Ketika
sadarkan diri, Ara menemukan dirinya berada di rumah Vernon dan
saudara-saudaranya.
Keadaan
ini persis sama seperti yang ia alami ketika ia pertama kali bertemu dengan
mereka.
Ia
yang duduk lemah di sebuah sofa, sementara pemuda-pemuda itu menatapnya dengan
tatapan penuh selidik.
Dika
duduk di kursi – yang seolah-olah menjadi kursi kebesarannya – dengan Dino yang
berdiri dengan setia di sampingnya. Woody dan Gio duduk di kursi sebelahnya
berdampingan. Sementara Joey dan Josh berdiri tak jauh darinya.
Dan
Vernon, pemuda itu duduk di langkan jendela tanpa menatap ke arahnya.
“Oh,
kau sudah sadar?” Dika menyapa.
Ara
pucat, tak mampu menjawab.
Apa
yang ia lihat di gang barusan jelaslah sesuatu yang berbeda. Jelas-jelas ia
melihat Joey menghabisi seseorang dengan sebilah pedang. Begitu pula dengan apa
yang dilakukan Woody dan Vernon. Mereka menembus dada seseorang dengan tangan
kosong.
Dan
apa yang terjadi dengan para korban? Mereka terbakar dan hangus menjadi abu.
Ini
bukan sesuatu hal yang bisa dilakukan oleh manusia biasa.
Sesaat
ketika limbung, ia sempat melihat Vernon melesat ke arahnya dan menangkap
tubuhnya yang ambruk. Logika saja, pemuda itu berada sekitar 100 meter darinya.
Bagaimana mungkin ia bisa berada di sisinya, menangkap tubuhnya, hanya dalam
waktu hitungan detik?
Apa
dia melesat begitu saja seperti cahaya? Berteleportasi?
Dia
jelas-jelas bukan manusia biasa. Atau ... dia memang bukan?
“Siapa
kalian?” suara Ara bergetar. Ia tak bisa meramal apa yang akan terjadi dengan
dirinya. Bisa saja ini untuk yang terakhir kalinya ia bernafas. Tapi paling
tidak, ia tahu sedang berhadapan dengan siapa – atau dengan apa.
Hening,
tak ada jawaban.
Perlahan
Dika tersenyum.
“Tenanglah,
Ara. Kami tak akan menyakitimu. Kau aman di sini, jadi jangan takut,” ucapnya.
Nada suaranya tak jauh berbeda dengan biasanya. Tapi tetap saja Ara ketakutan.
Gadi
itu mencoba menatap mereka satu persatu secara acak.
“Aku
melihatnya. Kalian menghabisi tiga orang laki-laki. Mereka terbakar dan hangus
menjadi abu. Jadi ... siapa kalian?” Ia memberanikan diri bertanya.
“Kalian
bukan manusia biasa. Aku sering melihat hal ini di film-film. Apa kalian punya
kekuatan supranatural? Atau, kalian vampir, drakula, manusia serigala ...?”
“Nephilim.”
Jawaban
itu meluncur dari mulut Vernon. Pemuda itu
menatap ke arah Ara, lalu ke arah Dika.
Yang
lainnya balik menatap Vernon dengan tatapan protes.
Pemuda
bermata coklat itu mendengus.
“Apa? Untuk apa menyembunyikannya? Tak ada untungnya ‘kan? Katakan saja sejujurnya pada dia dan biarkan dia memutuskan apa yang akan ia lakukan,” ia membela diri.
“Apa? Untuk apa menyembunyikannya? Tak ada untungnya ‘kan? Katakan saja sejujurnya pada dia dan biarkan dia memutuskan apa yang akan ia lakukan,” ia membela diri.
“Nephilim
... apa?” Ara bertanya bingung, kembali menatap mereka secara acak. Kecuali
Dika dan Vernon, yang lainnya nampak gusar.
Hening
sesaat.
Dan
Dika lagi akhirnya yang menjawab. “Kau benar Ara. Kami bukan manusia. Kami
makhluk abadi ---,” Ia melirik ke arah saudara-saudaranya yang lain.
“Nephilim.”
Ara
menelan ludah. Mendengar kata makhluk abadi, nyalinya makin ciut. Itu pasti
sejenis vampir atau manusia serigala. Bagaimana ini? Apa mereka berbahaya? Apa
mereka akan menghisap darahnya? Apa mereka akan membunuhnya? Ia berteriak panik
di dalam hati.
Sesaat
ia mendengar Dika terkekeh.
“Kami
tidak sama dengan vampir ataupun manusia serigala. Kami tidak menghisap darah,
tidak berbahaya. Dan yang jelas, kami tidak akan membunuhmu,” ucapnya.
Ara
tercengang.
Lelaki ini
membaca pikirannya!
Ketika
ia bangkit dari kursinya dan berniat mendekati Ara, seketika tubuh gadis itu mengerut
dan meringkuk di sofa. Ia tampak gemetar dan ketakutan. “Tenanglah, Ara. Jangan takut.” Dika berusaha
menenangkannya. “Nephilim adalah keturunan manusia dan malaikat. Kami tidak
menyakiti manusia. Kami takkan menyakitimu, percayalah.”
Ara
kembali menelan ludah.
“Lalu
kenapa kalian bisa ada di sini?”
“Siklus.”
Entah kenapa Dika seperti menjadi juru bicara di antara mereka. “Kami makhluk
abadi. Kami hidup selama ratusan tahun. Dan hal yang tidak mungkin kalau kami
tinggal hanya di satu tempat. Akan kelihatan mencolok kalau tetangga kami
menua, sementara kami tidak. Jadi itulah yang kami lakukan, kami
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.”
“Apa
itu artinya kalian menyembunyikan identitas kalian?” dan Ara kembali bertanya.
Dika mengangguk. “Tidak akan ada makhluk abadi yang koar-koar tentang jati diri
mereka. Atau orang akan berbondong-bondong melakukan penelitian pada kami dan
menganggap kami alien.” Jawabnya seraya tertawa lirih.
“Jadi
kalian hidup seperti manusia pada umumnya?”
“Tentu
saja. Toh kami lahir dari manusia juga ‘kan? Bedanya kami abadi, dan manusia tidak.
Itu saja,” kali ini Joey yang menjawab.
Ara
menggigit bibirnya dengan was-was. Tubuhnya masih terlihat gemetar karena
takut.
“Kami
tidak jahat, Ara. Percayalah. Selama ini kami baik padamu ‘kan? Jika kami
jahat, untuk apa Vernon harus repot-repot menyelamatkanmu ketika kau nyaris
mati tertimpa pohon,” ucapan Joey membuat tatapan Ara singgah pada Vernon yang
masih duduk santai di langkan jendela.
“Jadi
benar ‘kan kau yang menyelamatkanku?” gadis itu berucap spontan.
Vernon
hanya mengangkat bahu cuek tanpa membalas kembali tatapan Ara.
“Kami
hanya ingin hidup normal dan berdampingan dengan manusia. Itu saja,” Dino
menyela.
Manik
mata Ara singgah ke arah Dika lagi.
“Jika
kalian menyembunyikan identitas kalian, lalu bagaimana denganku? Bukankah
secara tidak langsung aku telah mengetahui rahasia kalian? Apa kalian akan
membungkamku? Menghabisiku?” ia bertanya dengan suara tercekat.
Dika
tertawa.
“Tidak.
Untuk apa kami harus menghabisimu? Jika kau memang tahu rahasia, ya tahu saja.
Tak masalah buat kami,”
“Kalian
tak takut kalau aku akan membocorkan identitas kalian pada orang lain?”
Pertanyaan
Ara kembali melahirkan kekehan kecil pada Dika. Pemuda bijak itu menggeleng.
“Tidak.
Kami tidak takut. Jika kau memang ingin membocorkan identitas kami, lakukan
saja. Toh jika ada yang bertanya, kami akan terus menerus mengatakan bahwa kami
manusia. Dan bisa dipastikan, mungkin kaulah yang akan berakhir di Rumah Sakit
Jiwa karena dikira mengalami gangguan kejiwaan,”
Ara
terdiam. Benar juga.
Jika
ia koar-koar pada semua orang bahwa ada sekelompok Nephilim di samping
rumahnya, apa dia akan dipercaya? Hah, bisa-bisa semua orang akan menganggapnya
gila.
“Sekarang
kau sudah tahu siapa kami yang sebenarnya. Kedepannya mungkin akan sedikit
aneh. Tapi semoga kau tak keberatan untuk terus bersahabat dengan kami. Dan
percayalah, kami tidak jahat.” Tatapan Dika tampak lembut.
Ara
meremas-remas tangannya, gusar.
“Dino
akan mengantarkanmu pulang. Adikmu pasti sudah khawatir padamu,”
Ingat
akan Habin, serta merta Ara bangkit dari kursinya.
“Jadi,
kalian akan membiarkanku pergi begitu saja? Kalian benar-benar takkan
menyakitiku?”
Dika
tersenyum. “Pulanglah,” ucapnya.
Dino
melangkah mendekatinya. “Aku akan mengantarkanmu, kak.” Ucapnya ramah, seperti
biasanya. “Dan tolong jangan larang aku bermain dengan Habin. Dia adik yang
lucu buatku. Aku takkan menyakitinya, aku janji.” Lanjutnya.
Ara
kembali menelan ludah, masih sedikit bingung. Namun ia sudah kembali ke akal
sehatnya ketika kakinya beranjak, mendekati Vernon lalu berucap, “Terima kasih
karena telah menyelamatkan nyawaku.”
***
Mengetahui
bahwa sekarang ia bertetangga bahkan bersahabat dengan Nephilim memang agak
canggung. Rasanya aneh.
Tapi
tingkah pemuda-pemuda itu tak berubah sedikitpun.
Joey
masih saja bersikap lembut padanya dan terus menempel pada Josh.
Woody
dan Gio masih saja berkelakuan seperti anak TK yang kerap mendebatkan sesuatu
tak penting. Sementara Vernon, dia masih saja seperti patung es berjalan!
Namun
begitu, sikap protektif dan perhatiannya
juga tak luntur. Ia masih terus mencarikan kursi kosong di bis untuk
dirinya. Ia masih berdiri dengan sukarela di sisinya, berjaga agar ia tidak
terjatuh. Dan ketika Yuri dan teman-temannya berbuat buruk padanya, ia tak ragu
pasang badan untuknya.
Ara
bingung, kenapa dia bersikap seperti ini padanya?
“Ara,
buatkan kami kue kacang lagi ya. Please,” Gio merangkul pundak Ara dengan
tiba-tiba ketika mereka dalam perjalanan ke sekolah.
Ara
menatapnya dengan penuh selidik.
“Kau yakin masih makan kue kacang? Apa kau mengunyahnya? Apa makanan itu masuk ke perutmu? Apa kau juga buang kotoran?” ia nyerocos. Pemuda jangkung itu tertawa.
“Kau yakin masih makan kue kacang? Apa kau mengunyahnya? Apa makanan itu masuk ke perutmu? Apa kau juga buang kotoran?” ia nyerocos. Pemuda jangkung itu tertawa.
“Kau
pikir makanan yang kami makan larinya kemana?”
Ara
bergidik. “Kau ‘kan bukan --- manusia,” ia menyebut kata ‘manusia’ dengan
setengah berbisik.
Mingyu
terkekeh lirih. “Kami seperti manusia. Kami makan, minum, buang kotoran, dan
berdarah ketika tergores. Bedanya adalah, manusia menua, kami tidak. Kami abadi
,” Mingyu balas berbisik.
“Ah,
pokoknya bikinkan kami kue kacang, oke?” Woody ikut nimbrung. Ia ikut merangkul
pundak Ara hingga membuat Gio meradang.
“Pundaknya
kecil, tak muat untuk empat tangan. Singkirkan tanganmu!” lelaki itu protes.
“Kau
sudah merangkulnya dari tadi. Aku juga ingin merangkulnya. Ara temanku juga
‘kan?” Woody membalas.
Bibir
Gio berdecih. “Kenapa kau selalu mengikuti apa yang kulakukan pada Ara?”
“Dan
kenapa kau protes? Dia teman kita bersama ‘kan?”
Ara
memutar bola matanya kesal. “Singkirkan tangan kalian,” keluhnya. Berusaha lepas
dari dua pemuda yang menempel padanya.
Bukannya
enyah, kedua pemuda tampan itu malah menggamit kedua tangan Ara, dari sisi
kanan dan kiri, lalu mengangkat tubuhnya bersama-sama dengan entengnya. Gadis
itu sempat menjerit.
Kelakuan
mereka kontan saja membuat Vernon yang overprotectif berteriak heboh.
Bak
seorang ibu yang tak terima anak bayinya di gendong oleh sembarang orang, ia mencak-mencak
seketika.
“Hei!
Turunkan dia!” teriaknya seraya menghadang langkah Gio dan Woody lalu menatap
mereka dengan kesal. “Jangan bermain-main dengannya. Tangannya kecil. Bagaimana
kalau kalian melukainya?” ujarnya was-was. Gio dan Woody hanya menyeringai lalu
menurunkan tubuh Ara pelan-pelan.
“Kami
hanya main-main, Vernon. Jangan terlalu cemas begitu,” ucapnya.
Vernon
mendelik.
“Ara
manusia biasa. Tubuhnya rentan. Tulang-tulangnya ringkih. Bagaimana kalau
kalian mematahkan tangannya? Bagaimana kalau kalian mematahkan tulang
rusuknya?” ia mendesis pelan.
Ganti
Ara yang mendelik kesal.
“Vernon,
please deh. I’m okay. Aku manusia, tapi kami tidak serentan itu. Kau pikir kami
boneka yang hanya karena sekali sentuh, tulang-tulang kami langsung patah?
Well, kalsiumku cukup, dan walau tulang
rusukku pernah cedera, tapi aku baik-baik saja. Jadi, jangan berlebihan. Oke?”
protesnya.
Ia
hanya tak mengerti kenapa Vernon begitu perhatian padanya. Bahkan memang
terkadang terkesan ... berlebihan.
“Nanti
sore aku akan membuatkan kue untuk kalian,” ucapnya seraya beranjak, mendahului
ketiga pemuda tersebut.
Gio
dan Woody nyaris mengulangi perbuatannya, mengangkat tubuh Ara, jika saja
Vernon tidak segera memelototinya.
Sementara
Josh dan Joey hanya menatap adegan itu sambil terkikik geli.
“Ku
pikir mereka bertiga menyukai Ara,” ujar Joey.
“Ku
pikir juga begitu. Lagi pula wajar saja, Ara gadis yang manis dan menyenangkan.
Akan sulit bagi mereka untuk tidak menyukainya,” jawab Josh.
Mendengar
jawaban itu, Joey menyipitkan matanya dan menatap Josh dengan sorot peringatan.
Josh tergelak.
“Bagiku,
kau tetap yang terbaik.” Jawabnya buru-buru.
***
Ara
baru saja usai membuat kue kacang dan membersihkan dapur ketika tiba-tiba
Vernon muncul di depan pintu dapurnya. Gadis itu nyaris menjerit kaget.
“Astaga,
apa Nephilim tak tahu caranya mengetuk pintu?” jeritnya.
Vernon
menggaruk kepalanya dengan canggung.
“Aku
mengetuk pintu beberapa kali, tapi kau tak dengar.” Jawabnya.
Ara
menarik nafas lega.
“Apa
kau ingin mengambil kue kacang. Sudah matang. Atau kau mau kubuatkan minum
dulu?” ia bertanya santai.
Vernon
menggeleng.
“Aku
ke sini untuk menjemputmu,”
“Menjemputku?”
Vernon
mengangguk.
“Kenapa?”
tanya Ara langsung.
“Habin
menolak diantarkan pulang oleh Dino. Dia bilang dia ingin tidur di sana bersamanya.
Lagipula besok hari libur ‘kan? Jadi Dika menyuruhku ke sini untuk mengajakmu
tidur di sana sekalian. Tapi itupun kalau kau mau. Kami hanya berpikir mungkin
kau akan kesepian di rumah sendirian. Jadi, kenapa tidak tidur di sana saja?”
ucapnya.
Ara
ternganga.
“Habin
menolak pulang?!” ia nyaris berteriak. Dan Vernon hanya mengangguk lembut.
“Dan
kalian menyuruhku tidur di sana? Di rumahmu?”
Vernon
kembali mengangguk.
“Apa
kalian sinting? Kalian bukan manusia. Bagaimana jika ... bagaimana jika ...”
“Sudah
kami bilang ‘kan? Kami takkan menyakitimu.” jawab Vernon lagi.
“Lagipula,
Habin senang sekali berada di sana. Kau juga paham ‘kan kalau anak itu
kesepian? Berada di rumah kami, ia serasa punya banyak kakak laki-laki yang
siap mangajaknya bermain dan bersenang-senang,” lanjutnya.
Ara
terdiam.
Vernon
benar. Habin bocah yang kesepian. Tinggal bersama dengan banyak orang yang
memperhatikannya, tentu pengalaman tersendiri baginya.
Ia
ingin membiarkan ia tidur di sana. Tapi, bagaiman jika Habin disakiti oleh
makhluk-makhluk ini? Bagaimana jika ...
“Yang
kau sebut ‘Makhluk ini’ adalah Nephilim. Dan kami tidak akan menyakiti Habin.
Dia adik kecil kami. Tak mungkin kami melukainya,” Vernon memotong kesal.
Ara
mendelik. “Apa semua Nephilim punya kemampuan untuk membaca pikiran?”
“Tidak
juga. Aku, Dika dan Joey bisa. Yang lainnya belum,”
Ara
terdiam sesaat.
“Kalau
kau tak bersedia juga tak apa-apa. Tapi Habin takkan mau pulang. Jadi ...”
“Oke,
aku ikut. Aku akan tidur di rumahmu.” Potong Ara cepat.
***
Ketika
Ara sampai di rumah Vernon, Habin sedang bermain games dengan Dino di ruang
tengah. Ia baru saja selesai makan malam. Bocah berusia 7 tahun itu tampak
begitu senang dan gembira. Sudah lama Ara tidak menemukan ekspresi seperti itu
di wajahnya. Dan entah mengapa, Ara merasa terharu.
Ia
tahu Habin kesepian. Dan sekarang, ia seperti punya sebuah keluarga yang lengkap.
“Beberapa
kamar kosong belum bisa ditempati. Jadi malam ini, kau bisa tidur di kamarku.
Aku akan tidur di kamar Woody dan Gio.” Ucap Vernon. Ara mengangguk canggung.
Mendengar
namanya di sebut, Woody dan Gio yang asyik ikut bermain games bangkit.
“Ara
saja yang tidur bersama kami! Jangan kau!” Mereka protes hampir bersamaan.
Mendengar
itu, Vernon melotot. “HEI!!” bentaknya.
Ara
menatap mereka dengan perasaan tak enak.
“Begini
saja, biar aku tidur bersama Dino dan Habin saja.” ucapnya. Menurutnya itu
pilihan yang paling masuk akal. Toh mereka berdua masih anak-anak.
“Tidak!”
Di luar dugaan, Vernon, Gio dan Woody berteriak nyaris bersamaan. Ara melongo.
Apa-apaan
ini?
“Ara
tidur di kamarku, aku akan tidur di kamar Dika. Titik.” Vernon berucap tegas
seraya beranjak. Dika yang mendengar perdebatan mereka hanya tersenyum seraya
menggeleng-geleng pelan.
Vernon
baru saja sampai di anak tangga paling atas ketika tiba-tiba pintu terbuka dan
terhempas dengan tiba-tiba. Seolah-olah sebuah angin besar mendorongnya begitu
saja.
Merasa
ada yang tidak beres, DK bangkit dari kursinya.
“Dino,
ajak Habin ke kamar!” perintahnya.
Tanpa
banyak tanya, Dino bangkit, lalu membujuk Habin yang masih asyik memegang stick
games untuk masuk ke kamarnya. “Kita akan melanjutkan permainan ini di kamar,
oke?” ajaknya. Habin sedikit bingung, tapi ia mengiyakan saja ajakan lelaki yang
sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri itu.
“Ara,
ikuti Dino!” Kali ini Dika berteriak pada Ara.
Belum
sempat Ara mencerna apa yang terjadi, tatapannya terpaku pada pintu yang
terbuka lebar.
Dua
orang pemuda jangkung berwajah dingin melenggang dengan santai memasuki ruang
tamu.
Dan
seketika, salah satu mereka, yang bersorot mata tajam dan berambut panjang,
menatap lurus ke arah dirinya.
“Manusia?”
pemuda itu menggumam sinis tanpa mengalihkan pandangannya dari Ara.
Dan
tiba-tiba saja ia melesat ke arah dirinya.
Ara
tersentak, terbatuk dan nyaris tak bisa bernafas ketika merasakan jemari pria
itu di lehernya. Mencengkeramnya.
“Ada
manusia di sini?” Ia kembali berbisik sinis di telinganya.
“Singkirkan
tanganmu darinya!” Vernon berteriak, menepis tangan lelaki itu di leher Ara, lalu mendaratkan sebuah
pukulan hebat padanya hingga sosok itu terhempas ke arah tembok.
Rekannya
yang berdiri tak jauh darinya hanya menyeringai kejam. Merasa tak perlu memberi
pertolongan.
Sementara
Gio, Woody, Josh dan juga Joey juga sudah bersiap memberikan perlawanan.
“Jika
kau berani menyentuh perempuan ini, walau sehelai rambut sekalipun, akan ku musnahkan seluruh kaummu!” Vernon
berteriak lantang. Ia menarik tubuh Ara agar berdiri tepat dibalik tubuhnya.
Sosok
tamu itu tersenyum dan bangkit, tanpa rasa takut.
“Saudara-saudara,
bisakah kita duduk dengan tenang dan berdiskusi dengan baik? Aku tak suka ada
keributan di rumahku!” Dika bersuara.
Ia
menatap kedua tamunya dengan tatapan waspada.
“Jun
dan Hans. Apa yang membuat kalian jauh-jauh datang kemari dan mencoba mencari
masalah dengan kami?” ia kembali bertanya.
Tamu
yang bernama Jun dan Hans itu bergerak dan duduk di kursi tanpa dipersilahkan.
“Pertanggung
jawaban,” Hans menjawab datar. Seraya menyilangkan kakinya dengan angkuh.
“Kita
sudah sepakat untuk tidak saling mengganggu. Kenapa kau menghabisi tiga
rekanku?” ia menatap langsung ke arah Vernon, Joey dan Woody.
Ara
memilih bersembunyi di balik tubuh Vernon dengan wajah pucat.
“Mereka
yang ingin membunuh kami terlebih dahulu. Kami hanya membela diri,” Gio
menjawab.
Jun
dan Hans terkekeh. “Kau pikir kami akan percaya dengan jawaban kalian? Kaum
vampir tidak punya alasan untuk membunuh Nephilim. Kita sama-sama makhluk
abadi, tapi beda jalur. Kita tidak saling bersinggungan satu sama lain,” jawab
Jun angkuh.
“Kaummu
memang tidak punya alasan untuk memburu kami. Tapi mereka punya.
Malaikat-malaikat itu menyewa rekanmu untuk membunuh kami.” Vernon menjawab
tegas.
Jun
kembali tertawa.
“Untuk
apa mereka harus repot-repot menyewa Vampir untuk memburu dan membunuh kalian?
Toh mereka punya sepasukan malaikat yang siap membasmi kalian! Jangan tolol!”
teriaknya.
“Mereka
memang dapat menghabisi kami. Tapi mereka tidak cukup kuat untuk melacak
keberadaan kami. Itulah kenapa mereka memanfaatkan kaummu. Tentunya dengan
iming-iming tertentu. Dan aku yakin, hanya vampir labil yang terbujuk dengan
iming-iming tersebut,” Dika angkat bicara.
Wajah
Jun dan Hans makin dingin, tak bersahabat.
“Kami
memang membunuh rekanmu. Tapi kami melakukannya hanya untuk membela diri. Kau
boleh percaya, boleh juga tidak. Tak berpengaruh pada kami.” Vernon kembali
berujar.
“Seperti
yang sudah kau bilang, kaum kita tidak saling bersinggungan. Tapi kami tak
segan-segan untuk memberikan perlawanan. Dan satu lagi,” suaranya bernada
mengancam.
“Makhluk
fana di sini adalah larangan bagi kalian. Jika kalian menyentuhnya, sedikit
saja, berarti kalian mengibarkan bendera perang pada kami. Camkan itu!”
Kedua
mata Ara mengerjap. Makhluk fana? Apakah yang dimaksud adalah ... dirinya?
Jun
dan Hans terkekeh lagi.
“Well,
sepertinya ini akan semakin menarik. Tapi kami tak bisa berjanji untuk tidak
mendekatinya,” ia menatap lurus ke arah Ara. “Karena jujur saja, darahnya
terlihat menggiurkan.” Ujar Jun.
Rahang
Vernon menegang.
Lelaki
itu nyaris saja mendaratkan pukulan di wajah vampir tersebut jika saja Joey
tidak mencegahnya.
“Well,
maaf telah mengganggu malam kalian. Semoga suatu saat nanti, kita bertemu
lagi.” desis Hans. Dan kedua sosok itu melenggang keluar dari ruang tamu, lalu
melesat begitu saja meninggalkan mereka. Pintu pun menutup dengan tiba-tiba.
Vernon
berbalik dan menatap Ara yang nampak pucat. Ia memeriksa leher perempuan
tersebut dan nampak ruam kemerahan di sana. “Kau tak apa-apa?” ia bertanya cemas.
Ara
menelan ludah. Tak mampu menjawab. Wajahnya pucat pasi seperti mayat.
“Ajak
di ke kamar. Ia terlihat syok,” Dika menyarankan.
Tanpa
banyak bicara, Vernon mengangkat tubuh gadis tersebut lalu membawanya ke kamar.
***
Vernon
menyodorkan segelas air putih ke arah Ara yang terduduk lemas di pinggir
ranjang.
“Minumlah. Maaf karena kau harus mengalami peristiwa seperti ini. Kami tak bermaksud melibatkanmu. Kau tak apa-apa ‘kan?”
“Minumlah. Maaf karena kau harus mengalami peristiwa seperti ini. Kami tak bermaksud melibatkanmu. Kau tak apa-apa ‘kan?”
Ara
meraih gelas dari tangan Vernon lalu meminum isinya pelan. Vernon
mendampinginya dengan sabar hingga perempuan itu tampak lebih tenang.
“Mereka
tadi ... Vampir?”
Vernon
mengangguk.
Ara
ternganga. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang ia alami.
Ia
baru saja bertetangga dengan sekelompok Nephilim. Dan sekarang, Vampir nyaris
merobek kerongkongannya. Kemana kehidupannya yang selama ini tenang dan damai?
Ia merutuk dalam hati.
“Istirahatlah,”
Vernon bangkit. “Aku akan tidur di kamar Dika. Jangan khawatir. Kami akan terus
menjagamu. Mereka takkan datang lagi.” ia beranjak.
“Vernon
...” panggilan itu mengurungkan langkahnya. Ia berbalik dan tatapannya beradu
dengan mata bening Ara.
“Aku takut.” Gadis itu seperti meratap.
“Tapi aku lebih takut jika tak mengetahui apa yang sedang ku hadapi saat ini,”
Ia terlihat putus asa.
“Kita teman ‘kan?”
Pertanyaan itu tak mampu dijawab oleh
pemuda di hadapannya.
“Jika kau menganggapku teman, maka
ceritakanlah apa yang tidak ku ketahui. Aku tak bisa menghadapi keterkejutan
setiap hari. Beberapa waktu yang lalu aku dibuat syok ketika menyadari bahwa
tetanggaku, teman-teman baruku adalah makhluk abadi bernama Nephilim. Dan hari,
ini aku nyaris terbunuh oleh Vampir. Besok apa lagi? Kenapa malaikat mencarimu?
Kenapa kalian harus diburu?” gadis itu tak tahan untuk tidak bertanya.
“Ku mohon Vernon. Secara tidak langsung
kau sudah melibatkanku dalam duniamu. Dan aku ingin tahu apa yang tidak ku ketahui,” pintanya.
Vernon mematung.
Pemuda itu menarik nafas panjang lalu
menyeret kakinya dan duduk di sofa yang berada tak jauh dari tempat tidurnya.
Ia menegakkan punggungnya di bantalan
tempat duduk tersebut seolah ada beban berat di sana. Ia terdiam sesaat seperti
sedang mengatur kata-kata.
“Nephilim pindah dari satu tempat ke
tempat lain bukan karena siklus. Bukan karena kami hobi travelling. Tapi kami
melarikan diri. Kami adalah kaum yang sudah ditakdirkan untuk diburu, dikejar-kejar,
seumur hidup kami.”
“Oleh siapa?”
“Malaikat.”
Kening Ara mengernyit.
“Malaikat? Bukankah Nephilim adalah
keturunan malaikat dan manusia? Kenapa mereka harus memburu kalian?”
“Aib.” Jawaban Vernon terdengar berat.
Seakan ia sendiri tak kuasa untuk mengucapkannya.
“Nephilim terlahir dari kesalahan
malaikat yang menjalin cinta terlarang dengan manusia. Sesuatu hal yang
seharusnya tidak boleh terjadi. Itulah kenapa mereka menganggap kami sebagi
aib. Dan satu-satunya cara untuk menghilangkan aib tersebut, kami harus di
habisi. Di musnahkan. Kaum nephilim bahkan tidak bisa diterima di surga ataupun
neraka.” Suara pemuda itu seakan tercekat.
“Kami menghabiskan waktu ratusan tahun
kami dengan pindah dari satu tempat ke tempat lain demi menghindari kejaran
mereka. Untungnya kami masih mempunyai kekuatan seperti makhluk abadi lainnya
karena kami keturunan mereka. Sehingga kami bisa melakukan pertahanan diri jika
ada dari mereka yang menyerang kami. Terkadang kami terlibat pertempuran,
terkadang kami terdesak, terkadang ada yang mati,”
“Bukankah makhluk abadi tidak bisa
mati?”
“Bisa, oleh sesama makhluk abadi
lainnya. Dan kami benar-benar akan mati, musnah. Maksudku, kami tak punya jiwa
yang akan pergi ke tempat lain. Selesai, begitu saja.” Jawab Vernon lagi.
Ara
mendengar penuturan pria itu dengan trenyuh.
“Berapa
tahun umurmu?” Ara memberanikan diri untuk bertanya lagi.
Vernon
mengangkat bahu. “Entahlah. Mungkin ratusan tahun,” jawabnya.
“Dika
yang paling tua di antara kami. Dia pulalah yang menemukan kami pertama kali.
Dia menemukanku ketika aku terluka parah dan nyaris musnah. Lalu kami bertemu
Joey dan Josh, kemudian si kembar Woody dan Gio, barulah kami bertemu Dino.
Dino Nephilim baru. Itulah kenapa Dika memilih di rumah saja untuk menjaganya
karena anak itu belum bisa menjaga dirinya sendiri jika sesuatu yang buruk
menimpanya,” lanjutnya.
“Lalu
apa yang terjadi dengan orang tua kalian? Maksudku --- yang malaikat?”
Vernon
kembali mengangkat bahu.
“Entahlah.
Setahuku mereka menjadi makhluk ‘terbuang’, ada yang berakhir di neraka, ada
juga yang berakhir menjadi iblis. Kami tak tahu, dan kami tak ingin tahu,”
jawabnya lagi.
“Ada
berapa banyak nephilim di dunia ini?”
Lagi-lagi
pertanyaan itu dijawab Vernon dengan mengangkat bahu.
“Entah.
Bisa jadi banyak. Bisa jadi para malaikat yang bertugas mengejar kami sudah
menghabisinya.” Ucapnya lagi. Terdengar perih.
Ara
mendengar penuturan Vernon dengan perasaan trenyuh, iba.
Ia
membayangkan Vernon berkelana ratusan tahun dari satu tempat ke tempat lain,
berjuang mempertahankan diri, sendirian, kesepian. Tanpa tahu orang tua mereka. Tanpa tahu
rasanya punya keluarga yang lengkap. Betapa mereka seolah menjadi makhluk
terkutuk yang tidak diterima surga ataupun neraka.
Ara
teringat dengan Gio dan Woody yang kangen dengan kue kacang buatan ibu mereka.
Ah, itu pasti sudah ratusan yang lalu.
Ia
juga teringat dengan Dino yang begitu bahagia bisa bertemu dan berteman dengan
Habin.
Ia
ingat bagaimana DK berusaha melindungi saudara-saudaranya.
Ia
ingat bagaimana Vernon begitu over protectif pada dirinya?
Tanpa
sadar air mata Ara menitik.
Oh,
Vernon yang kasihan.
Mereka
makhluk malang yang kasihan, kesepian, penuh perjuangan.
Apa
mereka ingat wajah orang tua mereka? Apa mereka punya saudara kandung? Apa
mereka pernah merasakan dekapan sayang seorang ayah? Seorang ibu? Keluarga?
Pasti
tidak ‘kan?
Ara
terisak.
Betapa
ia ikut terluka mengetahui fakta tentang makhluk abadi di hadapannya.
“Kau
tak perlu kasihan pada kami, Ara. Tak perlu,” desis Vernon lirih.
Air
mata Ara berderaian.
“Maaf,
aku hanya ... aku ...” Ia sesenggukan. Sibuk menghapus air matanya yang terus
saja mengalir tanpa mampu ia bendung.
Vernon
bangkit dan mendekati Ara dengan langkah berat. Pemuda itu duduk di sampingnya,
mengulurkan tangannya lalu memeluk gadis itu dengan lembut.
“Kami
baik-baik saja.” bisiknya. Ada kristal-kristal bening di sudut matanya. Bukti
bahwa mereka, ia dan saudara-saudaranya takkan baik-baik saja.
Tidak.
***
Bersambung
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar