Ara
bangun keesokan harinya tepat ketika cahaya matahari menyeruak masuk melewati
korden jendela. Gadis itu menggeliat sesaat. Sejenak ia lupa kalau ia tidak
berada di kamarnya.
Sampai
akhirnya ia mencium aroma yang berbeda dari ruangan yang sedang ia tempati.
Ia
bangkit dengan tiba-tiba lalu menatap sekelilingnya.
Ah,
akhirnya ia ingat ia sedang berada di kamar Vernon.
Mata
beningnya menatap keseluruhan ruang bernuansa abu-abu itu. Rapi, minimalis, dan
... khas. Khas aroma tubuh Vernon. Tidak terlalu wangi, tidak menusuk, tapi
terkesan fresh dan lembut.
Gadis
itu turun dari tempat tidur dan beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Sesaat sebelum ia keluar dari kamar, ia sempat mengecek bayangannya di cermin.
Sekedar merapikan rambutnya yang acak-acakkan.
Ia
menuruni tangga dan bergerak melangkahkan kakinya menuju dapur. Berharap ia
bisa membantu menyiapkan sarapan pagi.
Ketika
sampai di sana, ia melihat Joey sudah sibuk menata sarapan di meja makan.
“Maaf,
aku bangun kesiangan,” sapa Ara. Ia segera membantu lelaki itu menata piring.
Joey
tersenyum lembut. “Tak apa-apa. Hanya sekedar makan biasa,” jawabnya.
“Sepi,”
Ara menatap sekeliling ketika menyadari tak ada celotehan dari Habin ataupun
yang lainnya.
“Habin
dan Dino bangun pagi-pagi sekali. Mereka jogging bersama. Gio dan Woody masih
tidur. Yang lainnya, masih ada urusan.” Joey menjelaskan.
Ara
manggut-manggut.
“Ara,
maaf soal semalam. Kau pasti kaget.” Ucap Joey lagi. “Kami tak bermaksud
melibatkanmu dalam masalah ini. Ini di luar dugaan kami kalau kau akan ...”
“That’s
fine,” potong Ara. Ia tersenyum lembut ke arah pemuda berambut panjang tersebut.
“Vernon sudah menceritakan segalanya padaku. Dan, aku masih tetap ingin
bersahabat dengan kalian. Jujur selama ini aku dan adikku merasa kesepian. Tapi
sejak kita bertetangga, adikku senang sekali. Dan aku senang kita semua bisa
bersahabat,” lanjutnya.
Joey
tersenyum. “Suatu saat nanti kami akan pergi. Pindah dari satu tempat ke tempat
lain, seperti biasanya. Tapi selama kita masih di sini, ayo nikmati saja waktu
kita bersama.”
Ara
mengangguk.
Pasti.
“Makanlah
dulu. Aku akan pergi ke pasar, berbelanja untuk makan siang nanti,”
“Biar
aku saja yang belanja,” cetus Ara. Joey mengibaskan rambutnya yang tergerai.
“Kau? Yang belanja di pasar?”
Ara
langsung mengangguk.
“Aku
tidak repot. Biar aku saja yang belanja. Aku tinggal lebih lama di sini. Jadi
aku tahu tempat mana yang menjual barang dengan kualitas bagus dan harga murah.
Aku tahu uangmu banyak. Tapi bukan berarti kau bisa membeli sesuatu seenaknya
‘kan? Kau hanya perlu mencatat apa saja yang kau butuhkan dan aku yang akan
pergi ke sana,” jawabnya.
Terlihat
berpikir sesaat, akhirnya Joey mengangguk.
***
Setelah
menerima beberapa lembar uang dan catatan belanja, Ara melangkah dengan riang.
Ia sempat berpapasan dengan Woody dan
Gio di halaman rumah. Dua lelaki tampan itu tampak berkeringat selepas jogging.
Teringat
akan cerita Vernon semalam, bagaimana dua lelaki itu kesepian selama ratusan
tahun, merindukan ibu mereka, Ara kembali trenyuh dan iba. Perempuan itu berjingkat, menubruk dan
memeluk pria-pria itu secara bergantian. Ia tak tahu kenapa, ia hanya ingin
memeluk mereka begitu saja.
Woody
dan Gio hanya tercengang menerima pelukan tak terduga tersebut.
“Ara,
kenapa? Kami berkeringat.” Keluh Woody.
Ara
hanya tersenyum. “Apa terjadi sesuatu padamu?” tanya Gio heran.
Gadis
cantik itu menggeleng.
“Tidak.
Aku hanya terlalu senang karena bisa bersahabat dengan kalian. I love you, guys!”
teriaknya seraya kembali memeluk mereka secara
bergantian kemudian beranjak meninggalkan mereka.
Woody
dan Gio berpandangan heran.
“Apa
dia salah makan sesuatu?” desis Gio. Woody menggeleng bingung.
“Tapi
dia bilang dia mencintai kita?” gumamnya.
Keduanya
terkikik. Rona merah menghiasi wajah mereka yang berkeringat.
“Yess!”
Mereka ber-high five.
Sementara
Ara berjalan ringan menuju rumahnya untuk mandi dan berganti baju.
Sembari
menyantap sepotong roti dari kulkasnya, ia beranjak menuju pasar, siap
berbelanja kebutuhan sesuai catatan belanja yang diberikan Joey.
***
Ara
sedang dalam perjalanan pulang dari pasar ketika menemukan tas belanjaannya
robek hingga beberapa barang belanjaannya jatuh berserakan. Gadis itu sempat
menggerutu sebelum memunguti beberapa sayuran yang tercecer dipinggir jalan.
Dan beruntung ketika seorang pemuda dengan sukarela membantunya memunguti
sayuran tersebut.
“Terima
kasih,” ucap Ara.
Pemuda
sipit berambut blonde itu tersenyum manis. Wajahnya tampan dan terlihat ramah.
“It’s
okay. Hati-hati ya. Jangan sampai jatuh lagi,” jawabnya. Ia menatap Ara dengan
tatapan lembut. “Oh, kau Ara ‘kan?”
Ara
mengernyit heran. “Kau tahu aku?”
Ia
mengangguk. “Beberapa waktu yang lalu aku melihatmu berangkat sekolah bersama
dengan Vernon,”
Mendengar
nama Vernon disebut, Ara reflek mundur beberapa langkah dengan waspada. Entah
kenapa ia merasa sensitif ketika ada orang yang mengenal Vernon setelah ia mengetahui
jati dirinya. Ia mulai paranoid. Takut bahwa yang ia hadapi adalah makhluk
abadi lain.
“Aku
baru beberapa hari mengenalnya. Kami sama-sama mengikuti kelas dance,” pemuda
itu kembali berucap. Ara kembali menatapnya dengan was-was. Sadar akan tatapan
curiga Ara, pemuda itu kembali tersenyum.
“Sampaikan
salamku padanya,” dan Ia beranjak.
“Aku
tidak tahu namamu!” teriak Ara.
Pemuda
itu menoleh dan kembali tersenyum lembut. “Hoshi,” jawabnya.
***
Ketika
Ara sampai di rumah Vernon, ia menyaksikan Dino dan Habin bermain bola di
halaman.
“Habin,
setelah ini kita akan pulang. Oke?” teriak Ara. Habin tampak cemberut, tapi toh
ia mengangguk dengan patuh. “Oke,” jawabnya.
Gadis
itu menyapa singkat ke arah Dika, Woody dan Gio yang tengah mengobrol di ruang
tengah, lalu bergerak ke dapur. Meletakkan barang-barang belanjaannya di sana.
“Kenapa
kau yang belanja?” Vernon muncul dari anak tangga.
“Tadi
aku juga berniat belanja ke pasar. Jadi sekalian saja aku membantu Joey,” jawabnya.
Yang dibicarakan muncul dari ruang lain, bersama Josh di sisinya.
“Kau
sudah pulang?” Joey menyapa. Ara mengangguk dan tersenyum puas. Senyum di
bibirnya menghilang ketika Josh menatapnya dengan tatapan penuh selidik.
“Kenapa?”
tanya gadis itu heran.
Josh
tak segera menjawab.
“Apa
kau bertemu dengan seseorang?” tanyanya. Ara menelengkan kepalanya bingung.
“Seseorang?
Aku bertemu banyak orang.” Jawabnya. Tapi sesaat kemudian ia seakan teringat
akan sesuatu. “Oh ya, aku bertemu teman Vernon. Namanya ...” ia mencoba
mengingat-ingat.
“Temanku?”
Vernon menggumam.
Ara
mengangguk. “Dia membantuku memungut barang-barang belanjaanku yang terjatuh. Dia
bilang dia temanmu di kelas dance. Namanya ... aduh, siapa tadi namanya? Aku
agak lupa. Dia tampan, rambutnya blonde, dan matanya sipit.” Ucapnya.
Josh
tampak pucat. Ia mematung seketika. Suasana hening. Vernon dan yang lainnya
menatapnya bingung.
“Josh?”
Dika bersuara. “Kali ini siapa?” raut mukanya was-was. Ara menatap ke arah
pemuda-pemuda yang tengah berdiri saling bertatapan satu sama lain itu dengan
bingung.
Tampak
Josh menelan ludah.
“Salah
satu malaikat tertinggi. Hoshi,”
“Hoshi!
Nah, itu namanya. Aku bertemu dengannya ketika pulang berbelanja,” jawab Ara
spontan.
Vernon
mendekat ke arah Ara dengan segera.
“Kau
bertemu dengannya? Apa yang dia lakukan padamu? Apa ia menyakitimu?” Ia
bertanya cemas.
Ara
menggeleng. “Tidak.” jawabnya segera. “Dia malah membantuku. Ada apa? Ada hal
penting? Berbahaya? Josh bilang dia ... malaikat?”
Mereka
berpandangan dengan was-was. Tak terkecuali Joey yang biasanya nampak tenang.
Dan
Ara segera tahu bahwa itu pertanda tidak baik.
“Aku
hanya tak mengira bahwa mereka akan mengetahui keberadaan kita secepat ini.”
Dika mendesis.
“Jadi
sekarang bagaimana?” Woody dan Gio bertanya hampir bersamaan.
Nephilim
paling tua itu tak menjawab. “Kita tunggu saja langkah apa yang akan mereka
lakukan,” jawabnya kemudian.
“Ara,
jika kau bertemu dengannya lagi, menghindarlah,” nada suara Vernon tak lebih
seperti sebuah perintah.
Ara
menatapnya tak mengerti.
“Kenapa?
Bukankah malaikat tidak menyakiti manusia?”
“Dia
berbeda.” Josh menyahut. “Dia memang malaikat, bahkan salah satu malaikat
tertinggi. Tapi dia teguh dalam
melaksanakan tugas. Menjalankan perintah dengan baik dan menyingkirkan
penghalang. Itu prinsipnya.”
Ara
menelan ludah dengan susah. Tanpa mau menambah kekhawatiran Vernon dan
saudara-saudaranya, gadis itu mengangguk. “Oke, aku akan menghindarinya.”
Jawabnya.
***
Ara
dan Habin sudah kembali ke rumah mereka sendiri sore harinya. Awalnya Habin
menolak pulang karena masih ingin bermalam di rumah Dino, tapi setelah
membujuknya, menjanjikan ini dan itu padanya, akhirnya bocah itu bersedia
pulang.
“Berarti
lusa aku boleh menginap lagi di rumah Kak Dino? Kakak sudah janji mengijinkanku
‘kan?” Bocah itu tak henti-hentinya mengingatkan Ara soal janjinya.
Ara
mengangguk lelah. “Iya, kakak janji. Lusa kau boleh menginap di sana lagi. Asal
tidak merepotkan dan tidak nakal.” Ucapnya.
“Aku
tidak pernah nakal. Aku juga tidak pernah merepotkan. Kakak bisa bertanya pada kak
Dino kalau tidak percaya. Aku anak yang baik,” Habin membela diri.
Ara
kembali mengangguk-angguk lelah.
“Iya, iya, tahu. Sekarang segera persiapkan perlengkapan sekolahmu untuk besok dan tidurlah. Jangan bangun kesiangan.”
“Iya, iya, tahu. Sekarang segera persiapkan perlengkapan sekolahmu untuk besok dan tidurlah. Jangan bangun kesiangan.”
Habin
mengangguk cepat lalu bergerak ke kamarnya.
Ara
bersiap mengunci pintu ruang tamu ketika tiba-tiba kepala Vernon menyembul dari
sana.
“Oh,
kau membuatku kaget,” gerutu Ara.
Vernon
tersenyum. “Maaf,” ia meringis. Ia membuka pintu lebar-lebar lalu melangkah
masuk tanpa menunggu dipersilakan oleh sang pemilik rumah.
“Ada
apa?” tanya Ara.
Vernon
menggeleng. “Tidak ada. Hanya ... mengecek keadaanmu saja,” jawabnya.
Ara
terkekeh. “Aku baru meninggalkan rumahmu sekitar 15 menit yang lalu. Kau tak
perlu cepat-cepat mengecek keadaanku. Aku baik dan ... tidak apa-apa. Tak perlu
cemas.” Jawabnya.
Vernon
manggut-manggut.
“Boleh
aku tidur sini?”
“Heh?”
Gadis itu membelalak.
“Aku
khawatir padamu. Jadi ...”
“Vernon,
takkan terjadi apa-apa denganku. Aku bisa menjaga diriku, oke?” potong Ara.
Vernon
menatapnya dengan ragu hingga membuat Ara menghela nafas.
“Pulanglah.
Aku aman. Lagipula, bahaya apa yang menimpaku? Tak ada ‘kan? Kau yang harus
lebih hati-hati menjaga diri karena malaikat mengetahui keberadaanmu.”
Ia
mendorong punggung Vernon dengan lembut dan menyuruhnya pulang.
“Pulanglah.
Jangan terlalu mengkhawatirkanku. Kau sendiri harus banyak istirahat. Kau
terlihat lelah. Aku akan baik-baik saja, percayalah. Jika ada apa-apa aku akan
berteriak dan kau bisa mendatangiku dengan secepat kilat,” ia memastikan.
“Kau
yakin?” tanya Vernon lagi. Ara mengangguk.
Dan
dengan berat hati, akhirnya Vernon menuruti kemauan gadis tersebut untuk
pulang.
Lelaki
itu baru saja meninggalkan rumah ketika Ara mendengar pintu diketuk oleh
seseorang. Mengira bahwa itu Vernon, Ara berlari kecil dengan kesal.
Namun
begitu pintu terbuka olehnya, tampak pemuda tampan berambut blonde dan bermata
sipit sudah berada di hadapannya. Pemuda itu tersenyum sinis.
Ara
menelan ludah.
Itu
Hoshi.
***
“Aku
tak menyangka mereka akan mengetahui keberadaan kita secepat ini,” Dika membuka
suara setelah beberapa menit keadaan hening. Pria itu duduk seperti biasa di kursi
kesayangannya. Woody dan Gio duduk berdampingan di kursi yang berada di
sebelahnya. Sementara Joey dan Josh berdiri bersandar kusen berdampingan. Dan
Vernon, seperti biasa, ia duduk santai di langkan jendela.
“Apa
kita harus berkemas lagi? Bersiap-siap melarikan diri lagi?” tanya Woody tanpa
antusias.
“Aku
tak mau. Aku lelah.” Sahut Vernon.
“Hei,
jika kita tak segera pergi dari sini, itu sama saja dengan mati,” Joey yang
sejak tadi diam ikut bersuara.
“Jika
memang begitu, aku akan bertarung dengannya sampi titik akhir. Aku, atau mereka
yang mati, selesai.” Jawab Vernon lagi.
“Vernon
...,”
“Kita
harus pergi, Vernon. Ini pilihan kita satu-satunya. Kita tak tahu berapa banyak
musuh yang akan kita hadapi. Satu malaikat tinggi sudah cukup merepotkan.
Bagaimana jika dia membawa sepasukan malaikat yang lain?” Dika memotong kalimat
Joey. Tatapannya yang bijak lurus ke arah Vernon yang masih duduk santai di
lantai jendela, membelakangi saudara-saudaranya.
“Tidak.
Jika kalian ingin pergi, pergi saja. Aku lelah berlari dari satu tempat ke
tempat lain. Aku ingin di sini. Mati ...” ia terkekeh sinis. “Aku sudah siap
untuk itu,”
“Vernon.”
Kali ini Dika bangkit. “Ini tidak hanya tentang keselamatanmu. Ini juga tentang
keselamatan Ara dan Habin.”
Mendengar
nama Ara dan Habin disebut, Vernon menoleh. “Kenapa kau harus menyebut nama
mereka? Mereka tak ada hubungan sama sekali dengan keadaan kita,” ucapnya
sengit.
“Kau
lupa siapa yang mengejar kita kali ini? Dia Hoshi. Tak perlu ku sebutkan
karakteristiknya pun kau sudah tahu bahwa ia berbahaya bagi nephilim, bagi makhluk
abadi lain, dan bahkan bagi manusia sekalipun. Manusia yang punya hubungan
dengan makhluk seperti kita dan ...”
“Cukup,”
merasa gerah, lelaki berambung gondrong itu setengah berteriak.
Ia
beringsut turun. “Baik, kita pergi. Kapan? Sekarang?” ucapnya frustasi.
Obrolan
mereka di malam hari yang sunyi itu terhenti ketika tiba-tiba Dino menyeruak
masuk ke ruang tengah dengan tergopoh-gopoh.
“Kak!”
Ia berteriak histeris.
“Ada
apa?” Dika bangkit dengan waspada. Menyadari pasti ada hal yang tidak beres.
Dino
menelan ludah sebelum menatap langsung ke arah Vernon.
“Ara
hilang,” desisnya lirih.
Vernon
membelalak, begitu pula ke lima pemuda yang lain. Tubuh mereka segera menegang.
Terutama Vernon yang langsung terlihat pucat seketika.
“Habin
baru saja menelponku sambil sesenggukan. Dia bilang tiba-tiba saja Ara
menghilang dari rumah. Dia ---,” ia bahkan belum sempat meneruskan kata-katanya
ketika Vernon beranjak.
“Josh,
bantu aku melacak keberadaan Ara!” teriaknya. Josh segera mengangguk tanda
mengerti.
Di
antara mereka ber-tujuh, hanya Josh yang mampu
melacak keberadaan seseorang ataupun makhluk lain. Ia punya semacam
‘penglihatan’ yang membantu mereka untuk mengetahui ada malaikat atau tidak di
sekitar mereka.
Sementara
Joey, Dika dan Vernon, mereka sama-sama punya telepati yang mampu menjalin
komunikasi batin. Biasanya jika Josh menemukan sesuatu hal yang tidak beres, ia
akan menyampaikannya pada Joey. Dan secara otomatis, Joey akan menyampaikannya
juga pada Dika atau Vernon, walau posisi mereka berada ratusan kilometer.
“Aku
tak bisa melakukan ini di sini. Kita harus keluar,” ucap Josh di tengah-tengah
konsentrasinya.
“Oke,
kita berpencar,” seru Gio.
Dan
akhirnya mereka menyebar.
Joey
bersama Josh, Woody bersama Gio, dan Vernon langsung menuju rumah Ara untuk
melihat keadaan Habin.
Sementara
Dika tetap di rumah menemani Dino.
***
Vernon
menyeruak memasuki rumah Ara dengan kalap. Berharap ada keajaiban yang mampu
mengembalikan Ara di sini. Di rumah ini, dalam keadaan baik-baik saja.
“Kak
Vernon, di mana kak Ara?” tanya Habin dengan sesenggukan.
Vernon
menatapnya lembut, berusaha bersikap tenang.
“Jangan
khawatir Habin. Kakakmu sedang pergi ke rumah temannya. Nanti akan aku jemput.
Sekarang ikutlah denganku, kau akan tidur lagi dengan kak Dino. Oke?” ucapnya.
Habin
masih belum sempat meredakan isak tangisnya ketika Vernon mengangkat tubuhnya
dengan ringan dan menggendongnya.
“Sstt,
jangan menangis. kakakmu baik-baik saja. Dia masih pergi ke rumah temannya
untuk mengambil buku pelajaran,”
“Tapi
tak biasanya ia pergi tanpa berpamitan padaku. Aku jadi takut ia akan pergi meninggalkanku
seperti yang dilakukan ayah dan ibuku,” isaknya.
Vernon
menelan ludah. Hatinya mencelos. Tidak! Ara akan baik-baik saja! Teriaknya
dalam hati.
“Akan
ku antarkan kau ke rumah kak Dino terlebih dulu. Setelah itu aku akan menjemput
kakakmu. Oke?” ujarnya dengan suara tercekat lalu bergerak meninggalkan rumah
Ara menuju rumahnya sendiri.
Setelah
ia mengantarkan Habin ke sana, pemuda itu segera melesat kembali.
Menyisir
pelosok kota mencari Ara.
***
-Atap gedung.
Ia
mendengar bisikan itu melalui kekuatan pikirannya. Joey berkali-kali
mengucapkan kata itu.
-Atap gedung
yang mana?
Vernon
membalas.
-Entahlah. Josh
pikir, yang paling tinggi.
“BANYAK
GEDUNG TINGGI DI SINI!” Vernon berteriak frustasi, tanpa mau repot-repot
menggunakan kekuatan pikirannya lagi.
Lelah
berputar-putar di pelosok kota, ia berusaha memfokuskan pikirannya untuk mencari
gedung paling tinggi di kota tersebut.
Dan
tepat sebelum ia beranjak, ia mendengar Joey berseru. –Ketemu!
***
Vernon
mendekati sosok itu dengan langkah gontai.
Sesosok
gadis yang tengah terbaring tak bergerak, tepat di atas pembatas atap gedung.
Beberapa inchi saja gadis itu bergerak, bisa dipastikan tubuhnya akan terjun
bebas menghantam jalanan di bawah sana yang jaraknya sekitar ratusan meter.
Vernon
bergidik ngeri.
Membayangkan
Ara menggeliat, lalu tubuh mungilnya meluncur bebas dan remuk menghantam tanah!
Lelaki
itu mendekati sosok yang tetap terpejam itu dengan takut-takut. Dan air matanya
seketika menitik manakala ia menyadari Ara masih bernafas.
Bukan,
ini bukan air mata kesedihan. Ia hanya terlalu terharu ketika menyadari bahwa
gadis itu masih hidup. Gadis itu hanya tak sadarkan diri.
Dengan
segera Vernon meraih tubuh mungil tersebut, menggendongnya dan membawanya ke tempat yang aman, lalu
mendekapnya erat. Air matanya kembali menitik.
“Terima
kasih karena kau masih hidup,” bisiknya parau.
Dan
gadis itu tetap saja menutup mata dengan tenang.
Mata
coklat Vernon membesar ketika menyadari ada secarik kertas terselip di antara
kerah baju Ara.
Lelaki
itu meraihnya dan membaca sederet kalimat dengan tak sabar.
-*- Aku hanya
mengajaknya jalan-jalan. Dan si puteri tidur tetap tak membuka mata. Ini hanya
pemanasan. Kelak, aku tak segan-segan untuk menjatuhkannya dari lantai
tertinggi demi untuk menyaksikan tubuhnya remuk menghempas tanah.-*-
Vernon
meremas-remas kertas tersebut dengan kesal.
Sesaat
kemudian Joey, Josh, Gio dan Woody sampai di tempat mereka.
“Apa
dia baik-baik saja?” Gio dan Woody berseru hampir bersamaan seraya berlutut di
samping Vernon yang masih mendekap Ara. Gadis itu tetap tertidur dengan
nyenyak.
“Dia
tak apa-apa. Hanya tak sadarkan diri. Ini ... semacam peringatan buat kita,”
jawab Vernon. Lelaki itu menatap ke arah
Josh.
“Hoshi-kah?”
ia memastikan. Dan Josh mengangguk.
“Apa
ia masih di sekitar sini?”
Josh
menggeleng.
“Dia
sudah pergi. Sejak beberap waktu yang lalu. Aku tak mampu merasakan
keberadaannya sekarang,” jawabnya.
Vernon
merasakan rahangnya menegang menahan gejolak amarah.
***
Ara
membuka mata dan menyadari ia tak berada di kamarnya. Sempat merasa pening
sesaat, ia menatap sekitarnya dan melihat Vernon duduk di sofa yang berada di
sisi tempat tidur.
“Kau
sudah bangun?” Vernon membuka suara dan tersenyum.
Bola
mata Ara mengerjap dan menatap sekelilingnya sekali lagi. Ia ada di kamar
Vernon.
“Kenapa
aku di sini?” Ia seolah bertanya pada dirinya sendiri. Mencoba mengingat apa
yang terjadi semalam. Dan segera ia terlonjak.
“Hoshi!
Aku bertemu dengannya!” ia berteriak dan turun dari ranjang dengan segera. Ia
terhuyung dan merasa pening seketika. Vernon bangkit dan menopang tubuhnya.
“Dia
datang ke rumahku dan setelah itu ...” Ara mengoceh. “Habin?” Ia nyaris berlari
ke luar kamar jika saja Vernon tak menarik tangannya dengan lembut.
“Habin
baik-baik saja. Ia sedang sarapan pagi dengan Dino.” Ucapnya.
Ara
menatap lelaki di hadapannya, mencoba memastikan.
“Apa
yang terjadi denganku?”
Vernon
menggeleng.
“Tidak
ada. Kau hanya tertidur dan aku membawamu kemari karena khawatir padamu,”
jawabnya.
“Duduklah
dulu. Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Mau ku suapi?” Vernon membimbing
Ara untuk duduk kembali ke ranjang.
Setelah itu ia mengambil nampan berisi secangkir teh hangat dan semangkuk
bubur.
“Minumlah
dulu,” Vernon menyodorkan mulut cangkir ke depan bibir Ara. Dan gadis itu
menyesapnya pelan. Rasa hangat yang memenuhi kerongkongannya membuat ia merasa
sedikit lebih tenang.
“Ara
...” Suara Vernon terdengar berat. “Sekarang kau tahu bahwa situasi kami tidak
bagus. Jadi, segera setelah kau selesai sarapan. Pulanglah dengan Habin. Dan
... kami akan pergi.”
Mendengar
penuturan lelaki itu, Ara menatapnya dengan tatapan tak percaya.
“Pergi?
Kau akan pergi?” Ia mendesis lirih.
Vernon
mengangguk. Ia menatap gadis di hadapannya dengan tatapan tak rela.
“Kami
akan pergi. Para malaikat sudah mengetahui keberadaan kami di sini. Dan bisa
saja kami membahayakan nyawamu dan juga nyawa adikmu. Jadi ...” suaranya
tercekat. “Mungkin ini akan menjadi pertemuan kita yang terakhir.”
Kedua
bahu Ara lunglai. Merasa belum siap menerima kata-kata Vernon.
“Kemana
kau akan pergi?” ia bertanya lirih.
Vernon
tak menjawab. Ia menunduk sesaaat, mencengkeram pinggiran nampan, lalu menarik
nafas panjang. “Entah. Pokoknya pergi, melarikan diri. Lagi,” jawabnya getir.
Dan
Ara merasakan mulutnya hambar.
Untuk
suatu alasan yang belum ia ketahui, ia merasa belum siap berpisah dengan para
Nephilim ini, dengan Vernon.
***
Ara
menuruni tangga dan menemukan Dika beserta yang lain duduk-duduk di ruang
tengah. Mereka langsung terdiam ketika melihat kedatangan Ara. Terlihat dengan
jelas bahwa mereka baru saja terlibat perbincangan yang serius.
“Kau
baik-baik saja?” Gio dan Woody bangkit dan mendekati Ara bersamaan. Gadis itu
tersenyum.
“Aku
baik-baik saja. Vernon sudah membawakan sarapan yang lezat padaku,” jawabnya
seraya melirik ke arah Vernon yang berdiri di sampingnya.
“Habin
kemana?” Ia bertanya ketika tak melihat bocah itu bersama mereka.
“Oh,
dia sudah pulang duluan. Dino yang mengantarkannya. Dia bilang dia lupa memberi
makanan ikan kesayangannya makanya ia buru-buru minta di antarkan ke sana,”
jawab Dika.
Ara
manggut-manggut.
“Kalau
begitu, aku juga akan pulang. Terima kasih karena semalam aku diijinkan tidur
di sini lagi.” ucapnya seraya kembali melirik ke arah Vernon dengan tatapan tak
menentu.
Dika
tersenyum.
Ara
baru saja hendak melangkahkan kakinya menuju pintu ketika tiba-tiba saja mereka
mendengar sebuah ledakan yang sangat dahsyat dari luar rumah.
Ara
merunduk seketika. Dan reflek Vernon berlari ke arahnya lalu mendekap tubuhnya
dengan sikap protektif.
Mereka
berpandangan silih berganti dengan bingung. Hingga akhirnya mereka sadar bahwa
ledakan itu berasal dari samping rumah mereka, dari rumah Ara!
Ara
membelalak. “Habin!” Ia berseru.
“Dino!”
Dan Dika ikut berteriak.
Serta
merta mereka menyeruak keluar dari rumah mereka dan segera berlari menuju rumah
Ara.
Dan
lutut mereka lemas ketika menyaksikan apa yang terpampang di hadapan mereka.
Api
berkobar dan rumah mungil itu luluh lantak tak terbentuk.
“Habiiiiinnnn!”
Ara berteriak histeris dan berlari mendekat ke arah rumah yang diliputi api dan
asap tebal tersebut. Vernon sigap
menarik tubuhnya dan mendekapnya erat. Gadis itu sempat meronta, namun
Vernon tak berhenti untuk terus mendekapnya, berusaha menenangkannya.
“Habin
ada di rumah itu, Vernon! DIA ADA DI RUMAH ITU BERSAMA DINO!!” Ia kembali
menjerit. Histeris. Air matanya jatuh berderaian.
Ia
menarik baju lelaki yang mendekapnya lalu menatapnya dengan tajam. Dan ia
melihatnya, Vernon juga menitikkan mata.
Ara
menggeleng.
“Tidak
...” desisnya.
“Tidak
...”
Gadis
itu ambruk.
Vernon
terisak, menatap ke arah rumah yang hancur tersebut. Menatap ke arah
puing-puing yang berserakan. Dan bisa jadi, puing-puing itu adalah sebagian
kecil dari tubuh Dino dan Habin.
Dika
juga terlihat syok. Air matanya menitik. Begitu pula dengan keempat saudaranya
yang lain.
Mereka
kehilangan Dino.
Dan
juga ... Habin.
***
Polisi
sudah menyelidiki penyebab meledaknya rumah Ara yang menyebabkan Dino dan Habin
tewas. Tubuh kedua bocah itu hancur tak tersisa. Mereka mengatakan bahwa
kebakaran dan ledakan hebat itu disebabkan oleh tabung gas.
Namun
Ara dan yang lainnya tahu, bukan karena itu penyebabnya.
Hanya
ada upacara kematian sederhana di rumah Vernon.
Ara
masih tampak syok. Beberapa kali gadis itu tak sadarkan diri.
Semuanya
berduka.
Dika
mengurung diri di kamar dan terus menerus menangis.
Sementara
Woody dan Gio duduk mematung tak berdaya. Josh berusaha menenangkan Joey yang
juga tampak syok.
Sementara
Vernon tak lelah untuk terus berada di sisi Ara. Memeluk gadis itu dengan
lembut, mencoba menenangkannya. Meskipun ia tahu, hatinya juga hancur dengan
kematian Habin dan Dino.
***
Ara
duduk membisu di kursi kayu yang berada di kamar Vernon.
Lelaki
itu menatapnya dengan tatapan pedih. Tak berdaya.
“Vernon
...” Ara membuka suara lirih.
“Hm,”
dan lelaki itu hanya menjawab pendek. Suaranya serak.
“Aku
tak punya siapa-siapa sekarang,” Ara kembali berujar tanpa menatap lelaki yang
duduk tak jauh darinya. Suaranya luruh, tak bernyawa. “Aku tak punya
siapa-siapa sekarang,” ia kembali mengulangi kalimatnya.
“Apa
kau akan meninggalkanku?” Kali ini ia menoleh dan menatap langsung ke mata
coklat Vernon.
Sementara
yang ditatap hanya mampu membisu tanpa tahu harus menjawab.
“Jangan
pergi ...” dan air mata Ara kembali menitik. “Jika kau pergi, aku tak tahu
harus bagaimana lagi.” Bahunya terguncang. “Bisakah kau membawaku, huh? Aku tak
peduli kemana kalian pergi. Bisakah kau membawaku, bersamamu?”
Vernon
menggigit bibirnya. “Ara ..” suaranya tercekat. “Ini berbahaya. Nyawamu bisa
terancam. Dan ...”
“Aku
bahkan seperti orang mati sekarang,” perempuan itu terisak. “Jangan pergi, ku
mohon. Jika kau harus pergi, bawalah aku bersamamu. Aku tidak bisa di sini
sendiri. Tidak akan bisa ...”
Kedua
mata Vernon berkaca-kaca. Perlahan ia bangkit lalu beranjak. Dengan hati hancur
ia berlutut di depan gadis yang tampak ringkih tersebut. Tangannya terulur,
menyingkirkan untaian-untaian rambut dari wajahnya lalu menyelipkan ke belakang
telinga.
“Ini
takkan mudah, Ara ...” desisnya. Ia membelai pipi gadis itu dengan lembut. “Ini
takkan mudah,” desisnya lagi.
Tapi
sejauh apapun ia menolak, hatinya takkan bisa berbohong. Ia takkan bisa jauh
dari Ara. Takkan bisa.
Lelaki
itu menegakkan punggungnya, mendekatkan wajahnya ke arah Ara, lalu mengecup
bibirnya. Lembut dan perlahan. Dan air matanya berjatuhan, tepat ketika ia
merasakan Ara membalas ciuman bibirnya.
Dan
ciuman itu seolah sebagai jawaban, bahwa ia akan membawa Ara bersamanya. Apapun
yang terjadi.
***
Bersambung
....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar