Selasa, 12 Mei 2015

The Royal Couple - Part 3


Bab 3

          Sulit. Itu yang terpikir oleh David. Ia benar-benar tak menyangka bahwa hidup serumah dengan Maya ternyata tak semudah seperti yang ia duga. Nyaris setiap hari ia dibuat sport jantung oleh cewek cantik tersebut. Bukan karena dia melakukan hal-hal aneh padanya. Tapi, terlalu banyak kejutan yang ia temukan pada perempuan berkaki indah tersebut. Ia mengepel, menyapu, mencuci baju, bersih-bersih, ia ahli melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Ia bahkan pandai memasak. Dan masakannya ternyata luar biasa enak.
“Apa kamu melakukan semua ini untuk menarik simpatiku? Agar aku nggak menendangmu keluar dari apartemenku?” tanya David sinis ketika pagi itu ia menemukan Maya telah bermandikan peluh karena selesai mengepel.
Maya menatap lelaki itu, heran.
“Enggak, ini hanya pekerjaan rumah biasa. Apa mamamu dan juga pacarmu nggak pernah melakukan pekerjaan seperti ini?” ia bertanya tanpa nada tersinggung. David tak segera menjawab. Ia hanya ngeloyor begitu saja dan masuk ke kamarnya. Tentu aneh melihat Maya mengepel lantai. Dia seorang tuan putri, pewaris tunggal sebuah kerajaan bisnis, dan mengepel lantai benar-benar aneh untuknya. Toh ia bisa membayar orang untuk melakukannya. David benar-benar tak mengerti dengannya.
“Aku ingin belanja, kau ingin dimasakkan apa?” suara Maya terdengar dari luar kamarnya. David menatap bayangannya di cermin. Tiba-tiba ia tersenyum geli. Astaga, aku seperti lelaki yang sudah menikah? Rutuknya dalam hati.
“Apa aja deh,” jawabnya kemudian.
Dan begitulah akhirnya, sejak Maya ada di apartemennya, ia nyaris selalu makan di rumah. Karena tanpa ia minta sekalipun, Maya selalu memasak. Untuk mereka berdua. David pernah menegurnya untuk tidak memasak lagi. Toh selama ini ia punya juru masak sendiri. Tapi Maya selalu mengatakan bahwa ia biasa memasak sendiri. Dan sekali lagi, kemampuan memasaknya memang tak bisa diragukan lagi.
Begitu pula dengan pagi itu, ketika ia membuka mata, ia mencium aroma masakan dari dapur. Dan seperti biasa, begitu ia ke sana, Maya sudah menyiapkan makan pagi. Ia tetap saja memakai baju favoritnya. Pants super pendek dan kaos tipis tanpa lengan. Hanya saja ia selalu menambahkan apron ketika memasak.
“hai,” ia menyapa, dengan senyum khasnya yang hangat.
“Masak apa kamu hari ini?” David berbasa-basi.
“Seperti yang kamu lihat. Hari ini menunya adalah Chinesse food,” jawab Maya bangga.
“tuh, kopimu di sana,” ia menunjuk ke arah secangkir kopi yang ada di meja makan.
David sempat tertegun sesaat sebelum meraih cangkir kopi tersebut dan menyeruputnya dengan perlahan. Dan tanpa sadar, sembari menikmati kopinya, ia menatap lekat ke arah Maya yang tengah melepas apronnya lalu melipatnya dengan rapi.
“Wah,kita seperti suami istri ya,” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Maya hingga membuat David nyaris tersedak.
“Are you okay?” Maya bertanya. David terbatuk-batuk lalu menggeleng.
“Kenapa kita nggak pura-pura jadi suami istri aja agar orang tua kita nggak kena serangan jantung,” Maya menambahkan.
David mendelik mendengar kalimat itu.
“Enggak, aku nggak suka cerita klise kayak gitu,” jawabnya cepat. Maya mengangkat bahu.
“Aku ‘kan hanya sekedar ngasih saran,” ucapnya.
“Mm, aku ingin keluar sebentar,” Maya melanjutkan.
“Menemui papamu?”
“Enggaklah. Susah-susah aku numpang di rumahmu, untuk apa harus bunuh diri dengan menemui papaku,”
“Lantas? Untuk apa kamu keluar? Kamu nggak takut papamu bisa menemukanmu?”
“Aku pasti hati-hati. Aku ingin cari kerjaan,”
David melongo. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Maya.
“Kerja. Kamu punya bisnis sendiri dan kamu pengen cari kerja? Kamu sebenarnya waras nggak sih, May?”
Maya melotot kesal.
“Cukup, kau sudah cukup merendahkan kredibilitasku sebagai manusia. Sampai kapan kamu akan merasa heran dengan semua yang aku lakukan. Dave, aku manusia biasa. Dan aku melukakan hal-hal yang sudah sepantasnya dilakukan manusia. Membersihkan rumah, memasak, mencari pekerjaan, apa sih anehnya?”
“Iya, aneh. Karena menurutku, nggak pantes aja,”
Maya menatap lelaki di hadapannya dengan heran.
“Sekali lagi, aku manusia biasa. Dan aku pantas melakukan hal-hal yang memang sepantasnya dilakukan oleh manusia,” Maya beranjak meninggalkan David di ruang makan sendirian.

***

          Dan sport jantung David tak berhenti sampai disitu saja. Malamnya, ketika ia sampai di apartemennya, ia melongo ketika menemukan Maya tengah berlari-lari di atas treadmill dengan hanya mengenakan undershirt tipis dan pants pendek – lebih pendek daripada biasanya, hingga lekuk tubuhnya lebih jelas terlihat. Dan tentu saja David leluasa menikmati kaki jenjangnya yang benar-benar indah. Lelaki itu sempat menahan nafas sejenak.
Sial, dia benar-benar seksi! David menggerutu dalam hati.
“Siapa yang memberimu ijin untuk menggunakan peralatan fitnesku?” tanya lelaki itu ketus. Maya menoleh. Peluh membanjiri seluruh tubuhnya dan David kembali menggerutu dalam hati.
Perempuan itu  tersenyum seraya menghentikan laju treadmillnya dengan perlahan.
“Kau sudah pulang?” ia turun dan beranjak mendekati David. Lelaki itu mundur beberapa langkah hingga membuat Maya mengernyit heran.
“Oh, apa aku bau keringat? Sori,” tanyanya seraya menghentikan langkahnya. David tak menjawab.
Bukan. Bukan karena kau bau keringat. Tapi karena kau terlihat ... cantik dan ... super seksi. Dan aku takut imanku tak kuat!  Lelaki itu berteriak dalam hati.
“Maaf karena aku nggak ijin. Tapi aku bener-bener nggak bisa menahan godaanku untuk fitnes ketika melihat peralatan fitnesmu,” Maya meraih handuk lalu menghapus keringat di wajah dan lehernya.
“Orang gila mana yang punya kebiasaan olah raga dijam-jam begini?” David protes.
“Aku biasa olahraga di jam-jam segini,” jawab Maya enteng.
“Dan dengan baju seperti ini?” David menatap Maya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Maya balas menatapnya heran.
“Lantas aku harus pake apa? Jubah? Kaftan? Kebaya? Ayolah Dave, ini baju olahraga. Kamu mau protes apa lagi?”
“Iya, May. Tapi kau tinggal bersamaku. Maksudku, bajumu terlalu vulgar dan aku adalah lelaki normal. Itu sama saja memberikan kesempatan padaku untuk bertindak kriminal padamu. Bagaimana jika ...” Ia menelan ludah. “Bagaimana jika ... setan menggodaku dan aku tak bisa mengendalikan diri hingga___” kalimatnya terhenti. Ia bingung harus bilang apa lagi.
“Memperkosaku maksudmu?” ceplos Maya.
“Well, aku nggak bermaksud bilang gitu. Tapi___”
Maya tergelak.
“Itu nggak mungkin, Dave. Kamu nggak mungkin melakukannya,”
David menaikkan alisnya.
“Kenapa nggak mungkin?”
“Karena aku percaya kamu lelaki yang baik, dan aku yakin akan hal itu. Lagipula, kau sudah punya pacar dan jelas-jelas kamu nggak tertarik padaku. Selain itu, aku punya kemampuan bela diri. Jika kamu berani macam-macam, aku akan menendangmu,” Maya beranjak. David hanya mampu menatap kepergiannya sambil melongo.


          David memasuki ruang kerja Billy dengan gontai. Teman dekatnya itu tampak duduk malas-malasan di kursinya dengan wajah tak bersemangat.
David duduk di kursi yang berada di seberang mejanya dan mendesah pelan. Rupanya ia juga mendengar Billy melakukan hal yang sama. Mereka bertatapan, heran.
What? Apa hari ini adalah hari paling galau sedunia hingga kau nampak tak bersemangat gitu?” David bertanya heran. Billy mencibir.
“Kamu juga ngalamin hal yang sama ‘kan?” ia membalas.
“Ada apa sih, Bill? Kau nampak suntuk?”
“Oh, sama, Vid. Kamu juga nampak suntuk,”
David terkekeh mendengar kalimat Billy.
“Ada apa sih?” David kembali bertanya.
“Ini soal Maya, Vid. Ini sudah hampir seminggu dan nggak ada kabar apapun dari perempuan itu. Aku khawatir,”
David nyaris tertawa. Ah, jika Billy tahu Maya ada di rumahnya, ia pasti akan membunuhnya.
“Aku sudah menyuruh orang untuk mencari tahu tentang dia, tapi hasilnya nihil. Dia nggak bisa di temukan, Vid,”
David tak bersuara.
“Apa mungkin dia balik ke Amerika?”
“Mungkin saja,” jawab David cepat.
“Ah, ini nyebelin banget. Dia perempuan yang sempurna dan aku benar-benar nggak bisa menarik perhatiannya. Oh, aku apes dalam hal ini,”
David tertawa lirih.
“Sudahlah, Bill. Berhentilah ngejar-ngejar dia. Perempuan semacam dia nggak cocok buat kamu. Carilah perempuan lain yang bisa kau takhlukan,”
Billy  mendelik.
“Nggak cocok gimana. Aku ganteng, mandiri dan kaya. Jika dibandingin sama keluarganya dia, aku termasuk lumayan. Aku nggak miskin. Dan kelak, selain mempunyai usaha sendiri, aku juga akan mewarisi perusahaan ayahku. Jadi apa salahnya?”
Karena Maya terlalu baik untuk lelaki playboy macam kamu! David nyaris meneriakkan kalimat itu. Tapi ia  urung melakkannya.
“Ah, terserah deh. Silahkan meratapi nasibmu sendiri. Aku mau jemput Annisa,” David bangkit.
“Annisa? Dia ‘kan belum masuk,” ucap Billy. David menatap sahabatnya dengan heran. Sorot matanya mengisyaratkan tanda tanya.
What? Jadi kamu nggak tahu kalo Annisa sakit?”
“Sakit? Enggak, aku nggak tahu,”
Billy melotot.
“Annisa sakit, Vid. Sudah 2 hari ini dia di opname di rumah sakit, kena DB,”
David membelalak.
“Serius?”
Billy mengangguk.
“Jadi kamu bener-bener nggak tahu? Astaga,” nada suara lelaki itu terdengar kesal.
“Di rumah sakit mana?”
“Medica Center,”
Tanpa banyak kata, David segera beranjak. Ia masih sempat mendengar Billy meneriakkan sesuatu, tapi ia tak menggubris.

Annisa dirawat di bangsal kelas 3. Ketika David sampai di sana, perempuan cantik itu tengah tertidur. Ibunya setia menemaninya di sampingnya sambil sesekali mengipasinya dengan kipas kertas.
“Bagaimana keadaannya bu?” tanya David.
“Oh, nak David? Annisa sudah baikan kok,” perempuan setengah baya itu bangkit dari tempat duduknya untuk menyapa David dengan ramah. Mereka memang sudah saling mengenal dengan baik karena David memang sering berkunjung ke rumah Annisa.
“Kenapa saya nggak dikasih tahu bu?” tanya David.
“Tadinya saya pengen ngasih tahu nak David, tapi___”
“Aku nggak apa-apa kok. Sudah baikan. Mungkin lusa sudah boleh pulang,” tak disangka, Annisa membuka mata dan mengucapkan kalimat yang bertujuan untuk membuat David lebih tenang. David segera duduk di samping perempuan tersebut.
“Gimana keadaanmu?” ia bertanya dengan lembut dan penuh perhatian.
“Sudah membaik. Aku hanya kena DB, belum parah banget kok,” Annisa tersenyum.
“Syukurlah. Maaf kalo aku baru tahu,”
“Nggak apa-apa, aku emang sengaja nggak ngasih tahu kamu biar kamu nggak khawatir,”
David menatap sekelilingnya. Ruangan itu di isi oleh 8 orang pasien. Setiap ranjang hanya di sekat oleh tirai tipis yang bisa ditarik dan digeser.
“Aku akan minta pada suster untuk memindahkanmu ke ruang VIP,” David bangkit.
“Nggak usah, Vid. Aku nyaman kok di sini,” Annisa berniat mencegah.
“Ya, tapi kamu akan lebih nyaman berada di sana. Kamu perlu istirahat total. Jangan khawatir, aku yang akan menanggung biayanya,”
“Tapi___”
Teriakan Annisa serasa tak berguna karena David tak menggubrisnya sama sekali. Ia tetap saja beranjak menemui kepala ruangan untuk meminta agar Annisa segera di pindahkan ke ruang VIP.  Dan akhirnya, meskipun dengan penolakan Annisa, ia tetap saja dipindahkan ke ruangan yang diminta David. Ya, harusnya Annisa paham jika David akan tetap melakukannya meski ia menolaknya setengah mati. Sama halnya ketika ia membelikannya sesuatu, ia juga akan memaksa sampai mati hingga Annisa mau menerimnya meski dengan tidak enak hati.
“Terima kasih nak, David. Tapi, tidakkah ruangan ini terlalu mahal?” ibu Annisa melihat sekelilingnya dengan takjub. Sebuah ruang yang begitu besar hanya untuk seorang pasien.
“Nggak apa-apa kok bu, Annisa butuh istirahat. Ibu tidur aja. Biar saya yang ganti menjaga Annisa,” ucap David seraya kembali duduk di samping Annisa.
“Vid?” perempuan itu kembali ingin protes,tapi David keburu meletakkan jari telunjuknya ke bibirnya sendiri sebagai pertanda bahwa ia tak mau dibantah lagi. Akhirnya, Annisa mengalah. Begitu juga ibu Annisa. Perempuan sederhana itu berbaring di sofa untuk beristirahat dan Davidlah yang menjaga Annisa sampai perempuan itu tertidur. Dan, David pun ketiduran.
Ketika lelaki tampan itu terjaga dari tidurnya, ia menyaksikan Annisa tetap tertidur pulas. Jam di dinding menunjukkan pukul 2 dini hari. Ia bangkit perlahan, tapi gerakannya tetap saja membuat ibunda Annisa terjaga.
“Aku harus pulang dulu, bu. Besok aku akan ke sini lagi,” ucap David pelan seraya berpamitan pada ibunda Annisa yang sudah duduk di sofa. Ibunda Annisa tersenyum seraya mengangguk.
“Terima kasih nak David,” ucapnya. David hanya tersenyum dan mengangguk seraya melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan tersebut.
         
          Masih dengan mata mengantuk, David melangkah dengan sedikit gontai menuju apartemennya setelah terlebih memarkir mobilnya. Sesekali ia menguap.
Namun, kantuknya segera menghilang ketika ia menyaksikan sesosok tubuh tengah duduk di lantai. Punggungnya tersandar pada pintu apartemennya. Kedua lututnya ditekuk untuk menopang kedua tangannya. Sementara wajahnya ia benamkan ke dalam tumpukan lengannya.
David mempercepat langkahnya dan menyentuh pundak perempuan tersebut dengan lembut.
“May,” panggilnya lembut, dua kali. Maya mendongak, kedua matanya menyipit menatap ke arah David.
“Oh, kamu udah pulang?” ia bangkit dengan perlahan. Ia membersihkan bagian belakang celana jeansnya.
“Untuk apa kamu duduk di sini? Ini jam 2 pagi,”
“Nungguin kamu,”
“What?”
“Aku pengen masuk. Tapi aku nggak punya kunci apartemenmu,” jawab Maya seraya menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan karena lehernya terasa pegal. David terhenyak.
“Kenapa kamu nggak nelpon aku?” ucapnya kesal.
“Aku nggak punya nomor hape-mu,”
David kembali terhenyak. Astaga, ia lupa. Ia lupa memberikan kunci duplikat apartemennya pada Maya, ia juga lupa mencatat nomor hape perempuan itu, padahal mereka sudah tinggal bersama selama hampir satu minggu!
“Sejak kapan kamu duduk disitu?”
“Sejak jam sebelas,” jawab Maya enteng.
David merasakan darahnya mendidih. Ia ingin marah, tapi entah marah pada siapa? Yang jelas Maya tak bersalah dalam hal ini.
Dengan kasar lelaki itu membuka pintu apartemennya.
“Kamu ini bodoh atau apa? Bagaimana mungkin kamu duduk di sana segitu lamanya tanpa melakukan apa-apa? Menungguku, itu tolol. Bagaimana jika aku pulang pagi? Apa kamu akan tidur di luar sana? Kenapa kamu nggak mencoba cari hotel terdekat?”
“Aku ‘kan harus menghemat uangku. Bisnisku lagi nggak bagus, aku nggak punya banyak uang,” jawab Maya lagi. Mulut David seketika terkunci. Luapan kemarahannya seakan menghilang entah kemana. Ia sempat menatap perempuan itu dengan iba.
“Aku tidur dulu,” perempuan itu beranjak meninggalkan David yang mematung, menuju kamarnya.
David pun segera melangkahkan kakinya menuju kamarnya sendiri. Ia melepaskan bajunya lalu melemparkannya ke atas ranjang dengan kasar, lalu segera mengenakan t-shirt tipis dan celana pendek. Ia sempat menatap bayangannya di cermin.
Kamu brengsek. Kamu nggak tahu kalo Annisa sakit, dan sekarang, kamu nyaris membiarkan Maya tertidur di luar rumahmu? Oh, kamu bener-bener brengsek, Vid...
Lelaki itu menggerutu kesal dalam hati. Ya, ia marah pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan Maya masuk tanpa mengetuk pintu ataupun mengucap permisi.
“Ketuk pintu dong,” David mengomel.
“Ups, sori. Tapi aku buru-buru. Kamu punya obat sakit kepala? Biasanya aku juga punya persediaan sendiri. Tapi kayaknya punyaku habis,” ucapnya. David menatap perempuan cantik  di hadapannya dengan lekat. Raut mukanya tampak sedikit pucat. Reflek ia melangkah mendekatinya lalu meletakkan telapak tangannya ke atas keningnya dengan lembut.
“Apa kamu juga sakit?” ia bertanya.
“Enggak, hanya sedikit pusing aja. Apa maksudmu ‘juga’? Emang siapa yang sakit?”
David menarik tangannya, tak segera menjawab.
“Mm, dia opname di rumah sakit, kena DB,” jawabnya kemudian.
“Pacarmu?”
David mengangguk dengan ragu-ragu.
“Astaga, lantas kenapa kamu ada di sini? Kamu nggak nungguin dia di rumah sakit?” kalimat yang tak David duga itu meluncur dari mulut Maya.
“Udah, tadi aku juga dari sana. Besok aku kesana lagi,” jawabnya.
‘Oh, maaf. Aku nggak tahu soal itu. Oke, kalo gitu, segeralah istirahat agar besok kau bisa menjaganya lagi. Obatnya, ada?”
David berbalik lalu menarik laci meja yang berada tak jauh darinya kemudian mengeluarkan sebuah botol berisi obat pereda nyeri. “Hanya ini yang kupunya,” ucapnya seraya menyodorkan botol tersebut ke arah Maya.
“Oke, trims. Selamat istirahat,” Maya meraih botol tersebut lalu segera melangkahkan kakinya keluar dari kamar David. Lelaki itu diam sesaat, entah apa yang ia pikirkan.

          Ketika David membuka mata keesokan harinya, lelaki segera beranjak ke kamar Maya untuk melihat keadaannya. Ia ingat bahwa semalam Maya mengeluh sakit kepala, dan ia khawatir padanya. Tapi begitu ia sampai di kamar perempuan tersebut, ia sudah tak ada. Tapi meja makan sudah penuh dengan makan pagi yang tertata rapi. Dan David menemukan sebuah memo kecil di samping piringnya.

Aku dapat panggilan kerja jadi harus berangkat pagi-pagi. Have a nice breakfast.

Hanya itu isinya.

***

          Annisa sudah diperbolehkan pulang dari Rumah sakit. David membantunya berkemas-kemas dan mengurusi administrasi rumah sakit tersebut. Ia juga mengantarkannya pulang ke rumahnya. Lelaki itu sempat mampir di rumah sederhana milik perempuan tersebut sebelum akhirnya kembali ke apartemennya sekitar jam 9 malam.
Dan ketika ia sampai di sana, ia belum menemukan Maya pulang. dan ia mulai tersadar bahwa sejak Annisa sakit, ia jarang sekali bertemu atau bahkan mengobrol dengan perempuan cantik tersebut. Dia hanya sempat bilang bahwa sekarang ia bekerja, tapi ia tak menjelaskan lebih jauh ia bekerja di mana. Ia selalu berangkat pagi-pagi sekali sebelum David bangun. Dan ketika ia pulang, perempuan itu sudah tertidur di kamarnya. Dan hebatnya lagi, Maya selalu memasak untuknya. Ketika ia membuka mata, ia sudah menemukan serangkaian hidangan makan pagi di meja makannya. Dan ketika ia pulang, ia juga sudah menemukan makan malam di sana. Dan David selalu tak habis pikir, sebenarnya perempuan ini terbuat dari apa? Ia cantik, pintar, anak orang kaya, dan jujur ia akui, Maya wanita yang baik. Dan yang senantiasa membuat david takjub ialah, Maya begitu cekatan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Hal yang hampir tidak pernah ia jumpai pada wanita-wanita kelas atas yang pernah ia temui!
Setelah berganti baju ia berniat langsung tidur. Tapi ia tak bisa. Yang ia lakukan hanyalah mondar-mandir di kamarnya sendiri, menonton tv, lalu mondar-mandir lagi. Hingga jam 11 malam, belum ada tanda-tanda akan kepulangan Maya. Dan David berada pada suatu titik bahwa : ia mengkhawatirkan wanita tersebut. Dan dengan menyingkirkan segala egonya, lelaki itu meraih telponnya lalu menghubungi Billy.
“Helo, Bill. Apa kamu punya nomor hape-nya Maya?” David bertanya sedikit ragu.
“Maya Angela?”
“Ya,”
Terdengar gelak tawa Billy.
“Helloo, bro. Apa kamu lupa kalo udah beberapa minggu ini Maya menghilang. Ia menutup semua akses yang mengarah pada dirinya. Ia menutup akun jejaring sosialnya dan ia juga mengganti nomor telponnya. Ia nggak ingin ditemukan, Vid. Andai saja aku punya nomor yang bisa kuhubungi, sudah dari dulu aku menemukannya,”
“Oh,” David manggut-manggut.
“Kenapa kamu ingin tahu nomor telponnya? Apa kamu juga pingin bantuin mencarinya? Atau, ada hal penting?”
“Oh, enggak. Lupain aja, selamat malam,” David buru-buru menutup telepon. Ia melirik ke arah jam dinding. Setengah dua belas malam. Ia beranjak keluar kamar dan kembali mondar-mandir di ruang tamu.
Dan kelegaan luar biasa ia rasakan ketika pintu ruang tamu terbuka, dan sesosok tubuh ramping yang beberapa saat lalu ia khawatirkan, muncul.
“Hei, belum tidur?” Maya tersenyum dan menyapa, seperti biasanya. Perempuan itu menutup pintu dengan perlahan lalu segera menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menyandarkan punggung dan kepalanya ke sofa tersebut. Sesaat ia sempat memejamkan matanya dan mendesah pelan.
“Astaga, aku lelah banget,” gumamnya. David ikut duduk di sofa yang berada di seberang Maya.
“Kamu nggak ke rumah sakit menemani pacarmu?” tanya perempuan tersebut.
“Sudah. Dia sudah boleh pulang dan tadi aku mengantarkannya,” jawab David.
“Ah, syukurlah. Kamu pasti sangat khawatir,”
David hanya tersenyum seraya mengangkat bahu.
“Kenapa baru pulang?” Lelaki itu bertanya sambil sesekali melirik ke arah perempuan di sampingnya.
“Mendadak aku harus menggantikan shift orang lain. Aku nggak bisa menolak, tahu sendirilah, aku pegawai baru,”
“Sebenarnya kamu bekerja dimana?”
Kedua bola mata Maya yang indah mengerjap. Ia menarik punggungnya dan menatap David.
“Apa aku belum cerita ke kamu?”
David menggeleng.
‘Ops, sori. Aku pasti kelupaan. Aku bekerja di panti sosial yang khusus merawat anak-anak terlantar,”
 “Hah?” David melongo.
“Kamu kerja di tempat seperti itu?”
Maya tersenyum dan mengangguk.
“Mmm, gajinya nggak besar. Tapi itu lebih baik daripada menganggur. Selain itu, aku suka anak-anak dan___” kalimat Maya terhenti.
“Sebentar, aku butuh teh hangat,” Maya berniat beranjak, tapi David keburu mencegahnya.
“Biar aku buatkan,” Ia bangkit. Maya menatapnya heran. David jadi salah tingkah.
“Kamu? Membuatkanku teh?”
David mengangguk.
“Akan ku buatkan teh. Kamu kelihatan capek sekali. Anggaplah balas budi karena selama ini kamu sudah masak buatku,” David menambahkan.
“Serius?”
David kembali mengangguk.
“Kalo gitu, sambil nungguin kamu bikin teh, aku akan ganti baju dulu. Nanti kita ngobrol lagi,”
“Oke,” jawab David cepat. Ia sempat tersenyum sebelum melangkahkan kakinya menuju dapur dan segera membuat dua cangkir teh hangat, sementara Maya berganti baju di kamarnya.
Sesaat kemudian perempuan itu muncul dengan mengenakan sweater longgar di bagian leher sehingga David bisa menikmati bahunya yang mulus dengan leluasa. Lelaki itu sempat menarik nafas panjang. Sepertinya ia harus benar-benar kuat iman jika berada di samping perempuan tersebut!
Dan jadilah malam itu mereka kembali mengobrol sambil menikmati teh.
“Aku bener-bener nggak percaya kamu akan bekerja di tempat seperti itu?” suara David setengah menggumam.
Maya tersenyum.
“Itu sangat menyenangkan. Aku nemenin mereka main, menina bobokan mereka, membantu mengganti popok, aku bahkan senang memandikan mereka. Well, ini memang pengalaman pertama kali bagiku. Tapi aku senang melaukakanya,”
“Kamu suka anak-anak rupanya?”
“Tentu aja. Kamu tahu? Anak-anak adalah hal yang sangat luar biasa. Mereka lucu, nyebelin, pokoknya apa aja yang mereka lakukan selalu saja nggak terduga,” Maya bercerita dengan mata berbinar-binar. Dan David tahu ia tulus.
Lelaki itu manggut-manggut. Ia kembali menyeruput tehnya.
“Aku emang pernah dengar kalo kamu aktif di kegiatan sosial. Aku kira mereka bohong, tapi ternyata itu bener,”
Maya tergelak.
“Itu nggak bener. Mereka melebih-lebihkan. Well, aku emang pernah beberapa kali menghadiri kegiatan amal, tapi nggak sering-sering banget. Yang bener adalah aku sering ikut tim relawan ke beberapa daerah yang membutuhkan, seperti yang habis kena bencana, banjir, ya gitu-gitu deh. Dan hasilnya, aku selalu kena marah papaku, haha,” Perempuan itu tertawa geli.
David melongo mendengar jawaban Maya.
“Relawan?” ia mengulang-ngulang kata tersebut.
Maya mengangguk santai seraya menyeruput tehnya kembali.
“Itu nggak mungkin,” David mendesis dan Maya tersenyum.
“Yup, itu bener. Dan nggak semua orang tahu hal itu. Kecuali keluargaku, dan sekarang, kamu. Kau ingat dengan bencana tsunami di Aceh beberapa tahun lalu?”
David mengangguk.
“Aku juga ikut tim relawan ke sana selama beberapa bulan untuk membantu para korban dan juga pengungsi. Aku ke sana tanpa sepengetahuan papaku. Dan hasilnya, papaku mengurungku di kamarku selama hampir satu bulan karena begitu marah dengan kelakuanku,” Maya kembali tertawa geli.
“Kenapa kamu repot-repot melakukan hal itu?”
“Repot? Sama sekali enggak. Karena itulah impianku yang sebenarnya,”
David mengernyit. Sebelum ia bertanya lebih jauh, Maya suka rela menceritakannya.
“Menjadi pewaris kerajaan bisnis papaku bukanlah keinginanku. Menjadi pebisnis juga bukan keinginanku. Aku pengen jadi relawan. Itulah yang sebenarnya. Aku ingin gabung di UNHCR atau paling enggak Palang Merah Indonesia. Akan sangat menyenangkan bagiku kalau aku bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain yang membutuhkan. Aku ingin membantu para korban bencana alam, korban peperangan, para pengungsi dan ... anak-anak terlantar karena situasi seperti itulah yang benar-benar membuatku merana. Mereka butuh bantuan. Mereka butuh dipeluk, dihibur, disayang, dan aku ingin melakukannya,” jawab Maya.
“Tapi seperti yang kamu tahu, papaku mengontrol nyaris semua kehidupanku sehingga aku tak bisa mengambil keputusan dalam hidupku tentang apa saja yang pengen aku lakukan. Well, aku nggak bisa menyalahkan papaku seratus persen. Bagaimanapun juga, aku anak satu-satunya. Dan papaku juga mulai ... tak sehat. Jika bukan aku, lantas siapa lagi yang bisa membuatnya bahagia,” ia melanjutkan.
“Ah,aku bener-benar jadi anak durhaka karena kabur dari rumah,” perempuan itu kembali mengomel lalu menyeruput tehnya.
Sesaat David menemukan dirinya menatap perempuan di hadapannya dengan takjub. Kedua matanya bahkan nyaris tak berkedip.
“Kalo kamu?”
“Hm?” Lamunan David buyar ketika Maya menatap kearahnya dengan dalam.
“Bagaimana denganmu? Aku belum dengar cerita apapun tentang dirimu? Ayolah, Dave. Aku sudah menceritakan banyak hal tentang diriku. Dan sekarang, giliranmu,”
David terdiam sesaat. Perlahan ia tertawa lirih.
“Kenapa kamu ketawa?”
“Karena kita mengalami hal yang nyaris sama,” jawab David. Bola mata Maya mengerjap dan menatap lelaki tampan di hadapannya dengan penuh tanda tanya.
“Maksudmu?”
David manggut-manggut.
“Papaku juga mengambil kontrol akan kehidupanku, semuanya. Dan mengambil alih perusahaan juga bukan keinginanku. Aku nggak pengen menjalani bisnis, itulah yang sebenarnya,”
Maya melongo.
“Jangan katakan kalo impianmu juga ingin menjadi relawan?” ia menebak. David tertawa.
“Nyaris sama. Karena impianku yang sebenarnya adalah keliling ke banyak negara dan membantu orang-orang yang membutuhkan untuk menjadi dokter relawan,” jawabnya kemudian.
“Oh My God,” Maya nyaris berteriak. Ia meletakkan cangkir tehnya lalu beringsut dan duduk menghadap David.
“Ini nggak mungkin. Bagaimana mungkin kita...”
David tersenyum dan mengangkat bahu. Maya segera tergelak dan keduanya tertawa.
“Jadi dokter, itu cita-citaku sejak dulu. Dan setelah itu, aku berniat mengabdikan seluruh hidupku untuk kemanusiaan. Menjadi relawan yang bepergian ke banyak negara yang membutuhkan. Korban perang, bencana alam, tragedi kemanusiaan lainnya, aku ingin merawat mereka,”
"Astaga, kayaknya kita akan menjadi temen yang cocok nih,”
“Kurasa juga begitu,”
“ah, andaikan saja aku tahu dari awal, tentu aku nggak akan memulai hubungan kita dengan permusuhan,”
“Well, aku juga nggak mengiranya,” jawab David.
Maya kembali manggut-manggut tanpa melepaskan pandangannya dari David.
"Aku bisa bayangin, andaikan kita keliling dunia bersama-sama, kita pasti bisa membantu banyak orang. Kau akan jadi dokter yang merawat mereka dan aku akan senang hati menjadi asisten-mu,” Maya berkata dengan raut muka girang. David kembali tertawa.
“Whoa, itu ide yang bagus juga. Tapi sepertinya kita harus mengumpulkan cukup keberanian untuk melakukannya karena kita tahu, orang tua kita akan membunuh kita jika kita melakukannya,”
Maya ngakak.
“Kita perlu rencana ulang,” ucapnya.
“Mungkin,” David membalas.
Keduanya mengobrol dengan akrab, sampai larut malam, sampai Maya tertidur di sofa dan David membantu mengambilkan selimut untuk selanjutnya ia selimutkan di atas tubuh Maya, tanpa sepengetahuan perempuan tersebut.

***

Bersambung ....
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar