Bab 6
Ketika David
sampai di rumah Annisa, rumah itu sudah luluh lantak dengan tanah. Untungnya tak
ada yang terluka. Hanya ayah Annisa yang mengalami sedikit luka bakar di lengan
tangannya karena berusaha menyelamatkan benda-benda berharga yang masih bisa di
selamatkan.
Annisa segera menghambur ke arah David
dan memeluk lelaki itu ketika melihat kedatangannya. Perempuan manis itu
terisak di dadanya. Ia tak menyadari kedatangan Maya yang berada tak jauh dari
mereka. David sedikit canggung dengan Annisa dalam pelukkannya, terlebih lagi
ketika Maya menatap mereka – menatap adegan pelukan itu - dengan tatapan tak
nyaman.
“ini bukan kecelakaan, Vid. Aku melihat
beberapa orang mengendap-endap dan menyiramkan bensin. Mereka membakar
rumahku,” Annisa terisak. David membelalak.
“Seseorang berusaha mencelakai kalian?”
Ia menggumam tak percaya.
“Entahlah, tapi aku yakin ini bukan
kecelakaan biasa,” isak tangis Annisa tak berhenti.
“oke, tenangkan dirimu. Ayahmu harus
dibawa ke rumah sakit dulu. Semoga luka bakarnya tak parah. Kamu nggak terluka
‘kan?”
Di dada David, Annisa menggeleng. David
ragu, tapi akhirnya ia mengangkat kedua tangannya, mendekap Annisa dan membelai
rambutnya dengan lembut, hanya untuk menenangkannya, tak lebih.
Tatapan mata David singgah pada Maya
yang berdiri mematung tak jauh dari mereka. Ia tahu Maya menatapnya dengan
tatapan tak nyaman. Ia tak bisa apa-apa.
Maya menggigit bibirnya sesaat, lalu
mengarahkan jarinya ke arah jalanan. Sorot matanya seolah mengatakan : aku pergi dulu.
David menggeleng pelan, mencoba menyuruh
Maya untuk tetap di sana. Ia tak mengatakan apapun, tapi ia yakin Maya bisa
membaca isyarat matanya : jangan pergi.
Tapi perempuan semampai itu hanya tersenyum lalu mengacungkan jempolnya.
Mulutnya bergerak-gerak mengatakan
sesuatu.
“Aku baik-baik aja. Aku tunggu kamu di
rumah. Annisa butuh bantuan, bantulah dia dulu,” ucapnya.
Maya beranjak menuju jalan raya,
menghentikan sebuah taksi, dan melaju pergi. Dan David hanya menatap
kepergiannya tanpa bisa mengatakan apapun.
Dan malam itu, David nyaris menghabiskan
semalam penuh untuk membantu Annisa. Ia membantu mengantarkan ayahnya ke rumah
sakit, dokter mengatakan ayah Annisa tak perlu menjalani rawat inap. Rawat
jalan sudah cukup untuk luka bakarnya. Dan malam itu juga David mencoba
mencarikan penginapan murah untuk tempat tinggal sementara keluarga Annisa.
Mereka tak punya keluarga di kota ini. Jadi, mencarikan penginapan adalah jalan
terbaik.
“Aku sudah menghubungi teman-temanku.
Dan aku juga sudah menghubungi teman-temanmu dari restoran Billy. Mereka akan
bergotong royong membantumu. Tetangga-tetanggamu juga sangat baik. Mereka
berinisiatif untuk menggalang dana dari masyarakat sekitar, agar rumahmu bisa
dibangun lagi. Tapi, itu akan memakan waktu sedikit lebih lama dan mungkin
rumahnya tidak sebagus dulu,”
Annisa manggut-manggut.
“Baju dan makanan, jangan khawatirkan itu.
Semua sedang menuju ke sini untuk membantumu,”
Annisa kembali manggut-manggut. Air
matanya menitik.
“Makasih ya, Vid. Sori kalo aku harus
ngrepotin kamu lagi,”
“It’s oke. Itulah gunanya teman. Jangan
berencana untuk menolak bantuan kami. Please, kami tulus padamu,” David kembali
menggenggam tangan Annisa denga lembut.
“Makasih banyak ya, Vid,”
David tersenyum.
“Dan ... kamu yakin kalo ada orang yang
berusaha mencelakaimu dan keluargamu?” David bertanya dengan ragu-ragu. Annisa
mengangguk.
“Ya, aku melihatnya sendiri. Beberapa
orang tetanggaku yang belum tidur juga sempat memergoki mereka. Pak RT sudah
berusaha melaporkan hal ini pada polisi,” jawab Annisa.
David manggut-manggut. Entah kenapa,
pikiran segera tertuju pada papanya. Ia terngiang dengan kata-kata papanya
beberapa minggu yang lalu ketika ia berkunjung ke apartemennya.
Aku
akan menyingkirkan pacarmu jika kamu menolak menikah dengan Maya!
Astaga, tiba-tiba saja David merasa
takut luar biasa.
“Kamu akan baik-baik aja tinggal
sementara di sini. Sekarang, aku harus kembali ke apartemenku. Ada sesuatu yang
harus kuselesiin. Nggak apa-apa ‘kan?” David pamit. Dan ia bersyukur karena
Annisa mengangguk tanda setuju.
“Iya, pergilah. Makasih atas bantuannya
ya,” ucap perempuan tersebut. Tanpa menunggu lebih lama,
David beranjak menuju mobilnya dan
segera melarikan mobil tersebut dengan kecepatan tinggi. Tapi tidak ke
apartemennya! Ia menuju rumah papanya!
Ketika sampai di
rumah papanya, ia melihat lelaki itu sedang berada di ruang kerjanya. Lelaki
itu mengalihkan pandangannya dari dokumen di mejanya ketika melihat kedatangan
David.
“Oh, selamat malam, Vid. Tumben
malam-malam begini ke sini?” Papanya menyapa duluan.
“Apa yang papa lakukan pada Annisa?”
David segera memberondongnya dengan pertanyaan.
Kening papa David mengernyit.
“Annisa?”
“Ya, Annisa. Beberapa orang sengaja
membakar rumahnya dan ia nyaris tewas terpanggang bersama seluruh keluarganya.
Ini jelas bukan kecelakaan biasa, Pa,”
Papa David tampak tertawa dengan tenang.
“Maksudmu, kamu menuduhku melakukan hal
itu? Berusaha membunuh perempuan itu?”
“Kalo bukan papa lantas siapa lagi? Papa jelas-jelas mengancam akan menyingkirkannya kalo aku nggak mau menikah dengan Maya,”
“Kalo bukan papa lantas siapa lagi? Papa jelas-jelas mengancam akan menyingkirkannya kalo aku nggak mau menikah dengan Maya,”
Papa David kembali tertawa.
“Kamu terlalu dini menuduhku, Vid,”
“Annisa nggak ada hubungan apapun dengan
masalah kita, Pa. Jangan pernah melibatkannya. Dia nggak tahu apa-apa. Dan papa
harus tahu, dia bukan pacarku,”
“Oh ya?” Papa David mencibir dengan rasa
tidak percaya.
“Tapi kamu menolak menikahi Maya karena
perempuan itu ‘kan?”
David menggeleng.
“Papa salah! Alasanku menolak perjodohan itu
bukan karena Annisa, tapi karena papa sendiri,”
Papa David menatap puteranya dengan
heran.
“Apa maksudmu?”
“Karena aku sudah muak, Pa. Aku bosen
kau atur-atur terus. Aku ingin memberikan perlawanan padamu. Dan salah satu
caranya adalah menolak idemu untuk menikahi Maya. Kaulah yang menjadi penyebab
aku melakukannya,”
Papa David bangkit dan menatap David
dengan serius.
“Semua yang papa lakukan adalah demi
dirimu, Vid,” papa David berteriak.
“Oh ya? Aku nggak butuh! Aku nggak butuh
jadi pewaris perusahaanmu. Jika harus memilih, aku lebih suka menjadi orang
biasa yang menjalani hidup dengan normal, apa adanya dan bebas. Bebas
menentukan arah masa depanku! Jadi, mulai detik ini, aku nggak mau lagi
berurusan dengan perusahaanmu!”
Kedua lelaki itu bertatapan dengan
tajam.
“Apa yang membuatmu begitu egois, Vid?
Apa kamu nggak mikirin sama sekali nasib para karyawan? Hanya demi wanita
miskin itu, kamu rela melepaskan semuanya?”
“Itu bukan karena dia, Pa. Tapi karena
aku sudah bosan melakukannya. Serahkan aja perusahaanmu pada 2 anakmu yang lain
dan berhentilah mengekangku,”
“Itu nggak mungkin, mereka nggak akan
mampu,”
“Apanya yang nggak mampu? Toh Papa nggak
pernah ngasih mereka kesempatan,”
Papa David menarik nafas panjang sebelum
menjawab.
“Mereka nggak punya kemampuan untuk itu,
Vid. Dan merekapun tahu tentang hal itu. Jika papa mengatur segala hal tentang
dirimu, itu karena kamulah satu-satunya anak papa yang punya kemampuan untuk
mengatur perusahaan,”
“Omong kosong!”
“Terserah. Tapi insting papa selalu
benar. Sejak kamu dilahirkan, papa tahu bahwa kamulah satu-satunya anak papa
yang punya kemampuan menjadi pewaris bisnis papa, bukan kedua kakakmu. Mereka
tahu, papa tahu, dan aku yakin kamu juga tahu hal itu,”
David mendengus kesal. Tapi hati
kecilnya mengatakan, mungkin papanya memang benar. Kedua kakaknya memang tak
punya kemampuan apapun dalam hal bisnis. Tapi apakah itu alasannya? Entahlah,
ia sendiri bingung.
“Dan satu hal lagi, mungkin papa memang orang egois, tapi papa tidak akan
mencelakai orang. Itu hanya gertakan, papa tidak akan pernah benar-benar
melakukannya. Jadi, bukan aku yang mencelakai perempuan itu. Kamu boleh percaya
boleh enggak. Terserah padamu,”
David menatap papanya dengan putus asa.
Dan tanpa mengatakan apapun lagi, ia meninggalkan papanya dengan kesal.
***
David
merasa lega luar biasa ketika menemukan Maya di apartemennya. Tadinya ia
mengira perempuan itu akan melarikan diri darinya setelah melihatnya memeluk
Annisa. Tapi nyatanya, di sanalah dia sekarang, di apartemennya, menunggunya.
Entah kenapa, hanya dengan melihat wajahnya, kekesalan yang menyelimuti diri
David menghilang begitu saja.
“Kamu nggak apa-apa ‘kan? Kamu kelihatan
kesal,” Maya bangkit dari sofa dan mendekati David. David tersenyum dan
menggeleng.
“Hanya sedikit lelah,” jawabnya.
“Kemarilah,” ia meraih pinggang Maya yang ramping, mendekatkan dirinya padanya,
lalu memeluknya erat.
“Maafkan aku karena tadi kamu harus
pulang sendirian dengan naik taksi,” ucap David dengan nada menyesal.
“Nggak apa-apa. Bagaimana Annisa? Dia
nggak apa-apa ‘kan?” Maya menyandarkan kepalanya di dada David.
“Dia baik-baik aja. Ayahnya terluka,
untunglah nggak parah. Aku juga sudah mencarikan mereka penginapan sementara.
Tenanglah, banyak yang datang untuk membantu mereka,” David mengecup puncak
kepala Maya dengan lembut. Mereka berpelukan selama beberapa saat sebelum
akhirnya Maya menarik dirinya lalu mengajak David duduk di sofa.
“Apa itu benar?” Maya bertanya dengan
ragu-ragu.
“Apanya?”
“Bahwa ada orang yang mencoba mencelakai
Annisa. Aku mendengar obrolan kalian. Ada orang yang sengaja membakar rumahnya
‘kan?”
“Mm, entahlah. Tapi,
tetangga-tetangganya sudah melaporkan masalah ini ke polisi,”
Maya menggigit bibirnya dengan resah.
David meraih tangannnya dan menggenggamnya erat.
“Ada sesuatu?” tanyanya. Maya menatap
lelaki di hadapannya dengan dalam.
“Bukan papaku ‘kan pelakunya?” ia
bertanya dengan tiba-tiba. David mengernyitkan dahinya.
“Kenapa tiba-tiba kamu nanya kayak
gitu?”
“Entahlah, Dave. Aku hanya merasa takut
aja. Tiba-tiba aku takut dengan sikap para orang tua jaman sekarang,”
David mengangkat bahu.
“Sejujurnya, aku sempat mengira itu adalah
perbuatan papaku,”
“Oh ya? Tapi, bukan dia ‘kan pelakunya,”
“Entahlah, aku juga bingung,”
“Jadi, papamu atau papaku?”
David tak bersuara. Ia menatap Maya dengan
lekat.
“Semoga saja bukan mereka berdua, May,”
ucapnya lembut.
“Mungkin papaku,” Maya kembali
mengungkapkan ketakutannya.
“hei, kenapa kamu harus mikir kayak
gitu? Santai aja May,” David membelai punggung tangan Maya dengan lembut. Maya
mengatupkan kedua bibirnya dengan keras sebelum kembali berkata. “Sejujurnya,
papaku tahu kalo Annisa adalah pacarmu. Setidaknya, itu yang ia ketahui,
meskipun yang sebenarnya, dia hanyalah sahabatmu,”
David terhenyak heran.
“Astaga, darimana papamu tahu tentang
Annisa?”
“Dia papaku, Dave. Jangan pernah
meragukan kemampuannya. Ia punya banyak orang kepercayaan yang mampu
memberikannya info tentang banyak hal. Termasuk tentang dirimu, teman-temanmu,
bahkan semua orang yang pernah dekat denganmu,”
“Oh ya?”
Maya mengangguk.
“Ketika aku dirawat di rumah sakit, ia
beberapa kali menyinggung tentang Annisa. Ia tahu bahwa kamu dekat dengannya.
Dia bahkan berpikir bahwa kamulah yang menolak menikah denganku karena
perempuan itu. Dan, dia berjanji padaku bahwa dia nggak akan pernah memaafkan
siapapun yang berani menyakitiku, atau menghinaku. Dan ... dia bahka mengatakan
bahwa dia sanggup memberi mereka pelajaran,” kalimat Maya terdengar gemetar.
David mempererat genggaman tangannya. Ia melihat ada nada ketakutan pada raut
wajah perempuan tersebut.
“Oh, astaga, apakah papaku akan tega
melakukannya, Dave? Menyakiti orang? Membakar rumah seseorang?” Maya terlihat
putus asa.
“May, itu ...”
“Sepertinya aku harus menemuinya,” Maya
bangkit.
“Mau kemana?” David ikut bangkit, tetap
dengan menggenggam tangan Maya.
“Aku harus menemui papaku, Dave. Aku
harus nanyain langsung ke dia tentang hal ini. Aku nggak bisa tenang kalo belum
memastikan bahwa papaku tidak terlibat dalam hal ini. Oh, semoga saja ia
benar-benar nggak terlibat,”
“Oke, besok saja temui dia, sekarang
istirahatlah, sudah malam,”
“Nggak bisa, Dave. Aku nggak bisa,”
“May?”
“Aku harus menemuinya sekarang. Aku
harus tahu hal yang sebenarnya,”
“May, kumohon,”
“Dave,” tiba-tiba Maya terisak. David
merasakan tubuhnya membeku. Ia hanya tak mengira bahwa Maya akan merasa
terpukul seperti itu.
Lelaki itu bergerak dan meraih tubuh
Maya ke dalam pelukannya.
“Aku takkan bisa memaafkan diriku
sendiri kalo papaku sampai tega menyakiti orang, Dave. Aku nggak akan bisa
memaafkan diriku sendiri kalo keluarga Annisa terluka karena diriku,” Maya
terisak di dada David.
“Ssstt, bukan May. Ini bukan salahmu. Kalo ada
orang yang patut di salahkan, akulah orangnya. Akulah yang melibatkan Annisa
dalam masalah ini. Bukan salahmu. Berhentilah, sayang. Jangan menangis lagi, ku
mohon,” David membelai punggung Maya dengan lembut lalu mencium puncak
kepalanya, berkali-kali. Entah kenapa, tiba-tiba saja ia berharap bahwa
papa-nyalah yang mencoba mencelakai Annisa. Karena jika sampai tuduhan Maya
benar, bahwa papanyalah pelakunya, tentu perempuan itu akan sangat terpukul dan
terluka. Dan David tidak akan pernah sanggup menyaksikan Maya terluka. Tidak
akan pernah!
Maya
berdoa agar prasangkanya salah. Tapi kenyataan itu benar-benar memukul
perasaannya. Siang itu, ia menemui papanya di rumah. Papanya sempat
menyemprotnya dengan amarah karena telah meninggalkan rumah sakit tanpa
pemberitahuan. Tapi Maya tak memberikan penjelasan apapun. Ia kesana menemui
papanya untuk membicarakan masalah Annisa. Dan alangkah terkejutnya ia ketika
papanya dengan terang-terangan mengakui bahwa ia yang memberi pelajaran pada
perempuan itu.
“Apa yang telah papa lakukan padanya?
Ini tindakan kriminal!” kedua mata Maya berkaca-kaca.
Lelaki setengah baya itu hanya berdehem
tenang.
“Dia pantas menerimanya. Tak akan ada
seorangpun yang kuijinkan untuk menghina keluarga kita. Kau putri kesayangan
papa, putri paling cerdas, paling cantik, dan paling berani di seluruh muka
bumi ini. Dan idiot itu menolakmu hanya karena perempuan miskin sialan itu, ini
benar-benar tak dapat dipercaya,”
Maya mendesah.
“Pa, apa Papa lupa? Akulah orang pertama yang
menolak pernikahan itu, bukan David.,”
“Oh, apa kamu pikir Papa orang yang bodoh?
Kamu mungkin perempuan pemberontak, Maya. Tapi papa tahu kamu orang yang tak
pernah berhenti berusaha untuk membahagiakan orang lain. Kamu tahu pernikahanmu
adalah satu-satunya hal yang akan membuatku bahagia sepanjang sisa hidupku,
sehingga kamupun berusaha menerimanya, meskipun kamu nggak suka. Tapi,
nyatanya, kamu menolak. Dan aku yakin benar bahwa penolakanmu karena kamu tahu
bahwa lelaki itu telah memiliki kekasih. Tentu kamu tak akan pernah tega
memisahkan sepasang kekasih yang saling mencintai, sehingga kamu mengalah dan
memilih untuk menolak terlebih dahulu. Kamu pikir aku nggak tahu hal itu?”
Maya kembali mendesah putus asa.
“Papa ceroboh mengambil keputusan
tentang siapa perempuan yang dekat dengan David tersebut,”
Papa Maya terkekeh.
“Aku bahkan sudah tahu lama tentang
hubungan mereka. Bertahun-tahun sebelum aku berinisiatif menjodohkan kalian,
aku sudah mencari tahu terlebih dahulu tentang David. Dan aku tahu ia dekat
dengan seorang pelayan restoran bernama Annisa. Mereka sudah lama berpacaran,”
“Mereka tidak pernah berpacaran, Pa,”
mulut Maya bergetar.
“Annisa bukan pacar David. Mereka hanya
berpura-pura pacaran!”
“Apa dia menceritakan cerita bohong
padamu lagi?”
“Tidak, David tidak bohong. Dia sudah
menceritakan segalanya padaku. Annisa bukan pacarnya. Yang ia cintai selama ini
adalah, aku!” air mata Maya menitik.
Papanya menatapnya dengan tatapan tak
percaya.
“Dia bersandiwara lagi ‘kan?”
“Enggak pa, aku bersumpah padamu. Annisa
bukan pacar David. Dia nggak ada hubungan apapun dengan masalah perjodohan
kami. Dan sekarang, apa yang telah papa lakukan pada perempuan itu? Papa nyaris
membunuhnya. Membunuh seluruh kelurganya. Ya Tuhan, kenapa papa melakukan hal
keji semacam ini?!” lutut Maya lemas. Ia duduk bersimpuh di hadapan papanya dan
perempuan itu terisak dengan histeris.
“Aku benar-benar nggak percaya papa
nyaris membunuh orang hanya karena aku. Papa benar-benar membuatku kecewa,” ia
menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.
Yohanes Anthony menelan ludah. Ia hanya
tak menyangka bahwa putrinya akan merasa sangat terpukul seperti itu.
“Mereka orang-orang yang baik, Pa. Dan
aku nggak punya muka lagi untuk bertemu dengan mereka setelah apa yang papa
lakukan pada mereka,” Maya sesenggukan. Merasa benar-benar terluka.
David menerima
telpon dengan tangan gemetar. Sumpah, ia tak pernah merasa setakut ini. Dan,
apa yang menjadi kekhawatirannya selama ini memang benarlah adanya.
“Dia yang melakukannya, Dave,” suara
Maya dari seberang sana terdengar gemetar. David menelan ludah, tak mampu
berkata-kata.
“Papaku yang melakukannya. Dia yang membakar
rumah Annisa. Oh, astaga, bagaimana ini, Dave? Apa yang harus kulakukan? Papaku
telah melakukan tindakan kriminal. Dia melakukannya hanya untuk diriku.
Andaikan aku tahu aku .... menyebabkan kekacauan ini, aku... ,” Kalimat Maya
terhenti. David tahu perempuan itu sedang berjuang dengan dirinya sendiri.
“Bagaimana aku bisa menghadapimu, Dave?
Menghadapi Annisa? Aku nggak punya muka lagi untuk ketemu dengan kalian. aku
benar-benar nggak nyangka kalo aku akan menyebabkan kekacauan ini,” dan tangis
perempuan itu meledak. David membisu. Lututnya lemas. Dan ia hanya mampu
mendengar isak tangis Maya, selama hampir setengah jam.
***
Bersambung
....