Senin, 16 Mei 2016

NEPHILIM #4



Ara bangun keesokan harinya tepat ketika cahaya matahari menyeruak masuk melewati korden jendela. Gadis itu menggeliat sesaat. Sejenak ia lupa kalau ia tidak berada di kamarnya.
Sampai akhirnya ia mencium aroma yang berbeda dari ruangan yang sedang ia tempati.
Ia bangkit dengan tiba-tiba lalu menatap sekelilingnya.
Ah, akhirnya ia ingat ia sedang berada di kamar Vernon.

Mata beningnya menatap keseluruhan ruang bernuansa abu-abu itu. Rapi, minimalis, dan ... khas. Khas aroma tubuh Vernon. Tidak terlalu wangi, tidak menusuk, tapi terkesan fresh dan lembut.

Gadis itu turun dari tempat tidur dan beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka. Sesaat sebelum ia keluar dari kamar, ia sempat mengecek bayangannya di cermin. Sekedar merapikan rambutnya yang acak-acakkan.

Ia menuruni tangga dan bergerak melangkahkan kakinya menuju dapur. Berharap ia bisa membantu menyiapkan sarapan pagi.
Ketika sampai di sana, ia melihat Joey sudah sibuk menata sarapan di meja makan.
“Maaf, aku bangun kesiangan,” sapa Ara. Ia segera membantu lelaki itu menata piring.
Joey tersenyum lembut. “Tak apa-apa. Hanya sekedar makan biasa,” jawabnya.
“Sepi,” Ara menatap sekeliling ketika menyadari tak ada celotehan dari Habin ataupun yang lainnya.
“Habin dan Dino bangun pagi-pagi sekali. Mereka jogging bersama. Gio dan Woody masih tidur. Yang lainnya, masih ada urusan.” Joey menjelaskan.
Ara manggut-manggut.

“Ara, maaf soal semalam. Kau pasti kaget.” Ucap Joey lagi. “Kami tak bermaksud melibatkanmu dalam masalah ini. Ini di luar dugaan kami kalau kau akan ...”
“That’s fine,” potong Ara. Ia tersenyum lembut ke arah pemuda berambut panjang tersebut. “Vernon sudah menceritakan segalanya padaku. Dan, aku masih tetap ingin bersahabat dengan kalian. Jujur selama ini aku dan adikku merasa kesepian. Tapi sejak kita bertetangga, adikku senang sekali. Dan aku senang kita semua bisa bersahabat,” lanjutnya.
Joey tersenyum. “Suatu saat nanti kami akan pergi. Pindah dari satu tempat ke tempat lain, seperti biasanya. Tapi selama kita masih di sini, ayo nikmati saja waktu kita bersama.”
Ara mengangguk.
Pasti.

“Makanlah dulu. Aku akan pergi ke pasar, berbelanja untuk makan siang nanti,”
“Biar aku saja yang belanja,” cetus Ara. Joey mengibaskan rambutnya yang tergerai. “Kau? Yang belanja di pasar?”
Ara langsung mengangguk.
“Aku tidak repot. Biar aku saja yang belanja. Aku tinggal lebih lama di sini. Jadi aku tahu tempat mana yang menjual barang dengan kualitas bagus dan harga murah. Aku tahu uangmu banyak. Tapi bukan berarti kau bisa membeli sesuatu seenaknya ‘kan? Kau hanya perlu mencatat apa saja yang kau butuhkan dan aku yang akan pergi ke sana,” jawabnya.
Terlihat berpikir sesaat, akhirnya Joey mengangguk.

***

Setelah menerima beberapa lembar uang dan catatan belanja, Ara melangkah dengan riang. Ia sempat berpapasan  dengan Woody dan Gio di halaman rumah. Dua lelaki tampan itu tampak berkeringat selepas jogging.
Teringat akan cerita Vernon semalam, bagaimana dua lelaki itu kesepian selama ratusan tahun, merindukan ibu mereka, Ara kembali trenyuh dan iba.  Perempuan itu berjingkat, menubruk dan memeluk pria-pria itu secara bergantian. Ia tak tahu kenapa, ia hanya ingin memeluk mereka begitu saja.

Woody dan Gio hanya tercengang menerima pelukan tak terduga tersebut.
“Ara, kenapa? Kami berkeringat.” Keluh Woody.
Ara hanya tersenyum. “Apa terjadi sesuatu padamu?” tanya Gio heran.
Gadis cantik itu menggeleng.
“Tidak. Aku hanya terlalu senang karena bisa bersahabat dengan kalian. I love you, guys!” teriaknya seraya kembali  memeluk mereka secara bergantian kemudian beranjak meninggalkan mereka.

Woody dan Gio berpandangan heran.
“Apa dia salah makan sesuatu?” desis Gio. Woody menggeleng bingung.
“Tapi dia bilang dia mencintai kita?” gumamnya.
Keduanya terkikik. Rona merah menghiasi wajah mereka yang berkeringat.
“Yess!” Mereka ber-high five.

Sementara Ara berjalan ringan menuju rumahnya untuk mandi dan berganti baju.
Sembari menyantap sepotong roti dari kulkasnya, ia beranjak menuju pasar, siap berbelanja kebutuhan sesuai catatan belanja yang diberikan Joey.

***

Ara sedang dalam perjalanan pulang dari pasar ketika menemukan tas belanjaannya robek hingga beberapa barang belanjaannya jatuh berserakan. Gadis itu sempat menggerutu sebelum memunguti beberapa sayuran yang tercecer dipinggir jalan. Dan beruntung ketika seorang pemuda dengan sukarela membantunya memunguti sayuran tersebut.
“Terima kasih,” ucap Ara.
Pemuda sipit berambut blonde itu tersenyum manis. Wajahnya tampan dan terlihat ramah.
“It’s okay. Hati-hati ya. Jangan sampai jatuh lagi,” jawabnya. Ia menatap Ara dengan tatapan lembut. “Oh, kau Ara ‘kan?”
Ara mengernyit heran. “Kau tahu aku?”
Ia mengangguk. “Beberapa waktu yang lalu aku melihatmu berangkat sekolah bersama dengan Vernon,”
Mendengar nama Vernon disebut, Ara reflek mundur beberapa langkah dengan waspada. Entah kenapa ia merasa sensitif ketika ada orang yang mengenal Vernon setelah ia mengetahui jati dirinya. Ia mulai paranoid. Takut bahwa yang ia hadapi adalah makhluk abadi lain.

“Aku baru beberapa hari mengenalnya. Kami sama-sama mengikuti kelas dance,” pemuda itu kembali berucap. Ara kembali menatapnya dengan was-was. Sadar akan tatapan curiga Ara, pemuda itu kembali tersenyum.
“Sampaikan salamku padanya,” dan Ia beranjak.  
“Aku tidak tahu namamu!” teriak Ara.
Pemuda itu menoleh dan kembali tersenyum lembut. “Hoshi,” jawabnya.

***

Ketika Ara sampai di rumah Vernon, ia menyaksikan Dino dan Habin bermain bola di halaman.
“Habin, setelah ini kita akan pulang. Oke?” teriak Ara. Habin tampak cemberut, tapi toh ia mengangguk dengan patuh. “Oke,” jawabnya.

Gadis itu menyapa singkat ke arah Dika, Woody dan Gio yang tengah mengobrol di ruang tengah, lalu bergerak ke dapur. Meletakkan barang-barang belanjaannya di sana.
“Kenapa kau yang belanja?” Vernon muncul dari anak tangga.
“Tadi aku juga berniat belanja ke pasar. Jadi sekalian saja aku membantu Joey,” jawabnya. Yang dibicarakan muncul dari ruang lain, bersama Josh di sisinya.
“Kau sudah pulang?” Joey menyapa. Ara mengangguk dan tersenyum puas. Senyum di bibirnya menghilang ketika Josh menatapnya dengan tatapan penuh selidik.
“Kenapa?” tanya gadis itu heran.

Josh tak segera menjawab.
“Apa kau bertemu dengan seseorang?” tanyanya. Ara menelengkan kepalanya bingung.
“Seseorang? Aku bertemu banyak orang.” Jawabnya. Tapi sesaat kemudian ia seakan teringat akan sesuatu. “Oh ya, aku bertemu teman Vernon. Namanya ...” ia mencoba mengingat-ingat.
“Temanku?” Vernon menggumam.
Ara mengangguk. “Dia membantuku memungut barang-barang belanjaanku yang terjatuh. Dia bilang dia temanmu di kelas dance. Namanya ... aduh, siapa tadi namanya? Aku agak lupa. Dia tampan, rambutnya blonde, dan matanya sipit.” Ucapnya.

Josh tampak pucat. Ia mematung seketika. Suasana hening. Vernon dan yang lainnya menatapnya bingung.
“Josh?” Dika bersuara. “Kali ini siapa?” raut mukanya was-was. Ara menatap ke arah pemuda-pemuda yang tengah berdiri saling bertatapan satu sama lain itu dengan bingung.
Tampak Josh menelan ludah.
“Salah satu malaikat tertinggi. Hoshi,”

“Hoshi! Nah, itu namanya. Aku bertemu dengannya ketika pulang berbelanja,” jawab Ara spontan.
Vernon mendekat ke arah Ara dengan segera.
“Kau bertemu dengannya? Apa yang dia lakukan padamu? Apa ia menyakitimu?” Ia bertanya cemas.
Ara menggeleng. “Tidak.” jawabnya segera. “Dia malah membantuku. Ada apa? Ada hal penting? Berbahaya? Josh bilang dia ... malaikat?”

Mereka berpandangan dengan was-was. Tak terkecuali Joey yang biasanya nampak tenang.
Dan Ara segera tahu bahwa itu pertanda tidak baik.
“Aku hanya tak mengira bahwa mereka akan mengetahui keberadaan kita secepat ini.” Dika mendesis.
“Jadi sekarang bagaimana?” Woody dan Gio bertanya hampir bersamaan.
Nephilim paling tua itu tak menjawab. “Kita tunggu saja langkah apa yang akan mereka lakukan,” jawabnya kemudian.
“Ara, jika kau bertemu dengannya lagi, menghindarlah,” nada suara Vernon tak lebih seperti sebuah perintah.
Ara menatapnya tak mengerti.
“Kenapa? Bukankah malaikat tidak menyakiti manusia?”
“Dia berbeda.” Josh menyahut. “Dia memang malaikat, bahkan salah satu malaikat tertinggi. Tapi dia teguh dalam  melaksanakan tugas. Menjalankan perintah dengan baik dan menyingkirkan penghalang. Itu prinsipnya.” 

Ara menelan ludah dengan susah. Tanpa mau menambah kekhawatiran Vernon dan saudara-saudaranya, gadis itu mengangguk. “Oke, aku akan menghindarinya.” Jawabnya.

***

Ara dan Habin sudah kembali ke rumah mereka sendiri sore harinya. Awalnya Habin menolak pulang karena masih ingin bermalam di rumah Dino, tapi setelah membujuknya, menjanjikan ini dan itu padanya, akhirnya bocah itu bersedia pulang.
“Berarti lusa aku boleh menginap lagi di rumah Kak Dino? Kakak sudah janji mengijinkanku ‘kan?” Bocah itu tak henti-hentinya mengingatkan Ara soal janjinya.
Ara mengangguk lelah. “Iya, kakak janji. Lusa kau boleh menginap di sana lagi. Asal tidak merepotkan dan tidak nakal.” Ucapnya.
“Aku tidak pernah nakal. Aku juga tidak pernah merepotkan. Kakak bisa bertanya pada kak Dino kalau tidak percaya. Aku anak yang baik,” Habin membela diri.
Ara kembali mengangguk-angguk lelah.
“Iya, iya, tahu. Sekarang segera persiapkan perlengkapan sekolahmu untuk besok dan tidurlah. Jangan bangun kesiangan.”
Habin mengangguk cepat lalu bergerak ke kamarnya.

Ara bersiap mengunci pintu ruang tamu ketika tiba-tiba kepala Vernon menyembul dari sana.
“Oh, kau membuatku kaget,” gerutu Ara.
Vernon tersenyum. “Maaf,” ia meringis. Ia membuka pintu lebar-lebar lalu melangkah masuk tanpa menunggu dipersilakan oleh sang pemilik rumah.
“Ada apa?” tanya Ara.
Vernon menggeleng. “Tidak ada. Hanya ... mengecek keadaanmu saja,” jawabnya.
Ara terkekeh. “Aku baru meninggalkan rumahmu sekitar 15 menit yang lalu. Kau tak perlu cepat-cepat mengecek keadaanku. Aku baik dan ... tidak apa-apa. Tak perlu cemas.” Jawabnya.
Vernon manggut-manggut.
“Boleh aku tidur sini?”
“Heh?” Gadis itu membelalak.
“Aku khawatir padamu. Jadi ...”
“Vernon, takkan terjadi apa-apa denganku. Aku bisa menjaga diriku, oke?” potong Ara.
Vernon menatapnya dengan ragu hingga membuat Ara menghela nafas.
“Pulanglah. Aku aman. Lagipula, bahaya apa yang menimpaku? Tak ada ‘kan? Kau yang harus lebih hati-hati menjaga diri karena malaikat mengetahui keberadaanmu.”
Ia mendorong punggung Vernon dengan lembut dan menyuruhnya pulang.
“Pulanglah. Jangan terlalu mengkhawatirkanku. Kau sendiri harus banyak istirahat. Kau terlihat lelah. Aku akan baik-baik saja, percayalah. Jika ada apa-apa aku akan berteriak dan kau bisa mendatangiku dengan secepat kilat,” ia memastikan.
“Kau yakin?” tanya Vernon lagi. Ara mengangguk.
Dan dengan berat hati, akhirnya Vernon menuruti kemauan gadis tersebut untuk pulang.

Lelaki itu baru saja meninggalkan rumah ketika Ara mendengar pintu diketuk oleh seseorang. Mengira bahwa itu Vernon, Ara berlari kecil dengan kesal.
Namun begitu pintu terbuka olehnya, tampak pemuda tampan berambut blonde dan bermata sipit sudah berada di hadapannya. Pemuda itu tersenyum sinis.

Ara menelan ludah.
Itu Hoshi.

***

“Aku tak menyangka mereka akan mengetahui keberadaan kita secepat ini,” Dika membuka suara setelah beberapa menit keadaan hening. Pria itu duduk seperti biasa di kursi kesayangannya. Woody dan Gio duduk berdampingan di kursi yang berada di sebelahnya. Sementara Joey dan Josh berdiri bersandar kusen berdampingan. Dan Vernon, seperti biasa, ia duduk santai di langkan jendela.

“Apa kita harus berkemas lagi? Bersiap-siap melarikan diri lagi?” tanya Woody tanpa antusias.
“Aku tak mau. Aku lelah.” Sahut Vernon.
“Hei, jika kita tak segera pergi dari sini, itu sama saja dengan mati,” Joey yang sejak tadi diam ikut bersuara.
“Jika memang begitu, aku akan bertarung dengannya sampi titik akhir. Aku, atau mereka yang mati, selesai.” Jawab Vernon lagi.
“Vernon ...,”
“Kita harus pergi, Vernon. Ini pilihan kita satu-satunya. Kita tak tahu berapa banyak musuh yang akan kita hadapi. Satu malaikat tinggi sudah cukup merepotkan. Bagaimana jika dia membawa sepasukan malaikat yang lain?” Dika memotong kalimat Joey. Tatapannya yang bijak lurus ke arah Vernon yang masih duduk santai di lantai jendela, membelakangi saudara-saudaranya.
“Tidak. Jika kalian ingin pergi, pergi saja. Aku lelah berlari dari satu tempat ke tempat lain. Aku ingin di sini. Mati ...” ia terkekeh sinis. “Aku sudah siap untuk itu,”

“Vernon.” Kali ini Dika bangkit. “Ini tidak hanya tentang keselamatanmu. Ini juga tentang keselamatan Ara dan Habin.”
Mendengar nama Ara dan Habin disebut, Vernon menoleh. “Kenapa kau harus menyebut nama mereka? Mereka tak ada hubungan sama sekali dengan keadaan kita,” ucapnya sengit.
“Kau lupa siapa yang mengejar kita kali ini? Dia Hoshi. Tak perlu ku sebutkan karakteristiknya pun kau sudah tahu bahwa ia berbahaya bagi nephilim, bagi makhluk abadi lain, dan bahkan bagi manusia sekalipun. Manusia yang punya hubungan dengan makhluk seperti kita dan ...”
“Cukup,” merasa gerah, lelaki berambung gondrong itu setengah berteriak.
Ia beringsut turun. “Baik, kita pergi. Kapan? Sekarang?” ucapnya frustasi.

Obrolan mereka di malam hari yang sunyi itu terhenti ketika tiba-tiba Dino menyeruak masuk ke ruang tengah dengan tergopoh-gopoh.
“Kak!” Ia berteriak histeris.
“Ada apa?” Dika bangkit dengan waspada. Menyadari pasti ada hal yang tidak beres.
Dino menelan ludah sebelum menatap langsung ke arah Vernon.
“Ara hilang,” desisnya lirih.

Vernon membelalak, begitu pula ke lima pemuda yang lain. Tubuh mereka segera menegang. Terutama Vernon yang langsung terlihat pucat seketika.
“Habin baru saja menelponku sambil sesenggukan. Dia bilang tiba-tiba saja Ara menghilang dari rumah. Dia ---,” ia bahkan belum sempat meneruskan kata-katanya ketika Vernon beranjak.
“Josh, bantu aku melacak keberadaan Ara!” teriaknya. Josh segera mengangguk tanda mengerti.

Di antara mereka ber-tujuh, hanya Josh yang mampu  melacak keberadaan seseorang ataupun makhluk lain. Ia punya semacam ‘penglihatan’ yang membantu mereka untuk mengetahui ada malaikat atau tidak di sekitar mereka.
Sementara Joey, Dika dan Vernon, mereka sama-sama punya telepati yang mampu menjalin komunikasi batin. Biasanya jika Josh menemukan sesuatu hal yang tidak beres, ia akan menyampaikannya pada Joey. Dan secara otomatis, Joey akan menyampaikannya juga pada Dika atau Vernon, walau posisi mereka berada ratusan kilometer.

“Aku tak bisa melakukan ini di sini. Kita harus keluar,” ucap Josh di tengah-tengah konsentrasinya.
“Oke, kita berpencar,” seru Gio.
Dan akhirnya mereka menyebar.
Joey bersama Josh, Woody bersama Gio, dan Vernon langsung menuju rumah Ara untuk melihat keadaan Habin.
Sementara Dika tetap di rumah menemani Dino.

***

Vernon menyeruak memasuki rumah Ara dengan kalap. Berharap ada keajaiban yang mampu mengembalikan Ara di sini. Di rumah ini, dalam keadaan baik-baik saja.
“Kak Vernon, di mana kak Ara?” tanya Habin dengan sesenggukan.
Vernon menatapnya lembut, berusaha bersikap tenang.
“Jangan khawatir Habin. Kakakmu sedang pergi ke rumah temannya. Nanti akan aku jemput. Sekarang ikutlah denganku, kau akan tidur lagi dengan kak Dino. Oke?” ucapnya.
Habin masih belum sempat meredakan isak tangisnya ketika Vernon mengangkat tubuhnya dengan ringan dan menggendongnya.
“Sstt, jangan menangis. kakakmu baik-baik saja. Dia masih pergi ke rumah temannya untuk mengambil buku pelajaran,”
“Tapi tak biasanya ia pergi tanpa berpamitan padaku. Aku jadi takut ia akan pergi meninggalkanku seperti yang dilakukan ayah dan ibuku,” isaknya.
Vernon menelan ludah. Hatinya mencelos. Tidak! Ara akan baik-baik saja! Teriaknya dalam hati.

“Akan ku antarkan kau ke rumah kak Dino terlebih dulu. Setelah itu aku akan menjemput kakakmu. Oke?” ujarnya dengan suara tercekat lalu bergerak meninggalkan rumah Ara menuju rumahnya sendiri.
Setelah ia mengantarkan Habin ke sana, pemuda itu segera melesat kembali.
Menyisir pelosok kota mencari Ara.

***

-Atap gedung.

Ia mendengar bisikan itu melalui kekuatan pikirannya. Joey berkali-kali mengucapkan kata itu.

-Atap gedung yang mana?

Vernon membalas.

-Entahlah. Josh pikir, yang paling tinggi.

“BANYAK GEDUNG TINGGI DI SINI!” Vernon berteriak frustasi, tanpa mau repot-repot menggunakan kekuatan pikirannya lagi.

Lelah berputar-putar di pelosok kota, ia berusaha memfokuskan pikirannya untuk mencari gedung paling tinggi di kota tersebut.
Dan tepat sebelum ia beranjak, ia mendengar Joey berseru. –Ketemu!

***

Vernon mendekati sosok itu dengan langkah gontai.
Sesosok gadis yang tengah terbaring tak bergerak, tepat di atas pembatas atap gedung. Beberapa inchi saja gadis itu bergerak, bisa dipastikan tubuhnya akan terjun bebas menghantam jalanan di bawah sana yang jaraknya sekitar ratusan meter.
Vernon bergidik ngeri.
Membayangkan Ara menggeliat, lalu tubuh mungilnya meluncur bebas dan remuk menghantam tanah!

Lelaki itu mendekati sosok yang tetap terpejam itu dengan takut-takut. Dan air matanya seketika menitik manakala ia menyadari Ara masih bernafas.
Bukan, ini bukan air mata kesedihan. Ia hanya terlalu terharu ketika menyadari bahwa gadis itu masih hidup. Gadis itu hanya tak sadarkan diri.

Dengan segera Vernon meraih tubuh mungil tersebut, menggendongnya  dan membawanya ke tempat yang aman, lalu mendekapnya erat. Air matanya kembali menitik.
“Terima kasih karena kau masih hidup,” bisiknya parau.
Dan gadis itu tetap saja menutup mata dengan tenang.

Mata coklat Vernon membesar ketika menyadari ada secarik kertas terselip di antara kerah baju Ara.
Lelaki itu meraihnya dan membaca sederet kalimat dengan tak sabar.

-*- Aku hanya mengajaknya jalan-jalan. Dan si puteri tidur tetap tak membuka mata. Ini hanya pemanasan. Kelak, aku tak segan-segan untuk menjatuhkannya dari lantai tertinggi demi untuk menyaksikan tubuhnya remuk menghempas tanah.-*-

Vernon meremas-remas kertas tersebut dengan kesal.
Sesaat kemudian Joey, Josh, Gio dan Woody sampai di tempat mereka.

“Apa dia baik-baik saja?” Gio dan Woody berseru hampir bersamaan seraya berlutut di samping Vernon yang masih mendekap Ara. Gadis itu tetap tertidur dengan nyenyak.
“Dia tak apa-apa. Hanya tak sadarkan diri. Ini ... semacam peringatan buat kita,” jawab Vernon. Lelaki  itu menatap ke arah Josh.
“Hoshi-kah?” ia memastikan. Dan Josh mengangguk.
“Apa ia masih di sekitar sini?”
Josh menggeleng.
“Dia sudah pergi. Sejak beberap waktu yang lalu. Aku tak mampu merasakan keberadaannya sekarang,” jawabnya.

Vernon merasakan rahangnya menegang menahan gejolak amarah.

***

Ara membuka mata dan menyadari ia tak berada di kamarnya. Sempat merasa pening sesaat, ia menatap sekitarnya dan melihat Vernon duduk di sofa yang berada di sisi tempat tidur.
“Kau sudah bangun?” Vernon membuka suara dan tersenyum.
Bola mata Ara mengerjap dan menatap sekelilingnya sekali lagi. Ia ada di kamar Vernon.

“Kenapa aku di sini?” Ia seolah bertanya pada dirinya sendiri. Mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Dan segera ia terlonjak.
“Hoshi! Aku bertemu dengannya!” ia berteriak dan turun dari ranjang dengan segera. Ia terhuyung dan merasa pening seketika. Vernon bangkit dan menopang tubuhnya.
“Dia datang ke rumahku dan setelah itu ...” Ara mengoceh. “Habin?” Ia nyaris berlari ke luar kamar jika saja Vernon tak menarik tangannya dengan lembut.
“Habin baik-baik saja. Ia sedang sarapan pagi dengan Dino.” Ucapnya.
Ara menatap lelaki di hadapannya, mencoba memastikan.
“Apa yang terjadi denganku?”
Vernon menggeleng.
“Tidak ada. Kau hanya tertidur dan aku membawamu kemari karena khawatir padamu,” jawabnya.
“Duduklah dulu. Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Mau ku suapi?” Vernon membimbing Ara untuk duduk kembali  ke ranjang. Setelah itu ia mengambil nampan berisi secangkir teh hangat dan semangkuk bubur.

“Minumlah dulu,” Vernon menyodorkan mulut cangkir ke depan bibir Ara. Dan gadis itu menyesapnya pelan. Rasa hangat yang memenuhi kerongkongannya membuat ia merasa sedikit lebih tenang.

“Ara ...” Suara Vernon terdengar berat. “Sekarang kau tahu bahwa situasi kami tidak bagus. Jadi, segera setelah kau selesai sarapan. Pulanglah dengan Habin. Dan ... kami akan pergi.”
Mendengar penuturan lelaki itu, Ara menatapnya dengan tatapan tak percaya.
“Pergi? Kau akan pergi?” Ia mendesis lirih.
Vernon mengangguk. Ia menatap gadis di hadapannya dengan tatapan tak rela.
“Kami akan pergi. Para malaikat sudah mengetahui keberadaan kami di sini. Dan bisa saja kami membahayakan nyawamu dan juga nyawa adikmu. Jadi ...” suaranya tercekat. “Mungkin ini akan menjadi pertemuan kita yang terakhir.”

Kedua bahu Ara lunglai. Merasa belum siap menerima kata-kata Vernon.
“Kemana kau akan pergi?” ia bertanya lirih.
Vernon tak menjawab. Ia menunduk sesaaat, mencengkeram pinggiran nampan, lalu menarik nafas panjang. “Entah. Pokoknya pergi, melarikan diri. Lagi,” jawabnya getir.

Dan Ara merasakan mulutnya hambar.
Untuk suatu alasan yang belum ia ketahui, ia merasa belum siap berpisah dengan para Nephilim ini, dengan Vernon.

***

Ara menuruni tangga dan menemukan Dika beserta yang lain duduk-duduk di ruang tengah. Mereka langsung terdiam ketika melihat kedatangan Ara. Terlihat dengan jelas bahwa mereka baru saja terlibat perbincangan yang serius.
“Kau baik-baik saja?” Gio dan Woody bangkit dan mendekati Ara bersamaan. Gadis itu tersenyum.
“Aku baik-baik saja. Vernon sudah membawakan sarapan yang lezat padaku,” jawabnya seraya melirik ke arah Vernon yang berdiri di sampingnya.
“Habin kemana?” Ia bertanya ketika tak melihat bocah itu bersama mereka.
“Oh, dia sudah pulang duluan. Dino yang mengantarkannya. Dia bilang dia lupa memberi makanan ikan kesayangannya makanya ia buru-buru minta di antarkan ke sana,” jawab Dika.
Ara manggut-manggut.
“Kalau begitu, aku juga akan pulang. Terima kasih karena semalam aku diijinkan tidur di sini lagi.” ucapnya seraya kembali melirik ke arah Vernon dengan tatapan tak menentu.
Dika tersenyum.

Ara baru saja hendak melangkahkan kakinya menuju pintu ketika tiba-tiba saja mereka mendengar sebuah ledakan yang sangat dahsyat dari luar rumah.
Ara merunduk seketika. Dan reflek Vernon berlari ke arahnya lalu mendekap tubuhnya dengan sikap protektif.
Mereka berpandangan silih berganti dengan bingung. Hingga akhirnya mereka sadar bahwa ledakan itu berasal dari samping rumah mereka, dari rumah Ara!

Ara membelalak. “Habin!” Ia berseru.
“Dino!” Dan Dika ikut berteriak.
Serta merta mereka menyeruak keluar dari rumah mereka dan segera berlari menuju rumah Ara.
Dan lutut mereka lemas ketika menyaksikan apa yang terpampang di hadapan mereka.

Api berkobar dan rumah mungil itu luluh lantak tak terbentuk.

“Habiiiiinnnn!” Ara berteriak histeris dan berlari mendekat ke arah rumah yang diliputi api dan asap tebal tersebut. Vernon sigap  menarik tubuhnya dan mendekapnya erat. Gadis itu sempat meronta, namun Vernon tak berhenti untuk terus mendekapnya, berusaha menenangkannya.

“Habin ada di rumah itu, Vernon! DIA ADA DI RUMAH ITU BERSAMA DINO!!” Ia kembali menjerit. Histeris. Air matanya jatuh berderaian.
Ia menarik baju lelaki yang mendekapnya lalu menatapnya dengan tajam. Dan ia melihatnya, Vernon juga menitikkan mata.

Ara menggeleng.
“Tidak ...” desisnya.
“Tidak ...”
Gadis itu ambruk.
Vernon terisak, menatap ke arah rumah yang hancur tersebut. Menatap ke arah puing-puing yang berserakan. Dan bisa jadi, puing-puing itu adalah sebagian kecil dari tubuh Dino dan Habin.

Dika juga terlihat syok. Air matanya menitik. Begitu pula dengan keempat saudaranya yang lain.
Mereka kehilangan Dino.
Dan juga ... Habin.

***

Polisi sudah menyelidiki penyebab meledaknya rumah Ara yang menyebabkan Dino dan Habin tewas. Tubuh kedua bocah itu hancur tak tersisa. Mereka mengatakan bahwa kebakaran dan ledakan hebat itu disebabkan oleh tabung gas.
Namun Ara dan yang lainnya tahu, bukan karena itu penyebabnya.

Hanya ada upacara kematian sederhana di rumah Vernon.
Ara masih tampak syok. Beberapa kali gadis itu tak sadarkan diri.
Semuanya berduka.
Dika mengurung diri di kamar dan terus menerus menangis.
Sementara Woody dan Gio duduk mematung tak berdaya. Josh berusaha menenangkan Joey yang juga tampak syok.
Sementara Vernon tak lelah untuk terus berada di sisi Ara. Memeluk gadis itu dengan lembut, mencoba menenangkannya. Meskipun ia tahu, hatinya juga hancur dengan kematian Habin dan Dino.



***

Ara duduk membisu di kursi kayu yang berada di kamar Vernon.
Lelaki itu menatapnya dengan tatapan pedih. Tak berdaya.

“Vernon ...” Ara membuka suara lirih.
“Hm,” dan lelaki itu hanya menjawab pendek. Suaranya serak.

“Aku tak punya siapa-siapa sekarang,” Ara kembali berujar tanpa menatap lelaki yang duduk tak jauh darinya. Suaranya luruh, tak bernyawa. “Aku tak punya siapa-siapa sekarang,” ia kembali mengulangi kalimatnya.
“Apa kau akan meninggalkanku?” Kali ini ia menoleh dan menatap langsung ke mata coklat Vernon.
Sementara yang ditatap hanya mampu membisu tanpa tahu harus menjawab.

“Jangan pergi ...” dan air mata Ara kembali menitik. “Jika kau pergi, aku tak tahu harus bagaimana lagi.” Bahunya terguncang. “Bisakah kau membawaku, huh? Aku tak peduli kemana kalian pergi. Bisakah kau membawaku, bersamamu?”

Vernon menggigit bibirnya. “Ara ..” suaranya tercekat. “Ini berbahaya. Nyawamu bisa terancam. Dan ...”
“Aku bahkan seperti orang mati sekarang,” perempuan itu terisak. “Jangan pergi, ku mohon. Jika kau harus pergi, bawalah aku bersamamu. Aku tidak bisa di sini sendiri. Tidak akan bisa  ...”

Kedua mata Vernon berkaca-kaca. Perlahan ia bangkit lalu beranjak. Dengan hati hancur ia berlutut di depan gadis yang tampak ringkih tersebut. Tangannya terulur, menyingkirkan untaian-untaian rambut dari wajahnya lalu menyelipkan ke belakang telinga.
“Ini takkan mudah, Ara ...” desisnya. Ia membelai pipi gadis itu dengan lembut. “Ini takkan mudah,” desisnya lagi.
Tapi sejauh apapun ia menolak, hatinya takkan bisa berbohong. Ia takkan bisa jauh dari Ara. Takkan bisa.

Lelaki itu menegakkan punggungnya, mendekatkan wajahnya ke arah Ara, lalu mengecup bibirnya. Lembut dan perlahan. Dan air matanya berjatuhan, tepat ketika ia merasakan Ara membalas ciuman bibirnya.

Dan ciuman itu seolah sebagai jawaban, bahwa ia akan membawa Ara bersamanya. Apapun yang terjadi.



***


Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar