Rabu, 06 Mei 2015

The Royal Couple - Part 2



Bab 2


          David hanya membelalak ketika menyaksikan Maya sudah berada di dalam kantornya tepat jam 7 pagi!
“Hai.” Ia menyapa duluan dengan nada biasa, tanpa rasa canggung sama sekali.
“Ngapain kamu di sini?” tanya David dengan datar.
“Mampir.” Jawab perempuan itu pendek.
“Bagaimana kamu tahu kantorku?” David melangkahkan kakinya dan segera duduk di kursinya. Tanpa menatap ke arah Maya yang duduk di hadapannya.
“Helloo, kita ini calon tunangan - itupun kalo jadi. Apa susahnya nyariin kamu. Aku toh sudah tahu, dari papaku,”
“Langsung aja. Kamu mau apa?”
“Nanti malam aku dan keluargaku akan makan malam di rumahmu. Papamu yang mengundang. Dan aku yakin kamu belum tahu rencana itu.”
David mengernyit. Ia mendongak dan menatap wajah perempuan cantik di hadapannya. Ia menggeleng.
“Iya, aku emang belum tahu.” Jawabnya.
Maya manggut-manggut.
“Sudah ku duga. Makanya aku ngasih  tahu kamu duluan biar kamu nggak kaget. Bentar lagi pasti kamu dapat kabar dari papamu.”
David mengangkat bahu. “Memangnya makan malam untuk apa?”
Maya terkekeh mengejek. “Kamu ini gimana sih? Tentu aja membahas pertunangan kita. Kamu pikir untuk apa?”
David melotot.
“Apa kamu lupa kalau aku menolak perjodohan kita?”
“Enggak-lah. Aku masih ingat kok. Makanya, makan malam nanti adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran.” Ujar Maya.
David kembali melotot. “Kebenaran apa?”
Maya mendesah dan menatap David, kesal.
“Kebenaran bahwa kamu sudah punya pacar, sialan. Bilang ke mereka kalau kamu menolak menikah denganku karena kamu sudah mencintai cewek lain. Dan perjodohan akan batal. Gampang ‘kan?”
David kembali menatap perempuan di hadapannya dengan geram.
“Kamu menjadikanku umpan ‘kan?”
“Umpan apa?” Maya mengernyit.
“Kalo aku bilang aku menolak menikah denganmu karena aku sudah punya pacar, maka otomatis kesalahan akan di timpakan padaku. Dan sudah pasti, papaku akan membunuhku! Itu maksudmu?”
Maya mendesah. Ia bangkit.
“Terserah. Yang jelas, aku tidak akan bunuh diri dengan  menolak terlebih dulu perjodohan itu. Lagipula aku sedang nggak ada hubungan dengan lelaki manapun. Jadi, nggak ada beban sama sekali denganku. Tapi kamu, beda. Kamu punya pacar dan seharusnya kamu memperjuangkan cintamu. Tapi jika kamu terlalu pengecut untuk melakukan hal itu, kita menikah saja. Habis perkara,” Maya beranjak.
“Oh iya, aku lupa,” ia berhenti dan berbalik.
“Billy, pemilik restoran itu, temanmu ‘kan? Tolong bilang ke dia agar berhenti mengirimiku bunga. Well, aku berterima kasih karena dia mau bersikap romantis padaku. Tapi, tanpa mengurangi rasa hormatku, aku nggak suka bunga. Thanks,” ia kembali melangkah. Dan David hanya mampu menatapnya dengan bingung.
Dan apa yang dikatakan Maya memang betul karena beberapa jam kemudian, papanya menelpon dan mengatakan padanya untuk datang ke rumah jam 7 malam. Jamuan makan malam dengan keluarga Maya.

***

          Acara makan malam berlangsung biasa-biasa saja. Orang tua David  dan orang tua Maya mengobrol dengan akrab. Sesekali Maya dan David saling melempar senyum, dibuat-buat tentunya.
Sesekali David merasakan kaki Maya menendang kakinya dengan pelan. Ia menatap lelaki di hadapannya dengan tatapan serius. Mulutnya bergerak-gerak mengucapkan sesuatu.
“Bicaralah sekarang, idiot. Atau kamu akan menyesal seumur hidup,” perempuan itu berbisik dengan geram. David hanya mendesah lalu membuang pandangannya ke tempat lain. Dan itu makin membuat Maya kesal.
“Aku yakin kalian sudah saling bertemu dan mengenal satu sama lain. Jadi kami sepakat untuk langsung mencarikan tanggal yang bagus untuk pernikahan kalian,” ucap papa David. David membelalak. Maya juga.
“Pernikahan? Tidak bertunangan dulu?” Perempuan yang tampak cantik dengan gaun warna biru muda itu tampak bingung.
Yohanes Anthoni, Papa Maya tersenyum dan menggeleng.
“Enggak, sayang. Kami sepakat untuk segera menikahkan kalian saja, tanpa bertunangan terlebih dahulu. Kurasa itu lebih bagus,” ucapnya dengan bijak.
Maya mematung, David juga. Perempuan itu bangkit.
“Maaf, aku perlu waktu sebentar dengan David.” Ia melangkah mengitari meja makan dan beranjak ke arah tempat duduk David.
“Sayang, yuk. Kita perlu waktu sebentar untuk mengobrol di taman.” Maya meraih tangan David agar lelaki itu berdiri lalu segera mengajaknya meninggalkan ruang makan, menyusuri ruang tengah menuju taman dekat kolam renang. Sementara orang tua mereka hanya menatap mereka sambil tersenyum-senyum.
“Apa yang membuatmu begitu pengecut?” tanya Maya dongkol ketika mereka sudah berhadap-hadapan di dekat kolam.
David memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Ia menatap ke arah kolam renang, lalu ke arah Maya.
“Well, aku pasti akan menolaknya. Tapi, nggak sekarang, May,” ucapannya terdengar tak yakin.
“Maya. Jangan panggil aku ‘May’.” Maya protes.
David mendengus. “May. Maya. Atau siapalah, jangan protes masalah nama panggilan. Kamu ‘kan juga selalu memanggilku ‘Dave’ seenak perutmu.”
“Tapi itu ‘kan beda. Dave lebih keren daripada David.” Kilah Maya.
“Oh, sama. Buatku, May lebih keren daripada Maya.” David tak mau kalah.
“Dave?”
“May?”
Keduanya bersitegang sesaat.
“Oke, kamu boleh manggil aku ‘Dave’, tapi biarin aku manggil kamu ‘May’. Jadi kita impas.” David mencoba mencari jalan tengah.
“Ah, whatever-lah. Aku nggak mau ribut soal nama panggilan. Kamu mau bilang sekarang atau enggak?” Maya setengah membentak. David kembali terdiam.  Plis, Dave. Bicaralah sekarang dengan mereka kalo kamu menolak pernikahan ini karena kamu sudah punya calon istri. Jika tidak, semuanya akan terlambat. Mengertilah, aku mencoba menolongmu dan juga pacarmu.” Maya terdengar memohon. David menatapnya dalam.
“Ini nggak mudah, May. Kamu nggak tahu papaku. Dia benar-benar akan membunuhku kalo aku bilang sekarang. Dan bisa saja ia mencari tahu identitas pacarku lalu mencelakainya. Dan aku nggak mau itu terjadi. Aku pasti akan bilang pada ayahku, tapi nggak sekarang. Beri aku waktu untuk bicara pelan-pelan dengannya.” David juga terdengar memohon. Maya terdiam sesaat. Tapi perlahan ia membenarkan perkataan David. Ini memang bukan sinetron, tapi kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi.
“Kamu emang nggak punya nyali.” Perempuan itu beranjak meninggalkan David dengan wajah bersungut-sungut kesal.

***

          David duduk tercenung di ruang kerjanya. Ia kembali memikirkan perkataan Maya semalam. Ya, sepertinya perempuan itu benar. Ia memang tak punya cukup keberanian untuk melawan papanya sendiri. Sebetulnya ia ingin. Papanya sudah terlalu banyak mengatur hidupnya, dan ia benar-benar ingin memberontaknya. Tapi, ia takut. Ia takut papanya akan terkena serangan jantung, ia takut akan melukai perasaan mamanya, dan ia takut perusahaannya akan hancur. Dan ribuan karyawannya, bagaimana nasibnya kelak. Ia tak menyukai Maya, tapi papanya benar bahwa hanya dengan menikahi perempuan itu, perusahaan dan juga ribuan karyawannya akan terselamatkan.
David menekan pangkal hidungnya dengan letih sampai ia tak menyadari ketika Billy memasuki ruangannya.
“Hai, bro. Kamu kenapa? Kayak orang yang habis kena bencana aja?” Billy menyapa. David mengongak.
“Tumben pagi-pagi sudah nyampek sini. Kamu nggak ke restoran?” David balik bertanya.
Billy menggeleng.
“Aku sedang menuju ke sana. Tapi akhirnya aku memutuskan untuk mampir ke sini dulu,”
“Ada hal penting?”
Billy duduk di kursi yang berada di seberang meja kerja David.
“Beritahu aku caranya untuk bisa mendapatkannya, Vid,” ucapnya putus asa. Dahi David mengernyit.
“Dia siapa? Maya maksudmu?”
Billy mengangguk lemah. David terkekeh.
“Kamu ini aneh, Bill. Yang punya pengalaman terbanyak soal cewek ‘kan kamu. Terus, kenapa minta saranku.” Ujarnya.
Billy mendesah seraya memainkan pulpen di meja David.
“Dia beda, Vid,”
“Beda? Oh, aku juga tahu soal itu. Dia adalah cewek paling judes dan paling kasar yang pernah ku temui. Kamu tahu? Dia bahkan bisa membuat seorang pria yang besarnya dua kali lipat dari berat tubuhnya, roboh, hanya dengan sekali tendang. Aneh ‘kan?”
Kedua bola mata Billy mengerjap.
“Serius? Tahu darimana?”
“Aku melihatnya sendiri. Dia menendangnya, tepat di wajahnya. Dan lelaki gendut  itu tak berkutik,”
Billy melongo.
“Karena itu, hati-hatilah dengannya. Kalo kamu sampek berbuat sesuatu yang enggak dia suka, nasibmu pasti berakhir di rumah sakit. Dia cewek radikal.” David menambahkan. Billy menggeleng tak percaya. “Itu nggak mungkin, Vid,” gumamnya.
“Terserah. Tapi itu benar. Tanya aja Annisa kalo kamu nggak percaya. Dia juga tahu hal itu,”
Billy terkekeh.
“Wah, jika begitu dia benar-benar cewek yang menarik,” jawaban lelaki itu membuat dahi David kembali berkerut.
“Menarik apanya? Biang kerusuhan sih iya,” jawabnya. Billy tersenyum.
“Itulah kenapa aku bilang kalo dia itu beda. Berkali-kali aku berusaha mengajaknya keluar, entah untuk sekedar makan ataupun ke tempat hiburan. Tapi dia selalu menolak dengan alasan sibuk. Aku sering mengiriminya bunga dan beberapa hadiah, tapi dia selalu mengembalikannya. Dan sekarang, kamu sendiri bilang bahwa dia punya self defense yang bagus. Astaga, dia benar-benar perempuan yang menarik. Cantik, cerdas, dan apa adanya. Dia antara semua perempuan yang pernah ku rayu, dia yang paling sulit, Vid. Dan aku merasa frustasi karena itu.” Jelas Billy.
David terkekeh.
“Well, itulah hukum karma. Sekarang kamu tahu bahwa nggak semua perempuan mau bertekuk lutut dengan rayuanmu,” ucapnya.
Billy kembali mendesah.
“Bantu aku, Vid. Setidaknya, sekali saja buatlah dia agar mau bertemu secara pribadi denganku.” Ia memohon. David menggeleng.
“Maaf, Bill. Aku sudah terlampau pusing dengan perempuan itu. Dan aku nggak mau berurusan terlalu jauh dengannya,” David kembali menegaskan.
“Ayolah, Vid. Bantu aku kali ini aja ya,”
“Cari saja perempuan lain, Bill. Dia nggak cocok denganmu, aku pastikan itu,”
Bibir Billy manyun.
Obrolan mereka terhenti ketika tiba-tiba pintu terbuka dan papa David muncul dari balik pintu.
“Oh, kau di sini Billy. Kau tak ke tempat kerjamu?” lelaki itu menyapa ke arah Billy. Billy bangkit lalu menyalami lelaki yang juga sudah dikenalnya sejak kecil itu.
“Iya, Om. Ini juga mau kesana kok,”  jawabnya.
“Aku tak mengganggu obrolan kalian ‘kan?”
“Enggak, Om. Aku sudah berencana pergi. Tadi hanya mampir untuk ngobrol dengan David,” jawabnya lagi.
“Vid, aku pergi dulu ya. Ntar sore, mampirlah ke restoranku, oke,” Billy menatap penuh harap ke arah David. David tersenyum dan mengangguk. Sahabatnya itu kemudian beranjak meninggalkan David dan papanya sendirian.
“Ada apa, Pa? Pasti ada hal penting hingga papa ke sini?” David bertanya.
“Ini tentang Maya,”
David membuang nafas.
“Ada apa lagi dengannya? Apa hari ini semua orang akan menemuiku hanya untuk berkeluh kesah tentang perempuan itu?” ia setengah protes. Papanya menatapnya dengan tatapan serius.
“Apa yang kau lakukan padanya hingga ia menolak rencana pernikahan kalian?”
David terperanjat.
“Apa? Maya menolak menikah denganku?”
Papa David mengangguk.
“Pagi tadi papanya telpon. Sejak pulang dari makan malam tadi malam di rumah kita, Maya tampak kesal dan uring-uringan. Hingga akhirnya ia mengatakan bahwa ia menolak menikah denganmu,”
David nyaris tertawa girang.
“Aku nggak melakukan apa-apa, Pa. Sungguh. Kalo Maya menolak menikah denganku, berarti ‘kan dia memang nggak cinta sama aku. Penolakan itu datang dari dia dan papa nggak bisa memaksanya untuk mau menikah denganku,” David tampak membela diri.
“Ini nggak boleh terjadi, Vid. Secepatnya, temuilah wanita itu. Dan buatlah dia agar dia mau menarik kembali ucapannya,”
“Apa?”
“Kau harus menikah dengannya. Jika dia tak bisa mencintaimu, buatlah dia agar bisa mencintaimu. Jika dia tak mau menikah denganmu, buatlah agar dia mau menikah denganmu. Yang jelas, kalian harus menikah,”
“Kenapa papa harus memaksa?”
“Ini demi kebaikan kita semua, Vid. Nasib perusahaan kita ada di tanganmu,”
David kembali mendesah.
“Pa, jangan memaksaku atas nama perusahaan. Aku bisa kok mengatasi krisis di perusahaan tanpa harus menikah wanita itu,”
“Itu tidak akan cukup. Kamu akan tetap membuat banyak orang kehilangan pekerjaan,”
“Pa___”
“Papa mohon, Vid. Sebetulnya papa juga nggak mau melakukan hal ini padamu, tapi kami semua bergantung padamu. Hanya dengan menikahi Maya, kau bisa keluar dari krisis. Dan tentu saja perusahaan kita akan terselamatkan. Dan sudah pasti, perusahaan kita akan semakin berkembang. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Bisa kau bayangkan ‘kan, betapa banyak orang yang akan bersyukur karena mendapatkan pekerjaan di bawah kepemimpinanamu,”
David terdiam. Ia kembali tak berkutik. Papanya tahu kelemahannya. Atas nama perusahaan dan atas nama orang-orang yang membutuhkan pekerjaan. Ia benar-benar tak tega jika harus melihat orang-orang menganggur, tak punya pekerjaan.
David kembali merutuk dalam hati. Ia bingung.

***

          Sore itu, David berniat menemui Annisa di tempat kerjanya. Tapi, ia bahkan belum sempat bertemu cewek itu ketika tiba-tiba Billy menghambur ke arahnya lalu menyeretnya ke ruang kerjanya.
“Ada apa sih?” tanya David penasaran. Billy menatapnya dengan kalut.
“Dia kabur, Vid,” jawabnya tegang.
“Dia siapa?”
“Maya. Dia kabur dari rumah. Tadi malam,”
David mendelik.
“Tahu dari mana?”
“Aku punya orang kepercayaan yang bekerja di rumahnya. Dan dia menceritakan semuanya padaku,”
David melongo.
“Astaga, kamu memata-matainya?”
Billy mengangkat bahu.
“Enggak. Kebetulan aja aku punya orang kepercayaan yang bisa kumanfaatkan untuk mengorek informasi tentang cewek itu,” jawabnya enteng.
“Maksudmu, kabur gimana?”
“Dia bilang, Maya menolak menikah denganmu. Aku tak tahu apa alasannya. Lalu dia mulai bertengkar dengan papanya, dan beberapa jam kemudian para pelayan menyadari kalau ia sudah nggak ada di kamarnya lagi. Dia bilang, Maya hanya meninggalkan secarik kertas yang bertuliskan bahwa ia butuh waktu untuk menyendiri dan meminta keluarganya untuk tidak mencarinya,” raut muka Billy tegang. David hanya menatapnya biasa-biasa saja.
“Anak kabur dari rumah ‘kan bukan hal yang aneh, Bill. Lagipula, dia sudah besar. Bukan anak kecil lagi. Yakin deh, dia pasti baik-baik aja,” ucap David.
“Tapi, Vid. Kamu ‘kan tahu kalo Maya baru beberapa bulan tinggal di sini. Dan dia nggak punya banyak teman dekat untuk didatangi. Aku khawatir kalau dia akan___”
“Tidur di jalanan? Haha, nggak mungkin, Bill. Maya itu orang kaya. Dia bisa bepergian kemanapun yang ia suka. Dan dia juga bisa tinggal di hotel manapun yang ia suka,” David memotong. Billy terdiam. Sepertinya ia mulai mencerna perkataan David.
“Oh, iya juga ya, Vid. Dia ‘kan bisa tinggal di hotel,” ia menggumam. David tersenyum.
“Sudahlah, jangan terlalu mengkhawatirkannya. Dia pasti akan ditemukan,” ucapnya. Billy manggut-manggut.
“Iya sih, tapi tetap saja aku khawatir. Ia pasti mengalami masa-masa sulit. Dan aku nggak yakin ia punya teman dekat untuk di ajak berbagi ataupun bercerita tentang masalahnya. Oh, kasihan sekali dia,” raut muka Billy kembali terlihat galau. David menarik nafas panjang.
“Aku heran kenapa kamu jadi lebay kayak gini? Ah, sudahlah. aku ke sini untuk menjemput Annisa, bukan untuk mendengarkan keluh kesahmu tentang Maya,” David berbalik, meninggalkan Billy di ruangannya. Ia menemui Annisa yang baru saja selesai bekerja. Ia mengantarkannya pulang setelah terlebih dahulu mengajaknya jalan-jalan di sebuah taman kota. Hal yang biasa mereka lakukan sambil mengobrol tentang banyak hal.
David sampai kembali di apartemennya sekitar jam 11 malam setelah mengantarkan Annisa ke rumahnya. Tapi ia merasa kaget luar biasa ketika ia menemukan Maya berdiri termangu di depan pintu apartemennya!
“Maya!? Kamu ___ di sini?” ia menyapa duluan dengan pertanyaan. Maya mengangkat bahu.
“Jadi bener kamu tinggal di apartemen ini?”
“Ya,” David menjawab dengan rasa penasaran dengan keberadaan perempuan itu di depan apartemennya.
“Sendirian?”
“Kenapa kamu nanyain itu?”
“Kamu nggak tinggal bersama dengan pacarmu ‘kan?”
David tergelak mendengar pertanyaan Maya.
“May, ini Indonesia, bukan Amerika. Tinggal bersama dengan pacar bukanlah sesuatu yang lumrah di sini. Itu masih tabu,” jawabnya kesal.
“Aku ‘kan cuma nanya,”
“Kamu sendiri, ngapain kamu di sini malam-malam begini?”
“Aku kabur dari rumah,” jawabnya pendek seraya menunjuk sebuah koper besar yang berada di sampingnya dengan dagunya. David manggut-manggut.
“Ya, aku tahu. Terus?”
“Biarkan aku tinggal dulu di apartemenmu, sementara waktu,” jawab Maya enteng. David membelalak.
“Hah!?” ia berteriak.
“Aku nggak bisa tinggal di hotel. Orang-orang papaku bisa menemukanku dengan mudah kalo aku tinggal di sana. Lagipula, aku nggak punya uang sekarang. Semua kartu kreditku di blokir papaku. Aku juga nggak punya temen dekat yang bisa aku tuju untuk menginap. Jadi, tolong bantu aku,”
David tertawa mengejek mendengar semua penjelasan Maya.
“Itu urusanmu, bukan urusanku. Mau kamu tidur di mana kek, aku nggak peduli,” jawabnya ketus. Maya menatapnya dengan tajam.
“Kamu yang bikin aku berada di situasi kayak gini!? Jadi kamu juga harus bertanggung jawab dan membantuku!” Ia berteriak. David sempat kaget dengan teriakan perempuan tersebut.
“Jangan mengada-ada deh. Bagaimana mungkin aku bisa membuatmu dalam situasi kayak gini? Toh kamu kabur-kabur sendiri,” balas David.
Maya menatap lelaki di hadapannya dengan kesal. Ia melipat kedua tangannya di dada dan menatap David dengan angkuh.
“Karena kamu terlalu pengecut untuk bicara jujur pada papamu, maka aku-lah yang berkorban dengan menolak terlebih dahulu rencana pernikahan kita. Dan beginilah hasilnya, aku harus kabur dari rumah karena papaku murka! Kamu pikir aku melakukannya untuk siapa? Aku melakukannya untuk kamu dan pacarmu, agar kalian masih tetap bisa bersama-sama! Dasar idiot!” Ia kembali berteriak.
“Ssstt, pelankan suaramu. Kamu bisa mengganggu penghuni lain,” David membekap mulut Maya. Perempuan itu meronta dan menghalau tangan David.
“Karena itu cepat buka pintunya dan biarkan aku masuk. Kita akan bicara di dalam. Jika tidak, aku akan membuat keributan di sini,” ucap Maya tajam. David menghela nafas. Akhirnya, ia membuka pintu dan menyilahkan Maya masuk.
Maya menghempaskan tubuhnya ke sofa. David sempat meliriknya. Wanita itu memang terlihat lelah dan kesal. Tapi tetap saja ia tampak cantik luar biasa. Dan diam - diam David memujinya dalam hati. Memuji bahwa wanita itu memang cantik!
Lelaki itu berinisiatif membuatkannya teh hangat dan segera meletakkannya di depan Maya. Maya menyeruput teh hangat itu pelan tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Oke, aku ingin mendengarnya lagi. Bicaralah apa yang terjadi, tapi jangan berteriak-teriak di depanku,” David membuka suara seraya duduk di kursi yang berada di seberang Maya.
“Kamu membuatku kesal, dan aku ingin sekali menendangmu,” jawab Maya. David tersenyum.
“Oke, oke, sori. Sekarang bicaralah pelan-pelan,” ucapnya lagi. Maya meletakkan kembali cangkir teh ke meja. Ia menyandarkan punggungnya ke bantalan sofa. Ia sempat menarik nafas dan David melihat ada perasaan suntuk di sana.
“Seperti yang sudah ku ceritakan padamu. Aku bilang pada papa kalo aku menolak menikah denganmu. Beliau marah, kami bersitegang, dan inilah hasilnya. Aku kabur dari rumah karena aku sudah nggak tahan. Dan aku benar-benar nggak bisa tinggal di hotel. Percayalah, papaku bisa melacak keberadaanku di seluruh hotel yang ada di negeri ini hanya dalam waktu hitungan jam,”
David manggut-manggut. Ia tak meragukan cerita Maya. Dia benar. Papanya punya kekuatan penuh jika hanya memeriksa seluruh hotel yang ada di Indonesia, demi bisa menemukan Maya.
“Dan malangnya, papa juga memblokir semua rekening dan kartu kreditku. Aku nggak punya banyak uang sekarang,” Maya melanjutkan.
“Jadi, biarkan aku tinggal di sini. Ku mohon,”
“Kenapa harus di sini?” tanya David bingung.
“Karena tempat ini yang paling aman. Papaku pasti nggak nyangka kalo aku akan berada di sini,” jawab Maya.
David kembali manggut-manggut. Ya, Maya juga benar. Tempat paling berbahaya, bisa juga tempat yang paling aman.
“Aku akan tetap membayar sewa kamar apartemenmu. Nggak bisa sekaligus, tapi aku akan mencicilnya sedikit demi sedikit. Aku memang nggak punya banyak uang, tapi aku masih punya bisnis kecil-kecilan di Amerika. Aku punya sedikit karyawan dan aku menjalankannya dengan sistem on-line. Aku membangun bisnis itu tanpa sepengetahuan papaku. Jadi, ia takkan memblokirnya,”
David mendengar kalimat Maya begitu tulus.
“Percayalah, aku masih punya sedikit penghasilan. Dan aku masih bisa membayar sewa kamarmu,” perempuan itu kembali meyakinkan David.
David terdiam sesaat.
“Kenapa kamu melakukan hal kayak gini?” Ia bertanya.
“Aku sudah cerita ke kamu ‘kan?”
“Demi hubunganku dengan ___ pacarku?” David menahan tawa manakala mengucapkan kata ‘pacar’. Haha, pacar yang mana? Pacarnya siapa? Lelaki itu heran kenapa Maya menganggap Annisa adalah pacarnya hanya dengan memergokinya mereka jalan berduaan di taman hiburan? Ah, tapi ia tak peduli. Ia takkan mau repot-repot menjalankan tentang situasi itu padanya.
“Salah satunya,” Maya menjawab pelan.
“Kalo begitu, ceritakan yang lain lagi,”
Maya terdiam sesaat.
“May, aku tahu hubungan kita buruk. Tapi jika kamu pengen tinggal di sini, kita harus memperbaiki
hubungan itu. Kita harus jadi teman, nggak ada pilihan lain lagi. Jika kamu nggak cerita semuanya padaku dengan jujur, aku nggak bisa menerimamu di sini,” David terdengar serius dengan ucapannya.
Maya tak segera menjawab.
“Aku bosan terus menerus di atur papaku. Dan aku ingin memberikannya sedikit perlawanan,” ucapan Maya terdengar lunak. Dan David merasakan tubuhnya yang gerah serasa di siram air es.
“Melawan papamu sendiri? Pemberontakan?” Ia seakan meyakinkan telinganya sendiri. Maya mengangguk. Dan entah kenapa, David menyukainya. Mungkin karena ia juga mengalami hal yang sama. Ia bosan di atur terus menerus oleh papanya, hanya saja ia belum punya cukup nyali untuk mendebatnya. Dan sekarang, perempuan cantik di hadapannya ini melakukan hal yang selangkah lebih maju darinya? Ah,  David benar-benar takjub padanya. Dan, ia suka rencananya!
“Kamu tahu sendiri ‘kan, Dave. Aku anak tunggal. Papaku memanjakanku. Tapi dia juga over protektif padaku. Dia mengatur semua hal yang berurusan denganku. Semuanya. Mulai dari dengan siapa aku harus berteman, dimana aku harus sekolah, jurusan apa yang harus ku ambil ketika kuliah, bahkan dia juga menentukan di bidang apa aku harus bekerja. Dan sekarang, dia bahkan menentukan pernikahan tanpa persetujuanku,”
David merasakan bulu kuduknya bergidik mendengar serentetan kalimat yang meluncur dari bibir indah Maya. Persis! Semuanya persis seperti apa yang ia alami selama ini dengan papanya! Ia nyaris bersorak kegirangan karena seolah-oleh telah menemukan seorang teman lama - yang mungkin saja bisa ia ajak berbagi perasaan dan penderitaan!
“Kesabaranku sudah habis. Aku masih bisa terima ketika papa mengatur semua hal, tapi enggak soal pernikahan. Enggak, aku nggak bisa menurutinya,”
Keduanya berpandangan.
“Aku ingin sepertimu, Dave,” Maya kembali melanjutkan.
David mengernyitkan dahinya.
“Maksudmu?”
“Aku nggak bisa menikah tanpa cinta. Jadi, aku ingin ngalamin hal kayak kamu. Jatuh cinta, berpacaran, lalu menikah,”
David sempat tercengang mendengar ucapan Maya.
‘Kamu belum pernah jatuh cinta? Berpacaran?” ia bertanya dengan ragu-ragu. Maya menggeleng.
“Papaku nggak pernah ngasih ijin padaku untuk mengenal seseorang lebih jauh. Termasuk kamu. Tapi, tiba-tiba aja dia langsung main jodoh-jodohan segala. Papaku selalu beranggapan bahwa ia tahu lebih baik tentang lelaki mana saja yang cocok denganku. Ah, nggak tahu apa yang dia lihat dari kamu sehingga beranggapan bahwa kamu adalah lelaki paling tepat buatku,” Maya mengucapkan kalimat terakhir dengan sedikit gaya  mencibir hingga membuat David mendelik.
“Papamu benar bahwa aku lelaki yang baik. Hanya saja, kita nggak cocok,” balas David.
“Jadi, aku bisa tinggal sementara di sini ‘kan? Aku juga akan berusaha nyari kerjaan di tempat lain agar bisa membayar sewa kamarmu secepatnya,”
David terkekeh.
‘Kamu___ bekerja?”
Maya mengangguk.
“Kenapa? Aneh?”
“Ya, aneh. Kamu anak orang kaya dan manja, dan aku nggak yakin kamu bisa bekerja,”
Maya tersenyum meledek.
“Aku pernah kerja paruh waktu di restoran, ketika di Amerika. Tentunya tanpa sepengetahuan papaku,”
David melongo.
“Serius?”
Maya kembali mengangguk bangga.
“Aku juga pernah bekerja secara diam-diam di sebuah panti jompo,”
David kembali melongo, tak percaya.
“Nggak usah khawatir, aku mandiri dan terbiasa bekerja keras. Jika enggak, nggak mungkin aku bisa bikin bisnis kecil-kecilan. Percayalah, aku nggak sama dengan perempuan lain yang hanya mampu menikmati hasil kerja keras orang tuanya,”
David manggut-manggut.
“Jika kamu takut pacarmu akan salah paham padaku, aku bisa kok bicara langsung padanya dan menjelaskan tentang apa yang terjadi sebenarnya. Jadi, ia nggak akan salah paham kalo kelak dia tanpa sengaja memergoki aku berada di sini,”
David terhenyak.
“Enggak, kamu nggak perlu ngomong apa-apa pada pacarku. Dia bukan tipe pencemburu buta. Lagipula, dia nggak pernah datang kemari. Aku yang maen ke rumah dia,”
Maya tersenyum nakal.
“Wahh, kamu takut papamu akan mengetahui hubungan kalian hingga kamu nggak pernah membiarkannya datang kemari?”
“Mm, begitulah,”
“Kalian backstreet? Waah, kedengarannya seru sekali,”
“Mm, begitulah. Ah udah deh, jangan bahasa tentang dia lagi. Aku nggak suka ngomongin tentang hubunganku pada orang lain,”
Maya manggut-manggut.
“Mengenai keberadaanmu di sini, biar kita aja yang tahu kalo kamu tinggal bersamaku,” ucap David lagi.
“Rahasia kita berdua?”
David mengangguk. “Aku hanya nggak mau ribet dan dapat masalah,” ia menjawab. Maya mengangguk-angguk.
“Oke, percaya deh padaku. Aku pasti akan menjaga rahasia. Bahkan jika golok ditaruh di depan leherku, aku nggak akan cerita pada siapapun kalo kita tinggal bersama. Mm, maksudku, aku numpang di apartemenmu,”
“Oke, itu janjimu,”
David bangkit.
“Kamarmu ada di ujung. Bersebelahan dengan kamarku,” ucapnya. Senyum manis segera mengembang di bibir Maya. Perempuan langsing itu bangkit.
“Thanks,” ucapnya dengan mantap.

***

          Menjerit. Itu reaksi pertama ketika keesokan paginya, David menemukan Maya keluar dari kamarnya dengan hanya mengenakan pants super pendek dan kaos ketat tanpa lengan hingga lelaki itu sempat menikmati bahu, lengan, dan kaki jenjangnya yang mulus dan menawan.
“Ada apa? Kenapa kamu teriak?” tanya Maya bingung.
“Apa yang kamu pakai?”
Maya menatap dirinya sendiri dengan bingung.
“Aku ___ memakai bajuku,”
David melotot. Lelaki itu beranjak kembali ke kamarnya, meraih selimut lalu melemparkannya ke arah Maya.
“Tutupi tubuhmu,” ucapnya. Maya menerima selimut itu dengan kebingungan.
“Tutupi __ apa maksudmu? Aku nggak telanjang,” jawabnya.
“Bajumu terlalu vulgar dan itu nggak sopan,”
Maya mengangkat alis. Sejurus kemudian cewek itu tergelak.
“Maksudmu, kamu nggak nyaman dengan bajuku karena terlalu pendek. Astaga, kamu hidup di jaman apa sih? Ini baju biasa. Jangan terlalu konservatif gitu dong. Aku selalu memakai baju kayak gini kalo di rumah, apa anehnya?”
“Masalahnya ini bukan rumahmu?”
“Ups, sori. Masalahnya, ya inilah yang aku pakai kalo aku lagi dirumahku, di apartemenku ataupun menginap di rumah temanku. Kamu kayak pertama kali aja lihat perempuan pake celana pendek dan kaos u can see,”
David mendesah.
“Iya, aku tahu. Tapi aku lelaki, May. Bagaimana mungkin kamu memakai baju kayak gini di __ depanku?”
“Biasa ajalah, Dave. Emang kamu nggak pernah lihat pacarmu pakai baju kayak gini?” Maya tertawa hingga membuat David salah tingkah.
“Ah sudahlah, suka suka kamu aja deh,” lelaki itu beranjak. Ia masuk ke kamarnya sesaat lalu keluar lagi, menuju dapur, mengambil air minum, tampak salah tingkah. Dan Maya menatapnya dengan bingung pula.
“Kenapa sih dia?” gumamnya, bingung.

*** 

Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar