Kamis, 14 Mei 2015

The Royal Couple - Part 4



Bab 4

          David kaget ketika pagi itu, papanya datang ke apartemennya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Tapi ia bersyukur karena Maya sudah berangkat bekerja sejak beberapa menit yang lalu sehingga papanya tidak akan memergokinya di sini.
“Kenapa papa nggak ngasih tahu dulu kalo papa akan datang,” David sedikit mengomel. Papa David menatap putranya dengan heran.
“Sejak kapan aku harus memberitahu dulu jika aku ingin berkunjung ke sini?” ucapannya terdengar kesal.
“Aku ‘kan sibuk, Pa. Bagaimana kalo papa ke sini dan aku nggak ada?”
Papa David terkekeh. Ia melangkah menyusuri ruang tamu dan ruang tengah.
“Ada apa papa ke sini?” David mengekor di belakang papanya. Ia khawatir papanya akan bergerak ke arah kamar yang ditempati Maya, karena ia tahu, ada banyak barang perempuan di sana. Dan akan sanget merepotkan untuk menjelaskan pada papanya jika dia mengetahuinya.
“Bagaimana Maya? Kau sudah menemukannya?” papa David duduk di salah satu sofa di ruang tengah.
“Belum,”
“Belum? Kau berniat menemukannya atau enggak? Ini sudah berapa minggu?” papa David terdengar kesal.
“Maya bukan barang, Pa. Dia manusia yang bisa gerak kemana-mana. Dan mencari keberadaannya bukanlah hal mudah,”
“Papa nggak mau tahu itu, Vid. Kau harus bisa menemukannya dan juga menikahinya, secepatnya!”
David mendengus kesal. Ia benci adu argumen dengan papanya.
“Ambisi papa terlalu besar. Papa bahkan nggak peduli jika harus menjualku,”
“Bicara apa kau ini? Apa yang papa lakukan juga demi kamu, Vid.  Demi perusahaan yang kamu pimpin,”
“Termasuk memaksaku untuk menikah?”
“Papa ingin kamu bahagia. Percayalah, Maya adalah perempuan yang sangat baik dan sempurna. Dan papa sangat yakin bahwa hanya dialah perempuan yang akan membuatmu bahagia,”
David menggerutu dalam hati. Ya, papanya benar bahwa Maya adalah perempuan yang sangat baik dan sempurnya. Tapi kenyataan bahwa papanya ikut campur – lagi – membuat darahnya mendidih.
“Tunggu, apa aku melewatkan sesuatu di sini?” papa David bangkit dan menatap sekelilingnya dengan seksama.
“Melewatkan apa?”
“Apa kamu membawa teman wanitamu ke sini?”
David tak segera menjawab.
“Enggak, papa hanya menduga-duga,”
Papa David tertawa sinis. 
“jangan membohongi orang tua, Vid. Aku tahu dengan pasti bahwa kau membawa teman wanita di sini. Aku mencium aroma perempuan di sini,”
David merasakan pipinya bersemu merah. Ya, ia juga merasa apartemennya berbeda sejak Maya datang ke sini. Seperti yang papanya bilang, ada aroma perempuan di sini, di mana-mana. Maya mempunya aroma cologne yang khas, dan ia menyukainya.
“Siapa dia? Annisa-kah? Perempuan yang bekerja sebagai pelayan di restoran Billy itu ‘kan?”
David membelalak. Ia hanya tak menyangka bahwa papanya akan mengetahuinya.
“Darimana papa tahu tentang Annisa?”
“Aku bahkan tahu kalo kalian sudah lama berhubungan. Aku sengaja membiarkannya karena aku yakin kau hanya ingin bermain-main dengannya. Tapi aku tak menyangka kalo kau berani menolak Maya demi wanita seperti dia?”
David mengerutkan keningnya.
“Berhubungan dengan ...” kalimat David terhenti. Oh, adalagi orang yang salah paham mengenai kedekatannya dengan Annisa. Dan David tak berniat menjelaskannya.
“Apa Maya tahu tentang hubunganmu dengan perempuan itu sehingga ia menolak menikah denganmu?”
“Aku nggak tahu,” jawab David cepat. Papa David menatap putranya dengan lekat.
“Dengar, aku tak akan mempermasalahkan jika kamu hanya ingin main-main dengan Annisa. Tapi jika kau berniat menikahinya, aku tidak akan setuju sampai kapanpun. Hanya Maya perempuan yang ingin ku jadikan menantu, bukan yang lainnya. Dan jika kau tak segera membuat Maya menikahimu, maka jangan salahkan aku jika aku berbuat di luar batas,”
Papa David beranjak. David kembali mengekor dengan heran.
“Apa yang ingin papa lakukan?”
Langkah papa David terhenti sesaat. Ia berbalik dan menatap putranya kembali.
“Tinggalkan Annisa dan menikahlah dengan Maya. Jika tidak, aku akan memberi pelajaran pada perempuan miskin itu,”
David melotot dengan geram. Tapi ia tak bisa mengatakan apapun, bahkan sampai papanya beranjak meninggalkan apartemennya.

          David masih dalam keadaan sedikit melamun ketika mobilnya memasuki halaman kafe Billy, untuk mengantarkan Annisa. David masih merasa khawatir dengan keadaan perempuan manis yang baru pulang dari rumah sakit tersebut sehingga ia yang berinisiatif untuk mengantarkan dan juga menjemputnya ke tempat kerja. Tentunya, setelah melewati perdebatan panjang karena Annisa awalnya menolak.
“Kamu baik-baik aja ‘kan?” Annisa bertanya sebelum ia melangkahkan kakinya turun dari mobil David. David mengernyitkan dahinya.
“Baik, emang aku kenapa?”
“Kamu ngelamun terus. Ada masalah?”
“Ngelamun? Enggak-lah. Aku baik-baik aja kok. Udah, segeralah masuk ke dalam. Ntar aku jemput lagi,”
David meyakinkan perempuan tersebut. Annisa manggut-manggut dan segera turun dari mobil meski agak ragu.
“Hati-hati ya,” ia mengingatkan sebelum melangkahkan kakinya meninggalkan David dan mobilnya. David tersenyum dan mengangguk. Ia baru saja akan menjalankan mobilnya ketika tiba-tiba Billy keluar dari pintu masuk kafe dan segera berlari-lari ke arahnya.
“Mampirlah dulu ke ruanganku, ada yang mau ku omongin,” ucapnya dengan nafas terengah-engah. Mulanya David ragu, tapi akhirnya ia mengiyakan ajakan sahabatnya tersebut.

          “Aku menemukannya, Vid,” ucap Billy dengan mata berbinar-binar. David menatapnya sahabatnya tersebut dengan heran.
“Menemukan siapa?”
“Maya,”
David melotot.
“Aku tahu dimana dia sekarang,”
David merasakan dadanya berdegub dengan kencang.
“Kau tahu dia tinggal di mana?” ia bertanya dengan hati-hati.
“Oh, enggak. Maksudku, aku tahu dia kerja di mana?”
“Di mana?”
“Di panti sosial. Ia membantu merawat anak-anak terlantar. Oh, dia bener-bener  malaikat berhati mulia,”
“darimana kamu tahu dia kerja di sana,”
Billy terkekeh.
“Aku menyewa banyak orang untuk menemukannya,” jawab kemudian.
“Kamu gila, Bill,” David melongo.
“Well, demi cinta, Vid,” jawab Billy enteng.
“Kau tahu, aku bahkan bisa menemuinya dan mengobrol dengannya,” kedua bola mata lelaki jangkung itu berbinar-binar ceria.
“Oh ... ya?” David menggumam dengan ragu-ragu.
Billy kembali mengangguk dengan antusias.
“Dia cerita kalo dia perlu waktu untuk menyendiri dan mikirin banyak hal,”
“Apa dia bilang kalo sekarang dia tinggal dimana?”
“Sayangnya enggak, Vid. Dia bilang itu rahasia dia dan meminta padaku untuk menghormatinya. Dia tidak menolak kunjunganku asalkan aku nggak ikut campur terlalu jauh untuk mencari tahu dimana dia tinggal sekarang,”
David manggut-manggut.
“Itu nggak apa-apa. Toh yang penting aku bisa sering-sering mengunjunginya di tempat kerjanya. Ngomong-ngomong, kenapa tiba-tiba aja kamu tertarik untuk tahu dimana dia tinggal? Jangan bilang kalo kamu mulai berubah pikiran tentang perjodohanmu hingga kamu ingin menemukannya,”
David tertawa.
“Enggak, bukan begitu. Aku Cuma pengen tahu aja,” jawabnya, sedikit gugup.
“Kamu tahu, dia bener-bener wanita luar biasa, Vid. Aku melihatnya sendiri merawat anak-anak itu dengan sabar dan telaten. Dia menemani mereka maen, membuatkan makanan, merapikan tempat tidur mereka, ya ampun, dia cantik banget waktu itu,”
David tersenyum sinis. Aku bahkan sudah tahu lebih banyak dari itu! Ucapnya dalam hati dengan bangga.
“Aku bener-bener akan mengerahkan semua tenagaku untuk mendapatkannya karena ia memang pantas untuk itu. Well, dia memang sudah menolakku secara langsung, tapi aku yakin aku masih punya kesempatan,”
Bola mata David mengerjap kaget.
“Dia ... apa?”
“Dia cantik,” jawab Billy lesu, sebenarnya ia tahu maksud pertanyaan David, tapi ia sengaja menjawab ke hal lainnya.
“Bukan. Maksudku, dia ... menolakmu?” David tak menyerah untuk bertanya lagi.
Kedua bola mata Billy yang tadinya berbinar ceria semakin terlihat lesu.
Ia menarik nafas sesaat.
“Ini pertama kalinya aku ketemu wanita yang ceplas ceplos dan apa adanya seperti dia. Aku bahkan belum sempat mengutarakan niatku tapi dia langsung mengatakan hal itu padaku,”
“Mengatakan apa?”
Billy kembali tak segera menjawab.
“Dia bilang, dia menghormati perhatian dan kebaikanku. Tapi, bahkan jika ia harus pergi ke liang kubur, dia hanya bisa menganggap aku sebagai sahabat, dan nggak bisa lebih, selamanya,” lelaki tampan itu mengucap kata terakhir yang ia ucapkan dengan ejaan.
David terbahak. Entah kenapa, ia lega.
“Well, anggap aja itu hukum karma karena selama ini kamu suka mempermainkan cewek, dasar playboy,” ucapnya.
Billy meringis.
“Tapi aku serius dengannya, Vid. Aku sudah berniat tobat jika bisa mendapatkannya,”
“Maksudmu, jika kamu nggak bisa mendapatkannya, maka kamu akan kembali tebar pesona dan merayu semua perempuan di muka bumi ini”
Billy mengangkat bahu.
“Mm, mungkin saja,” jawabnya kemudian.
“Sialan kamu, Bill. Playboy tetap saja playboy. Maya membuat keputusan yang tepat karena ia nggak cocok sama kamu. Kamu tahu kenapa? Karena dia terlalu baik untukmu,” Akhirnya David mengatakannya.
Billy mengernyit.
“Jika kamu tahu dia cewek yang baik, kenapa kamu menolak menikah dengannya?”
“Itu karena ...” kalimat David terhenti. Ia sendiri juga bingung harus menjawab apa.
‘Oh, aku paham. Semua pasti karena Annisa. Kamu sangat mencintai cewek sederhana itu hingga kamu rela menolak seorang perempuan semacam Maya,” Billy membuat kesimpulan sendiri. Dan David hanya membiarkannya, seperti biasa.


          Setelah mengantarkan Annisa pulang, David sampai di apartemennya sekitar pukul 7 malam. Dan ia merasa kaget ketika mengetahui Maya sudah berada di sana. Ia sudah menyiapkan beraneka hidangan makan malam di meja makan dan sekarang ia sedang duduk santai di depan tv. Perempuan itu terlihat baru saja mandi. Wajahnya segar dan David mencium aroma bunga gardenia dari tubuhnya. Aroma yang beberapa minggu ini akrab di hidungnya dan ia menyukainya.
“Hai,” sapa David santai seraya bergerak ke kamarnya. Maya menoleh dan tersenyum.
“Oh, kamu sudah datang?,” perempuan itu bangkit dan bergerak mendekati David. David mempercepat langkahnya menuju kamarnya dan berharap Maya menghentikan langkahnya. Tidak, ia hanya tidak siap jika Maya mendatanginya dengan keadaannya yang begitu cantik, seperti ini.
Tapi do’anya tak terkabul. Maya malah mengikutinya ke kamar.
“Ngapain kamu ikut masuk ke kamarku?,” David mengomel.
“Aku mau cerita sesuatu,”
“Sekarang? Nggak bisa nanti?,”
“Sekarang,” jawab Maya cepat.
“Tapi aku mau ganti baju,”
“Ganti baju aja. Kamu bisa mendengar ceritaku sambil ganti baju,”
“Huh?”
“Aku nggak masalah, Dave. Aku sudah terlalu sering menyaksikan cowok telanjang ketika di Amerika, dan buatku itu nggak apa-apa. Tenang saja, aku nggak akan memperkosamu,” jawab Maya enteng.
What?” David menatapnya dengan kilatan amarah.
Maya hanya meringis. David mendesah. Astaga, ia lupa bahwa yang ia hadapi adalah Maya. Cewek paling keras kepala yang pernah ia temui.
“Oke, terserah kau sajalah,” lelaki itu meletakkan tas kerjanya ke meja dengan kasar lalu mulai melepas kancing jas-nya.
“Aku bertemu Billy, temanmu, yang punya usaha kafe tersebut,” Maya memulai ceritanya.
David manggut-manggut. “Terus?” ucapnya seraya melepas jasnya lalu menggantungnya dengan rapi.
“Bagaimana mungkin dia tahu tempat kerjaku? Kamu yang ngasih tahu dia?”
David tertawa lirih.
“Sori, tapi aku bukan orang kurang kerjaan yang mau repot-repot menggosip dengan teman pria. Dia tahu sendiri. Dia menyewa orang untuk mencari tahu tentang dirimu,” David menarik kaos dalamnya melewati kepalanya lalu menggantungnya di samping jasnya. Ia bertelanjang dada sekarang.
“Nah, itu dia. Tanpa harus ngomong sekalipun aku tahu kalo dia menyukaiku. Itu terlihat jelas di raut mukanya,”
Tadinya David berniat melepaskan celananya sekalian. Tapi ia mengurungkan niatnya. Ia berdiri tegak dan menatap Maya dengan dalam. Ia memutuskan untuk fokus mendengar cerita Maya. Entah kenapa, ia tak suka pembicaraan tentang Billy.
“Dan kamu? Apa kamu menyukainya?”
“Enggak, aku sudah menolaknya dan memperingatkannya untuk tidak mendekatiku lagi. Aku menerimanya sebagai teman, nggak bisa lebih,”
“Kenapa begitu?”
“Berkencan dengan playboy, nggak ada dalam kamusku,”
David mengernyit.
“Darimana kamu tahu dia playboy?”
Maya terkekeh.
“Itu tertulis dengan jelas di jidatnya. Aku bahkan sudah tahu sejak melihatnya. Matanya, ia menatap dengan beda. Khas lelaki yang suka merayu dan mengobral cinta. Ayolah, Dave. Aku bukan anak kecil yang bisa dibohongi dengan rayuan-rayuan gombal macam itu,”
David manggut-manggut. Cewek pintar, ia menggumam dalam hati.
“Well, berarti menolaknya adalah keputusan yang tepat, kukira,” ucapnya kemudian.
“Ini bukan masalah dia menyukaiku atau aku menolaknya. Masalahnya adalah, temanmu sudah tahu keberadaanku dan aku khawatir kalo dia akan cerita ke semua orang tentang keberadaanku. Bagaimana kalo dia mulai mencari tahu tentang tempat tinggalku? Ini akan jadi berbahaya buatku dan juga buatmu,”
David melipat kedua lengannya di dadanya. Ia terdiam, berpikir.
“Dia temanmu ‘kan? Bicaralah baik-baik dengannya dan buat dia menjauhiku. Jika enggak, atau aku masih menemui dia menguntitku, akan kutendang bokongnya,” Maya mengucapkan kalimat tersebut dengan serius. Tapi itu tak membuat David menghentikan tawanya.
 “Oke, aku akan bicara dengannya,” jawabnya lalu beranjak ke lemari pakaian dan mencoba mencari t-shirt tipis yang nyaman.
“oh iya, tumben kamu sudah pulang?” tanya lelaki itu disela-sela kegiatannya mengobrak-abrik isi lemarinya.
“Hari ini aku memang nggak kerja. Aku dapat shift malam. Jam 11 nanti aku baru berangkat,”
Jawaban Maya membuat gerakan David terhenti. Ia menoleh dan menatap ke arah Maya dengan tajam.
“What? Kenapa kau menatapku begitu? Ada yang aneh?” tanya Maya enteng menyadari tatapan David yang sedikit aneh.
“Kamu bilang shift malam? Dan jam sebelas 11 nanti kamu baru berangkat?”
Maya mengangguk.
“Dan kamu pasti berangkat ke tempat kerjamu sendirian ‘kan?”
Maya kembali mengangguk.
“Aku bisa naik kendaraan umum. Ada masalah?”
David mengatupkan giginya geram. Lelaki itu memutar tubuhnya hingga menghadap ke arah Maya.
“Di mana akal sehatmu, May. Kamu seorang perempuan, dan kamu lalu lalang di luar sana pada jam-jam berbahaya seperti itu?” suaranya sedikit tertahan, menahan amarah yang sebenarnya sudah hampir meledak.
“Berbahaya? Helloo, ini Indonesia, Dave. Amerika bahkan lebih berbahaya dan aku sudah terbiasa. Aku baik-baik saja ‘kan?,”
David meletakkan kaos yang tadi dipegannya dengan kesal ke tempat semula.
“Apa yang membuatmu begitu sombong hingga kamu punya nyali untuk keluar di tengah malam, hah?”
“Ada masalah? Kenapa kamu harus marah-marah kayak gini? Aku bisa menjaga diriku sendiri dengan baik. Kamu nggak perlu repot-repot mengkhawatirkanku,”
“Hanya karena kamu jago taekwondo?”
“Ya,”
“Sabuk hitam?”
“Ya,”
Dan berapa?” (Dan = tingkatan dalam sabuk hitam taekwondo, ada 9 tingkatan)
“Dua,” jawab Maya enteng.
David tertawa mengejek.
“Kamu baru Dan dua  tapi sombongnya selangit?”
Maya menatap David dengan kesal.
“Aku nggak sombong, tapi itu benar. Aku bahkan bisa membutmu terjungkal hanya dengan satu tendangan,” ucapnya.
David kembali tertawa sinis.
“Oke, lepas sweatermu dan kita duel,” ucap lelaki tersebut tanpa melepaskan pandangannya dari Maya.
Maya membelalak.
“Apa?”
“Kita duel. Jika kamu menang, kamu boleh berangkat. Jika aku yang menang, malam ini aku akan mengantarkanmu ke tempat kerja jika kamu dapat shift malam. Dan kamu, nggak berhak nolak,”
Maya menatap lelaki yang bertelanjang dada di hadapannya dengan penuh tanda tanya.
“Serius?”
“Banget,”
“Kamu cari masalah denganku, Dave,”
“Dan kamu adalah sumber masalah bagiku,”
Maya melotot, kesal.
“Apa maksudmu sumber masalah buatmu? Aku nggak pernah gangguin kehidupan pribadimu ‘kan?”
“Nggak pernah? Kedatanganmu ke kehidupanku sudah cukup mengacaukanku,”
“Kapan?”
“Setiap hari,”
“Kamu mulai berlebihan,” Maya mendesis.
“Well, kalo gitu, cepat lepas sweatermu,”
Maya mendengus kesal.
“Oke, kita duel,” Perempuan itu melepaskan sweaternya lalau melemparkannya ke lantai dengan kasar, sehingga tinggal tank top tipis yang membalut tubuhnya.
“Aku nggak pernah maen-maen, Dave. Bersiaplah babak belur dan semoga kau menyesal berhadapan denganku,” Maya memasang kuda-kuda. David kembali tertawa mengejek.
“Dan aku juga nggak pernah maen-maen dalam hal ini. Jangan pikir aku nggak berani menghajarmu meskipun kau perempuan,” lelaki itu merentangkan kakinya dan melakukan hal yang sama dengan Maya.
Dan dalam hitungan detik, keduanya saling serang, saling tendang, dan mencoba saling membanting.
Maya tak mengira bahwa bertarung dengan David akan sesulit ini. Ia bahkan nyaris tak bisa menyentuh lelaki tersebut. Tendangannya meleset. Setiap pukulan ia lesatkan selalu dapat di tangkis dengan mudah oleh David. Alih-alih membanting lelaki tersebut, Maya malah berakhir di atas tempat tidur. David membantingnya! Ia bahkan belum sempat berpikir jernih ketika tiba-tiba David menindih tubuhnya, menekan kakinya dengan kakinya yang panjang, lalu menarik kedua lengan tangannya kemudian menekannya ke belakang punggung Maya. Pergerakannya terkunci! Perempuan itu tak bisa bergerak di bawah tekanan David!
Keduanya saling pandang. Nafas mereka terengah-engah.
“Menyerah?” tanya David penuh kemenangan. Maya mendengus kesal.
Not at all,” jawabnya. Ia berusaha bergerak, tapi gagal. David menindih tubuhnya dengan tepat hingga perempuan itu tak berkutik.
“Menyerah?” David kembali bertanya dengan tatapan jahil. Maya tak segera menjawab. Tapi akhirnya ia mengakui bahwa David menang.
“Bagaimana kamu...”
David tersenyum.
“Aku nggak ingin pamer. Tapi aku dua tingkat di atasmu. Taekwondo sabuk hitam, Dan empat,” jawabnya kemudian, disertai cengiran nakal.
Maya tersentak. Dan empat!? Itu hampir sama dengan atlet profesional!
Oh shit,” ia menggerutu. David tertawa penuh kemenangan.
So, surrender?”
Maya menggigit bibir bawahnya sebal sebelum menjawab.
“Oke, kamu menang. Puas? Sekarang, menyingkirlah dari atas tubuhku,” ia setengah membentak. David tak bergerak. Keduanya berpandangan. Tatapan mereka saling terkunci satu sama lain selama beberapa saat.
Dan, ciuman itu terjadi. Begitu cepat, begitu ringan.
Maya membelalak. Ia tak menyangka bahwa David akan mencium bibirnya.
Ia menatap David dengan bingung, bibirnya setengah terkatub. David pun melakukan hal sama. Tatapan matanya tak terbaca.
Dan bukannya beranjak, lelaki itu malah menunduk lalu kembali mencium bibir Maya dengan lebih lembut dan perlahan.
Kedua mata Maya mengerjap, tapi akhirnya, ia membalas ciuman tersebut.

          Ada kecanggungan luar biasa sejak peristiwa ciuman tersebut. Keduanya tak lagi sering mengobrol. Mereka hanya sekedar mengucap salam lalu ngeloyor begitu saja, manakala mereka berpapasan tak sengaja di ruang tamu, ataupun di ruang makan. Mereka berpikir bahwa itu adalah kekhilafan orang dewasa. Dan itu bisa menimpa  siapa saja dalam situasi seperti itu. Tapi, tetap saja situasi terasa tak nyaman. Hingga akhirnya, David tak betah lagi. Ia memutuskan untuk membahasnya dengan Maya, malam itu ketika mereka selesai pulang kerja.
“Maafkan aku, aku khilaf hingga menciummu terlebih dahulu,” David membuka suara. Maya terdiam sesaat. Ia memang terdengar tidak adil. Lelaki di hadapannya itu punya pacar, tapi ia mencium dirinya? Dilihat dari segi manapun, ia bersalah. Tapi, bukankah ia juga membalas ciuman tersebut. Ia bahkan tak menolaknya. Jadi, ia juga bersalah dalam hal ini.
“Aku juga minta maaf, aku salah. Tak seharusnya aku mencium cowok yang sudah punya kekasih. Astaga, aku pasti cewek yang jahat banget. Aku jadi ngerasa bersalah dengan pacarmu,” Maya menggumam tanpa sadar. Ia mengernyit heran, tunggu! David ‘kan udah bilang kalo dia yang mencium duluan? So, kenapa dia mesti minta maaf?
David menatapnya dengan bingung dan Maya hanya mampu mengacak-acak rambutnya sendiri dengan gemas. Ah, tetap aja ia salah karena lelaki yang ada dihadapannya ini sudah punya kekasih!
“Udah deh, Dave. Anggap saja itu kekhilafan orang dewasa. Aku juga minta maaf karena aku juga membuat situasimu nggak nyaman. Jangan dibahas dan semoga ini juga nggak terulang lagi,” lanjut Maya. Keduanya berpandangan.
“Jika aku berusaha menciummu lagi, patahkan saja tanganku,” ucap David. Maya tergelak. Dan situasi mulai kembali cair, seperti sedia kala.
“Itu nggak mungkin. Kamu dua tingkat di atasku, jadi aku nggak mungkin ngalahin kamu,” jawab Maya. David tersenyum dan manggut-manggut.
“Kalo gitu, jangan ada duel lagi,”
Maya ikut mengangguk tanda setuju.
Yup, no more duel,” jawabnya. Keduanya tersenyum.
“Oke, apa makan malam kita hari ini?” pertanyaan David membuat situasi kembali normal dan nyaman.
“Kesukaanmu, sphagetti,” jawab Maya seraya tersenyum.
“Wah, pasti lezat. Tapi bagaimana kamu tahu kalo aku suka makanan itu?”
“’Kan aku udah bilang, papaku pernah ngasih catatan tentang dirimu. Temasuk tentang makanan dan minuman favoritmu,”
David membelalak.
“Sampek segitunya?”
Maya mengangguk.
“Apa papamu sangat menyukaiku untuk dijadikan menantunya hingga ia harus kayak gini?”
Maya terkekeh.
“Sayangnya iya. Ah sudahlah, jangan ngomongin itu lagi. Kita makan,”
Keduanya melangkah menuju ruang makan.

***

          David menyambut kedatangan lelaki setengah baya itu dengan sopan.
“Maaf karena aku datang tanpa memberitahumu terlebih dahulu. Aku nggak mengganggu ‘kan?” Papa Maya menyapa ramah khas dengan pembawaannya yang bijak. David tersenyum seraya menyilakan lelaki itu duduk sementara ia duduk di kursi yang ada di seberangnya.
“Enggak kok, Om. Om nggak mengganggu sama sekali,” ia menjawab.
‘Kamu pasti terkejut karena aku datang tiba-tiba,”
David terdiam sesaat.
“Apakah ada hal penting, Om?”
Lelaki itu manggut-manggut.
‘Ya, ini berkaitan dengan Maya,”
Ia berdehem sesaat sebelum memulai berkata lagi.
“Kamu pasti tahu dengan apa yang telah menimpanya. Mempelai wanitamu itu kabur entah kemana dan aku belum bisa menemukannya sampai detik ini,”
David hanya mengangkat bahu seraya menyeringai.
“Ya, aku sudah mendengarnya, Om. Kurasa itu wajar pada orang yang hendak dijodohkan. Lagipula, Maya masih muda. Dan saya yakin sekali jiwa pemberontaknya masih besar,”
Papa Maya menatap David dengan lekat.
“Kamu benar nak David. Mungkin kamu memang belum terlalu mengenal Maya. Tapi, begitulah dia tabiatnya. Ia sangat keras kepala dan semaunya. Om masih ingat kalo Om pernah mengurungnya di dalam kamar selama beberapa bulan karena ia nekat melakukan sesuatu yang Om nggak suka. Oh, astaga, om nggak tahu ia mendapat jiwa pemberontak itu darimana. Tapi, yang jelas, Om sangat menyesal dengan perilakunya. Om ke sini untuk meminta maaf secara langsung padamu atas apa yang ia lakukan padamu, dan juga pada keluargamu. Hari pernikahan kalian sudah dekat, tapi ia masih tak mau menampakkan batang hidungnya,” lelaki itu meminta maaf dengan tulus hingga membuat David tak enak hati.
“Maafkan kelakuan putri om, nak David. Om benar-benar minta maaf,”
David merasakan hatinya ditusuk-tusuk. Astaga, ia benar-benar merasa jahat. Penolakan perjodohan itu sebenarnya datang dari dirinya. Ini bukan salah Maya, bukan pula salah pak Yohanes Anthony. Ini salahnya, ini salah papanya yang terlalu ambisius. 
“Papamu dan Om adalah teman dekat sejak kami masih kuliah. Sebenarnya ide pertunganan ini datang dari om. Karena jujur, Om sangat menyukaimu. Aku pernah beberapa kali melihatmu memberikan pidato pada beberapa acara. Dan Om benar-benar kagum padamu. Kamu sosok yang masih muda, ulet, pekerja keras dan sukses. Dan om benar-benar yakin hanya kamulah lelaki yang cocok mendampingi Maya. Bukan yang lainnya. Om yakin kamu bisa mengalahkan kelakuan Maya yang seenak perutnya dan keras kepala. Tapi entahlah, om nggak nyangka kalo Maya akan kabur seperti ini,” lelaki itu nampak sedih. Dan David kembali merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Ia merasa bersalah.
“Saya akan terus berusaha mencarinya, Om. Dan saya pastikan, saya akan kembali mengajaknya bicara dari hati ke hati untuk menentukan masa depan kami. Tapi jika Maya tetap menolak denganku, kuharap om mau mengerti pilihannya,”
Om Yohanes mendesah sedih.
“Oh, maafkan aku nak David. Ini benar-benar di luar rencana,”
David menggeleng lembut.
“Masalah Maya, biar saya dan Maya sendiri yang menyelesaikannya Om. Percayalah,ini bukan salah siapa-siapa. Apapun yang terjadi, apakah kami menikah atau enggak, itulah yang terbaik. Om jangan terlalu memikirkannya. Jagalah kesehatan om, itu yang terpenting,”
Papa Maya tersenyum. Ia menatap David dengan tatapan putus asa.
“Dan Om akan tetap bedoa agar kamu jadi menantu Om. Menantu kebanggaanku,”ucapnya lagi. David tersenyum kaku. Bayangan Maya melintas di kepalanya.
“Baiklah, kalo begitu Om pamit dulu.  Sampaikan salamku pada papamu. Om ingin menemuinya secara langsung. Tapi om masih merasa malu bertemu dengannya jika Maya belum ketemu,” pak Yohanes bangkit. Ia menepuk-nepuk pundah David dengan lembut sebelum melangkah meninggalkan kantor tersebut. Dan David mengantar kepergiannya dengan perasaan campur aduk.
Belum lama pak Yohanes Anthony pergi, David dikagetkan dengan kedatangan Annisa. Ia menatap perempuan manis tersebut dengan heran.
“Tumben kesini? Ada apa? Bukankah seharusnya kamu kerja?” ia menyapa duluan. Annisa tak segera menjawab. Raut mukanya tampak kesal.
“Permainan apa yang sedang kamu mainkan?” ia bertanya tanpa duduk di kursi yang ada di hadapan meja David.
David bangkit lalu melangkah memutari meja kerjanya dan mendekati Annisa.
“Permainan apa?” ia bertanya dengan heran.
“Kemarin mbak Maya menemuiku,”
David menyipitkan matanya.
“Maya?”
“Ya, perempuan yang mau dijodohin sama kamu itu,”
“Dan...?”
“Dia meminta maaf secara langsung padaku karena selama ini ia tinggal di apartemennmu. Dia meminta pengertianku agar aku nggak ngerasa cemburu ataupun salah paham pada kalian. ia memastikan bahwa ia terpaksa tinggal bersamamu dan ia juga memastikan bahwa ia takkan lama berada di sana. Astaga, apa pentingnya ia cerita ini ke aku? Dan ... ia menyebut bahwa kau adalah pacarku?” Annisa menatap David dengan sebal. David belum pernah melihat tatapan kesal seperti ini pada Annisa.
Lelaki itu sempat membelalak.
“Dia cerita hal itu ke kamu?” ia memastikan. Dan Annisa kembali mengangguk tegas.
“Ada apa sih sebenarnya? Pertama, kamu di jodohin sama perempuan itu tapi kamu menolaknya. Trus, dia kabur dari rumah dan malah tinggal bersamamu. Dan sekarang, kamu bahkan bilang ke dia kalo kita adalah pacar?”
David menarik nafas sesaat.
“Oke,maafkan aku, Nisa. Aku nggak bermaksud melibatkanmu dalam hal ini...”
“Kamu jelas-jelas sudah melibatkanku, Vid!” Annisa membentak hingga sempat membuat nyali David ciut.
“Berapa kali aku bilang, aku nggak mau ikut campur dengan urusan keluargamu. Kamu nggak bisa memanfaatkan aku hanya untuk membatalkan rencana pernikahan kalian,”
“Iya, aku tahu aku salah. Harusnya aku nggak bohong dengan mengatakan bahwa kamu adalah pacarku. Tapi waktu itu aku nggak punya pilihan. Aku butuh perlindungan, setidaknya dari rencana perjodohan dengan Maya. Dan satu-satunya cara ya aku bilang aja ke dia kalo aku sudah punya pacar,”
“Dan tanpa meminta pendapatku terlebih dahulu?”
“Maafkan aku,”
Annisa kembali mendengus kesal.
“Aku nggak mau tahu. Yang jelas, selesaikan urusan kalian tanpa melibatkanku,”Annisa beranjak. David melangkah dan menarik tangannya dengan lembut.
“Aku janji aku akan menyelesaikannya secepat mungkin. Tapi, kumohon kamu nggak cerita ke siapa-siapa kalo Maya tinggal di apartemenku, oke?” David menatap perempuan itu penuh permohonan. Annisa hanya melihatnya sekilas, lalu menarik tangannya dari genggaman David, kemudian beranjak meninggalkan kantor tersebut tanpa mengatakan sepatah katapun.

***

Bersambung .....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar