Bab 6
Hilda menatap Richard yang berdiri membelakanginya
di depan jendela ruang tengah. Selama dalam perjalanan pulang dari pesta
tersebut, mereka sama-sama tak membuka suara sedikitpun.
“Sekarang, apa yang ingin kau
jelaskan? Akankah kau kembali mengelak bahwa kau memang benar-benar tertarik
pada wanita itu setelah apa yang kau lakukan padanya tadi?” akhirnya Hilda
membuka suara. Richard tak menjawab. Pandangannya lurus menerobos jendela ke
arah taman bunga di luar sana. Tangan kirinya ia kepalkan di dalam saku
celananya sementara tangan yang satunya ia sandarkan pada kusen jendela. Masih
terlihat jelas ada nada amarah di wajahnya. Entah marah pada apa, Hilda tak
bisa menebaknya.
“Kenapa kau diam? Apa kau tak
berani mengakui kebenarannya padaku? Apa
kau tetap tak berani bicara jujur padaku bahwa selama ini kalian berselingkuh
di belakangku?”
“Perselingkuhan itu tidak ada,
Hilda! Harus berapa kali aku bilang padamu tentang hal ini! Begitu sulitkah kau
percaya padaku?” Richard menatap istrinya dengan kesal, sekilas, lalu kembali
membuang pandangannya ke luar jendela.
“Tidak, aku tidak akan pernah
bisa percaya padamu! Selama ini kau menatap Anne dengan cara yang berbeda.
Jelas sekali terlihat bahwa kau terpesona olehnya. Di pesta tadi kau bahkan
menatapnya nyaris tak berkedip. Aku tahu pasti bahwa ada sesuatu yang terjadi
di antara kalian. Aku tidak akan bisa di bohongi!” Hilda kembali berteriak.
Richard terdiam.
“Kau tahu, sebenarnya aku
memang sengaja mempekerjakan Anne sebagai asisten pribadiku karena aku ingin
mengetesmu,”
Richard mengernyitkan dahinya.
Ia berballik dan menatap Hilda dengan
heran.
“Apa kau bilang?”
“Ya, aku memang sengaja ingin
mengetes kesetiaanmu dengan memanfaatkan dia. Pertama kali melihatnya aku
sangat terpukau karena dia begitu cantik. Akhirnya aku terpikir untuk tetap
memakainya sebagai asistenku. Aku ingin melihat reaksimu ketika bertemu
dengannya. Dan, dugaanku benar. Kau tergoda olehnya. Sama halnya dengan Robert
yang tergoda setengah mati dengan wajah cantiknya,” kedua mata Hilda tampak
berkaca-kaca menahan amarah.
“Kau
mengetes suamimu sendiri melalui wanita lain?” kalimat Richard terdengar getir.
“Ya,”
Hilda menjawab tegas.
Richard tertawa sinis.
“Sampai kapan kau akan
melakukan ini padaku, Hilda?” tanyanya dengan suara parau.
“Tidakkah apa yang kulakukan
padamu selama ini cukup untukmu? Aku selalu
menuruti semua kemauanmu. Kau memintaku berhenti berkarir dengan alasan
tak masuk akal karena takut aku tergoda wanita lain, aku melakukannya. Kau
memintaku mengurus rumah tangga dan tinggal di rumah saja, akupun melakukannya.
Ketika aku mendambakan seorang bayi hadir di antara kita dan kau menolaknya
dengan alasan kau belum siap karena karirmu sedang bagus dan kau takut bentuk
badanmu berubah, akupun tak mempermasalahkannya. Tidakkah itu cukup bagimu? Kau
pikir aku melakukannya untuk apa? Hilda,
aku tahu kau trauma dengan perilaku ayahmu, tapi kau tak bisa menyamakan aku
dengannya!” suara Richard berteriak.
“Jangan
menyebut ayahku!” Hilda balas berteriak.
“Aku menyayangimu, Hilda. Aku bahkan tak ingin
menyakitimu meskipun kau telah memperlakukanku sebagai pecundang. Semua ku lakukan demi keutuhan rumah tangga kita. Aku
tak ingin merusak komitmen dalam perkawinan kita karena perkawinan adalah hal
yang sakral. Selama ini aku selalu berkompromi denganmu dan menoleransi semua
kelakuanmu karena aku tidak ingin keluarga kita berantakan. Tidakkah semua
pengorbananku itu cukup untuk membuatmu membuka mata lebar-lebar? Aku tahu kau
mencintaiku dan takut kehilanganku. Tapi sikapmu sudah keterlaluan. Kau terlalu
posesif dan selalu bersikap curiga padaku. Dan ... aku sudah tak tahan
lagi,”
Hilda tertawa sinis.
“Tapi kau benar-benar tertarik
pada wanita itu ‘kan?” tanyanya dengan nada tajam.
“Ya,” jawab Richard tegas
hingga membuat Hilda tersentak. Ia tak menyangka bahwa Richard akan bicara
sejujur itu.
“Jadi benar kalian
berselingkuh? Apa dia menggodamu? Apa kalian tidur bersama?!” Hilda kembali
berteriak-teriak dengan histeris. Dan Richard tak berusaha menenangkannya
seperti biasanya jika mereka sedang bertengkar. Ia tahu, itu takkan ada
gunanya.
“Tidak pernah ada
perselingkuhan di antara kami, Hilda. Camkan itu baik-baik! Dia wanita terhormat dan dia tidak pernah
menggodaku. Tapi bahwa aku memang tertarik padanya, itu adalah sebuah
kebenaran. Sejak dulu malahan. Bahkan sebelum aku bertemu denganmu,”
Hilda membelalak.
“Apa maksudmu?”
“Anne adalah wanita pertama
yang aku cintai. Dia adalah wanita pertama yang sanggup membuat hatiku
berdebar-debar. Aku sudah jatuh cinta padanya setengah mati, jauh sebelum aku
bertemu denganmu. Kau tahu kenapa? Karena dia adalah kekasihku semasa di bangku kuliah,”
Hilda kembali membelalak.
Wanita itu terduduk lemas di sofa. Dan Richard membiarkannya.
“Aku sudah hampir melupakannya, Hilda. Aku sudah hampir melupakannya. Tapi tiba-tiba saja ia kembali hadir di hadapanku dan
kembali membuat jantungku berdebar-debar. Haruskah aku berterima kasih padamu
karena kau yang membawanya kembali ke
hadapanku?” Richard kembali menatap istrinya dengan tatapan putus asa. Air mata
Hilda menitik.
“Aku tak ingin menyakitimu.
Tapi jika kau menghendaki kebenaran, inilah yang sebenarnya. Aku mengagumi dan
menyayangimu, Hilda. Tapi aku sadar bahwa itu bukan cinta. Jikalau perkawinan
kita bisa bertahan selama ini, itu karena aku selalu berkompromi denganmu dan
dengan diriku sendiri. Terlalu banyak toleransi dan aku sudah tak sanggup lagi.
Dulu kau memang rapuh. Dan itu yang
membuatku ingin senantiasa bersamamu, untuk melindungimu. Tapi sekarang, kau
mampu melakukan semuanya sendiri. Kau bahkan tega membiarkan mantan bawahanmu
nyaris menjadi korban pelecehan seksual. Kau sudah cukup kuat sekarang. Dan itu
tandanya ... waktunya bagiku untuk mengucapkan salam perpisahan padamu,”
Kalimat Richard yang terakhir
membuat Hilda kembali membelalak untuk yang kesekian kalinya.
“Apa maksudmu?”
“Kita
berpisah,”
“Kau
akan menceraikanku?”
Richard
menggeleng.
“Aku
tidak tahu. Yang jelas, aku perlu waktu untuk menyendiri,” lelaki itu beranjak.
“Karena wanita itu?”
“Tidak, Anne tak ada
hubungannya dengan hal ini. Ada dia atau tidak, kita tetap harus berpisah. Aku
sudah tak sanggup menjalani perkawinan semacam ini. Aku lelah,”
Hilda terisak.
“Aku akan segera mengemasi
barang-barangku dan keluar dari rumah ini. Aku akan tinggal di
hotel. Jangan khawatir, aku masih punya sisa tabungan dari keringatku sendiri,”
Richard beranjak. Tapi Hilda
segera menghalau dan memeluknya. Ia terus terisak.
“Kumohon, jangan tinggalkan
aku. Aku benar-benar tak bisa hidup tanpamu,” teriaknya.
Richard melepaskan dirinya
dari pelukan Hilda dengan perlahan.
“Jika kita terus bersama, kita hanya akan saling
menyakiti, Hilda. Dan aku tak bisa berkompromi lagi dengan hatiku untuk tetap
bersamamu. Aku lelah. Lelah luar biasa,,” ucap Richard tegas. Tak ada
lagi yang bisa mempengaruhi keputusannya. Bahkan ketika Hilda bersimpuh
padanya, ia tetap mengemasi barang-barangnya dan memutuskan untuk segera keluar
dari rumah tersebut.
***
Anne menerima surat pemecatan dirinya beberapa saat setelah
ia menginjakkan kakinya di ruang
meeting. Ya, ia sudah menduga akan hal ini. Keributan tadi malam di pesta
tersebut pasti membuat pak Robert naik darah dan akhirnya memecatnya. Meskipun
sebenarnya keributan tersebut adalah murni kesalahan lelaki bertubuh tambun
tersebut. Tapi, itulah bos, orang kaya yang
pastinya mau menang sendiri.
Tapi, bukan hanya masalah
pemecatan dirinya yang membuatnya risau. Tapi ia takut jika kejadian tadi malam
akan berujung di meja hijua. Pak Robert pasti tidak terima dengan perlakuan
Richard dan bisa saja ia menuntutnya secara hukum atas perihal penganiayaan.
“Ada apa sebenarnya, Anne?
Kenapa mereka memecatmu tanpa alasan? Ini pasti ada yang tidak beres,” Brian
terlihat begitu kesal.
“Aku pasti akan menceritakan
duduk permasalahan yang sebenarnya padamu, Brian. Tapi tidak sekarang. Saat
ini, aku harus segera menemui pak Robert dan menyelesaikan segalanya. Maafkan
aku. Kita akan bicarakan ini lagi, oke?” Anne beranjak dengan tergesa-gesa
meninggalkan Brian yang masih terlihat bingung dengan apa yang terjadi.
Ketika Anne sampai di
kantornya, pak Robert sudah ada di sana. Duduk di kursinya, seperti biasanya.
Lelaki itu mendongak, menatap Anne dengan lekat, lalu tersenyum. Sama seperti
biasanya, seolah-olah peristiwa semalam tak pernah terjadi.
“Kau sudah menerima surat pemecatanmu?” ia membuka
suara.
“Kenapa anda melakukan hal ini
padaku? Jelas-jelas anda tahu bahwa keributan semalam bukanlah kesalahanku,”
Anne nyaris berteriak.
Pak Robert manggut-manggut.
“Ya, aku tahu, Anne. Aku yang salah.
sepertinya aku terlalu banyak minum alkohol semalam sehingga pikiranku kacau
dan tindakanku kurang sopan. Jadi secara pribadi, aku ingin minta maaf padamu.
Beberapa jam yang lalu aku juga sudah menelpon Richard dan meminta maaf secara
langsung padanya. Dan kami sepakat untuk sama-sama tidak membawa masalah ini ke
meja hijau. Jadi, ku harap kau juga bisa berdamai denganku,”
Anne nyaris tertawa kesal
dengan semua kalimat yang meluncur dari bibir atasannya itu. Ia tahu bahwa pak
Robert bukanlah tipe orang yang mudah meminta maaf. Tapi dalam kasus ini,
tentunya orang ini tak mau ambil resiko
dengan berurusan dengan hukum. Toh dilihat dari segi manapun, ia tetap saja
bersalah karena telah berusaha melecehkan Anne sebagai perempuan.
“Jadi, kenapa aku tetap
dipecat?”
“Hilda yang merekomendasikan
atas pemecatanmu,”
Anne terhenyak.
“Bu Hilda? Kenapa dia harus melakukannya? Aku merasa tak
punya salah apapun padanya. Dia bahkan sudah tidak lagi menjadi atasanku,” ujar
Anne kesal.
Pak Robert hanya mengangkat
bahu.
“Kau tahu sendiri ‘kan siapa
dia? Dia adalah salah satu wanita paling berpengaruh di perusahaan kita. Jadi
jangan kaget jika dia bisa melakukan apapun yang ia suka, termasuk mendepak
orang-orang yang tidak ia sukai. Jujur, aku tak ingin kau pergi, Anne. Tapi ini
sudah kehendak perusahaan. Jika kau mau tahu alasan pemecatanmu, kau bisa tanya
langsung pada Hilda,”
Anne terdiam sesaat.
“Oke, saya akan menemui dia di
ruangannya,” jawabnya kemudian.
“Temui saja langsung di
rumahnya karena hari ini dia tidak ke kantor,” pak Robert kembali memberikan
saran. Anne mendesah.
“Oke, saya akan ke rumahnya,”
jawabnya kemudian seraya melangkahkan kakinya meninggalkan kantor pak Robert.
Dan Anne memang benar-benar pergi ke rumah Hilda dengan naik taksi. Ketika
sampai di rumah tersebut, ia tak menemui kesulitan apapun untuk bertemu wanita
tersebut. Entahlah, tapi sepertinya wanita itu seolah-olah sudah menyiapkan
diri untuk menyambut kedatangan Anne.
“Aku sudah menduga kau akan
datang ke sini,” sapa Hilda angkuh seraya duduk di kursi ruang tamu, tanpa
menyilahkan Anne duduk. Perempuan itu ia biarkan saja berdiri di dekat meja kaca
yang berada tak jauh darinya.
“Kau pasti ingin menanyakan
alasan atas pemecatanmu ‘kan?”
Anne mengangguk.
“Kenapa saya harus dipecat bu?
Jika inti permasalahnnya adalah keributan semalam, bukankah anda tahu sendiri
bahwa itu semua bukan kesalahan saya. Pak Robert yang berusaha melecehkan saya.
Entah apa yang akan terjadi jika suami anda tak menyelamatkan saya,” ucapnya.
Hilda tersenyum sinis.
“Itulah masalahnya, karena
Richard menolongmu makanya aku ingin segera mendepakmu dari perusahaan,”
Anne mengernyitkan dahinya.
“Apa maksud anda?”
“Aku benar-benar membencimu,
Anne. Aku bahkan sudah membencimu sejak pertama kali bertemu denganmu. Dan
sekarang, aku makin membencimu setelah apa yang kau lakukan padaku. Setelah aku
tahu bahwa ternyata dulu kau dan Richard adalah sepasang kekasih!” Hilda
berteriak. Anne tersentak.
“Bagaimana mungkin kalian
menyembunyikan hal ini dariku? Bagaimana mungkin kalian bisa bertemu hampir
setiap hari dan berpura-pura baru saling mengenal?” Hilda bangkit dari tempat
duduknya.
“Bagaimana anda bisa tahu?”
“Itu tidak penting. Toh kalian
sudah berhasil memperlakukanku seperti orang tolol karena tak tahu cerita
apa-apa tentang kalian,”
Anne mendesah. Ia menatap
Hilda dengan tatapan kesal.
“Apa yang terjadi antara aku
dan Richard adalah masa lalu. Dan itu bukan sesuatu hal yang penting untuk
dibahas ataupun dibicarakan lagi. Kenyataannya adalah sekarang dia sudah
menikah dan hidup bahagia dengan anda. Mau apa lagi? Kami tetap kembali sebagai
teman. Percayalah, hubungan kami sudah selesai. Dan kami hanya berteman
sekarang. Anda tak perlu secemburu itu, bu Hilda,”
“Selesai? Kau menganggapnya
selesai? Kenyataannya Richard masih saja mengharapkanmu. Jika tidak, ia tidak
akan mau repot-repot menolongmu, mengkhawatirkanmu, membelamu. Oh, kalian
benar-benar ___ sialan!” Hilda menatap Anne dengan tajam dan penuh amarah.
“Sebenarnya kau ingin bicara
apa?” Anne mulai menggunakan kalimat yang tak formal karena makin kesal dengan
Hilda.
“Richard ingin menceraikanku.
Kau puas sekarang?” teriak Hilda lagi. Anne membelalak.
“Apa?”
“Dia ingin menceraikanku
karena kau!”
“Aku?”
“Ya, karena kau. Karena kau
kembali lagi ke kehidupannya hingga ia kembali terpikat olehmu. Dan sekarang,
dia ingin mengakhiri pernikahan kami! Semua ini karena kau, wanita jalang!”
Anne tergelak sinis. Ia mulai
sadar bahwa ia sedang mengalami perang sekarang. Dan ia takkan mundur lagi.
“Oh, apa sekarang kau ingin
mencari kambing hitam? Apa kau ingin menyalahkan orang lain atas kesalahanmu
sendiri?”
Hilda mengangkat alis.
“Kau bilang apa? Kesalahanku
sendiri?” ia tertawa sinis.
“Ya, kesalahanmu sendiri. Aku
berani bertaruh bahwa selama ini kalian menjalani perkawinan dengan tidak
bahagia. Jadi, ada aku atau tidak di antara kalian, perkawinan kalian sudah
bermasalah. Ayolah, Hilda, semua orang juga tahu bagaimana kau memperlakukan
suamimu. Kau memperlakukan dia seperti pecundang. Kau menyuruhnya di rumah, memasak,
mencuci, menyuruhnya ini dan itu, apa kau pikir tindakanmu tidak melukai harga
dirinya!”
“Tutup mulutmu! Dia
melakukannya karena dia mencintaiku!”
“Oh ya? Apa sekarang kau ingin
mengatakan bahwa ia ingin menceraikanmu karena ia sudah tak mencintaimu lagi?”
Hilda
bangkit dan Plakk! Tamparan itu melayang ke pipi Anne yang mulus. Anne meringis
kesakitan.
“Tutup mulutmu, perempuan
jalang!” teriak Hilda. Anne menatapnya dengan tajam. Dan __ plakk! Ia membalas
menampar pipi Hilda. Perempuan cantik itu sempat berteriak kesakitan. Ia
menatap Anne dengan heran karena tak mengira bahwa ia berani membalas menamparnya.
“Kenapa? Kau pikir aku takkan
berani memukulmu? Sekarang aku bukan lagi bawahanmu. Jadi, berhentilah
memperlakukanku seperti sampah!” ucap Anne dengan sengit.
Kedua perempuan cantik itu
saling menatap dengan tajam.
“Jangan pernah menyalahkan
orang lain atas apa yang menimpamu saat ini. Jika Richard meninggalkanmu,
pikirkanlah apa yang telah kau perbuat padanya? Tidakkah kelakuanmu padanya
selama ini keterlaluan? Dia lelaki dewasa yang punya harga diri, Hilda. Tapi
kau mengebiri kebebasannya. Aku tahu dan aku yakin bahwa kau juga tahu bahwa
impian Richard selama ini adalah menjadi pengacara nomor 1 di negeri ini. Tapi
nyatanya, kau menghancurkan impiannya. Kau bahkan harus mengatur dengan siapa
ia bertemu, berteman, bahkan menjalin hubungan. Apakah kau pikir sikapmu itu
bisa di benarkan?”
“Dia___”
“Oh, tidak, jangan salah.
Richard tidak pernah menceritakan apapun padaku berkaitan dengan masalah
pribadinya meskipun sekarang kami sudah berteman. Itu karena ia sangat
menghormatimu dan menghormati perkawinanan kalian. Jika aku tahu sedikit
tentang hubungan kalian, itu karena secara tidak sengaja aku menangkap semuanya
ketika aku masih menjadi asistenmu,” Anne berkata panjang lebar. Hilda terisak.
Ia terduduk di kursi dengan lemas dan entah mengapa Anne menjadi begitu iba
padanya.
“Apa yang ku lakukan padanya
selama ini karena aku sangat mencintainya dan tak ingin kehilangan dia,” ia
menggumam, dengan nada suara yang lebih tenang.
“Tapi kau terlalu posesif,
Hilda. Dan itu tidak bagus,”
“Aku tahu, tapi memikirkan dia
bertemu dengan wanita lain lalu berpindah ke lain hati, hatiku sakit,”
“Nah, itu masalahnya. Kau tak pernah bisa
mempercayainya. Kau terlalu curiga dan paranoid. Padahal kau tahu sendiri bahwa
Richard berusaha untuk membahagiakanmu. Aku bisa lihat itu dari caranya
memperlakukanmu. Ingat, aku juga pernah menjadi kekasihnya. Jadi, aku masih
hafal bahasa tubuhnya ataupun sorot matanya. Dia tulus ingin membahagiakanmu
dan harusnya kau bersyukur akan hal itu. Tapi sepertinya, kau terlambat
menyadarinya,” ucap Anne lagi. Hilda kembali terisak. Anne yang berinisiatif
mengambilkan tisue di meja dekat aquarium lalu menyodorkan ke arah Hilda.
Perempuan itu menerimanya lalu menghapus air matanya.
“Kenapa dulu kalian putus?”
tanyanya kemudian.
“Karena kau,” jawab Anne
enteng.
Hilda terhenyak. Ia mendongak dan menatap Anne
dengan rasa tak percaya.
“Itu benar, dia meninggalkanku karena dia tergoda
denganmu,” jawab Anne enteng.
“Dan sekarang kau senang
karena rumah tangga kami berantakan?” tanya Hilda sinis. Anne mendesah.
“Sudahlah, Hilda. Apakah itu
penting untuk membahas masa lalu kami?”
“Apa kau masih mencintainya?”
“Apakah itu penting bagimu
untuk mengetahuinya?”
“Tentu,”
“Untuk apa? Untuk kembali
melancarkan tuduhan bahwa kami berselingkuh? Ah, sudahlah, Selesaikanlah
masalahmu sendiri. Aku tak mau ikut campur. Sekarang, aku sudah tahu alasan
pemecatanku. Dan terima kasih, aku juga malas kembali ke perusahaan itu lagi,”
jawab Anne. Ia berniat beranjak tapi kalimat Hilda membuat langkahnya terhenti.
“Dia sudah pergi, Anne,” ia
menggumam.
Anne mengernyitkan dahinya.
“Siapa?”
“Richard. Semalam ia
meninggalkan rumah. Ia mengemasi semua barang-barangnya. Dia bilang, dia akan
tinggal di hotel untuk sementara waktu. Dan kami akan bertemu lagi di
pengadilan untuk mengurus perceraian kami,” Hilda tampak begitu menyedihkan
saat itu. Rapuh dan menderita. Sempat ada
rasa iba menggelayutinya. Tapi kemudia ia sadar, Hilda sudah tumbuh menjadi
perempuan kuat. Lebih kuat dari yang ia bayangkan.
Anne menatap
perempuan itu dengan dalam tanpa tahu harus bicara apa. Hingga akhirnya, ia
kembali melangkahkan kakinya dan meninggalkan perempuan itu sendirian.
Sebenarnya Anne berniat
kembali ke perusahaan untuk mengemasi barang-barangnya karena ia sudah bertekad
untuk menerima pemecatan dirinya. Tapi,
kembali ia tak bisa mengenyahkan Richard dari kepalanya!
Ia mengkhawatirkannya. Ia
ingin menemuinya, menanyakan banyak hal, dan mengetahui keadaannya setelah apa
yang terjadi dengan Hilda. Apakah ia terluka? Apakah ia baik-baik saja?
“I’m stuck on you, damn!” desisnya dengan kesal. Akhirnya, dengan
sedikit menggerutu, ia berbalik arah dan mulai mencari Richard dengan
mendatangi setiap hotel di kota tersebut, satu per satu!
***
Bersambung...
Gambar : Adam Levine