Langkah
kecil itu membelah genangan air di sepanjang jalan yang ia lewati. Menciptakan
suara kecipak dan cipratan-cipratan air ke tulang betis hingga lutut. Hujan
masih turun dengan deras, tapi langkahnya tak surut. Ia terus berjalan dengan
tergesa-gesa. Tangan kiri sibuk memegang tas belanjaan, sementara tangan kanan
sibuk memegang payung. Beberapa kali langkahnya melambat karena terpaan angin
yang datang dengan tiba-tiba. Namun dengan mempererat pegangan di gagang
payung, segera langkah kakinya kembali cepat.
Ara
mengeluh kesal. Sekarang sudah jam 9 malam. Harusnya ia sudah berada di rumah
sejak 2 jam yang lalu. Tapi karena beberapa tugas kelompok yang harus ia selesaikan
di sekolah, kepulangannya menjadi tertunda. Belum lagi ia harus mampir dulu ke
pasar untuk berbelanja kebutuhan makan malam. Ah, ia khawatir dengan Habin.
Adik lelakinya itu pasti sendirian di rumah.
Apakah
ia sudah makan? Apakah ia ketakutan dengan hujan badai ini? Gadis itu bergumam
bingung.
Langkah
kakinya baru sampai di perempatan jalan, dua blok dari rumahnya, ketika
tiba-tiba saja ia mendengar suara bergemuruh.
Spontan
gadis itu berhenti lalu mengalihkan payungnya untuk melihat ke arah datangnya suara gemuruh tersebut. Ia menggerakkan
payungnya dengan perlahan, lalu mendongak dengan hati-hati. Dan di sana! Tepat di atas kepalanya, cabang
pohon itu bergerak dengan dasyat, menimbulkan suara gemeretak, lalu meluncur ke
arah dirinya!
Kedua
bola mata Ara membelalak. Kakinya ingin berlari tapi entah mengapa ia seperti
kehabisan tenaga. Bahkan untuk berteriak saja ia seakan tak mampu. Ibu ...
hatinya memekik.
Dan
itu terjadi dengan begitu cepat.
“Awas!”
Seseorang berteriak, menubruk dirinya dengan tubuhnya sendiri, hingga gadis itu
terpental, menjauh, tepat ketika cabang pohon itu berdebum ke tanah.
Ara
meringis. Tubuhnya terjatuh ke aspal. Tapi anehnya ia merasa aman. Seseorang
mendekap tubuhnya dengan sikap protektif.
“Kau
baik-baik saja?”
Dan
suara itu seakan membangunkannya dari koma. Kedua matanya terbuka dan segera
tatapan mata itu beradu dengan mata coklat memikat dari seorang pemuda yang
tengah mendekap tubuhnya.
Ara
menelan ludah. Keduanya berpandangan.
“Kau
baik-baik saja?” Pemuda itu kembali bertanya cemas. Matanya coklat terang
memikat. Rambutnya yang agak panjang nampak basah oleh rintikan air hujan.
Ara
menelan ludah. “Aku ... baik.” Jawabnya lirih.
Pemuda
itu beringsut dari atas tubuhnya lalu membantunya untuk duduk. “Syukurlah,” ia
menggumam.
Ara
menatap sekelilingnya dengan bingung.
Tampak
cabang pohon berserakan di atas trotoar dan sebagian jalan. Tas belanjaannya
berikut isinya berantakan tak karuan. Sementara payungnya, ah, entah terbang
kemana.
Tak
berapa lama orang-orang mulai datang berkerumun. Beberapa pengendara mobil juga
berhenti demi untuk menghindari cabang pohon yang nyaris menutup jalan. Dalam
waktu singkat, situasi menjadi ramai. Suara klakson di mana-mana.
“Nona,
kau tak apa-apa?”
“Apa
kau terluka?”
“Apa
perlu kami antar ke rumah sakit?”
Beberapa
orang mendekat dan menanyainya dengan cemas.
Ara
terduduk dengan linglung. Masih dengan tubuh yang sedikit gemetar karena syok,
ia menatap ke arah beberapa orang yang melihatnya dengan cemas.
“Aku
...baik-baik saja,” jawab Ara lirih. “Dia
... menyelamatkanku,” gadis itu menengok ke arah pemuda yang tadi
mendekapnya. Dan ia menyadari ... pemuda itu sudah tidak ada.
Ara
melihat sekeliling dengan bingung. Dan ia benar-benar sadar, pemuda bermata
coklat itu sudah tidak ada.
***
Ara
membuka pintu dengan tergesa-gesa lalu menyeruak masuk tanpa terlebih dahulu
melepas sepatu. Ia gadis yang rapi, biasanya ia akan melepas sepatunya lalu
menatanya di rak dengan baik sebelum masuk ke dalam rumah. Tapi malam itu, ia
seolah tak sempat melakukannya.
“Habin!”
Ia menyusuri ruang tamu dan mendekat ke anak tangga, memanggil nama adik
lelakinya.
Terdengar
derap kaki dan beberapa saat kemudian seorang bocah berusia 7 tahun muncul,
menuruni anak tangga dengan lincah.
“Ah,
kakak lama sekali,” ia mencicit.
Ara
menarik nafas lega.
“Maaf
kakak terlambat pulang. Tiba-tiba saja kakak punya tugas sekolah dan harus di
selesaikan di sana,” gadis itu meletakkan tas ranselnya di meja dekat anak
tangga lalu memutar langkah menuju dapur masih sambil menenteng tas kresek
berisi barang belanjaan.
Barang
belanjaan itu sebenarnya sempat tercecer di jalan setelah ia mengalami insiden
‘dahan jatuh’. Tapi beberapa orang baik hati membantunya mengumpulkan kembali
barang-barang belanjaan tersebut, bahkan memberikannya tas kresek baru.
“Kenapa
kakak basah kuyup dan kotor begitu? Apa kakak habis jatuh? Kakak kehujanan?
Kakak tak membawa payung?” Habin bertanya terus menerus seperti biasanya. Ara
menatap tubuhnya sendiri. Ia baru tersadar bahwa ia basah kuyup, seragamnya
kotor, dan ia kelihatan dekil.
“Iya,
kakak terpeleset dan terjatuh. Payungnya rusak, jadi kakak membuangnya. Tapi
kakak tak apa-apa kok,” jawabnya seraya menyunggingkan senyum manis di depan
adiknya.
“Tunggulah
di kamar lagi. kakak akan membuatkanmu makan malam,” Ia memerintah lembut.
Habin
menggeleng.
“Aku
sudah makan malam kok,”
Kening
Ara mengernyit.
“Apa
kau bisa memasak sesuatu untuk makan malam? Apa kau membuat mie instan?”
Pertanyaan
itu disambut gelengan oleh Habin.
“Tetangga
sebelah memberiku kue dan juga makan malam. Enak sekali. Tuh, masih ada sisanya.
Mereka memberiku banyak. Masih cukup untuk kakak,” jawabnya.
Ara
menatap adiknya dengan heran. Ia tak ingat bahwa ia punya tetangga.
Sejak
orang tua mereka meninggal sekitar dua tahun lalu karena kecelakaan, ia tinggal
berdua saja dengan adiknya. Dan ia yakin bahwa ia tak punya ‘tetangga sebelah’.
Sebelah
kiri rumahnya berupa lahan kosong yang ditumbuhi tanaman liar. Sementara
sebelah kanan rumahnya hanya ada sebuah rumah tua yang sudah lama tak
berpenghuni.
“Tetangga
siapa, Habin? Dari bibi Julia?” Ara menyebutkan nama bibi Julia, seorang bibi
paruh baya yang baik hati, yang juga sering berkunjung ke rumahnya dengan
membawakan makanan dan kue. Tapi rumah bibi Julia sekitar 500 meter dari sini.
Habin
menggeleng.
“Oh,
kakak belum tahu. Kita punya tetangga baru. Rumah kosong di sebelah rumah kita
sudah berpenghuni. Mereka bilang, mereka baru datang tadi siang.”
“Mereka?”
Habin
mengangguk. “Tadi sore 2 orang kakak laki-laki datang kemari, menyapaku, dan
membawakan ini semua,” bocah itu bergerak, menuju meja makan, dan membuka
penutup hidangan. Tampak ada beberapa kue, puding, dan juga makanan di sana.
Keadaan itu tak pelak menimbulkan wajah sumringah pada Habin.
“Kak
Dino dan Dika terlihat baik dan sopan.
Mereka juga bilang bahwa aku boleh berkunjung balik ke rumahnya,”
“Dino
dan Dika?” Ara mengulang.
“Iya,
mereka tampan sekali. Sepertinya seumuran dengan kakak.” Senyum merekah di
bibir adiknya.
“Habin,
berhati-hatilah dengan orang asing.” Ara memperingatkan.
“Aku
selalu hati-hati, kak. Tapi mereka terlihat baik sekali.” Jawab adiknya.
“Oke,
kalau begitu besok pagi kita akan berkunjung ke rumahnya untuk mengucapkan
terima kasih. Sekarang, kembalilah ke kamarmu. Kakak akan bersih-bersih
sebentar,”
Habin
tak berhenti tersenyum lalu beranjak menaiki tangga dengan lincah, menuju
kamarnya.
Dengan
bersedekap heran, Ara menatap serangkaian hidangan di atas meja makan.
Tetangga
baru? Tepat di sebelah rumahnya? Rumah yang telah kosong selama beberapa tahun
dan terkenal berhantu?
Ah,
Ara harus mencari tahu tentang keberadaan mereka.
***
Menunggu
hingga besok pagi adalah hal paling mustahil yang bisa di lakukan oleh Ara.
Ia
takkan bisa menunggu hingga berjam-jam demi mengetahui orang macam apa yang
tinggal di sebelah rumahnya.
Alasannya
hanya karena ia merasa penasaran akut. Begitulah dirinya.
Ia
takkan bisa tidur dengan nyenyak jika ada sesuatu yang ingin ia ketahui dan ia
belum tahu jawabannya. Ia hanya ingin tahu, orang macam apa yang ada di dalam
rumah tersebut. Yang jelas, hanya orang kaya yang mampu menempati rumah
tersebut.
Rumah
itu begitu besar. Nyaris 4 kali lipat dari rumah yang ia tempati saat ini. Jika
bukan orang yang punya banyak uang,
mereka takkan mampu menyewa ataupun membeli tempat tersebut.
Apa
mereka keluarga bahagia yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak? Atau
hanya sekumpulan anak muda yang menjadikan rumah tersebut untuk
berkumpul-kumpul dan melakukan bisnis kotor, seperti narkoba misalnya, persis
seperti yang ada di film-film?
Jika
memang begitu, akan ia pastikan mereka tak menyentuh Habin, sedikitpun!
Dan
sekarang, di sinilah dia akhirnya.
Hampir
tengah malam ketika ia memutuskan untuk mengendap-endap di samping rumah tua
tersebut, kemudian dengan keahlian yang sudah ia miliki sejak kecil, ia
memutuskan menaiki tembok setinggi 1 meter yang dibangun mengelilingi rumah
itu. Rumah tua menyerupai kastil yang sudah tidak berpenghuni sejak ia masih
kecil dan konon berhantu, itu yang dibilang orang-orang.
Tapi
ia tak percaya. Toh sejak ia bisa memanjat, ia sudah sering memasuki rumah itu
dari segala penjuru. Dari pagar depan, tembok di kanan kiri rumah, atau bahkan
tembok kokoh di belakang rumah yang tingginya hampir dua kali lipat.
Rumah
itu bahkan boleh dibilang sebagai tempat permainannya sejak kecil. Ketika kedua
orang tuanya sibuk bekerja, atau ketika ia di marahi oleh ibunya, yang ia
lakukan adalah menaiki pohon di sebelah rumah, lalu menjangkau tembok pembatas,
kemudian meloncat ke dalam sana dengan baik.
Tapi
memasuki rumah kosong dengan rumah berpenghuni tentu saja dua hal yang berbeda. Jika dulu ia bisa memanjat
tembok dan memasuki rumah itu dengan seenaknya, kali ini ia harus hati-hati. Jika
ia sampai ketahuan mengendap-endap seperti ini, ia bisa dituduh sebagai
pencuri!
“Apa
kau naik ke sana untuk mencuri?”
Suara
itu nyaris membuat Ara kehilangan keseimbangan. Ia mencari arah datangnya suara
tersebut, dan tatapan matanya menemukan seorang perempuan cantik berambut
panjang, berada beberapa meter di bawah tembok tempat ia berada.
Perempuan
cantik dengan rambut panjang sepinggang yang ia biarkan terurai begitu saja.
Cantik, anggun, dan mempesona. Jika Ara tak salah menerka, umurnya sekitar 5
tahun lebih tua darinya. Mungkin lebih pantas ia menyebutnya kakak.
Perempuan
itu menatapnya dengan tatapan geli sembari berkacak pinggang.
“Oke,
nona. Turunlah ke sini dengan baik-baik, atau aku terpaksa menelpon polisi,”
ucapnya lagi.
Mendengar
nama polisi, nyali Ara langsung ciut seketika. Tadinya ia berniat meloncat dan
turun ke sisi rumahnya sendiri. Tapi karena kurang konsentrasi, ia kehilangan
keseimbangan.
Gadis
itu menjerit manakalah tubuhnya melayang dan ... bruukk!!
Ia
jatuh tepat di atas tubuh perempuan tersebut.
Oh,
bukan. Perempuan itu sepertinya sengaja menangkap tubuhnya agar ia tidak menghantam tanah.
Oh,
perhatian sekali.
Kedua
mata Ara mengerjap. Ia mendongak, dan mendapati dirinya terbaring di atas
tubuhnya.
“Kau
tak apa-apa?” Ia bertanya dengan suara lembut.
Tanpa
menjawab Ara berusaha bangkit. Di tengah usahanya untuk bangun, tanpa sadar
kedua tangannya menekan dada perempuan tersebut. Reflek, ia setengah meraba dan
mendapati bahwa dada perempuan itu rata.
Ara
mendelik.
Rata?
Mana ada perempuan yang dadanya rata dan nyaris tak punya payudara seperti ini?
Gadis
itu membelalak. Tunggu, dia bukan bukan perempuan! Dia laki-laki!
Sosok
yang terbaring di bawahnya ini adalah ... laki-laki!
“Kau
...” Ara buru-buru menarik dirinya lalu berusaha bangkit. Lelaki yang sempat ia
kira sebagai perempuan itu juga bangkit dan berdiri. Gadis mungil itu berniat
melarikan diri, tapi dengan cekatan, lelaki berambut panjang itu menarik lengannya.
Ara sempat meronta, namun tubuhnya malah dibanting dengan pelan ke tanah. Gadis
itu sempat menjerit lirih. Bukan karena sakit, tapi hanya karena kaget. Tak
mengira bahwa lelaki itu akan membantingnya.
Belum
sempat ia kembali ke akal sehatnya, lelaki itu mencengkeram tangannya kemudian
menariknya ke atas kepala, lalu ia duduk di atas pinggulnya.
“Pencuri,”
desisnya, tepat di depan wajah Ara.
“Aku
... tidak ...”
“Josh!
Kemarilah!” ia berteriak.
Selang
beberapa waktu, seorang lelaki lain muncul.
“Ada
apa?” tanyanya.
Sorot
lampu taman tak begitu terang. Tapi Ara tetap sukses menatap sosok lelaki
jangkung bermata bening yang kini telah berdiri tak jauh darinya. Menatap ia
dan juga lelaki berambut panjang yang duduk di atas pinggulnya dengan geli. Oh,
Ara seakan baru sadar bahwa ia berada di posisi yang tak nyaman.
Terbaring
terlentang di tanah dengan lelaki di atasnya dan ... rok pendek yang ia kenakan
nyaris tersingkap.
Ara
menggerutu. Orang sinting mana yang memakai
rok ketika punya pikiran untuk menyelinap ke rumah orang?!
Tapi,
rok pendek adalah pakaian kesukaannya. Hampir semua item bajunya berupa kaos
dan rok pendek, semacam rok tennis. Dan ia memang selalu memakai pakaian itu
ketika di rumah.
Tadi
ia hanya berniat menaiki tembok dan mengintip rumah tua ini sebentar. Mana tahu
kalau ia akan ketahuan? Mana tahu kalau ia akan terjatuh di atas tubuh lelaki ini?
Mana tahu bahwa akan ada lelaki cantik yang membanting tubuhnya dan sekarang
duduk di atas tubuhnya?!
“Joey,
berdirilah dari sana. Kau membuatnya ketakutan,” Lelaki bermata bening itu
berujar lembut.
“Dia
mengendap-endap di sekitar rumah kita. Bisa saja ia pencuri. Aku berniat
memberinya sedikit pelajaran,” Lelaki yang dipanggil Joey itu menjawab geli.
“Kita
bawa saja dia masuk,”
Ara
menelan ludah. Sebelum sempat ia berkata-kata, lelaki itu melepaskan
cengkeraman tangannya lalu bangkit.
“Oke,
Josh. Kau saja yang membawanya masuk,” ia mengibaskan rambutnya yang panjang
lalu beranjak.
Lelaki
yang dipanggil Josh itu tersenyum lalu melangkah mendekati Ara yang masih
berbaring di tanah.
“Ayo
masuk dulu ke rumah kami,” ajaknya. Ucapannya sarkastik. Dan Ara pucat
seketika.
****
Ara
menelan ludah.
Josh
membawanya masuk ke dalam rumah. Ia membawanya ke ruang tengah dan
mendudukkannya di kursi di dekat ruang utama, sementara 6 pasang mata
menatapnya dengan penuh selidik.
Serius,
6 PASANG MATA!
Glek,
Ara kembali menelan ludah dengan susah. Jika saja situasinya sedikit berbeda,
ia pasti sudah jatuh bangun terpesona.
Bayangkan
saja, saat ini ada 6 lelaki dengan ketampanan di atas rata-rata, berdiri di
hadapannya. Pemuda-pemuda yang seolah umurnya tak jauh berbeda denganya, yang menawan bagaikan bintang drama, dan ...
sungguh, mereka tampan.
Pemuda-pemuda
itu menatapnya penuh selidik dan menghakimi. Seolah Ara adalah sosok tersangka
yang siap diinterogasi.
“Dia
menaiki tembok rumah kita dan mengendap-endap,” lelaki cantik yang dipanggil
Jeoy oleh si Josh membuka suara.
“Apa
kau datang mencuri?” Kali ini, suara itu datang dari lelaki bermata sipit yang
berdiri di samping sosok paling tinggi.
“Tidak!”
Ara menjawab cepat. “Aku hanya ingin ...” Kalimatnya terhenti. Apa yang akan ia
katakan? Toh mengendap-endap di rumah orang pada malam hari tetap saja tak bisa
dibenarkan.
“Apa
kau tinggal di rumah sebelah?” Dan suara itu datang dari lelaki berhidung
mancung yang wajahnya tampak bijak. Satu-satunya lelaki yang duduk di ruangan
tersebut.
“Ya,”
Ara menjawab cepat lagi. Ia memberanikan diri menatap mereka satu persatu.
“Aku
bukan pencuri, sungguh. Aku hanya penasaran. Tadi adikku mengatakan bahwa orang
bernama Dino dan Dika datang ke rumah dan memberikan makanan. Sebenarnya aku
ingin ke sini besok pagi mengucapkan terima kasih. Tapi aku terlalu penasaran
dan memutuskan menaiki tembok untuk mengintip –“
“Kenapa
kau mengintip?” Lelaki paling jangkung memotong.
“Karena
---,” Ara menggaruk-garuk kepalanya
dengan bingung. Sial, apa yang akan ia katakan.
“Kau
curiga kalau kami adalah sekumpulan orang jahat?” ia kembali bertanya.
“Itu
---,”
“Kami
bukan orang jahat. Percayalah,” yang berwajah paling bijak kembali bersuara.
“Kami hanya sekumpulan saudara yang hidup mandiri dan baru pindah ke sini.
Akulah yang datang ke rumahmu tadi sore,” lanjutnya. Ia tersenyum manis. “Aku
Dika,”
Ara
menatapnya dalam. Wajahnya tidak mencerminkan orang jahat sama sekali.
“Kalian
bersaudara?”
Dika
mengangguk. “Tidak sedarah. Kami saudara jauh. Tapi kami dekat sekali layaknya
saudara kandung,” jawabnya.
“Biarkan
kami memperkenalkan diri secara resmi agar tidak ada kesalah pahaman. Aku Dika,
dia Dino,” Ia menunjuk anak lelaki yang terlihat paling muda di antara mereka,
yang berdiri dengan tenang di sampingnya. Jika Ara tak salah mengira, ia masih
duduk di bangku SMP.
“Ini
Gio,” ia menunjuk ke arah pemuda berkulit coklat dan paling jangkung, “Lalu
Woody,” kali ini menunjuk ke arah lelaki bermata kecil dan berwajah dingin di
sisinya.
“Dan
yang baru berurusan denganmu, Josh dan Joey,” ia menunjuk pada dua pemuda yang
tadi bertemu pertama kali dengan Ara. Satu pemuda cantik dan satu pemuda tampan
yang berdiri dengan tenang di dekat kusen jendela.
“Kami
baru pindah ke sini tadi siang. Tadinya kami ingin ke rumahmu untuk menyapamu
agar kita bisa menjadi tetangga yang baik. Tapi kami hanya bertemu dengan
adikmu saja. Maaf jika perkenalan ini sedikit terlambat.” Lanjutnya.
Ara
merasa bersalah karena sempat curiga dengan mereka. Ah, mereka kelihatan manis
dan baik. Tak mungkin mereka adalah gembong narkoba atau semacamnya. Terlebih
lagi dengan lelaki cantik berambut panjang yang secara tidak langsung telah
menyelamatkannya.
Tadi,
ia bisa saja mengalami patah tulang karena terjatuh dari atas tembok setinggi 1
meter. Tapi ia ingat dengan pasti, ketika tubuhnya melayang, Joey bergerak dan
berusaha menangkap tubuhnya hingga ia tidak menghantam tanah dan bebatuan.
Salah
satu bukti lagi bahwa mereka bukan orang jahat. Ya ‘kan?
Ara
menatap mereka dengan tatapan penuh penyesalan.
“Maafkan
aku. Aku tidak bermaksud kurang ajar dan mengganggu istirahat malam kalian. Aku
hanya impulsif dan mencoba mencari tahu tentang kalian begitu saja tanpa tahu
sopan santun. Maafkan aku,” ucapnya.
“Namaku
Ara,” lanjutnya.
Dan
entah bagaimana mulanya, tiba-tiba saja situasi menjadi cair. Sorot wajah
mereka yang tadinya agak tegang mulai menghilang. Lelaki bernama Gio dan Woody
yang tadinya tampak sinis mulai terlihat santai.
“Syukurlah
kalau kesalah pahaman di antara kita bisa segera dijernihkan. Semoga kelak kita
akan menjadi tetangga yang baik. Senang bertemu denganmu,” Dika bangkit dari
kursinya dan mengulurkan tangan, meminta Ara untuk menjabatnya. Masih dengan
sedikit gugup Ara membalas jabat tangan tersebut.
“Sepertinya
umur kita tidak jauh berbeda. Jadi jangan terlalu bersikap formal seperti ini.”
ucapnya.
“I-iya,”
jawab Ara gugup.
“Semoga
kita semua bisa menjadi teman baik,”
Ara
kembali mengangguk kikuk seraya menyudahi jabat tangan mereka.
Joey
beranjak dan mengacak rambut Ara dengan lembut. “Maafkan untuk yang tadi ya?
Kau tak terluka ‘kan?”
“T-tidak.
T-terima karena kau tadi kau juga sempat menolongku,” Ara mengibaskan tangannya
dengan segera. Sikapnya yang gugup membuat beberapa dari mereka terkikik.
“Kak,
aku sudah mengobrol dengan adikmu, Habin. Ia anak yang baik dan pintar. Kami
pasti bisa jadi teman baik.” Pemuda bernama Dino membuka suara dengan ceria.
Ara
menyeringai dan mengangguk. “Terima kasih karena sudah bersikap baik
dengannya.” Ucapnya.
“Sekarang
... bolehkah aku pergi?” jantung Ara berdebar menunggu reaksi pemuda-pemuda
itu.
Dika
yang pertama kali tersenyum.
“Oke,
pulanglah. Ini sudah terlalu larut. Senang menerima kunjunganmu,” ucapnya.
Pipi
Ara bersemu merah. Ia tersenyum kaku. Kunjungan
apaan? Teriaknya dalam hati.
“Ngomong-ngomong
...” Josh menatap gadis itu dengan penasaran. “Apa kau akan pulang ke rumahmu
melewati tembok lagi?”
Joey
tertawa mendengar pertanyaan itu. Sementara Ara hanya berdiri kaku. Punggungnya
terasa tegang.
“Aku
– akan lewat pintu depan saja,” jawabnya kemudian. Ia membungkuk. “Terima kasih
atas sambutannya,” ia beranjak ke arah pintu. Karena terlalu tergesa-gesa,
gadis itu malah menjedotkan kepalanya sendiri ke kusen. Ia mengaduh seketika.
Dan pemuda-pemuda tampan di belakangnya tertawa geli.
Ara
memijit keningnya sendiri dengan kesal. Pintu sialan, desisnya.
***
Ara
bangun pagi-pagi sekali demi untuk membuatkan 6 kotak kue yang rencananya akan
ia berikan pada Dika dan saudara-saudaranya. Alasan pertama, sebagai ungkapan
permintaan maaf karena semalam ia menyelinap ke rumahnya. Kedua, sebagai ucapan
terima kasih karena telah memberikan Habin makan malam dan bersikap baik
padanya.
“Whoa,
untuk apa kakak membuat kue sebanyak ini?” Habin muncul dengan berpakain
seragam rapi.
“Aku
ingin memberikannya pada tetangga sebelah. Sebagai ucapan terima kasih karena
semalam telah memberikan kita makan malam yang lezat,” jawab Ara.
“Kakak
sudah bertemu dengan mereka?”
“Sudah,”
“Kapan?”
Ara
tak segera menjawab. “Tadi pagi-pagi sekali aku ke rumah mereka dan menyapa
mereka,”
“Apa
mereka baik?”
Ara
mengangguk. “Mereka baik, dan mereka ramah. Dan jumlah mereka banyak,”
“Banyak?
Sungguh?” Habin bertanya dengan antusias.
Ara
memahami sikapnya yang antusias. Selama ini ia kesepian. Ia sering menghabiskan
waktunya sendirian di rumah. Membayangkan ia punya tetangga laki-laki yang bisa
ia anggap sebagai kakak, terlebih jumlah mereka banyak dan sikap mereka ramah,
tentu Habin akan merasa senang sekali.
“Mereka
ber-enam. Mereka tampan, mereka baik, mereka ramah, dan mereka pasti akan bersikap
baik padamu. Yang bernama Dino, dia antusias sekali ingin berteman denganmu.
Sepertinya ia suka punya adik,” Ara makin terkekeh ketika menyaksikan kedua
mata Habin yang berbinar.
“Kakak
sudah berkenalan dengan mereka? Sudah hafal dengan nama mereka?”
Ara
mengangguk.
“Apa
pulang sekolah nanti aku diperbolehkan main ke rumah mereka?”
Ara
tak segera menjawab. “Nanti akan kakak tanyakan. Sekarang, berangkatlah ke
sekolah. Kau bisa terlambat,” gadis itu memasukkan sekotak kue yang dibungkus
warna berbeda dengan ke enam kotak yang lain ke dalam tas Habin.
“Sungguh?”
Ara
mengacak rambut adiknya dengan lembut sembari tersenyum dan mengangguk. Dengan
senyum lebar, bocah itu pamit pada kakaknya lalu beranjak menuju bis sekolah
yang sudah menunggu di depan rumah.
***
Dino
adalah orang yang membuka pintu ketika pagi itu Ara mampir ke rumahnya.
“Oh,
kak Ara. Masuklah. Kebetulan kami sedang sarapan kami. Ayo makan bersama kami,”
anak lelaki itu mengajak dengan sopan. Ara tersenyum lalu menggeleng.
“Tidak,
terima kasih. Aku hanya ingin menyerahkan ini,” ia menyodorkan satu tas berisi
6 kotak kue.
Dino
menggeleng.
“Ayo
masuk dulu. Sebentar saja tidak apa-apa. Mereka sedang berkumpul di meja
makan.” Ia menyentuh lengan Ara dengan sopan dan mengajaknya masuk ke rumah.
Dan gadis itu tak mampu menolak.
“Oh
iya, aku menceritakan tentang dirimu pada adikku. Dan dia senang sekali kau
bisa berteman dengannya,” ucap Ara ketika mereka melangkah berdampingan
menyusuri ruang tamu menuju ruang makan.
“Benarkah?”
Dino juga tak kalah antusias. “Sejak dulu aku sangat ingin punya adik
laki-laki. Apa aku juga boleh menganggapnya adik dan mengajaknya bermain?”
“Tentu
saja. Sejak dulu Habin ingin punya kakak laki-laki yang bisa mengajaknya
bermain sepak bola dan pergi memancing. Dia pasti senang sekali,” jawab Ara.
Dan kedua mata Dino makin berbinar.
Ketika
mereka sampai di ruang makan, pemuda-pemuda itu baru saja selesai sarapan pagi.
Ara
terperangah ketika menyaksiksan empat dari mereka berpakaian seragam yang sama
dengan dirinya.
“Selamat
pagi, Ara.” Dika yang pertama kali menyapa dengan ramah.
“Nah,
lebih menyenangkan bertamu lewat pintu ‘kan daripada meloncati tembok?” ujarnya
bercanda. Ara meringis. “Maaf,” jawabnya.
“Ada
sesuatu?”
Fokus
Ara pada seragam mereka yang sama segera teralih.
“Oh,
aku ingin memberikan ini.” Ara mengeluarkan 6 kotak kue dari dalam tas yang
sejak tadi dipegang ke atas meja.
“Aku
membuatnya sendiri. Anggaplah sebagai permintaan maaf karena semalam aku
bersikap tak sopan.” Ujarnya.
Joey,
Josh, Gio dan Woody berseru girang seraya menyerbu kotak-kotak kue tersebut.
“Woa,
ini kelihatan lezat sekali. Kami semua suka kue. Sungguh,” ucapan Jeoy
terdengar tulus. Lelaki cantik berambut panjang itu meraih sekotak kue dan
menatapnya dengan senang.
“Syukurlah
kalau kalian suka,” desis Ara lega.
“Kalian
memakai seragam yang sama denganku. Apa kalian bersekolah di tempatku?” tanya
Ara penasaran.
Mereka
mengangguk hampir bersamaan.
“Iya,
hari ini adalah hari pertama mereka masuk,” Dika menjawab.
“Semoga
kita akan menjadi teman yang baik. Aku berharap kami juga bisa satu kelas
denganmu. Akan terdengar menyenangkan sekali kalau bisa satu kelas dengan
tetangga sendiri,” ujar Josh.
“Jadi
kalau ada tugas, kita bisa minta bantuan padamu,” sahut Gio. Woody ikut
menyeringai senang. Keduanya segera mengangkat tangan dan melakukan high-five. Apa-apaan itu?
Tapi,
sungguh mereka orang yang menyenangkan. Tadinya Ara mengira mereka akan
bersikap tak ramah padanya. Tapi ternyata ia salah.
“Tapi
kenapa Dika dan Dino tidak memakai seragam?” Ara menatap ke arah Dino dan Dika
secara bergantian. Mereka masih mengenakan baju kasual. Celana dan sweater
tipis.
“Aku
dan Dino home schooling.” Jawab Dika. Dino mengangguk.
“Kami
lebih senang belajar di rumah daripada di sekolah,” ia menambahkan.
Ara
hanya manggut-manggut.
“Ngomong-ngomong,
kau membawa berapa kotak kue, Ara?” tanya Woody tiba-tiba.
“6.
Masing-masing dari kalian dapat 1.” Jawab Ara.
“Ah,
sayang sekali jumlahnya kurang.” Pemuda itu kembali berujar, masih dengan
tatapan menuju kotak kue di tangannya.
“Kurang?”
Ara berujar bingung.
Woody
mengangguk.
“Jumlah
kami bertujuh. Bukan berenam,” jawabnya.
“Eh?”
Ara mengernyit.
“Vernon.
Turunlah. Sudah waktunya berangkat ke sekolah,” kali ini Dika yang berteriak.
Dan
sesaat kemudian seorang pemuda yang juga berseragam sama dengan Ara muncul dari
lantai dua dan bergerak menuruni anak tangga dengan santai.
Pemuda
tampan berkulit bersih dengan rambut gondrong bergelombang dan terlihat sedikit
... messy. Seksi.
“Ayo,”
pemuda itu berjalan begitu saja melewati Joey, Josh, Gio, Woody dan juga
dirinya.
Tepat
ketika ia berpapasan dengan Ara, pemuda itu sempat meliriknya sekilas. Dan Ara
merasakan jantungnya berdebar. Ia mengenalnya!
Mata
itu!
Mata
coklat memikat yang pernah ia temui sebelumnya.
“Tunggu,”
Ara berbalik dan berlari-lari kecil mengejar Vernon. Pemuda itu tak
menghentikan langkah, terus berjalan menyusuri ruang tamu, teras hingga
halaman.
“Tunggu,”
Ara memberanikan diri menghadang langkahnya.
Vernon
menatapnya datar.
“Ada
sesuatu?” suaranya terdengar tak bersahabat.
Ara
menatap wajah di hadapannya dengan seksama.
“Apakah
itu kau?” Ia bertanya langsung. Vernon tak menjawab.
“Itu
kau ‘kan?” Ara kembali bertanya. “Kau yang menyelamatkan nyawaku dari dahan
jatuh beberapa waktu yang lalu. Ya ‘kan?”
“Kau
salah orang,” Vernon kembali melangkah, berjalan menyamping melewati Ara dan
meninggalkan gadis tersebut.
Ara
tak menyerah. Ia kembali mengekorinya.
“Aku
tidak salah orang. Itu pasti kau. Aku mampu mengingatmu dengan baik. Aku ingat
rambutmu. Aku ingat matamu. Aku ingat ...”
Vernon
mendesis kesal dan menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Sontak gerakan itu
membuat Ara menubruk punggungnya. “Ouch, maaf,” gadis itu meringis.
Vernon
menggit bibirnya lalu berbalik menatap Ara dengan jengkel.
“Jika
itu memang aku lantas kenapa? Bisakah kau tak banyak bicara seperti ini?”
ujarnya kesal.
Ara
tercengang. Tak mengira kalau pemuda itu akan bersikap kasar padanya.
“Kalian
berangkat atau tidak? Kalian lambat sekali,” ia berteriak ke arah empat
saudaranya yang masih berdiri di teras rumah, sibuk dengan kue pemberian Ara.
Pemuda
dengan rambut gondrong hingga seleher itu kembali melangkah. Membuka pintu
gerbang dengan kasar lalu menyusuri trotoar menuju halte bis di seberang jalan.
Merasa
tidak puas dengan jawaban pemuda tersebut, Ara memutuskan mengejarnya kembali.
“Tunggu,”
teriaknya. Karena terlalu tergesa-gesa, Ara kehilangan keseimbangan manakala
melewati pembatas jalan. Tubuhnya nyaris saja terjungkal di aspal jika saja
Vernon tidak sigap menarik lengan tangannya dan meraih pinggangnya yang kecil.
Lagi-lagi ia menyelamatkan dirinya.
“Bisakah
kau berjalan hati-hati?! Kau bisa jatuh!” bentaknya.
Ara
menatap Vernon yang tengah mencengkeram lengan tangannya dengan tatapan
bingung. Pandangan mereka beradu. Lama.
Kenapa
tiba-tiba pemuda ini marah?
Dan,
kenapa tatapan mata coklatnya memancarkan sesuatu yang ... berbeda?
***
Bersambung
....
p.s.
Btw,
ini cerita ini fiktif belaka. Hanya bertujuan untuk menghibur. Tidak bermaksud
untuk membawa ajaran agama manapun. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar