“Aku
keberatan jika kita harus membawa Ara bersama kita.” ucap Dika cepat. Vernon
sudah mengutarakan keinginannya untuk membawa Ara bersama. Dan sejujurnya ia
sudah menduga bahwa ia akan mendapat penolakan dari nephilim tertua tersebut.
“Kenapa?
Apa menurutmu dia merepotkan? Kau tak mau bertanggung jawab atas dirinya? Dia
sendirian, Dika. Dia sudah tak punya siapa-siapa lagi selain kita,” Vernon
terus menerus protes.
Dika
menggeleng lirih.
“Vernon,
ini bukan masalah aku tak mau bertanggung jawab atau merasa direpotkan. Tapi,
ini perjalanan berbahaya. Bagaimana mungkin seorang manusia ada bersama kita.
Kita makhluk abadi, membawa manusia dalam kerumunan kita adalah sesuatu hal
yang tidak mungkin,” ia kembali ngotot.
“Sudah
cukup kita kehilangan Habin dan Dino. Dan aku tak mau ada korban lagi,” lelaki
itu bangkit.
“Tapi
Dika ...”
“Biarkan
saja ia ikut bersama kami. Ia kasihan sekali,” Woody ikut memberikan pendapat.
Dika menatapnya dengan tatapan tegas. “Tidak,” jawabnya cepat.
“Membawa
dia bersama kita hanya akan mempercepat kematiannya. Ingat, tidak semua
malaikat mau memberi toleransi. Hoshi bahkan tega menghabisi Habin. Dan
mengenyahkan seorang manusia lagi demi membasmi kita, tak masalah baginya.
Jadi, biarkan dia tetap di sini, dan kita pergi. Selesai,”
“Dika,
ku mohon ...”
Tepat
ketika Dika hendak berkata-kata lagi, Ara muncul dari balik pintu ruang tengah.
Kedua
matanya sayu. Wajahnya pucat. Dan tubuhnya terlihat rapuh.
“Biarkan
aku bersama kalian. Ku mohon,” ucapnya lirih. “Aku tak bisa di sini, sendirian.
Aku tak bisa ...”
“Ara,”
Dika memanggil namanya dengan mantap. “Kau manusia yang masih punya masa depan
cemerlang. Sebentar lagi kau lulus sekolah, lalu kau kuliah, kemudian kau akan
mendapatkan pekerjaan dengan baik. Kau bisa hidup damai di sini, memiliki
banyak teman, memiliki sebuah keluarga. Bergabung bersama kami hanya akan
menghancurkan dirimu sendiri. Ini bukan sesuatu hal yang bisa dihadapi oleh
manusia biasa. Ku harap kau mengerti.”
Air
mata Ara menitik.
“Hidupku
sudah hancur, Dika.” Desisnya. “Dan aku tak bisa berada di sini lagi. Tempat
ini terlalu menyakitkan. Setiap sudut kota ini mengingatkanku pada Habin. Dan
setiap kali aku ingat akan dia, dadaku sesak. Aku sekarat. Jika aku harus di
sini sendirian, sepertinya --” Gadis itu menggigit bibir. “--- aku menyerah
untuk hidup,” bahunya terguncang.
Vernon
bergerak ke arahnya lalu mendekapnya lembut.
“Biarkan
saja ia ikut bersama kita, Dika.” Joey membuka suara. Ia mengibaskan rambutnya
lalu bersedekap. “Jujur aku lelah melarikan diri. Kita sama-sama lelah. Tapi
jika ada dari kita yang harus mati lagi, setidaknya kita tidak mati kesepian,”
ia menatap wajah Dika dengan tegas.
Hening
sesaat. Dika terlihat sedang berpikir. Tapi akhirnya ia mendesah. “Oke, kita
pergi bersama,”
Josh
bangkit dari tempat duduknya.
“Dan
jika berencana pergi, sepertinya kita harus bergegas. Karena firasatku
mengatakan bahwa dalam waktu yang tak lama lagi, Hoshi sedang dalam perjalanan
ke sini dengan ditemani selusin malaikat yang lain,” ucapnya.
Para
pemuda itu berpandangan.
“Tapi,
aku pantang untuk pergi tanpa melakukan perlawanan terlebih dahulu,” Dika
mendesis.
“Mereka
harus membayar atas kematian Dino dan Habin,” rahangnya kaku.
“Oke,
kami ikut.” Woody dan Gio menjawab hampir bersamaan, tanpa ragu. “Sudah lama
kita tidak bertarung habis-habisan. Dan tanganku sudah gatal ingin meremukan
tulang-tulang mereka. Selusin malaikat, huh? Aku tak gentar,” Gio melenturkan
jemari tangannya hingga menimbulkan bunyi gemerutuk. Dan Woody ikut terkekeh
sinis, melakukan hal yang sama.
“Aku
juga akan memberikan perlawanan,” Vernon mengikuti rencana saudara-saudaranya
yang lain.
“Oke,
aku juga ikut.” Dan Joey berucap mantap.
“Begini
saja. Kita akan di sini melakukan perlawanan. Setidaknya salah satu malaikat tertinggi
itu harus bisa kita habisi. Jadi, makin banyak personil dari kita, makin
bagus.” Lanjutnya.
“Dan
--- Josh,” ia menatap ke arah kekasihnya tersebut. “Sementara kami di sini, kau
yang akan membawa Ara kabur terlebih dahulu. Bawa ia ke tempat yang sudah kita
rencanakan bersama, villa di atas bukit. Setelah urusan kami di sini selesai,
kami akan menyusul.” Ucap lelaki cantik itu lagi.
Josh
mengangguk setuju.
Vernon
menatap Ara yang berdiri kaku di sampingya.
“Pergilah
terlebih dahulu. Josh akan membawamu dengan aman.” Ucapnya. Ara balas
menatapnya dengan bingung.
“Kenapa
harus Josh yang membawaku?”
“Karena
dia ... bisa membawamu dengan mudah,” jawab Vernon.
Ara
ganti menatap ke arah Josh. Lelaki itu tersenyum lembut, mengangguk setuju,
lalu bergerak ke tengah ruangan. Dan dalam hitungan detik, sepasang sayap
berwarna biru dengan semburat putih muncul dari balik punggungnya.
Sayap
itu mengepak dengan begitu indah dan kokoh.
Ara
sempat melongo.
“Apa
Nephilim punya sayap untuk terbang?” Ia bertanya tanpa sadar, tanpa mengalihkan
pandangannya dari Josh.
“Dia
bukan Nephilim.” Sahut Vernon.
“Eh?”
tatapan Ara langsung meluncur ke lelaki yang masih sibuk memegang tangannya.
“Dia bukan Nephilim?”
Vernon
menggeleng. “Bukan. Dia malaikat asli,” jawabnya lagi.
Ara
ternganga. “Josh seorang malaikat?”
Vernon
mengangguk.
“Bukankah
kalian bermusuhan dengan malaikat? Bagaimana ceritanya malaikat bisa kesasar di
sini, di sekumpulan Nephilim?”
“Josh
ikut bersama kami karena dia,” Vernon menunjuk ke arah Joey dengan dagunya.
“Orang bilang, cinta sejati .”
Ara
ternganga. “Maksudmu, Josh jatuh cinta dengan Joey lalu memutuskan untuk mengikutinya,
mengikuti kalian? Para Nephilim?”
Vernon
kembali mengangguk. “Sudah ku bilang ‘kan? Cinta sejati,” Ia mendorong punggung
Ara dengan lembut ke arah Josh.
“Hati-hati
Josh,” ucapnya. “Pastikan Ara baik-baik saja,” Ia menatap Ara dengan lembut.
“Kalian harus selamat,”
Josh
tersenyum dan mengangguk. “Kami akan baik-baik saja. Sudah siap?” tanyanya pada
Ara.
Ara
hanya mengangguk canggung.
“Dan
kalian harus menyusul kami dengan selamat,” kali ini Josh berucap sembari
menatap Joey dengan penuh arti. Lelaki cantik berambut panjang itu tersenyum,
lembut.
“Vernon?”
Ara memanggil Vernon, seolah ada nada khawatir pada kalimatnya. Vernon
mengangguk.
“Pergilah.
Aku akan baik-baik saja,” ucapnya. Tatapan keduanya terkunci sesaat.
“Oke,
sudah siap?” Josh bertanya pada Ara. Gadis mungil itu mengangguk.
“Well,
let’s go!” Dan dengan sigap Josh mengangkat tubuh Ara, lalu membawanya melesat
melewati jendela yang terbuka secara tiba-tiba, dan ia terbang, dengan Ara
dalam pelukannya.
Sosok
itu melesat dengan cepat. Mengudara, membumbung tinggi.
Tidak
secepat cahaya, tapi jika kau punya rekan seperti dia, kau pasti bisa
berkeliling dunia hanya dalam waktu kurang dari 24 jam!
Sesaat
setelah Josh membawa Ara pergi, para nephilim yang tertinggal segera siap
siaga.
Vernon,
Gio dan Woody masing-masing menyiapkan busur silang yang dikokang, lengkap
dengan anak panah yang telah didesain khusus untuk menghabisi makhluk abadi.
Sementara Joey bersiap dengan sebilah pedang panjang, dan juga belati asosiasi
yang tertata rapi di sekitar pinggangnya.
Dika
lain lagi. Ia menyiapkan sebuah pistol flintlock berusia ratusan tahun yang
sudah dimodifikasi sedemikian rupa hingga lebih mudah dipergunakan, tak lupa ia
juga menyelipkan sebuah pistol kaki di paha kanannya. Sebagai jaga-jaga bila
keadaannya mendesak.
Sebenarnya
senjata-senjata itu biasa dipergunakan para Hunter untuk memburu Vampir, begitu
pula yang biasa dipergunakan para malaikat untuk memburu makhluk abadi lainnya.
Tapi sejak beberapa tahun yang lalu ia dan saudara-saudaranya sudah berlatih
dengan baik untuk ikut mempergunakannya.
Agar
pertempuran lebih seimbang, itu tujuan mereka.
Dan
tepat ketika persiapan mereka selesai, tiba-tiba pintu dan jendela terbuka
dengan cara yang tak biasa, menyebabkan daun pintu beserta daun jendela
terlepas dari kusen lalu terhempas beberapa meter. Kaca-kaca pecah berhamburan,
beberapa perabot rumah terlempar kemana-mana.
Beberapa
sosok tinggi tegap muncul dari pintu dan juga jendela yang telah terbuka. Dan
dia, salah satu malaikat tertinggi berambut blonde dan bermata tajam, melenggang
dengan santai ke arah para Nephilim yang sudah bersiap melakukan perlawanan.
“Halo...”
Ia menyapa dengan suara berat, lengkap dengan sebuah cengiran sinis.
“Sudah
siap menyambut kedatanganku rupanya, huh?” bibirnya berdecih, menatap para
Nephilim dengan sorot mata membunuh.
“Maaf
untuk adik kecil lain yang telah pergi. Tadinya aku masih berniat bermain-main
dengannya, tapi, ups, dadanya tertembus peluru. Dan ... Bam! Aku terpaksa
meledakkannya,”
Rahang
Dika langsung kaku demi mendengar serangkaian kalimat yang keluar dari mulut
Hoshi.
“Dan
kau melibatkan seorang manusia kecil di dalamnya. Bedebah,” desisnya.
Hoshi
menyeringai. “Manusia kecil itu akan masuk surga, imbalan karena ia ikut andil
dalam menumpas makhluk Nephilin seperti kalian.”
“TAPI
KENAPA KAU HARUS MEMBUNUHNYA?! ANAK KECIL ITU MANUSIA YANG TIDAK BERSALAH?”
Dika kembali berteriak, lantang.
Hoshi
menatapnya tajam.
“Aku
tidak butuh kotbah darimu, makhluk terbuang ...” sindirnya.
Dan
sindiran itu ampuh untuk memicu kemarahan pada diri Dika dan makhluk Nephilim
lainnya. Mereka berteriak membabi buta dan menyerang terlebih dahulu, dan para
malaikatpun tak tinggal diam. Dan ayal lagi, pertempuran segera pecah.
Bunyi
pistol berdesing dan anak panah dari busur silang melesat kemana-mana.
Selusin
malaikat beserta satu orang malaikat tertinggi melawan lima Nephilim, well,
sungguh pertempuran yang terlihat tak seimbang.
Tapi
Nephilim bukan makhluk lemah. Mereka mewarisi separuh dari kekuatan malaikat,
dan itu lebih dari cukup untuk menghabisi makhluk abadi lainnya.
***
Tak
butuh waktu lama bagi Josh untuk membawa Ara ke sebuah villa tersembunyi di
atas bukit.
Villa
itu milik Dika yang dipergunakan secara sembunyi-sembunyi pada waktu tertentu
saja. Dan mereka pikir, tempat itu cukup aman, setidaknya untuk sementara
waktu.
“Oke,
sudah sampai.” Ucap Josh seraya menurunkan Ara dengan hati-hati. Dan sayap yang
mengembang dari punggungnya secara ajaib menghilang.
Ara
menatap lelaki itu dengan seksama hingga membua Josh sedikit tak nyaman.
“Masuklah,”
ia memecah kesunyian seraya membuka pintu.
Keduanya
melangkah memasuki vila tersebut.
“Jadi
benar kau malaikat?” Ara kembali bertanya tanpa bisa membendung
keingintahuannya.
Josh
mengangguk.
“Lalu
apa yang membuatmu meninggalkan kaummu dan bergabung dengan para Nephilim?”
“Cinta.”
Josh menjawab cepat.
“Maksudmu,
kau teramat mencintai Joey sehingga rela meninggalkan kaummu sendiri?”
Dan
Josh kembali menjawab pertanyaan Ara dengan anggukan. Lelaki itu tertawa lirih.
Tawa yang lembut.
“Kalau
kau mau tahu, kisah kami seperti dalam drama,” ia terkikik geli. “Pertama kali
bertemu Joey, sebenarnya aku mendapat tugas untuk membunuhnya. Tapi ketika kami
terlibat pertarungan, aku terluka parah dan nyaris mati. Anehnya, ia tidak
membunuhku dan malah merawat lukaku hingga sembuh. Dari situlah aku tahu,
ternyata ia begitu baik dan menyenangkan.” Kedua mata Josh berbinar-binar ceria
manakala menceritakan tentang nephilim yang teramat ia cintai tersebut.
“Singkat
kata, aku jatuh cinta dan begitu terpesona padanya. Hingga akhirnya aku
memutuskan untuk meninggalkan segalanya, demi dia. Meninggalkan tanggung
jawabku, meninggalkan kaumku, kodratku, sahabat-sahabatku. Well, jika bersama
Joey adalah sebuah resiko besar, aku siap mengambil semua resiko itu,”
lanjutnya.
Ara
menatapnya dengan takjub. Tak menyangka akan mendengar sekelumit cerita tentang
kisah cinta mereka. Betapa mereka merasakan cinta yang teramat besar. Ah,
padahal mereka sesama lelaki.
“Pasti
tak mudah ya. Meninggalkan kaummu lalu bergabung dengan para Nephilim yang
notabene adalah – musuh bebuyutan.” Gumam Ara.
Josh
kembali tersenyum hangat.
“Memang
tak mudah. Bahkan terlalu sulit. Para malaikat menganggapku pengkhianat. Dan
akhirnya, aku juga menjadi buronan, persis seperti Nephilim.” Jawabnya.
Ara
menatapnya dengan iba. Tapi lelaki itu menggeleng.
“Aku
baik-baik saja dengan diriku yang sekarang. Aku bahkan bersyukur dengan
keputusan yang ku ambil. Dengan begitu, aku bisa menghabiskan waktu bersama
orang yang ku cintai,” lanjutnya.
“Kelak,
jika kau menemukan seseorang yang membuatmu jatuh cinta setengah mati, mampu
membuatmu aman walau sebilah pisau ditodongkan ke lehermu, mampu menyerap semua
energi positif yang kau miliki, kau akan mengerti dan memahami keputusan yang
ku ambil. Mencintai tanpa pamrih, tanpa peduli resiko yang kau dapat. Walau
harus berkorban nyawa, walau harus meninggalkan segala yang kau punya. Asalkan
bisa bersamanya, konsekuensi itu sepadan.”
Lelaki
itu kembali tersenyum lembut.
Pantas
saja ketika bertemu pertama kali dengan Josh,
Ara sadar bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Caranya
menatap, caranya tertawa, caranya tersenyum, begitu khas. Begitu hangat, begitu
menenangkan. Aura malaikat baik hati yang tak bisa dipungkiri.
“Itu
sebabnya kau berperan sebagai radar? Kau memberitahu pada para Nephilim bila
ada malaikat mendekat?”
Josh
mengangguk. “Alami saja bahwa aku mampu mendeteksi keberadaan kaumku sendiri.
Dan --” ia berbalik ke arah pintu. “—sekarangpun ada seorang malaikat yang
sedang dalam perjalanan kemari.” Kedua matanya menatap tajam ke arah halaman
vila.
“Ara,
apapun yang terjadi, tetaplah di sini.” Ia beranjak, melangkahkan kakinya
menuju teras dan menuruni beberapa anak tangga.
Mencoba
patuh atas perintah Josh, Ara tetap mematung dari tempatnya. Mengintip dari
balik pintu, ia menyaksikan Josh mengembangkan sayapnya.
Dan
sosok itu muncul, melesat, tepat di hadapan Josh.
Tinggi,
berambut blonde, dan bermata teduh. Ia pasti malaikat, terlihat jelas dari
sepasang sayap berwarna silver keemasan yang mengembang dengan indah
dipunggungnya.
Tatapan
matanya berbeda dari tatapan malaikat yang satunya, Hoshi.
Hoshi
terlihat tajam dan kejam, sementara yang ini, teduh dan menenangkan. Ia
berharap sosok itu tak sekejam malaikat yang telah menghabisi Habin dan Dino.
“Halo,
brother.” Josh menyapa duluan. “Bagaimana kabarmu, Sean? Lama tak bertemu,”
lanjutnya.
Malaikat
yang dipanggil Sean itu tersenyum. “Jauh lebih baik untuk sekedar merobekkan
sayapmu,” jawabnya sinis. Prediksi Ara yang beranggapan ia malaikat baik segera
pupus ketika tiba-tiba saja, hanya dengan satu sentakan tangan, ia membuat Josh
terhempas. Sosok tubuh itu terlempar,
menabrak tiang vila hingga roboh, lalu menembus tembok.
Ara
menjerit. Ia mundur beberapa langkah tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok
Josh yang kini terkapar di antara reruntuhan bangunan.
Nyatanya
Josh bangkit dengan cepat, lalu melesat ke arah Sean dan mendaratkan pukulan
dan tendangan. Sempat terlibat adu fisik beberapa kali, Sean kembali membuat
tubuh Josh terhempas. Kali ini menabrak pohon besar di hadapan vila.
“Jangan
pikir aku tak berani menghabisimu, dasar pengkhianat. Aku satu tingkat berada
di atasmu, jika hanya membuat tulang-tulangmu remuk, aku tak harus mengeluarkan
banyak energi.” Sean mendesis lirih seraya melangkah mendekati Josh yang
bersusah payah untuk bangkit. Sosok itu duduk, meringis menahan sakit. Dan Ara
bisa melihat darah kental keluar dari mulutnya.
Gadis
itu menatap pemandangan yang terpampang di hadapannya dengan ngeri.
Melihat
Josh yang berlumuran darah dan sayapnya yang terkoyak, lututnya lemas.
“Pengkhianat
sepertimu pantas mati, Josh.” Sean mendesis seraya menempatkan kakinya di dada
Josh.
Josh
meronta dan menepis kaki Sean dengan kasar. Lelaki itu tertawa sinis.
“Sebetulnya
kita sama, Sean.” Jawabnya.
“Aku
tahu kau jatuh cinta padanya. Aku tahu kau juga jatuh cinta pada Joey. Itulah kenapa
kau juga tak berani membunuhnya!”
“Tutup
mulutmu!” Sean berteriak seraya mendaratkan tendangan ke muka Josh yang sudah
tak berdaya. Darah kembali menyembur dari mulut Josh. Tapi ia tak gentar.
Malaikat
yang sudah terluka parah itu tertawa lirih seraya kembali menatap Sean.
“Nasib
kita hampir sama. Kau mendapat tugas untuk membunuh Joey, tapi gagal
menjalankan tugas itu karena kau jatuh cinta padanya. Itulah sebabnya kau
menyuruhku untuk menggantikan tugasmu. Ya ‘kan?” ia terkekeh.
“Dan
tanpa kau duga, aku juga jatuh cinta padanya. Jadi ...” Ia menyeringai. “Kita
terlibat cinta segitiga yang memuakkan. Kita sama! Bedanya adalah, aku berani
meninggalkan segalanya demi dia. Sementara kau tidak. Jadi jangan sakit hati
jika dia lebih memilihku!” Josh berteriak lantang. Dan segera sebuah tendangan
kembali mendarat di wajahnya.
“Diam
kau!” Sean berteriak.
“Setidaknya
aku bukan pengkhianat sepertimu! Aku setia pada kaumku! Tidak sepertimu, dasar
sampah!” Lelaki itu mengeluarkan sebuah busur silang tepat ke arah Josh yang
sudah lemah tak berdaya.
“Tidak!”
Reflek Ara berteriak lalu berlari ke arah dua lelaki yang saling menatap dengan
tajam itu.
Josh
mengangkat tangan ke arah Ara, menyuruhnya untuk tidak ikut campur.
“Tetap
di situ, Ara. Jangan ikut campur. Biarkan kami menyelesaikan masalah di antara
kami.” Josh berteriak lantang. Langkah Ara terhenti seketika.
Dua
lelaki itu kembali berpandangan dengan pedih.
“Josh
... kita dulu bersahabat dengan baik ‘kan? Kenapa sekarang kita harus seperti
ini?” kali ini kalimat Sean terdengar getir. Ada penyesalan mendalam dalam
wajahnya. Dan ia tahu, Josh juga mengalami kepedihan yang sama dengannya.
Lelaki itu menggeleng lirih.
“Entahlah,
aku juga tidak tahu kenapa kita bisa seperti ini. Kita dipermainkan nasib yang
rumit. Aku menyesal meninggalkanmu sebagai sahabatku, aku menyesal telah
meninggalkan kaum kita. Tapi, aku hanya ingin memilih jalan untuk bahagia. Aku
lelah saling bunuh. Aku hanya ingin menjalani ratusan kehidupanku dengan damai.
Apa itu berlebihan?” suara Josh parau.
“KITA
HANYA MENJALANKAN TUGAS, JOSH. AKU JUGA TIDAK INGIN SALING MEMBUNUH SEPERTI
INI! TAPI ITU TUGAS KITA!” Sean kembali berteriak dan siap melesatkan anak
panah.
“Kali
ini aku benar-benar akan menghabisimu! Jangan kira karena dulu kita bersahabat,
maka aku takkan berani melakukannya,” suaranya serak.
Josh
tersenyum hambar.
“Jika
itu memang hukuman atas pengkhianatanku pada kaum kita, lakukan saja. Tapi ...”
Ia menelan ludah. “—biarkan Joey hidup. Aku mencintainya,”
Dan
anak panah itu melesat, menghujam langsung ke jantung Josh.
Ara
menyaksikan adegan mengerikan itu dengan wajah pucat. Merasa terancam, gadis
itu berbalik, berlari menuju vila. Berharap agar malaikat berambut blonde itu
membiarkannya pergi.
Tapi
ia baru saja sampai di depan pintu ketika Sean melesat dan menghadang
langkahnya.
Ara
menelan ludah.
“Apa
kau juga tipe malaikat yang tega menyakiti manusia?” tanyanya serak.
Sean
menatapnya datar.
“Kau
sudah bertemu Hoshi?” Suaranya lirih. “Sejujurnya, karakter kami sama.” Ia
mengarahkan busur silang tersebut ke arah Ara.
“Selamat
tinggal.”
Dan
anak panah kembali dilesatkan.
***
Sementara
itu di rumah Vernon...
Pertempuran
sengit masih terus terjadi antara Nephilim dan malaikat.
Beberapa
makhluk bersayap itu sudah tumbang, sementara yang setengah malaikat mulai
berdarah-darah, terluka. Setidaknya, mereka hidup.
Hingga
akhirnya, Vernon berhasil membuat Hoshi lengah dan kesempatan itu diambil Dika
untuk menyarangkan sebuah tembakan, tepat di dadanya.
Merasa
belum puas, ia menggapai busur silang dari tangan Woody, lalu melesatkan anak
panah itu ke arah Hoshi yang sudah setengah sekarat.
“Itu
untuk Dino dan Habin.” Desisnya.
Melihat
Hoshi, salah satu malaikat tertinggi tumbang, beberapa malaikat yang masih
tersisa tetap memberikan perlawanan.
Tapi
Nephilim tidak melemah, mereka justru membabi buta, membantai mereka satu
persatu, tak tersisa.
“Kita
haru segera ke vila. Firasatku tak enak,” ucap Dika seraya menyarungkan kembali
pistol kakinya.
Dan
tanpa menunggu lagi, kelima pemuda itu segera bergerak, menuju vila di atas
bukit.
***
Ketika
sampai di sana, vila itu sudah luluh lantak.
Beberapa
daun pintu dan jendela terlepas dari kusen. Kaca jendela pecah berserakan. Dan
dua tiang penyangga di teras pun nyaris ambruk.
Dan
Joey lah yang pertama sadar akan sosok malaikat yang tengah terbaring tak
bergerak di bawah pohon yang berada di halaman vila.
“Ya
Tuhan, Josh!” Ia berlari dan bersimpuh di dekat sosok itu.
Sayapnya
terkoyak. Anak panah menembus tepat di dadanya. Dan matanya terpejam, ia tak
bergerak.
Vernon
dan Dika juga ikut bersimpuh di sisinya. Ia menatapnya miris.
“Josh?”
Joey meratap. Air matanya menitik.
Dika
memeriksa keadaan malaikat itu, dan ia menyadari, ia sudah mati.
“Tidak
...” Joey kembali meratap. Ia meraih sosok itu dan memeluknya erat.
“Tidak
...” Ia terisak. “Jangan pergi. Ku mohon....” Ia berbisik lirih di telinga
Josh. Menyentuh pipinya dengan lembut.
“Ku
mohon jangan pergi ...” Ia kembali memeluk sosok itu dengan erat.
Dika
menelan ludah dengan hati terluka.
Ia
menyentuh pundak Joey dan mengguncangnya pelan.
“Dia
sudah tiada, Joey.” Bisiknya serak. Ia ikut memejamkan matanya sesaat, berduka.
Vernon
melihat adegan itu denga pedih. Sampai akhirnya ia mendengar Gio berteriak
lantang.
“Vernon!”
Lelaki jangkung itu berteriak dari dalam rumah.
“VERNON
KEMARILAH!” Ia kembali berteriak tak sabar, terdengar frustasi.
Dan
entah kenapa, ketakutan luar biasa menghinggapi benak Vernon. Lelaki itu
bergerak ke arah datangnya suara tersebut, ke dalam vila.
Dan
ketika ia sampai di sana, ia melihatnya.
Sesosok
tubuh mungil tergeletak bersimbah darah di lantai. Anak panah tertancap di
dadanya, dan ia diam tak bergerak.
Jantung
Vernon mencelos. Dadanya sesak.
Ia
menelan ludah. “Ara..?” Suaranya tercekat.
Ia
berjalan dengan gontai ke arah sosok itu. “Oh tidak ...,” Air matanya segera
berjatuhan.
Ia
bersimpuh di dekat gadis yang terluka tersebut, lalu dengan takut-takut ia
meraih tubuhnya. Menyentuh wajahnya yang pucat. “Tidak...” ia menggeleng lirih.
Pemuda
itu menatap ke arah Gio dan Woody secara bergantian. Dua pemuda yang berdiri
mematung itu juga terlihat tak kalah terpukul. Wajah mereka pucat. Air mata
Woody bahkan juga sudah berjatuhan.
“Apa
dia mati?” Desisnya tak percaya.
Vernon
kembali menggeleng lirih.
“DIA
BERDARAH! LAKUKAN SESUATU!!” Ia berteriak.
“Dika!”
Ia meneriakkan nama Nephilim paling tua dengan lantang.
“ARA
BERDARAH!! LAKUKAN SESUATU PADANYA!!” lelaki itu mulai kalap.
Bahunya
terguncang. Dan isak tangisnya sudah tak mampu ia bendung. Ia menatap seraut
wajah di dekapannya dengan putus asa.
“Ara
...” Panggilnya lirih.
“Jangan
...”
“Ku
mohon jangan...”
“Jangan
pergi ...”
Dan
lelaki itu sesenggukan, dengan sosok yang diam tak bergerak di dekapannya.
***
Bersambung
....
![]() | |
Busur silang |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar