawab.
“Kiki, Mama mohon ...”
“Aku sudah di sini, tante,” suara Fifi
terdengar dari arah pintu kamarku. Aku membuka mataku perlahan. Mama bangkit,
lalu beranjak menghampiri sahabatku itu.
“Akan tante tinggalkan kalian berdua,”
Mama beranjak.
Fifi melangkah mendekati ranjangku.
“Ki,” panggilnya. Kami berpandangan.
Perlahan aku bangkit lalu duduk, tetap dengan selimut menutupi bagian bawah
tubuhku.
“Maaf kalo kamu harus melihatku kayak
gini,” ucapku lirih sambil merapikan rambutku yang berantakan. Fifi duduk di
sampingku.
“Aku mengkhawatirkanmu, Ki,” ucapnya.
Aku terus menyisir rambutku dengan
jemari tanganku tanpa membuka suara.
“Sampai kapan kamu akan begini terus?”
ia bertanya lagi.
Aku tak menjawab.
“Ini sudah hampir 3 bulan sejak kematian
Rangga, tapi sekarang kamulah yang berubah seperti mayat hidup. Kamu mengurung
diri di kamar, menolak bertemu orang, jarang makan, kuliahmu juga berantakan.
Yang kamu lakukan hanyalah meratap. Ayolah, Ki. Hentikan semua ini. Hadapilah
kenyataan. Rangga sudah pergi. Meratapi kepergiannya tidak akan membuat dia
kembali lagi. Kami semua mengkhawatirkanmu, Ki,” ucap Fifi lagi.
Aku terdiam.
Ya, kamu benar, Fi. Meratapi kepergian
Rangga tidak akan membuat dia hidup lagi. Tapi ini sulit. Melupakannya tidak
semudah mengedipkan mata. Semua hal di sekitarku mengingatkanku akan dirinya.
Dan mau tak mau, luka itu selalu kembali terluka ...
“Kenapa kamu peduli padaku, Fi? Kenapa
kamu jauh-jauh datang dari Amerika untuk mengkhawatirkanku? Bukankah kamu
bilang persahabatan kita sudah berakhir?” tanyaku lirih.
Fifi menatapku dalam.
“Aku salah, Ki. Meninggalkanmu dan
mengakhiri persahabatan kita adalah sebuah kesalahan fatal bagiku. Dulu aku
memang membencimu, membenci Rangga. Aku berpikir bahwa kamu telah merebut
Rangga dariku, kalian mempecundangi aku. Tapi lambat laun akhirnya aku sadar,
bukan kamu yang telah merebut Rangga dariku karena sejak awal aku emang nggak
pernah memilikinya. Dia hanya mencintaimu seorang, Ki,” ucapnya.
“Aku ingin menemuimu sejak
bertahun-tahun yang lalu, Ki. Tapi aku terlalu malu untuk bertemu denganmu.
Terlalu malu untuk memintamu agar menerimaku lagi sebagai sahabat,” Fifi meraih
tanganku dan menggenggamnya erat. Kami berpandangan.
“Kami tau kamu terluka, Ki. Aku tak tahu
seberapa parah luka yang kamu alami dengan kepergian Rangga, tapi, biarkan kami
membantumu untuk menghadapinya sama-sama. Sahabat-sahabatmu ada di sini, Ki.
Jihan, Olla, Sonya, Dante, dan aku. Semuanya. Kami ada di sini jika kamu ingin
menangis, menumpahkan semua kesedihanmu, butuh tempat untuk berbagi. Ya?”
Mata Fifi tampak berkaca-kaca.
Kristal-kristal bening itu menitik. Dan hatiku kembali sakit. Rasa sakit yang
berbeda ketika Rangga pergi..
Rasa sakit ini pernah ku rasakan ketika
aku menyaksikan Dante ... menangis.
Air mataku menitik. Aku menghambur ke
arah Fifi dan memeluknya erat. Kami menangis.
“Maafkan aku, Ki. Aku benar-benar minta
maaf karena pernah meninggalkanmu sebagai seorang sahabat,” ucap Fifi di sela-sela
tangisnya. Aku hanya mengangguk.
“Dan maafkan aku soal Rangga ya, Ki.
Maafkan aku,” jawabku kemudian.
Fifi menggeleng.
“Tak ada yang perlu dimaafkan, Ki. Tak
ada....” jawabnya lirih.
Kami berpandangan lagi. Sesenggukan.
“Ada seseorang yang juga ingin bertemu
denganmu,” kata Fifi seraya menghapus air matanya dengan punggung tangannya.
“Siapa?” tanyaku.
Fifi menatap ke arah pintu kamar yang
terbuka.
“Masuklah,” ucapnya kemudian. Dan dia
muncul dari sana. Sonya...
Sonya menatapku. Air mata mengalir
dengan deras dari kedua matanya yang bening.
Aku baru tersadar kalau ternyata Sonya
berada di sana, berdiri di luar kamarku, sejak tadi.
“Sonya ...”panggilku lirih. Ia menggigit
bibirnya sesaat sebelum berkata-kata.
“Aku sudah lama ingin mengatakan ini
padamu, Ki. Tapi aku tak punya keberanian. Tolong maafkan aku, maafkan kak
Jefry, maafkan aku karena menumpukan semua kesalahan itu padamu. Bisakah kita
bersahabat lagi?” ucapnya dengan isak tertahan.
Aku menyingkirkan selimutku, turun dari
tempat tidur, lalu menghambur ke arah Sonya.
Kami berpelukan dan terisak.
Dan kejutan itu ternyata tak berhenti
disitu karena sesaat kemudian, Olla dan Jihan muncul dari balik pintu.
Aku memandang mereka satu persatu dengan
bingung.
“Jadi sejak tadi kalian berada di sini?”
tanyaku. Olla dan Jihan mengangguk.
“Kita berlima adalah sahabat selamanya,”
ucap Jihan. Ia juga menangis, Olla juga menangis.
Dan jadilah kami berlima berpelukan
bersama-sama. Sebentar-sebentar menangis, sebentar-sebentar tertawa, lalu
menangis lagi...
Terima
kasih karena kalian semua ada di sini...
Ucapku dalam hati.
***
Dan
base camp itu kembali hidup ....
Base
camp itu kembali ‘berpenghuni’, dengan personil lengkap...
Memang
semua kembali kepada aktivitasnya semula. Fifi kembali melanjutkan studinya ke
Amerika, Sonya kembali sibuk mengurusi keluarga kecilnya – ternyata ia juga
telah menikah dan memiliki seorang putri berusia 1 tahun, sayangnya suaminya
bukan Dimas, pacara es-em-a nya, melainkan seseorang yang ia kenal dari tempat
tinggal barunya - , Olla juga kembali sibuk mengurusi tokonya, dan Jihan juga
mulai sibuk mengurusi kuliahnya. Dan aku mulia menata hidupku kembali yang
sempat terbengkalai selama beberapa bulan. Apa boleh buat, yudisium ku harus
mundur setahun karena banyak hal, pekerjaan paruh waktuku juga selesai, aku
diberhentikan. Tapi tak apa-apa, aku bisa melamar pekerjaan di tempat lain
sambil menunggu satu tahun lagi untuk mengikuti yudisium.
Biarpun
begitu, kami semua sepakat untuk senantiasa ngumpul-ngumpul di base camp, satu bulan
sekali. Menyenangkan, tentu saja. Dante juga ikut serta, karena secara
otomatis, dia masuk menjadi anggota kami. hahaha....
Momen-momen manis di es-em-a seperti
kembali lagi terulang. Kami duduk-duduk bareng, mengobrol banyak hal. Bercerita
tentang hal-hal sepele, tapi selalu menyenangkan untuk diceritakan. Mereka juga
rajin memberikan support padaku agar bisa melewati masa-masa sulit karena
kepergian Rangga. Tidak mudah, tapi dengan berlalunya waktu, dan dengan
dukungan mereka di sisiku, aku yakin luka akan kepergian Rangga akan terobati.
We’re
back!
Ya, kami semua sudah kembali ....
Terima
kasih, sahabat ...
Terima
kasih untuk semuanya ....
***
Dan waktu terus berlalu...
Luka terobati...
Sedu sedan tak ada lagi...
5 tahun terlalu lama...
Tapi tak apa...
Sekarang, aku baik-baik saja...
Melepaskan Rangga....
***
Aku
merapikan meja kerjaku dan segera menghambur keluar. Hari ini aku sudah minta
ijin pada atasanku untuk pulang 15 menit lebih awal.
Aku masih bekerja di toko buku yang sama
sejak beberapa tahun yang lalu, sejak aku batal ikut yudisium. Bedanya sekarang
aku tidak jadi karyawati lagi. Setelah mendapat gelar sarjana, aku resmi naik
pangkat menjadi supervisor.
“Buru-buru amat? Ada kencan dengan pak
dokter ya?” Elia, rekan kerjaku nyeletuk dari balik mejanya. Aku cuma nyengir
sambil melambaikan tanganku tanpa menghentikan langkahku. Yang dia maksud
dengan pak dokter tentu saja Dante.
Kebanyakan dari rekanku sudah kenal baik
dengan Dante karena ia sering kemari, sekedar mampir atau menjemputku pulang.
Bahkan kadang-kadang ia juga nganterin aku kerja. Itulah mengapa mereka
berpikir kalau aku dan Dante adalah sepasang kekasih. Aku sudah menjelaskan
beberapa kali kalau kami hanyalah sahabat, tapi mereka tak percaya. Jadi ya, kubiarkan
saja mereka berpikir seenaknya.
Hubunganku dengan Dante pun tetap saja
berjalan dengan unik. Kami tetap menjadi sahabat baik, lebih dari sahabat
malahan, tapi tak bisa juga disebut sebagai sepasang kekasih.
Yang jelas, Dante masih single, aku juga
masih single, dan kami selalu ada satu sama lain jika saling membutuhkan. Dia
satu-satunya lelaki yang selalu ada ketika kubutuhkan kapanpun dan dimanapun,
dan aku juga berusaha ada kapanpun dan dimanapun dia membutuhkanku. Jadi,
bagaimana kami menerjemahkan hubungan kami? Entahlah, kami hanya menjalaninya
begitu saja. Alamiah...
Seperti
halnya sore ini. Aku sengaja pulang lebih awal agar bisa membantu Dante
berkemas-kemas untuk pindah ke apartemen barunya. Minggu depan ia resmi bekerja
di sebuah klinik terkemuka di kota ini, jadi ia sengaja mencari apartemen yang
dekat dengan tempat kerjanya. Dan aku sudah janji untuk membantu kepindahannya.
Aku menghentikan sebuah taksi dan segera
menyuruhnya mengantarkanku ke rumah Dante. Taksi itu baru saja berjalan ketika
phonselku berbunyi dan sebuah pesan masuk bertambah. Dari Dante.
Aku
sudah selesai berkemas-kemas. Barang-barangku sudah di angkut mobil box. Segera
saja meluncur ke apartemen baruku...
Itu bunyi pesan singkatnya. Dan tanpa
menunggu lagi, aku menyuruh pak sopir mengubah haluan dan mengatakan padanya
alamat apartemen Dante.
Ketika
sampai di sana, barang-barang Dante yang dikemas di kardus berserakan di lantai
di dalam apartemen.
Dante meletakkan tangannya di pinggang
dan menatap kardus-kardus itu dengan frustasi.
“Wow, ini bener-bener mirip kayak kapal pecah,” sindirku. Dante mendengus.
“Wow, ini bener-bener mirip kayak kapal pecah,” sindirku. Dante mendengus.
“Kayaknya tadi nggak sebanyak ini deh.
Aku yakin banget kok kalo aku cuma membawa barang-barang yang penting aja,”
ucapnya. Ia berjongkok dan mulai membuka kemasan itu satu persatu.
Aku tersenyum, meletakkan tas ku di atas
salah satu kardus. Alih-alih membantu Dante membongkar barang-barangnya, aku
malah melangkahkan kakiku menuju jendela apartemennya. Sesaat aku terkesima.
Tempat ini begitu nyaman, nyaris separo kota ini bisa dilihat dari apartemen
yang berada di lantai 50 ini.
“Ini keren,” desisku.
“Kamu suka apartemen ini?”
“Ya,” jawabku pendek tanpa mengalihkan
pandanganku dari pemandangan yang terpampang di depanku.
“Kalo gitu, kamu bisa datang ke sini
kapan saja kamu mau. Kamu juga boleh menginap kalo mau. Ntar ku kasih kunci
duplikatnya,”
Aku mendelik dan menatap Dante.
“Menginap di sini? Hellooo, kita bisa
digerebek pak RT tahu?” tukasku kesal. Dante terkekeh.
“Disini nggak ada pak RT, ki?,” belanya.
Aku beranjak.
“Yuk ah, segera bekerja,” tukasku lagi.
“Emang sejak tadi aku bekerja. Nih
lihat, aku sudah bongkar-bongkar dan mulai menata. Kamunya aja yang manyun
berdiri di depan jendela kayak bos,” jawab Dante.
Aku mendelik. Dan Dante ngakak.
Aku segera melepaskan blazerku hingga
menyisakan tank top hitam, lalu segera membantu Dante membongkar kardus-kardus
dan segera menata barang-barang tersebut.
Sekitar
jam 11 malam pekerjaan kami selesai 80 persen. Kamar tidur, kamar mandi, dapur,
ruang kerja, ruang tengah, nyaris telah tertata rapi. Yang tersisa adalah
beberapa kardus yang berisi buku yang ingin Dante tata sendiri.
“Cari makan dulu yuk,” Dante mengusulkan.
Aku mengiyakan.
Aku baru saja mencuci tangan ketika
phonselku berdering. Dante yang meraihnya.
“Dari Olla,” teriaknya. Aku segera
berlari-lari kecil menyambar phonsel tersebut.
“Halo, Olla,” sapaku.
“Ki, kamu dimana? Cepat kemari, Ki. Aku
di rumah sendirian. Dan kayaknya, aku mau melahirkan,” suara Olla terdengar
dari seberang sana. Aku melotot.
“Hah? Melahirkan? Sekarang? Bukannya
kata dokter masih bulan depan bayi itu akan lahir,” aku nyaris berteriak.
“Nggak tau nih, cepat kemari ya,” ucapnya
lagi.
Olla
memang hamil anak kedua. Setahun tahun yang lalu ia menikah lagi. coba tebak dengan siapa? Dengan Ronald. Yup,
mantan pacarnya ketika es-em-a dan yang juga pernah jungkir balik mengejar
cintaku.
Setelah Olla resmi pindah ke kota ini
lagi, komunikasi antara ia dan Ronald kembali terjalin. Dan sungguh berita yang
luar biasa ketika beberapa waktu kemudian secara langsung Ronald menemuiku dan
mengatakan bahwa ia ingin menikahi Olla.
Tentu saja aku senang bukan kepalang. Ronald adalah lelaki yang baik, dan aku
yakin ia bisa membuat Olla bahagia. Lagian, akan menjadi sebuah kisah yang
manis kalau pasangan hidup kita adalah mantan pacar ketika es-em-a.
“Emang Ronald kemana, La?”
“Dinas malam,”
“Oke, aku ke sana,” aku menutup
pembicaraan.
“Olla akan melahirkan?” tanya Dante.
Aku mengangguk.
“Oke deh, ku antarkan pake mobilku,”
lanjutnya. Dan aku kembali mengangguk.
Aku
sampai di rumah Olla bersamaan dengan Jihan. Dan tanpa menunggu lagi, aku
segera membantu Olla naik ke mobil Dante untuk segera di bawa ke rumah sakit,
sementara Jihan sibuk menggandeng Daniel.
“Kamu gimana sih, La? Kenapa si Kiki
yang mesti kamu telpon duluan? Harusnya tuh aku dulu karena rumahku lebih dekat
sama kamu. Kiki tuh lagi ada di apartemennya Dante, jauh,” dia segera ngomel-ngomel
ketika tahu bahwa akulah orang pertama yang ditelpon Olla.
“Ya
nggak tahu, ketika ngerasa sakit, yang ada di kepalaku duluan ya Kiki,”
jawab Olla di sela-sela erangan rasa sakit.
“Itu namanya pilih kasih. Yang bisa
dimintain tolong ‘kan bukan cuma Kiki doang,” dan Jihan terus saja
ngomel-ngomel.
Mereka terus saja adu argumen sepanjang
perjalanan ke rumah sakit. Jihan masih terus mengomel, Olla masih terus
mengerang dan juga ... mengomel. Astaga...
Tepat ketika Olla sudah berada di ruang
persalinan, Ronald telpon ke phonselku.
“Gimana, Ki? Bayinya udah lahir? Olla
gimana? Dia baik-baik aja ‘kan?” cerocosnya.
“Kamu di mana sih? Penting mana istri
sama pekerjaan?” teriakku.
“Iya, iya, ini aku sudah dalam
perjalanan ke situ kok. Tolong bilang dulu ke Olla jangan biarkan bayinya lahir
dulu. Aku nggak mau ketinggalan momen saat bayi itu lahir ke dunia. Nih aku
sudah menyiapkan alat perekam untuk mengabadikan momen bersejarah itu,”
Aku melotot.
“Kampret! Emang bayi bisa diajak
janjian?!” teriakku.
“Iya, iya, pokoknya aku akan berusaha
nyampek situ secepatnya,” jawab Ronald.
“Oke, tapi hati-hati,” balasku. Dan ia
menutup pembicaraan.
Selang beberapa saat, Sonya juga sampai
di rumah sakit.
“Gimana? Bayinya udah lahir?” ia
bertanya. Kami menggeleng.
“Fifi juga sudah dalam perjalanan ke
sini kok,” lanjutnya. Aku kembali melotot.
“Amerika ke sini?” aku memastikan.
Sonya mengangguk.
“Iya, pakek jet pribadi,” jawabku. Alamak...
“Ronald belum datang ‘kan? Ya udah, biar
aku di dalam nemenin Olla,” Sonya beranjak.
“Oh iya, bilang ke Olla, jangan biarkan
bayinya keluar dulu kalo Ronald belum datang, itu permintaan khusus dari yang
punya anak,” ucapku kesal. Sonya sempat tertawa sebelum masuk ke dalam ruangan.
Tapi
sungguh ajaib, bayi Olla benar-benar lahir ke dunia, setelah Ronald datang dan
mengawasi secara langsung selama proses kelahiran tersebut.
Kami semua besorak lega ketika bayi itu
lahir sehat, dan Olla juga nampak sehat. Mereka bahkan sudah dipindahkan ke
ruang perawatan beberapa jam kemudian.
Aku manatap takjub ke arah bayi
perempuan berkulit kemerahan itu, terlebih ketika Ronald meletakkannya di
gendongannya dengan hati-hati. Aku terpesona. Interaksi keduanya benar-benar
... luar biasa.
Kebahagiaan begitu besar tampak jelas
dari raut muka Ronald. Olla yang tampak kelelahanpun menunjukkan ekspresi yang
sama.
Oh, apa mempunyai bayi benar-benar
semenakjubkan itu?
Mereka benar-benar tampak luar biasa.
Dan entah mengapa, tiba-tiba saja aku
membayangkan diriku mempunyai bayi sendiri.
Aku merasakan Dante menyentuh kepalaku
dengan lembut.
“Kalo pengen punya bayi sendiri, harus
menikah dulu. Oke?” ucapnya setengah berbisik di telingaku. Aku melotot ke
arahnya. Curang! Kamu membaca pikiranku!
Dante tertawa lirih.
“Kamu bisa pulang dulu kok, Ki. Kamu
nampak lelah. Biar Ronald, aku dan Jihan yang di sini jagain Olla. Lagian,
bentar lagi mungkin Fifi juga datang,” ucap Sonya.
“Beneran nggak apa-apa?” tanyaku. Mereka
mengangguk yakin.
Dan akhirnya, aku pamit dan memilih
pulang terlebih dahulu di antarkan Dante.
Karena terlalu kelelahan, aku tak
menyadari bahwa mataku langsung terpejam ketika memasuki mobil Dante. Aku ketiduran...
***
Aku
membuka mata tepat ketika sinar mentari menerobos melalui korden jendela. Aku
menggeliat sesaat dan segera menyadari bahwa aku tidak berada di kamarku!
Aku terhenyak dan segera berjingkat. Aku
melangkahkan kakiku keluar kamar. Dan tampak Dante sedang berkutat di dapur
membuat sarapan pagi.
“Kok aku bisa di sini?” tanyaku.
Dante menoleh dan tersenyum.
“Terlalu jauh untuk mengantarkanmu
pulang. Kamu tidur pulas dan tampak kelelahan. Jadi aku sengaja menggendongmu
dan membawamu ke sini. Tuh, aku udah bikin teh buat kamu. Santai aja, ini baru
jam 6. Hari ini kamu dapat shift siang ‘kan?” ucapnya sambil menunjuk ke
secangkir teh yang berada di meja makan.
Aku menyisir rambutku dengan jemari lalu
duduk di kursi, tepat di depan secangkir teh buatan Dante.
“Kok aku nggak dibangunkan?” tanyaku
sambil menyeruput teh tersebut perlahan.
Dante cuma menggeleng.
“Yakin kamu menggendongku dari parkiran
sampek sini?” tanyaku lagi.
“Ada pilihan lain?”
“Ya, mungkin kamu membawaku ke sini
dengan kekuatan telekinesismu,” ucapku lagi. Dante terkekeh. Ia menyajikan
beberapa roti bakar dan telur goreng di depanku.
“Membawamu dari parkiran ke sini tuh
nggak perlu kekuatan telekinesis. Tahu kenapa? Karena kamu tuh kecil,” ucapnya.
“Sarapan dulu, nih,” ia membawa piring
yang berisi sarapannya sendiri lalu duduk di seberangku.
“Kayaknya aku mau mandi dulu deh,”
ucapku. Dante mengangguk.
“Oke, aku sudah nyiapin sikat gigi baru
dan handuk baru buatmu. Ada di kamar mandi. Aku juga punya beberapa kaos oblong
baru yang belum pernah ku pakai. Mau ku ambilkan untuk ganti?”
Aku mengangguk. Segera Dante beranjak
mengambilkan baju ganti sementara aku
beranjak ke kamar mandi.
***
Setelah
selesai sarapan, Dante kembali asyik menata buku-bukunya di rak. Sementara aku
duduk tercenung di depan jendela apartemennya. Pandanganku masih takjub menatap
indahnya kota dari apartemen ini.
“Masih mengagumi apartemenku?” tanya
Dante dari balik punggungku. Aku mengangguk.
“Silahkan sombong, tapi iya,” jawabku
tanpa menoleh ke arahnya.
“Aku nggak tahu gimana caranya kamu
menemukan apartemen senyaman ini. Tapi kelak kalo aku sudah punya cukup uang,
aku akan mencari apartemen yang persis kayak gini. Tenang, nyaman, bisa melihat
pemandangan kota dari jendela kamar, whoaa, ini benar-benar menakjubkan,” jelasku.
“Kalo gitu, tinggalah di sini,
bersamaku,”
Kalimat yang meluncur dari mulut Dante
membuatku membalikkan badan. Dan ternyata Dante juga tengah menatap ke arahku.
“Tinggalah bersamaku,” ia mengulangi
kalimat itu.
Aku terdiam.
Tatapan kami terkunci dan hening sesaat.
“Seorang lelaki meminta seorang
perempuan tinggal bersama, apa ini berarti sebuah lamaran?” tanyaku memastikan.
Dante meletakkan buku ditangannya di susunan rak terakhir lalu bergerak
mendekatiku.
“Ya,” jawabnya kemudian, tegas.
Aku mematung.
“Kamu tahu bahwa aku mencintaimu sejak
dulu, Ki. Dan aku juga tahu bahwa kamu mulai merasakan hal yang sama denganku.
Kamu mulai mencintaiku ‘kan?”
Aku terhenyak.
Ya, mustahil bisa berbohong pada
cenayang.
Tapi ia benar. Seiring berjalannya
waktu, aku memang menemukan cinta baru pada diri Dante. Cinta yang alami, yang
makin hari kian besar. Perasaan itu tak bisa dihindari, tak bisa disangkal.
Aku bahagia bersama Dante, aku nyaman
bersamanya, dan aku akan senang hati membuatnya bahagia, membalas semua
kebaikan dan perhatian yang selama ini ia curahkan padaku tanpa ragu, tanpa
pamrih, tanpa syarat.
Dante, adalah sebuah anugerah tersendiri
bagiku. Hanya saja aku tak menemukan cara untuk memperjelas hubungan di antara
kami.
“Tak perlu memperjelas apa-apa lagi, Ki.
Toh semuanya sudah jelas. Kita saling mencintai, saling melengkapi, saling
berbagi baik suka maupun duka. Aku tulus mencintaimu dengan sepenuh hatiku. Ini
memang bukan sebuah lamaran yang romantis. Tapi aku benar-benar ingin menikah
denganmu,” ucapnya lagi.
Tatapan kami kembali terkunci. Aku
menelan ludah. Sebenarnya tak perlu berpikir dua kali untuk menjawab
lamarannya. Tapi tetap saja, ini sedikit mendadak buatku.
“Kamu tak perlu menjawab sekarang, Ki,”
ucapnya kemudian. Keningku berkerut.
“Ada sesuatu yang harus kamu ketahui
terlebih dahulu sebelum kamu menjawab lamaranku. Duduklah dulu,”
Dante menyentuh kedua bahuku lalu
membimbingku duduk di sofa di dekat jendela, sementara ia duduk di kursi
depannya.
“Ada apa?” tanyaku cemas.
Dante menelan ludah. Ia menggigit
bibirnya, lalu menatapku dengan tatapan ragu.
“Waktuku nggak banyak, Ki,” ucapnya
kemudian.
Lirih.
“Maksudmu?”
Dante kembali terdiam.
“Aku mendapatkan penglihatan tentang
masa depanku. Dan apa yang kulihat adalah, umurku tak panjang. Aku akan segera
meninggal dalam waktu beberapa tahun yang akan datang. Tak lama lagi,”
jelasnya.
Aku terbelalak.
“Apa ...
maksudmu?” suaraku bergetar.
Dante mengangguk pelan, putus asa.
“Itu benar, Ki. Waktuku tak banyak lagi
di dunia ini. Aku memang pernah mengatakan padamu bahwa kita ditakdirkan untuk
bersama. Tapi takdir itu masih bisa kau ubah. Percayalah Ki, sebenarnya aku tak
ingin memberitahumu soal ini. Tapi, bertahun-tahun yang lalu aku nyaris
melihatmu hancur berkeping-keping ketika Rangga meninggalkanmu. Dan aku tak
ingin melakukan hal yang sama padamu. Membuatmu hancur berantakan dengan
kematianku,” tatapan Dante sendu.
Ulu hatiku sakit. Aku tak mampu
bergerak.
“Keputusan ada di tanganmu, Ki. Jika
kamu masih mau menghabiskan waktu yang tersisa bersamaku, menikmati setiap
detik, setiap menit, maka kita akan menikah. Tapi maaf, aku tak bisa
menghabiskan masa tua bersamamu,” kali ini suara Dante-lah yang bergetar.
“Tapi jika kamu tak sanggup menghadapi
kematianku, maka tolak-lah lamaranku. Dan cobalah untuk melupakanku, mulai dari
sekarang ....” ia melanjutkan.
Aku merasa hampa seketika.
Perlahan aku memejamkan mata lalu
menunduk, dan bersamaan dengan itu, air mataku menitik di pangkuanku .....
Bersambung...
Selanjutnya :
Kiki Kaka (End)
Nganjuk, 20-10-2014
21.26
Wiwin W.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar