Minggu, 03 Mei 2015

The Royal Couple - Part 1



Bab 1

          Annisa memekik. Mobil mewah yang dikendarai dengan kecepatan tinggi itu menyerempetnya hingga sepeda motor yang ia tumpangi oleng dan membuatnya jatuh terjerembab. Ia bahkan nyaris nyebur ke got beserta sepeda motornya jika saja ia tak pandai menjaga keseimbangan. Ia menggerutu dan menumpahkan kekesalannya entah pada siapa. Tapi sesaat kemudian ia dibuat heran ketika sedan mewah berwarna merah yang tadi menyerempetnya berhenti, lalu bergerak mundur mendekatinya. Dan, sekian detik kemudian, keluarlah seorang lelaki tampan berpakaian rapi. Posturnya jangkung, wajahnya tampan dengan hidung mancung, dan rambutnya yang hitam disisir dengan rapi. Ia masih muda. Jika Annisa tak salah menerka, umurnya mungkin sekitar 28 tahunan. Lebih tua sedikit dibanding dirinya.
“Maaf, kamu nggak apa-apa ‘kan?” Lelaki itu mendekatinya lalu menyapanya dengan nada cemas. Ia melihat ke arah sepeda motor Annisa yang tergeletak, lalu berganti ke arah sekujur tubuh perempuan tersebut hingga membuat perempuan manis itu jengah.
“Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak bermaksud bersikap ceroboh di jalan raya hingga akhirnya menabrakmu. Hanya saja, aku tadi lagi buru-buru.” Lelaki itu beranjak lalu membantu Annisa mendirikan sepeda motornya kembali.
“Perlu ku antar ke rumah sakit?” Lelaki itu kembali bertanya dengan khawatir. Annisa yang sempat bengong selama sekian menit seakan kembali tersadar.
“Oh, nggak perlu. Aku nggak  luka kok, hanya sedikit syok aja,” jawabnya kemudian.
“Kamu yakin?”
Annisa mengangguk. Ia melihat ke arah sepeda motornya yang ternyata juga baik-baik saja.
“Kamu yakin nggak perlu ku antarkan ke dokter ataupun ke bengkel?” Lelaki itu kembali menegaskan dengan sopan. Annisa tersenyum.
“Sungguh, aku nggak apa-apa. Kamu bisa melanjutkan perjalananmu kembali. Dan terima kasih kamu mau mengkhawatirkan aku. Tadinya aku sempat berpikir bahwa aku akan menjadi korban tabrak lari,” Annisa terkekeh. Lelaki itu tersenyum dan menatapnya dengan lega.
“Syukurlah kalau begitu. Aku lega kamu nggak apa-apa,” ucapnya. Ia mengulurkan tangannya ke arah Annisa.
“Aku David Mahendra. Bisa tahu namamu?”
Annisa agak ragu. Tapi akhirnya ia menyambut uluran tangan tersebut.
“Annisa,” jawabnya. Setelah keduanya berjabat tangan, lelaki bernama David itu mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam dompetnya, lalu mengulurkannya ke arah Annisa.
“Ini kartu namaku. Jika kamu mengalami sesuatu akibat tabrakan ini, mohon hubungi aku. Percayalah, aku nggak akan lari dari tanggung jawab. Jika kamu perlu ke dokter, aku akan mengantarkanmu. Dan jika ada kerusakan pada sepeda motormu dan kamu perlu ke bengkel, aku juga akan mengurusnya,” ucapnya.
“Aku harus pergi dulu karena aku ada urusan penting. Semoga kelak kita bertemu lagi,” David kembali menjabat tangan Annisa, sebelum pemuda itu melenggang masuk ke dalam mobilnya dan segera mengemudikan mobilnya menyusuri jalanan raya ibu kota.
Sesaat, Annisa merasa terpesona. Seorang pemuda kaya, tampan, ramah, dan sangat sopan. Ah, ini jarang sekali. Biasanya orang macam dia, bisanya hanya marah-marah gak jelas jika terkena kejadian seperti ini. Apalagi, jika korbannya seperti dirinya. Orang biasa dari kelurga tak mampu, atau boleh dibilang, orang kecil. Tapi, pemuda bernama David itu benar-benar terlihat beda. Dan Annisa yakin bahwa sikapnya tidak dibuat-buat.
“Ya, semoga bisa bertemu lagi,” tanpa sadar Annisa bergumam sambil tersenyum. Lalu, ia kembali melanjutkan perjalannya ke tempa kerja dengan sepeda motor kesayangannya. Dan untunglah ia benar, sepeda motornyapun tak apa-apa.

          Annisa sempat berpikir mungkin ia tidak akan pernah bertemu lagi dengan pemuda bernama David Mahendra tersebut. Tapi ternyata, takdir berkata lain. Malam itu mereka bertemu lagi, di tempat kerja Annisa, di sebuah tempat hiburan malam. Semua itu bermula ketika ada seorang pelanggan mabok yang resek yang berusaha menggoda Annisa dan mengajaknya menemaninya. Tentu saja Annisa menolak karena dia hanya seorang waitress. Tapi pelanggan itu marah dan terjadilah keributan. Tanpa ia duga, ternyata David juga berada di sana bersama teman-temannya dan dialah yang berinisiatif untuk turun tangan membantu Annisa. Hingga akhirnya, terjadilah perkelahian antara dirinya dan pelanggan tersebut. Sayangnya, perkelahian itu menyebabkan beberapa barang di tempat hiburan tersebut rusak hingga David dan tamu yang mabuk itu harus mengganti kerugian. Dan sialnya lagi, Annisa harus berhenti dari pekerjaannya lantaran dituduh sebagai penyebab perkelahian tersebut.
“Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak menyangka sama sekali kalau tindakanku tadi akan membuatmu kehilangan pekerjaan,” ucap David menyesal setelah mereka berada di luar tempat hiburan tersebut. Annisa menggeleng lembut.
“Nggak apa-apa kok. Lagian, tadinya aku juga udah berniat berhenti dari pekerjaan ini. Trims ya dah mau nolongin,” ucapnya.
David mendesah, merasa menyesal. “Tetep aja kamu kehilangan pekerjaan.” Ujarnya. .
“Oh iya, di mana rumahmu? Aku akan mengantarkanmu pulang,” ujar David lagi.
Annisa mengernyit. “Tapi ...”
Kenyataannya, Annisa benar-benar tak bisa menolak bantuan dari David. Hingga akhirnya, malam itu David-lah yang mengantarkannya pulang ke rumah kontrakannya yang  sederhana di pinggir kota.
Dan mulai sejak itu, mereka menjadi dekat dan menjadi sahabat. David bahkan membantu Annisa mendapatkan pekerjaan lagi yang lebih layak. Kebetulan ia punya sahabat yang punya usaha kafe dan restoran,  dan kebetulan pula ada lowongan sebagai waitress hingga Annisa bisa bekerja di sana.
Bagi David, ia sangat senang bisa bersahabat dengan Annisa. Gadis itu memang dari keluarga sederhana. Tapi ia cantik, pintar dan menyenangkan. Ia sangat baik pada siapa saja dan senantiasa berpembawaan kalem dan tenang. Namun  begitu, ia selalu penuh semangat manakala melakukan pekerjaannya. Itulah mengapa, banyak orang yang suka padanya.
Sedangkan bagi Annisa, ia juga senang bisa bersahabat dengan David karena  baginya, David adalah manusia yang sangat berbeda. Ia tampan, kaya, dan sukses berbisnis. Namun begitu, ia tak sombong sama sekali. Pembawaannya selalu ramah dan penuh perhatian. Dan yang pasti, ia tak pernah membedakan seseorang dari status sosialnya. Tentu hal ini menjadi langka karena selama ini banyak orang kaya yang hanya mau berhubungan dengan mereka-mereka yang dirasa punya status kekayaan yang sama.

***

          “Hari ini kamu selesai kerja jam berapa?” sapa David ketika sore itu ia kembali mengunjungi Annisa ke tempat kerjanya.
“Sekitar setengah jam lagi aku selesai. Kenapa?”
“Aku ingin mengajakmu ke sebuah boutique. Besok mamaku ulang tahun dan aku bingung harus memberinya kado apa. Sepertinya, aku benar-benar butuh bantuanmu untuk memilihkan kado yang cocok untuknya,”
Annisa tersenyum.
“Oke, tapi sepertinya kau harus menunggu dulu setengah jam,”
“Tak masalah. Aku bisa menunggumu sambil menikmati kopi di sini,” jawa David. Ketika ia berbalik, ia bertemu dengan Billy. Teman sekaligus pemilik kafe tempat Annisa bekerja.
“Hai, bro? Ada apa lagi ke sini?”
“Menurutmu?” David tersenyum dan balik bertanya. Billy tergelak. Mereka berjalan berdampingan menuju meja paling ujung dekat jendela.
“Tentu saja kepentinganmu cuma dengan Annisa. Dulu waktu dia belum kerja di sini, kau nyaris tak pernah makan di kafe-ku. Mungkin hanya sekitar 3 kali dalam sebulan. Nah, sekarang, sejak dia di sini, kau hampir tiap hari ke kafe-ku,”
“Setiap hari? Jangan berlebihan. Paling sekitar 3 atau 4 hari sekali,” jawab David cuek.
“Tuh kan? Bener ‘kan? Apa temanku yang terkenal sibuk dan tak pernah mengenal cinta ini sekarang sudah tumbuh dewasa?”
David meninju pundak Billy dengan kesal.
“Kami hanya berteman,” ujar David lagi.
“Iya, sekarang memang teman,  besok siapa yang tahu? Jadi pacar, jadi istri, mungkin aja ‘kan?” Kilah Billy. David tergelak. “Urusi saja cewek-cewekmu yang seabrek itu. Dasar playboy,” ucapnya. Billy tertawa.
“Siapa yang playboy? Cewek-cewek itu yang jatuh bangun menarik perhatianku, bukan aku yang ngejar-ngejar mereka,” Billy membela diri. David kembali tertawa.
“Ya,ya, berarti apa aku harus menyalahkan cewek-cewek itu maksudmu?”
“Ya, maksudku sih nggak gitu,”
Keduanya mengobrol kesana-kemari sambil menunggu Annisa selesai bekerja.

***

          Ulang tahun mama David berlangsung khidmat. Acara yang berlangsung sederhana itu dihadiri oleh seluruh keluarga dekat. Tampak pula Voni, kakak perempuan David beserta Edo suaminya dan juga puteri kecil mereka, Angel, yang baru berusia 2 tahun. Bahkan Rendy, kakak laki-laki David yang biasanya menghabiskan waktunya berkelana dari satu Negara ke Negara lainnya untuk memuaskan jiwa petualangnya, malam itu juga tampak hadir mengenakan baju resmi. Jauh dari penampilannya sehari-hari yang terbiasa dengan baju-baju kasual.
David memberi kado mamanya sebuah baju tunik berwarna hijau tua di padu dengan hiasan-hiasan bernuansa emas. Baju itu Annisa yang memilihkan dan ternyata mamanya sangat menyukainya.
“Sebenarnya papa mengundang seorang tamu istimewa hari ini. Sayangnya dia berhalangan hadir.” ucap pak Hadi, papa David, di sela-sela makan malam tersebut.
“Siapa Pa?” Rendy bertanya antusias.
“Ini kejutan dariku dan mamamu, untuk David,”
David yang mendengar namanya disebut mengernyitkan dahinya.
“Untukku?” tanyanya.
Pak Hadi manggut-manggut.
“Kita akan bicarakan ini di ruang kerjaku setelah makan malam ini selesai, ok?”
David menatap papanya tanpa bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Tapi ia tetap mengiyakan ucapan papanya. Setelah makan malam itu selesai, ia menemui papanya di ruang kerjanya.
“Ada apa, Pa?”
Pak Hadi tak segera menjawab.
“Papa dan mamamu telah sepakat mencarikan seorang istri untukmu,”
David tersentak. “Apa?!”
“Dia putri tunggal teman bisnis papa yang sukses membangun kerajaan bisnisnya di Eropa dan Amerika. Dan kami sepakat untuk menjodohkan kalian. Jangan khawatir, dia sangat cantik dan pintar. Kau pasti menyukainya,”
“Enggak, Pa. aku menolak perjodohan ini,”
Pak Hadi melotot, tak menyangka dengan penolakan David yang begitu cepat.
“Apa maksudmu kamu menolaknya? Bukankah sekarang ini kamu sedang enggak punya pacar?”
“Ini bukan masalah aku punya pacar atau enggak, Pa. Tapi aku nggak suka papa mencampuri urusanku dalam mencari pendamping hidup. Kenapa bukan kak Rendy saja yang papa jodohkan dengannya?”
“Kamu ‘kan sudah hafal dengan kebiasaan kakakmu. Dia jarang di rumah, dia bahkan tidak berniat mengambil alih perusahaan. Yang bisa dia lakukan hanyalah bersenang-senang,”
David mendesah kesal. “Pa, selama ini aku selalu patuh denganmu ‘kan? Aku bahkan mengambil alih perusahaan padahal papa tahu aku nggak menginginkannya. Tapi untuk kali ini aja, Pa. Hanya untuk kali ini, tolong jangan mencampuri urusanku dalam hal mencari istri.”
“David?”
“Kumohon, Pa. Untuk kali ini aja, ku benar-benar ingin melakukannya dengan caraku sendiri,”
“Tapi kamu satu-satunya harapan papa,”
David menggeleng jengkel.
“Jika kau tidak ingin melakukan ini untukku, lakukanlah ini untuk perusahaan kita, anakku,”
David mengernyitkan dahinya.
“Apa maksud papa?”
“Kamu sendiri tahu ‘kan keadaan perusahaan kita. Perusahaan kita sedang tidak begitu bagus. Kita bahkan harus mengurangi ratusan pekerja. Jika kamu mau melakukan pernikahan ini, kita bisa kembali bangkit dan mengembangkan usaha kita tidak hanya di Asia tapi juga di Eropa dan  Amerika. Bayangkan ratusan ribu pekerja yang menggantungkan hidupnya dari perusahaan kita, anakku.”
David ternganga.“Jadi, maksud papa pernikahan ini hanya berlatar bisnis semata?”
Pak Hadi menarik nafas berat. “Papa tidak bermaksud begitu. Tapi, pikirkanlah karyawanmu, mereka punya keluarga, dan mereka butuh tempat tinggal dan makan dengan layak,”
David bangkit dengan segera. “Aku benar-benar kecewa pada papa,” ucapnya seraya beranjak meninggalkan ruangan tersebut.

***

David melirik arloji di tangannya dengan jengkel. Papanya bilang, wanita itu bersedia menemuinya di sini, di restoran ini, tepat pukul 7 malam. Ini memang baru pukul 7.10. Tapi David seraya tak sabar untuk menemuinya. Bukan karena ia menyetujui perjodohan itu, tapi karena ia benar-benar ingin menegaskan bahwa ia menolak rencana tersebut. Ia yakin bahwa ia punya kemampuan untuk terus mengembangkan bisnisnya. Dan ia yakin, tanpa mengikuti perjodohan ini, ia pasti mampu menyelamatkan perusahaannya dan juga seluruh karyawannya.
Dan sesaat kemudian, tatapan matanya menangkap sesosok makhluk cantik yang melenggang memasuki ruangan.  Sosoknya ramping dengan tubuh tinggi semampai, ia bahkan tidak menggunakan sepatu bertumit tinggi. Rambutnya yang lurus sebahu dia biarkan terurai dan bergerak bebas. Wajahnya cantik meski tanpa sentuhan make up berlebih. Ia mengenakan baju mini dress warna hijau toscha yang terlihat melekat sempurna di tubuhnya. Bagian bawah baju itu berada sekitar 10 cm di atas lututnya hingga kakinya yang jenjang dan tampak mulus leluasa terekspos. Dan ini cukup untuk membuat tamu-tamu pria di tempat tersebut terpana selama beberapa saat. David ingin mengabaikan wanita cantik yang bergerak ke arah mejanya. Tapi naluri lelakinya tetap saja tak bisa menyembunyikan rasa kagum pada wanita tersebut. Ia ... terpesona.
“Hai.” perempuan itu menyapa dan langsung duduk di kursi yang berada di seberang David tanpa menunggu dipersilahkan. “David Mahendra ‘kan?” Ia kembali menyapa. Kedua matanya yang bulat indah bergerak-gerak dengan indah. David seperti di bangunkan dari mimpinya. Ia terbata. “Y-Yaaa ... dan ... kamu pasti ___”
“Maya. Maya Angela.” Perempuan itu menjawab cepat.
David manggut-manggut. “Aku sudah tahu identitasmu dari papaku,” jawabnya..
Perempuan bernama Maya itu juga manggut-manggut. Ia menegakkan tubuhnya, melipat kedua tangan di dada lalu menatap David dengan tatapan angkuh. “Ok, Dave__”
“David.” David meralat cepat.
“Ok, David. Aku ingin membicarakan tentang rencana perjodohan kita. Langsung aja, tanpa basa-basi. Jadi___”
“Aku menolaknya.” David memotong.
Bibir Maya mengerut.
“Kamu menolaknya?”
“Apa kamu ingin menerimanya?” David balik bertanya.
“Aku juga ingin menolaknya.” Tukas Maya, ketus.
“Baguslah kalo begitu. Bilang aja pada orang tuamu kalo kamu menolak perjodohan ini. Dan kita bisa segera mengakhiri apa yang belum kita mulai.” David juga menjawab dengan ketus.
No, kamu aja yang bilang ke orang tuamu bahwa kamu yang menolak perjodohan ini.” Jawab Maya.
David mengernyit. Sesaat ia melakukan hal yang sama, seperti yang Maya lakukan. Ia menegakkan tubuhnya, melipat kedua tangannya di dada, lalu menatap ke arah Maya dengan angkuh. “Well, kenapa harus aku?”
“Dan kenapa kamu berani menyuruhku?” suara Maya terdengar arogan.
David menatapnya sebal.
“Papaku bisa saja membunuhku jika aku berani menolak perintahnya,” Maya kembali melanjutkan.
“Itu bukan urusanku,” jawab David.
“Tentu saja ini menjadi urusan kita berdua karena orang yang akan dijodohkan denganku adalah kamu!” Maya membentak. David tercengang. Ia tak menyangka bahwa makhluk cantik di depannya ternyata ... judes!
David terdiam sesaat.
“Kita nggak bisa menyelesaikan hal ini dengan cepat. Kita akan selesaikan perihal perjodohan ini perlahan-lahan. Yang jelas, aku sudah memberitahumu sikapku tentang hal ini.” Jawabnya kemudian.
“Oke, aku juga bisa memahamimu, Dave,”
“David, bukan Dave.” David mendelik.
“Oke, David. Bukan Dave.” Jawab Maya cuek tanpa mempedulikan David yang menatapnya dengan kesal.
“Aku harus pergi dulu. Semoga kita bertemu lagi.” Lelaki itu bangkit.
“Oke, Dave.” Maya ikut bangkit. David melotot ke arahnya. Dan perempuan itu hanya meringis hingga memperlihatkan giginya yang rapi dan bersih.
“Ya, Dave? David? Atau siapalah, whatever,” jawab Maya seraya beranjak lalu mendahului langkah David meninggalkan tempat tersebut.

***

          Suasana night club hari itu ramai seperti biasanya. Billy melangkahkan kakinya menuju ruang VIP dan tampak David sudah berada di sana sendirian. Minumannya tampak utuh tak tersentuh.
”Tumben ke sini?” Billy menghempaskan tubuhnya di samping David.
“Ada masalah?” tanya Billy lagi ketika ia melihat raut muka David yang tampak kusut.
“Enggak, aku cuma suntuk aja,” jawab David.
“Apa karena rencana perjodohan itu?”
David mengernyit heran. Ia menatap Billy. “Darimana kamu tahu tentang perjodohan itu? Apa sudah dimuat di surat kabar?”
“Kak Rendy yang memberitahuku.” Billy menjawab enteng.
David mendesah kesal. “Orang itu memang nggak pernah bisa menjaga mulutnya,” gerutunya.
“Apa dia cantik?” tanya Billy antusias.
“Siapa?”
“Itu, yang mau dijodohkan sama kamu,”
“Kalau kamu tertarik, cari tahu sendiri aja,oke?”
“Kamu nggak menyesal karena telah menolaknya ‘kan?”
David melotot. “Dasar  playboy. Yang ada di kepalamu pastilah soal cewek  melulu.”
Billy hanya menyeringai.
“Apa kamu menolak perjodohan itu karena Annisa?”
David menatap kembali ke arah Billy. “Kenapa dengan Annisa?”
“Yaa, siapa tahu aja, kamu jatuh cinta pada cewek sederhana itu sehingga kamu menolak di jodohkan dengan perempuan lain.” Billy sekedar menerka.
David tak segera menjawab. “Entahlah, Bill. Tapi intinya adalah, aku nggak suka di atur-atur oleh papaku. Aku bukan anak kecil lagi.” Desisnya.
Billy mengangkat bahu.
“Well, aku nggak tahu seburuk apa hubunganmu dengan papamu. Tapi sebagai sahabat aku akan tetap menyarankan agar kamu menyelesaikan masalahmu dengan bijaksana. Nggak ada salahnya ‘kan kamu bicara lagi dengan papamu. Jika kamu nggak suka perempuan yang di jodohkan itu, bilang aja kamu udah punya pacar.”
David terdiam sesaat. “Tau deh,” jawabnya kemudian. Ia bangkit.
“Mau kemana?”
“Pulang.”
“Kamu menyetir sendiri?”
David mengangguk.
“Kamu yakin baik-baik aja?” pertanyaaan Billy terdengar khawatir. David tersenyum.
“Tenang aja. Aku nggak mabuk. Aku bahkan belum menyentuh minuman beralkohol sedikitpun,” jawaban David yang meyakinkan membuat Billy lega hingga membiarkan temannya itu pulang dengan menyetir sendiri.

***

          David segera merebahkan tubuhnya di tempat tidur ketika sampai di apertemennya. Kedua mata tajamnya menerawang ke langit-langit kamarnya. Dan ia kembali teringat akan papanya dan juga rencana perjodohannya dengan Maya.
Dan kebenciannya pada lelaki itu itupun kian bertambah. Entah apa yang membuat lelaki setengah baya itu memperlakukan ia dengan cara yang berbeda. Cara yang sama sekali berbeda dengan kedua kakaknya. Papanya membiarkan kedua kakaknya menentukan jalan hidup mereka sendiri. Apapun itu, papanya pasti setuju. Mereka di beri kebebasan penuh. Mereka sekolah dimana mereka ingin sekolah. Mereka melakukan hobi yang mereka inginkan. Papa bahkan memperbolehkan kak Voni berhenti kuliah demi bisa segera menikah dengan seorang lelaki yang bahkan belum punya pekerjaan tetap. Ia juga memperbolehkan ketika kak Rendy  tak ingin terlibat dalam perusahann dan lebih memilih untuk berkelana ke berbagai negara demi hasrat petualangannya bersama rekan-rekan backpacker-nya!
Lantas, bagaimana dengannya? Ia bahkan tidak pernah mengenyam kebebasan sejak ia kecil. Selama ini papa yang senantiasa mengatur nyaris seluruh hidupnya. Mulai dimana dia harus sekolah, kuliah, bahkan jurusan apa yang harus ia ambil. Ia juga menentukan dengan siapa ia harus berteman. Dan karena papanya-lah ia harus memegang tampuk kekuasaan di perusahaannya dalam usia yang sangat muda. Dan jujur, bukan itu yang ia inginkan dalam hidup.
Dan sekarang, urusan mencari pendamping hidup pun ia juga ikut campur!
David menggerutu. Ia gamang. Selama ini ia memang tak berdaya melawan papanya. Tapi, akankah kali ini ia berani melawannya? Ia tak tahu. Ia sungguh tak tahu.

***

          Maya menghentikan mobil yang ia kendarai di sebuah kafe ketika menyadari ini sudah waktunya jam makan siang. Selain itu, ia merasa cukup kelelahan setelah berputar-putar tak tentu arah menyusuri setiap sudut kota demi memuaskan rasa ingin tahunya tentang kota yang baru ia datangi sekitar beberapa bulan yang lalu.
Setelah memarkir mobilnya, perempuan itu segera beranjak masuk ke kafe tersebut. Ia menemukan sebuah tempat yang nyaman di dekat jendela, di lantai dua. Sambil membolak-balik buku menu, seorang pelayan menghampirinya.
“Silahkan, mbak. Mau pesan apa?” Ia menyapa ramah. Maya tersenyum.
“Aku tahu dari internet kalau tempat ini terkenal dengan stik-nya yang super lezat. Aku ingin pesan yang itu,” jawabnya. Pelayan itu tersenyum.
“Iya, mbak. Banyak pelanggan kami yang merasa puas dengan stik yang kami punya. Tak jarang mereka akhirnya menjadi pelanggan tetap kami,” ia menjawab.
Maya manggut-manggut.
“Minumnya?”
“Jus jeruk,” jawab Maya cepat. Itu adalah minuman favoritnya, meskipun ia punya tunggakan maag.
“Oke, akan segera kami siapkan.” Pelayan cantik tersebut mohon diri dengan sopan. Dan tak butuh waktu baginya untuk kembali membawa pesanan Maya. Namun, sebuah insiden kecil terjadi ketika pelayan itu berniat meletakkan segelas jus jeruk di depan Maya. Tiba-tiba saja, gelas itu meleset dan tumpah. Tumpahan jus jeruk menyiram baju dan rok Maya sementara gelasnya sendiri meluncur ke lantai dan pecah berkeping-keping. Maya sempat menjerit sesaat karena kaget. Sontak ia berdiri, mengambil tisu lalu segera mengelap bajunya yang basah dengan tisu tersebut. Pelayan restoran yang menumpahkan minuman tersebut tampak pucat.
“Ya ampun mbak. Maafkan saya. Saya benar-benar nggak sengaja.” Ia memohon maaf berkali-kali dengan raut menyesal. Maya tak menjawab karena terlalu sibuk mengelap bajunya. Hingga akhirnya, pemilik restoran mengetahui kejadian itu dan ia segera mendatangi mereka dan mencari tahu apa yang terjadi.
“Apa yang terjadi Annisa?” Billy melangkah ke arah kedua perempuan tersebut dengan penasaran. Ia mengecilkan volume suaranya karena beberapa tamu tampak memperhatikan mereka.
“Saya benar-benar nggak sengaja, pak. Saya menumpahkan jus jeruk itu ke baju mbak ini.” Annisa menjawab dengan panik. Maya mendongak ke arah Annisa lalu ke arah Billy, bergantian.
It’s okey. Ini hanya kecelakaan kecil, biasa terjadi pada siapa saja. Tapi semoga kau tak ceroboh lagi ya.” Ia mengucapkan kalimat terakhir seraya menatap Annisa yang tampak ketakutan lalu kembali mengelap bajunya.
Billy terhenyak. Bujang tampan itu segera terpana menyaksikan seorang perempuan cantik luar biasa berada di hadapannya.
“Maya Angela?” Ia mengguman tanpa sadar dan tetap menatap perempuan didepannya yang masih sibuk mengelap baju, dengan takjub.
Maya mendongak, kembali menatap Billy.
“Kamu tahu aku?” Ia bertanya langsung.
“Tentu aja.” Jawab Billy dengan senyum sumringah. Ia berganti menatap Annisa.
“Annisa, tolong suruh orang untuk membersihkan tempat ini dan antarkan pesanan yang baru untuk mbak ini. Aku akan mengajaknya ke ruang VIP, sebagai permintaan maaf. Jadi, antarkan aja pesanannya ke sana.” Ia memberi perintah sopan.
“Oh, nggak perlu repot. Aku masih bisa melanjutkan makan siangku di sini kok,” suara Maya tak kalah sopan.
“Baik pak.” Annisa menjawab cepat. Ia baru saja ingin beranjak ketika sebuah suara menghentikan niatnya.
“Untuk apa kamu di sini?”
Annisa, Billy dan juga Maya menoleh hampir bersamaan ke arah suara tersebut. Tampak David sudah berdiri tak jauh dari mereka dengan santai dan kedua tangan berada dalam saku celananya. Ia melangkah perlahan ke arah mereka – tetap dengan kedua tangan di dalam saku – dan pandangan matanya tertuju langsung kepada Maya.
“Untuk apa kamu di sini?” Ia mengulangi pertanyaannya dengan nada ketus. Maya menelengkan kepalanya, membalas tatapan lelaki itu dengan kesal.
“Apa kamu mengikutiku?”
Pertanyaan David membuat Maya membuang nafas. Ia melemparkan tisunya ke atas meja lalu menatap lelaki itu dengan angkuh.
“Dengar ya mister sok tahu. Aku ke sini untuk makan, bukan untuk mengikutimu. Astaga, apa yang membuatmu begitu percaya diri sehingga aku harus repot-repot mengikutimu ke sini? Aku bahkan nggak peduli sama sekali dengan urusanmu.” Nada suaranya meninggi sehingga sempat membuat beberapa tamu mempedulikan mereka, dan Maya tak peduli.
Perempuan itu meraih tasnya. Lalu menatap Billy tanpa rasa canggung sama sekali.
“Oh, terima kasih atas pelayanannya. Jujur aku tak puas dengan pelayanan di sini, tapi sepertinya aku masih bisa datang lagi, kapan-kapan. Dan, terima kasih atas niat baikmu tadi. Mungkin lain kali aku akan menerimanya.” Ia beranjak. Tanpa menghiraukan panggilan dan bujuk rayu Billy, meskipun lelaki itu sempat mengejarnya selama beberapa meter.
“Astaga, dia perempuan yang judes,” David sempat menggumam. Tapi ekor matanya masih sempat mengikuti sosok tinggi semampai itu melenggang meninggalkan rumah makan, dengan mobilnya.
“Oh, dia ramah kok. Tadi aku menumpahkan jus jeruk ke rok-nya dan dia nggak marah padaku. Aku beruntung. Jika tamu lain, riwayatku pasti tamat. Ngomong-ngomong, kalian saling mengenal?” tanya Annisa.
David tak segera menajwab. Ia menggaruk-garuk kepalanya seperti orang kehabisan akal.
“Dia ....”
Kalimatnya terhenti ketika Billy menghampirinya.
“Annisa, segera bereskan tempat ini. Dan kau, bung. Ikut denganku, kita harus bicara,” Billy merangkul pundak David dan segera mengajaknya melenggang ke ruangannya. Annisa hanya mampu menatap kepergian dua lelaki jangkung itu dengan heran.

***

          Billy membelalak. Mulutnya bahkan sempat terbuka untuk waktu yang lama karena saking kagetnya. “Jadi, perempuan yang akan dijodohkan denganmu itu adalah ___ dia!? Maya Angela!?” Ia berteriak. David hanya mengangguk malas.
“Dan kamu berniat menolaknya!?” Ia kembali berteriak dan David pun kembali mengangguk, tetap dengan rasa malas. Billy meletakkan kedua tangannya di kepalanya dan sempat mengacak-acak rambutnya sendiri.
“Kamu pasti gila.” Ia mendesis. David menatapnya heran.
“Kamu tahu siapa dia?” Ia bertanya.
“Iyalah. Maya Angela, puteri tunggal Yohanes Anthon. Pewaris tunggal semua kerajaan bisnisnya. Boleh di bilang, dia-lah Paris Hilton-nya Indonesia. Apa kamu nggak tahu itu?”
David mengangkat bahu.
“Aku tahu ayahnya. Hanya sekedar mendengar namanya. Tapi urusan puterinya, aku nggak tahu. Aku minim informasi,” jawabnya jujur.
Billy kembali mendesah.
“Aku nggak heran kamu nggak tahu banyak tentang dia. Ia memang menghabiskan masa kecil dan masa kuliahnya di luar negeri. Aku bahkan dengar kalau dia juga mulai merintis bisnis di Amerika, mengikuti jejak ayahnya. Ia pernah beberapa kali masuk media karena sepak terjangnya sebagai calon pewaris kekayaan ayahnya. Selain itu ia juga aktif di beberapa kegiatan amal dan sosial, baik di Indonesia dan di luar negeri. Astaga, kamu beneran nggak tahu tentang ini ya?”
David terkekeh.
“Apa kamu nggak salah? Perempuan judes seperti dia aktif di kegiatan amal dan sosial? Ya ampun, aku bener-bener nggak percaya, seratus persen!” Lelaki itu tertawa.
Billy menatapnya dengan putus kesal. “Kamu akan membuat banyak lelaki di negara ini bahagia, jika kamu bener-bener menolak perjodohan ini.” Ia mengguman. Davit mengernyitkan dahinya.
“Emangnya kenapa?”
“Karena itu berarti, kami semua masih punya banyak kesempatan yang sama untuk bisa mendapatkan cewek itu.”
“Cewek itu siapa? Maya Angela maksudmu?”
Billy mengangguk.
“Ya ampun, Bill. Serius? Kamu ingin ... mendapatkannya?”
“Tentu aja, aku akan mengerahkan semua kekuatanku demi cewek itu. Aku bener-bener nggak nyangka bahwa aku akan bisa bertemu dengannya dan punya kesempatan mendekatinya. Oh, thanks banyak ya, Vid, karena kamu menolak perjodohan ini. Kamu mungkin gila karena berani menolak cewek macam Maya, tapi bagaimanapun juga, aku bersyukur kamu melakukannya.” Kedua mata Billy berbinar. David mencibir. “Playboy tetap aja playboy,” gumamnya.
Billy hanya nyengir seraya beranjak ke arah David lalu memeluknya erat.
“Hellooo, aku bukan homo, Bill. Lepasin!”David berteriak-teriak. Billy ngakak seraya melepaskan pelukannya.
“Thanks karena kamu sudah menolaknya. Sekarang aku mantap untuk ngejar-ngejar dia,” ucapnya lagi seraya melangkahkan kakinya keluar dari kantornya. Dan David hanya menatapnya dengan heran. Tapi ia tak peduli dengan apa yang akan dilakukan cowok tersebut.

***

 “Jadi, perempuan yang nggak sengaja ku siram jus jeruk tadi adalah perempuan yang mau dijodohin sama kamu?” Tanya Annisa dalam perjalanan pulang. David yang mengantarkannya, lagi.
Lelaki itu terlihat terkejut. “Apa aku sudah menceritakan tentang perjodohan itu padamu?”
Annisa tersenyum, perlahan cewek manis itu menggeleng.
“Belum, pak Billy yang menceritakan padaku,” jawabnya ragu.
“Dan dia juga memberitahumu bahwa cewek yang tadi adalah orangnya,”
Annisa kembali mengangguk ragu.
“Dia memang nggak bisa menjaga mulutnya,” ucap David geram. Annisa tertawa lirih.
“Dia cantik,” ucapnya kemudian. Ada nada tak wajar dalam kalimatnya tapi David tak menyadarinya.
“Tapi judes,” balas David.
“Cewek judes itu biasanya menarik,”
“Nggak mesti. Buktinya, kamu nggak judes tapi menarik ‘kan?”
Annisa kembali tertawa.
“Ya, ‘kan tadi aku bilang biasanya,” ucapnya.
Terdengar desahan nafas David.
“Aku berniat menolak perjodohan itu,” ia berucap lirih.
“Kenapa?”
“Ayolah, Annisa. Ini jaman apa? Perjodohan bullshit kayak gini sudah nggak jaman lagi. Papaku saja yang sok suka ngatur-ngatur,”
“Maksudmu, kamu menolak perjodohan karena papamu? Bukan karena perempuan itu?”
Pertanyaan Annisa yang tiba-tiba itu membuat David terdiam. Ia berpikir keras. Tapi otaknya serasa buntu.
“Tadinya aku sempat berpikir untuk memintamu berpura-pura menjadi pacarku agar papaku membatalkan rencana perjodohan itu. Tapi___”
“Memintaku berpura-pura jadi pacarmu? Vid, ini bukan sinetron. Cerita macam itu terlalu klise. Pura-pura pacaran, habis itu, cinta beneran. Oh, enggak deh, aku pasti menolaknya kalau kamu meminta,” Annisa memotong. Cewek itu tertawa membayangkan dirinya menjadi pacar pura-pura David.
David manyun. “Ya, kupikir juga gitu. Cara kayak gitu nggak akan mempan. Ah, sudahlah. Jangan dibahas lagi. Besok kamu ada waktu? Jalan-jalan yuk, aku ingin mengajakmu ke taman hiburan. Aku butuh pelampiasan,”
Annisa terdiam sesaat. Mengingat-ingat jadwal kerjanya.
“Boleh. Aku pulang jam 3 sore,” jawabnya kemudian.
David tersenyum. “Oke, ku jemput jam 3, di restoran,” ucapnya seraya terus menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang menyusuri jalan raya.

***

David dan Annisa menikmati sore yang cerah itu dengan gembira. Mereka naik rollercoaster, bianglala, kereta gantung, dan sekarang mereka berakhir di sebuah taman sambil menikmati es krim.
“Oke, setelah ini apa?”
“Mm, apa ya? Aku butuh yang nyantai,” jawab Annisa. David terdiam sesaat.
“Perahu dayung di danau?” Ia menyarankan. Cewek berambut panjang itu tersenyum.
“Oke.” Ia menjawab mantap sambil terus menikmati es krim coklatnya. Keduanya bergerak untuk membeli tiket. Tapi ketika mereka hendak antri, mereka melihat orang-orang berkerumun. Dan terdengar suara ribut-ribut.
“Ada apa nih?” David menggumam, entah bertanya pada siapa.
“Orang berantem? Lihat yuk.” Annisa menarik lengan tangan David, mereka bergerak dan menyeruak di antara orang-orang yang berkerumun. Dan Annisa benar. Ada keributan kecil di sana. Seorang laki-laki bertubuh gemuk dan berjenggot tebal tampak berteriak marah-marah. Sementara di hadapannya, seorang perempuan ramping berambut sebahu dengan baju kasual dan sepatu kets juga tampak marah-marah. Sementara di belakang perempuan ramping itu, berdiri perempuan lain dengan wajah pucat dan tampak ketakutan. Annisa menyipitkan matanya menatap perempuan berambut sebahu itu. Hal yang sama ternyata juga di alami David.
“Vid, bukankah dia___?”
“Maya Angela,” cowok itu menjawab cepat.

“Minta maaf nggak?! Ayo cepat minta maaf!” Maya berteriak kembali.
Lelaki gendut itu menatapnya dengan tajam.
“Mbak tuli ya!? Aku nggak melakukan apa-apa pada perempuan itu! Mbak salah lihat!” Ia membela diri. Maya menatapnya dengan jengkel. “Kamu pikir aku buta? Aku melihatnya sendiri apa yang kamu lakukan padanya! Kau menyentuh bokongnya dan itu artinya sama dengan pelecehan seksual!” Ia kembali berteriak dengan lantang. Orang-orang yang mendengarnya mulai ribut dan kaget. Perempuan di belakang Maya tampak mengangguk-angguk dengan takut.
Lelaki itu kembali tertawa mengejek.
“Yang lihat siapa? Cuma mbak sendiri ‘kan? Orang-orang nggak ada yang lihat tuh. Jangan terlalu paranoid dong mbak. Nggak usah sok kecantikan gitu dong. Asal tahu aja, aku bisa kok dapat cewek yang lebih dari itu. Ngapain aku harus susah-susah hanya untuk pegang bokongnya doang?” ia terkekeh.
Maya menatapnya dengan tatapan berkilat penuh amarah.
“Dasar lelaki mesum!” Ia kembali berteriak. Dan tiba-tiba, tanpa di duga, Maya bergerak, berputar dengan gesit, dan dengan hanya satu gerakan, kakinya menghantam wajah lelaki tersebut hingga ia roboh ke tanah. Terdengar orang-orang bersorak sorai. Annisa melongo, David juga.
“Astaga, apa yang baru saja ia lakukan? Menendangnya?” Tanpa sadar ia kembali menggumam lirih.
Maya kembali bergerak. Kali ini ia naik ke atas tubuh lelaki itu, membalikkan tubuhnya hingga ia tengkurap lalu menarik kedua lengannya ke belakang dan menariknya erat-erat hingga ia kembali mengaduh kesakitan.
“Kamu pikir perempuan bisa di pegang-pegan seenak jidatnya, hah?! Tadinya aku hanya ingin kamu minta maaf, tapi sekarang pikiranku berubah. Kamu harus ke kantor polisi, mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Dan aku adalah saksinya. Kelak kamu pasti menyesal karena berani berurusan denganku!” Maya mengumpat dengan marah di atas tubuh lelaki gendut itu.
“Arrgghh, ampun mbak. Iya, aku akan minta maaf. Aku minta maaf. Kita selesaikan saja  secara damai. Jangan dibawa ke kantor polisi ya mbak, please,” lelaki itu memohon. Terdengar teriakan ‘huuu’ dari orang-orang yang berkerumun.
“Bawa aja ke kantor polisi, mbak. Orang kayak dia harus dikasih pelajaran,” mereka berteriak bergantian. Dan begitulah akhirnya, beberapa orang membantu Maya menggelandang  pelaku pelecehan seksual itu ke kantor polisi. Begitu pula dengan perempuan lugu yang menjadi korban, berikut Maya yang bersedia memberikan keterangan sebagai saksi. Ketika perempuan itu meraih tasnya  yang tergeletak di tanah dan hendak beranjak, ekor matanya menangkap sosok David. Kedua matanya mengerjap, segera perempuan cantik itu berbalik dan berlari-lari kecil ke arah David. Ia menatapnya, lalu ke arah Annisa, secara bergantian. Raut mukanya segera berubah. Wajah yang tadinya judes dan tampak penuh amarah, seakan lenyap seketika.
“Dave?” Ia menyapa dengan senyum. Matanya bergerak-gerak indah. David melotot mendengar Maya kembali memanggilnya ‘Dave’.
“Dan gadis pelayan kemarin kan?” Ia berganti menatap ke arah Annisa. Tapi tak ada nada menghina dalam kalimatnya ketika ia menyebut kata ‘pelayan’.
Annisa tersenyum, canggung. David hanya menatapnya tanpa ekspresi berarti.
Ujung jari Maya menunjuk ke arah David, lalu ke arah Annisa.
“Oh, kalian pacaran ya?” ia menyimpulkan. David terhenyak, Annisa juga. Mereka baru saja ingin berkata-kata, namun Maya mendahuluinya dengan cepat.
“Ah, harusnya kamu bilang dari dulu kalau kamu tuh sudah punya pacar. Ribet banget sih. Oke deh, selamat berkencan. Aku pergi dulu, bye,” Maya ngacir begitu saja, berlari-lari dengan lincah melintasi beberapa orang yang masih memperhatikannya. Dan ia seperti tak mempedulikannya, sama sekali.
“Ya ampun, dia__galak sekali ‘kan? Kamu lihat sendiri ‘kan, Nis, dia menjatuhkan lelaki itu hanya dengan sekali tendangan. Dia pasti perempuan tak beres.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut David. Annisa cekikikan mendengarnya.
“Dia hebat, Vid. Beneran deh. Aku nggak nyangka, nyalinya sebesar itu. Lelaki itu bisa saja melukainya, eh, malah dia yang membuatnya babak belur. Wah, sepertinya dia benar-benar cewek yang menarik.”
“Menarik apanya? Kasar  sih iya.” David mencibir.
“Lah, kamu ‘kan lihat sendiri. Dia bahkan rela bertaruh dengan keselamatannya sendiri demi bisa menolong perempuan yang dilecehkan tadi. Itu bagus, Vid.” Annisa kembali menyangkal.
David mengangkat bahu.
“Males ah mikir itu. Yuk, jadi nggak naik perahu?”
Dan merekapun kembali melanjutkan rencana semula.

***

Bersambung ...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar