Alam
bawah sadar Ara dipenuhi dengan berbagai kenangan yang saling tumpang tindih.
Kecelakaan
kedua orang tuanya, kematian Habin, Dino, Josh, dan juga peritiwa-peristiwa
antara dirinya dan para Nephilim.
Ia
tak tahu apakah ia masih hidup ataukah sudah mati. Yang jelas, ia merasakan
sakit di mana-mana. Di kepala, di kaki, di ulu hati, semuanya sakit.
Suara-suara
juga berseliweran di kepalanya. Entah suara siapa.
Seseorang
memanggil namanya berulang-ulang. Ia juga mendengar isak tangis.
Siapa
yang memanggil namanya?
Siapa
yang menangis?
Vernon?
Tiba-tiba
ia ingat dengan pemuda itu. Nephilim baik hati yang membuat dunianya jungkir
balik. Ingin ia membuka mata, bersuara, tapi semakin ia berusaha, rasa sakit
yang menghinggapi tubuhnya kian menjadi.
Akhirnya
ia memutuskan untuk menyerah. Menerima rasa sakit di sekujur tubuhnya.
***
Ara
tak ingat awal mulanya ketika ia bisa membuka mata. Masih diserang rasa pening,
ia menatap sekelilingnya. Sebuah ruangan minimalis bernuansa coklat tua. Dan,
ada sosok itu di sampingnya. Vernon!
“Ver--,”
“Syukurlah,”
Vernon mendekatkan wajahnya ke arah Ara dan berbisik mengucap syukur
berulang-ulang. Dan jelas ia bisa melihat bahwa pemuda itu berurai air mata.
“Terima
kasih karena kau tidak pergi, Ara. Terima kasih,” Ia menyentuh tangan Ara dan
mengecupnya berulang-ulang.
“Kau
menangis?”
Vernon
menggigit bibir. “Hanya terlalu senang karena kau membuka mata,” jawabnya.
Ara
terdiam, mencoba mengingat apa yang barusan menimpanya.
Dan
akhirnya ia ingat tentang semuanya. Tentang Josh, tentang malaikat yang
berusaha membunuhnya dan ...
“Josh?”
ia bertanya lirih.
Vernon
menatapnya. Tak mampu menjawab. Dan ketidak mampuannya untuk menjawab tentang
Josh seolah memberitahu dirinya bahwa, malaikat itu telah pergi untuk
selamanya.
Ara
memejamkan mata. Dan air mata meleleh membasahi pelipisnya.
“Maafkan
aku. Maafkan aku ... Jika saja ia tak bersamaku, ia pasti ...”
“Ssstt...”
Vernon menggeleng. Menyentuh pipi Ara dengan lembut.
“Bukan,”
ia menatap gadis itu dengan penuh kasih.
“Bukan salahmu. Ini memang pertempuran kami. Ada kau atau tidak, kami
pasti memang akan saling membunuh.”
“Joey?”
Vernon
mengangkat bahu. “Dia berduka, tapi ia akan baik-baik saja. Percayalah. Oke,”
lelaki itu kembali berujar lembut.
“Di
mana kita?” Ara kembali bertanya ketika menyadari bahwa ruangan yang ia tempati
terasa asing baginya.
“Dika
punya sahabat lama yang punya keahlian mengobati. Kami membawamu ke sini,”
jawab Vernon.
Dan
sesaat kemudian Woody dan Gio datang ke kamar, tergopoh-gopoh dengan Dika di
belakang mereka.
Kedua
lelaki kembar itu segera menyeruak dan berlutut di samping ranjang tempat Ara
terbaring. Raut muka mereka terlihat lelah. Tapi ada binar kelegaan di sana.
“Ara,
syukurlah kau sudah sadar. Kami benar-benar khawatir padamu. Sejak kau tak
sadarkan diri, Woody tak berhenti menangis, Vernon juga.” Ujar Gio. Woody
melirik ke arahnya dengan kesal.
“Kau
juga begitu ‘kan? Kau juga menangis sesenggukan setiap hari sejak Ara terluka,”
balasnya. Gio mendelik. Sebuah toyoran segera ia sarangkan di bahu Woody.
“Jangan
ribut. Biarkan Ara istirahat.” Ucapan Dika yang serius menghentikan keributan
kecil di antara mereka. Lelaki berwajah bijak itu menatap Ara dengan penuh rasa
syukur.
“Kami
benar-benar lega kau kembali lagi, Ara. Lukamu parah, tapi kau gadis yang kuat.
Terima kasih karena kau bisa bertahan.” Ucapnya.
Ara
tersenyum lemah.
“Terima
kasih karena kalian telah menyelamatkanku,” jawabnya. Dika mengangguk. Ia
menarik kerah baju Woody dan Gio.
“Sekarang
ayo kita keluar. Biarkan dia istirahat.” Ajaknya.
“Lalu
kenapa kau biarkan Vernon di sini? Kami ‘kan juga ingin menjaga Ara,” Woody
protes.
“Iya,
kalau kami kau suruh keluar, kenapa Vernon tidak?” Gio juga ikut mengomel.
Dika
menggigit bibir kesal.
“Karena
kalian suka berisik, dan Vernon tidak. Sekarang, ayo keluar,” tanpa membiarkan
kedua pria itu saling membantah lagi, ia menariknya cepat, keluar kamar.
***
Ara
menatap seorang pemuda asing yang melenggang masuk ke kamar dengan langkah
santai. Posturnya agak gemuk dan tak terlalu tinggi. Ia mengenakan baju kasual
yang terlihat sedikit ketat. Entah karena ia agak gemuk, atau karena bajunya
yang terlalu kekecilan.
“Hai,
aku Bob.” Ia menyapa terlebih dahulu. “Senang melihatmu sehat kembali setelah
sempat mengalami sekarat,” lanjutnya. “Oke, Ara---,” Ia mendekati Ara yang
masih berbaring. Vernon sedang keluar. Jadi ia sendirian saat ini.
“Siapa
kau?” potong Ara.
“Aku
Bob,” lelaki itu kembali menjawab santai.
“Maksudku
... siapa kau? Kenapa kau ada di sini?”
Bob
memutar matanya kesal.
“Ini
rumahku. Tentu saja aku di sini,” jawabnya.
“Kau
sahabat Dika?”
“Tepatnya
aku sahabat DK, Vernon, Joey, Woody, Gio, mendiang Josh dan juga Dino. Puas?
Ada lagi yang ingin kau tanyakan makhluk fana?” kalimatnya sedikit ketus.
Ara
menelan ludah mendengar lelaki itu memanggilnya makhluk fana.
“Apa
kau makhluk abadi?”
“Yup,”
ia menjawab pendek seraya berdiri di samping ranjang Ara dan bersedekap angkuh.
“Kau
apa? Malaikat atau Nephilim?”
“Bukan
keduanya.”
“Vampir?”
“Bukan
juga,”
“Lalu?”
Bob
menarik nafas kesal menghadapi pertanyaan
Ara yang bertubi-tubi.
“Nona,
aku ke sini untuk memeriksa lukamu, bukan untuk menghadapi sesi tanya jawab,”
lelaki itu beranjak dan membuka baju Ara bagian atas dengan tak sabaran untuk
memeriksa luka panah di dadanya. Reflek gadis itu merapatkan bajunya dengan
takut.
Bob
kembali mendesah.
“Aku
dokter, jadi kau tak perlu takut. Aku sudah mempunyai masa kerja ratusan tahun,
jadi jangan takut kau akan mengalami malapraktek. Ingat, aku dokter yang berpengalaman,
saaangaat berpengalaman.” Ucapnya kesal.
“Tapi
aku tak tahu siapa kau?”
“Kan
sudah aku bilang kalau aku itu sahabat Dika, aku yang punya rumah ini dan aku
seorang dokter yang merawatmu. Berhentilah cerewet, dasar perempuan,” dengusnya
seraya kembali menarik baju Ara kemudian memeriksa lukanya.
Malas
berdebat lagi, akhirnya Ara membiarkannya.
Sesaat
setelah ia selesai memeriksa lukanya, Vernon muncul dari balik pintu.
“Bagaimana
keadaannya?” tanya lelaki itu. Bob berbalik dan menatap ke arah pemuda gondrong
tersebut.
“Dia
gadis yang kuat. Dan lukanya membaik dengan cepat.” Jawabnya.
“Tapi
pacarmu ini cerewet sekali,” keluhnya.
Ara
mendelik. “Aku bukan---,”
“Minum
obatnya dengan teratur. Jika tidak, awas kau,” Bob memotong ketus seraya
beranjak keluar. Vernon tersenyum mengucapkan terima kasih seraya duduk di sisi
Ara.
Sebelum
ia sempat bertanya, Vernon dengan suka rela menjelaskan tentang lelaki itu.
“Dia
Bob, teman kami. Dia dokter dan dia baik hati, jangan takut.” Ucapnya.
“Dia
bukan Nephilim, bukan malaikat, bukan pula vampir. Aku dengar dia barusan
bilang kalau dia juga makhluk abadi.
Lalu dia apa?”
“Imp.”
Jawab Vernon cepat.
Ara
menatapnya bingung. “Imp? Apalagi itu?”
“Setengah
manusia dan iblis.”
“Eh?”
Vernon
mengangguk.
“Sama
seperti kami, dia juga keturunan. Tapi dia keturunan manusia dan iblis. Jangan
khawatir, gen manusia yang ia punya lebih mendominasi. Jadi, yaa, ia seperti
manusia pada umumnya. Kadang baik, kadang jika marah, ia seperti iblis.” Lelaki
itu terkekeh.
Ara
melongo.
Setelah
Nephilim, sekarang ia berhadapan denga Imp. Oh astaga ....
“Dia
juga menjalani hidupnya seperti manusia pada umumnya. Seperti kami juga. Bedanya,
kami berbisnis, Bob memutuskan sekolah kedokteran. Ia juga berpindah-pindah
dari satu tempat ke tempat lain.”
“Apa
dia juga diburu?”
Vernon
menggeleng. “Tidak. Dia berpindah-pindah karena siklus saja. Orang di
sekitarnya menua, dan dia tidak. Makanya ia sering berpergian. Sungguh suatu
keberuntungan kami bisa menemukannya di sini,” jawabnya. Ara mengangguk-angguk.
“Apa
Nephilim dan Imp tidak saling bermusuhan?” tanya Ara lagi.
“Tidak
juga. Ada yang bermusuhan, ada juga yang tidak. Tergantung dari situasi dan
siapa yang dihadapai. Intinya, kami tidak saling bersinggungan satu sama lain.
Bob baik karena ia berutang budi pada Dika. Dulu ia pernah menyelamatkannya.
Dan mulai sejak itulah, ia bersahabat dengan kami.” lanjutnya.
Ara
kembali mengangguk-angguk.
Obrolan
mereka terhenti ketika tiba-tiba pintu kembali terbuka dan kali ini Joey muncul
dari sana. Sejak sadarkan diri dari pingsan yang cukup lama, ini pertama
kalinya Ara melihat lelaki berambut panjang tersebut.
“Vernon,
bisa tinggalkan aku dengan Joey?” Ara meminta lirih. Vernon mengangguk seraya
bangkit.
“Aku
akan meninggalkan kalian berdua,” ucapnya seraya meninggalkan ia dengan Joey.
Joey
mengangguk dengan kikuk lalu mendekati Ara.
“Maaf
aku baru menemuimu. Aku tak bermaksud apa-apa. Hanya –,” Ia membuka suara. “Kau
tahu bahwa keadaanku sedang tidak baik. Aku perlu waktu untuk ... menenangkan
diri,”
Ara
menatapnya dengan tatapan iba.
“Joey,
maafkan aku. Maafkan soal Josh. Aku tidak bermaksud menjadi penyebab ia akan
...” Suaranya tercekat.
Lelaki
cantik di hadapannya menggeleng.
“Tidak,
bukan salahmu. Ini memang betul-betul pertempuran kami. Jikalau toh ada yang
harus mati lagi, kami sudah cukup siap untuk itu. Meskipun tetap saja, ini
begitu menyakitkan.”
Ia
duduk di kursi di dekat ranjang. Kedua matanya berkaca-kaca.
“Aku
hanya terlalu mencintainya, Ara. Dia memperlakukan aku apa adanya, tanpa rasa
takut. Ia bahkan rela meninggalkan segalanya demi aku. Ini ... terlalu berat
buatku,”
Ara
mencoba bangkit. Dengan menahan perih, ia mencoba duduk. Gadis itu mengulurkan
tangannya lalu meraih tangan Joey. Air matanya menitik.
“Kemarilah,”
bisiknya.
Joey
bangkit, duduk di samping Ara, dan gadis itu segera memberikannya pelukan.
“Aku
turut bersedih,” bisiknya.
Dan
Joey terisak. Dalam pelukan Ara.
***
Ara
sedang menikmati cahaya matahari pagi hari dari balik jendela kamarnya ketika
Vernon masuk dan menyapa.
“Wow,
kau makin membaik sekarang,” ucap Vernon.
Ara
tersenyum dan mengangguk. “Aku sudah bisa berdiri dan berjalan sendiri. Tidak
terlalu jauh, tapi ini lebih baik,” jawabnya.
“Mau
ku bawa ke balkon?” Vernon menawarkan.
“Mau.”
Jawab Ara cepat.
Lelaki
itu bergerak, lalu mengangkat tubuh Ara dengan ringan.
“Aku
bisa berjalan sendiri,” Ara protes.
“Tidak,
akan lebih aman kalau aku menggendongmu ke sana.” jawab Vernon tegas.
Dan
Ara merasakan pipinya bersemu merah.
Lelaki
itu membawa Ara ke balkon lalu mendudukkannya di sebuah kursi panjang dari
kayu. Gadis itu menghirup udara pagi yang begitu segar. Entah kenapa ia serasa
hidup lagi. Rasanya sudah lama sekali ia tidak menikmati saat-saat seperti ini.
“Kau
senang?” Vernon duduk di sampingnya. Ara mengangguk.
“Setidaknya
setelah ini aku siap untuk berpetualang lagi denganmu, berlari dari satu tempat
ke tempat lain,” jawabnya dengan kekehan lirih.
Vernon
tersenyum kecut.
Hening
sesaat.
“Maafkan
aku, Ara.” Vernon memecah keheningan.
“Untuk?”
Ara menjawab tanpa melihat ke arah lelaki yang duduk di sisinya.
“Karena
aku nyaris membuatmu mati. Jika saja aku tak membawamu bersamaku, kau tak akan perlu
mempertaruhkan nyawamu.”
Ara
menggeleng lalu menatap Vernon.
“Kita
sudah membahasnya. Tolong jangan mengungkitnya lagi. Aku yang ingin ikut
bersamamu, bukan kau yang memaksaku. Jadi, berhentilah membicarakan ini. Aku
siap berangkat mengikutimu, kapanpun kau memintaku. Oke?” Ia menjawab tegas.
Vernon
kembali terdiam.
Hening
lagi.
“Ada
yang harus ku ceritakan padamu, Ara.” Suara Vernon terdengar berat.
Ara
kembali menatapnya. Kali ini sorot matanya terlihat heran.
Vernon
menarik nafas sesaat.
“Maaf
karena aku tak mampu menjagamu sehingga kau terluka. Dan ... maaf karena aku
tak mampu menyelamatkan Habin lagi.”
Ara
tercenung, menyadari kalimat Vernon yang ganjil.
Lagi?
Kenapa
dia bilang ia tak bisa menyelamatkannya lagi?
‘Lagi’?
Apa
maksudnya?
“Apa
maksudmu kau tak mampu menyelamatkannya lagi? Lagi. Apa itu artinya kau sudah
pernah menyelamatkannya?”
Lagi-lagi
Vernon tak segera menjawab. Lelaki itu menelan ludah sebelum akhirnya kembali
berkata-kata.
“Ara
...” Suaranya lirih. “Sebenarnya aku sudah bertemu denganmu sejak dua tahun
yang lalu. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak aku menyelamatkanmu dari
kecelakaan itu.” ucapnya.
Ara
tercengang.
Kecelakaan?
“Hari
ketika kau mengalami kecelakaan dengan kedua orang tuamu, akulah yang telah
menyelamatkanmu dan juga Habin. Aku berhasil mengeluarkan kalian sesaat sebelum
mobil itu meledak.” Ucapnya lagi.
Kedua
mata Ara membulat karena kaget. Ia menatap lelaki di hadapannya nyaris tak
berkedip.
“Berceritalah
dengan lebih jelas,” titahnya dengan suara berat.
Vernon
meremas jemarinya dengan gusar sebelum akhirnya kembali berkata-kata.
“Waktu
itu aku hanya sedang lewat ketika melihat mobil yang kalian tumpangi terperosok
ke jurang. Orang tuamu sudah meninggal di tempat kejadian ketika aku sampai di
sana. Dan sebelum mobil itu meledak, kau dan Habin berhasil ku keluarkan.
Sementara ayah dan ibumu --- maafkan aku. Aku tak mampu menyelamatkan mereka.”
Ara
tampak terpukul dengan cerita yang diutarakan Vernon.
Segera
pikirannya kembali ke peristiwa sekitar dua tahun yang lalu ketika ia dan
seluruh keluarganya mengalami kecelakaan.
Banyak
yang menduga bahwa ia dan Habin bisa selamat dari kecelakaan mengenaskan itu
karena sebuah keajaiban. Banyak juga yang mempertanyakan bagaimana ceritanya
dua bocah itu bisa selamat sementara kedua orang tua mereka terpanggang di
dalam mobil?
Ternyata,
inilah alasannya.
Karena
Vernon telah menyelamatkan mereka!
“Aku
tahu Habin baik-baik saja. dan aku tahu bahwa kau mengalami patah tulang rusuk
sebelah kanan. Ketika kau dirawat di Rumah Sakit, aku selalu rajin
mengunjungimu secara sembunyi-sembunyi. Dan dari situlah, akhirnya aku
menyadari bahwa ... aku telah jatuh cinta padamu.”
Kedua
mata Ara mengerjap. Vernon mencintainya...
“Kepindahanku
di sebelah rumahmu bukan disengaja, Ara. Akulah yang telah membujuk Dika agar
membeli rumah itu dan kami bisa tinggal tepat di sebelah rumahmu. Kau tahu
alasannya? Karena aku memang telah jatuh cinta padamu.” Vernon kembali
bercerita dengan canggung.
“Sebenarnya
Dika sudah melarangku. Ia keberatan dan mengatakan padaku bahwa mencintai
manusia hanya akan menempatkannya pada bahaya. Tapi ... ,” Kalimatnya terhenti
sesaat. “Tapi aku tak bisa menahan diriku. Aku tak bisa menahan rasa cintaku
padamu. Dan aku ingin berada di sisimu,” lanjutnya.
Kenangan-kenangan
awal pertemuannya dengan Vernon mulai bermunculan di benak Ara. Ia ingat bahwa
ia nyaris mati tertimpa dahan pohon yang jatuh. Ternyata, itu juga bukan suatu
kebetulan.
Vernon
ada di sana untuk menyelamatkan nyawanya!
“Maafkan
aku Ara ...” Kedua mata Vernon berkaca-kaca hingga membuat dada Ara sesak.
“Maafkan
aku. ... Jika saja aku mendengarkan saran Dika, jika saja aku tidak nekat
tinggal di dekat rumahmu, jika saja aku tidak nekat mendekatimu, mungkin saat
ini kau masih hidup bahagia dengan adikmu. Kau tak perlu susah-susah bersamaku
hingga akhirnya dapat membahayakan nyawamu...” dan kristal bening di mata
berwarna coklat itu menitik.
“Aku
tahu bahwa mencintai seorang makhluk fana adalah sesuatu yang tidak mungkin
buatku. Tapi aku benar-benar tak bisa menahan diriku untuk mencintaimu. Cinta
ini bisa jadi cinta terlarang, tapi setidaknya kau tahu bahwa ... kau punya
penggemar dari makhluk abadi,” suaranya tercekat.
Ara
menelan ludah. Ia merasakan kedua matanya juga basah.
Jadi
seperti inikah ceritanya?
Pemuda
di hadapannya ini begitu mencintainya hingga ia berniat menerjang takdir demi
dirinya?
“Karena
itu Ara ...” Lelaki itu kembali berucap. “Demi keselamatanmu, aku tak bisa lagi
membawamu. Kau harus aman. Jadi ---,” bibirnya bergetar.
“Kita
akan berpisah.”
Air
mata Ara menitik.
“Aku
akan pergi, dan Bob akan mengantarkanmu ke tempat asalmu.” Ucap Vernon lagi.
Ara
menggeleng lirih. “Tidak ...” desisnya.
Gadis
mungil itu beringsut mendekati Vernon lalu menyentuh pipinya dengan lembut.
“Kau
tak bisa meninggalkanku begitu saja setelah apa yang ku alami bersamamu,
Vernon. Tidak akan,” Ia berbisik pilu.
“Tapi
Ara ...”
Ara
mendekatkan wajahnya ke arahnya lalu mencium bibir lelaki itu dengan lembut.
Air matanya jatuh berderaian.
“Tidak,”
ia berbisik di atas bibirnya.
“Kau
tidak akan pergi meninggalkanku. Kau sudah berjanji membawaku. Dan kau harus
menepatinya,” dan ia kembali mencium bibir Vernon, kali ini lebih lembut.
Vernon
memejamkan matanya dengan frustasi, sebuah kebingungan yang tak berujung.
Yang
mampu ia lakukan saat ini adalah membingkai wajah Ara dengan kedua tangannya,
lalu membalas ciuman perempuan tersebut dengan sepenuh hati.
Dalam
hati ia menjerit pilu, jika saja ia mampu, ia bersedia menukar segala yang ia
punya demi bisa mengabadikan momen ini.
Momen
bersama Ara, memeluknya, dan mencium bibir manisnya dengan sepenuh jiwa raga.
***
Ketika
Ara bangun keesoka harinya, yang ia temukan adalah secarik kertas di meja rias
yang berisi ucapan perpisahan. Dari Vernon.
--Maafkan aku,
Ara. Mulai sekarang, hiduplah dengan baik. Selamat tinggal.—
Gadis
itu membaca tulisan itu berulang-ulang dengan hati hancur. Ia terisak seketika.
***
Ara
menuruni anak tangga dan mencari keberadaan Bob. Ia tak tahu obat apa yang
telah ia berikan padanya. Tapi keadaannya membaik dengan cepat. Tubuhnya kian
bugar dan luka bekas panah di dadanya juga mengering dengan cepat.
Mungkin
karena ia bukan manusia sehingga ia bisa mengobati seseorang dengan kekuatan
supernatural agar lekas sembuh? Mungkin saja.
“Hai,
kau sudah bangun? Sudah merasa lebih baik?” Bob menyapa dari balik meja
kerjanya.
Ara
nekat menerobos kamar pribadinya demi untuk bertemu dengan dirinya.
“Kapan
mereka pergi?” tanya Ara langsung.
“Siapa?”
Bob menjawab santai tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas di hadapannya.
“Tentu
saja Vernon dan saudara-saudaranya. Tolong jangan bertele-tele aku sedang
buru-buru! Kapan dan kemana mereka pergi?!” Nada suara Ara meninggi. Terdengar
putus asa.
Bob
melipat kedua tangannya di permukaan meja lalu menatap Ara dengan jengkel.
“Lalu,
kalau kau tahu kemana mereka akan pergi,
apa yang akan kau lakukan?”
“Mengejarnya,
tentu saja.” jawab Ara cepat.
Bob
menarik nafas.
“Vernon
benar, Ara. Bersama mereka hanya akan membahayakan nyawamu sendiri. Manusia
bepergian dengan Nephilim, bukan ide yang baik. Mengertilah, apa yang ia
lakukan hanya demi kepentinganmu. Ia tak ingin kau tewas,”
“Aku
tak akan tewas! Bahkan jika aku tewas, aku tak keberatan!” Ara menjerit.
“Kau
manusia yang keras kepala!” Bob bangkit.
“Tetap
saja aku tak akan memberitahumu kemana mereka pergi. Aku sudah berjanji padanya
untuk mengantarkanmu dengan selamat ke kota asalmu. Dan aku akan melakukannya,
walau aku harus menyeretmu dengan paksa.”
Bibir
Ara berdecih kesal. Ia meremas rambutnya dengan acak-acakan. Dan ketika
tatapannya singgah pada beberapa senjata api dan juga busur silang yang
terpajang rapi di lemari kaca dengan bingkai besi, ide itu muncul.
“Ajari
aku menggunakan itu,” Ia berujar sembari menunjuk senjata-senjata itu dengan
dagunya.
Bob
mengernyitkan dahinya.
“Untuk
apa kau ingin belajar?”
Ara
tak menjawab. Gadis itu bergerak, membuka pintu lemari, lalu mengeluarkan sebuah
pistol semi otomatis dan sebuah busur silang.
“Aku
harus bisa menggunakan senjata. Jadi jika aku bergabung dengan para Nephilim
itu, aku bisa menjaga diriku sendiri tanpa harus mati konyol.” Ia mengacungkan
pistol itu ke arah Bob.
“Aku
pernah ikut klub Archery. Jadi aku sedikit bisa menggunakan busur silang. Tapi
yang ini ...” Ia kembali menodongkan senjata api itu ke arah Bob hingga sempat
membuat lelaki itu bergidik.
“Ajari
aku menggunakan ini. Aku gadis yang pintar. Kau hanya perlu menunjukkan padaku
beberapa kali dan aku akan mempelajarinya dengan baik. Percayalah padaku,”
Bob
mendesah jengkel.
“Kau
benar-benar gadis yang merepotkan.” Desisnya. Tapi toh ia tetap mengajari Ara
cara menggunakan senjata api tersebut.
Ara
baru beberapa kali belajar cara menggunakan senjata api ketika tiba-tiba pintu
terhempas dan terbuka dengan kasar.
Ia
dan Bob baru mencerna apa yang sedang terjadi ketika tiba-tiba dua bayangan
melesat dan kini sudah berada tepat di depan mereka.
Ara
membelalak.
Duo
vampir, Jun dan Hans!
Ia
baru saja mengarahkan senjata api di tangannya ke arah Jun ketika tiba-tiba
sosok bermata tajam itu kembali melesat, mengarahkan jemarinya ke leher Ara.
“Apa-yang-kau-inginkan?”
Ara terbata, nyaris tak bisa bernafas karena lelaki itu mencekik lehernya.
“Lepaskan
dia!” Kali ini Bob berteriak. Di tangannya sudah ada busur silang yang mengarah
langsung ke arah Vampir itu.
Jun
dan Hans menyeringai ke arah Imp tersebut.
“Kau
tahu aku adalah makhluk abadi. Dan aku tak segan-segan untuk menembak langsung
ke jantung kalian! Sekarang, lepaskan dia!” perintahnya.
Masih
merasa enggan, toh Jun akhirnya melepaskan cekikannya. Ara terbatuk seraya
menyentuh lehernya sendiri.
“Jangan
berlebihan begitu, Imp. Aku tahu kau hebat. Tapi sekarang, rasanya tak akan
mungkin kau bisa menghabisi dua vampir sekaligus,” Hans terkekeh mengejek.
“Mungkin
tidak, tapi panahku cukup untuk menghabisi salah satu dari kalian. Dan bagiku,
itu sudah cukup.” Jawab Bob. Anak panah yang siap dilesatkan, mengarah langsung
ke jantung Jun.
“Jadi,
apa yang membuat kalian datang kemari dengan cara yang tidak sopan seperti ini?
Kita tak ada permusuhan ‘kan?” desis Bob lagi.
Ara
sempat terkesima. Imp yang terlihat penakut itu ternyata bisa juga bersikap
gentle dan menawan.
“Kami
hanya jalan-jalan. Dan tiba-tiba saja kami mencium aroma darah yang ... teramat
menggiurkan. Kami tak bermaksud mengganggu wilayahmu. Tapi, kau tahu sendiri
kan? Vampir lemah dengan aroma darah. Dan aroma itu menggiring kami ke sini
begitu saja,” jawab Jun dengan arogan.
“Dia
tidak bebas. Gadis ini ada dalam tanggung jawabku. Dan aku takkan membiarkan
kalian memangsanya. Jadi, segera tinggalkan tempat ini.” ancam Bob lagi.
Jun
dan Hans berpandangan. Terlihat sedang memikirkan sesuatu.
Sebelum
dua vampir itu sempat berkata-kata, Ara teringat akan sesuatu.
“Ayo
kita buat perjanjian,” ia berseru dengan spontan.
Jun,
Hans dan Bob menatapnya dengan heran. Ara melirik sekilas ke arah Bob, lalu
menatap Jun dan Hans dengan mantap.
“Bawa
aku pada para Nephilim itu. Dan setelah itu, kalian bisa menghisap darahku.
Bagaimana?”
Bob
terbelalak. “Apa yang ---? Apa kau gila!” teriaknya.
“Tidak.
Aku serius. Vampir bisa mendeteksi keberadaan Nephilim ‘kan? Bawa aku pada
mereka. Dan kalian bisa memangsaku. Oke?”
Mulut
Bob ternganga. Sementara Jun dan Hans berpandangan tak mengerti.
“Ara,
kau pasti gila. Jika Vampir memangsamu, kau akan ---,”
“Aku
sudah bosan jadi manusia.” Jawab Ara lagi mantap.
Jun
tertawa.
“Woa,
apa ini masalah cinta antara manusia dan Nephilim? Menarik sekali,” ujarnya.
“Setuju.”
Hans yang menjawab terlebih dahulu.
“Ara,
pikirkan baik-baik. Ini tidak semudah yang kau pikirkan. Berpikirlah lebih jernih!”
Bob membentak.
Namun
gadis itu sudah mantap. Ia menggeleng ke arah Imp itu, lalu menatap dua Vampir
di hadapannya sembari bekata, “Deal.”
Katakanlah
mungkin sekarang Ara sedang kalap. Tapi tekadnya sudah bulat.
Ia
tidak akan diam berpangku tangan. Jika memang harus, ia akan ikut bertarung di
antara sekian makhluk abadi dan terlibat permusuhan di dalamnya.
Ia
teringat dengan kata-kata Josh beberapa waktu yang lalu.
--Kelak, jika
kau menemukan seseorang yang membuatmu jatuh cinta setengah mati, mampu
membuatmu aman walau sebilah pisau ditodongkan ke lehermu, mampu menyerap semua
energi positif yang kau miliki, kau akan mengerti dan memahami keputusan yang
ku ambil. Mencintai tanpa pamrih, tanpa peduli resiko yang kau dapat. Walau
harus berkorban nyawa, walau harus meninggalkan segala yang kau punya. Asalkan
bisa bersamanya, konsekuensi itu sepadan.—
Dan
sekarang Ara berada pada fase itu.
Ia
akan melakukan segala yang ia bisa, dan mengorbankan semua yang ia punya.
Demi
bisa bersamanya.
Bersama
sosok yang telah beberapa kali menyelamatkan nyawanya.
Bersama
sosok makhluk abadi yang telah memiliki seluruh jiwa dan raganya.
Bersama
sosok Nephilim memikat yang telah mencuri hatinya.
Vernon.
***
Bersambung
....