Bab 4
David
kaget ketika pagi itu, papanya datang ke apartemennya tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu. Tapi ia bersyukur karena Maya sudah berangkat bekerja sejak
beberapa menit yang lalu sehingga papanya tidak akan memergokinya di sini.
“Kenapa papa nggak ngasih tahu dulu kalo
papa akan datang,” David sedikit mengomel. Papa David menatap putranya dengan
heran.
“Sejak kapan aku harus memberitahu dulu
jika aku ingin berkunjung ke sini?” ucapannya terdengar kesal.
“Aku ‘kan sibuk, Pa. Bagaimana kalo papa
ke sini dan aku nggak ada?”
Papa David terkekeh. Ia melangkah
menyusuri ruang tamu dan ruang tengah.
“Ada apa papa ke sini?” David mengekor
di belakang papanya. Ia khawatir papanya akan bergerak ke arah kamar yang
ditempati Maya, karena ia tahu, ada banyak barang perempuan di sana. Dan akan
sanget merepotkan untuk menjelaskan pada papanya jika dia mengetahuinya.
“Bagaimana Maya? Kau sudah
menemukannya?” papa David duduk di salah satu sofa di ruang tengah.
“Belum,”
“Belum? Kau berniat menemukannya atau
enggak? Ini sudah berapa minggu?” papa David terdengar kesal.
“Maya bukan barang, Pa. Dia manusia yang
bisa gerak kemana-mana. Dan mencari keberadaannya bukanlah hal mudah,”
“Papa nggak mau tahu itu, Vid. Kau harus
bisa menemukannya dan juga menikahinya, secepatnya!”
David mendengus kesal. Ia benci adu
argumen dengan papanya.
“Ambisi papa terlalu besar. Papa bahkan
nggak peduli jika harus menjualku,”
“Bicara apa kau ini? Apa yang papa
lakukan juga demi kamu, Vid. Demi
perusahaan yang kamu pimpin,”
“Termasuk memaksaku untuk menikah?”
“Papa ingin kamu bahagia. Percayalah,
Maya adalah perempuan yang sangat baik dan sempurna. Dan papa sangat yakin
bahwa hanya dialah perempuan yang akan membuatmu bahagia,”
David menggerutu dalam hati. Ya, papanya
benar bahwa Maya adalah perempuan yang sangat baik dan sempurnya. Tapi
kenyataan bahwa papanya ikut campur – lagi – membuat darahnya mendidih.
“Tunggu, apa aku melewatkan sesuatu di
sini?” papa David bangkit dan menatap sekelilingnya dengan seksama.
“Melewatkan apa?”
“Apa kamu membawa teman wanitamu ke
sini?”
David tak segera menjawab.
“Enggak, papa hanya menduga-duga,”
Papa David tertawa sinis.
“jangan membohongi orang tua, Vid. Aku
tahu dengan pasti bahwa kau membawa teman wanita di sini. Aku mencium aroma
perempuan di sini,”
David merasakan pipinya bersemu merah.
Ya, ia juga merasa apartemennya berbeda sejak Maya datang ke sini. Seperti yang
papanya bilang, ada aroma perempuan di sini, di mana-mana. Maya mempunya aroma
cologne yang khas, dan ia menyukainya.
“Siapa dia? Annisa-kah? Perempuan yang
bekerja sebagai pelayan di restoran Billy itu ‘kan?”
David membelalak. Ia hanya tak menyangka
bahwa papanya akan mengetahuinya.
“Darimana papa tahu tentang Annisa?”
“Aku bahkan tahu kalo kalian sudah lama berhubungan.
Aku sengaja membiarkannya karena aku yakin kau hanya ingin bermain-main
dengannya. Tapi aku tak menyangka kalo kau berani menolak Maya demi wanita
seperti dia?”
David mengerutkan keningnya.
“Berhubungan dengan ...” kalimat David
terhenti. Oh, adalagi orang yang salah paham mengenai kedekatannya dengan
Annisa. Dan David tak berniat menjelaskannya.
“Apa Maya tahu tentang hubunganmu dengan
perempuan itu sehingga ia menolak menikah denganmu?”
“Aku nggak tahu,” jawab David cepat.
Papa David menatap putranya dengan lekat.
“Dengar, aku tak akan mempermasalahkan
jika kamu hanya ingin main-main dengan Annisa. Tapi jika kau berniat
menikahinya, aku tidak akan setuju sampai kapanpun. Hanya Maya perempuan yang
ingin ku jadikan menantu, bukan yang lainnya. Dan jika kau tak segera membuat
Maya menikahimu, maka jangan salahkan aku jika aku berbuat di luar batas,”
Papa David beranjak. David kembali
mengekor dengan heran.
“Apa yang ingin papa lakukan?”
Langkah papa David terhenti sesaat. Ia
berbalik dan menatap putranya kembali.
“Tinggalkan Annisa dan menikahlah dengan
Maya. Jika tidak, aku akan memberi pelajaran pada perempuan miskin itu,”
David melotot dengan geram. Tapi ia tak
bisa mengatakan apapun, bahkan sampai papanya beranjak meninggalkan
apartemennya.
David
masih dalam keadaan sedikit melamun ketika mobilnya memasuki halaman kafe
Billy, untuk mengantarkan Annisa. David masih merasa khawatir dengan keadaan
perempuan manis yang baru pulang dari rumah sakit tersebut sehingga ia yang
berinisiatif untuk mengantarkan dan juga menjemputnya ke tempat kerja.
Tentunya, setelah melewati perdebatan panjang karena Annisa awalnya menolak.
“Kamu baik-baik aja ‘kan?” Annisa
bertanya sebelum ia melangkahkan kakinya turun dari mobil David. David
mengernyitkan dahinya.
“Baik, emang aku kenapa?”
“Kamu ngelamun terus. Ada masalah?”
“Ngelamun? Enggak-lah. Aku baik-baik aja
kok. Udah, segeralah masuk ke dalam. Ntar aku jemput lagi,”
David meyakinkan perempuan tersebut.
Annisa manggut-manggut dan segera turun dari mobil meski agak ragu.
“Hati-hati ya,” ia mengingatkan sebelum
melangkahkan kakinya meninggalkan David dan mobilnya. David tersenyum dan
mengangguk. Ia baru saja akan menjalankan mobilnya ketika tiba-tiba Billy
keluar dari pintu masuk kafe dan segera berlari-lari ke arahnya.
“Mampirlah dulu ke ruanganku, ada yang
mau ku omongin,” ucapnya dengan nafas terengah-engah. Mulanya David ragu, tapi
akhirnya ia mengiyakan ajakan sahabatnya tersebut.
“Aku
menemukannya, Vid,” ucap Billy dengan mata berbinar-binar. David menatapnya
sahabatnya tersebut dengan heran.
“Menemukan siapa?”
“Maya,”
David melotot.
“Aku tahu dimana dia sekarang,”
David merasakan dadanya berdegub dengan
kencang.
“Kau tahu dia tinggal di mana?” ia
bertanya dengan hati-hati.
“Oh, enggak. Maksudku, aku tahu dia
kerja di mana?”
“Di mana?”
“Di panti sosial. Ia membantu merawat
anak-anak terlantar. Oh, dia bener-bener
malaikat berhati mulia,”
“darimana kamu tahu dia kerja di sana,”
Billy terkekeh.
“Aku menyewa banyak orang untuk
menemukannya,” jawab kemudian.
“Kamu gila, Bill,” David melongo.
“Well, demi cinta, Vid,” jawab Billy
enteng.
“Kau tahu, aku bahkan bisa menemuinya
dan mengobrol dengannya,” kedua bola mata lelaki jangkung itu berbinar-binar
ceria.
“Oh ... ya?” David menggumam dengan
ragu-ragu.
Billy kembali mengangguk dengan
antusias.
“Dia cerita kalo dia perlu waktu untuk
menyendiri dan mikirin banyak hal,”
“Apa dia bilang kalo sekarang dia
tinggal dimana?”
“Sayangnya enggak, Vid. Dia bilang itu
rahasia dia dan meminta padaku untuk menghormatinya. Dia tidak menolak
kunjunganku asalkan aku nggak ikut campur terlalu jauh untuk mencari tahu
dimana dia tinggal sekarang,”
David manggut-manggut.
“Itu nggak apa-apa. Toh yang penting aku
bisa sering-sering mengunjunginya di tempat kerjanya. Ngomong-ngomong, kenapa
tiba-tiba aja kamu tertarik untuk tahu dimana dia tinggal? Jangan bilang kalo
kamu mulai berubah pikiran tentang perjodohanmu hingga kamu ingin
menemukannya,”
David tertawa.
“Enggak, bukan begitu. Aku Cuma pengen
tahu aja,” jawabnya, sedikit gugup.
“Kamu tahu, dia bener-bener wanita luar
biasa, Vid. Aku melihatnya sendiri merawat anak-anak itu dengan sabar dan
telaten. Dia menemani mereka maen, membuatkan makanan, merapikan tempat tidur
mereka, ya ampun, dia cantik banget waktu itu,”
David tersenyum sinis. Aku bahkan sudah tahu lebih banyak dari itu!
Ucapnya dalam hati dengan bangga.
“Aku bener-bener akan mengerahkan semua
tenagaku untuk mendapatkannya karena ia memang pantas untuk itu. Well, dia
memang sudah menolakku secara langsung, tapi aku yakin aku masih punya
kesempatan,”
Bola mata David mengerjap kaget.
“Dia ... apa?”
“Dia cantik,” jawab Billy lesu,
sebenarnya ia tahu maksud pertanyaan David, tapi ia sengaja menjawab ke hal
lainnya.
“Bukan. Maksudku, dia ... menolakmu?”
David tak menyerah untuk bertanya lagi.
Kedua bola mata Billy yang tadinya
berbinar ceria semakin terlihat lesu.
Ia menarik nafas sesaat.
“Ini pertama kalinya aku ketemu wanita
yang ceplas ceplos dan apa adanya seperti dia. Aku bahkan belum sempat
mengutarakan niatku tapi dia langsung mengatakan hal itu padaku,”
“Mengatakan apa?”
Billy kembali tak segera menjawab.
“Dia bilang, dia menghormati perhatian
dan kebaikanku. Tapi, bahkan jika ia harus pergi ke liang kubur, dia hanya bisa
menganggap aku sebagai sahabat, dan nggak bisa lebih, selamanya,” lelaki tampan
itu mengucap kata terakhir yang ia ucapkan dengan ejaan.
David terbahak. Entah kenapa, ia lega.
“Well, anggap aja itu hukum karma karena
selama ini kamu suka mempermainkan cewek, dasar playboy,” ucapnya.
Billy meringis.
“Tapi aku serius dengannya, Vid. Aku
sudah berniat tobat jika bisa mendapatkannya,”
“Maksudmu, jika kamu nggak bisa
mendapatkannya, maka kamu akan kembali tebar pesona dan merayu semua perempuan
di muka bumi ini”
Billy mengangkat bahu.
“Mm, mungkin saja,” jawabnya kemudian.
“Sialan kamu, Bill. Playboy tetap saja
playboy. Maya membuat keputusan yang tepat karena ia nggak cocok sama kamu.
Kamu tahu kenapa? Karena dia terlalu baik untukmu,” Akhirnya David
mengatakannya.
Billy mengernyit.
“Jika kamu tahu dia cewek yang baik,
kenapa kamu menolak menikah dengannya?”
“Itu karena ...” kalimat David terhenti.
Ia sendiri juga bingung harus menjawab apa.
‘Oh, aku paham. Semua pasti karena
Annisa. Kamu sangat mencintai cewek sederhana itu hingga kamu rela menolak
seorang perempuan semacam Maya,” Billy membuat kesimpulan sendiri. Dan David
hanya membiarkannya, seperti biasa.
Setelah
mengantarkan Annisa pulang, David sampai di apartemennya sekitar pukul 7 malam.
Dan ia merasa kaget ketika mengetahui Maya sudah berada di sana. Ia sudah
menyiapkan beraneka hidangan makan malam di meja makan dan sekarang ia sedang
duduk santai di depan tv. Perempuan itu terlihat baru saja mandi. Wajahnya
segar dan David mencium aroma bunga gardenia dari tubuhnya. Aroma yang beberapa
minggu ini akrab di hidungnya dan ia menyukainya.
“Hai,” sapa David santai seraya bergerak
ke kamarnya. Maya menoleh dan tersenyum.
“Oh, kamu sudah datang?,” perempuan itu
bangkit dan bergerak mendekati David. David mempercepat langkahnya menuju
kamarnya dan berharap Maya menghentikan langkahnya. Tidak, ia hanya tidak siap
jika Maya mendatanginya dengan keadaannya yang begitu cantik, seperti ini.
Tapi do’anya tak
terkabul. Maya malah mengikutinya ke kamar.
“Ngapain kamu ikut masuk ke kamarku?,”
David mengomel.
“Aku mau cerita sesuatu,”
“Sekarang? Nggak bisa nanti?,”
“Sekarang,” jawab Maya cepat.
“Tapi aku mau ganti baju,”
“Ganti baju aja. Kamu bisa mendengar
ceritaku sambil ganti baju,”
“Huh?”
“Aku nggak masalah, Dave. Aku sudah
terlalu sering menyaksikan cowok telanjang ketika di Amerika, dan buatku itu
nggak apa-apa. Tenang saja, aku nggak akan memperkosamu,” jawab Maya enteng.
“What?”
David menatapnya dengan kilatan amarah.
Maya hanya meringis. David mendesah.
Astaga, ia lupa bahwa yang ia hadapi adalah Maya. Cewek paling keras kepala
yang pernah ia temui.
“Oke, terserah kau sajalah,” lelaki itu
meletakkan tas kerjanya ke meja dengan kasar lalu mulai melepas kancing
jas-nya.
“Aku bertemu Billy, temanmu, yang punya
usaha kafe tersebut,” Maya memulai ceritanya.
David manggut-manggut. “Terus?” ucapnya
seraya melepas jasnya lalu menggantungnya dengan rapi.
“Bagaimana mungkin dia tahu tempat
kerjaku? Kamu yang ngasih tahu dia?”
David tertawa lirih.
“Sori, tapi aku bukan orang kurang
kerjaan yang mau repot-repot menggosip dengan teman pria. Dia tahu sendiri. Dia
menyewa orang untuk mencari tahu tentang dirimu,” David menarik kaos dalamnya
melewati kepalanya lalu menggantungnya di samping jasnya. Ia bertelanjang dada
sekarang.
“Nah, itu dia. Tanpa harus ngomong
sekalipun aku tahu kalo dia menyukaiku. Itu terlihat jelas di raut mukanya,”
Tadinya David berniat melepaskan
celananya sekalian. Tapi ia mengurungkan niatnya. Ia berdiri tegak dan menatap
Maya dengan dalam. Ia memutuskan untuk fokus mendengar cerita Maya. Entah
kenapa, ia tak suka pembicaraan tentang Billy.
“Dan kamu? Apa kamu menyukainya?”
“Enggak, aku sudah menolaknya dan
memperingatkannya untuk tidak mendekatiku lagi. Aku menerimanya sebagai teman,
nggak bisa lebih,”
“Kenapa begitu?”
“Berkencan dengan playboy, nggak ada
dalam kamusku,”
David mengernyit.
“Darimana kamu tahu dia playboy?”
Maya terkekeh.
“Itu tertulis dengan jelas di jidatnya.
Aku bahkan sudah tahu sejak melihatnya. Matanya, ia menatap dengan beda. Khas
lelaki yang suka merayu dan mengobral cinta. Ayolah, Dave. Aku bukan anak kecil
yang bisa dibohongi dengan rayuan-rayuan gombal macam itu,”
David manggut-manggut. Cewek pintar, ia menggumam dalam hati.
“Well, berarti menolaknya adalah
keputusan yang tepat, kukira,” ucapnya kemudian.
“Ini bukan masalah dia menyukaiku atau
aku menolaknya. Masalahnya adalah, temanmu sudah tahu keberadaanku dan aku
khawatir kalo dia akan cerita ke semua orang tentang keberadaanku. Bagaimana
kalo dia mulai mencari tahu tentang tempat tinggalku? Ini akan jadi berbahaya
buatku dan juga buatmu,”
David melipat kedua lengannya di
dadanya. Ia terdiam, berpikir.
“Dia temanmu ‘kan? Bicaralah baik-baik
dengannya dan buat dia menjauhiku. Jika enggak, atau aku masih menemui dia
menguntitku, akan kutendang bokongnya,” Maya mengucapkan kalimat tersebut
dengan serius. Tapi itu tak membuat David menghentikan tawanya.
“Oke, aku akan bicara dengannya,” jawabnya
lalu beranjak ke lemari pakaian dan mencoba mencari t-shirt tipis yang nyaman.
“oh iya, tumben kamu sudah pulang?”
tanya lelaki itu disela-sela kegiatannya mengobrak-abrik isi lemarinya.
“Hari ini aku memang nggak kerja. Aku
dapat shift malam. Jam 11 nanti aku baru berangkat,”
Jawaban Maya membuat gerakan David
terhenti. Ia menoleh dan menatap ke arah Maya dengan tajam.
“What? Kenapa kau menatapku begitu? Ada
yang aneh?” tanya Maya enteng menyadari tatapan David yang sedikit aneh.
“Kamu bilang shift malam? Dan jam
sebelas 11 nanti kamu baru berangkat?”
Maya mengangguk.
“Dan kamu pasti berangkat ke tempat
kerjamu sendirian ‘kan?”
Maya kembali mengangguk.
“Aku bisa naik kendaraan umum. Ada masalah?”
David mengatupkan giginya geram. Lelaki
itu memutar tubuhnya hingga menghadap ke arah Maya.
“Di mana akal sehatmu, May. Kamu seorang
perempuan, dan kamu lalu lalang di luar sana pada jam-jam berbahaya seperti
itu?” suaranya sedikit tertahan, menahan amarah yang sebenarnya sudah hampir
meledak.
“Berbahaya? Helloo, ini Indonesia, Dave.
Amerika bahkan lebih berbahaya dan aku sudah terbiasa. Aku baik-baik saja
‘kan?,”
David meletakkan kaos yang tadi
dipegannya dengan kesal ke tempat semula.
“Apa yang membuatmu begitu sombong
hingga kamu punya nyali untuk keluar di tengah malam, hah?”
“Ada masalah? Kenapa kamu harus
marah-marah kayak gini? Aku bisa menjaga diriku sendiri dengan baik. Kamu nggak
perlu repot-repot mengkhawatirkanku,”
“Hanya karena kamu jago taekwondo?”
“Ya,”
“Sabuk hitam?”
“Ya,”
“Dan
berapa?” (Dan = tingkatan dalam sabuk
hitam taekwondo, ada 9 tingkatan)
“Dua,” jawab Maya enteng.
David tertawa mengejek.
“Kamu baru Dan dua tapi sombongnya
selangit?”
Maya menatap David dengan kesal.
“Aku nggak sombong, tapi itu benar. Aku
bahkan bisa membutmu terjungkal hanya dengan satu tendangan,” ucapnya.
David kembali tertawa sinis.
“Oke, lepas sweatermu dan kita duel,”
ucap lelaki tersebut tanpa melepaskan pandangannya dari Maya.
Maya membelalak.
“Apa?”
“Kita duel. Jika kamu menang, kamu boleh
berangkat. Jika aku yang menang, malam ini aku akan mengantarkanmu ke tempat
kerja jika kamu dapat shift malam. Dan kamu, nggak berhak nolak,”
Maya menatap lelaki yang bertelanjang
dada di hadapannya dengan penuh tanda tanya.
“Serius?”
“Banget,”
“Kamu cari masalah denganku, Dave,”
“Dan kamu adalah sumber masalah bagiku,”
Maya melotot, kesal.
“Apa maksudmu sumber masalah buatmu? Aku
nggak pernah gangguin kehidupan pribadimu ‘kan?”
“Nggak pernah? Kedatanganmu ke
kehidupanku sudah cukup mengacaukanku,”
“Kapan?”
“Setiap hari,”
“Kamu mulai berlebihan,” Maya mendesis.
“Well, kalo gitu, cepat lepas
sweatermu,”
Maya mendengus kesal.
“Oke, kita duel,” Perempuan itu
melepaskan sweaternya lalau melemparkannya ke lantai dengan kasar, sehingga
tinggal tank top tipis yang membalut tubuhnya.
“Aku nggak pernah maen-maen, Dave.
Bersiaplah babak belur dan semoga kau menyesal berhadapan denganku,” Maya
memasang kuda-kuda. David kembali tertawa mengejek.
“Dan aku juga nggak pernah maen-maen dalam
hal ini. Jangan pikir aku nggak berani menghajarmu meskipun kau perempuan,”
lelaki itu merentangkan kakinya dan melakukan hal yang sama dengan Maya.
Dan dalam hitungan detik, keduanya
saling serang, saling tendang, dan mencoba saling membanting.
Maya tak mengira bahwa bertarung dengan
David akan sesulit ini. Ia bahkan nyaris tak bisa menyentuh lelaki tersebut.
Tendangannya meleset. Setiap pukulan ia lesatkan selalu dapat di tangkis dengan
mudah oleh David. Alih-alih membanting lelaki tersebut, Maya malah berakhir di
atas tempat tidur. David membantingnya! Ia bahkan belum sempat berpikir jernih
ketika tiba-tiba David menindih tubuhnya, menekan kakinya dengan kakinya yang
panjang, lalu menarik kedua lengan tangannya kemudian menekannya ke belakang
punggung Maya. Pergerakannya terkunci! Perempuan itu tak bisa bergerak di bawah
tekanan David!
Keduanya saling pandang. Nafas mereka
terengah-engah.
“Menyerah?” tanya David penuh
kemenangan. Maya mendengus kesal.
“Not
at all,” jawabnya. Ia berusaha bergerak, tapi gagal. David menindih
tubuhnya dengan tepat hingga perempuan itu tak berkutik.
“Menyerah?” David kembali bertanya
dengan tatapan jahil. Maya tak segera menjawab. Tapi akhirnya ia mengakui bahwa
David menang.
“Bagaimana kamu...”
David tersenyum.
“Aku nggak ingin pamer. Tapi aku dua
tingkat di atasmu. Taekwondo sabuk hitam, Dan
empat,” jawabnya kemudian, disertai cengiran nakal.
Maya tersentak. Dan empat!? Itu hampir sama dengan atlet profesional!
“Oh
shit,” ia menggerutu. David tertawa penuh kemenangan.
“So,
surrender?”
Maya menggigit bibir bawahnya sebal
sebelum menjawab.
“Oke, kamu menang. Puas? Sekarang,
menyingkirlah dari atas tubuhku,” ia setengah membentak. David tak bergerak.
Keduanya berpandangan. Tatapan mereka saling terkunci satu sama lain selama
beberapa saat.
Dan, ciuman itu terjadi. Begitu cepat,
begitu ringan.
Maya membelalak. Ia tak menyangka bahwa
David akan mencium bibirnya.
Ia menatap David dengan bingung,
bibirnya setengah terkatub. David pun melakukan hal sama. Tatapan matanya tak
terbaca.
Dan bukannya beranjak, lelaki itu malah
menunduk lalu kembali mencium bibir Maya dengan lebih lembut dan perlahan.
Kedua mata Maya mengerjap, tapi
akhirnya, ia membalas ciuman tersebut.
Ada
kecanggungan luar biasa sejak peristiwa ciuman tersebut. Keduanya tak lagi
sering mengobrol. Mereka hanya sekedar mengucap salam lalu ngeloyor begitu
saja, manakala mereka berpapasan tak sengaja di ruang tamu, ataupun di ruang
makan. Mereka berpikir bahwa itu adalah kekhilafan orang dewasa. Dan itu bisa
menimpa siapa saja dalam situasi seperti
itu. Tapi, tetap saja situasi terasa tak nyaman. Hingga akhirnya, David tak
betah lagi. Ia memutuskan untuk membahasnya dengan Maya, malam itu ketika
mereka selesai pulang kerja.
“Maafkan aku, aku khilaf hingga
menciummu terlebih dahulu,” David membuka suara. Maya terdiam sesaat. Ia memang
terdengar tidak adil. Lelaki di hadapannya itu punya pacar, tapi ia mencium
dirinya? Dilihat dari segi manapun, ia bersalah. Tapi, bukankah ia juga
membalas ciuman tersebut. Ia bahkan tak menolaknya. Jadi, ia juga bersalah
dalam hal ini.
“Aku juga minta maaf, aku salah. Tak
seharusnya aku mencium cowok yang sudah punya kekasih. Astaga, aku pasti cewek
yang jahat banget. Aku jadi ngerasa bersalah dengan pacarmu,” Maya menggumam
tanpa sadar. Ia mengernyit heran, tunggu! David ‘kan udah bilang kalo dia yang
mencium duluan? So, kenapa dia mesti minta maaf?
David menatapnya dengan bingung dan Maya
hanya mampu mengacak-acak rambutnya sendiri dengan gemas. Ah, tetap aja ia
salah karena lelaki yang ada dihadapannya ini sudah punya kekasih!
“Udah deh, Dave. Anggap saja itu
kekhilafan orang dewasa. Aku juga minta maaf karena aku juga membuat situasimu
nggak nyaman. Jangan dibahas dan semoga ini juga nggak terulang lagi,” lanjut
Maya. Keduanya berpandangan.
“Jika aku berusaha menciummu lagi,
patahkan saja tanganku,” ucap David. Maya tergelak. Dan situasi mulai kembali
cair, seperti sedia kala.
“Itu nggak mungkin. Kamu dua tingkat di
atasku, jadi aku nggak mungkin ngalahin kamu,” jawab Maya. David tersenyum dan
manggut-manggut.
“Kalo gitu, jangan ada duel lagi,”
Maya ikut mengangguk tanda setuju.
“Yup,
no more duel,” jawabnya. Keduanya tersenyum.
“Oke, apa makan malam kita hari ini?”
pertanyaan David membuat situasi kembali normal dan nyaman.
“Kesukaanmu, sphagetti,” jawab Maya
seraya tersenyum.
“Wah, pasti lezat. Tapi bagaimana kamu
tahu kalo aku suka makanan itu?”
“’Kan aku udah bilang, papaku pernah
ngasih catatan tentang dirimu. Temasuk tentang makanan dan minuman favoritmu,”
David membelalak.
“Sampek segitunya?”
Maya mengangguk.
“Apa papamu sangat menyukaiku untuk
dijadikan menantunya hingga ia harus kayak gini?”
Maya terkekeh.
“Sayangnya iya. Ah sudahlah, jangan
ngomongin itu lagi. Kita makan,”
Keduanya melangkah menuju ruang makan.
***
David
menyambut kedatangan lelaki setengah baya itu dengan sopan.
“Maaf karena aku datang tanpa
memberitahumu terlebih dahulu. Aku nggak mengganggu ‘kan?” Papa Maya menyapa
ramah khas dengan pembawaannya yang bijak. David tersenyum seraya menyilakan
lelaki itu duduk sementara ia duduk di kursi yang ada di seberangnya.
“Enggak kok, Om. Om nggak mengganggu
sama sekali,” ia menjawab.
‘Kamu pasti terkejut karena aku datang
tiba-tiba,”
David terdiam sesaat.
“Apakah ada hal penting, Om?”
Lelaki itu manggut-manggut.
‘Ya, ini berkaitan dengan Maya,”
Ia berdehem sesaat sebelum memulai
berkata lagi.
“Kamu pasti tahu dengan apa yang telah
menimpanya. Mempelai wanitamu itu kabur entah kemana dan aku belum bisa
menemukannya sampai detik ini,”
David hanya mengangkat bahu seraya
menyeringai.
“Ya, aku sudah mendengarnya, Om. Kurasa
itu wajar pada orang yang hendak dijodohkan. Lagipula, Maya masih muda. Dan
saya yakin sekali jiwa pemberontaknya masih besar,”
Papa Maya menatap David dengan lekat.
“Kamu benar nak David. Mungkin kamu
memang belum terlalu mengenal Maya. Tapi, begitulah dia tabiatnya. Ia sangat
keras kepala dan semaunya. Om masih ingat kalo Om pernah mengurungnya di dalam
kamar selama beberapa bulan karena ia nekat melakukan sesuatu yang Om nggak
suka. Oh, astaga, om nggak tahu ia mendapat jiwa pemberontak itu darimana.
Tapi, yang jelas, Om sangat menyesal dengan perilakunya. Om ke sini untuk
meminta maaf secara langsung padamu atas apa yang ia lakukan padamu, dan juga
pada keluargamu. Hari pernikahan kalian sudah dekat, tapi ia masih tak mau
menampakkan batang hidungnya,” lelaki itu meminta maaf dengan tulus hingga
membuat David tak enak hati.
“Maafkan kelakuan putri om, nak David.
Om benar-benar minta maaf,”
David merasakan hatinya ditusuk-tusuk.
Astaga, ia benar-benar merasa jahat. Penolakan perjodohan itu sebenarnya datang
dari dirinya. Ini bukan salah Maya, bukan pula salah pak Yohanes Anthony. Ini
salahnya, ini salah papanya yang terlalu ambisius.
“Papamu dan Om adalah teman dekat sejak
kami masih kuliah. Sebenarnya ide pertunganan ini datang dari om. Karena jujur,
Om sangat menyukaimu. Aku pernah beberapa kali melihatmu memberikan pidato pada
beberapa acara. Dan Om benar-benar kagum padamu. Kamu sosok yang masih muda,
ulet, pekerja keras dan sukses. Dan om benar-benar yakin hanya kamulah lelaki
yang cocok mendampingi Maya. Bukan yang lainnya. Om yakin kamu bisa mengalahkan
kelakuan Maya yang seenak perutnya dan keras kepala. Tapi entahlah, om nggak
nyangka kalo Maya akan kabur seperti ini,” lelaki itu nampak sedih. Dan David
kembali merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Ia merasa bersalah.
“Saya akan terus berusaha mencarinya,
Om. Dan saya pastikan, saya akan kembali mengajaknya bicara dari hati ke hati
untuk menentukan masa depan kami. Tapi jika Maya tetap menolak denganku,
kuharap om mau mengerti pilihannya,”
Om Yohanes mendesah sedih.
“Oh, maafkan aku nak David. Ini
benar-benar di luar rencana,”
David menggeleng lembut.
“Masalah Maya, biar saya dan Maya
sendiri yang menyelesaikannya Om. Percayalah,ini bukan salah siapa-siapa.
Apapun yang terjadi, apakah kami menikah atau enggak, itulah yang terbaik. Om
jangan terlalu memikirkannya. Jagalah kesehatan om, itu yang terpenting,”
Papa Maya tersenyum. Ia menatap David
dengan tatapan putus asa.
“Dan Om akan tetap bedoa agar kamu jadi
menantu Om. Menantu kebanggaanku,”ucapnya lagi. David tersenyum kaku. Bayangan
Maya melintas di kepalanya.
“Baiklah, kalo begitu Om pamit
dulu. Sampaikan salamku pada papamu. Om
ingin menemuinya secara langsung. Tapi om masih merasa malu bertemu dengannya
jika Maya belum ketemu,” pak Yohanes bangkit. Ia menepuk-nepuk pundah David
dengan lembut sebelum melangkah meninggalkan kantor tersebut. Dan David
mengantar kepergiannya dengan perasaan campur aduk.
Belum lama pak Yohanes Anthony pergi,
David dikagetkan dengan kedatangan Annisa. Ia menatap perempuan manis tersebut
dengan heran.
“Tumben kesini? Ada apa? Bukankah
seharusnya kamu kerja?” ia menyapa duluan. Annisa tak segera menjawab. Raut
mukanya tampak kesal.
“Permainan apa yang sedang kamu
mainkan?” ia bertanya tanpa duduk di kursi yang ada di hadapan meja David.
David bangkit lalu melangkah memutari
meja kerjanya dan mendekati Annisa.
“Permainan apa?” ia bertanya dengan
heran.
“Kemarin mbak Maya menemuiku,”
David menyipitkan matanya.
“Maya?”
“Ya, perempuan yang mau dijodohin sama
kamu itu,”
“Dan...?”
“Dia meminta maaf secara langsung padaku karena selama ini ia tinggal di apartemennmu. Dia meminta pengertianku agar aku nggak ngerasa cemburu ataupun salah paham pada kalian. ia memastikan bahwa ia terpaksa tinggal bersamamu dan ia juga memastikan bahwa ia takkan lama berada di sana. Astaga, apa pentingnya ia cerita ini ke aku? Dan ... ia menyebut bahwa kau adalah pacarku?” Annisa menatap David dengan sebal. David belum pernah melihat tatapan kesal seperti ini pada Annisa.
“Dia meminta maaf secara langsung padaku karena selama ini ia tinggal di apartemennmu. Dia meminta pengertianku agar aku nggak ngerasa cemburu ataupun salah paham pada kalian. ia memastikan bahwa ia terpaksa tinggal bersamamu dan ia juga memastikan bahwa ia takkan lama berada di sana. Astaga, apa pentingnya ia cerita ini ke aku? Dan ... ia menyebut bahwa kau adalah pacarku?” Annisa menatap David dengan sebal. David belum pernah melihat tatapan kesal seperti ini pada Annisa.
Lelaki itu sempat membelalak.
“Dia cerita hal itu ke kamu?” ia
memastikan. Dan Annisa kembali mengangguk tegas.
“Ada apa sih sebenarnya? Pertama, kamu
di jodohin sama perempuan itu tapi kamu menolaknya. Trus, dia kabur dari rumah
dan malah tinggal bersamamu. Dan sekarang, kamu bahkan bilang ke dia kalo kita
adalah pacar?”
David menarik nafas sesaat.
“Oke,maafkan aku, Nisa. Aku nggak
bermaksud melibatkanmu dalam hal ini...”
“Kamu jelas-jelas sudah melibatkanku,
Vid!” Annisa membentak hingga sempat membuat nyali David ciut.
“Berapa kali aku bilang, aku nggak mau
ikut campur dengan urusan keluargamu. Kamu nggak bisa memanfaatkan aku hanya
untuk membatalkan rencana pernikahan kalian,”
“Iya, aku tahu aku salah. Harusnya aku
nggak bohong dengan mengatakan bahwa kamu adalah pacarku. Tapi waktu itu aku nggak
punya pilihan. Aku butuh perlindungan, setidaknya dari rencana perjodohan
dengan Maya. Dan satu-satunya cara ya aku bilang aja ke dia kalo aku sudah
punya pacar,”
“Dan tanpa meminta pendapatku terlebih
dahulu?”
“Maafkan aku,”
Annisa kembali mendengus kesal.
“Aku nggak mau tahu. Yang jelas,
selesaikan urusan kalian tanpa melibatkanku,”Annisa beranjak. David melangkah
dan menarik tangannya dengan lembut.
“Aku janji aku akan menyelesaikannya
secepat mungkin. Tapi, kumohon kamu nggak cerita ke siapa-siapa kalo Maya
tinggal di apartemenku, oke?” David menatap perempuan itu penuh permohonan.
Annisa hanya melihatnya sekilas, lalu menarik tangannya dari genggaman David,
kemudian beranjak meninggalkan kantor tersebut tanpa mengatakan sepatah
katapun.
***
Bersambung .....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar