Rabu, 04 Mei 2016

NEPHILIM #1





Langkah kecil itu membelah genangan air di sepanjang jalan yang ia lewati. Menciptakan suara kecipak dan cipratan-cipratan air ke tulang betis hingga lutut. Hujan masih turun dengan deras, tapi langkahnya tak surut. Ia terus berjalan dengan tergesa-gesa. Tangan kiri sibuk memegang tas belanjaan, sementara tangan kanan sibuk memegang payung. Beberapa kali langkahnya melambat karena terpaan angin yang datang dengan tiba-tiba. Namun dengan mempererat pegangan di gagang payung, segera langkah kakinya kembali cepat.

Ara mengeluh kesal. Sekarang sudah jam 9 malam. Harusnya ia sudah berada di rumah sejak 2 jam yang lalu. Tapi karena beberapa tugas kelompok yang harus ia selesaikan di sekolah, kepulangannya menjadi tertunda. Belum lagi ia harus mampir dulu ke pasar untuk berbelanja kebutuhan makan malam. Ah, ia khawatir dengan Habin. Adik lelakinya itu pasti sendirian di rumah.
Apakah ia sudah makan? Apakah ia ketakutan dengan hujan badai ini? Gadis itu bergumam bingung.

Langkah kakinya baru sampai di perempatan jalan, dua blok dari rumahnya, ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara bergemuruh.
Spontan gadis itu berhenti lalu mengalihkan payungnya untuk melihat ke  arah datangnya suara gemuruh tersebut. Ia menggerakkan payungnya dengan perlahan, lalu mendongak dengan hati-hati. Dan  di sana! Tepat di atas kepalanya, cabang pohon itu bergerak dengan dasyat, menimbulkan suara gemeretak, lalu meluncur ke arah dirinya!

Kedua bola mata Ara membelalak. Kakinya ingin berlari tapi entah mengapa ia seperti kehabisan tenaga. Bahkan untuk berteriak saja ia seakan tak mampu. Ibu ... hatinya memekik.

Dan itu terjadi dengan begitu cepat.
“Awas!” Seseorang berteriak, menubruk dirinya dengan tubuhnya sendiri, hingga gadis itu terpental, menjauh, tepat ketika cabang pohon itu berdebum ke tanah.

Ara meringis. Tubuhnya terjatuh ke aspal. Tapi anehnya ia merasa aman. Seseorang mendekap tubuhnya dengan sikap protektif.
“Kau baik-baik saja?”
Dan suara itu seakan membangunkannya dari koma. Kedua matanya terbuka dan segera tatapan mata itu beradu dengan mata coklat memikat dari seorang pemuda yang tengah mendekap tubuhnya.
Ara menelan ludah. Keduanya berpandangan.

“Kau baik-baik saja?” Pemuda itu kembali bertanya cemas. Matanya coklat terang memikat. Rambutnya yang agak panjang nampak basah oleh rintikan air hujan.
Ara menelan ludah. “Aku ... baik.” Jawabnya lirih.
Pemuda itu beringsut dari atas tubuhnya lalu membantunya untuk duduk. “Syukurlah,” ia menggumam.
Ara menatap sekelilingnya dengan bingung.

Tampak cabang pohon berserakan di atas trotoar dan sebagian jalan. Tas belanjaannya berikut isinya berantakan tak karuan. Sementara payungnya, ah, entah terbang kemana.
Tak berapa lama orang-orang mulai datang berkerumun. Beberapa pengendara mobil juga berhenti demi untuk menghindari cabang pohon yang nyaris menutup jalan. Dalam waktu singkat, situasi menjadi ramai. Suara klakson di mana-mana.
“Nona, kau tak apa-apa?”
“Apa kau terluka?”
“Apa perlu kami antar ke rumah sakit?”
Beberapa orang mendekat dan menanyainya dengan cemas.

Ara terduduk dengan linglung. Masih dengan tubuh yang sedikit gemetar karena syok, ia menatap ke arah beberapa orang yang melihatnya dengan cemas.
“Aku ...baik-baik saja,” jawab Ara lirih. “Dia  ... menyelamatkanku,” gadis itu menengok ke arah pemuda yang tadi mendekapnya. Dan ia menyadari ... pemuda itu sudah tidak ada.

Ara melihat sekeliling dengan bingung. Dan ia benar-benar sadar, pemuda bermata coklat  itu sudah tidak ada.

***

Ara membuka pintu dengan tergesa-gesa lalu menyeruak masuk tanpa terlebih dahulu melepas sepatu. Ia gadis yang rapi, biasanya ia akan melepas sepatunya lalu menatanya di rak dengan baik sebelum masuk ke dalam rumah. Tapi malam itu, ia seolah tak sempat melakukannya.

“Habin!” Ia menyusuri ruang tamu dan mendekat ke anak tangga, memanggil nama adik lelakinya.
Terdengar derap kaki dan beberapa saat kemudian seorang bocah berusia 7 tahun muncul, menuruni anak tangga dengan lincah.
“Ah, kakak lama sekali,” ia mencicit.

Ara menarik nafas lega.
“Maaf kakak terlambat pulang. Tiba-tiba saja kakak punya tugas sekolah dan harus di selesaikan di sana,” gadis itu meletakkan tas ranselnya di meja dekat anak tangga lalu memutar langkah menuju dapur masih sambil menenteng tas kresek berisi barang belanjaan.
Barang belanjaan itu sebenarnya sempat tercecer di jalan setelah ia mengalami insiden ‘dahan jatuh’. Tapi beberapa orang baik hati membantunya mengumpulkan kembali barang-barang belanjaan tersebut, bahkan memberikannya tas kresek baru.

“Kenapa kakak basah kuyup dan kotor begitu? Apa kakak habis jatuh? Kakak kehujanan? Kakak tak membawa payung?” Habin bertanya terus menerus seperti biasanya. Ara menatap tubuhnya sendiri. Ia baru tersadar bahwa ia basah kuyup, seragamnya kotor, dan ia kelihatan dekil.

“Iya, kakak terpeleset dan terjatuh. Payungnya rusak, jadi kakak membuangnya. Tapi kakak tak apa-apa kok,” jawabnya seraya menyunggingkan senyum manis di depan adiknya.
“Tunggulah di kamar lagi. kakak akan membuatkanmu makan malam,” Ia memerintah lembut.
Habin menggeleng.
“Aku sudah makan malam kok,”
Kening Ara mengernyit.
“Apa kau bisa memasak sesuatu untuk makan malam? Apa kau membuat mie instan?”
Pertanyaan itu disambut gelengan oleh Habin.
“Tetangga sebelah memberiku kue dan juga makan malam. Enak sekali. Tuh, masih ada sisanya. Mereka memberiku banyak. Masih cukup untuk kakak,” jawabnya.

Ara menatap adiknya dengan heran. Ia tak ingat bahwa ia punya tetangga.
Sejak orang tua mereka meninggal sekitar dua tahun lalu karena kecelakaan, ia tinggal berdua saja dengan adiknya. Dan ia yakin bahwa ia tak punya ‘tetangga sebelah’.
Sebelah kiri rumahnya berupa lahan kosong yang ditumbuhi tanaman liar. Sementara sebelah kanan rumahnya hanya ada sebuah rumah tua yang sudah lama tak berpenghuni.
“Tetangga siapa, Habin? Dari bibi Julia?” Ara menyebutkan nama bibi Julia, seorang bibi paruh baya yang baik hati, yang juga sering berkunjung ke rumahnya dengan membawakan makanan dan kue. Tapi rumah bibi Julia sekitar 500 meter dari sini.

Habin menggeleng.
“Oh, kakak belum tahu. Kita punya tetangga baru. Rumah kosong di sebelah rumah kita sudah berpenghuni. Mereka bilang, mereka baru datang tadi siang.”
“Mereka?”
Habin mengangguk. “Tadi sore 2 orang kakak laki-laki datang kemari, menyapaku, dan membawakan ini semua,” bocah itu bergerak, menuju meja makan, dan membuka penutup hidangan. Tampak ada beberapa kue, puding, dan juga makanan di sana. Keadaan itu tak pelak menimbulkan wajah sumringah pada Habin.
“Kak Dino dan Dika terlihat baik dan sopan.  Mereka juga bilang bahwa aku boleh berkunjung balik ke rumahnya,”
“Dino dan Dika?” Ara mengulang.
“Iya, mereka tampan sekali. Sepertinya seumuran dengan kakak.” Senyum merekah di bibir adiknya.
“Habin, berhati-hatilah dengan orang asing.” Ara memperingatkan.
“Aku selalu hati-hati, kak. Tapi mereka terlihat baik sekali.” Jawab adiknya.

“Oke, kalau begitu besok pagi kita akan berkunjung ke rumahnya untuk mengucapkan terima kasih. Sekarang, kembalilah ke kamarmu. Kakak akan bersih-bersih sebentar,”
Habin tak berhenti tersenyum lalu beranjak menaiki tangga dengan lincah, menuju kamarnya.

Dengan bersedekap heran, Ara menatap serangkaian hidangan di atas meja makan.
Tetangga baru? Tepat di sebelah rumahnya? Rumah yang telah kosong selama beberapa tahun dan terkenal berhantu?
Ah, Ara harus mencari tahu tentang keberadaan mereka.

***

Menunggu hingga besok pagi adalah hal paling mustahil yang bisa di lakukan oleh Ara.
Ia takkan bisa menunggu hingga berjam-jam demi mengetahui orang macam apa yang tinggal di sebelah rumahnya.
Alasannya hanya karena ia merasa penasaran akut. Begitulah dirinya.
Ia takkan bisa tidur dengan nyenyak jika ada sesuatu yang ingin ia ketahui dan ia belum tahu jawabannya. Ia hanya ingin tahu, orang macam apa yang ada di dalam rumah tersebut. Yang jelas, hanya orang kaya yang mampu menempati rumah tersebut.
Rumah itu begitu besar. Nyaris 4 kali lipat dari rumah yang ia tempati saat ini. Jika bukan orang yang  punya banyak uang, mereka takkan mampu menyewa ataupun membeli tempat tersebut.

Apa mereka keluarga bahagia yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak? Atau hanya sekumpulan anak muda yang menjadikan rumah tersebut untuk berkumpul-kumpul dan melakukan bisnis kotor, seperti narkoba misalnya, persis seperti yang ada di film-film?
Jika memang begitu, akan ia pastikan mereka tak menyentuh Habin, sedikitpun!

Dan sekarang, di sinilah dia akhirnya.

Hampir tengah malam ketika ia memutuskan untuk mengendap-endap di samping rumah tua tersebut, kemudian dengan keahlian yang sudah ia miliki sejak kecil, ia memutuskan menaiki tembok setinggi 1 meter yang dibangun mengelilingi rumah itu. Rumah tua menyerupai kastil yang sudah tidak berpenghuni sejak ia masih kecil dan konon berhantu, itu yang dibilang orang-orang.

Tapi ia tak percaya. Toh sejak ia bisa memanjat, ia sudah sering memasuki rumah itu dari segala penjuru. Dari pagar depan, tembok di kanan kiri rumah, atau bahkan tembok kokoh di belakang rumah yang tingginya hampir dua kali lipat.

Rumah itu bahkan boleh dibilang sebagai tempat permainannya sejak kecil. Ketika kedua orang tuanya sibuk bekerja, atau ketika ia di marahi oleh ibunya, yang ia lakukan adalah menaiki pohon di sebelah rumah, lalu menjangkau tembok pembatas, kemudian meloncat ke dalam sana dengan baik.

Tapi memasuki rumah kosong dengan rumah berpenghuni tentu saja dua  hal yang berbeda. Jika dulu ia bisa memanjat tembok dan memasuki rumah itu dengan seenaknya, kali ini ia harus hati-hati. Jika ia sampai ketahuan mengendap-endap seperti ini, ia bisa dituduh sebagai pencuri!

“Apa kau naik ke sana untuk mencuri?”

Suara itu nyaris membuat Ara kehilangan keseimbangan. Ia mencari arah datangnya suara tersebut, dan tatapan matanya menemukan seorang perempuan cantik berambut panjang, berada beberapa meter di bawah tembok tempat ia berada.
Perempuan cantik dengan rambut panjang sepinggang yang ia biarkan terurai begitu saja. Cantik, anggun, dan mempesona. Jika Ara tak salah menerka, umurnya sekitar 5 tahun lebih tua darinya. Mungkin lebih pantas ia menyebutnya kakak.

Perempuan itu menatapnya dengan tatapan geli sembari berkacak pinggang.  
“Oke, nona. Turunlah ke sini dengan baik-baik, atau aku terpaksa menelpon polisi,” ucapnya lagi.

Mendengar nama polisi, nyali Ara langsung ciut seketika. Tadinya ia berniat meloncat dan turun ke sisi rumahnya sendiri. Tapi karena kurang konsentrasi, ia kehilangan keseimbangan.
Gadis itu menjerit manakalah tubuhnya melayang dan ... bruukk!!
Ia jatuh tepat di atas tubuh perempuan tersebut.
Oh, bukan. Perempuan itu sepertinya sengaja menangkap tubuhnya agar  ia tidak menghantam tanah.
Oh, perhatian sekali.

Kedua mata Ara mengerjap. Ia mendongak, dan mendapati dirinya terbaring di atas tubuhnya.
“Kau tak apa-apa?” Ia bertanya dengan suara lembut.
Tanpa menjawab Ara berusaha bangkit. Di tengah usahanya untuk bangun, tanpa sadar kedua tangannya menekan dada perempuan tersebut. Reflek, ia setengah meraba dan mendapati bahwa dada perempuan itu rata.

Ara mendelik.
Rata? Mana ada perempuan yang dadanya rata dan nyaris tak punya payudara seperti ini?
Gadis itu membelalak. Tunggu, dia bukan bukan perempuan! Dia laki-laki!

Sosok yang terbaring di bawahnya ini adalah ... laki-laki!

“Kau ...” Ara buru-buru menarik dirinya lalu berusaha bangkit. Lelaki yang sempat ia kira sebagai perempuan itu juga bangkit dan berdiri. Gadis mungil itu berniat melarikan diri, tapi dengan cekatan, lelaki berambut panjang itu menarik lengannya. Ara sempat meronta, namun tubuhnya malah dibanting dengan pelan ke tanah. Gadis itu sempat menjerit lirih. Bukan karena sakit, tapi hanya karena kaget. Tak mengira bahwa lelaki itu akan membantingnya.
Belum sempat ia kembali ke akal sehatnya, lelaki itu mencengkeram tangannya kemudian menariknya ke atas kepala, lalu ia duduk di atas pinggulnya.
“Pencuri,” desisnya, tepat di depan wajah Ara.
“Aku ... tidak ...”
“Josh! Kemarilah!” ia berteriak.

Selang beberapa waktu, seorang lelaki lain muncul.
“Ada apa?” tanyanya.
Sorot lampu taman tak begitu terang. Tapi Ara tetap sukses menatap sosok lelaki jangkung bermata bening yang kini telah berdiri tak jauh darinya. Menatap ia dan juga lelaki berambut panjang yang duduk di atas pinggulnya dengan geli. Oh, Ara seakan baru sadar bahwa ia berada di posisi yang tak nyaman.
Terbaring terlentang di tanah dengan lelaki di atasnya dan ... rok pendek yang ia kenakan nyaris tersingkap.

Ara menggerutu. Orang sinting mana yang memakai rok ketika punya pikiran untuk menyelinap ke rumah orang?!

Tapi, rok pendek adalah pakaian kesukaannya. Hampir semua item bajunya berupa kaos dan rok pendek, semacam rok tennis. Dan ia memang selalu memakai pakaian itu ketika di rumah.
Tadi ia hanya berniat menaiki tembok dan mengintip rumah tua ini sebentar. Mana tahu kalau ia akan ketahuan? Mana tahu kalau ia akan terjatuh di atas tubuh lelaki ini? Mana tahu bahwa akan ada lelaki cantik yang membanting tubuhnya dan sekarang duduk di atas tubuhnya?!

“Joey, berdirilah dari sana. Kau membuatnya ketakutan,” Lelaki bermata bening itu berujar lembut.
“Dia mengendap-endap di sekitar rumah kita. Bisa saja ia pencuri. Aku berniat memberinya sedikit pelajaran,” Lelaki yang dipanggil Joey itu menjawab geli.
“Kita bawa saja dia masuk,”

Ara menelan ludah. Sebelum sempat ia berkata-kata, lelaki itu melepaskan cengkeraman tangannya lalu bangkit.
“Oke, Josh. Kau saja yang membawanya masuk,” ia mengibaskan rambutnya yang panjang lalu beranjak.
Lelaki yang dipanggil Josh itu tersenyum lalu melangkah mendekati Ara yang masih berbaring di tanah.
“Ayo masuk dulu ke rumah kami,” ajaknya. Ucapannya sarkastik. Dan Ara pucat seketika.

****

Ara menelan ludah.
Josh membawanya masuk ke dalam rumah. Ia membawanya ke ruang tengah dan mendudukkannya di kursi di dekat ruang utama, sementara 6 pasang mata menatapnya dengan penuh selidik.
Serius, 6 PASANG MATA!

Glek, Ara kembali menelan ludah dengan susah. Jika saja situasinya sedikit berbeda, ia pasti sudah jatuh bangun terpesona.
Bayangkan saja, saat ini ada 6 lelaki dengan ketampanan di atas rata-rata, berdiri di hadapannya. Pemuda-pemuda yang seolah umurnya tak jauh berbeda denganya,  yang menawan bagaikan bintang drama, dan ... sungguh, mereka tampan.
Pemuda-pemuda itu menatapnya penuh selidik dan menghakimi. Seolah Ara adalah sosok tersangka yang siap diinterogasi.

“Dia menaiki tembok rumah kita dan mengendap-endap,” lelaki cantik yang dipanggil Jeoy oleh si Josh membuka suara.
“Apa kau datang mencuri?” Kali ini, suara itu datang dari lelaki bermata sipit yang berdiri di samping sosok paling tinggi.
“Tidak!” Ara menjawab cepat. “Aku hanya ingin ...” Kalimatnya terhenti. Apa yang akan ia katakan? Toh mengendap-endap di rumah orang pada malam hari tetap saja tak bisa dibenarkan.

“Apa kau tinggal di rumah sebelah?” Dan suara itu datang dari lelaki berhidung mancung yang wajahnya tampak bijak. Satu-satunya lelaki yang duduk di ruangan tersebut.
“Ya,” Ara menjawab cepat lagi. Ia memberanikan diri menatap mereka satu persatu.
“Aku bukan pencuri, sungguh. Aku hanya penasaran. Tadi adikku mengatakan bahwa orang bernama Dino dan Dika datang ke rumah dan memberikan makanan. Sebenarnya aku ingin ke sini besok pagi mengucapkan terima kasih. Tapi aku terlalu penasaran dan memutuskan menaiki tembok untuk mengintip –“
“Kenapa kau mengintip?” Lelaki paling jangkung memotong.
“Karena ---,” Ara   menggaruk-garuk kepalanya dengan bingung. Sial, apa yang akan ia katakan.

“Kau curiga kalau kami adalah sekumpulan orang jahat?” ia kembali bertanya.
“Itu ---,”
“Kami bukan orang jahat. Percayalah,” yang berwajah paling bijak kembali bersuara. “Kami hanya sekumpulan saudara yang hidup mandiri dan baru pindah ke sini. Akulah yang datang ke rumahmu tadi sore,” lanjutnya. Ia tersenyum manis. “Aku Dika,”

Ara menatapnya dalam. Wajahnya tidak mencerminkan orang jahat sama sekali.
“Kalian bersaudara?”
Dika mengangguk. “Tidak sedarah. Kami saudara jauh. Tapi kami dekat sekali layaknya saudara kandung,” jawabnya.
“Biarkan kami memperkenalkan diri secara resmi agar tidak ada kesalah pahaman. Aku Dika, dia Dino,” Ia menunjuk anak lelaki yang terlihat paling muda di antara mereka, yang berdiri dengan tenang di sampingnya. Jika Ara tak salah mengira, ia masih duduk di bangku SMP.
“Ini Gio,” ia menunjuk ke arah pemuda berkulit coklat dan paling jangkung, “Lalu Woody,” kali ini menunjuk ke arah lelaki bermata kecil dan berwajah dingin di sisinya.

“Dan yang baru berurusan denganmu, Josh dan Joey,” ia menunjuk pada dua pemuda yang tadi bertemu pertama kali dengan Ara. Satu pemuda cantik dan satu pemuda tampan yang berdiri dengan tenang di dekat kusen jendela.

“Kami baru pindah ke sini tadi siang. Tadinya kami ingin ke rumahmu untuk menyapamu agar kita bisa menjadi tetangga yang baik. Tapi kami hanya bertemu dengan adikmu saja. Maaf jika perkenalan ini sedikit terlambat.” Lanjutnya.

Ara merasa bersalah karena sempat curiga dengan mereka. Ah, mereka kelihatan manis dan baik. Tak mungkin mereka adalah gembong narkoba atau semacamnya. Terlebih lagi dengan lelaki cantik berambut panjang yang secara tidak langsung telah menyelamatkannya.
Tadi, ia bisa saja mengalami patah tulang karena terjatuh dari atas tembok setinggi 1 meter. Tapi ia ingat dengan pasti, ketika tubuhnya melayang, Joey bergerak dan berusaha menangkap tubuhnya hingga ia tidak menghantam tanah dan bebatuan.
Salah satu bukti lagi bahwa mereka bukan orang jahat. Ya ‘kan?

Ara menatap mereka dengan tatapan penuh penyesalan.
“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud kurang ajar dan mengganggu istirahat malam kalian. Aku hanya impulsif dan mencoba mencari tahu tentang kalian begitu saja tanpa tahu sopan santun. Maafkan aku,” ucapnya.
“Namaku Ara,” lanjutnya.

Dan entah bagaimana mulanya, tiba-tiba saja situasi menjadi cair. Sorot wajah mereka yang tadinya agak tegang mulai menghilang. Lelaki bernama Gio dan Woody yang tadinya tampak sinis mulai terlihat santai.

“Syukurlah kalau kesalah pahaman di antara kita bisa segera dijernihkan. Semoga kelak kita akan menjadi tetangga yang baik. Senang bertemu denganmu,” Dika bangkit dari kursinya dan mengulurkan tangan, meminta Ara untuk menjabatnya. Masih dengan sedikit gugup Ara membalas jabat tangan tersebut.
“Sepertinya umur kita tidak jauh berbeda. Jadi jangan terlalu bersikap formal seperti ini.” ucapnya.
“I-iya,” jawab Ara gugup.
“Semoga kita semua bisa menjadi teman baik,”
Ara kembali mengangguk kikuk seraya menyudahi jabat tangan mereka.

Joey beranjak dan mengacak rambut Ara dengan lembut. “Maafkan untuk yang tadi ya? Kau tak terluka ‘kan?”
“T-tidak. T-terima karena kau tadi kau juga sempat menolongku,” Ara mengibaskan tangannya dengan segera. Sikapnya yang gugup membuat beberapa dari mereka terkikik.

“Kak, aku sudah mengobrol dengan adikmu, Habin. Ia anak yang baik dan pintar. Kami pasti bisa jadi teman baik.” Pemuda bernama Dino membuka suara dengan ceria.
Ara menyeringai dan mengangguk. “Terima kasih karena sudah bersikap baik dengannya.” Ucapnya.
“Sekarang ... bolehkah aku pergi?” jantung Ara berdebar menunggu reaksi pemuda-pemuda itu.
Dika yang pertama kali tersenyum.
“Oke, pulanglah. Ini sudah terlalu larut. Senang menerima kunjunganmu,” ucapnya.
Pipi Ara bersemu merah. Ia tersenyum kaku. Kunjungan apaan? Teriaknya dalam hati.

“Ngomong-ngomong ...” Josh menatap gadis itu dengan penasaran. “Apa kau akan pulang ke rumahmu melewati tembok lagi?”
Joey tertawa mendengar pertanyaan itu. Sementara Ara hanya berdiri kaku. Punggungnya terasa tegang.
“Aku – akan lewat pintu depan saja,” jawabnya kemudian. Ia membungkuk. “Terima kasih atas sambutannya,” ia beranjak ke arah pintu. Karena terlalu tergesa-gesa, gadis itu malah menjedotkan kepalanya sendiri ke kusen. Ia mengaduh seketika. Dan pemuda-pemuda tampan di belakangnya tertawa geli.

Ara memijit keningnya sendiri dengan kesal. Pintu sialan, desisnya.

***

Ara bangun pagi-pagi sekali demi untuk membuatkan 6 kotak kue yang rencananya akan ia berikan pada Dika dan saudara-saudaranya. Alasan pertama, sebagai ungkapan permintaan maaf karena semalam ia menyelinap ke rumahnya. Kedua, sebagai ucapan terima kasih karena telah memberikan Habin makan malam dan bersikap baik padanya.

“Whoa, untuk apa kakak membuat kue sebanyak ini?” Habin muncul dengan berpakain seragam rapi.
“Aku ingin memberikannya pada tetangga sebelah. Sebagai ucapan terima kasih karena semalam telah memberikan kita makan malam yang lezat,” jawab Ara.
“Kakak sudah bertemu dengan mereka?”
“Sudah,”
“Kapan?”
Ara tak segera menjawab. “Tadi pagi-pagi sekali aku ke rumah mereka dan menyapa mereka,”
“Apa mereka baik?”
Ara mengangguk. “Mereka baik, dan mereka ramah. Dan jumlah mereka banyak,”
“Banyak? Sungguh?” Habin bertanya dengan antusias.

Ara memahami sikapnya yang antusias. Selama ini ia kesepian. Ia sering menghabiskan waktunya sendirian di rumah. Membayangkan ia punya tetangga laki-laki yang bisa ia anggap sebagai kakak, terlebih jumlah mereka banyak dan sikap mereka ramah, tentu Habin akan merasa senang sekali.

“Mereka ber-enam. Mereka tampan, mereka baik, mereka ramah, dan mereka pasti akan bersikap baik padamu. Yang bernama Dino, dia antusias sekali ingin berteman denganmu. Sepertinya ia suka punya adik,” Ara makin terkekeh ketika menyaksikan kedua mata Habin yang berbinar.

“Kakak sudah berkenalan dengan mereka? Sudah hafal dengan nama mereka?”
Ara mengangguk.
“Apa pulang sekolah nanti aku diperbolehkan main ke rumah mereka?”
Ara tak segera menjawab. “Nanti akan kakak tanyakan. Sekarang, berangkatlah ke sekolah. Kau bisa terlambat,” gadis itu memasukkan sekotak kue yang dibungkus warna berbeda dengan ke enam kotak yang lain ke dalam tas Habin.

“Sungguh?”
Ara mengacak rambut adiknya dengan lembut sembari tersenyum dan mengangguk. Dengan senyum lebar, bocah itu pamit pada kakaknya lalu beranjak menuju bis sekolah yang sudah menunggu di depan rumah.

***

Dino adalah orang yang membuka pintu ketika pagi itu Ara mampir ke rumahnya.
“Oh, kak Ara. Masuklah. Kebetulan kami sedang sarapan kami. Ayo makan bersama kami,” anak lelaki itu mengajak dengan sopan. Ara tersenyum lalu menggeleng.
“Tidak, terima kasih. Aku hanya ingin menyerahkan ini,” ia menyodorkan satu tas berisi 6 kotak kue.
Dino menggeleng.
“Ayo masuk dulu. Sebentar saja tidak apa-apa. Mereka sedang berkumpul di meja makan.” Ia menyentuh lengan Ara dengan sopan dan mengajaknya masuk ke rumah. Dan gadis itu tak mampu menolak.

“Oh iya, aku menceritakan tentang dirimu pada adikku. Dan dia senang sekali kau bisa berteman dengannya,” ucap Ara ketika mereka melangkah berdampingan menyusuri ruang tamu menuju ruang makan.
“Benarkah?” Dino juga tak kalah antusias. “Sejak dulu aku sangat ingin punya adik laki-laki. Apa aku juga boleh menganggapnya adik dan mengajaknya bermain?”
“Tentu saja. Sejak dulu Habin ingin punya kakak laki-laki yang bisa mengajaknya bermain sepak bola dan pergi memancing. Dia pasti senang sekali,” jawab Ara. Dan kedua mata Dino makin berbinar.

Ketika mereka sampai di ruang makan, pemuda-pemuda itu baru saja selesai sarapan pagi.
Ara terperangah ketika menyaksiksan empat dari mereka berpakaian seragam yang sama dengan dirinya.
“Selamat pagi, Ara.” Dika yang pertama kali menyapa dengan ramah.
“Nah, lebih menyenangkan bertamu lewat pintu ‘kan daripada meloncati tembok?” ujarnya bercanda. Ara meringis. “Maaf,” jawabnya.
“Ada sesuatu?”
Fokus Ara pada seragam mereka yang sama segera teralih.
“Oh, aku ingin memberikan ini.” Ara mengeluarkan 6 kotak kue dari dalam tas yang sejak tadi dipegang ke atas meja.
“Aku membuatnya sendiri. Anggaplah sebagai permintaan maaf karena semalam aku bersikap tak sopan.” Ujarnya.

Joey, Josh, Gio dan Woody berseru girang seraya menyerbu kotak-kotak kue tersebut.
“Woa, ini kelihatan lezat sekali. Kami semua suka kue. Sungguh,” ucapan Jeoy terdengar tulus. Lelaki cantik berambut panjang itu meraih sekotak kue dan menatapnya dengan senang.
“Syukurlah kalau kalian suka,” desis Ara lega.

“Kalian memakai seragam yang sama denganku. Apa kalian bersekolah di tempatku?” tanya Ara penasaran.
Mereka mengangguk hampir bersamaan.
“Iya, hari ini adalah hari pertama mereka masuk,” Dika menjawab.
“Semoga kita akan menjadi teman yang baik. Aku berharap kami juga bisa satu kelas denganmu. Akan terdengar menyenangkan sekali kalau bisa satu kelas dengan tetangga sendiri,” ujar Josh.
“Jadi kalau ada tugas, kita bisa minta bantuan padamu,” sahut Gio. Woody ikut menyeringai senang. Keduanya segera mengangkat tangan dan melakukan high-five. Apa-apaan itu?

Tapi, sungguh mereka orang yang menyenangkan. Tadinya Ara mengira mereka akan bersikap tak ramah padanya. Tapi ternyata ia salah.

“Tapi kenapa Dika dan Dino tidak memakai seragam?” Ara menatap ke arah Dino dan Dika secara bergantian. Mereka masih mengenakan baju kasual. Celana dan sweater tipis.
“Aku dan Dino home schooling.” Jawab Dika. Dino mengangguk.
“Kami lebih senang belajar di rumah daripada di sekolah,” ia menambahkan.
Ara hanya manggut-manggut.

“Ngomong-ngomong, kau membawa berapa kotak kue, Ara?” tanya Woody tiba-tiba.
“6. Masing-masing dari kalian dapat 1.” Jawab Ara.
“Ah, sayang sekali jumlahnya kurang.” Pemuda itu kembali berujar, masih dengan tatapan menuju kotak kue di tangannya.
“Kurang?” Ara berujar bingung.
Woody mengangguk.
“Jumlah kami bertujuh. Bukan berenam,” jawabnya.
“Eh?” Ara mengernyit.

“Vernon. Turunlah. Sudah waktunya berangkat ke sekolah,” kali ini Dika yang berteriak.
Dan sesaat kemudian seorang pemuda yang juga berseragam sama dengan Ara muncul dari lantai dua dan bergerak menuruni anak tangga dengan santai.

Pemuda tampan berkulit bersih dengan rambut gondrong bergelombang dan terlihat sedikit ... messy. Seksi.
“Ayo,” pemuda itu berjalan begitu saja melewati Joey, Josh, Gio, Woody dan juga dirinya.

Tepat ketika ia berpapasan dengan Ara, pemuda itu sempat meliriknya sekilas. Dan Ara merasakan jantungnya berdebar. Ia mengenalnya!
Mata itu!
Mata coklat memikat yang pernah ia temui sebelumnya.

“Tunggu,” Ara berbalik dan berlari-lari kecil mengejar Vernon. Pemuda itu tak menghentikan langkah, terus berjalan menyusuri ruang tamu, teras hingga halaman.
“Tunggu,” Ara memberanikan diri menghadang langkahnya.

Vernon menatapnya datar.
“Ada sesuatu?” suaranya terdengar tak bersahabat.
Ara menatap wajah di hadapannya dengan seksama.
“Apakah itu kau?” Ia bertanya langsung. Vernon tak menjawab.
“Itu kau ‘kan?” Ara kembali bertanya. “Kau yang menyelamatkan nyawaku dari dahan jatuh beberapa waktu yang lalu. Ya ‘kan?”
“Kau salah orang,” Vernon kembali melangkah, berjalan menyamping melewati Ara dan meninggalkan gadis tersebut.
Ara tak menyerah. Ia kembali mengekorinya.
“Aku tidak salah orang. Itu pasti kau. Aku mampu mengingatmu dengan baik. Aku ingat rambutmu. Aku ingat matamu. Aku ingat ...”
Vernon mendesis kesal dan menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Sontak gerakan itu membuat Ara menubruk punggungnya. “Ouch, maaf,” gadis itu meringis.

Vernon menggit bibirnya lalu berbalik menatap Ara dengan jengkel.
“Jika itu memang aku lantas kenapa? Bisakah kau tak banyak bicara seperti ini?” ujarnya kesal.
Ara tercengang. Tak mengira kalau pemuda itu akan bersikap kasar padanya.

“Kalian berangkat atau tidak? Kalian lambat sekali,” ia berteriak ke arah empat saudaranya yang masih berdiri di teras rumah, sibuk dengan kue pemberian Ara.
Pemuda dengan rambut gondrong hingga seleher itu kembali melangkah. Membuka pintu gerbang dengan kasar lalu menyusuri trotoar menuju halte bis di seberang jalan.

Merasa tidak puas dengan jawaban pemuda tersebut, Ara memutuskan mengejarnya kembali.
“Tunggu,” teriaknya. Karena terlalu tergesa-gesa, Ara kehilangan keseimbangan manakala melewati pembatas jalan. Tubuhnya nyaris saja terjungkal di aspal jika saja Vernon tidak sigap menarik lengan tangannya dan meraih pinggangnya yang kecil. Lagi-lagi ia menyelamatkan dirinya.

“Bisakah kau berjalan hati-hati?! Kau bisa jatuh!” bentaknya.

Ara menatap Vernon yang tengah mencengkeram lengan tangannya dengan tatapan bingung. Pandangan mereka beradu. Lama.

Kenapa tiba-tiba pemuda ini marah?
Dan, kenapa tatapan mata coklatnya memancarkan sesuatu yang ... berbeda?


***

Bersambung ....

p.s.
Btw, ini cerita ini fiktif belaka. Hanya bertujuan untuk menghibur. Tidak bermaksud untuk membawa ajaran agama manapun. Terima kasih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar