Bab 2
David
hanya membelalak ketika menyaksikan Maya sudah berada di dalam kantornya tepat
jam 7 pagi!
“Hai.” Ia menyapa duluan dengan nada biasa,
tanpa rasa canggung sama sekali.
“Ngapain kamu di sini?” tanya David
dengan datar.
“Mampir.” Jawab perempuan itu pendek.
“Bagaimana kamu tahu kantorku?” David
melangkahkan kakinya dan segera duduk di kursinya. Tanpa menatap ke arah Maya
yang duduk di hadapannya.
“Helloo, kita ini calon tunangan -
itupun kalo jadi. Apa susahnya nyariin kamu. Aku toh sudah tahu, dari papaku,”
“Langsung aja. Kamu mau apa?”
“Nanti malam aku dan keluargaku akan
makan malam di rumahmu. Papamu yang mengundang. Dan aku yakin kamu belum tahu
rencana itu.”
David mengernyit. Ia mendongak dan
menatap wajah perempuan cantik di hadapannya. Ia menggeleng.
“Iya, aku emang belum tahu.” Jawabnya.
Maya manggut-manggut.
“Sudah ku duga. Makanya aku ngasih tahu kamu duluan biar kamu nggak kaget.
Bentar lagi pasti kamu dapat kabar dari papamu.”
David mengangkat bahu. “Memangnya makan
malam untuk apa?”
Maya terkekeh mengejek. “Kamu ini gimana
sih? Tentu aja membahas pertunangan kita. Kamu pikir untuk apa?”
David melotot.
“Apa kamu lupa kalau aku menolak
perjodohan kita?”
“Enggak-lah. Aku masih ingat kok.
Makanya, makan malam nanti adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran.”
Ujar Maya.
David kembali melotot. “Kebenaran apa?”
Maya mendesah dan menatap David, kesal.
“Kebenaran bahwa kamu sudah punya pacar,
sialan. Bilang ke mereka kalau kamu menolak menikah denganku karena kamu sudah
mencintai cewek lain. Dan perjodohan akan batal. Gampang ‘kan?”
David kembali menatap perempuan di
hadapannya dengan geram.
“Kamu menjadikanku umpan ‘kan?”
“Umpan apa?” Maya mengernyit.
“Kalo aku bilang aku menolak menikah
denganmu karena aku sudah punya pacar, maka otomatis kesalahan akan di timpakan
padaku. Dan sudah pasti, papaku akan membunuhku! Itu maksudmu?”
Maya mendesah. Ia bangkit.
“Terserah. Yang jelas, aku tidak akan
bunuh diri dengan menolak terlebih dulu
perjodohan itu. Lagipula aku sedang nggak ada hubungan dengan lelaki manapun.
Jadi, nggak ada beban sama sekali denganku. Tapi kamu, beda. Kamu punya pacar
dan seharusnya kamu memperjuangkan cintamu. Tapi jika kamu terlalu pengecut
untuk melakukan hal itu, kita menikah saja. Habis perkara,” Maya beranjak.
“Oh iya, aku lupa,” ia berhenti dan
berbalik.
“Billy, pemilik restoran itu, temanmu
‘kan? Tolong bilang ke dia agar berhenti mengirimiku bunga. Well, aku berterima
kasih karena dia mau bersikap romantis padaku. Tapi, tanpa mengurangi rasa
hormatku, aku nggak suka bunga. Thanks,” ia kembali melangkah. Dan David hanya
mampu menatapnya dengan bingung.
Dan apa yang dikatakan Maya memang betul
karena beberapa jam kemudian, papanya menelpon dan mengatakan padanya untuk
datang ke rumah jam 7 malam. Jamuan makan malam dengan keluarga Maya.
***
Acara
makan malam berlangsung biasa-biasa saja. Orang tua David dan orang tua Maya mengobrol dengan akrab.
Sesekali Maya dan David saling melempar senyum, dibuat-buat tentunya.
Sesekali David merasakan kaki Maya
menendang kakinya dengan pelan. Ia menatap lelaki di hadapannya dengan tatapan
serius. Mulutnya bergerak-gerak mengucapkan sesuatu.
“Bicaralah
sekarang, idiot. Atau kamu akan menyesal seumur hidup,” perempuan itu
berbisik dengan geram. David hanya mendesah lalu membuang pandangannya ke
tempat lain. Dan itu makin membuat Maya kesal.
“Aku yakin kalian sudah saling bertemu
dan mengenal satu sama lain. Jadi kami sepakat untuk langsung mencarikan
tanggal yang bagus untuk pernikahan kalian,” ucap papa David. David membelalak.
Maya juga.
“Pernikahan? Tidak bertunangan dulu?” Perempuan
yang tampak cantik dengan gaun warna biru muda itu tampak bingung.
Yohanes Anthoni, Papa Maya tersenyum dan
menggeleng.
“Enggak, sayang. Kami sepakat untuk
segera menikahkan kalian saja, tanpa bertunangan terlebih dahulu. Kurasa itu
lebih bagus,” ucapnya dengan bijak.
Maya mematung, David juga. Perempuan itu
bangkit.
“Maaf, aku perlu waktu sebentar dengan
David.” Ia melangkah mengitari meja makan dan beranjak ke arah tempat duduk
David.
“Sayang, yuk. Kita perlu waktu sebentar
untuk mengobrol di taman.” Maya meraih tangan David agar lelaki itu berdiri
lalu segera mengajaknya meninggalkan ruang makan, menyusuri ruang tengah menuju
taman dekat kolam renang. Sementara orang tua mereka hanya menatap mereka
sambil tersenyum-senyum.
“Apa yang membuatmu begitu pengecut?”
tanya Maya dongkol ketika mereka sudah berhadap-hadapan di dekat kolam.
David memasukkan kedua tangannya ke saku
celana. Ia menatap ke arah kolam renang, lalu ke arah Maya.
“Well, aku pasti akan menolaknya. Tapi,
nggak sekarang, May,” ucapannya terdengar tak yakin.
“Maya. Jangan panggil aku ‘May’.” Maya
protes.
David mendengus. “May. Maya. Atau
siapalah, jangan protes masalah nama panggilan. Kamu ‘kan juga selalu memanggilku
‘Dave’ seenak perutmu.”
“Tapi itu ‘kan beda. Dave lebih keren
daripada David.” Kilah Maya.
“Oh, sama. Buatku, May lebih keren
daripada Maya.” David tak mau kalah.
“Dave?”
“May?”
Keduanya bersitegang sesaat.
“Oke, kamu boleh manggil aku ‘Dave’,
tapi biarin aku manggil kamu ‘May’. Jadi kita impas.” David mencoba mencari
jalan tengah.
“Ah, whatever-lah.
Aku nggak mau ribut soal nama panggilan. Kamu mau bilang sekarang atau enggak?”
Maya setengah membentak. David kembali terdiam.
“Plis, Dave. Bicaralah
sekarang dengan mereka kalo kamu menolak pernikahan ini karena kamu sudah punya
calon istri. Jika tidak, semuanya akan terlambat. Mengertilah, aku mencoba
menolongmu dan juga pacarmu.” Maya terdengar memohon. David menatapnya dalam.
“Ini nggak mudah, May. Kamu nggak tahu
papaku. Dia benar-benar akan membunuhku kalo aku bilang sekarang. Dan bisa saja
ia mencari tahu identitas pacarku lalu mencelakainya. Dan aku nggak mau itu
terjadi. Aku pasti akan bilang pada ayahku, tapi nggak sekarang. Beri aku waktu
untuk bicara pelan-pelan dengannya.” David juga terdengar memohon. Maya terdiam
sesaat. Tapi perlahan ia membenarkan perkataan David. Ini memang bukan
sinetron, tapi kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi.
“Kamu emang nggak punya nyali.” Perempuan
itu beranjak meninggalkan David dengan wajah bersungut-sungut kesal.
***
David
duduk tercenung di ruang kerjanya. Ia kembali memikirkan perkataan Maya
semalam. Ya, sepertinya perempuan itu benar. Ia memang tak punya cukup
keberanian untuk melawan papanya sendiri. Sebetulnya ia ingin. Papanya sudah
terlalu banyak mengatur hidupnya, dan ia benar-benar ingin memberontaknya.
Tapi, ia takut. Ia takut papanya akan terkena serangan jantung, ia takut akan
melukai perasaan mamanya, dan ia takut perusahaannya akan hancur. Dan ribuan
karyawannya, bagaimana nasibnya kelak. Ia tak menyukai Maya, tapi papanya benar
bahwa hanya dengan menikahi perempuan itu, perusahaan dan juga ribuan
karyawannya akan terselamatkan.
David menekan pangkal
hidungnya dengan letih sampai ia tak menyadari ketika Billy memasuki
ruangannya.
“Hai, bro. Kamu kenapa? Kayak orang yang
habis kena bencana aja?” Billy menyapa. David mengongak.
“Tumben pagi-pagi sudah nyampek sini.
Kamu nggak ke restoran?” David balik bertanya.
Billy menggeleng.
“Aku sedang menuju ke sana. Tapi
akhirnya aku memutuskan untuk mampir ke sini dulu,”
“Ada hal penting?”
Billy duduk di kursi yang berada di
seberang meja kerja David.
“Beritahu aku caranya untuk bisa
mendapatkannya, Vid,” ucapnya putus asa. Dahi David mengernyit.
“Dia siapa? Maya maksudmu?”
Billy mengangguk lemah. David terkekeh.
“Kamu ini aneh, Bill. Yang punya
pengalaman terbanyak soal cewek ‘kan kamu. Terus, kenapa minta saranku.” Ujarnya.
Billy mendesah seraya memainkan pulpen
di meja David.
“Dia beda, Vid,”
“Beda? Oh, aku juga tahu soal itu. Dia
adalah cewek paling judes dan paling kasar yang pernah ku temui. Kamu tahu? Dia
bahkan bisa membuat seorang pria yang besarnya dua kali lipat dari berat
tubuhnya, roboh, hanya dengan sekali tendang. Aneh ‘kan?”
Kedua bola mata Billy mengerjap.
“Serius? Tahu darimana?”
“Aku melihatnya sendiri. Dia
menendangnya, tepat di wajahnya. Dan lelaki gendut itu tak berkutik,”
Billy melongo.
“Karena itu, hati-hatilah dengannya.
Kalo kamu sampek berbuat sesuatu yang enggak dia suka, nasibmu pasti berakhir
di rumah sakit. Dia cewek radikal.” David menambahkan. Billy menggeleng tak
percaya. “Itu nggak mungkin, Vid,” gumamnya.
“Terserah. Tapi itu benar. Tanya aja
Annisa kalo kamu nggak percaya. Dia juga tahu hal itu,”
Billy terkekeh.
“Wah, jika begitu dia benar-benar cewek
yang menarik,” jawaban lelaki itu membuat dahi David kembali berkerut.
“Menarik apanya? Biang kerusuhan sih
iya,” jawabnya. Billy tersenyum.
“Itulah kenapa aku bilang kalo dia itu
beda. Berkali-kali aku berusaha mengajaknya keluar, entah untuk sekedar makan
ataupun ke tempat hiburan. Tapi dia selalu menolak dengan alasan sibuk. Aku
sering mengiriminya bunga dan beberapa hadiah, tapi dia selalu
mengembalikannya. Dan sekarang, kamu sendiri bilang bahwa dia punya self defense yang bagus. Astaga, dia
benar-benar perempuan yang menarik. Cantik, cerdas, dan apa adanya. Dia antara
semua perempuan yang pernah ku rayu, dia yang paling sulit, Vid. Dan aku merasa
frustasi karena itu.” Jelas Billy.
David terkekeh.
“Well, itulah hukum karma. Sekarang kamu
tahu bahwa nggak semua perempuan mau bertekuk lutut dengan rayuanmu,” ucapnya.
Billy kembali mendesah.
“Bantu aku, Vid. Setidaknya, sekali saja
buatlah dia agar mau bertemu secara pribadi denganku.” Ia memohon. David
menggeleng.
“Maaf, Bill. Aku sudah terlampau pusing
dengan perempuan itu. Dan aku nggak mau berurusan terlalu jauh dengannya,”
David kembali menegaskan.
“Ayolah, Vid. Bantu aku kali ini aja
ya,”
“Cari saja perempuan lain, Bill. Dia
nggak cocok denganmu, aku pastikan itu,”
Bibir Billy manyun.
Obrolan mereka terhenti ketika tiba-tiba
pintu terbuka dan papa David muncul dari balik pintu.
“Oh, kau di sini Billy. Kau tak ke
tempat kerjamu?” lelaki itu menyapa ke arah Billy. Billy bangkit lalu menyalami
lelaki yang juga sudah dikenalnya sejak kecil itu.
“Iya, Om. Ini juga mau kesana kok,” jawabnya.
“Aku tak mengganggu obrolan kalian
‘kan?”
“Enggak, Om. Aku sudah berencana pergi.
Tadi hanya mampir untuk ngobrol dengan David,” jawabnya lagi.
“Vid, aku pergi dulu ya. Ntar sore,
mampirlah ke restoranku, oke,” Billy menatap penuh harap ke arah David. David
tersenyum dan mengangguk. Sahabatnya itu kemudian beranjak meninggalkan David
dan papanya sendirian.
“Ada apa, Pa? Pasti ada hal penting
hingga papa ke sini?” David bertanya.
“Ini tentang Maya,”
David membuang nafas.
“Ada apa lagi dengannya? Apa hari ini
semua orang akan menemuiku hanya untuk berkeluh kesah tentang perempuan itu?”
ia setengah protes. Papanya menatapnya dengan tatapan serius.
“Apa yang kau lakukan padanya hingga ia
menolak rencana pernikahan kalian?”
David terperanjat.
“Apa? Maya menolak menikah denganku?”
Papa David mengangguk.
“Pagi tadi papanya telpon. Sejak pulang
dari makan malam tadi malam di rumah kita, Maya tampak kesal dan uring-uringan.
Hingga akhirnya ia mengatakan bahwa ia menolak menikah denganmu,”
David nyaris tertawa girang.
“Aku nggak melakukan apa-apa, Pa.
Sungguh. Kalo Maya menolak menikah denganku, berarti ‘kan dia memang nggak
cinta sama aku. Penolakan itu datang dari dia dan papa nggak bisa memaksanya
untuk mau menikah denganku,” David tampak membela diri.
“Ini nggak boleh terjadi, Vid.
Secepatnya, temuilah wanita itu. Dan buatlah dia agar dia mau menarik kembali
ucapannya,”
“Apa?”
“Kau harus menikah dengannya. Jika dia tak bisa mencintaimu, buatlah dia agar bisa mencintaimu. Jika dia tak mau menikah denganmu, buatlah agar dia mau menikah denganmu. Yang jelas, kalian harus menikah,”
“Kenapa papa harus memaksa?”
“Kau harus menikah dengannya. Jika dia tak bisa mencintaimu, buatlah dia agar bisa mencintaimu. Jika dia tak mau menikah denganmu, buatlah agar dia mau menikah denganmu. Yang jelas, kalian harus menikah,”
“Kenapa papa harus memaksa?”
“Ini demi kebaikan kita semua, Vid.
Nasib perusahaan kita ada di tanganmu,”
David kembali mendesah.
“Pa, jangan memaksaku atas nama
perusahaan. Aku bisa kok mengatasi krisis di perusahaan tanpa harus menikah
wanita itu,”
“Itu tidak akan cukup. Kamu akan tetap
membuat banyak orang kehilangan pekerjaan,”
“Pa___”
“Papa mohon, Vid. Sebetulnya papa juga
nggak mau melakukan hal ini padamu, tapi kami semua bergantung padamu. Hanya
dengan menikahi Maya, kau bisa keluar dari krisis. Dan tentu saja perusahaan
kita akan terselamatkan. Dan sudah pasti, perusahaan kita akan semakin
berkembang. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Bisa kau
bayangkan ‘kan, betapa banyak orang yang akan bersyukur karena mendapatkan
pekerjaan di bawah kepemimpinanamu,”
David terdiam. Ia kembali tak berkutik.
Papanya tahu kelemahannya. Atas nama perusahaan dan atas nama orang-orang yang
membutuhkan pekerjaan. Ia benar-benar tak tega jika harus melihat orang-orang
menganggur, tak punya pekerjaan.
David kembali merutuk dalam hati. Ia
bingung.
***
Sore
itu, David berniat menemui Annisa di tempat kerjanya. Tapi, ia bahkan belum
sempat bertemu cewek itu ketika tiba-tiba Billy menghambur ke arahnya lalu
menyeretnya ke ruang kerjanya.
“Ada apa sih?” tanya David penasaran.
Billy menatapnya dengan kalut.
“Dia kabur, Vid,” jawabnya tegang.
“Dia siapa?”
“Maya. Dia kabur dari rumah. Tadi
malam,”
David mendelik.
“Tahu dari mana?”
“Aku punya orang kepercayaan yang
bekerja di rumahnya. Dan dia menceritakan semuanya padaku,”
David melongo.
“Astaga, kamu memata-matainya?”
Billy mengangkat bahu.
“Enggak. Kebetulan aja aku punya orang
kepercayaan yang bisa kumanfaatkan untuk mengorek informasi tentang cewek itu,”
jawabnya enteng.
“Maksudmu, kabur gimana?”
“Dia bilang, Maya menolak menikah
denganmu. Aku tak tahu apa alasannya. Lalu dia mulai bertengkar dengan papanya,
dan beberapa jam kemudian para pelayan menyadari kalau ia sudah nggak ada di
kamarnya lagi. Dia bilang, Maya hanya meninggalkan secarik kertas yang
bertuliskan bahwa ia butuh waktu untuk menyendiri dan meminta keluarganya untuk
tidak mencarinya,” raut muka Billy tegang. David hanya menatapnya biasa-biasa
saja.
“Anak kabur dari rumah ‘kan bukan hal
yang aneh, Bill. Lagipula, dia sudah besar. Bukan anak kecil lagi. Yakin deh,
dia pasti baik-baik aja,” ucap David.
“Tapi, Vid. Kamu ‘kan tahu kalo Maya
baru beberapa bulan tinggal di sini. Dan dia nggak punya banyak teman dekat
untuk didatangi. Aku khawatir kalau dia akan___”
“Tidur di jalanan? Haha, nggak mungkin,
Bill. Maya itu orang kaya. Dia bisa bepergian kemanapun yang ia suka. Dan dia
juga bisa tinggal di hotel manapun yang ia suka,” David memotong. Billy
terdiam. Sepertinya ia mulai mencerna perkataan David.
“Oh, iya juga ya, Vid. Dia ‘kan bisa
tinggal di hotel,” ia menggumam. David tersenyum.
“Sudahlah, jangan terlalu
mengkhawatirkannya. Dia pasti akan ditemukan,” ucapnya. Billy manggut-manggut.
“Iya sih, tapi tetap saja aku khawatir.
Ia pasti mengalami masa-masa sulit. Dan aku nggak yakin ia punya teman dekat
untuk di ajak berbagi ataupun bercerita tentang masalahnya. Oh, kasihan sekali dia,”
raut muka Billy kembali terlihat galau. David menarik nafas panjang.
“Aku heran kenapa kamu jadi lebay kayak
gini? Ah, sudahlah. aku ke sini untuk menjemput Annisa, bukan untuk
mendengarkan keluh kesahmu tentang Maya,” David berbalik, meninggalkan Billy di
ruangannya. Ia menemui Annisa yang baru saja selesai bekerja. Ia
mengantarkannya pulang setelah terlebih dahulu mengajaknya jalan-jalan di
sebuah taman kota. Hal yang biasa mereka lakukan sambil mengobrol tentang
banyak hal.
David sampai
kembali di apartemennya sekitar jam 11 malam setelah mengantarkan Annisa ke
rumahnya. Tapi ia merasa kaget luar biasa ketika ia menemukan Maya berdiri
termangu di depan pintu apartemennya!
“Maya!? Kamu ___ di sini?” ia menyapa
duluan dengan pertanyaan. Maya mengangkat bahu.
“Jadi bener kamu tinggal di apartemen
ini?”
“Ya,” David menjawab dengan rasa
penasaran dengan keberadaan perempuan itu di depan apartemennya.
“Sendirian?”
“Kenapa kamu nanyain itu?”
“Kamu nggak tinggal bersama dengan
pacarmu ‘kan?”
David tergelak mendengar pertanyaan
Maya.
“May, ini Indonesia, bukan Amerika.
Tinggal bersama dengan pacar bukanlah sesuatu yang lumrah di sini. Itu masih
tabu,” jawabnya kesal.
“Aku ‘kan cuma nanya,”
“Kamu sendiri, ngapain kamu di sini
malam-malam begini?”
“Aku kabur dari rumah,” jawabnya pendek
seraya menunjuk sebuah koper besar yang berada di sampingnya dengan dagunya.
David manggut-manggut.
“Ya, aku tahu. Terus?”
“Biarkan aku tinggal dulu di
apartemenmu, sementara waktu,” jawab Maya enteng. David membelalak.
“Hah!?” ia berteriak.
“Aku nggak bisa tinggal di hotel.
Orang-orang papaku bisa menemukanku dengan mudah kalo aku tinggal di sana.
Lagipula, aku nggak punya uang sekarang. Semua kartu kreditku di blokir papaku.
Aku juga nggak punya temen dekat yang bisa aku tuju untuk menginap. Jadi,
tolong bantu aku,”
David tertawa mengejek mendengar semua
penjelasan Maya.
“Itu urusanmu, bukan urusanku. Mau kamu
tidur di mana kek, aku nggak peduli,” jawabnya ketus. Maya menatapnya dengan
tajam.
“Kamu yang bikin aku berada di situasi
kayak gini!? Jadi kamu juga harus bertanggung jawab dan membantuku!” Ia
berteriak. David sempat kaget dengan teriakan perempuan tersebut.
“Jangan mengada-ada deh. Bagaimana
mungkin aku bisa membuatmu dalam situasi kayak gini? Toh kamu kabur-kabur
sendiri,” balas David.
Maya menatap lelaki di hadapannya dengan
kesal. Ia melipat kedua tangannya di dada dan menatap David dengan angkuh.
“Karena kamu terlalu pengecut untuk
bicara jujur pada papamu, maka aku-lah yang berkorban dengan menolak terlebih
dahulu rencana pernikahan kita. Dan beginilah hasilnya, aku harus kabur dari
rumah karena papaku murka! Kamu pikir aku melakukannya untuk siapa? Aku
melakukannya untuk kamu dan pacarmu, agar kalian masih tetap bisa bersama-sama!
Dasar idiot!” Ia kembali berteriak.
“Ssstt, pelankan suaramu. Kamu bisa
mengganggu penghuni lain,” David membekap mulut Maya. Perempuan itu meronta dan
menghalau tangan David.
“Karena itu cepat buka pintunya dan
biarkan aku masuk. Kita akan bicara di dalam. Jika tidak, aku akan membuat
keributan di sini,” ucap Maya tajam. David menghela nafas. Akhirnya, ia membuka
pintu dan menyilahkan Maya masuk.
Maya
menghempaskan tubuhnya ke sofa. David sempat meliriknya. Wanita itu memang
terlihat lelah dan kesal. Tapi tetap saja ia tampak cantik luar biasa. Dan diam
- diam David memujinya dalam hati. Memuji bahwa wanita itu memang cantik!
Lelaki itu
berinisiatif membuatkannya teh hangat dan segera meletakkannya di depan Maya.
Maya menyeruput teh hangat itu pelan tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Oke, aku ingin mendengarnya lagi.
Bicaralah apa yang terjadi, tapi jangan berteriak-teriak di depanku,” David
membuka suara seraya duduk di kursi yang berada di seberang Maya.
“Kamu membuatku kesal, dan aku ingin
sekali menendangmu,” jawab Maya. David tersenyum.
“Oke, oke, sori. Sekarang bicaralah
pelan-pelan,” ucapnya lagi. Maya meletakkan kembali cangkir teh ke meja. Ia
menyandarkan punggungnya ke bantalan sofa. Ia sempat menarik nafas dan David
melihat ada perasaan suntuk di sana.
“Seperti yang sudah ku ceritakan padamu.
Aku bilang pada papa kalo aku menolak menikah denganmu. Beliau marah, kami
bersitegang, dan inilah hasilnya. Aku kabur dari rumah karena aku sudah nggak
tahan. Dan aku benar-benar nggak bisa tinggal di hotel. Percayalah, papaku bisa
melacak keberadaanku di seluruh hotel yang ada di negeri ini hanya dalam waktu
hitungan jam,”
David manggut-manggut. Ia tak meragukan
cerita Maya. Dia benar. Papanya punya kekuatan penuh jika hanya memeriksa
seluruh hotel yang ada di Indonesia, demi bisa menemukan Maya.
“Dan malangnya, papa juga memblokir
semua rekening dan kartu kreditku. Aku nggak punya banyak uang sekarang,” Maya
melanjutkan.
“Jadi, biarkan aku tinggal di sini. Ku
mohon,”
“Kenapa harus di sini?” tanya David
bingung.
“Karena tempat ini yang paling aman.
Papaku pasti nggak nyangka kalo aku akan berada di sini,” jawab Maya.
David kembali manggut-manggut. Ya, Maya
juga benar. Tempat paling berbahaya, bisa juga tempat yang paling aman.
“Aku akan tetap membayar sewa kamar
apartemenmu. Nggak bisa sekaligus, tapi aku akan mencicilnya sedikit demi
sedikit. Aku memang nggak punya banyak uang, tapi aku masih punya bisnis
kecil-kecilan di Amerika. Aku punya sedikit karyawan dan aku menjalankannya
dengan sistem on-line. Aku membangun bisnis itu tanpa sepengetahuan papaku.
Jadi, ia takkan memblokirnya,”
David mendengar kalimat Maya begitu
tulus.
“Percayalah, aku masih punya sedikit
penghasilan. Dan aku masih bisa membayar sewa kamarmu,” perempuan itu kembali
meyakinkan David.
David terdiam sesaat.
“Kenapa kamu melakukan hal kayak gini?”
Ia bertanya.
“Aku sudah cerita ke kamu ‘kan?”
“Demi hubunganku dengan ___ pacarku?”
David menahan tawa manakala mengucapkan kata ‘pacar’. Haha, pacar yang mana?
Pacarnya siapa? Lelaki itu heran kenapa Maya menganggap Annisa adalah pacarnya
hanya dengan memergokinya mereka jalan berduaan di taman hiburan? Ah, tapi ia
tak peduli. Ia takkan mau repot-repot menjalankan tentang situasi itu padanya.
“Salah satunya,” Maya menjawab pelan.
“Kalo begitu, ceritakan yang lain lagi,”
Maya terdiam sesaat.
“May, aku tahu hubungan kita buruk. Tapi
jika kamu pengen tinggal di sini, kita harus memperbaiki
hubungan itu. Kita harus jadi teman,
nggak ada pilihan lain lagi. Jika kamu nggak cerita semuanya padaku dengan
jujur, aku nggak bisa menerimamu di sini,” David terdengar serius dengan
ucapannya.
Maya tak segera menjawab.
“Aku bosan terus menerus di atur papaku.
Dan aku ingin memberikannya sedikit perlawanan,” ucapan Maya terdengar lunak.
Dan David merasakan tubuhnya yang gerah serasa di siram air es.
“Melawan papamu sendiri? Pemberontakan?”
Ia seakan meyakinkan telinganya sendiri. Maya mengangguk. Dan entah kenapa,
David menyukainya. Mungkin karena ia juga mengalami hal yang sama. Ia bosan di
atur terus menerus oleh papanya, hanya saja ia belum punya cukup nyali untuk
mendebatnya. Dan sekarang, perempuan cantik di hadapannya ini melakukan hal
yang selangkah lebih maju darinya? Ah,
David benar-benar takjub padanya. Dan, ia suka rencananya!
“Kamu tahu sendiri ‘kan, Dave. Aku anak
tunggal. Papaku memanjakanku. Tapi dia juga over protektif padaku. Dia mengatur
semua hal yang berurusan denganku. Semuanya. Mulai dari dengan siapa aku harus
berteman, dimana aku harus sekolah, jurusan apa yang harus ku ambil ketika
kuliah, bahkan dia juga menentukan di bidang apa aku harus bekerja. Dan
sekarang, dia bahkan menentukan pernikahan tanpa persetujuanku,”
David merasakan bulu kuduknya bergidik
mendengar serentetan kalimat yang meluncur dari bibir indah Maya. Persis!
Semuanya persis seperti apa yang ia alami selama ini dengan papanya! Ia nyaris
bersorak kegirangan karena seolah-oleh telah menemukan seorang teman lama - yang
mungkin saja bisa ia ajak berbagi perasaan dan penderitaan!
“Kesabaranku sudah habis. Aku masih bisa
terima ketika papa mengatur semua hal, tapi enggak soal pernikahan. Enggak, aku
nggak bisa menurutinya,”
Keduanya berpandangan.
“Aku ingin sepertimu, Dave,” Maya
kembali melanjutkan.
David mengernyitkan dahinya.
“Maksudmu?”
“Aku nggak bisa menikah tanpa cinta.
Jadi, aku ingin ngalamin hal kayak kamu. Jatuh cinta, berpacaran, lalu
menikah,”
David sempat tercengang mendengar ucapan
Maya.
‘Kamu belum pernah jatuh cinta?
Berpacaran?” ia bertanya dengan ragu-ragu. Maya menggeleng.
“Papaku nggak pernah ngasih ijin padaku
untuk mengenal seseorang lebih jauh. Termasuk kamu. Tapi, tiba-tiba aja dia
langsung main jodoh-jodohan segala. Papaku selalu beranggapan bahwa ia tahu
lebih baik tentang lelaki mana saja yang cocok denganku. Ah, nggak tahu apa
yang dia lihat dari kamu sehingga beranggapan bahwa kamu adalah lelaki paling
tepat buatku,” Maya mengucapkan kalimat terakhir dengan sedikit gaya mencibir hingga membuat David mendelik.
“Papamu benar bahwa aku lelaki yang
baik. Hanya saja, kita nggak cocok,” balas David.
“Jadi, aku bisa tinggal sementara di
sini ‘kan? Aku juga akan berusaha nyari kerjaan di tempat lain agar bisa
membayar sewa kamarmu secepatnya,”
David terkekeh.
‘Kamu___ bekerja?”
Maya mengangguk.
“Kenapa? Aneh?”
“Ya, aneh. Kamu anak orang kaya dan
manja, dan aku nggak yakin kamu bisa bekerja,”
Maya tersenyum meledek.
“Aku pernah kerja paruh waktu di
restoran, ketika di Amerika. Tentunya tanpa sepengetahuan papaku,”
David melongo.
“Serius?”
Maya kembali mengangguk bangga.
“Aku juga pernah bekerja secara
diam-diam di sebuah panti jompo,”
David kembali melongo, tak percaya.
“Nggak usah khawatir, aku mandiri dan
terbiasa bekerja keras. Jika enggak, nggak mungkin aku bisa bikin bisnis
kecil-kecilan. Percayalah, aku nggak sama dengan perempuan lain yang hanya
mampu menikmati hasil kerja keras orang tuanya,”
David manggut-manggut.
“Jika kamu takut pacarmu akan salah
paham padaku, aku bisa kok bicara langsung padanya dan menjelaskan tentang apa
yang terjadi sebenarnya. Jadi, ia nggak akan salah paham kalo kelak dia tanpa
sengaja memergoki aku berada di sini,”
David terhenyak.
“Enggak, kamu nggak perlu ngomong
apa-apa pada pacarku. Dia bukan tipe pencemburu buta. Lagipula, dia nggak
pernah datang kemari. Aku yang maen ke rumah dia,”
Maya tersenyum nakal.
“Wahh, kamu takut papamu akan mengetahui
hubungan kalian hingga kamu nggak pernah membiarkannya datang kemari?”
“Mm, begitulah,”
“Kalian backstreet? Waah, kedengarannya
seru sekali,”
“Mm, begitulah. Ah udah deh, jangan
bahasa tentang dia lagi. Aku nggak suka ngomongin tentang hubunganku pada orang
lain,”
Maya manggut-manggut.
“Mengenai keberadaanmu di sini, biar
kita aja yang tahu kalo kamu tinggal bersamaku,” ucap David lagi.
“Rahasia kita berdua?”
David mengangguk. “Aku hanya nggak mau
ribet dan dapat masalah,” ia menjawab. Maya mengangguk-angguk.
“Oke, percaya deh padaku. Aku pasti akan
menjaga rahasia. Bahkan jika golok ditaruh di depan leherku, aku nggak akan
cerita pada siapapun kalo kita tinggal bersama. Mm, maksudku, aku numpang di
apartemenmu,”
“Oke, itu janjimu,”
David bangkit.
“Kamarmu ada di ujung. Bersebelahan
dengan kamarku,” ucapnya. Senyum manis segera mengembang di bibir Maya.
Perempuan langsing itu bangkit.
“Thanks,” ucapnya
dengan mantap.
***
Menjerit.
Itu reaksi pertama ketika keesokan paginya, David menemukan Maya keluar dari
kamarnya dengan hanya mengenakan pants super pendek dan kaos ketat tanpa lengan
hingga lelaki itu sempat menikmati bahu, lengan, dan kaki jenjangnya yang mulus
dan menawan.
“Ada apa? Kenapa kamu teriak?” tanya
Maya bingung.
“Apa yang kamu pakai?”
Maya menatap dirinya sendiri dengan
bingung.
“Aku ___ memakai bajuku,”
David melotot. Lelaki itu beranjak
kembali ke kamarnya, meraih selimut lalu melemparkannya ke arah Maya.
“Tutupi tubuhmu,” ucapnya. Maya menerima
selimut itu dengan kebingungan.
“Tutupi __ apa maksudmu? Aku nggak
telanjang,” jawabnya.
“Bajumu terlalu vulgar dan itu nggak
sopan,”
Maya mengangkat alis. Sejurus kemudian
cewek itu tergelak.
“Maksudmu, kamu nggak nyaman dengan
bajuku karena terlalu pendek. Astaga, kamu hidup di jaman apa sih? Ini baju
biasa. Jangan terlalu konservatif gitu dong. Aku selalu memakai baju kayak gini
kalo di rumah, apa anehnya?”
“Masalahnya ini bukan rumahmu?”
“Ups, sori. Masalahnya, ya inilah yang
aku pakai kalo aku lagi dirumahku, di apartemenku ataupun menginap di rumah
temanku. Kamu kayak pertama kali aja lihat perempuan pake celana pendek dan
kaos u can see,”
David mendesah.
“Iya, aku tahu. Tapi aku lelaki, May.
Bagaimana mungkin kamu memakai baju kayak gini di __ depanku?”
“Biasa ajalah, Dave. Emang kamu nggak
pernah lihat pacarmu pakai baju kayak gini?” Maya tertawa hingga membuat David
salah tingkah.
“Ah sudahlah, suka suka kamu aja deh,”
lelaki itu beranjak. Ia masuk ke kamarnya sesaat lalu keluar lagi, menuju
dapur, mengambil air minum, tampak salah tingkah. Dan Maya menatapnya dengan
bingung pula.
“Kenapa sih dia?” gumamnya, bingung.
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar