Jumat, 20 Mei 2016

NEPHILIM #5



“Aku keberatan jika kita harus membawa Ara bersama kita.” ucap Dika cepat. Vernon sudah mengutarakan keinginannya untuk membawa Ara bersama. Dan sejujurnya ia sudah menduga bahwa ia akan mendapat penolakan dari nephilim tertua tersebut.
“Kenapa? Apa menurutmu dia merepotkan? Kau tak mau bertanggung jawab atas dirinya? Dia sendirian, Dika. Dia sudah tak punya siapa-siapa lagi selain kita,” Vernon terus menerus protes.
Dika menggeleng lirih.
“Vernon, ini bukan masalah aku tak mau bertanggung jawab atau merasa direpotkan. Tapi, ini perjalanan berbahaya. Bagaimana mungkin seorang manusia ada bersama kita. Kita makhluk abadi, membawa manusia dalam kerumunan kita adalah sesuatu hal yang tidak mungkin,” ia kembali ngotot.
“Sudah cukup kita kehilangan Habin dan Dino. Dan aku tak mau ada korban lagi,” lelaki itu bangkit.
“Tapi Dika ...”

“Biarkan saja ia ikut bersama kami. Ia kasihan sekali,” Woody ikut memberikan pendapat. Dika menatapnya dengan tatapan tegas. “Tidak,” jawabnya cepat.
“Membawa dia bersama kita hanya akan mempercepat kematiannya. Ingat, tidak semua malaikat mau memberi toleransi. Hoshi bahkan tega menghabisi Habin. Dan mengenyahkan seorang manusia lagi demi membasmi kita, tak masalah baginya. Jadi, biarkan dia tetap di sini, dan kita pergi. Selesai,”
“Dika, ku mohon ...”
Tepat ketika Dika hendak berkata-kata lagi, Ara muncul dari balik pintu ruang tengah.
Kedua matanya sayu. Wajahnya pucat. Dan tubuhnya terlihat rapuh.

“Biarkan aku bersama kalian. Ku mohon,” ucapnya lirih. “Aku tak bisa di sini, sendirian. Aku tak bisa ...”
“Ara,” Dika memanggil namanya dengan mantap. “Kau manusia yang masih punya masa depan cemerlang. Sebentar lagi kau lulus sekolah, lalu kau kuliah, kemudian kau akan mendapatkan pekerjaan dengan baik. Kau bisa hidup damai di sini, memiliki banyak teman, memiliki sebuah keluarga. Bergabung bersama kami hanya akan menghancurkan dirimu sendiri. Ini bukan sesuatu hal yang bisa dihadapi oleh manusia biasa. Ku harap kau mengerti.”

Air mata Ara menitik.
“Hidupku sudah hancur, Dika.” Desisnya. “Dan aku tak bisa berada di sini lagi. Tempat ini terlalu menyakitkan. Setiap sudut kota ini mengingatkanku pada Habin. Dan setiap kali aku ingat akan dia, dadaku sesak. Aku sekarat. Jika aku harus di sini sendirian, sepertinya --” Gadis itu menggigit bibir. “--- aku menyerah untuk hidup,” bahunya terguncang.
Vernon bergerak ke arahnya lalu mendekapnya lembut.

“Biarkan saja ia ikut bersama kita, Dika.” Joey membuka suara. Ia mengibaskan rambutnya lalu bersedekap. “Jujur aku lelah melarikan diri. Kita sama-sama lelah. Tapi jika ada dari kita yang harus mati lagi, setidaknya kita tidak mati kesepian,” ia menatap wajah Dika dengan tegas.

Hening sesaat. Dika terlihat sedang berpikir. Tapi akhirnya ia mendesah. “Oke, kita pergi bersama,”

Josh bangkit dari tempat duduknya.
“Dan jika berencana pergi, sepertinya kita harus bergegas. Karena firasatku mengatakan bahwa dalam waktu yang tak lama lagi, Hoshi sedang dalam perjalanan ke sini dengan ditemani selusin malaikat yang lain,” ucapnya.

Para pemuda itu berpandangan.
“Tapi, aku pantang untuk pergi tanpa melakukan perlawanan terlebih dahulu,” Dika mendesis.
“Mereka harus membayar atas kematian Dino dan Habin,” rahangnya kaku.
“Oke, kami ikut.” Woody dan Gio menjawab hampir bersamaan, tanpa ragu. “Sudah lama kita tidak bertarung habis-habisan. Dan tanganku sudah gatal ingin meremukan tulang-tulang mereka. Selusin malaikat, huh? Aku tak gentar,” Gio melenturkan jemari tangannya hingga menimbulkan bunyi gemerutuk. Dan Woody ikut terkekeh sinis, melakukan hal yang sama.

“Aku juga akan memberikan perlawanan,” Vernon mengikuti rencana saudara-saudaranya yang lain.
“Oke, aku juga ikut.” Dan Joey berucap mantap.
“Begini saja. Kita akan di sini melakukan perlawanan. Setidaknya salah satu malaikat tertinggi itu harus bisa kita habisi. Jadi, makin banyak personil dari kita, makin bagus.” Lanjutnya.
“Dan --- Josh,” ia menatap ke arah kekasihnya tersebut. “Sementara kami di sini, kau yang akan membawa Ara kabur terlebih dahulu. Bawa ia ke tempat yang sudah kita rencanakan bersama, villa di atas bukit. Setelah urusan kami di sini selesai, kami akan menyusul.” Ucap lelaki cantik itu lagi.

Josh mengangguk setuju.

Vernon menatap Ara yang berdiri kaku di sampingya.
“Pergilah terlebih dahulu. Josh akan membawamu dengan aman.” Ucapnya. Ara balas menatapnya dengan bingung.
“Kenapa harus Josh yang membawaku?”
“Karena dia ... bisa membawamu dengan mudah,” jawab Vernon.
Ara ganti menatap ke arah Josh. Lelaki itu tersenyum lembut, mengangguk setuju, lalu bergerak ke tengah ruangan. Dan dalam hitungan detik, sepasang sayap berwarna biru dengan semburat putih muncul dari balik punggungnya.
Sayap itu mengepak dengan begitu indah dan kokoh.

Ara sempat melongo.
“Apa Nephilim punya sayap untuk terbang?” Ia bertanya tanpa sadar, tanpa mengalihkan pandangannya dari Josh.
“Dia bukan Nephilim.” Sahut Vernon.
“Eh?” tatapan Ara langsung meluncur ke lelaki yang masih sibuk memegang tangannya. “Dia bukan Nephilim?”

Vernon menggeleng. “Bukan. Dia malaikat asli,” jawabnya lagi.
Ara ternganga. “Josh seorang malaikat?”
Vernon mengangguk.
“Bukankah kalian bermusuhan dengan malaikat? Bagaimana ceritanya malaikat bisa kesasar di sini, di sekumpulan Nephilim?”
“Josh ikut bersama kami karena dia,” Vernon menunjuk ke arah Joey dengan dagunya. “Orang bilang, cinta sejati .”

Ara ternganga. “Maksudmu, Josh jatuh cinta dengan Joey lalu memutuskan untuk mengikutinya, mengikuti kalian? Para Nephilim?”
Vernon kembali mengangguk. “Sudah ku bilang ‘kan? Cinta sejati,” Ia mendorong punggung Ara dengan lembut ke arah Josh.

“Hati-hati Josh,” ucapnya. “Pastikan Ara baik-baik saja,” Ia menatap Ara dengan lembut. “Kalian harus selamat,”
Josh tersenyum dan mengangguk. “Kami akan baik-baik saja. Sudah siap?” tanyanya pada Ara.
Ara hanya mengangguk canggung.
“Dan kalian harus menyusul kami dengan selamat,” kali ini Josh berucap sembari menatap Joey dengan penuh arti. Lelaki cantik berambut panjang itu tersenyum, lembut.

“Vernon?” Ara memanggil Vernon, seolah ada nada khawatir pada kalimatnya. Vernon mengangguk.
“Pergilah. Aku akan baik-baik saja,” ucapnya. Tatapan keduanya terkunci sesaat.

“Oke, sudah siap?” Josh bertanya pada Ara. Gadis mungil itu mengangguk.
“Well, let’s go!” Dan dengan sigap Josh mengangkat tubuh Ara, lalu membawanya melesat melewati jendela yang terbuka secara tiba-tiba, dan ia terbang, dengan Ara dalam pelukannya.
Sosok itu melesat dengan cepat. Mengudara, membumbung tinggi.
Tidak secepat cahaya, tapi jika kau punya rekan seperti dia, kau pasti bisa berkeliling dunia hanya dalam waktu kurang dari 24 jam!

Sesaat setelah Josh membawa Ara pergi, para nephilim yang tertinggal segera siap siaga.
Vernon, Gio dan Woody masing-masing menyiapkan busur silang yang dikokang, lengkap dengan anak panah yang telah didesain khusus untuk menghabisi makhluk abadi. Sementara Joey bersiap dengan sebilah pedang panjang, dan juga belati asosiasi yang tertata rapi di sekitar pinggangnya.
Dika lain lagi. Ia menyiapkan sebuah pistol flintlock berusia ratusan tahun yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa hingga lebih mudah dipergunakan, tak lupa ia juga menyelipkan sebuah pistol kaki di paha kanannya. Sebagai jaga-jaga bila keadaannya mendesak.

Sebenarnya senjata-senjata itu biasa dipergunakan para Hunter untuk memburu Vampir, begitu pula yang biasa dipergunakan para malaikat untuk memburu makhluk abadi lainnya. Tapi sejak beberapa tahun yang lalu ia dan saudara-saudaranya sudah berlatih dengan baik untuk ikut mempergunakannya.
Agar pertempuran lebih seimbang, itu tujuan mereka.

Dan tepat ketika persiapan mereka selesai, tiba-tiba pintu dan jendela terbuka dengan cara yang tak biasa, menyebabkan daun pintu beserta daun jendela terlepas dari kusen lalu terhempas beberapa meter. Kaca-kaca pecah berhamburan, beberapa perabot rumah terlempar kemana-mana.

Beberapa sosok tinggi tegap muncul dari pintu dan juga jendela yang telah terbuka. Dan dia, salah satu malaikat tertinggi berambut blonde dan bermata tajam, melenggang dengan santai ke arah para Nephilim yang sudah bersiap melakukan perlawanan.

“Halo...” Ia menyapa dengan suara berat, lengkap dengan sebuah cengiran sinis.
“Sudah siap menyambut kedatanganku rupanya, huh?” bibirnya berdecih, menatap para Nephilim dengan sorot mata membunuh.
“Maaf untuk adik kecil lain yang telah pergi. Tadinya aku masih berniat bermain-main dengannya, tapi, ups, dadanya tertembus peluru. Dan ... Bam! Aku terpaksa meledakkannya,”

Rahang Dika langsung kaku demi mendengar serangkaian kalimat yang keluar dari mulut Hoshi.
“Dan kau melibatkan seorang manusia kecil di dalamnya. Bedebah,” desisnya.
Hoshi menyeringai. “Manusia kecil itu akan masuk surga, imbalan karena ia ikut andil dalam menumpas makhluk Nephilin seperti kalian.”
“TAPI KENAPA KAU HARUS MEMBUNUHNYA?! ANAK KECIL ITU MANUSIA YANG TIDAK BERSALAH?” Dika kembali berteriak, lantang.
Hoshi menatapnya tajam.
“Aku tidak butuh kotbah darimu, makhluk terbuang ...” sindirnya.

Dan sindiran itu ampuh untuk memicu kemarahan pada diri Dika dan makhluk Nephilim lainnya. Mereka berteriak membabi buta dan menyerang terlebih dahulu, dan para malaikatpun tak tinggal diam. Dan ayal lagi, pertempuran segera pecah.

Bunyi pistol berdesing dan anak panah dari busur silang melesat kemana-mana.
Selusin malaikat beserta satu orang malaikat tertinggi melawan lima Nephilim, well, sungguh pertempuran yang terlihat tak seimbang.
Tapi Nephilim bukan makhluk lemah. Mereka mewarisi separuh dari kekuatan malaikat, dan itu lebih dari cukup untuk menghabisi makhluk abadi lainnya.

***

Tak butuh waktu lama bagi Josh untuk membawa Ara ke sebuah villa tersembunyi di atas bukit.
Villa itu milik Dika yang dipergunakan secara sembunyi-sembunyi pada waktu tertentu saja. Dan mereka pikir, tempat itu cukup aman, setidaknya untuk sementara waktu.

“Oke, sudah sampai.” Ucap Josh seraya menurunkan Ara dengan hati-hati. Dan sayap yang mengembang dari punggungnya secara ajaib menghilang.
Ara menatap lelaki itu dengan seksama hingga membua Josh sedikit tak nyaman.
“Masuklah,” ia memecah kesunyian seraya membuka pintu.
Keduanya melangkah memasuki vila tersebut.

“Jadi benar kau malaikat?” Ara kembali bertanya tanpa bisa membendung keingintahuannya.
Josh mengangguk.
“Lalu apa yang membuatmu meninggalkan kaummu dan bergabung dengan para Nephilim?”
“Cinta.” Josh menjawab cepat.
“Maksudmu, kau teramat mencintai Joey sehingga rela meninggalkan kaummu sendiri?”
Dan Josh kembali menjawab pertanyaan Ara dengan anggukan. Lelaki itu tertawa lirih. Tawa yang lembut.
“Kalau kau mau tahu, kisah kami seperti dalam drama,” ia terkikik geli. “Pertama kali bertemu Joey, sebenarnya aku mendapat tugas untuk membunuhnya. Tapi ketika kami terlibat pertarungan, aku terluka parah dan nyaris mati. Anehnya, ia tidak membunuhku dan malah merawat lukaku hingga sembuh. Dari situlah aku tahu, ternyata ia begitu baik dan menyenangkan.” Kedua mata Josh berbinar-binar ceria manakala menceritakan tentang nephilim yang teramat ia cintai tersebut.
“Singkat kata, aku jatuh cinta dan begitu terpesona padanya. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan segalanya, demi dia. Meninggalkan tanggung jawabku, meninggalkan kaumku, kodratku, sahabat-sahabatku. Well, jika bersama Joey adalah sebuah resiko besar, aku siap mengambil semua resiko itu,” lanjutnya.
Ara menatapnya dengan takjub. Tak menyangka akan mendengar sekelumit cerita tentang kisah cinta mereka. Betapa mereka merasakan cinta yang teramat besar. Ah, padahal mereka sesama lelaki.

“Pasti tak mudah ya. Meninggalkan kaummu lalu bergabung dengan para Nephilim yang notabene adalah – musuh bebuyutan.” Gumam Ara.
Josh kembali tersenyum hangat.
“Memang tak mudah. Bahkan terlalu sulit. Para malaikat menganggapku pengkhianat. Dan akhirnya, aku juga menjadi buronan, persis seperti Nephilim.” Jawabnya.
Ara menatapnya dengan iba. Tapi lelaki itu menggeleng.
“Aku baik-baik saja dengan diriku yang sekarang. Aku bahkan bersyukur dengan keputusan yang ku ambil. Dengan begitu, aku bisa menghabiskan waktu bersama orang yang ku cintai,” lanjutnya.
“Kelak, jika kau menemukan seseorang yang membuatmu jatuh cinta setengah mati, mampu membuatmu aman walau sebilah pisau ditodongkan ke lehermu, mampu menyerap semua energi positif yang kau miliki, kau akan mengerti dan memahami keputusan yang ku ambil. Mencintai tanpa pamrih, tanpa peduli resiko yang kau dapat. Walau harus berkorban nyawa, walau harus meninggalkan segala yang kau punya. Asalkan bisa bersamanya, konsekuensi itu sepadan.”
Lelaki itu kembali tersenyum lembut.

Pantas saja ketika bertemu pertama kali dengan Josh,  Ara sadar bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Caranya menatap, caranya tertawa, caranya tersenyum, begitu khas. Begitu hangat, begitu menenangkan. Aura malaikat baik hati yang tak bisa dipungkiri.

“Itu sebabnya kau berperan sebagai radar? Kau memberitahu pada para Nephilim bila ada malaikat mendekat?”
Josh mengangguk. “Alami saja bahwa aku mampu mendeteksi keberadaan kaumku sendiri. Dan --” ia berbalik ke arah pintu. “—sekarangpun ada seorang malaikat yang sedang dalam perjalanan kemari.” Kedua matanya menatap tajam ke arah halaman vila.
“Ara, apapun yang terjadi, tetaplah di sini.” Ia beranjak, melangkahkan kakinya menuju teras dan menuruni beberapa anak tangga.

Mencoba patuh atas perintah Josh, Ara tetap mematung dari tempatnya. Mengintip dari balik pintu, ia menyaksikan Josh mengembangkan sayapnya.
Dan sosok itu muncul, melesat, tepat di hadapan Josh.
Tinggi, berambut blonde, dan bermata teduh. Ia pasti malaikat, terlihat jelas dari sepasang sayap berwarna silver keemasan yang mengembang dengan indah dipunggungnya.

Tatapan matanya berbeda dari tatapan malaikat yang satunya, Hoshi.
Hoshi terlihat tajam dan kejam, sementara yang ini, teduh dan menenangkan. Ia berharap sosok itu tak sekejam malaikat yang telah menghabisi Habin dan Dino.

“Halo, brother.” Josh menyapa duluan. “Bagaimana kabarmu, Sean? Lama tak bertemu,” lanjutnya.
Malaikat yang dipanggil Sean itu tersenyum. “Jauh lebih baik untuk sekedar merobekkan sayapmu,” jawabnya sinis. Prediksi Ara yang beranggapan ia malaikat baik segera pupus ketika tiba-tiba saja, hanya dengan satu sentakan tangan, ia membuat Josh terhempas. Sosok tubuh itu terlempar,  menabrak tiang vila hingga roboh, lalu menembus tembok.
Ara menjerit. Ia mundur beberapa langkah tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok Josh yang kini terkapar di antara reruntuhan bangunan.

Nyatanya Josh bangkit dengan cepat, lalu melesat ke arah Sean dan mendaratkan pukulan dan tendangan. Sempat terlibat adu fisik beberapa kali, Sean kembali membuat tubuh Josh terhempas. Kali ini menabrak pohon besar di hadapan vila.
“Jangan pikir aku tak berani menghabisimu, dasar pengkhianat. Aku satu tingkat berada di atasmu, jika hanya membuat tulang-tulangmu remuk, aku tak harus mengeluarkan banyak energi.” Sean mendesis lirih seraya melangkah mendekati Josh yang bersusah payah untuk bangkit. Sosok itu duduk, meringis menahan sakit. Dan Ara bisa melihat darah kental keluar dari mulutnya.
Gadis itu menatap pemandangan yang terpampang di hadapannya dengan ngeri.
Melihat Josh yang berlumuran darah dan sayapnya yang terkoyak, lututnya lemas.

“Pengkhianat sepertimu pantas mati, Josh.” Sean mendesis seraya menempatkan kakinya di dada Josh.
Josh meronta dan menepis kaki Sean dengan kasar. Lelaki itu tertawa sinis.
“Sebetulnya kita sama, Sean.” Jawabnya.
“Aku tahu kau jatuh cinta padanya. Aku tahu kau juga jatuh cinta pada Joey. Itulah kenapa kau juga tak berani membunuhnya!”
“Tutup mulutmu!” Sean berteriak seraya mendaratkan tendangan ke muka Josh yang sudah tak berdaya. Darah kembali menyembur dari mulut Josh. Tapi ia tak gentar.

Malaikat yang sudah terluka parah itu tertawa lirih seraya kembali menatap Sean.
“Nasib kita hampir sama. Kau mendapat tugas untuk membunuh Joey, tapi gagal menjalankan tugas itu karena kau jatuh cinta padanya. Itulah sebabnya kau menyuruhku untuk menggantikan tugasmu. Ya ‘kan?” ia terkekeh.
“Dan tanpa kau duga, aku juga jatuh cinta padanya. Jadi ...” Ia menyeringai. “Kita terlibat cinta segitiga yang memuakkan. Kita sama! Bedanya adalah, aku berani meninggalkan segalanya demi dia. Sementara kau tidak. Jadi jangan sakit hati jika dia lebih memilihku!” Josh berteriak lantang. Dan segera sebuah tendangan kembali mendarat di wajahnya.

“Diam kau!” Sean berteriak.
“Setidaknya aku bukan pengkhianat sepertimu! Aku setia pada kaumku! Tidak sepertimu, dasar sampah!” Lelaki itu mengeluarkan sebuah busur silang tepat ke arah Josh yang sudah lemah tak berdaya.
“Tidak!” Reflek Ara berteriak lalu berlari ke arah dua lelaki yang saling menatap dengan tajam itu.
Josh mengangkat tangan ke arah Ara, menyuruhnya untuk tidak ikut campur.
“Tetap di situ, Ara. Jangan ikut campur. Biarkan kami menyelesaikan masalah di antara kami.” Josh berteriak lantang. Langkah Ara terhenti seketika.

Dua lelaki itu kembali berpandangan dengan pedih.
“Josh ... kita dulu bersahabat dengan baik ‘kan? Kenapa sekarang kita harus seperti ini?” kali ini kalimat Sean terdengar getir. Ada penyesalan mendalam dalam wajahnya. Dan ia tahu, Josh juga mengalami kepedihan yang sama dengannya. Lelaki itu menggeleng lirih.
“Entahlah, aku juga tidak tahu kenapa kita bisa seperti ini. Kita dipermainkan nasib yang rumit. Aku menyesal meninggalkanmu sebagai sahabatku, aku menyesal telah meninggalkan kaum kita. Tapi, aku hanya ingin memilih jalan untuk bahagia. Aku lelah saling bunuh. Aku hanya ingin menjalani ratusan kehidupanku dengan damai. Apa itu berlebihan?” suara Josh parau.

“KITA HANYA MENJALANKAN TUGAS, JOSH. AKU JUGA TIDAK INGIN SALING MEMBUNUH SEPERTI INI! TAPI ITU TUGAS KITA!” Sean kembali berteriak dan siap melesatkan anak panah.
“Kali ini aku benar-benar akan menghabisimu! Jangan kira karena dulu kita bersahabat, maka aku takkan berani melakukannya,” suaranya serak.

Josh tersenyum hambar.
“Jika itu memang hukuman atas pengkhianatanku pada kaum kita, lakukan saja. Tapi ...” Ia menelan ludah. “—biarkan Joey hidup. Aku mencintainya,”

Dan anak panah itu melesat, menghujam langsung ke jantung Josh.

Ara menyaksikan adegan mengerikan itu dengan wajah pucat. Merasa terancam, gadis itu berbalik, berlari menuju vila. Berharap agar malaikat berambut blonde itu membiarkannya pergi.
Tapi ia baru saja sampai di depan pintu ketika Sean melesat dan menghadang langkahnya.

Ara menelan ludah.
“Apa kau juga tipe malaikat yang tega menyakiti manusia?” tanyanya serak.
Sean menatapnya datar.
“Kau sudah bertemu Hoshi?” Suaranya lirih. “Sejujurnya, karakter kami sama.” Ia mengarahkan busur silang tersebut ke arah Ara.

“Selamat tinggal.”

Dan anak panah kembali dilesatkan.

***

Sementara itu di rumah Vernon...
Pertempuran sengit masih terus terjadi antara Nephilim dan malaikat.
Beberapa makhluk bersayap itu sudah tumbang, sementara yang setengah malaikat mulai berdarah-darah, terluka. Setidaknya, mereka hidup.

Hingga akhirnya, Vernon berhasil membuat Hoshi lengah dan kesempatan itu diambil Dika untuk menyarangkan sebuah tembakan, tepat di dadanya.
Merasa belum puas, ia menggapai busur silang dari tangan Woody, lalu melesatkan anak panah itu ke arah Hoshi yang sudah setengah sekarat.
“Itu untuk Dino dan Habin.” Desisnya.

Melihat Hoshi, salah satu malaikat tertinggi tumbang, beberapa malaikat yang masih tersisa tetap memberikan perlawanan.
Tapi Nephilim tidak melemah, mereka justru membabi buta, membantai mereka satu persatu, tak tersisa.

“Kita haru segera ke vila. Firasatku tak enak,” ucap Dika seraya menyarungkan kembali pistol kakinya.
Dan tanpa menunggu lagi, kelima pemuda itu segera bergerak, menuju vila di atas bukit.

***

Ketika sampai di sana, vila itu sudah luluh lantak.
Beberapa daun pintu dan jendela terlepas dari kusen. Kaca jendela pecah berserakan. Dan dua tiang penyangga di teras pun nyaris ambruk.

Dan Joey lah yang pertama sadar akan sosok malaikat yang tengah terbaring tak bergerak di bawah pohon yang berada di halaman vila.
“Ya Tuhan, Josh!” Ia berlari dan bersimpuh di dekat sosok itu.
Sayapnya terkoyak. Anak panah menembus tepat di dadanya. Dan matanya terpejam, ia tak bergerak.
Vernon dan Dika juga ikut bersimpuh di sisinya. Ia menatapnya miris.
“Josh?” Joey meratap. Air matanya menitik.
Dika memeriksa keadaan malaikat itu, dan ia menyadari, ia sudah mati.

“Tidak ...” Joey kembali meratap. Ia meraih sosok itu dan memeluknya erat.  
“Tidak ...” Ia terisak. “Jangan pergi. Ku mohon....” Ia berbisik lirih di telinga Josh. Menyentuh pipinya dengan lembut.
“Ku mohon jangan pergi ...” Ia kembali memeluk sosok itu dengan erat.
Dika menelan ludah dengan hati terluka.
Ia menyentuh pundak Joey dan mengguncangnya pelan.
“Dia sudah tiada, Joey.” Bisiknya serak. Ia ikut memejamkan matanya sesaat, berduka.

Vernon melihat adegan itu denga pedih. Sampai akhirnya ia mendengar Gio berteriak lantang.
“Vernon!” Lelaki jangkung itu berteriak dari dalam rumah.
“VERNON KEMARILAH!” Ia kembali berteriak tak sabar, terdengar frustasi.

Dan entah kenapa, ketakutan luar biasa menghinggapi benak Vernon. Lelaki itu bergerak ke arah datangnya suara tersebut, ke dalam vila.
Dan ketika ia sampai di sana, ia melihatnya.
Sesosok tubuh mungil tergeletak bersimbah darah di lantai. Anak panah tertancap di dadanya, dan ia diam tak bergerak.

Jantung Vernon mencelos. Dadanya sesak.

Ia menelan ludah. “Ara..?” Suaranya tercekat.
Ia berjalan dengan gontai ke arah sosok itu. “Oh tidak ...,” Air matanya segera berjatuhan.
Ia bersimpuh di dekat gadis yang terluka tersebut, lalu dengan takut-takut ia meraih tubuhnya. Menyentuh wajahnya yang pucat. “Tidak...” ia menggeleng lirih.

Pemuda itu menatap ke arah Gio dan Woody secara bergantian. Dua pemuda yang berdiri mematung itu juga terlihat tak kalah terpukul. Wajah mereka pucat. Air mata Woody bahkan juga sudah berjatuhan.
“Apa dia mati?” Desisnya tak percaya.

Vernon kembali menggeleng lirih.
“DIA BERDARAH! LAKUKAN SESUATU!!” Ia berteriak.
“Dika!” Ia meneriakkan nama Nephilim paling tua dengan lantang.
“ARA BERDARAH!! LAKUKAN SESUATU PADANYA!!” lelaki itu mulai kalap.
Bahunya terguncang. Dan isak tangisnya sudah tak mampu ia bendung. Ia menatap seraut wajah di dekapannya dengan putus asa.
“Ara ...” Panggilnya lirih.

“Jangan ...”

“Ku mohon jangan...”

“Jangan pergi ...”

Dan lelaki itu sesenggukan, dengan sosok yang diam tak bergerak di dekapannya.

***

Bersambung ....


Busur silang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar