Kamis, 12 Mei 2016

NEPHILIM #3




Ketika sadarkan diri, Ara menemukan dirinya berada di rumah Vernon dan saudara-saudaranya.
Keadaan ini persis sama seperti yang ia alami ketika ia pertama kali bertemu dengan mereka.
Ia yang duduk lemah di sebuah sofa, sementara pemuda-pemuda itu menatapnya dengan tatapan penuh selidik.

Dika duduk di kursi – yang seolah-olah menjadi kursi kebesarannya – dengan Dino yang berdiri dengan setia di sampingnya. Woody dan Gio duduk di kursi sebelahnya berdampingan. Sementara Joey dan Josh berdiri tak jauh darinya.
Dan Vernon, pemuda itu duduk di langkan jendela tanpa menatap ke arahnya.

“Oh, kau sudah sadar?” Dika menyapa.
Ara pucat, tak mampu menjawab.

Apa yang ia lihat di gang barusan jelaslah sesuatu yang berbeda. Jelas-jelas ia melihat Joey menghabisi seseorang dengan sebilah pedang. Begitu pula dengan apa yang dilakukan Woody dan Vernon. Mereka menembus dada seseorang dengan tangan kosong.
Dan apa yang terjadi dengan para korban? Mereka terbakar dan hangus menjadi abu.
Ini bukan sesuatu hal yang bisa dilakukan oleh manusia biasa.

Sesaat ketika limbung, ia sempat melihat Vernon melesat ke arahnya dan menangkap tubuhnya yang ambruk. Logika saja, pemuda itu berada sekitar 100 meter darinya. Bagaimana mungkin ia bisa berada di sisinya, menangkap tubuhnya, hanya dalam waktu hitungan detik?
Apa dia melesat begitu saja seperti cahaya? Berteleportasi?
Dia jelas-jelas bukan manusia biasa. Atau ... dia memang bukan?

“Siapa kalian?” suara Ara bergetar. Ia tak bisa meramal apa yang akan terjadi dengan dirinya. Bisa saja ini untuk yang terakhir kalinya ia bernafas. Tapi paling tidak, ia tahu sedang berhadapan dengan siapa – atau dengan apa.

Hening, tak ada jawaban.
Perlahan Dika tersenyum.
“Tenanglah, Ara. Kami tak akan menyakitimu. Kau aman di sini, jadi jangan takut,” ucapnya. Nada suaranya tak jauh berbeda dengan biasanya. Tapi tetap saja Ara ketakutan.

Gadi itu mencoba menatap mereka satu persatu secara acak.
“Aku melihatnya. Kalian menghabisi tiga orang laki-laki. Mereka terbakar dan hangus menjadi abu. Jadi ... siapa kalian?” Ia memberanikan diri bertanya.
“Kalian bukan manusia biasa. Aku sering melihat hal ini di film-film. Apa kalian punya kekuatan supranatural? Atau, kalian vampir, drakula, manusia serigala ...?”

“Nephilim.”

Jawaban itu meluncur dari mulut Vernon. Pemuda itu  menatap ke arah Ara, lalu ke arah Dika.
Yang lainnya balik menatap Vernon dengan tatapan protes.
Pemuda bermata coklat itu mendengus.
“Apa? Untuk apa menyembunyikannya? Tak ada untungnya ‘kan? Katakan saja sejujurnya pada dia dan biarkan dia memutuskan apa yang akan ia lakukan,” ia membela diri.

“Nephilim ... apa?” Ara bertanya bingung, kembali menatap mereka secara acak. Kecuali Dika dan Vernon, yang lainnya nampak gusar.
Hening sesaat.

Dan Dika lagi akhirnya yang menjawab. “Kau benar Ara. Kami bukan manusia. Kami makhluk abadi ---,” Ia melirik ke arah saudara-saudaranya yang lain. “Nephilim.”
Ara menelan ludah. Mendengar kata makhluk abadi, nyalinya makin ciut. Itu pasti sejenis vampir atau manusia serigala. Bagaimana ini? Apa mereka berbahaya? Apa mereka akan menghisap darahnya? Apa mereka akan membunuhnya? Ia berteriak panik di dalam hati.

Sesaat ia mendengar Dika terkekeh.
“Kami tidak sama dengan vampir ataupun manusia serigala. Kami tidak menghisap darah, tidak berbahaya. Dan yang jelas, kami tidak akan membunuhmu,” ucapnya.
Ara tercengang.
Lelaki ini membaca pikirannya!

Ketika ia bangkit dari kursinya dan berniat mendekati Ara, seketika tubuh gadis itu mengerut dan meringkuk di sofa. Ia tampak gemetar dan ketakutan. “Tenanglah,  Ara. Jangan takut.” Dika berusaha menenangkannya. “Nephilim adalah keturunan manusia dan malaikat. Kami tidak menyakiti manusia. Kami takkan menyakitimu, percayalah.”
Ara kembali menelan ludah.

“Lalu kenapa kalian bisa ada di sini?”
“Siklus.” Entah kenapa Dika seperti menjadi juru bicara di antara mereka. “Kami makhluk abadi. Kami hidup selama ratusan tahun. Dan hal yang tidak mungkin kalau kami tinggal hanya di satu tempat. Akan kelihatan mencolok kalau tetangga kami menua, sementara kami tidak. Jadi itulah yang kami lakukan, kami berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.”

“Apa itu artinya kalian menyembunyikan identitas kalian?” dan Ara kembali bertanya. Dika mengangguk. “Tidak akan ada makhluk abadi yang koar-koar tentang jati diri mereka. Atau orang akan berbondong-bondong melakukan penelitian pada kami dan menganggap kami alien.” Jawabnya seraya tertawa lirih.
“Jadi kalian hidup seperti manusia pada umumnya?”
“Tentu saja. Toh kami lahir dari manusia juga ‘kan? Bedanya kami abadi, dan manusia tidak. Itu saja,” kali ini Joey yang menjawab.
Ara menggigit bibirnya dengan was-was. Tubuhnya masih terlihat gemetar karena takut.

“Kami tidak jahat, Ara. Percayalah. Selama ini kami baik padamu ‘kan? Jika kami jahat, untuk apa Vernon harus repot-repot menyelamatkanmu ketika kau nyaris mati tertimpa pohon,” ucapan Joey membuat tatapan Ara singgah pada Vernon yang masih duduk santai di langkan jendela.
“Jadi benar ‘kan kau yang menyelamatkanku?” gadis itu berucap spontan.
Vernon hanya mengangkat bahu cuek tanpa membalas kembali tatapan Ara.

“Kami hanya ingin hidup normal dan berdampingan dengan manusia. Itu saja,” Dino menyela.
Manik mata Ara singgah ke arah Dika lagi.
“Jika kalian menyembunyikan identitas kalian, lalu bagaimana denganku? Bukankah secara tidak langsung aku telah mengetahui rahasia kalian? Apa kalian akan membungkamku? Menghabisiku?” ia bertanya dengan suara tercekat.
Dika tertawa.
“Tidak. Untuk apa kami harus menghabisimu? Jika kau memang tahu rahasia, ya tahu saja. Tak masalah buat kami,”
“Kalian tak takut kalau aku akan membocorkan identitas kalian pada orang lain?”
Pertanyaan Ara kembali melahirkan kekehan kecil pada Dika. Pemuda bijak itu menggeleng.
“Tidak. Kami tidak takut. Jika kau memang ingin membocorkan identitas kami, lakukan saja. Toh jika ada yang bertanya, kami akan terus menerus mengatakan bahwa kami manusia. Dan bisa dipastikan, mungkin kaulah yang akan berakhir di Rumah Sakit Jiwa karena dikira mengalami gangguan kejiwaan,”

Ara terdiam. Benar juga.
Jika ia koar-koar pada semua orang bahwa ada sekelompok Nephilim di samping rumahnya, apa dia akan dipercaya? Hah, bisa-bisa semua orang akan menganggapnya gila.

“Sekarang kau sudah tahu siapa kami yang sebenarnya. Kedepannya mungkin akan sedikit aneh. Tapi semoga kau tak keberatan untuk terus bersahabat dengan kami. Dan percayalah, kami tidak jahat.” Tatapan Dika tampak lembut.
Ara meremas-remas tangannya, gusar.
“Dino akan mengantarkanmu pulang. Adikmu pasti sudah khawatir padamu,”

Ingat akan Habin, serta merta Ara bangkit dari kursinya.
“Jadi, kalian akan membiarkanku pergi begitu saja? Kalian benar-benar takkan menyakitiku?”
Dika tersenyum. “Pulanglah,” ucapnya.

Dino melangkah mendekatinya. “Aku akan mengantarkanmu, kak.” Ucapnya ramah, seperti biasanya. “Dan tolong jangan larang aku bermain dengan Habin. Dia adik yang lucu buatku. Aku takkan menyakitinya, aku janji.” Lanjutnya.
Ara kembali menelan ludah, masih sedikit bingung. Namun ia sudah kembali ke akal sehatnya ketika kakinya beranjak, mendekati Vernon lalu berucap, “Terima kasih karena telah menyelamatkan nyawaku.”

***

Mengetahui bahwa sekarang ia bertetangga bahkan bersahabat dengan Nephilim memang agak canggung. Rasanya aneh.
Tapi tingkah pemuda-pemuda itu tak berubah sedikitpun.
Joey masih saja bersikap lembut padanya dan terus menempel pada Josh.
Woody dan Gio masih saja berkelakuan seperti anak TK yang kerap mendebatkan sesuatu tak penting. Sementara Vernon, dia masih saja seperti patung es berjalan!

Namun begitu, sikap protektif dan perhatiannya  juga tak luntur. Ia masih terus mencarikan kursi kosong di bis untuk dirinya. Ia masih berdiri dengan sukarela di sisinya, berjaga agar ia tidak terjatuh. Dan ketika Yuri dan teman-temannya berbuat buruk padanya, ia tak ragu pasang badan untuknya.
Ara bingung, kenapa dia bersikap seperti ini padanya?

“Ara, buatkan kami kue kacang lagi ya. Please,” Gio merangkul pundak Ara dengan tiba-tiba ketika mereka dalam perjalanan ke sekolah.
Ara menatapnya dengan penuh selidik.
“Kau yakin masih makan kue kacang? Apa kau mengunyahnya? Apa makanan itu masuk ke perutmu? Apa kau juga buang kotoran?” ia nyerocos. Pemuda jangkung itu tertawa.
“Kau pikir makanan yang kami makan larinya kemana?”
Ara bergidik. “Kau ‘kan bukan --- manusia,” ia menyebut kata ‘manusia’ dengan setengah berbisik.
Mingyu terkekeh lirih. “Kami seperti manusia. Kami makan, minum, buang kotoran, dan berdarah ketika tergores. Bedanya adalah, manusia menua, kami tidak. Kami abadi ,” Mingyu balas berbisik.

“Ah, pokoknya bikinkan kami kue kacang, oke?” Woody ikut nimbrung. Ia ikut merangkul pundak Ara hingga membuat Gio meradang.
“Pundaknya kecil, tak muat untuk empat tangan. Singkirkan tanganmu!” lelaki itu protes.
“Kau sudah merangkulnya dari tadi. Aku juga ingin merangkulnya. Ara temanku juga ‘kan?” Woody membalas.
Bibir Gio berdecih. “Kenapa kau selalu mengikuti apa yang kulakukan pada Ara?”
“Dan kenapa kau protes? Dia teman kita bersama ‘kan?”

Ara memutar bola matanya kesal. “Singkirkan tangan kalian,” keluhnya. Berusaha lepas dari dua pemuda yang menempel padanya.
Bukannya enyah, kedua pemuda tampan itu malah menggamit kedua tangan Ara, dari sisi kanan dan kiri, lalu mengangkat tubuhnya bersama-sama dengan entengnya. Gadis itu sempat menjerit.
Kelakuan mereka kontan saja membuat Vernon yang overprotectif berteriak heboh.
Bak seorang ibu yang tak terima anak bayinya di gendong oleh sembarang orang, ia mencak-mencak seketika.

“Hei! Turunkan dia!” teriaknya seraya menghadang langkah Gio dan Woody lalu menatap mereka dengan kesal. “Jangan bermain-main dengannya. Tangannya kecil. Bagaimana kalau kalian melukainya?” ujarnya was-was. Gio dan Woody hanya menyeringai lalu menurunkan tubuh Ara pelan-pelan.
“Kami hanya main-main, Vernon. Jangan terlalu cemas begitu,” ucapnya.
Vernon mendelik.
“Ara manusia biasa. Tubuhnya rentan. Tulang-tulangnya ringkih. Bagaimana kalau kalian mematahkan tangannya? Bagaimana kalau kalian mematahkan tulang rusuknya?” ia mendesis pelan.
Ganti Ara yang mendelik kesal.
“Vernon, please deh. I’m okay. Aku manusia, tapi kami tidak serentan itu. Kau pikir kami boneka yang hanya karena sekali sentuh, tulang-tulang kami langsung patah? Well, kalsiumku cukup,  dan walau tulang rusukku pernah cedera, tapi aku baik-baik saja. Jadi, jangan berlebihan. Oke?” protesnya.
Ia hanya tak mengerti kenapa Vernon begitu perhatian padanya. Bahkan memang terkadang terkesan ... berlebihan.

“Nanti sore aku akan membuatkan kue untuk kalian,” ucapnya seraya beranjak, mendahului ketiga pemuda tersebut.
Gio dan Woody nyaris mengulangi perbuatannya, mengangkat tubuh Ara, jika saja Vernon tidak segera memelototinya.

Sementara Josh dan Joey hanya menatap adegan itu sambil terkikik geli.
“Ku pikir mereka bertiga menyukai Ara,” ujar Joey.
“Ku pikir juga begitu. Lagi pula wajar saja, Ara gadis yang manis dan menyenangkan. Akan sulit bagi mereka untuk tidak menyukainya,” jawab Josh.
Mendengar jawaban itu, Joey menyipitkan matanya dan menatap Josh dengan sorot peringatan. Josh tergelak.
“Bagiku, kau tetap yang terbaik.” Jawabnya buru-buru.

***

Ara baru saja usai membuat kue kacang dan membersihkan dapur ketika tiba-tiba Vernon muncul di depan pintu dapurnya. Gadis itu nyaris menjerit kaget.
“Astaga, apa Nephilim tak tahu caranya mengetuk pintu?” jeritnya.
Vernon menggaruk kepalanya dengan canggung.
“Aku mengetuk pintu beberapa kali, tapi kau tak dengar.” Jawabnya.
Ara menarik nafas lega.
“Apa kau ingin mengambil kue kacang. Sudah matang. Atau kau mau kubuatkan minum dulu?” ia bertanya santai.
Vernon menggeleng.
“Aku ke sini untuk menjemputmu,”
“Menjemputku?”
Vernon mengangguk.
“Kenapa?” tanya Ara langsung.

“Habin menolak diantarkan pulang oleh Dino. Dia bilang dia ingin tidur di sana bersamanya. Lagipula besok hari libur ‘kan? Jadi Dika menyuruhku ke sini untuk mengajakmu tidur di sana sekalian. Tapi itupun kalau kau mau. Kami hanya berpikir mungkin kau akan kesepian di rumah sendirian. Jadi, kenapa tidak tidur di sana saja?” ucapnya.
Ara ternganga.
“Habin menolak pulang?!” ia nyaris berteriak. Dan Vernon hanya mengangguk lembut.
“Dan kalian menyuruhku tidur di sana? Di rumahmu?”
Vernon kembali mengangguk.
“Apa kalian sinting? Kalian bukan manusia. Bagaimana jika ... bagaimana jika ...”
“Sudah kami bilang ‘kan? Kami takkan menyakitimu.” jawab Vernon lagi.
“Lagipula, Habin senang sekali berada di sana. Kau juga paham ‘kan kalau anak itu kesepian? Berada di rumah kami, ia serasa punya banyak kakak laki-laki yang siap mangajaknya bermain dan bersenang-senang,” lanjutnya.
Ara terdiam.
Vernon benar. Habin bocah yang kesepian. Tinggal bersama dengan banyak orang yang memperhatikannya, tentu pengalaman tersendiri baginya.
Ia ingin membiarkan ia tidur di sana. Tapi, bagaiman jika Habin disakiti oleh makhluk-makhluk ini? Bagaimana jika ...

“Yang kau sebut ‘Makhluk ini’ adalah Nephilim. Dan kami tidak akan menyakiti Habin. Dia adik kecil kami. Tak mungkin kami melukainya,” Vernon memotong kesal.
Ara mendelik. “Apa semua Nephilim punya kemampuan untuk membaca pikiran?”
“Tidak juga. Aku, Dika dan Joey bisa. Yang lainnya belum,”

Ara terdiam sesaat.
“Kalau kau tak bersedia juga tak apa-apa. Tapi Habin takkan mau pulang. Jadi ...”
“Oke, aku ikut. Aku akan tidur di rumahmu.” Potong Ara cepat.

***

Ketika Ara sampai di rumah Vernon, Habin sedang bermain games dengan Dino di ruang tengah. Ia baru saja selesai makan malam. Bocah berusia 7 tahun itu tampak begitu senang dan gembira. Sudah lama Ara tidak menemukan ekspresi seperti itu di wajahnya. Dan entah mengapa, Ara merasa terharu.
Ia tahu Habin kesepian. Dan sekarang, ia seperti punya sebuah keluarga yang lengkap.

“Beberapa kamar kosong belum bisa ditempati. Jadi malam ini, kau bisa tidur di kamarku. Aku akan tidur di kamar Woody dan Gio.” Ucap Vernon. Ara mengangguk canggung.
Mendengar namanya di sebut, Woody dan Gio yang asyik ikut bermain games bangkit.
“Ara saja yang tidur bersama kami! Jangan kau!” Mereka protes hampir bersamaan.
Mendengar itu, Vernon melotot. “HEI!!” bentaknya.
Ara menatap mereka dengan perasaan tak enak.
“Begini saja, biar aku tidur bersama Dino dan Habin saja.” ucapnya. Menurutnya itu pilihan yang paling masuk akal. Toh mereka berdua masih anak-anak.
“Tidak!” Di luar dugaan, Vernon, Gio dan Woody berteriak nyaris bersamaan. Ara melongo.
Apa-apaan ini?

“Ara tidur di kamarku, aku akan tidur di kamar Dika. Titik.” Vernon berucap tegas seraya beranjak. Dika yang mendengar perdebatan mereka hanya tersenyum seraya menggeleng-geleng pelan.

Vernon baru saja sampai di anak tangga paling atas ketika tiba-tiba pintu terbuka dan terhempas dengan tiba-tiba. Seolah-olah sebuah angin besar mendorongnya begitu saja.
Merasa ada yang tidak beres, DK bangkit dari kursinya.
“Dino, ajak Habin ke kamar!” perintahnya.
Tanpa banyak tanya, Dino bangkit, lalu membujuk Habin yang masih asyik memegang stick games untuk masuk ke kamarnya. “Kita akan melanjutkan permainan ini di kamar, oke?” ajaknya. Habin sedikit bingung, tapi ia mengiyakan saja ajakan lelaki yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri itu.

“Ara, ikuti Dino!” Kali ini Dika berteriak pada Ara.
Belum sempat Ara mencerna apa yang terjadi, tatapannya terpaku pada pintu yang terbuka lebar.
Dua orang pemuda jangkung berwajah dingin melenggang dengan santai memasuki ruang tamu.
Dan seketika, salah satu mereka, yang bersorot mata tajam dan berambut panjang, menatap lurus ke arah dirinya.
“Manusia?” pemuda itu menggumam sinis tanpa mengalihkan pandangannya dari Ara.

Dan tiba-tiba saja ia melesat ke arah dirinya.

Ara tersentak, terbatuk dan nyaris tak bisa bernafas ketika merasakan jemari pria itu di lehernya. Mencengkeramnya.
“Ada manusia di sini?” Ia kembali berbisik sinis di telinganya.
“Singkirkan tanganmu darinya!” Vernon berteriak, menepis tangan lelaki  itu di leher Ara, lalu mendaratkan sebuah pukulan hebat padanya hingga sosok itu terhempas ke arah tembok.
Rekannya yang berdiri tak jauh darinya hanya menyeringai kejam. Merasa tak perlu memberi pertolongan.
Sementara Gio, Woody, Josh dan juga Joey juga sudah bersiap memberikan perlawanan.

“Jika kau berani menyentuh perempuan ini, walau sehelai rambut sekalipun, akan  ku musnahkan seluruh kaummu!” Vernon berteriak lantang. Ia menarik tubuh Ara agar berdiri tepat dibalik tubuhnya.
Sosok tamu itu tersenyum dan bangkit, tanpa rasa takut.

“Saudara-saudara, bisakah kita duduk dengan tenang dan berdiskusi dengan baik? Aku tak suka ada keributan di rumahku!” Dika bersuara.
Ia menatap kedua tamunya dengan tatapan waspada.
“Jun dan Hans. Apa yang membuat kalian jauh-jauh datang kemari dan mencoba mencari masalah dengan kami?” ia kembali bertanya.

Tamu yang bernama Jun dan Hans itu bergerak dan duduk di kursi tanpa dipersilahkan.
“Pertanggung jawaban,” Hans menjawab datar. Seraya menyilangkan kakinya dengan angkuh.
“Kita sudah sepakat untuk tidak saling mengganggu. Kenapa kau menghabisi tiga rekanku?” ia menatap langsung ke arah Vernon, Joey dan Woody.
Ara memilih bersembunyi di balik tubuh Vernon dengan wajah pucat.

“Mereka yang ingin membunuh kami terlebih dahulu. Kami hanya membela diri,” Gio menjawab.
Jun dan Hans terkekeh. “Kau pikir kami akan percaya dengan jawaban kalian? Kaum vampir tidak punya alasan untuk membunuh Nephilim. Kita sama-sama makhluk abadi, tapi beda jalur. Kita tidak saling bersinggungan satu sama lain,” jawab Jun angkuh.
“Kaummu memang tidak punya alasan untuk memburu kami. Tapi mereka punya. Malaikat-malaikat itu menyewa rekanmu untuk membunuh kami.” Vernon menjawab tegas.

Jun kembali tertawa.
“Untuk apa mereka harus repot-repot menyewa Vampir untuk memburu dan membunuh kalian? Toh mereka punya sepasukan malaikat yang siap membasmi kalian! Jangan tolol!” teriaknya.
“Mereka memang dapat menghabisi kami. Tapi mereka tidak cukup kuat untuk melacak keberadaan kami. Itulah kenapa mereka memanfaatkan kaummu. Tentunya dengan iming-iming tertentu. Dan aku yakin, hanya vampir labil yang terbujuk dengan iming-iming tersebut,” Dika angkat bicara.

Wajah Jun dan Hans makin dingin, tak bersahabat.
“Kami memang membunuh rekanmu. Tapi kami melakukannya hanya untuk membela diri. Kau boleh percaya, boleh juga tidak. Tak berpengaruh pada kami.” Vernon kembali berujar.
“Seperti yang sudah kau bilang, kaum kita tidak saling bersinggungan. Tapi kami tak segan-segan untuk memberikan perlawanan. Dan satu lagi,” suaranya bernada mengancam.
“Makhluk fana di sini adalah larangan bagi kalian. Jika kalian menyentuhnya, sedikit saja, berarti kalian mengibarkan bendera perang pada kami. Camkan itu!”

Kedua mata Ara mengerjap. Makhluk fana? Apakah yang dimaksud adalah ... dirinya?

Jun dan Hans terkekeh lagi.
“Well, sepertinya ini akan semakin menarik. Tapi kami tak bisa berjanji untuk tidak mendekatinya,” ia menatap lurus ke arah Ara. “Karena jujur saja, darahnya terlihat menggiurkan.” Ujar Jun.
Rahang Vernon menegang.
Lelaki itu nyaris saja mendaratkan pukulan di wajah vampir tersebut jika saja Joey tidak mencegahnya.

“Well, maaf telah mengganggu malam kalian. Semoga suatu saat nanti, kita bertemu lagi.” desis Hans. Dan kedua sosok itu melenggang keluar dari ruang tamu, lalu melesat begitu saja meninggalkan mereka. Pintu pun menutup dengan tiba-tiba.

Vernon berbalik dan menatap Ara yang nampak pucat. Ia memeriksa leher perempuan tersebut dan nampak ruam kemerahan di sana. “Kau tak apa-apa?” ia bertanya cemas.
Ara menelan ludah. Tak mampu menjawab. Wajahnya pucat pasi seperti mayat.
“Ajak di ke kamar. Ia terlihat syok,” Dika menyarankan.
Tanpa banyak bicara, Vernon mengangkat tubuh gadis tersebut lalu membawanya ke kamar.

***

Vernon menyodorkan segelas air putih ke arah Ara yang terduduk lemas di pinggir ranjang.
“Minumlah. Maaf karena kau harus mengalami peristiwa seperti ini. Kami tak bermaksud melibatkanmu. Kau tak apa-apa ‘kan?”

Ara meraih gelas dari tangan Vernon lalu meminum isinya pelan. Vernon mendampinginya dengan sabar hingga perempuan itu tampak lebih tenang.
“Mereka tadi ... Vampir?”
Vernon mengangguk.
Ara ternganga. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang ia alami.
Ia baru saja bertetangga dengan sekelompok Nephilim. Dan sekarang, Vampir nyaris merobek kerongkongannya. Kemana kehidupannya yang selama ini tenang dan damai? Ia merutuk dalam hati.

“Istirahatlah,” Vernon bangkit. “Aku akan tidur di kamar Dika. Jangan khawatir. Kami akan terus menjagamu. Mereka takkan datang lagi.” ia beranjak.
“Vernon ...” panggilan itu mengurungkan langkahnya. Ia berbalik dan tatapannya beradu dengan mata bening Ara.

“Aku takut.” Gadis itu seperti meratap. “Tapi aku lebih takut jika tak mengetahui apa yang sedang ku hadapi saat ini,” Ia terlihat putus asa.
“Kita teman ‘kan?”
Pertanyaan itu tak mampu dijawab oleh pemuda di hadapannya.
“Jika kau menganggapku teman, maka ceritakanlah apa yang tidak ku ketahui. Aku tak bisa menghadapi keterkejutan setiap hari. Beberapa waktu yang lalu aku dibuat syok ketika menyadari bahwa tetanggaku, teman-teman baruku adalah makhluk abadi bernama Nephilim. Dan hari, ini aku nyaris terbunuh oleh Vampir. Besok apa lagi? Kenapa malaikat mencarimu? Kenapa kalian harus diburu?” gadis itu tak tahan untuk tidak bertanya.

“Ku mohon Vernon. Secara tidak langsung kau sudah melibatkanku dalam duniamu. Dan aku ingin  tahu apa yang tidak ku ketahui,” pintanya.
Vernon mematung.
Pemuda itu menarik nafas panjang lalu menyeret kakinya dan duduk di sofa yang berada tak jauh dari tempat tidurnya.

Ia menegakkan punggungnya di bantalan tempat duduk tersebut seolah ada beban berat di sana. Ia terdiam sesaat seperti sedang mengatur kata-kata.
“Nephilim pindah dari satu tempat ke tempat lain bukan karena siklus. Bukan karena kami hobi travelling. Tapi kami melarikan diri. Kami adalah kaum yang sudah ditakdirkan untuk diburu, dikejar-kejar, seumur hidup kami.”
“Oleh siapa?”
“Malaikat.”

Kening Ara mengernyit.
“Malaikat? Bukankah Nephilim adalah keturunan malaikat dan manusia? Kenapa mereka harus memburu kalian?”
“Aib.” Jawaban Vernon terdengar berat. Seakan ia sendiri tak kuasa untuk mengucapkannya.
“Nephilim terlahir dari kesalahan malaikat yang menjalin cinta terlarang dengan manusia. Sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh terjadi. Itulah kenapa mereka menganggap kami sebagi aib. Dan satu-satunya cara untuk menghilangkan aib tersebut, kami harus di habisi. Di musnahkan. Kaum nephilim bahkan tidak bisa diterima di surga ataupun neraka.” Suara pemuda itu seakan tercekat.  

“Kami menghabiskan waktu ratusan tahun kami dengan pindah dari satu tempat ke tempat lain demi menghindari kejaran mereka. Untungnya kami masih mempunyai kekuatan seperti makhluk abadi lainnya karena kami keturunan mereka. Sehingga kami bisa melakukan pertahanan diri jika ada dari mereka yang menyerang kami. Terkadang kami terlibat pertempuran, terkadang kami terdesak, terkadang ada yang mati,”

“Bukankah makhluk abadi tidak bisa mati?”
“Bisa, oleh sesama makhluk abadi lainnya. Dan kami benar-benar akan mati, musnah. Maksudku, kami tak punya jiwa yang akan pergi ke tempat lain. Selesai, begitu saja.” Jawab Vernon lagi.

Ara mendengar penuturan pria itu dengan trenyuh.
“Berapa tahun umurmu?” Ara memberanikan diri untuk bertanya lagi.
Vernon mengangkat bahu. “Entahlah. Mungkin ratusan tahun,” jawabnya.
“Dika yang paling tua di antara kami. Dia pulalah yang menemukan kami pertama kali. Dia menemukanku ketika aku terluka parah dan nyaris musnah. Lalu kami bertemu Joey dan Josh, kemudian si kembar Woody dan Gio, barulah kami bertemu Dino. Dino Nephilim baru. Itulah kenapa Dika memilih di rumah saja untuk menjaganya karena anak itu belum bisa menjaga dirinya sendiri jika sesuatu yang buruk menimpanya,” lanjutnya.

“Lalu apa yang terjadi dengan orang tua kalian? Maksudku --- yang malaikat?”
Vernon kembali mengangkat bahu.
“Entahlah. Setahuku mereka menjadi makhluk ‘terbuang’, ada yang berakhir di neraka, ada juga yang berakhir menjadi iblis. Kami tak tahu, dan kami tak ingin tahu,” jawabnya lagi.

“Ada berapa banyak nephilim di dunia ini?”
Lagi-lagi pertanyaan itu dijawab Vernon dengan mengangkat bahu.
“Entah. Bisa jadi banyak. Bisa jadi para malaikat yang bertugas mengejar kami sudah menghabisinya.” Ucapnya lagi. Terdengar perih.

Ara mendengar penuturan Vernon dengan perasaan trenyuh, iba.
Ia membayangkan Vernon berkelana ratusan tahun dari satu tempat ke tempat lain, berjuang mempertahankan diri, sendirian, kesepian.  Tanpa tahu orang tua mereka. Tanpa tahu rasanya punya keluarga yang lengkap. Betapa mereka seolah menjadi makhluk terkutuk yang tidak diterima surga ataupun neraka.

Ara teringat dengan Gio dan Woody yang kangen dengan kue kacang buatan ibu mereka. Ah, itu pasti sudah ratusan yang lalu.
Ia juga teringat dengan Dino yang begitu bahagia bisa bertemu dan berteman dengan Habin.
Ia ingat bagaimana DK berusaha melindungi saudara-saudaranya.
Ia ingat bagaimana Vernon begitu over protectif pada dirinya?

Tanpa sadar air mata Ara menitik.

Oh, Vernon yang kasihan.
Mereka makhluk malang yang kasihan, kesepian, penuh perjuangan.
Apa mereka ingat wajah orang tua mereka? Apa mereka punya saudara kandung? Apa mereka pernah merasakan dekapan sayang seorang ayah? Seorang ibu? Keluarga?
Pasti tidak ‘kan?

Ara terisak.
Betapa ia ikut terluka mengetahui fakta tentang makhluk abadi di hadapannya.

“Kau tak perlu kasihan pada kami, Ara. Tak perlu,” desis Vernon lirih.
Air mata Ara berderaian.
“Maaf, aku hanya ... aku ...” Ia sesenggukan. Sibuk menghapus air matanya yang terus saja mengalir tanpa mampu ia bendung.

Vernon bangkit dan mendekati Ara dengan langkah berat. Pemuda itu duduk di sampingnya, mengulurkan tangannya lalu memeluk gadis itu dengan lembut.
“Kami baik-baik saja.” bisiknya. Ada kristal-kristal bening di sudut matanya. Bukti bahwa mereka, ia dan saudara-saudaranya takkan baik-baik saja.

Tidak.

***

Bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar