Bab 3
Sulit.
Itu yang terpikir oleh David. Ia benar-benar tak menyangka bahwa hidup serumah
dengan Maya ternyata tak semudah seperti yang ia duga. Nyaris setiap hari ia
dibuat sport jantung oleh cewek cantik tersebut. Bukan karena dia melakukan
hal-hal aneh padanya. Tapi, terlalu banyak kejutan yang ia temukan pada
perempuan berkaki indah tersebut. Ia mengepel, menyapu, mencuci baju,
bersih-bersih, ia ahli melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Ia bahkan pandai
memasak. Dan masakannya ternyata luar biasa enak.
“Apa kamu melakukan semua ini untuk
menarik simpatiku? Agar aku nggak menendangmu keluar dari apartemenku?” tanya
David sinis ketika pagi itu ia menemukan Maya telah bermandikan peluh karena
selesai mengepel.
Maya menatap lelaki itu, heran.
“Enggak, ini hanya pekerjaan rumah
biasa. Apa mamamu dan juga pacarmu nggak pernah melakukan pekerjaan seperti
ini?” ia bertanya tanpa nada tersinggung. David tak segera menjawab. Ia hanya
ngeloyor begitu saja dan masuk ke kamarnya. Tentu aneh melihat Maya mengepel
lantai. Dia seorang tuan putri, pewaris tunggal sebuah kerajaan bisnis, dan
mengepel lantai benar-benar aneh untuknya. Toh ia bisa membayar orang untuk
melakukannya. David benar-benar tak mengerti dengannya.
“Aku ingin belanja, kau ingin dimasakkan
apa?” suara Maya terdengar dari luar kamarnya. David menatap bayangannya di
cermin. Tiba-tiba ia tersenyum geli. Astaga,
aku seperti lelaki yang sudah menikah? Rutuknya dalam hati.
“Apa aja deh,” jawabnya kemudian.
Dan begitulah akhirnya, sejak Maya ada
di apartemennya, ia nyaris selalu makan di rumah. Karena tanpa ia minta
sekalipun, Maya selalu memasak. Untuk mereka berdua. David pernah menegurnya
untuk tidak memasak lagi. Toh selama ini ia punya juru masak sendiri. Tapi Maya
selalu mengatakan bahwa ia biasa memasak sendiri. Dan sekali lagi, kemampuan
memasaknya memang tak bisa diragukan lagi.
Begitu pula dengan pagi itu, ketika ia
membuka mata, ia mencium aroma masakan dari dapur. Dan seperti biasa, begitu ia
ke sana, Maya sudah menyiapkan makan pagi. Ia tetap saja memakai baju
favoritnya. Pants super pendek dan kaos tipis tanpa lengan. Hanya saja ia
selalu menambahkan apron ketika memasak.
“hai,” ia menyapa, dengan senyum khasnya
yang hangat.
“Masak apa kamu hari ini?” David
berbasa-basi.
“Seperti yang kamu lihat. Hari ini
menunya adalah Chinesse food,” jawab Maya bangga.
“tuh, kopimu di sana,” ia menunjuk ke
arah secangkir kopi yang ada di meja makan.
David sempat tertegun sesaat sebelum
meraih cangkir kopi tersebut dan menyeruputnya dengan perlahan. Dan tanpa
sadar, sembari menikmati kopinya, ia menatap lekat ke arah Maya yang tengah
melepas apronnya lalu melipatnya dengan rapi.
“Wah,kita seperti suami istri ya,”
kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Maya hingga membuat David nyaris
tersedak.
“Are you okay?” Maya bertanya. David
terbatuk-batuk lalu menggeleng.
“Kenapa kita nggak pura-pura jadi suami
istri aja agar orang tua kita nggak kena serangan jantung,” Maya menambahkan.
David mendelik mendengar kalimat itu.
“Enggak, aku nggak suka cerita klise
kayak gitu,” jawabnya cepat. Maya mengangkat bahu.
“Aku ‘kan hanya sekedar ngasih saran,”
ucapnya.
“Mm, aku ingin keluar sebentar,” Maya
melanjutkan.
“Menemui papamu?”
“Enggaklah. Susah-susah aku numpang di
rumahmu, untuk apa harus bunuh diri dengan menemui papaku,”
“Lantas? Untuk apa kamu keluar? Kamu
nggak takut papamu bisa menemukanmu?”
“Aku pasti hati-hati. Aku ingin cari
kerjaan,”
David melongo. Tak habis pikir dengan
jalan pikiran Maya.
“Kerja. Kamu punya bisnis sendiri dan
kamu pengen cari kerja? Kamu sebenarnya waras nggak sih, May?”
Maya melotot kesal.
“Cukup, kau sudah cukup merendahkan
kredibilitasku sebagai manusia. Sampai kapan kamu akan merasa heran dengan
semua yang aku lakukan. Dave, aku manusia biasa. Dan aku melukakan hal-hal yang
sudah sepantasnya dilakukan manusia. Membersihkan rumah, memasak, mencari
pekerjaan, apa sih anehnya?”
“Iya, aneh. Karena menurutku, nggak
pantes aja,”
Maya menatap lelaki di hadapannya dengan
heran.
“Sekali lagi, aku manusia biasa. Dan aku
pantas melakukan hal-hal yang memang sepantasnya dilakukan oleh manusia,” Maya
beranjak meninggalkan David di ruang makan sendirian.
***
Dan
sport jantung David tak berhenti sampai disitu saja. Malamnya, ketika ia sampai
di apartemennya, ia melongo ketika menemukan Maya tengah berlari-lari di atas
treadmill dengan hanya mengenakan undershirt tipis dan pants pendek – lebih
pendek daripada biasanya, hingga lekuk tubuhnya lebih jelas terlihat. Dan tentu
saja David leluasa menikmati kaki jenjangnya yang benar-benar indah. Lelaki itu
sempat menahan nafas sejenak.
Sial,
dia benar-benar seksi! David menggerutu dalam hati.
“Siapa yang memberimu ijin untuk
menggunakan peralatan fitnesku?” tanya lelaki itu ketus. Maya menoleh. Peluh
membanjiri seluruh tubuhnya dan David kembali menggerutu dalam hati.
Perempuan itu tersenyum seraya menghentikan laju
treadmillnya dengan perlahan.
“Kau sudah pulang?” ia turun dan
beranjak mendekati David. Lelaki itu mundur beberapa langkah hingga membuat
Maya mengernyit heran.
“Oh, apa aku bau keringat? Sori,”
tanyanya seraya menghentikan langkahnya. David tak menjawab.
Bukan.
Bukan karena kau bau keringat. Tapi karena kau terlihat ... cantik dan ...
super seksi. Dan aku takut imanku tak kuat! Lelaki itu berteriak dalam hati.
“Maaf karena aku nggak ijin. Tapi aku
bener-bener nggak bisa menahan godaanku untuk fitnes ketika melihat peralatan
fitnesmu,” Maya meraih handuk lalu menghapus keringat di wajah dan lehernya.
“Orang gila mana yang punya kebiasaan
olah raga dijam-jam begini?” David protes.
“Aku biasa olahraga di jam-jam segini,”
jawab Maya enteng.
“Dan dengan baju seperti ini?” David
menatap Maya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Maya balas menatapnya heran.
“Lantas aku harus pake apa? Jubah?
Kaftan? Kebaya? Ayolah Dave, ini baju olahraga. Kamu mau protes apa lagi?”
“Iya, May. Tapi kau tinggal bersamaku.
Maksudku, bajumu terlalu vulgar dan aku adalah lelaki normal. Itu sama saja
memberikan kesempatan padaku untuk bertindak kriminal padamu. Bagaimana jika
...” Ia menelan ludah. “Bagaimana jika ... setan menggodaku dan aku tak bisa
mengendalikan diri hingga___” kalimatnya terhenti. Ia bingung harus bilang apa
lagi.
“Memperkosaku maksudmu?” ceplos Maya.
“Well, aku nggak bermaksud bilang gitu.
Tapi___”
Maya tergelak.
“Itu nggak mungkin, Dave. Kamu nggak
mungkin melakukannya,”
David menaikkan alisnya.
“Kenapa nggak mungkin?”
“Karena aku percaya kamu lelaki yang
baik, dan aku yakin akan hal itu. Lagipula, kau sudah punya pacar dan
jelas-jelas kamu nggak tertarik padaku. Selain itu, aku punya kemampuan bela
diri. Jika kamu berani macam-macam, aku akan menendangmu,” Maya beranjak. David
hanya mampu menatap kepergiannya sambil melongo.
David
memasuki ruang kerja Billy dengan gontai. Teman dekatnya itu tampak duduk
malas-malasan di kursinya dengan wajah tak bersemangat.
David duduk di kursi yang berada di
seberang mejanya dan mendesah pelan. Rupanya ia juga mendengar Billy melakukan
hal yang sama. Mereka bertatapan, heran.
“What?
Apa hari ini adalah hari paling galau sedunia hingga kau nampak tak bersemangat
gitu?” David bertanya heran. Billy mencibir.
“Kamu juga ngalamin hal yang sama ‘kan?”
ia membalas.
“Ada apa sih, Bill? Kau nampak suntuk?”
“Oh, sama, Vid. Kamu juga nampak suntuk,”
David terkekeh mendengar kalimat Billy.
“Ada apa sih?” David kembali bertanya.
“Ini soal Maya, Vid. Ini sudah hampir
seminggu dan nggak ada kabar apapun dari perempuan itu. Aku khawatir,”
David nyaris tertawa. Ah, jika Billy
tahu Maya ada di rumahnya, ia pasti akan membunuhnya.
“Aku sudah menyuruh orang untuk mencari
tahu tentang dia, tapi hasilnya nihil. Dia nggak bisa di temukan, Vid,”
David tak bersuara.
“Apa mungkin dia balik ke Amerika?”
“Mungkin saja,” jawab David cepat.
“Ah, ini nyebelin banget. Dia perempuan
yang sempurna dan aku benar-benar nggak bisa menarik perhatiannya. Oh, aku apes
dalam hal ini,”
David tertawa lirih.
“Sudahlah, Bill. Berhentilah
ngejar-ngejar dia. Perempuan semacam dia nggak cocok buat kamu. Carilah
perempuan lain yang bisa kau takhlukan,”
Billy
mendelik.
“Nggak cocok gimana. Aku ganteng,
mandiri dan kaya. Jika dibandingin sama keluarganya dia, aku termasuk lumayan.
Aku nggak miskin. Dan kelak, selain mempunyai usaha sendiri, aku juga akan
mewarisi perusahaan ayahku. Jadi apa salahnya?”
Karena
Maya terlalu baik untuk lelaki playboy macam kamu! David nyaris
meneriakkan kalimat itu. Tapi ia urung
melakkannya.
“Ah, terserah deh. Silahkan meratapi
nasibmu sendiri. Aku mau jemput Annisa,” David bangkit.
“Annisa? Dia ‘kan belum masuk,” ucap
Billy. David menatap sahabatnya dengan heran. Sorot matanya mengisyaratkan
tanda tanya.
“What?
Jadi kamu nggak tahu kalo Annisa sakit?”
“Sakit? Enggak, aku nggak tahu,”
Billy melotot.
“Annisa sakit, Vid. Sudah 2 hari ini dia
di opname di rumah sakit, kena DB,”
David membelalak.
“Serius?”
Billy mengangguk.
“Jadi kamu bener-bener nggak tahu?
Astaga,” nada suara lelaki itu terdengar kesal.
“Di rumah sakit mana?”
“Medica Center,”
Tanpa banyak kata, David segera
beranjak. Ia masih sempat mendengar Billy meneriakkan sesuatu, tapi ia tak
menggubris.
Annisa dirawat
di bangsal kelas 3. Ketika David sampai di sana, perempuan cantik itu tengah
tertidur. Ibunya setia menemaninya di sampingnya sambil sesekali mengipasinya
dengan kipas kertas.
“Bagaimana keadaannya bu?” tanya David.
“Oh, nak David? Annisa sudah baikan
kok,” perempuan setengah baya itu bangkit dari tempat duduknya untuk menyapa
David dengan ramah. Mereka memang sudah saling mengenal dengan baik karena
David memang sering berkunjung ke rumah Annisa.
“Kenapa saya nggak dikasih tahu bu?”
tanya David.
“Tadinya saya pengen ngasih tahu nak
David, tapi___”
“Aku nggak apa-apa kok. Sudah baikan.
Mungkin lusa sudah boleh pulang,” tak disangka, Annisa membuka mata dan
mengucapkan kalimat yang bertujuan untuk membuat David lebih tenang. David
segera duduk di samping perempuan tersebut.
“Gimana keadaanmu?” ia bertanya dengan
lembut dan penuh perhatian.
“Sudah membaik. Aku hanya kena DB, belum
parah banget kok,” Annisa tersenyum.
“Syukurlah. Maaf kalo aku baru tahu,”
“Nggak apa-apa, aku emang sengaja nggak
ngasih tahu kamu biar kamu nggak khawatir,”
David menatap sekelilingnya. Ruangan itu
di isi oleh 8 orang pasien. Setiap ranjang hanya di sekat oleh tirai tipis yang
bisa ditarik dan digeser.
“Aku akan minta pada suster untuk
memindahkanmu ke ruang VIP,” David bangkit.
“Nggak usah, Vid. Aku nyaman kok di
sini,” Annisa berniat mencegah.
“Ya, tapi kamu akan lebih nyaman berada
di sana. Kamu perlu istirahat total. Jangan khawatir, aku yang akan menanggung
biayanya,”
“Tapi___”
Teriakan Annisa serasa tak berguna
karena David tak menggubrisnya sama sekali. Ia tetap saja beranjak menemui
kepala ruangan untuk meminta agar Annisa segera di pindahkan ke ruang VIP. Dan akhirnya, meskipun dengan penolakan
Annisa, ia tetap saja dipindahkan ke ruangan yang diminta David. Ya, harusnya
Annisa paham jika David akan tetap melakukannya meski ia menolaknya setengah
mati. Sama halnya ketika ia membelikannya sesuatu, ia juga akan memaksa sampai
mati hingga Annisa mau menerimnya meski dengan tidak enak hati.
“Terima kasih nak, David. Tapi, tidakkah
ruangan ini terlalu mahal?” ibu Annisa melihat sekelilingnya dengan takjub.
Sebuah ruang yang begitu besar hanya untuk seorang pasien.
“Nggak apa-apa kok bu, Annisa butuh
istirahat. Ibu tidur aja. Biar saya yang ganti menjaga Annisa,” ucap David
seraya kembali duduk di samping Annisa.
“Vid?” perempuan itu kembali ingin
protes,tapi David keburu meletakkan jari telunjuknya ke bibirnya sendiri
sebagai pertanda bahwa ia tak mau dibantah lagi. Akhirnya, Annisa mengalah.
Begitu juga ibu Annisa. Perempuan sederhana itu berbaring di sofa untuk
beristirahat dan Davidlah yang menjaga Annisa sampai perempuan itu tertidur.
Dan, David pun ketiduran.
Ketika lelaki tampan itu terjaga dari
tidurnya, ia menyaksikan Annisa tetap tertidur pulas. Jam di dinding
menunjukkan pukul 2 dini hari. Ia bangkit perlahan, tapi gerakannya tetap saja
membuat ibunda Annisa terjaga.
“Aku harus pulang dulu, bu. Besok aku
akan ke sini lagi,” ucap David pelan seraya berpamitan pada ibunda Annisa yang
sudah duduk di sofa. Ibunda Annisa tersenyum seraya mengangguk.
“Terima kasih nak David,” ucapnya. David
hanya tersenyum dan mengangguk seraya melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan
tersebut.
Masih
dengan mata mengantuk, David melangkah dengan sedikit gontai menuju
apartemennya setelah terlebih memarkir mobilnya. Sesekali ia menguap.
Namun, kantuknya segera menghilang
ketika ia menyaksikan sesosok tubuh tengah duduk di lantai. Punggungnya
tersandar pada pintu apartemennya. Kedua lututnya ditekuk untuk menopang kedua
tangannya. Sementara wajahnya ia benamkan ke dalam tumpukan lengannya.
David mempercepat langkahnya dan
menyentuh pundak perempuan tersebut dengan lembut.
“May,” panggilnya lembut, dua kali. Maya
mendongak, kedua matanya menyipit menatap ke arah David.
“Oh, kamu udah pulang?” ia bangkit
dengan perlahan. Ia membersihkan bagian belakang celana jeansnya.
“Untuk apa kamu duduk di sini? Ini jam 2
pagi,”
“Nungguin kamu,”
“What?”
“What?”
“Aku pengen masuk. Tapi aku nggak punya
kunci apartemenmu,” jawab Maya seraya menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke
kanan karena lehernya terasa pegal. David terhenyak.
“Kenapa kamu nggak nelpon aku?” ucapnya
kesal.
“Aku nggak punya nomor hape-mu,”
David kembali terhenyak. Astaga, ia
lupa. Ia lupa memberikan kunci duplikat apartemennya pada Maya, ia juga lupa
mencatat nomor hape perempuan itu, padahal mereka sudah tinggal bersama selama
hampir satu minggu!
“Sejak kapan kamu duduk disitu?”
“Sejak jam sebelas,” jawab Maya enteng.
“Sejak jam sebelas,” jawab Maya enteng.
David merasakan darahnya mendidih. Ia
ingin marah, tapi entah marah pada siapa? Yang jelas Maya tak bersalah dalam
hal ini.
Dengan kasar lelaki itu membuka pintu
apartemennya.
“Kamu ini bodoh atau apa? Bagaimana
mungkin kamu duduk di sana segitu lamanya tanpa melakukan apa-apa? Menungguku,
itu tolol. Bagaimana jika aku pulang pagi? Apa kamu akan tidur di luar sana?
Kenapa kamu nggak mencoba cari hotel terdekat?”
“Aku ‘kan harus menghemat uangku.
Bisnisku lagi nggak bagus, aku nggak punya banyak uang,” jawab Maya lagi. Mulut
David seketika terkunci. Luapan kemarahannya seakan menghilang entah kemana. Ia
sempat menatap perempuan itu dengan iba.
“Aku tidur dulu,” perempuan itu beranjak
meninggalkan David yang mematung, menuju kamarnya.
David pun segera melangkahkan kakinya
menuju kamarnya sendiri. Ia melepaskan bajunya lalu melemparkannya ke atas
ranjang dengan kasar, lalu segera mengenakan t-shirt tipis dan celana pendek.
Ia sempat menatap bayangannya di cermin.
Kamu
brengsek. Kamu nggak tahu kalo Annisa sakit, dan sekarang, kamu nyaris
membiarkan Maya tertidur di luar rumahmu? Oh, kamu bener-bener brengsek, Vid...
Lelaki itu menggerutu kesal dalam hati.
Ya, ia marah pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba pintu
kamarnya terbuka dan Maya masuk tanpa mengetuk pintu ataupun mengucap permisi.
“Ketuk pintu dong,” David mengomel.
“Ups, sori. Tapi aku buru-buru. Kamu
punya obat sakit kepala? Biasanya aku juga punya persediaan sendiri. Tapi
kayaknya punyaku habis,” ucapnya. David menatap perempuan cantik di hadapannya dengan lekat. Raut mukanya
tampak sedikit pucat. Reflek ia melangkah mendekatinya lalu meletakkan telapak
tangannya ke atas keningnya dengan lembut.
“Apa kamu juga sakit?” ia bertanya.
“Enggak, hanya sedikit pusing aja. Apa
maksudmu ‘juga’? Emang siapa yang sakit?”
David menarik tangannya, tak segera menjawab.
David menarik tangannya, tak segera menjawab.
“Mm, dia opname di rumah sakit, kena
DB,” jawabnya kemudian.
“Pacarmu?”
David mengangguk dengan ragu-ragu.
“Astaga, lantas kenapa kamu ada di sini?
Kamu nggak nungguin dia di rumah sakit?” kalimat yang tak David duga itu
meluncur dari mulut Maya.
“Udah, tadi aku juga dari sana. Besok
aku kesana lagi,” jawabnya.
‘Oh, maaf. Aku nggak tahu soal itu. Oke,
kalo gitu, segeralah istirahat agar besok kau bisa menjaganya lagi. Obatnya,
ada?”
David berbalik lalu menarik laci meja
yang berada tak jauh darinya kemudian mengeluarkan sebuah botol berisi obat
pereda nyeri. “Hanya ini yang kupunya,” ucapnya seraya menyodorkan botol
tersebut ke arah Maya.
“Oke, trims. Selamat istirahat,” Maya
meraih botol tersebut lalu segera melangkahkan kakinya keluar dari kamar David.
Lelaki itu diam sesaat, entah apa yang ia pikirkan.
Ketika
David membuka mata keesokan harinya, lelaki segera beranjak ke kamar Maya untuk
melihat keadaannya. Ia ingat bahwa semalam Maya mengeluh sakit kepala, dan ia
khawatir padanya. Tapi begitu ia sampai di kamar perempuan tersebut, ia sudah
tak ada. Tapi meja makan sudah penuh dengan makan pagi yang tertata rapi. Dan
David menemukan sebuah memo kecil di samping piringnya.
Aku
dapat panggilan kerja jadi harus berangkat pagi-pagi. Have a nice breakfast.
Hanya itu isinya.
***
Annisa sudah diperbolehkan pulang dari
Rumah sakit. David membantunya berkemas-kemas dan mengurusi administrasi rumah
sakit tersebut. Ia juga mengantarkannya pulang ke rumahnya. Lelaki itu sempat
mampir di rumah sederhana milik perempuan tersebut sebelum akhirnya kembali ke
apartemennya sekitar jam 9 malam.
Dan ketika ia
sampai di sana, ia belum menemukan Maya pulang. dan ia mulai tersadar bahwa
sejak Annisa sakit, ia jarang sekali bertemu atau bahkan mengobrol dengan
perempuan cantik tersebut. Dia hanya sempat bilang bahwa sekarang ia bekerja,
tapi ia tak menjelaskan lebih jauh ia bekerja di mana. Ia selalu berangkat
pagi-pagi sekali sebelum David bangun. Dan ketika ia pulang, perempuan itu
sudah tertidur di kamarnya. Dan hebatnya lagi, Maya selalu memasak untuknya.
Ketika ia membuka mata, ia sudah menemukan serangkaian hidangan makan pagi di
meja makannya. Dan ketika ia pulang, ia juga sudah menemukan makan malam di
sana. Dan David selalu tak habis pikir, sebenarnya perempuan ini terbuat dari
apa? Ia cantik, pintar, anak orang kaya, dan jujur ia akui, Maya wanita yang
baik. Dan yang senantiasa membuat david takjub ialah, Maya begitu cekatan
mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Hal yang hampir tidak pernah ia
jumpai pada wanita-wanita kelas atas yang pernah ia temui!
Setelah berganti
baju ia berniat langsung tidur. Tapi ia tak bisa. Yang ia lakukan hanyalah
mondar-mandir di kamarnya sendiri, menonton tv, lalu mondar-mandir lagi. Hingga
jam 11 malam, belum ada tanda-tanda akan kepulangan Maya. Dan David berada pada
suatu titik bahwa : ia mengkhawatirkan wanita tersebut. Dan dengan
menyingkirkan segala egonya, lelaki itu meraih telponnya lalu menghubungi
Billy.
“Helo, Bill. Apa kamu punya nomor
hape-nya Maya?” David bertanya sedikit ragu.
“Maya
Angela?”
“Ya,”
Terdengar gelak tawa Billy.
“Helloo,
bro. Apa kamu lupa kalo udah beberapa minggu ini Maya menghilang. Ia menutup
semua akses yang mengarah pada dirinya. Ia menutup akun jejaring sosialnya dan
ia juga mengganti nomor telponnya. Ia nggak ingin ditemukan, Vid. Andai saja
aku punya nomor yang bisa kuhubungi, sudah dari dulu aku menemukannya,”
“Oh,” David manggut-manggut.
“Kenapa
kamu ingin tahu nomor telponnya? Apa kamu juga pingin bantuin mencarinya? Atau,
ada hal penting?”
“Oh, enggak. Lupain aja, selamat malam,”
David buru-buru menutup telepon. Ia melirik ke arah jam dinding. Setengah dua
belas malam. Ia beranjak keluar kamar dan kembali mondar-mandir di ruang tamu.
Dan kelegaan luar biasa ia rasakan
ketika pintu ruang tamu terbuka, dan sesosok tubuh ramping yang beberapa saat
lalu ia khawatirkan, muncul.
“Hei, belum tidur?” Maya tersenyum dan
menyapa, seperti biasanya. Perempuan itu menutup pintu dengan perlahan lalu
segera menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menyandarkan punggung dan kepalanya
ke sofa tersebut. Sesaat ia sempat memejamkan matanya dan mendesah pelan.
“Astaga, aku lelah banget,” gumamnya.
David ikut duduk di sofa yang berada di seberang Maya.
“Kamu nggak ke rumah sakit menemani
pacarmu?” tanya perempuan tersebut.
“Sudah. Dia sudah boleh pulang dan tadi
aku mengantarkannya,” jawab David.
“Ah, syukurlah. Kamu pasti sangat
khawatir,”
David hanya tersenyum seraya mengangkat
bahu.
“Kenapa baru pulang?” Lelaki itu
bertanya sambil sesekali melirik ke arah perempuan di sampingnya.
“Mendadak aku harus menggantikan shift
orang lain. Aku nggak bisa menolak, tahu sendirilah, aku pegawai baru,”
“Sebenarnya kamu bekerja dimana?”
Kedua bola mata Maya yang indah mengerjap.
Ia menarik punggungnya dan menatap David.
“Apa aku belum cerita ke kamu?”
David menggeleng.
‘Ops, sori. Aku pasti kelupaan. Aku
bekerja di panti sosial yang khusus merawat anak-anak terlantar,”
“Hah?” David melongo.
“Kamu kerja di tempat seperti itu?”
Maya tersenyum dan mengangguk.
“Mmm, gajinya nggak besar. Tapi itu
lebih baik daripada menganggur. Selain itu, aku suka anak-anak dan___” kalimat
Maya terhenti.
“Sebentar, aku butuh teh hangat,” Maya
berniat beranjak, tapi David keburu mencegahnya.
“Biar aku buatkan,” Ia bangkit. Maya
menatapnya heran. David jadi salah tingkah.
“Kamu? Membuatkanku teh?”
David mengangguk.
“Akan ku buatkan teh. Kamu kelihatan
capek sekali. Anggaplah balas budi karena selama ini kamu sudah masak buatku,”
David menambahkan.
“Serius?”
David kembali mengangguk.
“Kalo gitu, sambil nungguin kamu bikin
teh, aku akan ganti baju dulu. Nanti kita ngobrol lagi,”
“Oke,” jawab David cepat. Ia sempat
tersenyum sebelum melangkahkan kakinya menuju dapur dan segera membuat dua cangkir
teh hangat, sementara Maya berganti baju di kamarnya.
Sesaat kemudian perempuan itu muncul
dengan mengenakan sweater longgar di bagian leher sehingga David bisa menikmati
bahunya yang mulus dengan leluasa. Lelaki itu sempat menarik nafas panjang. Sepertinya
ia harus benar-benar kuat iman jika berada di samping perempuan tersebut!
Dan jadilah
malam itu mereka kembali mengobrol sambil menikmati teh.
“Aku bener-bener nggak percaya kamu akan
bekerja di tempat seperti itu?” suara David setengah menggumam.
Maya tersenyum.
“Itu sangat menyenangkan. Aku nemenin
mereka main, menina bobokan mereka, membantu mengganti popok, aku bahkan senang
memandikan mereka. Well, ini memang pengalaman pertama kali bagiku. Tapi aku
senang melaukakanya,”
“Kamu suka anak-anak rupanya?”
“Tentu aja. Kamu tahu? Anak-anak adalah
hal yang sangat luar biasa. Mereka lucu, nyebelin, pokoknya apa aja yang mereka
lakukan selalu saja nggak terduga,” Maya bercerita dengan mata berbinar-binar.
Dan David tahu ia tulus.
Lelaki itu manggut-manggut. Ia kembali
menyeruput tehnya.
“Aku emang pernah dengar kalo kamu aktif
di kegiatan sosial. Aku kira mereka bohong, tapi ternyata itu bener,”
Maya tergelak.
“Itu nggak bener. Mereka
melebih-lebihkan. Well, aku emang pernah beberapa kali menghadiri kegiatan
amal, tapi nggak sering-sering banget. Yang bener adalah aku sering ikut tim
relawan ke beberapa daerah yang membutuhkan, seperti yang habis kena bencana,
banjir, ya gitu-gitu deh. Dan hasilnya, aku selalu kena marah papaku, haha,”
Perempuan itu tertawa geli.
David melongo mendengar jawaban Maya.
“Relawan?” ia mengulang-ngulang kata
tersebut.
Maya mengangguk santai seraya menyeruput
tehnya kembali.
“Itu nggak mungkin,” David mendesis dan
Maya tersenyum.
“Yup, itu bener. Dan nggak semua orang
tahu hal itu. Kecuali keluargaku, dan sekarang, kamu. Kau ingat dengan bencana
tsunami di Aceh beberapa tahun lalu?”
David mengangguk.
“Aku juga ikut tim relawan ke sana
selama beberapa bulan untuk membantu para korban dan juga pengungsi. Aku ke
sana tanpa sepengetahuan papaku. Dan hasilnya, papaku mengurungku di kamarku
selama hampir satu bulan karena begitu marah dengan kelakuanku,” Maya kembali
tertawa geli.
“Kenapa kamu repot-repot melakukan hal
itu?”
“Repot? Sama sekali enggak. Karena
itulah impianku yang sebenarnya,”
David mengernyit. Sebelum ia bertanya
lebih jauh, Maya suka rela menceritakannya.
“Menjadi pewaris kerajaan bisnis papaku
bukanlah keinginanku. Menjadi pebisnis juga bukan keinginanku. Aku pengen jadi
relawan. Itulah yang sebenarnya. Aku ingin gabung di UNHCR atau paling enggak
Palang Merah Indonesia. Akan sangat menyenangkan bagiku kalau aku bisa
melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain yang membutuhkan. Aku ingin
membantu para korban bencana alam, korban peperangan, para pengungsi dan ...
anak-anak terlantar karena situasi seperti itulah yang benar-benar membuatku
merana. Mereka butuh bantuan. Mereka butuh dipeluk, dihibur, disayang, dan aku
ingin melakukannya,” jawab Maya.
“Tapi seperti yang kamu tahu, papaku
mengontrol nyaris semua kehidupanku sehingga aku tak bisa mengambil keputusan
dalam hidupku tentang apa saja yang pengen aku lakukan. Well, aku nggak bisa
menyalahkan papaku seratus persen. Bagaimanapun juga, aku anak satu-satunya.
Dan papaku juga mulai ... tak sehat. Jika bukan aku, lantas siapa lagi yang
bisa membuatnya bahagia,” ia melanjutkan.
“Ah,aku bener-benar jadi anak durhaka
karena kabur dari rumah,” perempuan itu kembali mengomel lalu menyeruput
tehnya.
Sesaat David menemukan dirinya menatap
perempuan di hadapannya dengan takjub. Kedua matanya bahkan nyaris tak
berkedip.
“Kalo kamu?”
“Hm?” Lamunan David buyar ketika Maya
menatap kearahnya dengan dalam.
“Bagaimana denganmu? Aku belum dengar
cerita apapun tentang dirimu? Ayolah, Dave. Aku sudah menceritakan banyak hal tentang
diriku. Dan sekarang, giliranmu,”
David terdiam sesaat. Perlahan ia
tertawa lirih.
“Kenapa kamu ketawa?”
“Karena kita mengalami hal yang nyaris
sama,” jawab David. Bola mata Maya mengerjap dan menatap lelaki tampan di
hadapannya dengan penuh tanda tanya.
“Maksudmu?”
David manggut-manggut.
“Papaku juga mengambil kontrol akan
kehidupanku, semuanya. Dan mengambil alih perusahaan juga bukan keinginanku.
Aku nggak pengen menjalani bisnis, itulah yang sebenarnya,”
Maya melongo.
“Jangan katakan kalo impianmu juga ingin
menjadi relawan?” ia menebak. David tertawa.
“Nyaris sama. Karena impianku yang
sebenarnya adalah keliling ke banyak negara dan membantu orang-orang yang membutuhkan
untuk menjadi dokter relawan,” jawabnya kemudian.
“Oh My God,” Maya nyaris berteriak. Ia
meletakkan cangkir tehnya lalu beringsut dan duduk menghadap David.
“Ini nggak mungkin. Bagaimana mungkin
kita...”
David tersenyum dan mengangkat bahu.
Maya segera tergelak dan keduanya tertawa.
“Jadi dokter, itu cita-citaku sejak
dulu. Dan setelah itu, aku berniat mengabdikan seluruh hidupku untuk
kemanusiaan. Menjadi relawan yang bepergian ke banyak negara yang membutuhkan.
Korban perang, bencana alam, tragedi kemanusiaan lainnya, aku ingin merawat
mereka,”
"Astaga, kayaknya kita akan menjadi
temen yang cocok nih,”
“Kurasa juga begitu,”
“ah, andaikan saja aku tahu dari awal,
tentu aku nggak akan memulai hubungan kita dengan permusuhan,”
“Well, aku juga nggak mengiranya,” jawab
David.
Maya kembali manggut-manggut tanpa
melepaskan pandangannya dari David.
"Aku bisa bayangin, andaikan kita
keliling dunia bersama-sama, kita pasti bisa membantu banyak orang. Kau akan
jadi dokter yang merawat mereka dan aku akan senang hati menjadi asisten-mu,”
Maya berkata dengan raut muka girang. David kembali tertawa.
“Whoa, itu ide yang bagus juga. Tapi
sepertinya kita harus mengumpulkan cukup keberanian untuk melakukannya karena
kita tahu, orang tua kita akan membunuh kita jika kita melakukannya,”
Maya ngakak.
“Kita perlu rencana ulang,” ucapnya.
“Mungkin,” David membalas.
Keduanya mengobrol dengan akrab, sampai
larut malam, sampai Maya tertidur di sofa dan David membantu mengambilkan
selimut untuk selanjutnya ia selimutkan di atas tubuh Maya, tanpa sepengetahuan
perempuan tersebut.
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar