Bab 5
David
mondar-mandir dengan gelisah di apartemennya. Ia melirik jam di dinding. Hampir
jam 1 malam dan Maya belum juga pulang. Perasaan David menjadi campur aduk.
Antara khawatir, gelisah dan kesal. Ia khawatir karena ini adalah jam paling
malam dengan kepulangan Maya ke apartemennya. Maya belum pernah pulang selarut
ini!
Tapi, david juga
merasa kesal ketika mengingat kejadian tadi siang. Kenapa perempuan itu harus
menemui Annisa dan menceritakan segalanya padanya? Bukankah mereka telah
sepakat untuk menjaga rahasia tentang keberadaan Maya di apartemennya selama
ini? Lantas, kenapa Maya harus melanggar janji tersebut?
Oke, dia memang
pernah mengungkapkan kalo dia merasa bersalah dengan telah mencium David hanya
karena ia adalah lelaki yang sudah punya pacar. Tapi, itu hanya sebuah ciuman
saja ‘kan? Enggak lebih! Memangnya Maya hidup di jaman apa sih? Lagipula,
mereka toh tidak berselingkuh – entah berselingkuh dari siapa? – David
menggaruk-garuk kepalanya dengan kesal.
Kemarahannya
nyaris meledak ketika pintu terbuka, dan sesosok tubuh ramping muncul dari
balik pintu. David bahkan sudah nyaris saja melabraknya jika saja...
David merasakan dadanya sesak.
Kekhawatiran luar biasa menghinggapi dirinya. Maya pulang ke apartemennya dalam
keadaan babak belur!
Ada luka lebam di pipi dan tulang
rahangnya. Luka sayat tipis melintang sekitar 5 cm tepat di atas alis sebelah
kirinya. Dan bibir bawahnya berdarah karena ada luka robek.
“Ya Tuhan,” David membelalak. Ia berlari
dan menghambur ke arah perempuan tersebut.
“Ada apa denganmu?” Ia menyadari
suaranya gemetar karena takut. Ia bahkan tak berani menyentuh perempuan
tersebut karena takut ada luka lain di tubuhnya.
Maya tersenyum pelan. Ia sempat meringis
kesakitan karena luka di bibirnya.
“Ada sedikit masalah di kantor polisi.
Tapi aku nggak apa-apa, hanya luka gores saja,” ia menjawab tenang.
Keterkejutan David bertambah.
“Kantor polisi? Untuk apa?”
Maya melangkah dan langsung menuju
kamarnya, sementara David mengekor di belakangnya. Tapi sejurus kemudian, ia
berbalik arah, mengambil kotak P3K di kamarnya lalu kembali berlari ke kamar
Maya.
“Biar ku lihat dulu lukamu,” ia
mendudukan Maya dengan perlahan di tempat tidur lalu mulai mengecek luka di
wajah perempuan tersebut dengan perlahan.
“it’s oke. Tadi sudah di obati di kantor
polisi,” ucap Maya. Tapi ia tak mencegah ketika David membersihkan lukanya
dengan alkohol dan kapas lalu mulai mengoleskan salep luka dengan perlahan.
“Ceritakan padaku apa yang terjadi?”
tanya David, masih dengan konsentrasi penuh mengolesi luka di atas alis Maya.
“Aku ketemu sama berandalan,” Maya
menjawab enteng. Tak ada ketakutan sama sekali dalam matanya. Ia bahkan sempat
nyengir. Dan itu makin membuat David gemas dan kesal.
“Ketemu berandalan dan kamu masih
berani-beraninya cengengesan kayak gini?”
Maya kembali nyengir.
“aku baik-baik aja ‘kan?”
“kayak gini masih bilang baik-baik aja?”
“yaaaa, setidaknya ‘kan aku masih bisa
nyampe rumah dengan selamat,”
David nyaris berteriak kesal.
“Trus, berandalannya gimana?”
Intuisi Maya untuk bercerita seakan
kembali.
“Kamu ingat nggak aku pernah ribut-ribut
dengan seorang bapak-bapak mesum di
taman hiburan? Itu, yang nyolek bokongnya cewek lugu itu? Ingat?”
David terdiam sesaat. Bagaimana ia bisa
lupa kejadian itu. Maya ngotot membela perempuan
korban pelecehan itu. Ia berduel dengan lelaki kekar tersebut dan lelaki itu
roboh hanya dengan satu tendangan.
“Dan, apa hubungannya?”
“Dia sudah keluar dari penjara. Ia
mencoba balas dendam padaku. Dan semalam ia membawa 3 orang temannya untuk
menghadangku sepulang kerja. Ah, untungnya aku bisa menghajar mereka. Beberapa
orang yang melihat kejadian itu membantuku dan membawa mereka ke kantor polisi.
Itulah sebabnya aku agak lama, karena aku harus ke kantor polisi dulu untuk
menyelesaikan urusan itu, ”
David bergidik mendengar penuturan Maya.
Membayangkan ia dikeroyok oleh berandalan kemudian berakhir di kantor polisi,
dadanya sesak!
“setelah hari ini, aku akan mengantarkan
sekaligus menjemputmu sepulang kerja jika kamu punya shift malam,”
Maya menatap lelaki di hadapannya dengan
tatapan protes. Dan David hanya membalasnya dengan pelototan.
“Jika kamu masih pengen tinggal di sini,
turuti saja saranku. Jika enggak, akan ku tendang kau keluar dari apartemenku,”
ia berucap dengan kesal. Maya mendesis.
“Kamu pasti nggak serius?”
“Aku serius,” David kembali berkata
tegas.
“Istirahatlah, lukamu sudah kubersihkan dan
ku olesi obat. Besok kita ke dokter,” David beranjak, meninggalkan Maya sebelum
perempuan itu sempat mengatakan apapun.
***
David
menyadari bahwa pagi itu Maya tidak keluar dari kamarnya. Dengan sedikit
khawatir ia beranjak dan membuka kamarnya dengan perlahan. Ia melongokkan
kepalanya dan tampak Maya masih bergelung di bawah selimutnya. Perempuan itu
berbaring membelakanginya.
“Kamu masih sakit?” ia menutup pintu
dengan pelan lalu melangkahkan kakinya mendekati ranjang Maya. Sejenak tak ada
jawaban.
“Dave,
aku sakit,” jawaban itu terdengar lirih.
“May?”
“Antarkan
aku ke rumah sakit,” Maya berucap lemah tanpa bergerak sedikitpun. David tersentak.
Segera ia naik ke ranjang Maya. Perempuan itu tampak pucat. Alisnya mengerut
dan bibirnya meringis seolah menahan sakit.
“Di mana yang sakit?” David bertanya
dengan gugup. Perempuan itu tampak memegangi perutnya.
Segera David menyingkap selimut yang
menyelubungi bagian bawah tubuh Maya lalu ia menarik t-shirt yang ia kenakan.
Dan lutunya terasa lemas. Tepat di tulang rusuk bagian kanan tampak luka memar
yang mulai menghitam. Segera lelaki itu menarik selimut yang masih menutupi
perempuan tersebut kemudian melemparkannya ke lantai. Ia menunduk, menggendong
tubuh Maya lalu segera membawa perempuan cantik tersebut ke rumah sakit dengan
mobil.
***
Tulang
rusuk Maya retak, kata dokter bisa karena tendangan atau pukulan. David
bersyukur karena tak ada yang patah. Ia merasa bodoh karena tak mengetahui hal
itu lebih awal. Dan ia merasa sangat tolol karena membiarkan perempuan itu
menyembunyikan lukanya.
Untungnya dokter bergerak dengan cepat.
Mereka bilang, tak ada yang perlu di cemaskan. Maya hanya butuh istirahat.
Dan kejadian itu
akhirnya membongkar segalanya. Ayah Maya dengan mudah mengetahui kalau Maya di
rawat di rumah sakit tersebut. Pasti ada salah satu staf rumah sakit yang
melaporkan hal itu padanya. Lelaki setengah baya itu nampak terpukul dan shock
mengetahui keadaan Maya yang terbaring lemah tak sadarkan di kamar rawat. Dan
ia juga mengalami shock yang sama ketika mengetahui dari mulut David sendiri
bahwa selama ini Maya tinggal di apartemennya.
Reaksi yang berbeda di tunjukkan oleh
papa David ketika mengetahui tentang semua itu. Lelaki bertubuh besar itu
nampak senang bukan kepalang karena seolah-olah David dan Maya makin dekat ke
jenjang ke pernikahan. Karena itu berarti, kerajaan bisnisnya makin besar.
Hal yang membuat David resah adalah
Billy. Sahabat baiknya itu nampak uring-uringan. Dan David memahami keadaannya.
“Kenapa kamu bohong Vid? Kenapa kamu
nggak cerita kalo selama itu kamu punya hubungan khusus dengan Maya? Kamu bikin
aku kayak orang tolol ngejar-ngejar perempuan itu,”
“Bukan gitu, Bill. Aku dan Maya cuma
temen. Kami ...”
“Temen tapi kalian tinggal bareng selama
berminggu-minggu? Kamu pikir aku percaya? Gimana dengan perasaan Annisa?”
David hanya mendesah putus asa mendengar
kemarahan Billy. Dan ia seakan tak bisa memikirkan semuanya secara bersamaan.
Lagipula, ia nggak peduli. Ia tak peduli reaksi yang ditunjukkan oleh papa
Maya, papa nya sendiri, Billy, ataupun Annisa. Yang ia pedulikan saat ini
hanyalah satu hal. Perasaannya sendiri. Perasaan yang menggiringnya pada satu
kesimpulan penting melebihi apapun. Kesimpulan yang membuatnya sadar bahwa : ia
mencintai Maya!
***
Sejak
Maya di rawat di Rumah Sakit, David tak pernah lagi bertemu ataupun mengobrol
dengannya. David memang selalu datang ke rumah sakit, setiap hari. Hanya saja
tidak untuk bertemu Maya. Ia datang ke sana untuk menemui dokter Rudy, dokter
yang menangani Maya sehingga ia bisa tahu perkembangan Maya setiap hari. Ia tak
bisa bertemu dengan Maya karena papanya selalu ada di sisinya dan David belum
siap dengan semua pertanyaan yang berkaitan dengan hubungan mereka. Dia memang
sadar bahwa ia menaruh hati pada perempuan cantik tersebut. Hanya saja ia belum
tahu langkah apa yang akan ia ambil berkaitan dengan rencana pernikahan mereka.
Ia terlalu bingung untuk memikirkannya.
“Tenanglah, Vid. Maya sudah membaik.
Mungkin lusa ia sudah boleh pulang kok,” dokter Rudy menjelaskan. David
tersenyum lega.
“Kamu nggak ingin ketemu dengannya? Dia
nanyain kamu lho,”
Dahi David mengernyit.
“Oh ya?”
Dokter Rudy yang merupakan teman David
itu mengangguk.
“Boleh aku cerita ke dia kalo kamu ke
sini tiap hari untuk ngecek keadaannya padaku?”
David membelalak.
“Astaga, ngapain juga kamu cerita ke
dia? Nggak ah, nggak perlu,” ia tampak kesal.
“Dia harus tahu kalo kamu perhatian sama
dia,”
David kembali mendesah.
“Itu nggak penting, Rud,”
Dokter Rudy tersenyum.
“Udah deh, temui aja dia,”
“Papanya di sana?”
“Yup,”
David manggut-manggut.
“Oke deh, aku ke sana,” ia pamit dan
beranjak dari ruang dokter Rudy. Ia melewati lorong tempat Maya di rawat. Tapi
ia tak masuk ke sana. Ia hanya sempat
berdiri sesaat dan mengintip Maya dari jendela kamarnya. Dan tampak olehnya ia
sedang mengobrol serius dengan papanya. Dan David memutuskan untuk memutar
langkah, meninggalkan tempat tersebut.
***
David
mendatangi Billy ke restaurannya. Dan seperti dugaannya, lelaki itu masih
nampak kesal padanya.
“Kumohon, Bill. Berhentilah marah
padaku. Kita tetap sahabat baik ‘kan?”
“Sori, bro. Tapi aku belum bisa nerima
pengkhianatanmu,” Billy menjawab ketus.
David meringis.
“Ya, aku emang salah. Tapi tolong pahami
situasiku. Waktu itu aku nggak bisa nolak kedatangan Maya di apartemenku dan
aku nggak bisa koar-koar ke semua orang kalo dia bersamaku. Kamu tahu
konsekuensinya, papaku pasti akan segera menyuruhku menikahinya,”
“Tapi kau mencintainya ‘kan? Aku bisa
melihatnya dari matamu ketika kau menatapnya terbaring di rumah sakit,” Billy
menatapnya tegas.
“Andaikan saja kamu bilang kalo kamu
berubah pikiran dan berniat menerima perjodohan itu, aku pasti nggak akan
ngejar-ngejar dia lagi. Tapi, kamu bohong sama aku dan sengaja membiarkanku
menjadi orang tolol yang membicarakan tentang dia, sementara kau bersamanya,”
David tak menjawab. Ia hanya menunggu
Billy menumpahkan segalanya amarahnya.
“Lantas, bagaimana dengan Annisa?
Bukankah kamu juga cinta sama dia?”
“Enggak, aku hanya menganggapnya sebagai
sahabat,”
“Oh ya? Mana ada sahabat yang
perhatiannya selangit kaya gitu?”
“Bill, percayalah padaku. Aku emang
ngerasa nyaman dengan Annisa, tapi kami hanya bersahabat baik. Nggak ada cinta
di antara kami, percayalah,”
“Apa itu berarti ada cinta antara kau
dan Maya?”
“Well, itu ... entahlah,”
“Awas, jika kamu berani mencintai
dua-duanya, kupatahkan lehermu,” Billy menatap David tajam. Tapi ia tahu pemuda
itu tak serius dengan perkatannya.
David hanya tersenyum kecut. Ia
mengumpat dalam hati.
Maya
adalah wanita pertama yang mampu menakhlukkan hatiku dan ia akan jadi satu-satunya
buatku! Ia bergumam dalam hati.
“Kamu bisa menghajarku untuk meredakan
amarahmu, aku ikhlas, Bill,”
Billy terkekeh sinis.
“Kamu pikir aku nggak berani
melakukannya?”
“Entahlah. Menurutmu?”
Billy mengacak-acak rambutnya.
“Ah, sudahlah. pergilah dari sini, Vid.
Kita akan minum bareng di diskotik kalo perasaanku sudah lebih baik,”
David tersenyum.
“Oke, akan ku tunggu. Kalo suasana
hatimu sudah enakan, kabari aku. Kita akan minum bareng kayak biasanya. Aku
yang traktir, sepuasmu,” David bangkit. Billy hanya mengangkat bahu cuek.
David merasa lega. Ia tahu kalo
sahabatnya itu adalah playboy. Tapi ia juga tahu kalo ia lelaki yang baik. Dan
ia yakin, amarah sahabatnya itu akan mereda dan ia akan bisa memahami
kondisinya.
***
David
menatap perempuan di hadapannya dengan heran. Annisa dengan tegas mengatakan
bahwa mulai detik ini, ia menolak di jemput ataupuan di antarkan pulang selepas
kerja.
“Kenapa sih, Nis?”
Annisa tak segera menjawab.
“Tolong jangan terlalu baik kayak gini
lagi. Aku nggak bisa,”
“Terlalu baik gimana?”
“Ya kayak gini. Nganterin aku pulang,
jemput aku di rumah, bantuin aku banyak hal, selalu ada ketika kubutuhkan, aku
...”
“Hei, kita ini temen, Nis. Apa anehnya
kalo aku selalu ada ketika kamu lagi butuh,”
“Iya, tapi ini nggak umum aja. Kamu
sudah mo menikah, dan akan kelihatan aneh kalo kamu masih deket-deket dengan
cewek lain,”
David menyipitkan matanya.
“Aku nggak ngerti dengan arah
omonganmu,” ucapnya.
Annisa mendesah lalu menatap David
dengan dalam.
“Aku ngerti masalahmu antara Maya. Aku
ngerti soal perjodohanmu. Dan instingku mengatakan, kamu mulai mencintainya,”
“Terus?”
“Jauhi aku,”
“Kenapa?”
“Karena aku nggak bisa lagi deket-deket
lagi sama kamu. Kalo aku selalu nempel padamu dan kamu selalu baik padaku, aku
nggak akan bisa melupakanmu!” kedua mata Annisa berkaca-kaca. David menatapnya,
sekali lagi tak mengerti.
“Melupakanku gimana?”
Annisa membuang tatapan matanya ke
tempat lain sebelum akhirnya menatap David dengan lebih seksama.
“Kamu emang selalu menganggapku sebagai
sahabat terbaikmu, Vid. Tapi perasaanku padamu, lebih dari itu. Mungkin aku
lancang. Tapi, aku nggak bisa bohong sama kamu lagi. Aku ... cinta sama kamu,”
Pengakuan Annisa yang tiba-tiba ibarat
bongkahan es yang menghantam kepala David. Lelaki itu hanya tercengang.
“aku terluka ketika mengetahui
perjodohanmu. Dan aku lebih terluka lagi ketika tahu kalo kamu ternyata mulai
mencintai Maya. Aku berusaha melupakanmu dan tetap menganggapmu sebagai sahabat
biasa. Tapi, aku nggak bisa. Aku mencintaimu sejak dulu, sampai sekarang,”
bibir Annisa terlihat bergetar.
David menelan ludah, tak tahu harus
bicara apa.
“Maaf kalo pengakuanku mengagetkanmu.
Aku tahu aku bukan orang yang pantas bersanding denganmu karena kita
bener-bener beda. Tapi...”
“Nisa, bukan itu masalahnya...”
“Ku mohon, Vid. Beri aku waktu untuk
menenangkan diri. Aku nggak akan bisa lepas dari bayang-bayangmu kalo kamu
selalu baik padaku. Dan aku bener-bener butuh waktu untuk merelakanmu, oke,”
ucapan Annisa terdengar memohon. Perempuan itu beranjak. David hanya berdiri
mematung tanpa tahu harus apa.
***
David
duduk termenung. Pikirannya terasa kacau. Pengakuan Annisa tadi siang
benar-benar membuatnya kaget. Ia tak menyangka sama sekali bahwa kebaikannya
padanya selama ini akan menjerumuskan perasaan perempuan tersebut. David tahu
Annisa wanita yang sangat baik. Ia bahkan sempat kagum padanya. Dan jika mau
jujur, ia pernah jatuh hati padanya, meskipun sesaat. Tapi setelah itu,
perasaannya tak beranjak kemana-mana. Ia hanya menemukan kenyamanan sebagai
seorang sahabat padanya, tak lebih.
Dan sekarang, ia benar-benar tak tahu
harus bagaimana menghadapinya. Ia sayang Annisa, dan ia tak mau persahabatannya
berantakan.
Lamunan David buyar ketika ia mendengar
seseorang mengetuk pintu apartemennya. Dengan sedikit malas ia bangkit dan
beranjak membuka pintu. Dan kekagetannya bertambah ketika tatapan matanya
menangkap sosok Maya telah berdiri di depan pintu apartemennya. David bahkan
belum sempat mengatakan apapun ketika Maya menyeruak masuk begitu saja. Lelaki
itu menutup pintu dengan segera lalu berbalik ke arah Maya – yang telah berdiri
tegap dan menatap ke arahnya. Ia bahkan masih memakai baju rumah sakit.
“Ada apa?” David bertanya gugup
“Aku kabur dari rumah sakit. Puas?” Maya
melipat lengannya di dada dan menatap David dengan kesal. David mengernyit.
“Kabur dari rumah sakit?”
Maya mengangguk.
“Aku sudah nggak tahan lagi. Aku stres
memikirkanmu. Aku berusaha mencari cara untuk segera meninggalkan tempat
tersebut. Tapi papaku dan juga penjaga-penjaga selalu mengawasiku hampir 24
jam!?”
“Ada apa denganmu?”
“Aku yang harusnya nanya. Ada apa
denganmu? Kenapa kamu nggak pernah mengunjungiku di rumah sakit? Apa kamu asyik
pacaran sehingga kamu nggak peduli sedikitpun tentang keadaanku?”
David menatap Maya - yang selalu nampak
cantik apapun keadaannya – dengan heran.
“Kamu mengharapkanku ... mengunjungimu?”
“Ya, kamu nggak tahu ‘kan kalo tiap hari
aku selalu berharap kalo kamu akan datang mengunjungiku di rumah sakit.
Nyatanya, enggak sama sekali. Dimana aja kamu selama ini? Pacaran terus?”
David mengangkat bahu.
“Tapi kamu baik-baik aja ‘kan?”
“Ya, syukurlah aku baik-baik aja
sekarang. Apa kamu baru akan peduli padaku kalo aku sudah sekarat?”
David tak bersuara. Aku akan selalu berdoa agar kamu baik-baik aja. Gumamnya dalam
hati.
“Aku sudah nggak tahan lagi, Dave. Aku
berubah pikiran sekarang. Aku berniat menerima perjodohan kita, apapun yang
terjadi,”
David bengong.
“Apa?”
“Aku mau menikah sama kamu, dan aku
nggak peduli dengan tanggapanmu! Jadi, segera akhiri hubunganmu dengan pacarmu.
Karena aku nggak akan menyerahkananmu semudah itu! Ngerti?”
“Hah?”
“Kita akan menikah, titik! Jadi, akhiri
hubunganmu dengan pacarmu!”
“Ada apa sebenarnya denganmu?”
“Karena aku mulai mencintaimu!”Maya
berteriak.
David membelalak. Pengakuan Annisa tadi
siang telah membuatnya kaget. Dan sekarang, pengakuan dari Maya benar-benar
membuatnya shock!
Keduanya berpandangan, hening sesaat.
“Coba bilang sekali lagi kalo berani?”
David menantang. Maya tertawa sinis.
“Aku – akan – menerima – perjodohan – kita – karena – aku –
mulai – mencintaimu! Jelas?” Maya melakukan penekanan pada setiap kalimat yang
ia ucapkan hingga sikap arogannya kembali muncul. David ingin tertawa, tapi ia
menahannya. Entah kenapa, tubuhnya terasa ringan sekali karena bahagia.
“Apa buktinya?” ia bertanya, tetap dengan senyum tertahan.
“Apa buktinya?” ia bertanya, tetap dengan senyum tertahan.
“Bukti apa?” Maya mengernyitkan dahinya.
“Bukti bahwa kamu mencintaiku,”
“Haruskah?”
“Cium aku,” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut David.
“Hah?” Maya melongo.
“Cium aku jika kamu bener-bener cinta
padaku,”
Gigi Maya terkatup karena kesal. Ia
tersenyum sinis.
“Kamu meremehkanku, Dave,” ucapnya. Dan
David benar-benar tak menyangka ketika ternyata Maya melangkah mendekatinya,
menarik kerah bajunya lalu mencium bibirnya dengan lembut.
“I
love you, Dave,” ucap Maya lirih. Matanya yang bening menatap David dengan
tatapan lembut.
Dan terpana. Sejenak ia merasakan bahwa
ia tak bernafas selama sekian detik. Perasaannya meluap, senang. Dan lelaki itu
seakan mengucap janji dalam hatinya bahwa mulai detik ini, ia akan melakukan
apapun untuk Maya, untuk wanita cantik
di hadapannya, yang tengah mencengkeram kerah bajunya.
“Dan aku nggak mau ada penolakan lagi
darimu. Kuharap kamu bisa ngasih kesempatan padaku untuk nunjukkin kalo aku
bisa jadi istri yang baik untukmu,”
David lagi-lagi nyaris tak bisa bernafas
karena terlalu bahagia.
Lelaki itu tersenyum. Tangannya
terangkat dan jemari tangannya menyentuh pipi Maya dengan lembut.
“Dia bukan pacarku,” ucapnya kemudian.
Bibir Maya mengerut.
“Annisa bukan pacarku. Kami hanya
sahabat, nggak lebih,”
Maya melotot. Ia melepaskan tangannya
dari kerah baju David dan berniat mundur beberapa langkah. Namun sebelum
kakinya sempat bergerak, kedua lengan David melingkar di pinggangnya dengan
erat.
“Kamu mempermainkanku?”
David menggeleng.
“Aku nggak bermaksud begitu. Situasinya
terlalu rumit untuk diceritakan. Tapi percayalah, aku sedang tidak berhubungan
dengan cewek manapun. Jadi, kamu bebas memiliki aku,”
Keduanya berpandangan.
“Kita akan bicarakan ini lagi dari hati
ke hati. Tapi yang jelas, aku benar-benar ingin memulai sebuah hubungan yang
lebih baik denganmu. Bukan karena perjodohan, bukan pula karena orang tua kita.
Tapi karena, hatiku mengatakan aku ingin melakukannya. Aku juga cinta sama
kamu, May. Dan aku juga berniat untuk menerima rencana pernikahanku denganmu,”
David berucap lembut.
Maya menatapnya dengan tatapan bingung.
“Dan jika kamu mau tahu, aku selalu
datang ke rumah sakit untuk menjengukmu, setiap hari. Hanya saja, aku memang
nggak bisa menemuimu. Papamu senantiasa di sampingmu dan aku nggak ingin
merusak momen-momen itu bersama papamu. Jadi, aku menemui dokter langsung untuk
bertanya padanya tentang perkembangan kesehatanmu. Kamu bisa nanya ke dokter
Rudi jika kamu nggak percaya. Aku mengobrol dengannya tentang keadaanmu, setiap
pagi, di kantornya,”
Maya melongo. Tatapan matanya terlihat
kaget. Sama kagetnya seperti yang di alami David beberapa menit yang lalu.
Mulanya David mengira wanita itu akan melepaskan diri dari
pelukannya. Tapi ia salah. Maya tersenyum, lalu balas memeluk David dengan
erat. Ah, ia lega. Ya, inilah Maya yang ia kenal. Maya yang selalu apa adanya!
***
Maya
setengah berbaring di sofa. Punggung dan kepalanya bertumpu pada sebuah bantal
sofa yang nyaman. Ia sudah berganti baju dengan baju favoritnya. Celana pants
pendek dan t-shirt tipis. Wajahnya memang tampak lelah, tapi ia lebih santai
sekarang. Kakinya yang indah terjulur di atas pangkuan David yang tengah duduk
di sofa yang sama dengannya. Ia membiarkan lelaki itu bermain-main dan
mengagumi kakinya. Terkadang ia membelai lembut tungkai kakinya, memijit-mijit
ringan betisnya, mempermainkan jemari kakinya, dan kadang menggelitik telapak
kakinya hingga membuatnya terkikik.
“Sejak kapan?” David membuka suara
kembali.
“Apanya?” Maya balik bertanya.
“Sejak kapan kamu punya kaki seindah
ini?” David kembali membelai tungkai kaki Maya dengan lembut. perempuan itu
tergelak.
“Ih, gombal deh. Tapi kalo kamu mau
tahu, aku sudah punya sepasang kaki yang indah sejak aku dilahirkan,” ia
menjawab bangga.
David manggut-manggut.
“Iya, iya, percaya deh,” jawabnya.
“Dan sejak kapan?” Lelaki itu kembali
bertanya.
“Apalagi sih?”
“Sejak kapan kamu mulai jatuh cinta
padaku?” David menatap perempuan di sampingnya dengan tatapa nakal.
Maya tersenyum, tak segera menjawab.
“Sejak aku melihat pipimu merona karena
malu ketika menatapku. Tepatnya, di hari pertama ketika aku tinggal di
apartemenmu ini,”
Tatapan mata David berubah menjadi
tatapan penuh tanda tanya.
“Kapan aku... merona?”
Maya tertawa.
“Sumpah, Dave. Waktu itu, pipimu bersemu
merah ketika kamu melihatku memakai kaos ketat tipis dan celana super pendek.
Kamu bahkan menganggapku telanjang. Ya ampun, waktu itu kamu lucu banget. Aku
seakan berhadapan dengan anak es-em-pe,” gelak tawa Maya berubah menjadi
rintihan kecil ketika ia merasakan David mencubit betisnya dengan kesal.
“Tentu aja aku ngerasa malu. Aku salah
tingkah, dan itu normal. Kamu cewek pertama yang ditinggal di apartemenku dan
dengan dandanan yang aku sendiri belum pernah melihatnya. Kakak perempuanku
nggak pernah memakai baju kayak gitu. Dan, aku juga belum pernah mempunya teman
dekat perempuan dalam kondisi seperti itu,”
Maya kembali tertawa.
“Ih, lucu banget deh kamu. Anak
es-em-pe. Haha. Aw, kamu mencubit kakiku lagi,” Maya protes. David hanya
mencibir.
“Dan kamu? Sejak kapan kamu
mencintaiku?” Maya balik bertanya.
“Sejak pertama kali bertemu denganmu,”
David menjawab cepat.
“Hah?”
Maya melongo. Ia menegakkan badannya dan
menatap lelaki di hadapannya dengan rasa tak percaya.
David mengangguk.
“Ya, kamu udah bikin hatiku berdebar
ketika pertemuan pertama kita di restoran itu. Dan sepertinya, aku jatuh cinta
padamu pada pandangan pertama,”
“Tapi waktu itu kamu menolakku ‘kan?”
“Kamu juga menolakku, May,”
“Tapi kamu menolakku duluan,”
Keduanya tertawa.
‘Well, sepertinya ini bukan masalah
siapa menolak siapa. Yaah, kamu tahu sendirilah orang tua kita. Sepertinya,
penolakan kita bukan lantaran kita nggak tertarik satu sama lain. Tapi terlebih
karena orang tua kita. Kamu sudah bosen di atur-atur papamu, akupun begitu. Dan
hanya karena kita ingin memberontak merekalah, akhirnya perasaan kita
terabaikan. Mungkin jika kita bertemu di suasana lain, atau kita bertemu
terlebih dahulu sebelum rencana perjodohan kita, aku pasti akan ngejar-ngejar
kamu, persis kayak yang dilakuin Billy,”
Maya meringis mendengar nama Billy di
sebut-sebut. Perempuan itu mengangguk-angguk tanda setuju.
“Ya, aku juga nolak rencana perjodohan
itu karena papaku. Karena aku mau ngasih perlawanan ke dia,” ucapnya kemudian.
“Kalo gitu, gimana kalo kita kawin lari
aja,” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Maya. David tertawa
mendengarnya.
“Kita ‘kan udah dijodohin, May. Orang
tua kita saling mengenal dengan baik. Jadi, buat apa pake acara kawin lari
segala? Itu pantesnya kalo cinta kita tuh nggak direstui, baru kawin lari,”
“Maksudku bukan gitu, Dave. Bukannya kamu
pernah bilang, kamu nggak ingin mengambil alih perusahaan papamu, begitu pula
denganku. Jadi, kenapa kita nggak kawin lari aja, nikah diam-diam, ninggalin
semuanya lalu keliling dunia berdua. Kita bisa gabung di organisasi kemanusiaan
dan kita akan keliling dunia sebagai relawan berdua sebagai suami istri. Tentu
itu akan sangat romantis lagi. Kita bisa meraih impian kita dan yang pastinya,
orang tua kita akan berhenti mengatur-atur kita lagi,”
David terdiam mendengar serangkaian
kalimat dari mulut Maya. Bayangan akan berkeliling dunia bedua bersama Maya
sebagai aktifis kemanusiaan, benar-benar membuat dadanya melambung tinggi
karena gembira.
“Itu bener-benar ide yang sangat ...
sempurna!”
Maya bersorak ketika tahu reaksi David
hampir sama dengannya.
“Harusnya kita membuat rencana untuk
itu?”
“Tentu saja,”
“Kamu serius ‘kan?”
“Serius, banget! Aku lebih dari siap
untuk itu, bersamamu,” David tersenyum. Maya juga. Mereka berpandangan
dengan tatapan bahagia.
“Ngomong-ngomong soal orang tua,
tidakkah kamu sebaiknya nelpon ke rumah sakit untuk ngasih tahu tentang
keberadaanmu. Mereka pasti sedang sibuk mencarimu dan papamu pasti
mengkhawatirkanmu,” David seakan mengingatkan Maya. Perempuan itu menggeleng.
“Enggak, biarin aja, Dave. Biar mereka
pusing mencariku. Toh ini bukan yang pertama kalinya mereka bingung nyariin
aku,”
David terkekeh. Ia beringsut, mendekati
Maya, lalu mencubit kedua pipinya dengan gemas.
“Dasar, anak nakal,” ucapnya. Ia
mencondongkan tubuhnya lalu mengecup bibir Maya dengan ringan. Ciuman itu bisa
jadi berlangsung lama jika saja phonsel David tidak berdering.
David memutar bola matanya kesal
sementara Maya hanya meringis.
“Haruskah ku angkat telpon itu?,” David
meminta pertimbangan Maya. Maya mengangkat bahu.
“Angkat aja. Kalo itu papaku, lemparkan
aja phonselnya ke tempat sampah,” ucapnya malu-malu. David tertawa.
“Dan kalo itu papaku, aku juga akan
melemparkan phonselku ke tempat sampah,” jawabnya. Ia bangkit. Meraih
phonselnya yang tergeletak di meja. Sesaat ia mengernyitkan dahinya ketika
membaca sebuah nama di layar phonselnya.
“Halo, Annisa?” ia menyapa duluan.
“Halo, Vid? Tolong aku, Vid,”
David mengernyit, suara dari seberang sana
terisak.
“Ada apa, Nisa? Kamu baik-baik aja
‘kan?”
“Rumahku, Vid. Mereka membakar rumahku.
Semuanya habis,” Annisa kembali terisak. David membelalak. Ia menatap ke arah
Maya, dan Maya tampak menggerakkan mulutnya dan bertanya lirih : ada apa?
“Oke, aku ke sana,” David mengakhiri
pembicaraan.
“Ada apa, Dave?” Maya bertanya cemas.
“Aku harus ke rumah Annisa, May. Ia
dapat musibah,”
“Aku ikut,”
David mengangguk. Mereka beranjak.
***
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar