Minggu, 17 Mei 2015

The Royal Couple - Part 5



Bab 5

David mondar-mandir dengan gelisah di apartemennya. Ia melirik jam di dinding. Hampir jam 1 malam dan Maya belum juga pulang. Perasaan David menjadi campur aduk. Antara khawatir, gelisah dan kesal. Ia khawatir karena ini adalah jam paling malam dengan kepulangan Maya ke apartemennya. Maya belum pernah pulang selarut ini!
Tapi, david juga merasa kesal ketika mengingat kejadian tadi siang. Kenapa perempuan itu harus menemui Annisa dan menceritakan segalanya padanya? Bukankah mereka telah sepakat untuk menjaga rahasia tentang keberadaan Maya di apartemennya selama ini? Lantas, kenapa Maya harus melanggar janji tersebut?
Oke, dia memang pernah mengungkapkan kalo dia merasa bersalah dengan telah mencium David hanya karena ia adalah lelaki yang sudah punya pacar. Tapi, itu hanya sebuah ciuman saja ‘kan? Enggak lebih! Memangnya Maya hidup di jaman apa sih? Lagipula, mereka toh tidak berselingkuh – entah berselingkuh dari siapa? – David menggaruk-garuk kepalanya dengan kesal.
Kemarahannya nyaris meledak ketika pintu terbuka, dan sesosok tubuh ramping muncul dari balik pintu. David bahkan sudah nyaris saja melabraknya jika saja...
David merasakan dadanya sesak. Kekhawatiran luar biasa menghinggapi dirinya. Maya pulang ke apartemennya dalam keadaan babak belur!
Ada luka lebam di pipi dan tulang rahangnya. Luka sayat tipis melintang sekitar 5 cm tepat di atas alis sebelah kirinya. Dan bibir bawahnya berdarah karena ada luka robek.
“Ya Tuhan,” David membelalak. Ia berlari dan menghambur ke arah perempuan tersebut.
“Ada apa denganmu?” Ia menyadari suaranya gemetar karena takut. Ia bahkan tak berani menyentuh perempuan tersebut karena takut ada luka lain di tubuhnya.
Maya tersenyum pelan. Ia sempat meringis kesakitan karena luka di bibirnya.
“Ada sedikit masalah di kantor polisi. Tapi aku nggak apa-apa, hanya luka gores saja,” ia menjawab tenang. Keterkejutan David bertambah.
“Kantor polisi? Untuk apa?”
Maya melangkah dan langsung menuju kamarnya, sementara David mengekor di belakangnya. Tapi sejurus kemudian, ia berbalik arah, mengambil kotak P3K di kamarnya lalu kembali berlari ke kamar Maya.
“Biar ku lihat dulu lukamu,” ia mendudukan Maya dengan perlahan di tempat tidur lalu mulai mengecek luka di wajah perempuan tersebut dengan perlahan.
“it’s oke. Tadi sudah di obati di kantor polisi,” ucap Maya. Tapi ia tak mencegah ketika David membersihkan lukanya dengan alkohol dan kapas lalu mulai mengoleskan salep luka dengan perlahan.
“Ceritakan padaku apa yang terjadi?” tanya David, masih dengan konsentrasi penuh mengolesi luka di atas alis Maya.
“Aku ketemu sama berandalan,” Maya menjawab enteng. Tak ada ketakutan sama sekali dalam matanya. Ia bahkan sempat nyengir. Dan itu makin membuat David gemas dan kesal.
“Ketemu berandalan dan kamu masih berani-beraninya cengengesan kayak gini?”
Maya kembali nyengir.
“aku baik-baik aja ‘kan?”
“kayak gini masih bilang baik-baik aja?”
“yaaaa, setidaknya ‘kan aku masih bisa nyampe rumah dengan selamat,”
David nyaris berteriak kesal.
“Trus, berandalannya gimana?”
Intuisi Maya untuk bercerita seakan kembali.
“Kamu ingat nggak aku pernah ribut-ribut dengan seorang bapak-bapak  mesum di taman hiburan? Itu, yang nyolek bokongnya cewek lugu itu? Ingat?”
David terdiam sesaat. Bagaimana ia bisa lupa kejadian itu.  Maya ngotot membela perempuan korban pelecehan itu. Ia berduel dengan lelaki kekar tersebut dan lelaki itu roboh hanya dengan satu tendangan.
“Dan, apa hubungannya?”
“Dia sudah keluar dari penjara. Ia mencoba balas dendam padaku. Dan semalam ia membawa 3 orang temannya untuk menghadangku sepulang kerja. Ah, untungnya aku bisa menghajar mereka. Beberapa orang yang melihat kejadian itu membantuku dan membawa mereka ke kantor polisi. Itulah sebabnya aku agak lama, karena aku harus ke kantor polisi dulu untuk menyelesaikan urusan itu, ”
David bergidik mendengar penuturan Maya. Membayangkan ia dikeroyok oleh berandalan kemudian berakhir di kantor polisi, dadanya sesak!
“setelah hari ini, aku akan mengantarkan sekaligus menjemputmu sepulang kerja jika kamu punya shift malam,”
Maya menatap lelaki di hadapannya dengan tatapan protes. Dan David hanya membalasnya dengan pelototan.
“Jika kamu masih pengen tinggal di sini, turuti saja saranku. Jika enggak, akan ku tendang kau keluar dari apartemenku,” ia berucap dengan kesal. Maya mendesis.
“Kamu pasti nggak serius?”
“Aku serius,” David kembali berkata tegas.
“Istirahatlah, lukamu sudah kubersihkan dan ku olesi obat. Besok kita ke dokter,” David beranjak, meninggalkan Maya sebelum perempuan itu sempat mengatakan apapun.

***

          David menyadari bahwa pagi itu Maya tidak keluar dari kamarnya. Dengan sedikit khawatir ia beranjak dan membuka kamarnya dengan perlahan. Ia melongokkan kepalanya dan tampak Maya masih bergelung di bawah selimutnya. Perempuan itu berbaring membelakanginya.
“Kamu masih sakit?” ia menutup pintu dengan pelan lalu melangkahkan kakinya mendekati ranjang Maya. Sejenak tak ada jawaban.
Dave, aku sakit,” jawaban itu terdengar lirih.
“May?”
Antarkan aku ke rumah sakit,” Maya berucap lemah tanpa bergerak sedikitpun. David tersentak. Segera ia naik ke ranjang Maya. Perempuan itu tampak pucat. Alisnya mengerut dan bibirnya meringis seolah menahan sakit.
“Di mana yang sakit?” David bertanya dengan gugup. Perempuan itu tampak memegangi perutnya.
Segera David menyingkap selimut yang menyelubungi bagian bawah tubuh Maya lalu ia menarik t-shirt yang ia kenakan. Dan lutunya terasa lemas. Tepat di tulang rusuk bagian kanan tampak luka memar yang mulai menghitam. Segera lelaki itu menarik selimut yang masih menutupi perempuan tersebut kemudian melemparkannya ke lantai. Ia menunduk, menggendong tubuh Maya lalu segera membawa perempuan cantik tersebut ke rumah sakit dengan mobil.

***

          Tulang rusuk Maya retak, kata dokter bisa karena tendangan atau pukulan. David bersyukur karena tak ada yang patah. Ia merasa bodoh karena tak mengetahui hal itu lebih awal. Dan ia merasa sangat tolol karena membiarkan perempuan itu menyembunyikan lukanya.
Untungnya dokter bergerak dengan cepat. Mereka bilang, tak ada yang perlu di cemaskan. Maya hanya butuh istirahat.
Dan kejadian itu akhirnya membongkar segalanya. Ayah Maya dengan mudah mengetahui kalau Maya di rawat di rumah sakit tersebut. Pasti ada salah satu staf rumah sakit yang melaporkan hal itu padanya. Lelaki setengah baya itu nampak terpukul dan shock mengetahui keadaan Maya yang terbaring lemah tak sadarkan di kamar rawat. Dan ia juga mengalami shock yang sama ketika mengetahui dari mulut David sendiri bahwa selama ini Maya tinggal di apartemennya.
Reaksi yang berbeda di tunjukkan oleh papa David ketika mengetahui tentang semua itu. Lelaki bertubuh besar itu nampak senang bukan kepalang karena seolah-olah David dan Maya makin dekat ke jenjang ke pernikahan. Karena itu berarti, kerajaan bisnisnya makin besar.
Hal yang membuat David resah adalah Billy. Sahabat baiknya itu nampak uring-uringan. Dan David memahami keadaannya.
“Kenapa kamu bohong Vid? Kenapa kamu nggak cerita kalo selama itu kamu punya hubungan khusus dengan Maya? Kamu bikin aku kayak orang tolol ngejar-ngejar perempuan itu,”
“Bukan gitu, Bill. Aku dan Maya cuma temen. Kami ...”
“Temen tapi kalian tinggal bareng selama berminggu-minggu? Kamu pikir aku percaya? Gimana dengan perasaan Annisa?”
David hanya mendesah putus asa mendengar kemarahan Billy. Dan ia seakan tak bisa memikirkan semuanya secara bersamaan. Lagipula, ia nggak peduli. Ia tak peduli reaksi yang ditunjukkan oleh papa Maya, papa nya sendiri, Billy, ataupun Annisa. Yang ia pedulikan saat ini hanyalah satu hal. Perasaannya sendiri. Perasaan yang menggiringnya pada satu kesimpulan penting melebihi apapun. Kesimpulan yang membuatnya sadar bahwa : ia mencintai Maya!

***

          Sejak Maya di rawat di Rumah Sakit, David tak pernah lagi bertemu ataupun mengobrol dengannya. David memang selalu datang ke rumah sakit, setiap hari. Hanya saja tidak untuk bertemu Maya. Ia datang ke sana untuk menemui dokter Rudy, dokter yang menangani Maya sehingga ia bisa tahu perkembangan Maya setiap hari. Ia tak bisa bertemu dengan Maya karena papanya selalu ada di sisinya dan David belum siap dengan semua pertanyaan yang berkaitan dengan hubungan mereka. Dia memang sadar bahwa ia menaruh hati pada perempuan cantik tersebut. Hanya saja ia belum tahu langkah apa yang akan ia ambil berkaitan dengan rencana pernikahan mereka. Ia terlalu bingung untuk memikirkannya.
“Tenanglah, Vid. Maya sudah membaik. Mungkin lusa ia sudah boleh pulang kok,” dokter Rudy menjelaskan. David tersenyum lega.
“Kamu nggak ingin ketemu dengannya? Dia nanyain kamu lho,”
Dahi David mengernyit.
“Oh ya?”
Dokter Rudy yang merupakan teman David itu mengangguk.
“Boleh aku cerita ke dia kalo kamu ke sini tiap hari untuk ngecek keadaannya padaku?”
David membelalak.
“Astaga, ngapain juga kamu cerita ke dia? Nggak ah, nggak perlu,” ia tampak kesal.
“Dia harus tahu kalo kamu perhatian sama dia,”
David kembali mendesah.
“Itu nggak penting, Rud,”
Dokter Rudy tersenyum.
“Udah deh, temui aja dia,”
“Papanya di sana?”
Yup,”
David manggut-manggut.
“Oke deh, aku ke sana,” ia pamit dan beranjak dari ruang dokter Rudy. Ia melewati lorong tempat Maya di rawat. Tapi ia  tak masuk ke sana. Ia hanya sempat berdiri sesaat dan mengintip Maya dari jendela kamarnya. Dan tampak olehnya ia sedang mengobrol serius dengan papanya. Dan David memutuskan untuk memutar langkah, meninggalkan tempat tersebut.

***

          David mendatangi Billy ke restaurannya. Dan seperti dugaannya, lelaki itu masih nampak kesal padanya.
“Kumohon, Bill. Berhentilah marah padaku. Kita tetap sahabat baik ‘kan?”
“Sori, bro. Tapi aku belum bisa nerima pengkhianatanmu,” Billy menjawab ketus.
David meringis.
“Ya, aku emang salah. Tapi tolong pahami situasiku. Waktu itu aku nggak bisa nolak kedatangan Maya di apartemenku dan aku nggak bisa koar-koar ke semua orang kalo dia bersamaku. Kamu tahu konsekuensinya, papaku pasti akan segera menyuruhku menikahinya,”
“Tapi kau mencintainya ‘kan? Aku bisa melihatnya dari matamu ketika kau menatapnya terbaring di rumah sakit,” Billy menatapnya tegas.
“Andaikan saja kamu bilang kalo kamu berubah pikiran dan berniat menerima perjodohan itu, aku pasti nggak akan ngejar-ngejar dia lagi. Tapi, kamu bohong sama aku dan sengaja membiarkanku menjadi orang tolol yang membicarakan tentang dia, sementara kau bersamanya,”
David tak menjawab. Ia hanya menunggu Billy menumpahkan segalanya amarahnya.
“Lantas, bagaimana dengan Annisa? Bukankah kamu juga cinta sama dia?”
“Enggak, aku hanya menganggapnya sebagai sahabat,”
“Oh ya? Mana ada sahabat yang perhatiannya selangit kaya gitu?”
“Bill, percayalah padaku. Aku emang ngerasa nyaman dengan Annisa, tapi kami hanya bersahabat baik. Nggak ada cinta di antara kami, percayalah,”
“Apa itu berarti ada cinta antara kau dan Maya?”
“Well, itu ... entahlah,”
“Awas, jika kamu berani mencintai dua-duanya, kupatahkan lehermu,” Billy menatap David tajam. Tapi ia tahu pemuda itu tak serius dengan perkatannya.
David hanya tersenyum kecut. Ia mengumpat dalam hati.
Maya adalah wanita pertama yang mampu menakhlukkan hatiku dan ia akan jadi satu-satunya buatku! Ia bergumam dalam hati.
“Kamu bisa menghajarku untuk meredakan amarahmu, aku ikhlas, Bill,”
Billy terkekeh sinis.
“Kamu pikir aku nggak berani melakukannya?”
“Entahlah. Menurutmu?”
Billy mengacak-acak rambutnya.
“Ah, sudahlah. pergilah dari sini, Vid. Kita akan minum bareng di diskotik kalo perasaanku sudah lebih baik,”
David tersenyum.
“Oke, akan ku tunggu. Kalo suasana hatimu sudah enakan, kabari aku. Kita akan minum bareng kayak biasanya. Aku yang traktir, sepuasmu,” David bangkit. Billy hanya mengangkat bahu cuek.
David merasa lega. Ia tahu kalo sahabatnya itu adalah playboy. Tapi ia juga tahu kalo ia lelaki yang baik. Dan ia yakin, amarah sahabatnya itu akan mereda dan ia akan bisa memahami kondisinya.

***

          David menatap perempuan di hadapannya dengan heran. Annisa dengan tegas mengatakan bahwa mulai detik ini, ia menolak di jemput ataupuan di antarkan pulang selepas kerja.
“Kenapa sih, Nis?”
Annisa tak segera menjawab.
“Tolong jangan terlalu baik kayak gini lagi. Aku nggak bisa,”
“Terlalu baik gimana?”
“Ya kayak gini. Nganterin aku pulang, jemput aku di rumah, bantuin aku banyak hal, selalu ada ketika kubutuhkan, aku ...”
“Hei, kita ini temen, Nis. Apa anehnya kalo aku selalu ada ketika kamu lagi butuh,”
“Iya, tapi ini nggak umum aja. Kamu sudah mo menikah, dan akan kelihatan aneh kalo kamu masih deket-deket dengan cewek lain,”
David menyipitkan matanya.
“Aku nggak ngerti dengan arah omonganmu,” ucapnya.
Annisa mendesah lalu menatap David dengan dalam.
“Aku ngerti masalahmu antara Maya. Aku ngerti soal perjodohanmu. Dan instingku mengatakan, kamu mulai mencintainya,”
“Terus?”
“Jauhi aku,”
“Kenapa?”
“Karena aku nggak bisa lagi deket-deket lagi sama kamu. Kalo aku selalu nempel padamu dan kamu selalu baik padaku, aku nggak akan bisa melupakanmu!” kedua mata Annisa berkaca-kaca. David menatapnya, sekali lagi tak mengerti.
“Melupakanku gimana?”
Annisa membuang tatapan matanya ke tempat lain sebelum akhirnya menatap David dengan lebih seksama.
“Kamu emang selalu menganggapku sebagai sahabat terbaikmu, Vid. Tapi perasaanku padamu, lebih dari itu. Mungkin aku lancang. Tapi, aku nggak bisa bohong sama kamu lagi. Aku ... cinta sama kamu,”
Pengakuan Annisa yang tiba-tiba ibarat bongkahan es yang menghantam kepala David. Lelaki itu hanya tercengang.
“aku terluka ketika mengetahui perjodohanmu. Dan aku lebih terluka lagi ketika tahu kalo kamu ternyata mulai mencintai Maya. Aku berusaha melupakanmu dan tetap menganggapmu sebagai sahabat biasa. Tapi, aku nggak bisa. Aku mencintaimu sejak dulu, sampai sekarang,” bibir Annisa terlihat bergetar.
David menelan ludah, tak tahu harus bicara apa.
“Maaf kalo pengakuanku mengagetkanmu. Aku tahu aku bukan orang yang pantas bersanding denganmu karena kita bener-bener beda. Tapi...”
“Nisa, bukan itu masalahnya...”
“Ku mohon, Vid. Beri aku waktu untuk menenangkan diri. Aku nggak akan bisa lepas dari bayang-bayangmu kalo kamu selalu baik padaku. Dan aku bener-bener butuh waktu untuk merelakanmu, oke,” ucapan Annisa terdengar memohon. Perempuan itu beranjak. David hanya berdiri mematung tanpa tahu harus apa.

***

          David duduk termenung. Pikirannya terasa kacau. Pengakuan Annisa tadi siang benar-benar membuatnya kaget. Ia tak menyangka sama sekali bahwa kebaikannya padanya selama ini akan menjerumuskan perasaan perempuan tersebut. David tahu Annisa wanita yang sangat baik. Ia bahkan sempat kagum padanya. Dan jika mau jujur, ia pernah jatuh hati padanya, meskipun sesaat. Tapi setelah itu, perasaannya tak beranjak kemana-mana. Ia hanya menemukan kenyamanan sebagai seorang sahabat padanya, tak lebih.
Dan sekarang, ia benar-benar tak tahu harus bagaimana menghadapinya. Ia sayang Annisa, dan ia tak mau persahabatannya berantakan.
Lamunan David buyar ketika ia mendengar seseorang mengetuk pintu apartemennya. Dengan sedikit malas ia bangkit dan beranjak membuka pintu. Dan kekagetannya bertambah ketika tatapan matanya menangkap sosok Maya telah berdiri di depan pintu apartemennya. David bahkan belum sempat mengatakan apapun ketika Maya menyeruak masuk begitu saja. Lelaki itu menutup pintu dengan segera lalu berbalik ke arah Maya – yang telah berdiri tegap dan menatap ke arahnya. Ia bahkan masih memakai baju rumah sakit.
“Ada apa?” David bertanya gugup
“Aku kabur dari rumah sakit. Puas?” Maya melipat lengannya di dada dan menatap David dengan kesal. David mengernyit.
“Kabur dari rumah sakit?”
Maya mengangguk.
“Aku sudah nggak tahan lagi. Aku stres memikirkanmu. Aku berusaha mencari cara untuk segera meninggalkan tempat tersebut. Tapi papaku dan juga penjaga-penjaga selalu mengawasiku hampir 24 jam!?”
“Ada apa denganmu?”
“Aku yang harusnya nanya. Ada apa denganmu? Kenapa kamu nggak pernah mengunjungiku di rumah sakit? Apa kamu asyik pacaran sehingga kamu nggak peduli sedikitpun tentang keadaanku?”
David menatap Maya - yang selalu nampak cantik apapun keadaannya – dengan heran.
“Kamu mengharapkanku ... mengunjungimu?”
“Ya, kamu nggak tahu ‘kan kalo tiap hari aku selalu berharap kalo kamu akan datang mengunjungiku di rumah sakit. Nyatanya, enggak sama sekali. Dimana aja kamu selama ini? Pacaran terus?”
David mengangkat bahu.
“Tapi kamu baik-baik aja ‘kan?”
“Ya, syukurlah aku baik-baik aja sekarang. Apa kamu baru akan peduli padaku kalo aku sudah sekarat?”
David tak bersuara. Aku akan selalu berdoa agar kamu baik-baik aja. Gumamnya dalam hati.
“Aku sudah nggak tahan lagi, Dave. Aku berubah pikiran sekarang. Aku berniat menerima perjodohan kita, apapun yang terjadi,”
David bengong.
“Apa?”
“Aku mau menikah sama kamu, dan aku nggak peduli dengan tanggapanmu! Jadi, segera akhiri hubunganmu dengan pacarmu. Karena aku nggak akan menyerahkananmu semudah itu! Ngerti?”
“Hah?”
“Kita akan menikah, titik! Jadi, akhiri hubunganmu dengan pacarmu!”
“Ada apa sebenarnya denganmu?”
“Karena aku mulai mencintaimu!”Maya berteriak.
David membelalak. Pengakuan Annisa tadi siang telah membuatnya kaget. Dan sekarang, pengakuan dari Maya benar-benar membuatnya shock!
Keduanya berpandangan, hening sesaat.
“Coba bilang sekali lagi kalo berani?” David menantang. Maya tertawa sinis.
“Aku – akan – menerima – perjodohan – kita – karena – aku – mulai – mencintaimu! Jelas?” Maya melakukan penekanan pada setiap kalimat yang ia ucapkan hingga sikap arogannya kembali muncul. David ingin tertawa, tapi ia menahannya. Entah kenapa, tubuhnya terasa ringan sekali karena bahagia.
“Apa buktinya?” ia bertanya, tetap dengan senyum tertahan.
“Bukti apa?” Maya mengernyitkan dahinya.
“Bukti bahwa kamu mencintaiku,”
“Haruskah?”
“Cium aku,” kalimat  itu meluncur begitu saja dari mulut David.
“Hah?” Maya melongo.
“Cium aku jika kamu bener-bener cinta padaku,”
Gigi Maya terkatup karena kesal. Ia tersenyum sinis.
“Kamu meremehkanku, Dave,” ucapnya. Dan David benar-benar tak menyangka ketika ternyata Maya melangkah mendekatinya, menarik kerah bajunya lalu mencium bibirnya dengan lembut.
I love you, Dave,” ucap Maya lirih. Matanya yang bening menatap David dengan tatapan lembut.
Dan terpana. Sejenak ia merasakan bahwa ia tak bernafas selama sekian detik. Perasaannya meluap, senang. Dan lelaki itu seakan mengucap janji dalam hatinya bahwa mulai detik ini, ia akan melakukan apapun untuk Maya, untuk  wanita cantik di hadapannya, yang tengah mencengkeram kerah bajunya.
“Dan aku nggak mau ada penolakan lagi darimu. Kuharap kamu bisa ngasih kesempatan padaku untuk nunjukkin kalo aku bisa jadi istri yang baik untukmu,”
David lagi-lagi nyaris tak bisa bernafas karena terlalu bahagia.
Lelaki itu tersenyum. Tangannya terangkat dan jemari tangannya menyentuh pipi Maya dengan lembut.
“Dia bukan pacarku,” ucapnya kemudian. Bibir Maya mengerut.
“Annisa bukan pacarku. Kami hanya sahabat, nggak lebih,”
Maya melotot. Ia melepaskan tangannya dari kerah baju David dan berniat mundur beberapa langkah. Namun sebelum kakinya sempat bergerak, kedua lengan David melingkar di pinggangnya dengan erat.
“Kamu mempermainkanku?”
David menggeleng.
“Aku nggak bermaksud begitu. Situasinya terlalu rumit untuk diceritakan. Tapi percayalah, aku sedang tidak berhubungan dengan cewek manapun. Jadi, kamu bebas memiliki aku,”
Keduanya berpandangan.
“Kita akan bicarakan ini lagi dari hati ke hati. Tapi yang jelas, aku benar-benar ingin memulai sebuah hubungan yang lebih baik denganmu. Bukan karena perjodohan, bukan pula karena orang tua kita. Tapi karena, hatiku mengatakan aku ingin melakukannya. Aku juga cinta sama kamu, May. Dan aku juga berniat untuk menerima rencana pernikahanku denganmu,” David berucap lembut.
Maya menatapnya dengan tatapan bingung.
“Dan jika kamu mau tahu, aku selalu datang ke rumah sakit untuk menjengukmu, setiap hari. Hanya saja, aku memang nggak bisa menemuimu. Papamu senantiasa di sampingmu dan aku nggak ingin merusak momen-momen itu bersama papamu. Jadi, aku menemui dokter langsung untuk bertanya padanya tentang perkembangan kesehatanmu. Kamu bisa nanya ke dokter Rudi jika kamu nggak percaya. Aku mengobrol dengannya tentang keadaanmu, setiap pagi, di kantornya,”
Maya melongo. Tatapan matanya terlihat kaget. Sama kagetnya seperti yang di alami David beberapa menit yang lalu.
Mulanya David  mengira wanita itu akan melepaskan diri dari pelukannya. Tapi ia salah. Maya tersenyum, lalu balas memeluk David dengan erat. Ah, ia lega. Ya, inilah Maya yang ia kenal. Maya yang selalu apa adanya!

***

          Maya setengah berbaring di sofa. Punggung dan kepalanya bertumpu pada sebuah bantal sofa yang nyaman. Ia sudah berganti baju dengan baju favoritnya. Celana pants pendek dan t-shirt tipis. Wajahnya memang tampak lelah, tapi ia lebih santai sekarang. Kakinya yang indah terjulur di atas pangkuan David yang tengah duduk di sofa yang sama dengannya. Ia membiarkan lelaki itu bermain-main dan mengagumi kakinya. Terkadang ia membelai lembut tungkai kakinya, memijit-mijit ringan betisnya, mempermainkan jemari kakinya, dan kadang menggelitik telapak kakinya hingga membuatnya terkikik.
“Sejak kapan?” David membuka suara kembali.
“Apanya?” Maya balik bertanya.
“Sejak kapan kamu punya kaki seindah ini?” David kembali membelai tungkai kaki Maya dengan lembut. perempuan itu tergelak.
“Ih, gombal deh. Tapi kalo kamu mau tahu, aku sudah punya sepasang kaki yang indah sejak aku dilahirkan,” ia menjawab bangga.
David manggut-manggut.
“Iya, iya, percaya deh,” jawabnya.
 “Dan sejak kapan?” Lelaki itu kembali bertanya.
“Apalagi sih?”
“Sejak kapan kamu mulai jatuh cinta padaku?” David menatap perempuan di sampingnya dengan tatapa nakal.
Maya tersenyum, tak segera menjawab.
“Sejak aku melihat pipimu merona karena malu ketika menatapku. Tepatnya, di hari pertama ketika aku tinggal di apartemenmu ini,”
Tatapan mata David berubah menjadi tatapan penuh tanda tanya.
“Kapan aku... merona?”
Maya tertawa.
“Sumpah, Dave. Waktu itu, pipimu bersemu merah ketika kamu melihatku memakai kaos ketat tipis dan celana super pendek. Kamu bahkan menganggapku telanjang. Ya ampun, waktu itu kamu lucu banget. Aku seakan berhadapan dengan anak es-em-pe,” gelak tawa Maya berubah menjadi rintihan kecil ketika ia merasakan David mencubit betisnya dengan kesal.
“Tentu aja aku ngerasa malu. Aku salah tingkah, dan itu normal. Kamu cewek pertama yang ditinggal di apartemenku dan dengan dandanan yang aku sendiri belum pernah melihatnya. Kakak perempuanku nggak pernah memakai baju kayak gitu. Dan, aku juga belum pernah mempunya teman dekat perempuan dalam kondisi seperti itu,”
Maya kembali tertawa.
“Ih, lucu banget deh kamu. Anak es-em-pe. Haha. Aw, kamu mencubit kakiku lagi,” Maya protes. David hanya mencibir.
“Dan kamu? Sejak kapan kamu mencintaiku?” Maya balik bertanya.
“Sejak pertama kali bertemu denganmu,” David menjawab cepat.
“Hah?”
Maya melongo. Ia menegakkan badannya dan menatap lelaki di hadapannya dengan rasa tak percaya.
David mengangguk.
“Ya, kamu udah bikin hatiku berdebar ketika pertemuan pertama kita di restoran itu. Dan sepertinya, aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama,”
“Tapi waktu itu kamu menolakku ‘kan?”
“Kamu juga menolakku, May,”
“Tapi kamu menolakku duluan,”
Keduanya tertawa.
‘Well, sepertinya ini bukan masalah siapa menolak siapa. Yaah, kamu tahu sendirilah orang tua kita. Sepertinya, penolakan kita bukan lantaran kita nggak tertarik satu sama lain. Tapi terlebih karena orang tua kita. Kamu sudah bosen di atur-atur papamu, akupun begitu. Dan hanya karena kita ingin memberontak merekalah, akhirnya perasaan kita terabaikan. Mungkin jika kita bertemu di suasana lain, atau kita bertemu terlebih dahulu sebelum rencana perjodohan kita, aku pasti akan ngejar-ngejar kamu, persis kayak yang dilakuin Billy,”
Maya meringis mendengar nama Billy di sebut-sebut. Perempuan itu mengangguk-angguk tanda setuju.
“Ya, aku juga nolak rencana perjodohan itu karena papaku. Karena aku mau ngasih perlawanan ke dia,” ucapnya kemudian.
“Kalo gitu, gimana kalo kita kawin lari aja,” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Maya. David tertawa mendengarnya.
“Kita ‘kan udah dijodohin, May. Orang tua kita saling mengenal dengan baik. Jadi, buat apa pake acara kawin lari segala? Itu pantesnya kalo cinta kita tuh nggak direstui, baru kawin lari,”
 “Maksudku bukan gitu, Dave. Bukannya kamu pernah bilang, kamu nggak ingin mengambil alih perusahaan papamu, begitu pula denganku. Jadi, kenapa kita nggak kawin lari aja, nikah diam-diam, ninggalin semuanya lalu keliling dunia berdua. Kita bisa gabung di organisasi kemanusiaan dan kita akan keliling dunia sebagai relawan berdua sebagai suami istri. Tentu itu akan sangat romantis lagi. Kita bisa meraih impian kita dan yang pastinya, orang tua kita akan berhenti mengatur-atur kita lagi,”
David terdiam mendengar serangkaian kalimat dari mulut Maya. Bayangan akan berkeliling dunia bedua bersama Maya sebagai aktifis kemanusiaan, benar-benar membuat dadanya melambung tinggi karena gembira.
“Itu bener-benar ide yang sangat ... sempurna!”
Maya bersorak ketika tahu reaksi David hampir sama dengannya.
“Harusnya kita membuat rencana untuk itu?”
“Tentu saja,”
“Kamu serius ‘kan?”
“Serius, banget! Aku lebih dari siap untuk itu, bersamamu,” David tersenyum. Maya juga. Mereka berpandangan dengan  tatapan bahagia.
“Ngomong-ngomong soal orang tua, tidakkah kamu sebaiknya nelpon ke rumah sakit untuk ngasih tahu tentang keberadaanmu. Mereka pasti sedang sibuk mencarimu dan papamu pasti mengkhawatirkanmu,” David seakan mengingatkan Maya. Perempuan itu menggeleng.
“Enggak, biarin aja, Dave. Biar mereka pusing mencariku. Toh ini bukan yang pertama kalinya mereka bingung nyariin aku,”
David terkekeh. Ia beringsut, mendekati Maya, lalu mencubit kedua pipinya dengan gemas.
“Dasar, anak nakal,” ucapnya. Ia mencondongkan tubuhnya lalu mengecup bibir Maya dengan ringan. Ciuman itu bisa jadi berlangsung lama jika saja phonsel David tidak berdering.
David memutar bola matanya kesal sementara Maya hanya meringis.
“Haruskah ku angkat telpon itu?,” David meminta pertimbangan Maya. Maya mengangkat bahu.
“Angkat aja. Kalo itu papaku, lemparkan aja phonselnya ke tempat sampah,” ucapnya malu-malu. David tertawa.
“Dan kalo itu papaku, aku juga akan melemparkan phonselku ke tempat sampah,” jawabnya. Ia bangkit. Meraih phonselnya yang tergeletak di meja. Sesaat ia mengernyitkan dahinya ketika membaca sebuah nama di layar phonselnya.
“Halo, Annisa?” ia menyapa duluan.
“Halo, Vid? Tolong aku, Vid,”
David mengernyit, suara dari seberang sana terisak.
“Ada apa, Nisa? Kamu baik-baik aja ‘kan?”
“Rumahku, Vid. Mereka membakar rumahku. Semuanya habis,” Annisa kembali terisak. David membelalak. Ia menatap ke arah Maya, dan Maya tampak menggerakkan mulutnya dan bertanya lirih : ada apa?
“Oke, aku ke sana,” David mengakhiri pembicaraan.
“Ada apa, Dave?” Maya bertanya cemas.
“Aku harus ke rumah Annisa, May. Ia dapat musibah,”
“Aku ikut,”
David mengangguk. Mereka beranjak.
***

Bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar