Bab 1
Annisa
memekik. Mobil mewah yang dikendarai dengan kecepatan tinggi itu menyerempetnya
hingga sepeda motor yang ia tumpangi oleng dan membuatnya jatuh terjerembab. Ia
bahkan nyaris nyebur ke got beserta sepeda motornya jika saja ia tak pandai
menjaga keseimbangan. Ia menggerutu dan menumpahkan kekesalannya entah pada
siapa. Tapi sesaat kemudian ia dibuat heran ketika sedan mewah berwarna merah
yang tadi menyerempetnya berhenti, lalu bergerak mundur mendekatinya. Dan,
sekian detik kemudian, keluarlah seorang lelaki tampan berpakaian rapi.
Posturnya jangkung, wajahnya tampan dengan hidung mancung, dan rambutnya yang
hitam disisir dengan rapi. Ia masih muda. Jika Annisa tak salah menerka,
umurnya mungkin sekitar 28 tahunan. Lebih tua sedikit dibanding dirinya.
“Maaf, kamu nggak apa-apa ‘kan?” Lelaki
itu mendekatinya lalu menyapanya dengan nada cemas. Ia melihat ke arah sepeda
motor Annisa yang tergeletak, lalu berganti ke arah sekujur tubuh perempuan
tersebut hingga membuat perempuan manis itu jengah.
“Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak
bermaksud bersikap ceroboh di jalan raya hingga akhirnya menabrakmu. Hanya
saja, aku tadi lagi buru-buru.” Lelaki itu beranjak lalu membantu Annisa
mendirikan sepeda motornya kembali.
“Perlu ku antar ke rumah sakit?” Lelaki itu
kembali bertanya dengan khawatir. Annisa yang sempat bengong selama sekian
menit seakan kembali tersadar.
“Oh, nggak perlu. Aku nggak luka kok, hanya sedikit syok aja,” jawabnya
kemudian.
“Kamu yakin?”
Annisa mengangguk. Ia melihat ke arah
sepeda motornya yang ternyata juga baik-baik saja.
“Kamu yakin nggak perlu ku antarkan ke
dokter ataupun ke bengkel?” Lelaki itu kembali menegaskan dengan sopan. Annisa
tersenyum.
“Sungguh, aku nggak apa-apa. Kamu bisa
melanjutkan perjalananmu kembali. Dan terima kasih kamu mau mengkhawatirkan
aku. Tadinya aku sempat berpikir bahwa aku akan menjadi korban tabrak lari,”
Annisa terkekeh. Lelaki itu tersenyum dan menatapnya dengan lega.
“Syukurlah kalau begitu. Aku lega kamu
nggak apa-apa,” ucapnya. Ia mengulurkan tangannya ke arah Annisa.
“Aku David Mahendra. Bisa tahu namamu?”
Annisa agak ragu. Tapi akhirnya ia
menyambut uluran tangan tersebut.
“Annisa,” jawabnya. Setelah keduanya
berjabat tangan, lelaki bernama David itu mengeluarkan sebuah kartu nama dari
dalam dompetnya, lalu mengulurkannya ke arah Annisa.
“Ini kartu namaku. Jika kamu mengalami
sesuatu akibat tabrakan ini, mohon hubungi aku. Percayalah, aku nggak akan lari
dari tanggung jawab. Jika kamu perlu ke dokter, aku akan mengantarkanmu. Dan
jika ada kerusakan pada sepeda motormu dan kamu perlu ke bengkel, aku juga akan
mengurusnya,” ucapnya.
“Aku harus pergi dulu karena aku ada
urusan penting. Semoga kelak kita bertemu lagi,” David kembali menjabat tangan
Annisa, sebelum pemuda itu melenggang masuk ke dalam mobilnya dan segera
mengemudikan mobilnya menyusuri jalanan raya ibu kota.
Sesaat, Annisa
merasa terpesona. Seorang pemuda kaya, tampan, ramah, dan sangat sopan. Ah, ini
jarang sekali. Biasanya orang macam dia, bisanya hanya marah-marah gak jelas
jika terkena kejadian seperti ini. Apalagi, jika korbannya seperti dirinya.
Orang biasa dari kelurga tak mampu, atau boleh dibilang, orang kecil. Tapi,
pemuda bernama David itu benar-benar terlihat beda. Dan Annisa yakin bahwa
sikapnya tidak dibuat-buat.
“Ya, semoga bisa bertemu lagi,” tanpa
sadar Annisa bergumam sambil tersenyum. Lalu, ia kembali melanjutkan
perjalannya ke tempa kerja dengan sepeda motor kesayangannya. Dan untunglah ia
benar, sepeda motornyapun tak apa-apa.
Annisa
sempat berpikir mungkin ia tidak akan pernah bertemu lagi dengan pemuda bernama
David Mahendra tersebut. Tapi ternyata, takdir berkata lain. Malam itu mereka
bertemu lagi, di tempat kerja Annisa, di sebuah tempat hiburan malam. Semua itu
bermula ketika ada seorang pelanggan mabok yang resek yang berusaha menggoda
Annisa dan mengajaknya menemaninya. Tentu saja Annisa menolak karena dia hanya
seorang waitress. Tapi pelanggan itu marah dan terjadilah keributan. Tanpa ia
duga, ternyata David juga berada di sana bersama teman-temannya dan dialah yang
berinisiatif untuk turun tangan membantu Annisa. Hingga akhirnya, terjadilah
perkelahian antara dirinya dan pelanggan tersebut. Sayangnya, perkelahian itu
menyebabkan beberapa barang di tempat hiburan tersebut rusak hingga David dan
tamu yang mabuk itu harus mengganti kerugian. Dan sialnya lagi, Annisa harus
berhenti dari pekerjaannya lantaran dituduh sebagai penyebab perkelahian
tersebut.
“Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak
menyangka sama sekali kalau tindakanku tadi akan membuatmu kehilangan
pekerjaan,” ucap David menyesal setelah mereka berada di luar tempat hiburan
tersebut. Annisa menggeleng lembut.
“Nggak apa-apa kok. Lagian, tadinya aku
juga udah berniat berhenti dari pekerjaan ini. Trims ya dah mau nolongin,”
ucapnya.
David mendesah, merasa menyesal. “Tetep
aja kamu kehilangan pekerjaan.” Ujarnya. .
“Oh iya, di mana rumahmu? Aku akan
mengantarkanmu pulang,” ujar David lagi.
Annisa mengernyit. “Tapi ...”
Kenyataannya, Annisa benar-benar tak
bisa menolak bantuan dari David. Hingga akhirnya, malam itu David-lah yang
mengantarkannya pulang ke rumah kontrakannya yang sederhana di pinggir kota.
Dan mulai sejak itu, mereka menjadi
dekat dan menjadi sahabat. David bahkan membantu Annisa mendapatkan pekerjaan
lagi yang lebih layak. Kebetulan ia punya sahabat yang punya usaha kafe dan
restoran, dan kebetulan pula ada
lowongan sebagai waitress hingga Annisa bisa bekerja di sana.
Bagi David, ia sangat senang bisa bersahabat
dengan Annisa. Gadis itu memang dari keluarga sederhana. Tapi ia cantik, pintar
dan menyenangkan. Ia sangat baik pada siapa saja dan senantiasa berpembawaan
kalem dan tenang. Namun begitu, ia
selalu penuh semangat manakala melakukan pekerjaannya. Itulah mengapa, banyak
orang yang suka padanya.
Sedangkan bagi Annisa, ia juga senang
bisa bersahabat dengan David karena
baginya, David adalah manusia yang sangat berbeda. Ia tampan, kaya, dan
sukses berbisnis. Namun begitu, ia tak sombong sama sekali. Pembawaannya selalu
ramah dan penuh perhatian. Dan yang pasti, ia tak pernah membedakan seseorang
dari status sosialnya. Tentu hal ini menjadi langka karena selama ini banyak
orang kaya yang hanya mau berhubungan dengan mereka-mereka yang dirasa punya status
kekayaan yang sama.
***
“Hari
ini kamu selesai kerja jam berapa?” sapa David ketika sore itu ia kembali
mengunjungi Annisa ke tempat kerjanya.
“Sekitar setengah jam lagi aku selesai.
Kenapa?”
“Aku ingin mengajakmu ke sebuah
boutique. Besok mamaku ulang tahun dan aku bingung harus memberinya kado apa.
Sepertinya, aku benar-benar butuh bantuanmu untuk memilihkan kado yang cocok
untuknya,”
Annisa tersenyum.
“Oke, tapi sepertinya kau harus menunggu
dulu setengah jam,”
“Tak masalah. Aku bisa menunggumu sambil
menikmati kopi di sini,” jawa David. Ketika ia berbalik, ia bertemu dengan
Billy. Teman sekaligus pemilik kafe tempat Annisa bekerja.
“Hai, bro? Ada apa lagi ke sini?”
“Menurutmu?” David tersenyum dan balik
bertanya. Billy tergelak. Mereka berjalan berdampingan menuju meja paling ujung
dekat jendela.
“Tentu saja kepentinganmu cuma dengan
Annisa. Dulu waktu dia belum kerja di sini, kau nyaris tak pernah makan di
kafe-ku. Mungkin hanya sekitar 3 kali dalam sebulan. Nah, sekarang, sejak dia
di sini, kau hampir tiap hari ke kafe-ku,”
“Setiap hari? Jangan berlebihan. Paling
sekitar 3 atau 4 hari sekali,” jawab David cuek.
“Tuh kan? Bener ‘kan? Apa temanku yang
terkenal sibuk dan tak pernah mengenal cinta ini sekarang sudah tumbuh dewasa?”
David meninju pundak Billy dengan kesal.
“Kami hanya berteman,” ujar David lagi.
“Iya, sekarang memang teman, besok siapa yang tahu? Jadi pacar, jadi
istri, mungkin aja ‘kan?” Kilah Billy. David tergelak. “Urusi saja
cewek-cewekmu yang seabrek itu. Dasar playboy,” ucapnya. Billy tertawa.
“Siapa yang playboy? Cewek-cewek itu
yang jatuh bangun menarik perhatianku, bukan aku yang ngejar-ngejar mereka,”
Billy membela diri. David kembali tertawa.
“Ya,ya, berarti apa aku harus
menyalahkan cewek-cewek itu maksudmu?”
“Ya, maksudku sih nggak gitu,”
Keduanya mengobrol kesana-kemari sambil
menunggu Annisa selesai bekerja.
***
Ulang
tahun mama David berlangsung khidmat. Acara yang berlangsung sederhana itu
dihadiri oleh seluruh keluarga dekat. Tampak pula Voni, kakak perempuan David
beserta Edo suaminya dan juga puteri kecil mereka, Angel, yang baru berusia 2
tahun. Bahkan Rendy, kakak laki-laki David yang biasanya menghabiskan waktunya
berkelana dari satu Negara ke Negara lainnya untuk memuaskan jiwa petualangnya,
malam itu juga tampak hadir mengenakan baju resmi. Jauh dari penampilannya
sehari-hari yang terbiasa dengan baju-baju kasual.
David memberi kado mamanya sebuah baju
tunik berwarna hijau tua di padu dengan hiasan-hiasan bernuansa emas. Baju itu
Annisa yang memilihkan dan ternyata mamanya sangat menyukainya.
“Sebenarnya papa mengundang seorang tamu
istimewa hari ini. Sayangnya dia berhalangan hadir.” ucap pak Hadi, papa David,
di sela-sela makan malam tersebut.
“Siapa Pa?” Rendy bertanya antusias.
“Ini kejutan dariku dan mamamu, untuk
David,”
David yang mendengar namanya disebut
mengernyitkan dahinya.
“Untukku?” tanyanya.
Pak Hadi manggut-manggut.
“Kita akan bicarakan ini di ruang
kerjaku setelah makan malam ini selesai, ok?”
David menatap papanya tanpa bisa
menyembunyikan rasa penasarannya. Tapi ia tetap mengiyakan ucapan papanya.
Setelah makan malam itu selesai, ia menemui papanya di ruang kerjanya.
“Ada apa, Pa?”
Pak Hadi tak segera menjawab.
“Papa dan mamamu telah sepakat
mencarikan seorang istri untukmu,”
David tersentak. “Apa?!”
“Dia putri tunggal teman bisnis papa
yang sukses membangun kerajaan bisnisnya di Eropa dan Amerika. Dan kami sepakat
untuk menjodohkan kalian. Jangan khawatir, dia sangat cantik dan pintar. Kau
pasti menyukainya,”
“Enggak, Pa. aku menolak perjodohan
ini,”
Pak Hadi melotot, tak menyangka dengan
penolakan David yang begitu cepat.
“Apa maksudmu kamu menolaknya? Bukankah
sekarang ini kamu sedang enggak punya pacar?”
“Ini bukan masalah aku punya pacar atau
enggak, Pa. Tapi aku nggak suka papa mencampuri urusanku dalam mencari
pendamping hidup. Kenapa bukan kak Rendy saja yang papa jodohkan dengannya?”
“Kamu ‘kan sudah hafal dengan kebiasaan
kakakmu. Dia jarang di rumah, dia bahkan tidak berniat mengambil alih
perusahaan. Yang bisa dia lakukan hanyalah bersenang-senang,”
David mendesah kesal. “Pa, selama ini
aku selalu patuh denganmu ‘kan? Aku bahkan mengambil alih perusahaan padahal
papa tahu aku nggak menginginkannya. Tapi untuk kali ini aja, Pa. Hanya untuk
kali ini, tolong jangan mencampuri urusanku dalam hal mencari istri.”
“David?”
“Kumohon, Pa. Untuk kali ini aja, ku
benar-benar ingin melakukannya dengan caraku sendiri,”
“Tapi kamu satu-satunya harapan papa,”
David menggeleng jengkel.
“Jika kau tidak ingin melakukan ini
untukku, lakukanlah ini untuk perusahaan kita, anakku,”
David mengernyitkan dahinya.
“Apa maksud papa?”
“Kamu sendiri tahu ‘kan keadaan
perusahaan kita. Perusahaan kita sedang tidak begitu bagus. Kita bahkan harus
mengurangi ratusan pekerja. Jika kamu mau melakukan pernikahan ini, kita bisa
kembali bangkit dan mengembangkan usaha kita tidak hanya di Asia tapi juga di
Eropa dan Amerika. Bayangkan ratusan
ribu pekerja yang menggantungkan hidupnya dari perusahaan kita, anakku.”
David ternganga.“Jadi, maksud papa
pernikahan ini hanya berlatar bisnis semata?”
Pak Hadi menarik nafas berat. “Papa
tidak bermaksud begitu. Tapi, pikirkanlah karyawanmu, mereka punya keluarga,
dan mereka butuh tempat tinggal dan makan dengan layak,”
David bangkit dengan segera. “Aku
benar-benar kecewa pada papa,” ucapnya seraya beranjak meninggalkan ruangan
tersebut.
***
David melirik
arloji di tangannya dengan jengkel. Papanya bilang, wanita itu bersedia
menemuinya di sini, di restoran ini, tepat pukul 7 malam. Ini memang baru pukul
7.10. Tapi David seraya tak sabar untuk menemuinya. Bukan karena ia menyetujui
perjodohan itu, tapi karena ia benar-benar ingin menegaskan bahwa ia menolak
rencana tersebut. Ia yakin bahwa ia punya kemampuan untuk terus mengembangkan
bisnisnya. Dan ia yakin, tanpa mengikuti perjodohan ini, ia pasti mampu
menyelamatkan perusahaannya dan juga seluruh karyawannya.
Dan sesaat
kemudian, tatapan matanya menangkap sesosok makhluk cantik yang melenggang
memasuki ruangan. Sosoknya ramping
dengan tubuh tinggi semampai, ia bahkan tidak menggunakan sepatu bertumit
tinggi. Rambutnya yang lurus sebahu dia biarkan terurai dan bergerak bebas.
Wajahnya cantik meski tanpa sentuhan make up berlebih. Ia mengenakan baju mini
dress warna hijau toscha yang terlihat melekat sempurna di tubuhnya. Bagian
bawah baju itu berada sekitar 10 cm di atas lututnya hingga kakinya yang
jenjang dan tampak mulus leluasa terekspos. Dan ini cukup untuk membuat
tamu-tamu pria di tempat tersebut terpana selama beberapa saat. David ingin
mengabaikan wanita cantik yang bergerak ke arah mejanya. Tapi naluri lelakinya
tetap saja tak bisa menyembunyikan rasa kagum pada wanita tersebut. Ia ...
terpesona.
“Hai.” perempuan
itu menyapa dan langsung duduk di kursi yang berada di seberang David tanpa
menunggu dipersilahkan. “David Mahendra ‘kan?” Ia kembali menyapa. Kedua
matanya yang bulat indah bergerak-gerak dengan indah. David seperti di
bangunkan dari mimpinya. Ia terbata. “Y-Yaaa ... dan ... kamu pasti ___”
“Maya. Maya Angela.” Perempuan itu
menjawab cepat.
David manggut-manggut. “Aku sudah tahu
identitasmu dari papaku,” jawabnya..
Perempuan bernama Maya itu juga
manggut-manggut. Ia menegakkan tubuhnya, melipat kedua tangan di dada lalu
menatap David dengan tatapan angkuh. “Ok, Dave__”
“David.” David meralat cepat.
“Ok, David. Aku ingin membicarakan
tentang rencana perjodohan kita. Langsung aja, tanpa basa-basi. Jadi___”
“Aku menolaknya.” David memotong.
Bibir Maya mengerut.
“Kamu menolaknya?”
“Apa kamu ingin menerimanya?” David
balik bertanya.
“Aku juga ingin menolaknya.” Tukas Maya,
ketus.
“Baguslah kalo begitu. Bilang aja pada
orang tuamu kalo kamu menolak perjodohan ini. Dan kita bisa segera mengakhiri
apa yang belum kita mulai.” David juga menjawab dengan ketus.
“No,
kamu aja yang bilang ke orang tuamu bahwa kamu yang menolak perjodohan ini.”
Jawab Maya.
David mengernyit. Sesaat ia melakukan
hal yang sama, seperti yang Maya lakukan. Ia menegakkan tubuhnya, melipat kedua
tangannya di dada, lalu menatap ke arah Maya dengan angkuh. “Well, kenapa harus
aku?”
“Dan kenapa kamu berani menyuruhku?”
suara Maya terdengar arogan.
David menatapnya sebal.
“Papaku bisa saja membunuhku jika aku
berani menolak perintahnya,” Maya kembali melanjutkan.
“Itu bukan urusanku,” jawab David.
“Tentu saja ini menjadi urusan kita
berdua karena orang yang akan dijodohkan denganku adalah kamu!” Maya membentak.
David tercengang. Ia tak menyangka bahwa makhluk cantik di depannya ternyata ...
judes!
David terdiam sesaat.
“Kita nggak bisa menyelesaikan hal ini
dengan cepat. Kita akan selesaikan perihal perjodohan ini perlahan-lahan. Yang
jelas, aku sudah memberitahumu sikapku tentang hal ini.” Jawabnya kemudian.
“Oke, aku juga bisa memahamimu, Dave,”
“David, bukan Dave.” David mendelik.
“Oke, David. Bukan Dave.” Jawab Maya
cuek tanpa mempedulikan David yang menatapnya dengan kesal.
“Aku harus pergi dulu. Semoga kita
bertemu lagi.” Lelaki itu bangkit.
“Oke, Dave.” Maya ikut bangkit. David
melotot ke arahnya. Dan perempuan itu hanya meringis hingga memperlihatkan
giginya yang rapi dan bersih.
“Ya, Dave? David? Atau siapalah, whatever,” jawab Maya seraya beranjak
lalu mendahului langkah David meninggalkan tempat tersebut.
***
Suasana
night club hari itu ramai seperti biasanya. Billy melangkahkan kakinya menuju
ruang VIP dan tampak David sudah berada di sana sendirian. Minumannya tampak
utuh tak tersentuh.
”Tumben ke sini?” Billy menghempaskan
tubuhnya di samping David.
“Ada masalah?” tanya Billy lagi ketika
ia melihat raut muka David yang tampak kusut.
“Enggak, aku cuma suntuk aja,” jawab
David.
“Apa karena rencana perjodohan itu?”
David mengernyit heran. Ia menatap
Billy. “Darimana kamu tahu tentang perjodohan itu? Apa sudah dimuat di surat
kabar?”
“Kak Rendy yang memberitahuku.” Billy
menjawab enteng.
David mendesah kesal. “Orang itu memang
nggak pernah bisa menjaga mulutnya,” gerutunya.
“Apa dia cantik?” tanya Billy antusias.
“Siapa?”
“Itu, yang mau dijodohkan sama kamu,”
“Kalau kamu tertarik, cari tahu sendiri
aja,oke?”
“Kamu nggak menyesal karena telah
menolaknya ‘kan?”
David melotot. “Dasar playboy. Yang ada di kepalamu pastilah soal
cewek melulu.”
Billy hanya menyeringai.
“Apa kamu menolak perjodohan itu karena
Annisa?”
David menatap kembali ke arah Billy.
“Kenapa dengan Annisa?”
“Yaa, siapa tahu aja, kamu jatuh cinta
pada cewek sederhana itu sehingga kamu menolak di jodohkan dengan perempuan
lain.” Billy sekedar menerka.
David tak segera menjawab. “Entahlah,
Bill. Tapi intinya adalah, aku nggak suka di atur-atur oleh papaku. Aku bukan
anak kecil lagi.” Desisnya.
Billy mengangkat bahu.
“Well, aku nggak tahu seburuk apa
hubunganmu dengan papamu. Tapi sebagai sahabat aku akan tetap menyarankan agar
kamu menyelesaikan masalahmu dengan bijaksana. Nggak ada salahnya ‘kan kamu
bicara lagi dengan papamu. Jika kamu nggak suka perempuan yang di jodohkan itu,
bilang aja kamu udah punya pacar.”
David terdiam sesaat. “Tau deh,”
jawabnya kemudian. Ia bangkit.
“Mau kemana?”
“Pulang.”
“Kamu menyetir sendiri?”
David mengangguk.
“Kamu yakin baik-baik aja?” pertanyaaan
Billy terdengar khawatir. David tersenyum.
“Tenang aja. Aku nggak mabuk. Aku bahkan
belum menyentuh minuman beralkohol sedikitpun,” jawaban David yang meyakinkan
membuat Billy lega hingga membiarkan temannya itu pulang dengan menyetir
sendiri.
***
David
segera merebahkan tubuhnya di tempat tidur ketika sampai di apertemennya. Kedua
mata tajamnya menerawang ke langit-langit kamarnya. Dan ia kembali teringat
akan papanya dan juga rencana perjodohannya dengan Maya.
Dan kebenciannya
pada lelaki itu itupun kian bertambah. Entah apa yang membuat lelaki setengah
baya itu memperlakukan ia dengan cara yang berbeda. Cara yang sama sekali
berbeda dengan kedua kakaknya. Papanya membiarkan kedua kakaknya menentukan
jalan hidup mereka sendiri. Apapun itu, papanya pasti setuju. Mereka di beri
kebebasan penuh. Mereka sekolah dimana mereka ingin sekolah. Mereka melakukan
hobi yang mereka inginkan. Papa bahkan memperbolehkan kak Voni berhenti kuliah
demi bisa segera menikah dengan seorang lelaki yang bahkan belum punya
pekerjaan tetap. Ia juga memperbolehkan ketika kak Rendy tak ingin terlibat dalam perusahann dan lebih
memilih untuk berkelana ke berbagai negara demi hasrat petualangannya bersama
rekan-rekan backpacker-nya!
Lantas, bagaimana dengannya? Ia bahkan
tidak pernah mengenyam kebebasan sejak ia kecil. Selama ini papa yang
senantiasa mengatur nyaris seluruh hidupnya. Mulai dimana dia harus sekolah,
kuliah, bahkan jurusan apa yang harus ia ambil. Ia juga menentukan dengan siapa
ia harus berteman. Dan karena papanya-lah ia harus memegang tampuk kekuasaan di
perusahaannya dalam usia yang sangat muda. Dan jujur, bukan itu yang ia
inginkan dalam hidup.
Dan sekarang,
urusan mencari pendamping hidup pun ia juga ikut campur!
David menggerutu. Ia gamang. Selama ini
ia memang tak berdaya melawan papanya. Tapi, akankah kali ini ia berani
melawannya? Ia tak tahu. Ia sungguh tak tahu.
***
Maya
menghentikan mobil yang ia kendarai di sebuah kafe ketika menyadari ini sudah
waktunya jam makan siang. Selain itu, ia merasa cukup kelelahan setelah
berputar-putar tak tentu arah menyusuri setiap sudut kota demi memuaskan rasa
ingin tahunya tentang kota yang baru ia datangi sekitar beberapa bulan yang
lalu.
Setelah memarkir mobilnya, perempuan itu
segera beranjak masuk ke kafe tersebut. Ia menemukan sebuah tempat yang nyaman
di dekat jendela, di lantai dua. Sambil membolak-balik buku menu, seorang pelayan
menghampirinya.
“Silahkan, mbak. Mau pesan apa?” Ia
menyapa ramah. Maya tersenyum.
“Aku tahu dari internet kalau tempat ini
terkenal dengan stik-nya yang super lezat. Aku ingin pesan yang itu,” jawabnya.
Pelayan itu tersenyum.
“Iya, mbak. Banyak pelanggan kami yang
merasa puas dengan stik yang kami punya. Tak jarang mereka akhirnya menjadi
pelanggan tetap kami,” ia menjawab.
Maya manggut-manggut.
“Minumnya?”
“Jus jeruk,” jawab Maya cepat. Itu
adalah minuman favoritnya, meskipun ia punya tunggakan maag.
“Oke, akan segera kami siapkan.” Pelayan
cantik tersebut mohon diri dengan sopan. Dan tak butuh waktu baginya untuk
kembali membawa pesanan Maya. Namun, sebuah insiden kecil terjadi ketika
pelayan itu berniat meletakkan segelas jus jeruk di depan Maya. Tiba-tiba saja,
gelas itu meleset dan tumpah. Tumpahan jus jeruk menyiram baju dan rok Maya
sementara gelasnya sendiri meluncur ke lantai dan pecah berkeping-keping. Maya
sempat menjerit sesaat karena kaget. Sontak ia berdiri, mengambil tisu lalu
segera mengelap bajunya yang basah dengan tisu tersebut. Pelayan restoran yang
menumpahkan minuman tersebut tampak pucat.
“Ya ampun mbak. Maafkan saya. Saya
benar-benar nggak sengaja.” Ia memohon maaf berkali-kali dengan raut menyesal.
Maya tak menjawab karena terlalu sibuk mengelap bajunya. Hingga akhirnya,
pemilik restoran mengetahui kejadian itu dan ia segera mendatangi mereka dan
mencari tahu apa yang terjadi.
“Apa yang
terjadi Annisa?” Billy melangkah ke arah kedua perempuan tersebut dengan
penasaran. Ia mengecilkan volume suaranya karena beberapa tamu tampak
memperhatikan mereka.
“Saya benar-benar nggak sengaja, pak.
Saya menumpahkan jus jeruk itu ke baju mbak ini.” Annisa menjawab dengan panik.
Maya mendongak ke arah Annisa lalu ke arah Billy, bergantian.
“It’s
okey. Ini hanya kecelakaan kecil, biasa terjadi pada siapa saja. Tapi
semoga kau tak ceroboh lagi ya.” Ia mengucapkan kalimat terakhir seraya menatap
Annisa yang tampak ketakutan lalu kembali mengelap bajunya.
Billy terhenyak. Bujang tampan itu
segera terpana menyaksikan seorang perempuan cantik luar biasa berada di
hadapannya.
“Maya Angela?” Ia mengguman tanpa sadar
dan tetap menatap perempuan didepannya yang masih sibuk mengelap baju, dengan
takjub.
Maya mendongak, kembali menatap Billy.
“Kamu tahu aku?” Ia bertanya langsung.
“Tentu aja.” Jawab Billy dengan senyum
sumringah. Ia berganti menatap Annisa.
“Annisa, tolong suruh orang untuk
membersihkan tempat ini dan antarkan pesanan yang baru untuk mbak ini. Aku akan
mengajaknya ke ruang VIP, sebagai permintaan maaf. Jadi, antarkan aja
pesanannya ke sana.” Ia memberi perintah sopan.
“Oh, nggak perlu repot. Aku masih bisa
melanjutkan makan siangku di sini kok,” suara Maya tak kalah sopan.
“Baik pak.” Annisa menjawab cepat. Ia
baru saja ingin beranjak ketika sebuah suara menghentikan niatnya.
“Untuk apa kamu di sini?”
Annisa, Billy
dan juga Maya menoleh hampir bersamaan ke arah suara tersebut. Tampak David
sudah berdiri tak jauh dari mereka dengan santai dan kedua tangan berada dalam
saku celananya. Ia melangkah perlahan ke arah mereka – tetap dengan kedua
tangan di dalam saku – dan pandangan matanya tertuju langsung kepada Maya.
“Untuk apa kamu di sini?” Ia mengulangi
pertanyaannya dengan nada ketus. Maya menelengkan kepalanya, membalas tatapan
lelaki itu dengan kesal.
“Apa kamu mengikutiku?”
Pertanyaan David membuat Maya membuang
nafas. Ia melemparkan tisunya ke atas meja lalu menatap lelaki itu dengan
angkuh.
“Dengar ya mister sok tahu. Aku ke sini
untuk makan, bukan untuk mengikutimu. Astaga, apa yang membuatmu begitu percaya
diri sehingga aku harus repot-repot mengikutimu ke sini? Aku bahkan nggak
peduli sama sekali dengan urusanmu.” Nada suaranya meninggi sehingga sempat
membuat beberapa tamu mempedulikan mereka, dan Maya tak peduli.
Perempuan itu meraih tasnya. Lalu
menatap Billy tanpa rasa canggung sama sekali.
“Oh, terima kasih atas pelayanannya.
Jujur aku tak puas dengan pelayanan di sini, tapi sepertinya aku masih bisa
datang lagi, kapan-kapan. Dan, terima kasih atas niat baikmu tadi. Mungkin lain
kali aku akan menerimanya.” Ia beranjak. Tanpa menghiraukan panggilan dan bujuk
rayu Billy, meskipun lelaki itu sempat mengejarnya selama beberapa meter.
“Astaga, dia perempuan yang judes,”
David sempat menggumam. Tapi ekor matanya masih sempat mengikuti sosok tinggi
semampai itu melenggang meninggalkan rumah makan, dengan mobilnya.
“Oh, dia ramah kok. Tadi aku menumpahkan
jus jeruk ke rok-nya dan dia nggak marah padaku. Aku beruntung. Jika tamu lain,
riwayatku pasti tamat. Ngomong-ngomong, kalian saling mengenal?” tanya Annisa.
David tak segera menajwab. Ia menggaruk-garuk
kepalanya seperti orang kehabisan akal.
“Dia ....”
Kalimatnya terhenti ketika Billy
menghampirinya.
“Annisa, segera bereskan tempat ini. Dan
kau, bung. Ikut denganku, kita harus bicara,” Billy merangkul pundak David dan
segera mengajaknya melenggang ke ruangannya. Annisa hanya mampu menatap
kepergian dua lelaki jangkung itu dengan heran.
***
Billy
membelalak. Mulutnya bahkan sempat terbuka untuk waktu yang lama karena saking
kagetnya. “Jadi, perempuan yang akan dijodohkan denganmu itu adalah ___ dia!?
Maya Angela!?” Ia berteriak. David hanya mengangguk malas.
“Dan kamu berniat menolaknya!?” Ia
kembali berteriak dan David pun kembali mengangguk, tetap dengan rasa malas.
Billy meletakkan kedua tangannya di kepalanya dan sempat mengacak-acak rambutnya
sendiri.
“Kamu pasti gila.” Ia mendesis. David
menatapnya heran.
“Kamu tahu siapa dia?” Ia bertanya.
“Iyalah. Maya Angela, puteri tunggal
Yohanes Anthon. Pewaris tunggal semua kerajaan bisnisnya. Boleh di bilang,
dia-lah Paris Hilton-nya Indonesia. Apa kamu nggak tahu itu?”
David mengangkat bahu.
“Aku tahu ayahnya. Hanya sekedar
mendengar namanya. Tapi urusan puterinya, aku nggak tahu. Aku minim informasi,”
jawabnya jujur.
Billy kembali mendesah.
“Aku nggak heran kamu nggak tahu banyak
tentang dia. Ia memang menghabiskan masa kecil dan masa kuliahnya di luar
negeri. Aku bahkan dengar kalau dia juga mulai merintis bisnis di Amerika,
mengikuti jejak ayahnya. Ia pernah beberapa kali masuk media karena sepak
terjangnya sebagai calon pewaris kekayaan ayahnya. Selain itu ia juga aktif di
beberapa kegiatan amal dan sosial, baik di Indonesia dan di luar negeri.
Astaga, kamu beneran nggak tahu tentang ini ya?”
David terkekeh.
“Apa kamu nggak salah? Perempuan judes
seperti dia aktif di kegiatan amal dan sosial? Ya ampun, aku bener-bener nggak
percaya, seratus persen!” Lelaki itu tertawa.
Billy menatapnya dengan putus kesal.
“Kamu akan membuat banyak lelaki di negara ini bahagia, jika kamu bener-bener
menolak perjodohan ini.” Ia mengguman. Davit mengernyitkan dahinya.
“Emangnya kenapa?”
“Karena itu berarti, kami semua masih
punya banyak kesempatan yang sama untuk bisa mendapatkan cewek itu.”
“Cewek itu siapa? Maya Angela maksudmu?”
Billy mengangguk.
“Ya ampun, Bill. Serius? Kamu ingin ...
mendapatkannya?”
“Tentu aja, aku akan mengerahkan semua
kekuatanku demi cewek itu. Aku bener-bener nggak nyangka bahwa aku akan bisa
bertemu dengannya dan punya kesempatan mendekatinya. Oh, thanks banyak ya, Vid,
karena kamu menolak perjodohan ini. Kamu mungkin gila karena berani menolak
cewek macam Maya, tapi bagaimanapun juga, aku bersyukur kamu melakukannya.”
Kedua mata Billy berbinar. David mencibir. “Playboy tetap aja playboy,”
gumamnya.
Billy hanya nyengir seraya beranjak ke
arah David lalu memeluknya erat.
“Hellooo, aku bukan homo, Bill.
Lepasin!”David berteriak-teriak. Billy ngakak seraya melepaskan pelukannya.
“Thanks karena kamu sudah menolaknya.
Sekarang aku mantap untuk ngejar-ngejar dia,” ucapnya lagi seraya melangkahkan
kakinya keluar dari kantornya. Dan David hanya menatapnya dengan heran. Tapi ia
tak peduli dengan apa yang akan dilakukan cowok tersebut.
***
“Jadi, perempuan yang nggak sengaja ku siram
jus jeruk tadi adalah perempuan yang mau dijodohin sama kamu?” Tanya Annisa
dalam perjalanan pulang. David yang mengantarkannya, lagi.
Lelaki itu terlihat terkejut. “Apa aku
sudah menceritakan tentang perjodohan itu padamu?”
Annisa tersenyum, perlahan cewek manis
itu menggeleng.
“Belum, pak Billy yang menceritakan
padaku,” jawabnya ragu.
“Dan dia juga memberitahumu bahwa cewek
yang tadi adalah orangnya,”
Annisa kembali mengangguk ragu.
“Dia memang nggak bisa menjaga
mulutnya,” ucap David geram. Annisa tertawa lirih.
“Dia cantik,” ucapnya kemudian. Ada nada
tak wajar dalam kalimatnya tapi David tak menyadarinya.
“Tapi judes,” balas David.
“Cewek judes itu biasanya menarik,”
“Nggak mesti. Buktinya, kamu nggak judes
tapi menarik ‘kan?”
Annisa kembali tertawa.
“Ya, ‘kan tadi aku bilang biasanya,”
ucapnya.
Terdengar desahan nafas David.
“Aku berniat menolak perjodohan itu,” ia
berucap lirih.
“Kenapa?”
“Ayolah, Annisa. Ini jaman apa?
Perjodohan bullshit kayak gini sudah
nggak jaman lagi. Papaku saja yang sok suka ngatur-ngatur,”
“Maksudmu, kamu menolak perjodohan
karena papamu? Bukan karena perempuan itu?”
Pertanyaan Annisa yang tiba-tiba itu
membuat David terdiam. Ia berpikir keras. Tapi otaknya serasa buntu.
“Tadinya aku sempat berpikir untuk
memintamu berpura-pura menjadi pacarku agar papaku membatalkan rencana
perjodohan itu. Tapi___”
“Memintaku berpura-pura jadi pacarmu?
Vid, ini bukan sinetron. Cerita macam itu terlalu klise. Pura-pura pacaran,
habis itu, cinta beneran. Oh, enggak deh, aku pasti menolaknya kalau kamu
meminta,” Annisa memotong. Cewek itu tertawa membayangkan dirinya menjadi pacar
pura-pura David.
David manyun. “Ya, kupikir juga gitu.
Cara kayak gitu nggak akan mempan. Ah, sudahlah. Jangan dibahas lagi. Besok
kamu ada waktu? Jalan-jalan yuk, aku ingin mengajakmu ke taman hiburan. Aku
butuh pelampiasan,”
Annisa terdiam sesaat. Mengingat-ingat
jadwal kerjanya.
“Boleh. Aku pulang jam 3 sore,” jawabnya
kemudian.
David tersenyum. “Oke, ku jemput jam 3,
di restoran,” ucapnya seraya terus menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang
menyusuri jalan raya.
***
David dan Annisa
menikmati sore yang cerah itu dengan gembira. Mereka naik rollercoaster,
bianglala, kereta gantung, dan sekarang mereka berakhir di sebuah taman sambil
menikmati es krim.
“Oke, setelah ini apa?”
“Mm, apa ya? Aku butuh yang nyantai,”
jawab Annisa. David terdiam sesaat.
“Perahu dayung di danau?” Ia
menyarankan. Cewek berambut panjang itu tersenyum.
“Oke.” Ia menjawab mantap sambil terus
menikmati es krim coklatnya. Keduanya bergerak untuk membeli tiket. Tapi ketika
mereka hendak antri, mereka melihat orang-orang berkerumun. Dan terdengar suara
ribut-ribut.
“Ada apa nih?” David menggumam, entah
bertanya pada siapa.
“Orang berantem? Lihat yuk.” Annisa
menarik lengan tangan David, mereka bergerak dan menyeruak di antara
orang-orang yang berkerumun. Dan Annisa benar. Ada keributan kecil di sana.
Seorang laki-laki bertubuh gemuk dan berjenggot tebal tampak berteriak
marah-marah. Sementara di hadapannya, seorang perempuan ramping berambut sebahu
dengan baju kasual dan sepatu kets juga tampak marah-marah. Sementara di
belakang perempuan ramping itu, berdiri perempuan lain dengan wajah pucat dan
tampak ketakutan. Annisa menyipitkan matanya menatap perempuan berambut sebahu
itu. Hal yang sama ternyata juga di alami David.
“Vid, bukankah dia___?”
“Maya Angela,” cowok itu menjawab cepat.
“Minta maaf
nggak?! Ayo cepat minta maaf!” Maya berteriak kembali.
Lelaki gendut itu menatapnya dengan
tajam.
“Mbak tuli ya!? Aku nggak melakukan
apa-apa pada perempuan itu! Mbak salah lihat!” Ia membela diri. Maya menatapnya
dengan jengkel. “Kamu pikir aku buta? Aku melihatnya sendiri apa yang kamu
lakukan padanya! Kau menyentuh bokongnya dan itu artinya sama dengan pelecehan
seksual!” Ia kembali berteriak dengan lantang. Orang-orang yang mendengarnya
mulai ribut dan kaget. Perempuan di belakang Maya tampak mengangguk-angguk
dengan takut.
Lelaki itu kembali tertawa mengejek.
“Yang lihat siapa? Cuma mbak sendiri ‘kan?
Orang-orang nggak ada yang lihat tuh. Jangan terlalu paranoid dong mbak. Nggak
usah sok kecantikan gitu dong. Asal tahu aja, aku bisa kok dapat cewek yang
lebih dari itu. Ngapain aku harus susah-susah hanya untuk pegang bokongnya
doang?” ia terkekeh.
Maya menatapnya dengan tatapan berkilat
penuh amarah.
“Dasar lelaki mesum!” Ia kembali
berteriak. Dan tiba-tiba, tanpa di duga, Maya bergerak, berputar dengan gesit,
dan dengan hanya satu gerakan, kakinya menghantam wajah lelaki tersebut hingga
ia roboh ke tanah. Terdengar orang-orang bersorak sorai. Annisa melongo, David
juga.
“Astaga, apa yang baru saja ia lakukan?
Menendangnya?” Tanpa sadar ia kembali menggumam lirih.
Maya kembali bergerak. Kali ini ia naik
ke atas tubuh lelaki itu, membalikkan tubuhnya hingga ia tengkurap lalu menarik
kedua lengannya ke belakang dan menariknya erat-erat hingga ia kembali mengaduh
kesakitan.
“Kamu pikir perempuan bisa di
pegang-pegan seenak jidatnya, hah?! Tadinya aku hanya ingin kamu minta maaf,
tapi sekarang pikiranku berubah. Kamu harus ke kantor polisi, mempertanggungjawabkan
perbuatanmu. Dan aku adalah saksinya. Kelak kamu pasti menyesal karena berani
berurusan denganku!” Maya mengumpat dengan marah di atas tubuh lelaki gendut
itu.
“Arrgghh, ampun mbak. Iya, aku akan
minta maaf. Aku minta maaf. Kita selesaikan saja secara damai. Jangan dibawa ke kantor polisi
ya mbak, please,” lelaki itu memohon. Terdengar teriakan ‘huuu’ dari
orang-orang yang berkerumun.
“Bawa aja ke kantor polisi, mbak. Orang
kayak dia harus dikasih pelajaran,” mereka berteriak bergantian. Dan begitulah
akhirnya, beberapa orang membantu Maya menggelandang pelaku pelecehan seksual itu ke kantor
polisi. Begitu pula dengan perempuan lugu yang menjadi korban, berikut Maya
yang bersedia memberikan keterangan sebagai saksi. Ketika perempuan itu meraih
tasnya yang tergeletak di tanah dan
hendak beranjak, ekor matanya menangkap sosok David. Kedua matanya mengerjap,
segera perempuan cantik itu berbalik dan berlari-lari kecil ke arah David. Ia
menatapnya, lalu ke arah Annisa, secara bergantian. Raut mukanya segera
berubah. Wajah yang tadinya judes dan tampak penuh amarah, seakan lenyap
seketika.
“Dave?” Ia menyapa dengan senyum.
Matanya bergerak-gerak indah. David melotot mendengar Maya kembali memanggilnya
‘Dave’.
“Dan gadis pelayan kemarin kan?” Ia
berganti menatap ke arah Annisa. Tapi tak ada nada menghina dalam kalimatnya
ketika ia menyebut kata ‘pelayan’.
Annisa tersenyum, canggung. David hanya
menatapnya tanpa ekspresi berarti.
Ujung jari Maya menunjuk ke arah David,
lalu ke arah Annisa.
“Oh, kalian pacaran ya?” ia
menyimpulkan. David terhenyak, Annisa juga. Mereka baru saja ingin
berkata-kata, namun Maya mendahuluinya dengan cepat.
“Ah, harusnya kamu bilang dari dulu
kalau kamu tuh sudah punya pacar. Ribet banget sih. Oke deh, selamat berkencan.
Aku pergi dulu, bye,” Maya ngacir begitu saja, berlari-lari dengan lincah
melintasi beberapa orang yang masih memperhatikannya. Dan ia seperti tak
mempedulikannya, sama sekali.
“Ya ampun, dia__galak sekali ‘kan? Kamu
lihat sendiri ‘kan, Nis, dia menjatuhkan lelaki itu hanya dengan sekali
tendangan. Dia pasti perempuan tak beres.” Kalimat itu meluncur begitu saja
dari mulut David. Annisa cekikikan mendengarnya.
“Dia hebat, Vid. Beneran deh. Aku nggak
nyangka, nyalinya sebesar itu. Lelaki itu bisa saja melukainya, eh, malah dia
yang membuatnya babak belur. Wah, sepertinya dia benar-benar cewek yang
menarik.”
“Menarik apanya? Kasar sih iya.” David mencibir.
“Lah, kamu ‘kan lihat sendiri. Dia
bahkan rela bertaruh dengan keselamatannya sendiri demi bisa menolong perempuan
yang dilecehkan tadi. Itu bagus, Vid.” Annisa kembali menyangkal.
David mengangkat bahu.
“Males ah mikir itu. Yuk, jadi nggak
naik perahu?”
Dan merekapun kembali melanjutkan
rencana semula.
***
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar