Jumat, 06 Mei 2016

NEPHILIM #2



Ara hanya tak percaya bahwa ia berada satu kelas dengan mereka. Ia, dan juga tetangga-tetangga barunya. Joey, Josh, Gio, Woody dan Vernon.
Menyenangkan, tentu saja!

Ara yang biasa berangkat dan pulang sekolah sendiri, sekarang tidak lagi. Mereka nyaris berangkat dan pulang bersama-sama. Padahal tidak janjian.
Dan lambat laun, persahabatan itu terjalin. Belum terlalu dekat, tapi cukup membuat Ara senang. Setelah hampir dua tahun ini ia merasa hidupnya sepi, tanpa teman, tanpa tetangga, tiba-tiba saja kehidupannya sekarang menjadi berwarna, ramai bak sebuah keluarga besar.

Perlahan Ara mulai hafal karakter tetangga-tetangga barunya itu. Meski tidak terlalu mendetail.
Yang jelas sekarang ia tahu bahwa Joey dan Josh senantiasa menempel satu sama lain layaknya perangko. Dimana ada Josh, disitu ada Joey. Begitu pula sebaliknya. Sikap perhatian di antara mereka begitu kentara. Sering Ara memergoki Joey menyuapi Josh ketika makan. Sering pula ia memergoki Josh menyentuh rambut Joey yang berjuntaian lalu menyelipkannya dibelakang telinga.  Sikap manisnya kebangetan. Bikin iri. Terkadang Ara bertanya dalam hati, apakah mereka gay? Ayolah, mereka sesama pria, tapi sikap mereka manis seperti sepasang kekasih. Ataukah, mereka saudara kandung? Kakak beradik? Ah, entah. Ara belum tahu sampai sejauh itu.

Gio dan Woody lain lagi.
Ara menjuluki mereka sebagai duo anak TK. Yang mereka lakukan sepanjang hari adalah berdebat. Mendebatkan sesuatu yang tak penting sama sekali dan terkadang terkesan remeh temeh.
Semacam, siapa yang paling tampan, siapa yang paling seksi, siapa yang bangun paling siang, siapa yang mandi terlalu lama, siapa yang punya kebiasaan ngupil, siapa yang tidur sambil mendengkur, dan sebagainya. Dan setelah capek berdebat, mereka akan menertawakan tingkah mereka sendiri.
Aneh ‘kan?

Mereka juga sering meminta Ara membuatkan kue kacang. Sekarang mereka resmi menjadi penggemar kue kacang buatan Ara. Mereka bilang kue itu mengingatkan mereka pada ibu mereka yang tinggal di luar negeri. Dan rasanyapun persis sama dengan yang dibuat oleh Ara.
Apakah ia merasa direpotkan? Tidak sama sekali.
Ara suka memasak. Dan membuat suatu masakan tertentu untuk orang lain adalah suatu kebanggan tersendiri. Dulu ketika ibunya masih hidup, ia sering memasak kue bersamanya kemudian membagikan kue-kue tersebut kepada beberapa tetangga dan teman-teman ibunya.
Tapi setelah ia yatim piatu, aktivitas itu berhenti ia lakukan.
Dan sekarang, ketika ia menemukan alasan untuk melakukan aktifitas itu lagi, tentu ia senang bukan main.

Sementara Vernon ...
Well, seperti yang sudah ia duga sebelumnya, pemuda itu kelewat pendiam.
Pernah suatu hari Ara nyaris tak mendengar suaranya sama sekali. Ketika di kelas pun ia akan menyumpal telinganya dengan headset lalu asyik mengutak-atik phonselnya. Terkesan bahwa ia tipe orang yang tak suka diganggu. Dan itu benar.
Ara jarang mengobrol dengannya. Sekalinya mencoba mengobrol, pemuda itu hanya akan menjawab dengan jawaban pendek-pendek. Dan ketika Ara mencoba berbicara lagi, pemuda itu akan membentaknya.
Namun Ara pantang untuk menyerah. Ia tahu pasti bahwa pemuda itulah yang menyelamatkan nyawanya. Menyelamatkan ia dari insiden dahan jatuh beberapa waktu yang lalu.
Jadi walau ia berlaku kasar padanya, ia takkan berhenti untuk mencoba dekat dengannya.

Terkadang Ara juga bingung.
Vernon memang terkesan kasar dan dingin. Tapi ia tahu bahwa pemuda itu bersikap perhatian padanya. Bahkan terkesan protektif.
Hampir setiap hari Vernon membelikannya sebotol minuman. Tidak banyak bicara, ia hanya akan meletakkan minuman tersebut di meja Ara sembari bilang : minumlah.
Begitu saja.

Setiap naik bis baik berangkat dan pulang sekolah, pemuda itu akan dengan sengaja mencarikan satu kursi kosong untuk dirinya. Padahal sebelum bertemu dia, Ara sering naik bis dengan berdiri karena kursinya penuh, dan tak ada seorangpun yang bersedia memberinya tempat duduk.

Bahkan jika ia tak dapat tempat dudukpun, Vernon akan dengan sukarela berdiri di sisinya. Seolah berjaga-jaga bila bis berhenti mendadak, ia bisa memegangi bahu Ara agar ia tidak terjungkal.
Pengalaman pribadi, sopir bis terkadang suka ngebut dan mengerem mendadak. Jika berada pada posisi berdiri, sudah tak bisa dihitung lagi berapa kali Ara jatuh terjerembab dan sering membuat keningnya benjol.

Vernon...
Ah, sosok itu benar-benar membuatnya bingung.

***

“Ara, coba tebak. Siapa diantara aku dan Woody yang semalam tidur sambil ngiler?”
Pagi-pagi sekali, 5 menit sebelum bel masuk berdentang, Gio berdusal dan duduk di sampingya sembari menanyakan hal itu.
Woody tak mau kalah. Ia juga beranjak dan ikut berdusal duduk di samping Ara, di sisi yang satunya. Jadilah mereka duduk bertiga di kursi yang sama dan saling berhimpitan.

Ara memutar bola matanya dengan kesal, tapi tak mampu mengusir duo anak TK itu dari kursinya. Ia sempat mengaduh lirih ketika tubuhnya yang mungil diapit oleh 2 lelaki jangkung yang terus saja resek.

“Hei, kenapa kau ikut duduk di sini? Kembalilah ke kursimu,” Gio berjengit ke arah Woody.
Pemuda bermata sipit itu melotot.
“Kau juga kenapa duduk sini? Kembalilah ke kursimu,” ia membalas.
“Aku sedang berdiskusi dengan Ara,” jawab Gio.
“Aku juga ingin berdiskusi dengannya,” Woody tak mau kalah. Dan dalam waktu yang singkat, mereka kembali berdebat tentang siapa yang harus di sebelah Ara dan siapa yang harus kembali ke tempat duduknya semula.

Tak puas berdebat, mereka mulai adu kekuatan. Gio beringsut dan mendorong pinggulnya ke arah Ara hingga mau tak mau, tubuhnya terdorong dan menubruk Woody hingga pemuda itu jatuh dari kursi.
Tak mau kalah, Woody pun melakukan hal yang sama. Ia bangkit lalu mencoba kembali duduk di samping Ara, dan kali ini dialah yang mendorong pinggulnya hingga Gio yang terjatuh.
“Stop! Hentikan!” Ara berteriak.
Tapi duo anak TK itu tak menggubris. Mereka terus saja bertingkah kekanak-kanakan.

Gio bersungut-sungut dan kembali berdusal di kursi Ara.
“Woody, aku lebih tua darimu. Jadi bersikaplah lebih sopan padaku,” lelaki jangkung itu melotot ke arah Woody. Dan Ia menyipitkan matanya dengan kesal.
“Kita hanya selisih 2  menit. Jadi bisa dikatakan bahwa kita lahir berbarengan. Tidak ada kakak dan adik,” jawabnya. Gio mencibir.
“Kenyataannya aku keluar dari rahim ibu terlebih dahulu, walau hanya selang 2 menit. Itu artinya, aku lebih tua,”
“Aku takkan memanggilmu kakak,” Woody menggerutu.
Dan kali ini mereka mendebatkan siapa yang keluar dari rahim terlebih dahulu. Betapa ---

Ara mengenyit. Tunggu, mereka tadi bilang apa? Keluar dari rahim yang sama? Apa itu berarti ....
Ara menatap ke arah Gio dan Woody bersamaan, bingung.
“Kalian keluar dari rahim yang sama? maksudnya ---,”
“Mereka kembar,” Vernon menyahut dari bangkunya – bangku yang berada di deret sampingnya - tanpa melihat ke arah Ara. Pemuda itu tidak mengenakan headset di telingannya, tapi tangannya asyik mengutak-atik smartphone kesayangannya.

“Apa?” Ara nyaris berteriak, lalu kembali menatap Gio dan Woody secara bergantian.
“Kalian --- kembar?” ia mendesis tak percaya.
Dua pemuda itu mengangguk bersamaan. Ara tercengang.
“Tapi --- kalian --- tidak mirip,” gumamnya.
“Kami memang bukan kembar identik,” dan mereka menjawab hampir bersamaan.
Ara melirik ke arah Vernon. Mencoba mencari penegasan.
Seperti punya telepati, pemuda itu menoleh dan menatap ke arah Ara sekilas. “Ya, mereka kembar,” jawabnya. Seolah ia tahu gejolak pertanyaan yang ada di benak Ara.

Merasa tidak puas dengan jawaban pemuda itu, kali ini Ara membalikkan badannya dan menatap ke arah Joey dan Josh yang duduk bersebelahan di pojok. Dua lelaki itu juga menatap balik ke arah Ara.
“Jadi --- benar mereka kembar?” Ara kembali bertanya. Dan mereka mengangguk lembut.
“Kami memang kembar, Ara. Tapi tidak identik,”
Kalimat Gio membuat Ara menoleh kembali ke arahnya. “Dan jelas aku lebih ganteng darinya,” lanjutnya.
“Tapi aku lebih seksi,” sahut Woody.
“Dan aku lebih jangkung,”
“Tapi aku lebih memikat,”
“Tubuhku lebih bagus darimu,” Gio terus ngoceh.
“Tapi kulitku lebih putih darimu,” Woody membalas, menang telak, karena Gio langsung meradang. Tentu saja Woody bicara fakta. Kulit Gio memang terkesan lebih gelap darinya. Tidak terlalu gelap, tapi eksotis.

“Tunggu, apa mereka juga saudara kembar?” pertanyaan Ara sukses menghentikan perdebatan di antara mereka. Gadis itu menunjuk ke arah Josh dan Joey yang tengah asyik mengobrol dengan intens. “Mereka terlihat dekat dan intim,” lanjutnya.

Gio menunduk dan mendekatkan mulutnya ke telinga Ara. “Mereka bukan saudara. Mereka sepasang kekasih.” Bisiknya.
Ara nyaris terlonjak dari kursinya. “WHATT??!” pekiknya seraya menatap Gio, Woody dan Vernon secara bergantian. Seolah mengerti kebingungan Ara, ketiga pemuda tampan itu mengangguk hampir bersamaan.

Ara melongo.

Josh dan Joey sepasang kekasih?

Tapi ... mereka ‘kan sesama lelaki?

Dan ... mereka sama-sama tampan.

Astaga. Mereka benar-benar ... gay.

***

Bel istirahat kedua berdentang. Yuri, salah satu gadis paling populer dan paling cantik di sekolah meneriakkan nama Ara. Tambahan lagi, dia gadis yang paling di segani karena putri tunggal dari pemilik yayasan sekolah.

“Ara, tolong belikan minuman ya,” teriaknya. Ara menoleh ke arah gadis cantik tersebut.
“Oke,” jawabnya tanpa ragu seraya bangkit dan bergerak menuju bangku Yuri. Gadis itu mengambil uang dari tas nya lalu menyodorkannya ke arah Ara. “Kau bisa mengambil kembaliannya,” ucapnya lagi.
Ara menggeleng. “Tidak, terima kasih.” Jawabnya.
Yuri mengangkat bahu cuek. “Terserah-lah,” lalu ia kembali mengutak-atik notebook-nya.
“Aku juga,” Jim mengangkat tangan. “Belikan kue dan minuman ya,” ujarnya.
Ara mengangguk dan melangkah ke bangku Jim. Pemuda berkaca mata itu menyodorkan dua lembar uang ke arahnya.
 Setelah itu Ara berjalan dengan ringan menuju kantin untuk membelikan Yuri dan Jim minuman. Ia tak menyadari bahwa Vernon tengah menatapnya dengan tatapan jijik.

Tak lama berselang, Ara kembali membawakan pesanan Yuri beserta Jim. Ia baru saja akan kembali ke tempat duduknya ketika Julia, sang ketua kelas, menyuruhnya ke kantor untuk mengumpulkan beberapa tugas guru. Ia juga masih membebaninya untuk mengambilkan foto copy-an tugas di toko sekolah. Dan lagi-lagi, Ara kembali melaksanakan perintah rekan-rekannya tanpa ragu, tanpa protes.

Gerah dengan perlakuan yang diterim Ara, Vernon bangkit. Dengan langkah panjang ia  bergerak dan mengikuti gadis itu keluar.
“Apa kau pembantu di sini?” desis Vernon kesal.
“Eh?” Ara menatapnya bingung tanpa menghentikan langkah. Kedua tangannya sibuk memegang tumpukan buku.
“Apa kau pembantu? Hinga mereka menyuruhmu ini dan itu?”
Ara menggeleng cepat. “Tidak, mereka hanya minta bantuan dariku.” Jawabnya.
Vernon mendesah. Ia menyentuh pundak gadis mungil di sampingnya hingga langkahnya terhenti.
Ara menatapnya tak mengerti, sementara tatapan Vernon syarat dengan protes dan kekesalan yang nyaris tumpah ruah.

“Ara, aku bukan anak kecil. Aku tahu bedanya memerintah dengan meminta bantuan. Mereka tidak meminta bantuan darimu. Mereka memerintah.” Ujar Vernon dengan rahang kaku.
“Apa masalahmu?” Ara tampak kesal.
Vernon bersedekap dan kembali mendesah.
“Sejak pertama masuk, aku melihatmu diperlakukan seperti pembantu oleh mereka. Mereka memintamu untuk membelikan ini dan itu, memintamu untuk melakukan ini dan itu, kau diperlakukan seperti pecundang. Katakan padaku, apa mereka membully-mu?”
Ara terkekeh.
“Ada apa denganmu, Vernon. Aku baik-baik saja. Tidak ada bully di antara kami. Teman sekelas kita baik. Jadi, jangan terlalu paranoid. Dan berhentilah mengurusi urusanku,” balasnya jengkel.

“Kalau begitu, kembali ke kelas, dan biarkan ketua kelasmu mengumpulkan sendiri buku-buku itu,” Vernon setengah mengancam. Ara mematung.
“Tak mau?” Lelaki itu menelengkan kepalanya. Karena tak ada jawaban dari Ara, ia meraup buku dari tangan gadis itu lalu melangkah kembali ke kelas.

“Vernon? Ada apa denganmu?” Ara mengekor di belakangnya. “Berikan buku-buku itu. Aku akan mengantarkannya ke kantor!” teriaknya.
Vernon tak menggubris. Ia terus melangkah, kembali masuk ke kelas, lalu melemparkan tumpukkan buku itu ke meja Julia. Tak pelak tindakan itu membuat sang ketua kelas kaget.
“Kau, ketua kelas ‘kan? Lakukan sendiri tugasmu. Kumpulkan buku-buku ini ke kantor guru. Dan kau,” ia menuding ke arah Yuri dan Jim. “Jangan pernah menyuruh Ara untuk membeli minuman lagi. Kalian punya kaki dan tangan ‘kan? Kalian tidak cacat ‘kan?” nada suara Vernon terdengar dingin. Mata coklatnya yang biasanya berbinar terlihat kelam.

“Vernon! Apa-apaan kau ini?” Ara menjerit. Berusaha menghalau tubuh lelaki itu agar menyingkir dari hadapan rekan-rekannya yang tampak syok. Tak menyangka akan menerima perlawanan dari anak baru tersebut. 
“Bung, ada apa denganmu?” Jim berjengit. Maju beberapa langkah dan menatap Vernon dengan kesal.
Vernon menyeringai. Dan .... bukk!
Sebuah pukulan melayang ke wajah lelaki berkaca mata tersebut. Jim terpelanting dan nyaris menghantam tubuh Yuri yang duduk di belakangnya.
Beberapa anak menjerit kaget. Termasuk Ara, yang juga terlihat kaget dan syok dengan kejadian itu.

“Aku sudah memperingatkan kalian. Jika ada yang tidak terima, laporkan saja pada guru. Dan aku tak segan-segan untuk merontokkan gigi seseorang,” Vernon mendesis.
Ia berbalik, menyambar lengan tangan Ara, lalu menyeretnya keluar.
Melangkahkan kakinya dengan langkah panjang tanpa mempedulikan Ara yang meronta, menyusuri anak tangga, mengajaknya ke atap gedung.

***

“Apa yang kau lakukan?! Kenapa kau harus membuat keributan dengan mereka?! Kau tak tahu siapa yang kau hadapi! Jika pihak sekolah tahu kau membuat masalah dengan mereka, kau akan dihukum!” Ara berteriak setelah mereka ada di atap gedung, berdua saja.  Gadis itu tak kalah kesal.
“Aku jijik melihatmu di suruh ini dan itu seperti pembantu,” jawab Vernon.
Ara menggigit bibir. Kedua matanya basah.
“Dan apa urusanmu? Kenapa kau harus peduli padaku?” desisnya. Vernon tak menjawab.

“Orang tua mereka adalah pemilik sekolahan ini. Dan mereka berhak melakukan apapun padaku, pada siswa lain. Kau tak perlu ikut campur,” Ara kembali bersuara parau.
Vernon terkekeh sinis.
“Kau menjijikkan, Ara. Hanya karena mereka punya kedudukan lebih tinggi darimu, kau membiarkan mereka menindasmu? Kau menyedihkan,”  Pemuda itu menatap Ara, sinis.

Air mata Ara nyaris tumpah.
“Aku memang menjijikkan. Aku memang menyedihkan. Karena hanya dengan beginilah aku masih bisa sekolah di sini!” teriaknya.
“Aku tidak seperti dirimu yang punya banyak uang, Vernon.” Desisnya.
“Aku yatim piatu. Miskin. Sejak orang tuaku meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan, aku hidup berdua saja dengan adikku. Selama ini kami hidup hanya dengan mengandalkan dana asuransi dari mendiang orang tuaku. Kau pikir hanya dengan dana asuranasi  itu aku bisa sekolah? Tidak!”  ia berteriak lagi.
“Ayah Yuri yang memberikan beasiswa padaku agar aku tetap bisa bersekolah! Jika kau menganggap hidupku menjijikan, aku tak peduli. Aku bahkan bersedia mengorbankan harga diriku jika memang harus kulakukan,” Dan air matanya tumpah.
Vernon mematung, menatap Ara nyaris tak berkedip.

“Aku bersedia menerima perlakuan apapun dari mereka, asal mereka mengijinkanku sekolah hingga lulus. Aku ingin segera lulus agar bisa mencari pekerjaan dan merawat adikku dengan baik. Aku ingin menjalani hidupku dengan tenang. Apakah itu berlebihan, hah?!”
Ara sesenggukan.

Vernon menelan ludah. “Jangan menangis,” ucapnya lirih.
“Aku tidak menangis,” Ara menjawab terbata, tapi toh ia terisak.
“Maaf, aku tak berniat membuatmu menangis,”
“Sudah ku bilang aku tidak menangis!” Ara menghapus air matanya dengan cara yang tidak elegan.

Vernon menatap gadis yang tengah sibuk menyembunyikan isak tangisnya tersebut. Perlahan ia bergerak, mendekatinya, lalu merengkuh tubuh mungilnya dengan lembut. Mulutnya membisikkan sesuatu yang tak Ara pahami. Mungkin semacam kata-kata untuk menyemangati, menenangkan, atau ... entahlah. Dan seketika tangisnya kembali pecah.

Gadis itu terisak di pelukan Vernon.

Dan pemuda bermata coklat itu terus mendekapnya, mengelus kepalanya dengan sabar.
“Maafkan aku,” bisiknya.
“Maafkan aku.”

***

Ara kembali ke kelas dengan mata sembab dan segera menerima tatapan sinis dari Yuri, Jim, Julia dan juga beberapa siswa lain.
Vernon menyentuh punggungnya dengan lembut lalu menyuruhnya duduk di bangkunya. Kemudian pemuda itu menyeret kursinya sendiri, menyingkirkan kursi di belakang Ara, lalu menempatkan kursinya di sana. Tanpa mempedulikan Boy yang tadinya duduk di situ.

Ia menatap ke arah beberapa anak dengan tatapan tajam.
“Mulai detik ini aku duduk si sini. Jika ada yang berani menyuruh Ara ini dan itu seperti pembantu, ribut dulu denganku,” ucapnya tegas. Sebelum ia menjatuhkan pantatnya di kursi yang kini berada di belakang Ara.
Serta merta Ara menoleh ke arah pemuda tersebut. “Vernon, apa-apaan kau ini?” desisnya gusar.
Belum hilang kekagetannya, tiba-tiba Gio dan Woody melakukan hal yang sama. Mereka menyeret tempat duduk mereka yang tadinya ada di baris depan, kemudian meletakkannya tepat di samping kiri dan kanan Ara.

“Tempat ini kami ambil alih. Jika ada yang menggangu mereka,” Gio menunjuk ke arah Ara dan Vernon, “ayo kita bertarung saja,” lanjutnya. Woody mengangguk, mengiyakan.

Ara tercengang. Menatap ke arah Woody dan Gio yang kini resmi – entah atas perintah siapa – duduk di samping kiri dan kanannya.
“Kenapa kalian harus ikut-ikutan?” gadis itu berbisik kesal. Woody mengangkat bahu cuek.
“Karena kau teman kami. Dan Vernon saudara kami,” jawabnya pendek.

“Oh, jadi sekarang ada 3 orang preman di sini!” Jim berteriak jijik.

“Lima,”
Tanpa diduga, Josh bersuara seraya mengangkat tangannya.
“Kami berlima,” ulangnya. Tatapan mereka beralih ke arah bangku di pojok, tempat Josh dan Joey duduk bersebelahan.

Joey bangkit. Menatap ke arah Jim dan beberapa anak lain dengan tatapan tajam menusuk. Rambutnya yang panjang dan tertiup angin sempat menciptakan suasana horor. Ara sempat heran, kenapa ia tak dihukum oleh sekolah karena rambutnya yang panjang.

Gadis itu tercengang.
Joey begitu berbeda. Lelaki itu biasanya kalem dan lembut, tapi kali ini, dia tampak menakutkan.

“Dan jika ada yang mengganggu saudaraku dan juga Josh, tamat riwayat kalian!” teriaknya.

Ara menelan ludah.
Tunggu, apa-apaan ini?
Apa mereka serius?

Ya ampun...

***

Ara terus saja mengomel selama perjalanan pulang dari sekolah. Sementara 5 pemuda itu tetap saja tak menggubris. Membalas saja tidak.
Josh dan Joey tetap berjalan berdampingan dengan mesra. Woody dan Gio masih mendebatkan siapa di antara mereka yang punya kulit lebih putih. Sementara Vernon, ia tetap berjalan dengan angkuh, lengkap dengan headset di telinganya.

“Kenapa kalian harus mencari ribut dengan mereka? Ini tidak baik. Mereka bisa saja melapor pada guru dan kalian akan kena hukuman. Seharusnya kalian bisa menahan diri. Jangan terpancing emosi. Lagipula, aku tidak butuh bantuan kalian,” ucap Ara sebal.
Lagi-lagi, ia dicueki.
Pemuda-pemuda itu tetap berjalan dengan langkah panjang menyusuri jalan menuju tempat tinggal mereka, sehingga Ara harus buru-buru mempercepat langkah kecilnya agar tidak tertinggal.

Kesal karena diabaikan, Ara berlari, mendahului mereka dan terus saja berbicara sambil menatap mereka, walau ia harus berjalan sambil mundur.
“Aku bilang, kalian terlalu ikut campur! Seharusnya kalian tidak mencari ribut dengan mereka!” teriaknya.
Gerah dengan kelakuan gadis itu, Vernon melangkah cepat mendahului keempat saudaranya lalu  menghampiri sosok bertubuh mungil tersebut, kemudian memutar tubuhnya melalui kedua bahunya.
“Jangan berjalan mundur. Kau bisa jatuh,” ucapnya. Ara mendengus.
“Kalau begitu, berhentilah agar aku bisa berbicara dengan kalian. Kaki kalian panjang-panjang, aku capek harus mengejar terus. Kau suka kalau aku jatuh?” ancamnya kesal.
Vernon menatap keempat saudaranya lalu menyuruh mereka berhenti sesaat.

Ara menatap mereka satu persatu dengan jengkel. Belum sempat ia menumpahkan uneg-unegnya, Joey terlebih dahulu bersuara.
“Kau teman kami, Ara. Kita bertetangga dengan baik. Jika sesuatu menimpamu, sudah sewajarnya kami turun tangan. Coba saja jika keadaan terbalik. Jika salah satu dari kami disakiti orang, apa kau akan tinggal diam?” ujarnya.
“Tapi ini beda. Mereka bukan siswa biasa. Mereka punya koneksi kuat dan ...”
Joey bergerak dan menepuk pipi Ara dengan lembut. Pemuda itu tersenyum.
“Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja. Oke?” Ia melangkah, diikuti Josh.
Woody dan Gio ikut bergerak dan menepuk pundak Ara dengan pelan.
“Seperti apa yang dikatakan Joey, jangan terlalu khawatir. Kau teman kami, kau pembuat kue kacang terenak setelah ibu kami, dan kami akan jadi teman yang baik untukmu. oke?” ucap Gio seraya beranjak diikuti Woody.

Vernon menatap Ara tanpa ekspresi berarti.
“Kalau beasiswamu dicabut, kau bisa mengajukan beasiswa pada Dika. Dia kaya dan punya banyak uang. Walau masih muda, ia sudah punya penghasilan sendiri dari bisnis keluarga. Ia juga sering kok membantu beberapa anak sekolah yang kesulitan biaya. Dulu aku juga pernah minta bantuannya. Jadi, tenang saja.” ucapnya seraya melangkah pergi.

Ara menggaruk-garuk kepalanya, tambah kesal.

Kampret! Ia dicueki lagi?

***

Setelah usai makan malam, Ara pamit pada adiknya untuk pergi ke minimarket membeli sesuatu.
Bocah itu hanya mengangguk patuh. Setelah selesai membantu kakaknya mencuci piring, ia beranjak ke kamarnya.
Sementara Ara menyambar jaket lalu keluar menuju mini market yang berada beberapa blok dari rumahnya.

Ketika dalam perjalanan pulang dari minimarket, ia mendengar suara ribut-ribut di sebuah gang sepi. Tadinya ia ingin mengabaikannya. Tapi ia ingat peristiwa beberapa waktu yang lalu, dimana ia memergoki seorang pelajar SMP di hajar beramai-ramai oleh preman.
Waktu itu ia berhasil membantu dengan berlari ke pos polisi terdekat untuk meminta tolong. Dan kali ini, jika ada kejadian seperti itu lagi, ia siap untuk berlari mencari polisi.

Gadis itu mengendap-endap di balik tembok untuk mencari tahu apa gerangan yang terjadi.
Dan ia melihatnya.
Tiga orang pemuda tengah berkelahi dengan tiga orang lainnya yang berpakaian serba hitam. Sementara dua di antaranya hanya berdiri menatap perkelahian itu dengan santai.

Kedua mata Ara menyipit demi menyaksikan pertarungan itu lebih jelas. Dan ia merasakan tenggorokannya tersekat.
Yang ia lihat adalah, tiga orang pemuda yang ia kenal tengah terlibat perkelahian. Gio, Woody dan Vernon tengah bertarung dengan dengan sengit melawan tiga orang asing berpakaian gelap.
Sementara Joey dan Josh hanya bersandar santai di tembok seraya menonton perkelahian tersebut.

“Kau harusnya membantu kami. Bukan hanya menonton saja!” Gio protes, sembari menghindari sebuah tendangan.
“Mereka bertiga, dan kalian bertiga. Imbang. Jika kami turun tangan, itu namanya main keroyok,” Joey menjawab santai.
“Ini bukan pertandingan, kenapa harus hitung-hitungan segala? Mereka berniat membunuh kita semua, sialan!” Gio kembali berteriak.
Dan Joey hanya terkekeh sinis. Tapi akhirnya ia bergerak. Dengan secepat kilat ia menerjang  layaknya orang hendak terbang, dan tiba-tiba saja ia menghunus pedang panjang – yang entah datang darimana – dan ... jlebbb!!
Pedang itu menembus dada salah satu pria berpakaian hitam. Sosok itu menjerit. Tapi bukan darah yang keluar yang keluar dari luka di dadanya. Melainkan semacam percikan api yang lama-lama membakar tubuhnya hingga sosok itu hangus menjadi abu yang segera lenyap ditiup angin.

Ara menatap peristiwa itu dengan mata terbelalak.

Belum hilang rasa syok yang menghinggapinya. Ia menyaksikan Vernon dan Woody melakukan hal yang sama. Tapi kali ini mereka tidak menggunakan pedang seperti yang digunakan Joey melainkan dengan hanya tangan kosong.
Kedua pemuda itu menerjang, dan tinju bersarang di dada kedua orang lain yang masih hidup.
Dan tinju itu menembus dada mereka, sungguh!

Dan seperti yang terjadi dengan teman mereka yang telah pergi terlebih dahulu, dua sosok itu juga terbakar, lalu menjadi abu.

Ara merasakan lututnya lemah. Ketakutan.
Langkahnya mundur tertatih tanpa mampu ia cegah dan sialnya, ia menyenggol sebuah tong sampah yang menimbulkan bunyi nyaring.
Pemuda-pemuda itu menoleh ke arah asal suara tersebut.
Dan kedua mata Vernon lah yang pertama kali beradu dengannya.
“Ara?” pemuda itu mendesis.

Ara limbung.
Kepalanya nyaris menghantam kerasnya aspal jika saja Vernon tidak segera bergerak cepat dan menangkap tubuhnya.
Ia menatap Ara di dekapannya yang tak sadarkan diri.

Pemuda itu menarik nafas lelah.

Aah, bukan seperti ini yang ia harapkan. Suaranya pelan, nyaris tertelan oleh kelamnya malam.



***

Bersambung ....



p.s. 
ada sedikit tema gay/LGBT bukan berarti aku pendukung cinta sesama jenis. ini hanya sekedar variasi cerita saja. trims. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar