Ara
hanya tak percaya bahwa ia berada satu kelas dengan mereka. Ia, dan juga
tetangga-tetangga barunya. Joey, Josh, Gio, Woody dan Vernon.
Menyenangkan,
tentu saja!
Ara
yang biasa berangkat dan pulang sekolah sendiri, sekarang tidak lagi. Mereka
nyaris berangkat dan pulang bersama-sama. Padahal tidak janjian.
Dan
lambat laun, persahabatan itu terjalin. Belum terlalu dekat, tapi cukup membuat
Ara senang. Setelah hampir dua tahun ini ia merasa hidupnya sepi, tanpa teman,
tanpa tetangga, tiba-tiba saja kehidupannya sekarang menjadi berwarna, ramai
bak sebuah keluarga besar.
Perlahan
Ara mulai hafal karakter tetangga-tetangga barunya itu. Meski tidak terlalu
mendetail.
Yang
jelas sekarang ia tahu bahwa Joey dan Josh senantiasa menempel satu sama lain
layaknya perangko. Dimana ada Josh, disitu ada Joey. Begitu pula sebaliknya. Sikap
perhatian di antara mereka begitu kentara. Sering Ara memergoki Joey menyuapi
Josh ketika makan. Sering pula ia memergoki Josh menyentuh rambut Joey yang
berjuntaian lalu menyelipkannya dibelakang telinga. Sikap manisnya kebangetan. Bikin iri.
Terkadang Ara bertanya dalam hati, apakah mereka gay? Ayolah, mereka sesama
pria, tapi sikap mereka manis seperti sepasang kekasih. Ataukah, mereka saudara
kandung? Kakak beradik? Ah, entah. Ara belum tahu sampai sejauh itu.
Gio
dan Woody lain lagi.
Ara
menjuluki mereka sebagai duo anak TK. Yang mereka lakukan sepanjang hari adalah
berdebat. Mendebatkan sesuatu yang tak penting sama sekali dan terkadang
terkesan remeh temeh.
Semacam,
siapa yang paling tampan, siapa yang paling seksi, siapa yang bangun paling
siang, siapa yang mandi terlalu lama, siapa yang punya kebiasaan ngupil, siapa
yang tidur sambil mendengkur, dan sebagainya. Dan setelah capek berdebat,
mereka akan menertawakan tingkah mereka sendiri.
Aneh
‘kan?
Mereka
juga sering meminta Ara membuatkan kue kacang. Sekarang mereka resmi menjadi
penggemar kue kacang buatan Ara. Mereka bilang kue itu mengingatkan mereka pada
ibu mereka yang tinggal di luar negeri. Dan rasanyapun persis sama dengan yang
dibuat oleh Ara.
Apakah
ia merasa direpotkan? Tidak sama sekali.
Ara
suka memasak. Dan membuat suatu masakan tertentu untuk orang lain adalah suatu
kebanggan tersendiri. Dulu ketika ibunya masih hidup, ia sering memasak kue
bersamanya kemudian membagikan kue-kue tersebut kepada beberapa tetangga dan
teman-teman ibunya.
Tapi
setelah ia yatim piatu, aktivitas itu berhenti ia lakukan.
Dan
sekarang, ketika ia menemukan alasan untuk melakukan aktifitas itu lagi, tentu ia
senang bukan main.
Sementara
Vernon ...
Well,
seperti yang sudah ia duga sebelumnya, pemuda itu kelewat pendiam.
Pernah
suatu hari Ara nyaris tak mendengar suaranya sama sekali. Ketika di kelas pun
ia akan menyumpal telinganya dengan headset lalu asyik mengutak-atik
phonselnya. Terkesan bahwa ia tipe orang yang tak suka diganggu. Dan itu benar.
Ara
jarang mengobrol dengannya. Sekalinya mencoba mengobrol, pemuda itu hanya akan
menjawab dengan jawaban pendek-pendek. Dan ketika Ara mencoba berbicara lagi,
pemuda itu akan membentaknya.
Namun
Ara pantang untuk menyerah. Ia tahu pasti bahwa pemuda itulah yang
menyelamatkan nyawanya. Menyelamatkan ia dari insiden dahan jatuh beberapa
waktu yang lalu.
Jadi
walau ia berlaku kasar padanya, ia takkan berhenti untuk mencoba dekat
dengannya.
Terkadang
Ara juga bingung.
Vernon
memang terkesan kasar dan dingin. Tapi ia tahu bahwa pemuda itu bersikap perhatian
padanya. Bahkan terkesan protektif.
Hampir
setiap hari Vernon membelikannya sebotol minuman. Tidak banyak bicara, ia hanya
akan meletakkan minuman tersebut di meja Ara sembari bilang : minumlah.
Begitu
saja.
Setiap
naik bis baik berangkat dan pulang sekolah, pemuda itu akan dengan sengaja
mencarikan satu kursi kosong untuk dirinya. Padahal sebelum bertemu dia, Ara
sering naik bis dengan berdiri karena kursinya penuh, dan tak ada seorangpun
yang bersedia memberinya tempat duduk.
Bahkan
jika ia tak dapat tempat dudukpun, Vernon akan dengan sukarela berdiri di
sisinya. Seolah berjaga-jaga bila bis berhenti mendadak, ia bisa memegangi bahu
Ara agar ia tidak terjungkal.
Pengalaman
pribadi, sopir bis terkadang suka ngebut dan mengerem mendadak. Jika berada
pada posisi berdiri, sudah tak bisa dihitung lagi berapa kali Ara jatuh
terjerembab dan sering membuat keningnya benjol.
Vernon...
Ah,
sosok itu benar-benar membuatnya bingung.
***
“Ara,
coba tebak. Siapa diantara aku dan Woody yang semalam tidur sambil ngiler?”
Pagi-pagi
sekali, 5 menit sebelum bel masuk berdentang, Gio berdusal dan duduk di
sampingya sembari menanyakan hal itu.
Woody
tak mau kalah. Ia juga beranjak dan ikut berdusal duduk di samping Ara, di sisi
yang satunya. Jadilah mereka duduk bertiga di kursi yang sama dan saling
berhimpitan.
Ara
memutar bola matanya dengan kesal, tapi tak mampu mengusir duo anak TK itu dari
kursinya. Ia sempat mengaduh lirih ketika tubuhnya yang mungil diapit oleh 2
lelaki jangkung yang terus saja resek.
“Hei,
kenapa kau ikut duduk di sini? Kembalilah ke kursimu,” Gio berjengit ke arah
Woody.
Pemuda
bermata sipit itu melotot.
“Kau
juga kenapa duduk sini? Kembalilah ke kursimu,” ia membalas.
“Aku
sedang berdiskusi dengan Ara,” jawab Gio.
“Aku
juga ingin berdiskusi dengannya,” Woody tak mau kalah. Dan dalam waktu yang
singkat, mereka kembali berdebat tentang siapa yang harus di sebelah Ara dan
siapa yang harus kembali ke tempat duduknya semula.
Tak
puas berdebat, mereka mulai adu kekuatan. Gio beringsut dan mendorong
pinggulnya ke arah Ara hingga mau tak mau, tubuhnya terdorong dan menubruk
Woody hingga pemuda itu jatuh dari kursi.
Tak
mau kalah, Woody pun melakukan hal yang sama. Ia bangkit lalu mencoba kembali
duduk di samping Ara, dan kali ini dialah yang mendorong pinggulnya hingga Gio
yang terjatuh.
“Stop!
Hentikan!” Ara berteriak.
Tapi
duo anak TK itu tak menggubris. Mereka terus saja bertingkah kekanak-kanakan.
Gio
bersungut-sungut dan kembali berdusal di kursi Ara.
“Woody,
aku lebih tua darimu. Jadi bersikaplah lebih sopan padaku,” lelaki jangkung itu
melotot ke arah Woody. Dan Ia menyipitkan matanya dengan kesal.
“Kita
hanya selisih 2 menit. Jadi bisa
dikatakan bahwa kita lahir berbarengan. Tidak ada kakak dan adik,” jawabnya.
Gio mencibir.
“Kenyataannya
aku keluar dari rahim ibu terlebih dahulu, walau hanya selang 2 menit. Itu
artinya, aku lebih tua,”
“Aku
takkan memanggilmu kakak,” Woody menggerutu.
Dan
kali ini mereka mendebatkan siapa yang keluar dari rahim terlebih dahulu.
Betapa ---
Ara
mengenyit. Tunggu, mereka tadi bilang apa? Keluar dari rahim yang sama? Apa itu
berarti ....
Ara
menatap ke arah Gio dan Woody bersamaan, bingung.
“Kalian
keluar dari rahim yang sama? maksudnya ---,”
“Mereka
kembar,” Vernon menyahut dari bangkunya – bangku yang berada di deret
sampingnya - tanpa melihat ke arah Ara. Pemuda itu tidak mengenakan headset di
telingannya, tapi tangannya asyik mengutak-atik smartphone kesayangannya.
“Apa?”
Ara nyaris berteriak, lalu kembali menatap Gio dan Woody secara bergantian.
“Kalian
--- kembar?” ia mendesis tak percaya.
Dua
pemuda itu mengangguk bersamaan. Ara tercengang.
“Tapi
--- kalian --- tidak mirip,” gumamnya.
“Kami
memang bukan kembar identik,” dan mereka menjawab hampir bersamaan.
Ara
melirik ke arah Vernon. Mencoba mencari penegasan.
Seperti
punya telepati, pemuda itu menoleh dan menatap ke arah Ara sekilas. “Ya, mereka
kembar,” jawabnya. Seolah ia tahu gejolak pertanyaan yang ada di benak Ara.
Merasa
tidak puas dengan jawaban pemuda itu, kali ini Ara membalikkan badannya dan
menatap ke arah Joey dan Josh yang duduk bersebelahan di pojok. Dua lelaki itu
juga menatap balik ke arah Ara.
“Jadi
--- benar mereka kembar?” Ara kembali bertanya. Dan mereka mengangguk lembut.
“Kami
memang kembar, Ara. Tapi tidak identik,”
Kalimat
Gio membuat Ara menoleh kembali ke arahnya. “Dan jelas aku lebih ganteng
darinya,” lanjutnya.
“Tapi
aku lebih seksi,” sahut Woody.
“Dan
aku lebih jangkung,”
“Tapi
aku lebih memikat,”
“Tubuhku
lebih bagus darimu,” Gio terus ngoceh.
“Tapi
kulitku lebih putih darimu,” Woody membalas, menang telak, karena Gio langsung
meradang. Tentu saja Woody bicara fakta. Kulit Gio memang terkesan lebih gelap
darinya. Tidak terlalu gelap, tapi eksotis.
“Tunggu,
apa mereka juga saudara kembar?” pertanyaan Ara sukses menghentikan perdebatan
di antara mereka. Gadis itu menunjuk ke arah Josh dan Joey yang tengah asyik
mengobrol dengan intens. “Mereka terlihat dekat dan intim,” lanjutnya.
Gio
menunduk dan mendekatkan mulutnya ke telinga Ara. “Mereka bukan saudara. Mereka
sepasang kekasih.” Bisiknya.
Ara
nyaris terlonjak dari kursinya. “WHATT??!” pekiknya seraya menatap Gio, Woody
dan Vernon secara bergantian. Seolah mengerti kebingungan Ara, ketiga pemuda
tampan itu mengangguk hampir bersamaan.
Ara
melongo.
Josh
dan Joey sepasang kekasih?
Tapi
... mereka ‘kan sesama lelaki?
Dan
... mereka sama-sama tampan.
Astaga.
Mereka benar-benar ... gay.
***
Bel
istirahat kedua berdentang. Yuri, salah satu gadis paling populer dan paling
cantik di sekolah meneriakkan nama Ara. Tambahan lagi, dia gadis yang paling di
segani karena putri tunggal dari pemilik yayasan sekolah.
“Ara,
tolong belikan minuman ya,” teriaknya. Ara menoleh ke arah gadis cantik
tersebut.
“Oke,”
jawabnya tanpa ragu seraya bangkit dan bergerak menuju bangku Yuri. Gadis itu
mengambil uang dari tas nya lalu menyodorkannya ke arah Ara. “Kau bisa
mengambil kembaliannya,” ucapnya lagi.
Ara
menggeleng. “Tidak, terima kasih.” Jawabnya.
Yuri
mengangkat bahu cuek. “Terserah-lah,” lalu ia kembali mengutak-atik notebook-nya.
“Aku
juga,” Jim mengangkat tangan. “Belikan kue dan minuman ya,” ujarnya.
Ara
mengangguk dan melangkah ke bangku Jim. Pemuda berkaca mata itu menyodorkan dua
lembar uang ke arahnya.
Setelah itu Ara berjalan dengan ringan menuju
kantin untuk membelikan Yuri dan Jim minuman. Ia tak menyadari bahwa Vernon
tengah menatapnya dengan tatapan jijik.
Tak
lama berselang, Ara kembali membawakan pesanan Yuri beserta Jim. Ia baru saja
akan kembali ke tempat duduknya ketika Julia, sang ketua kelas, menyuruhnya ke
kantor untuk mengumpulkan beberapa tugas guru. Ia juga masih membebaninya untuk
mengambilkan foto copy-an tugas di toko sekolah. Dan lagi-lagi, Ara kembali
melaksanakan perintah rekan-rekannya tanpa ragu, tanpa protes.
Gerah
dengan perlakuan yang diterim Ara, Vernon bangkit. Dengan langkah panjang ia bergerak dan mengikuti gadis itu keluar.
“Apa
kau pembantu di sini?” desis Vernon kesal.
“Eh?”
Ara menatapnya bingung tanpa menghentikan langkah. Kedua tangannya sibuk
memegang tumpukan buku.
“Apa
kau pembantu? Hinga mereka menyuruhmu ini dan itu?”
Ara
menggeleng cepat. “Tidak, mereka hanya minta bantuan dariku.” Jawabnya.
Vernon
mendesah. Ia menyentuh pundak gadis mungil di sampingnya hingga langkahnya
terhenti.
Ara
menatapnya tak mengerti, sementara tatapan Vernon syarat dengan protes dan
kekesalan yang nyaris tumpah ruah.
“Ara,
aku bukan anak kecil. Aku tahu bedanya memerintah dengan meminta bantuan.
Mereka tidak meminta bantuan darimu. Mereka memerintah.” Ujar Vernon dengan
rahang kaku.
“Apa
masalahmu?” Ara tampak kesal.
Vernon
bersedekap dan kembali mendesah.
“Sejak
pertama masuk, aku melihatmu diperlakukan seperti pembantu oleh mereka. Mereka
memintamu untuk membelikan ini dan itu, memintamu untuk melakukan ini dan itu,
kau diperlakukan seperti pecundang. Katakan padaku, apa mereka membully-mu?”
Ara
terkekeh.
“Ada
apa denganmu, Vernon. Aku baik-baik saja. Tidak ada bully di antara kami. Teman
sekelas kita baik. Jadi, jangan terlalu paranoid. Dan berhentilah mengurusi
urusanku,” balasnya jengkel.
“Kalau
begitu, kembali ke kelas, dan biarkan ketua kelasmu mengumpulkan sendiri
buku-buku itu,” Vernon setengah mengancam. Ara mematung.
“Tak
mau?” Lelaki itu menelengkan kepalanya. Karena tak ada jawaban dari Ara, ia
meraup buku dari tangan gadis itu lalu melangkah kembali ke kelas.
“Vernon?
Ada apa denganmu?” Ara mengekor di belakangnya. “Berikan buku-buku itu. Aku
akan mengantarkannya ke kantor!” teriaknya.
Vernon
tak menggubris. Ia terus melangkah, kembali masuk ke kelas, lalu melemparkan
tumpukkan buku itu ke meja Julia. Tak pelak tindakan itu membuat sang ketua
kelas kaget.
“Kau,
ketua kelas ‘kan? Lakukan sendiri tugasmu. Kumpulkan buku-buku ini ke kantor
guru. Dan kau,” ia menuding ke arah Yuri dan Jim. “Jangan pernah menyuruh Ara
untuk membeli minuman lagi. Kalian punya kaki dan tangan ‘kan? Kalian tidak
cacat ‘kan?” nada suara Vernon terdengar dingin. Mata coklatnya yang biasanya
berbinar terlihat kelam.
“Vernon!
Apa-apaan kau ini?” Ara menjerit. Berusaha menghalau tubuh lelaki itu agar menyingkir
dari hadapan rekan-rekannya yang tampak syok. Tak menyangka akan menerima
perlawanan dari anak baru tersebut.
“Bung,
ada apa denganmu?” Jim berjengit. Maju beberapa langkah dan menatap Vernon
dengan kesal.
Vernon
menyeringai. Dan .... bukk!
Sebuah
pukulan melayang ke wajah lelaki berkaca mata tersebut. Jim terpelanting dan
nyaris menghantam tubuh Yuri yang duduk di belakangnya.
Beberapa
anak menjerit kaget. Termasuk Ara, yang juga terlihat kaget dan syok dengan
kejadian itu.
“Aku
sudah memperingatkan kalian. Jika ada yang tidak terima, laporkan saja pada
guru. Dan aku tak segan-segan untuk merontokkan gigi seseorang,” Vernon
mendesis.
Ia
berbalik, menyambar lengan tangan Ara, lalu menyeretnya keluar.
Melangkahkan
kakinya dengan langkah panjang tanpa mempedulikan Ara yang meronta, menyusuri
anak tangga, mengajaknya ke atap gedung.
***
“Apa
yang kau lakukan?! Kenapa kau harus membuat keributan dengan mereka?! Kau tak
tahu siapa yang kau hadapi! Jika pihak sekolah tahu kau membuat masalah dengan
mereka, kau akan dihukum!” Ara berteriak setelah mereka ada di atap gedung,
berdua saja. Gadis itu tak kalah kesal.
“Aku
jijik melihatmu di suruh ini dan itu seperti pembantu,” jawab Vernon.
Ara
menggigit bibir. Kedua matanya basah.
“Dan
apa urusanmu? Kenapa kau harus peduli padaku?” desisnya. Vernon tak menjawab.
“Orang
tua mereka adalah pemilik sekolahan ini. Dan mereka berhak melakukan apapun
padaku, pada siswa lain. Kau tak perlu ikut campur,” Ara kembali bersuara
parau.
Vernon
terkekeh sinis.
“Kau
menjijikkan, Ara. Hanya karena mereka punya kedudukan lebih tinggi darimu, kau
membiarkan mereka menindasmu? Kau menyedihkan,”
Pemuda itu menatap Ara, sinis.
Air
mata Ara nyaris tumpah.
“Aku
memang menjijikkan. Aku memang menyedihkan. Karena hanya dengan beginilah aku
masih bisa sekolah di sini!” teriaknya.
“Aku
tidak seperti dirimu yang punya banyak uang, Vernon.” Desisnya.
“Aku
yatim piatu. Miskin. Sejak orang tuaku meninggal dua tahun yang lalu karena
kecelakaan, aku hidup berdua saja dengan adikku. Selama ini kami hidup hanya
dengan mengandalkan dana asuransi dari mendiang orang tuaku. Kau pikir hanya
dengan dana asuranasi itu aku bisa
sekolah? Tidak!” ia berteriak lagi.
“Ayah
Yuri yang memberikan beasiswa padaku agar aku tetap bisa bersekolah! Jika kau
menganggap hidupku menjijikan, aku tak peduli. Aku bahkan bersedia mengorbankan
harga diriku jika memang harus kulakukan,” Dan air matanya tumpah.
Vernon
mematung, menatap Ara nyaris tak berkedip.
“Aku
bersedia menerima perlakuan apapun dari mereka, asal mereka mengijinkanku
sekolah hingga lulus. Aku ingin segera lulus agar bisa mencari pekerjaan dan
merawat adikku dengan baik. Aku ingin menjalani hidupku dengan tenang. Apakah
itu berlebihan, hah?!”
Ara
sesenggukan.
Vernon
menelan ludah. “Jangan menangis,” ucapnya lirih.
“Aku
tidak menangis,” Ara menjawab terbata, tapi toh ia terisak.
“Maaf,
aku tak berniat membuatmu menangis,”
“Sudah
ku bilang aku tidak menangis!” Ara menghapus air matanya dengan cara yang tidak
elegan.
Vernon
menatap gadis yang tengah sibuk menyembunyikan isak tangisnya tersebut.
Perlahan ia bergerak, mendekatinya, lalu merengkuh tubuh mungilnya dengan
lembut. Mulutnya membisikkan sesuatu yang tak Ara pahami. Mungkin semacam
kata-kata untuk menyemangati, menenangkan, atau ... entahlah. Dan seketika
tangisnya kembali pecah.
Gadis
itu terisak di pelukan Vernon.
Dan
pemuda bermata coklat itu terus mendekapnya, mengelus kepalanya dengan sabar.
“Maafkan
aku,” bisiknya.
“Maafkan
aku.”
***
Ara
kembali ke kelas dengan mata sembab dan segera menerima tatapan sinis dari
Yuri, Jim, Julia dan juga beberapa siswa lain.
Vernon
menyentuh punggungnya dengan lembut lalu menyuruhnya duduk di bangkunya.
Kemudian pemuda itu menyeret kursinya sendiri, menyingkirkan kursi di belakang
Ara, lalu menempatkan kursinya di sana. Tanpa mempedulikan Boy yang tadinya
duduk di situ.
Ia
menatap ke arah beberapa anak dengan tatapan tajam.
“Mulai
detik ini aku duduk si sini. Jika ada yang berani menyuruh Ara ini dan itu
seperti pembantu, ribut dulu denganku,” ucapnya tegas. Sebelum ia menjatuhkan
pantatnya di kursi yang kini berada di belakang Ara.
Serta
merta Ara menoleh ke arah pemuda tersebut. “Vernon, apa-apaan kau ini?”
desisnya gusar.
Belum
hilang kekagetannya, tiba-tiba Gio dan Woody melakukan hal yang sama. Mereka
menyeret tempat duduk mereka yang tadinya ada di baris depan, kemudian
meletakkannya tepat di samping kiri dan kanan Ara.
“Tempat
ini kami ambil alih. Jika ada yang menggangu mereka,” Gio menunjuk ke arah Ara
dan Vernon, “ayo kita bertarung saja,” lanjutnya. Woody mengangguk, mengiyakan.
Ara
tercengang. Menatap ke arah Woody dan Gio yang kini resmi – entah atas perintah
siapa – duduk di samping kiri dan kanannya.
“Kenapa
kalian harus ikut-ikutan?” gadis itu berbisik kesal. Woody mengangkat bahu
cuek.
“Karena
kau teman kami. Dan Vernon saudara kami,” jawabnya pendek.
“Oh,
jadi sekarang ada 3 orang preman di sini!” Jim berteriak jijik.
“Lima,”
Tanpa
diduga, Josh bersuara seraya mengangkat tangannya.
“Kami
berlima,” ulangnya. Tatapan mereka beralih ke arah bangku di pojok, tempat Josh
dan Joey duduk bersebelahan.
Joey
bangkit. Menatap ke arah Jim dan beberapa anak lain dengan tatapan tajam
menusuk. Rambutnya yang panjang dan tertiup angin sempat menciptakan suasana horor.
Ara sempat heran, kenapa ia tak dihukum oleh sekolah karena rambutnya yang
panjang.
Gadis
itu tercengang.
Joey
begitu berbeda. Lelaki itu biasanya kalem dan lembut, tapi kali ini, dia tampak
menakutkan.
“Dan
jika ada yang mengganggu saudaraku dan juga Josh, tamat riwayat kalian!”
teriaknya.
Ara
menelan ludah.
Tunggu,
apa-apaan ini?
Apa
mereka serius?
Ya
ampun...
***
Ara
terus saja mengomel selama perjalanan pulang dari sekolah. Sementara 5 pemuda
itu tetap saja tak menggubris. Membalas saja tidak.
Josh
dan Joey tetap berjalan berdampingan dengan mesra. Woody dan Gio masih
mendebatkan siapa di antara mereka yang punya kulit lebih putih. Sementara
Vernon, ia tetap berjalan dengan angkuh, lengkap dengan headset di telinganya.
“Kenapa
kalian harus mencari ribut dengan mereka? Ini tidak baik. Mereka bisa saja
melapor pada guru dan kalian akan kena hukuman. Seharusnya kalian bisa menahan
diri. Jangan terpancing emosi. Lagipula, aku tidak butuh bantuan kalian,” ucap
Ara sebal.
Lagi-lagi,
ia dicueki.
Pemuda-pemuda
itu tetap berjalan dengan langkah panjang menyusuri jalan menuju tempat tinggal
mereka, sehingga Ara harus buru-buru mempercepat langkah kecilnya agar tidak
tertinggal.
Kesal
karena diabaikan, Ara berlari, mendahului mereka dan terus saja berbicara
sambil menatap mereka, walau ia harus berjalan sambil mundur.
“Aku
bilang, kalian terlalu ikut campur! Seharusnya kalian tidak mencari ribut
dengan mereka!” teriaknya.
Gerah
dengan kelakuan gadis itu, Vernon melangkah cepat mendahului keempat saudaranya
lalu menghampiri sosok bertubuh mungil
tersebut, kemudian memutar tubuhnya melalui kedua bahunya.
“Jangan
berjalan mundur. Kau bisa jatuh,” ucapnya. Ara mendengus.
“Kalau
begitu, berhentilah agar aku bisa berbicara dengan kalian. Kaki kalian
panjang-panjang, aku capek harus mengejar terus. Kau suka kalau aku jatuh?” ancamnya
kesal.
Vernon
menatap keempat saudaranya lalu menyuruh mereka berhenti sesaat.
Ara
menatap mereka satu persatu dengan jengkel. Belum sempat ia menumpahkan
uneg-unegnya, Joey terlebih dahulu bersuara.
“Kau
teman kami, Ara. Kita bertetangga dengan baik. Jika sesuatu menimpamu, sudah
sewajarnya kami turun tangan. Coba saja jika keadaan terbalik. Jika salah satu
dari kami disakiti orang, apa kau akan tinggal diam?” ujarnya.
“Tapi
ini beda. Mereka bukan siswa biasa. Mereka punya koneksi kuat dan ...”
Joey
bergerak dan menepuk pipi Ara dengan lembut. Pemuda itu tersenyum.
“Jangan
khawatir, semua akan baik-baik saja. Oke?” Ia melangkah, diikuti Josh.
Woody
dan Gio ikut bergerak dan menepuk pundak Ara dengan pelan.
“Seperti
apa yang dikatakan Joey, jangan terlalu khawatir. Kau teman kami, kau pembuat
kue kacang terenak setelah ibu kami, dan kami akan jadi teman yang baik
untukmu. oke?” ucap Gio seraya beranjak diikuti Woody.
Vernon
menatap Ara tanpa ekspresi berarti.
“Kalau
beasiswamu dicabut, kau bisa mengajukan beasiswa pada Dika. Dia kaya dan punya
banyak uang. Walau masih muda, ia sudah punya penghasilan sendiri dari bisnis
keluarga. Ia juga sering kok membantu beberapa anak sekolah yang kesulitan
biaya. Dulu aku juga pernah minta bantuannya. Jadi, tenang saja.” ucapnya
seraya melangkah pergi.
Ara
menggaruk-garuk kepalanya, tambah kesal.
Kampret!
Ia dicueki lagi?
***
Setelah
usai makan malam, Ara pamit pada adiknya untuk pergi ke minimarket membeli
sesuatu.
Bocah
itu hanya mengangguk patuh. Setelah selesai membantu kakaknya mencuci piring,
ia beranjak ke kamarnya.
Sementara
Ara menyambar jaket lalu keluar menuju mini market yang berada beberapa blok
dari rumahnya.
Ketika
dalam perjalanan pulang dari minimarket, ia mendengar suara ribut-ribut di
sebuah gang sepi. Tadinya ia ingin mengabaikannya. Tapi ia ingat peristiwa
beberapa waktu yang lalu, dimana ia memergoki seorang pelajar SMP di hajar
beramai-ramai oleh preman.
Waktu
itu ia berhasil membantu dengan berlari ke pos polisi terdekat untuk meminta
tolong. Dan kali ini, jika ada kejadian seperti itu lagi, ia siap untuk berlari
mencari polisi.
Gadis
itu mengendap-endap di balik tembok untuk mencari tahu apa gerangan yang
terjadi.
Dan
ia melihatnya.
Tiga
orang pemuda tengah berkelahi dengan tiga orang lainnya yang berpakaian serba
hitam. Sementara dua di antaranya hanya berdiri menatap perkelahian itu dengan
santai.
Kedua
mata Ara menyipit demi menyaksikan pertarungan itu lebih jelas. Dan ia
merasakan tenggorokannya tersekat.
Yang
ia lihat adalah, tiga orang pemuda yang ia kenal tengah terlibat perkelahian.
Gio, Woody dan Vernon tengah bertarung dengan dengan sengit melawan tiga orang
asing berpakaian gelap.
Sementara
Joey dan Josh hanya bersandar santai di tembok seraya menonton perkelahian
tersebut.
“Kau
harusnya membantu kami. Bukan hanya menonton saja!” Gio protes, sembari
menghindari sebuah tendangan.
“Mereka
bertiga, dan kalian bertiga. Imbang. Jika kami turun tangan, itu namanya main
keroyok,” Joey menjawab santai.
“Ini
bukan pertandingan, kenapa harus hitung-hitungan segala? Mereka berniat membunuh
kita semua, sialan!” Gio kembali berteriak.
Dan
Joey hanya terkekeh sinis. Tapi akhirnya ia bergerak. Dengan secepat kilat ia
menerjang layaknya orang hendak terbang,
dan tiba-tiba saja ia menghunus pedang panjang – yang entah datang darimana –
dan ... jlebbb!!
Pedang
itu menembus dada salah satu pria berpakaian hitam. Sosok itu menjerit. Tapi
bukan darah yang keluar yang keluar dari luka di dadanya. Melainkan semacam
percikan api yang lama-lama membakar tubuhnya hingga sosok itu hangus menjadi
abu yang segera lenyap ditiup angin.
Ara
menatap peristiwa itu dengan mata terbelalak.
Belum
hilang rasa syok yang menghinggapinya. Ia menyaksikan Vernon dan Woody
melakukan hal yang sama. Tapi kali ini mereka tidak menggunakan pedang seperti
yang digunakan Joey melainkan dengan hanya tangan kosong.
Kedua
pemuda itu menerjang, dan tinju bersarang di dada kedua orang lain yang masih hidup.
Dan
tinju itu menembus dada mereka, sungguh!
Dan
seperti yang terjadi dengan teman mereka yang telah pergi terlebih dahulu, dua
sosok itu juga terbakar, lalu menjadi abu.
Ara
merasakan lututnya lemah. Ketakutan.
Langkahnya
mundur tertatih tanpa mampu ia cegah dan sialnya, ia menyenggol sebuah tong
sampah yang menimbulkan bunyi nyaring.
Pemuda-pemuda
itu menoleh ke arah asal suara tersebut.
Dan
kedua mata Vernon lah yang pertama kali beradu dengannya.
“Ara?”
pemuda itu mendesis.
Ara
limbung.
Kepalanya
nyaris menghantam kerasnya aspal jika saja Vernon tidak segera bergerak cepat
dan menangkap tubuhnya.
Ia
menatap Ara di dekapannya yang tak sadarkan diri.
Pemuda
itu menarik nafas lelah.
Aah,
bukan seperti ini yang ia harapkan. Suaranya pelan, nyaris tertelan oleh
kelamnya malam.
***
Bersambung
....
p.s.
ada sedikit tema gay/LGBT bukan berarti aku pendukung cinta sesama jenis. ini hanya sekedar variasi cerita saja. trims.
p.s.
ada sedikit tema gay/LGBT bukan berarti aku pendukung cinta sesama jenis. ini hanya sekedar variasi cerita saja. trims.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar