Senin, 18 Mei 2015

The Royal Couple - Part 6



Bab 6


Ketika David sampai di rumah Annisa, rumah itu sudah luluh lantak dengan tanah. Untungnya tak ada yang terluka. Hanya ayah Annisa yang mengalami sedikit luka bakar di lengan tangannya karena berusaha menyelamatkan benda-benda berharga yang masih bisa di selamatkan.
Annisa segera menghambur ke arah David dan memeluk lelaki itu ketika melihat kedatangannya. Perempuan manis itu terisak di dadanya. Ia tak menyadari kedatangan Maya yang berada tak jauh dari mereka. David sedikit canggung dengan Annisa dalam pelukkannya, terlebih lagi ketika Maya menatap mereka – menatap adegan pelukan itu - dengan tatapan tak nyaman.
“ini bukan kecelakaan, Vid. Aku melihat beberapa orang mengendap-endap dan menyiramkan bensin. Mereka membakar rumahku,” Annisa terisak. David membelalak.
“Seseorang berusaha mencelakai kalian?” Ia menggumam tak percaya.
“Entahlah, tapi aku yakin ini bukan kecelakaan biasa,” isak tangis Annisa tak berhenti.
“oke, tenangkan dirimu. Ayahmu harus dibawa ke rumah sakit dulu. Semoga luka bakarnya tak parah. Kamu nggak terluka ‘kan?”
Di dada David, Annisa menggeleng. David ragu, tapi akhirnya ia mengangkat kedua tangannya, mendekap Annisa dan membelai rambutnya dengan lembut, hanya untuk menenangkannya, tak lebih.
Tatapan mata David singgah pada Maya yang berdiri mematung tak jauh dari mereka. Ia tahu Maya menatapnya dengan tatapan tak nyaman. Ia tak bisa apa-apa.
Maya menggigit bibirnya sesaat, lalu mengarahkan jarinya ke arah jalanan. Sorot matanya seolah mengatakan : aku pergi dulu.
David menggeleng pelan, mencoba menyuruh Maya untuk tetap di sana. Ia tak mengatakan apapun, tapi ia yakin Maya bisa membaca isyarat matanya : jangan pergi. Tapi perempuan semampai itu hanya tersenyum lalu mengacungkan  jempolnya.
Mulutnya bergerak-gerak mengatakan sesuatu.
“Aku baik-baik aja. Aku tunggu kamu di rumah. Annisa butuh bantuan, bantulah dia dulu,” ucapnya.
Maya beranjak menuju jalan raya, menghentikan sebuah taksi, dan melaju pergi. Dan David hanya menatap kepergiannya tanpa bisa mengatakan apapun.
Dan malam itu, David nyaris menghabiskan semalam penuh untuk membantu Annisa. Ia membantu mengantarkan ayahnya ke rumah sakit, dokter mengatakan ayah Annisa tak perlu menjalani rawat inap. Rawat jalan sudah cukup untuk luka bakarnya. Dan malam itu juga David mencoba mencarikan penginapan murah untuk tempat tinggal sementara keluarga Annisa. Mereka tak punya keluarga di kota ini. Jadi, mencarikan penginapan adalah jalan terbaik.
“Aku sudah menghubungi teman-temanku. Dan aku juga sudah menghubungi teman-temanmu dari restoran Billy. Mereka akan bergotong royong membantumu. Tetangga-tetanggamu juga sangat baik. Mereka berinisiatif untuk menggalang dana dari masyarakat sekitar, agar rumahmu bisa dibangun lagi. Tapi, itu akan memakan waktu sedikit lebih lama dan mungkin rumahnya tidak sebagus dulu,”
Annisa manggut-manggut.
 “Baju dan makanan, jangan khawatirkan itu. Semua sedang menuju ke sini untuk membantumu,”
Annisa kembali manggut-manggut. Air matanya menitik.
“Makasih ya, Vid. Sori kalo aku harus ngrepotin kamu lagi,”
“It’s oke. Itulah gunanya teman. Jangan berencana untuk menolak bantuan kami. Please, kami tulus padamu,” David kembali menggenggam tangan Annisa denga lembut.
“Makasih banyak ya, Vid,”
David tersenyum.
“Dan ... kamu yakin kalo ada orang yang berusaha mencelakaimu dan keluargamu?” David bertanya dengan ragu-ragu. Annisa mengangguk.
“Ya, aku melihatnya sendiri. Beberapa orang tetanggaku yang belum tidur juga sempat memergoki mereka. Pak RT sudah berusaha melaporkan hal ini pada polisi,” jawab Annisa.
David manggut-manggut. Entah kenapa, pikiran segera tertuju pada papanya. Ia terngiang dengan kata-kata papanya beberapa minggu yang lalu ketika ia berkunjung ke apartemennya.
Aku akan menyingkirkan pacarmu jika kamu menolak menikah dengan Maya!
Astaga, tiba-tiba saja David merasa takut luar biasa.
“Kamu akan baik-baik aja tinggal sementara di sini. Sekarang, aku harus kembali ke apartemenku. Ada sesuatu yang harus kuselesiin. Nggak apa-apa ‘kan?” David pamit. Dan ia bersyukur karena Annisa mengangguk tanda setuju.
“Iya, pergilah. Makasih atas bantuannya ya,” ucap perempuan tersebut. Tanpa menunggu lebih lama,
David beranjak menuju mobilnya dan segera melarikan mobil tersebut dengan kecepatan tinggi. Tapi tidak ke apartemennya! Ia menuju rumah papanya!
Ketika sampai di rumah papanya, ia melihat lelaki itu sedang berada di ruang kerjanya. Lelaki itu mengalihkan pandangannya dari dokumen di mejanya ketika melihat kedatangan David.
“Oh, selamat malam, Vid. Tumben malam-malam begini ke sini?” Papanya menyapa duluan.
“Apa yang papa lakukan pada Annisa?” David segera memberondongnya dengan pertanyaan.
Kening papa David mengernyit.
“Annisa?”
“Ya, Annisa. Beberapa orang sengaja membakar rumahnya dan ia nyaris tewas terpanggang bersama seluruh keluarganya. Ini jelas bukan kecelakaan biasa, Pa,”
Papa David tampak tertawa dengan tenang.
“Maksudmu, kamu menuduhku melakukan hal itu? Berusaha membunuh perempuan itu?”
“Kalo bukan papa lantas siapa lagi? Papa jelas-jelas mengancam akan menyingkirkannya kalo aku nggak mau menikah dengan Maya,”
Papa David kembali tertawa.
“Kamu terlalu dini menuduhku, Vid,”
“Annisa nggak ada hubungan apapun dengan masalah kita, Pa. Jangan pernah melibatkannya. Dia nggak tahu apa-apa. Dan papa harus tahu, dia bukan pacarku,”
“Oh ya?” Papa David mencibir dengan rasa tidak percaya.
“Tapi kamu menolak menikahi Maya karena perempuan itu ‘kan?”
David menggeleng.
 “Papa salah! Alasanku menolak perjodohan itu bukan karena Annisa, tapi karena papa sendiri,”
Papa David menatap puteranya dengan heran.
“Apa maksudmu?”
“Karena aku sudah muak, Pa. Aku bosen kau atur-atur terus. Aku ingin memberikan perlawanan padamu. Dan salah satu caranya adalah menolak idemu untuk menikahi Maya. Kaulah yang menjadi penyebab aku melakukannya,”
Papa David bangkit dan menatap David dengan serius.
“Semua yang papa lakukan adalah demi dirimu, Vid,” papa David berteriak.
“Oh ya? Aku nggak butuh! Aku nggak butuh jadi pewaris perusahaanmu. Jika harus memilih, aku lebih suka menjadi orang biasa yang menjalani hidup dengan normal, apa adanya dan bebas. Bebas menentukan arah masa depanku! Jadi, mulai detik ini, aku nggak mau lagi berurusan dengan perusahaanmu!”
Kedua lelaki itu bertatapan dengan tajam.
“Apa yang membuatmu begitu egois, Vid? Apa kamu nggak mikirin sama sekali nasib para karyawan? Hanya demi wanita miskin itu, kamu rela melepaskan semuanya?”
“Itu bukan karena dia, Pa. Tapi karena aku sudah bosan melakukannya. Serahkan aja perusahaanmu pada 2 anakmu yang lain dan berhentilah mengekangku,”
“Itu nggak mungkin, mereka nggak akan mampu,”
“Apanya yang nggak mampu? Toh Papa nggak pernah ngasih mereka kesempatan,”
Papa David menarik nafas panjang sebelum menjawab.
“Mereka nggak punya kemampuan untuk itu, Vid. Dan merekapun tahu tentang hal itu. Jika papa mengatur segala hal tentang dirimu, itu karena kamulah satu-satunya anak papa yang punya kemampuan untuk mengatur perusahaan,”
“Omong kosong!”
“Terserah. Tapi insting papa selalu benar. Sejak kamu dilahirkan, papa tahu bahwa kamulah satu-satunya anak papa yang punya kemampuan menjadi pewaris bisnis papa, bukan kedua kakakmu. Mereka tahu, papa tahu, dan aku yakin kamu juga tahu hal itu,”
David mendengus kesal. Tapi hati kecilnya mengatakan, mungkin papanya memang benar. Kedua kakaknya memang tak punya kemampuan apapun dalam hal bisnis. Tapi apakah itu alasannya? Entahlah, ia sendiri bingung.
“Dan satu hal lagi, mungkin  papa memang orang egois, tapi papa tidak akan mencelakai orang. Itu hanya gertakan, papa tidak akan pernah benar-benar melakukannya. Jadi, bukan aku yang mencelakai perempuan itu. Kamu boleh percaya boleh enggak. Terserah padamu,”
David menatap papanya dengan putus asa. Dan tanpa mengatakan apapun lagi, ia meninggalkan papanya dengan kesal.

***

          David merasa lega luar biasa ketika menemukan Maya di apartemennya. Tadinya ia mengira perempuan itu akan melarikan diri darinya setelah melihatnya memeluk Annisa. Tapi nyatanya, di sanalah dia sekarang, di apartemennya, menunggunya. Entah kenapa, hanya dengan melihat wajahnya, kekesalan yang menyelimuti diri David menghilang begitu saja.
“Kamu nggak apa-apa ‘kan? Kamu kelihatan kesal,” Maya bangkit dari sofa dan mendekati David. David tersenyum dan menggeleng.
“Hanya sedikit lelah,” jawabnya. “Kemarilah,” ia meraih pinggang Maya yang ramping, mendekatkan dirinya padanya, lalu memeluknya erat.
“Maafkan aku karena tadi kamu harus pulang sendirian dengan naik taksi,” ucap David dengan nada menyesal.
“Nggak apa-apa. Bagaimana Annisa? Dia nggak apa-apa ‘kan?” Maya menyandarkan kepalanya di dada David.
“Dia baik-baik aja. Ayahnya terluka, untunglah nggak parah. Aku juga sudah mencarikan mereka penginapan sementara. Tenanglah, banyak yang datang untuk membantu mereka,” David mengecup puncak kepala Maya dengan lembut. Mereka berpelukan selama beberapa saat sebelum akhirnya Maya menarik dirinya lalu mengajak David duduk di sofa.
“Apa itu benar?” Maya bertanya dengan ragu-ragu.
“Apanya?”
“Bahwa ada orang yang mencoba mencelakai Annisa. Aku mendengar obrolan kalian. Ada orang yang sengaja membakar rumahnya ‘kan?”
“Mm, entahlah. Tapi, tetangga-tetangganya sudah melaporkan masalah ini ke polisi,”
Maya menggigit bibirnya dengan resah. David meraih tangannnya dan menggenggamnya erat.
“Ada sesuatu?” tanyanya. Maya menatap lelaki di hadapannya dengan dalam.
“Bukan papaku ‘kan pelakunya?” ia bertanya dengan tiba-tiba. David mengernyitkan dahinya.
“Kenapa tiba-tiba kamu nanya kayak gitu?”
“Entahlah, Dave. Aku hanya merasa takut aja. Tiba-tiba aku takut dengan sikap para orang tua jaman sekarang,”
David mengangkat bahu.
 “Sejujurnya, aku sempat mengira itu adalah perbuatan papaku,”
“Oh ya? Tapi, bukan dia ‘kan pelakunya,”
“Entahlah, aku juga bingung,”
“Jadi, papamu atau papaku?”
David tak bersuara. Ia menatap Maya dengan lekat.
“Semoga saja bukan mereka berdua, May,” ucapnya lembut.
“Mungkin papaku,” Maya kembali mengungkapkan ketakutannya.
“hei, kenapa kamu harus mikir kayak gitu? Santai aja May,” David membelai punggung tangan Maya dengan lembut. Maya mengatupkan kedua bibirnya dengan keras sebelum kembali berkata. “Sejujurnya, papaku tahu kalo Annisa adalah pacarmu. Setidaknya, itu yang ia ketahui, meskipun yang sebenarnya, dia hanyalah sahabatmu,”
David terhenyak heran.
“Astaga, darimana papamu tahu tentang Annisa?”
“Dia papaku, Dave. Jangan pernah meragukan kemampuannya. Ia punya banyak orang kepercayaan yang mampu memberikannya info tentang banyak hal. Termasuk tentang dirimu, teman-temanmu, bahkan semua orang yang pernah dekat denganmu,”
“Oh ya?”
Maya mengangguk.
“Ketika aku dirawat di rumah sakit, ia beberapa kali menyinggung tentang Annisa. Ia tahu bahwa kamu dekat dengannya. Dia bahkan berpikir bahwa kamulah yang menolak menikah denganku karena perempuan itu. Dan, dia berjanji padaku bahwa dia nggak akan pernah memaafkan siapapun yang berani menyakitiku, atau menghinaku. Dan ... dia bahka mengatakan bahwa dia sanggup memberi mereka pelajaran,” kalimat Maya terdengar gemetar. David mempererat genggaman tangannya. Ia melihat ada nada ketakutan pada raut wajah perempuan tersebut.
“Oh, astaga, apakah papaku akan tega melakukannya, Dave? Menyakiti orang? Membakar rumah seseorang?” Maya terlihat putus asa.
“May, itu ...”
“Sepertinya aku harus menemuinya,” Maya bangkit.
“Mau kemana?” David ikut bangkit, tetap dengan menggenggam tangan Maya.
“Aku harus menemui papaku, Dave. Aku harus nanyain langsung ke dia tentang hal ini. Aku nggak bisa tenang kalo belum memastikan bahwa papaku tidak terlibat dalam hal ini. Oh, semoga saja ia benar-benar nggak terlibat,”
“Oke, besok saja temui dia, sekarang istirahatlah, sudah malam,”
“Nggak bisa, Dave. Aku nggak bisa,”
“May?”
“Aku harus menemuinya sekarang. Aku harus tahu hal yang sebenarnya,”
“May, kumohon,”
“Dave,” tiba-tiba Maya terisak. David merasakan tubuhnya membeku. Ia hanya tak mengira bahwa Maya akan merasa terpukul seperti itu.
Lelaki itu bergerak dan meraih tubuh Maya ke dalam pelukannya.
“Aku takkan bisa memaafkan diriku sendiri kalo papaku sampai tega menyakiti orang, Dave. Aku nggak akan bisa memaafkan diriku sendiri kalo keluarga Annisa terluka karena diriku,” Maya terisak di dada David.
 “Ssstt, bukan May. Ini bukan salahmu. Kalo ada orang yang patut di salahkan, akulah orangnya. Akulah yang melibatkan Annisa dalam masalah ini. Bukan salahmu. Berhentilah, sayang. Jangan menangis lagi, ku mohon,” David membelai punggung Maya dengan lembut lalu mencium puncak kepalanya, berkali-kali. Entah kenapa, tiba-tiba saja ia berharap bahwa papa-nyalah yang mencoba mencelakai Annisa. Karena jika sampai tuduhan Maya benar, bahwa papanyalah pelakunya, tentu perempuan itu akan sangat terpukul dan terluka. Dan David tidak akan pernah sanggup menyaksikan Maya terluka. Tidak akan pernah!


          Maya berdoa agar prasangkanya salah. Tapi kenyataan itu benar-benar memukul perasaannya. Siang itu, ia menemui papanya di rumah. Papanya sempat menyemprotnya dengan amarah karena telah meninggalkan rumah sakit tanpa pemberitahuan. Tapi Maya tak memberikan penjelasan apapun. Ia kesana menemui papanya untuk membicarakan masalah Annisa. Dan alangkah terkejutnya ia ketika papanya dengan terang-terangan mengakui bahwa ia yang memberi pelajaran pada perempuan itu.
“Apa yang telah papa lakukan padanya? Ini tindakan kriminal!” kedua mata Maya berkaca-kaca.
Lelaki setengah baya itu hanya berdehem tenang.
“Dia pantas menerimanya. Tak akan ada seorangpun yang kuijinkan untuk menghina keluarga kita. Kau putri kesayangan papa, putri paling cerdas, paling cantik, dan paling berani di seluruh muka bumi ini. Dan idiot itu menolakmu hanya karena perempuan miskin sialan itu, ini benar-benar tak dapat dipercaya,”
Maya mendesah.
 “Pa, apa Papa lupa? Akulah orang pertama yang menolak pernikahan itu, bukan David.,”
“Oh, apa kamu pikir Papa orang yang bodoh? Kamu mungkin perempuan pemberontak, Maya. Tapi papa tahu kamu orang yang tak pernah berhenti berusaha untuk membahagiakan orang lain. Kamu tahu pernikahanmu adalah satu-satunya hal yang akan membuatku bahagia sepanjang sisa hidupku, sehingga kamupun berusaha menerimanya, meskipun kamu nggak suka. Tapi, nyatanya, kamu menolak. Dan aku yakin benar bahwa penolakanmu karena kamu tahu bahwa lelaki itu telah memiliki kekasih. Tentu kamu tak akan pernah tega memisahkan sepasang kekasih yang saling mencintai, sehingga kamu mengalah dan memilih untuk menolak terlebih dahulu. Kamu pikir aku nggak tahu hal itu?”
Maya kembali mendesah putus asa.
“Papa ceroboh mengambil keputusan tentang siapa perempuan yang dekat dengan David tersebut,”
Papa Maya terkekeh.
“Aku bahkan sudah tahu lama tentang hubungan mereka. Bertahun-tahun sebelum aku berinisiatif menjodohkan kalian, aku sudah mencari tahu terlebih dahulu tentang David. Dan aku tahu ia dekat dengan seorang pelayan restoran bernama Annisa. Mereka sudah lama berpacaran,”
“Mereka tidak pernah berpacaran, Pa,” mulut Maya bergetar.
“Annisa bukan pacar David. Mereka hanya berpura-pura pacaran!”
“Apa dia menceritakan cerita bohong padamu lagi?”
 “Tidak, David tidak bohong. Dia sudah menceritakan segalanya padaku. Annisa bukan pacarnya. Yang ia cintai selama ini adalah, aku!” air mata Maya menitik.
Papanya menatapnya dengan tatapan tak percaya.
“Dia bersandiwara lagi ‘kan?”
“Enggak pa, aku bersumpah padamu. Annisa bukan pacar David. Dia nggak ada hubungan apapun dengan masalah perjodohan kami. Dan sekarang, apa yang telah papa lakukan pada perempuan itu? Papa nyaris membunuhnya. Membunuh seluruh kelurganya. Ya Tuhan, kenapa papa melakukan hal keji semacam ini?!” lutut Maya lemas. Ia duduk bersimpuh di hadapan papanya dan perempuan itu terisak dengan histeris.
“Aku benar-benar nggak percaya papa nyaris membunuh orang hanya karena aku. Papa benar-benar membuatku kecewa,” ia menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.
Yohanes Anthony menelan ludah. Ia hanya tak menyangka bahwa putrinya akan merasa sangat terpukul seperti itu. 
“Mereka orang-orang yang baik, Pa. Dan aku nggak punya muka lagi untuk bertemu dengan mereka setelah apa yang papa lakukan pada mereka,” Maya sesenggukan. Merasa benar-benar terluka.

David menerima telpon dengan tangan gemetar. Sumpah, ia tak pernah merasa setakut ini. Dan, apa yang menjadi kekhawatirannya selama ini memang benarlah adanya.
“Dia yang melakukannya, Dave,” suara Maya dari seberang sana terdengar gemetar. David menelan ludah, tak mampu berkata-kata.
 “Papaku yang melakukannya. Dia yang membakar rumah Annisa. Oh, astaga, bagaimana ini, Dave? Apa yang harus kulakukan? Papaku telah melakukan tindakan kriminal. Dia melakukannya hanya untuk diriku. Andaikan aku tahu aku .... menyebabkan kekacauan ini, aku... ,” Kalimat Maya terhenti. David tahu perempuan itu sedang berjuang dengan dirinya sendiri.
“Bagaimana aku bisa menghadapimu, Dave? Menghadapi Annisa? Aku nggak punya muka lagi untuk ketemu dengan kalian. aku benar-benar nggak nyangka kalo aku akan menyebabkan kekacauan ini,” dan tangis perempuan itu meledak. David membisu. Lututnya lemas. Dan ia hanya mampu mendengar isak tangis Maya, selama hampir setengah jam.

***
Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar