Bab 4
Setiap kali mengingat peristiwa ciuman di rumah Richard
beberapa hari yang lalu, Anne selalu merasakan wajahnya memerah. Ia benar-benar
tak habis pikir, kegilaan macam apa yang tengah melanda mereka saat itu? Anne
merasa tak waras. Itu memang bukan yang pertama kalinya ia berciuman dengan
lelaki tersebut. Tapi itu terjadi dulu sekali ketika mereka masih berpacaran.
Dan sekarang, bagaimana mungkin ia
membiarkan Richard, mantan pacarnya sekaligus suami dari atasannya,
menciuminya? Memeluknya? Dan yang lebih gila, ia bahkan menikmati dan membalas
ciuman tersebut?!
Itu terjadi begitu saja.
Dorongan biologis dan keinginannya untuk kembali bersama-sama Richard
benar-benar membuat pikirannya tak sehat. Dia benar-benar menginginkan lelaki
tersebut, seutuhnya! Untungnya ia segera bisa kembali mendapatkan akal
sehatnya. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi pada mereka selanjutnya. Ah, Anne pasti sudah gila!
Dan sejak kejadian itu, belum pernah sekalipun Anne bertemu dengan
Richard. Ia memang sudah beberapa kali ke rumah Hilda. Tapi ia tak bertemu
dengan Richard. Dan ia bersyukur dengan hal itu karena ia tak tahu apa yang
akan ia katakan jika ia bertemu dengan
lelaki yang senantiasa membuat jantungnya berdebar-debar!
“Ada apa denganmu, Anne?
Beberapa hari ini kau tampak tak bersemangat. Kau sakit?” Brian menyentuh
kening Anne dengan lembut. Siang itu mereka bertemu di kantin untuk makan
siang. Tapi Anne juga tak makan banyak. Hanya beberapa sendok saja, dan setelah
itu ia hanya mengaduk-aduk makanannya.
“Tidak apa-apa. Aku hanya
merasa lelah saja,” jawab Anne malas-malasan.
“Kau ingin pulang lebih awal?
Biar aku ijinkan pada bu Hilda,”
Anne menggeleng.
“Dia bisa mencekikku bila aku
ijin pulang dengan alasan kelelahan,” jawabnya setengah berbisik.
Brian tertawa mendengar
jawaban perempuan cantik di depannya. Ia menyodorkan sesendok nasi ke arah
mulut Anne, dan tanpa ragu-ragu Anne menerima suapan itu. Dan itu terjadi
selama berulang-ulang. Tak ada ekspresi canggung sama sekali di antara mereka
karena toh mereka sering melakukan itu.
“Terima kasih karena kau mau menyuapiku. Tapi aku harus
kembali ke kantor. Bu Hilda pasti sudah selesai meeting dan aku harus segera
berada di sana. Jika tidak, perempuan itu akan memanggilku lewat speaker,” ucap
Anne. Brian mengangguk.
“Oke, dan jangan ragu minta
pertolonganku jika kau malas makan. Aku akan senang hati menyuapimu,” jawab
Brian. Anne kembali tersenyum seraya beranjak meninggalkan Brian menuju
kantornya yang berada di lantai 10.
Ketika hendak memasuki lift,
Anne merasakan dadanya berdebar keras. Tampak olehnya Richard sudah berada di
sana, sendirian! Selama sekian detik, Anne hanya mematung. Ingin ia masuk ke
dalam lift, tapi ia merasa canggung. Tapi jika ia memutar langkah, bukankah
akan kelihatan lebih aneh?
“Ke lantai 10 ‘kan? Masuklah.
Aku datang untuk menjemput Hilda,” Richard membuka suara. Akhirnya, dengan
sedikit enggan, Anne melangkahkan kakinya memasuki lift. Ketika lift mulai
bergerak naik, tak ada sedikitpun pembicaraan di antara mereka. Hingga
akhirnya, Anne memberanikan diri untuk membuka suara.
“Saya ingin meminta maaf, pak.
Waktu itu, sepulang dari Bali, saya telah lancang mengatakan hal-hal yang buruk
tentang istri anda. Saya salah, maafkan saya,” ucap Anne. Richard mengernyitkan
dahinya dan menatap perempuan cantik yang berdiri tak jauh darinya dengan
keheranan.
“Pak? Kenapa kau jadi formal
begini, Anne?” tanyanya
“Ini di kantor ‘kan? Akan
kelihatan sangat tidak sopan, jika aku berbicara seperti biasanya,”
“Memang, tapi kita hanya
berdua saja ‘kan di sini. Kau tak perlu seformal itu,”
Keduanya berpandangan, dan
keadaan kembali hening. “Yang jelas, aku ingin minta maaf. Waktu itu aku merasa
begitu lelah dan sedikit stress hingga mulutku tak terkontrol. Tapi, sungguh
aku tak bermaksud mencampuri urusan keluargamu. Dan bukan maksudku untuk
mengatakan hal-hal yang buruk tentang bu Hilda. Aku hanya merasa sedikit kacau
saja. Ku mohon maafkan aku,” Anne kembali membuka suara.
“Ah, sudahlah, Anne. Jangan di
bahas lagi. Dan soal ciuman itu___aku juga minta maaf. Itu___” kata-kata
Richard terhenti. Kedua bola matanya membelalak dan raut mukanya seketika
berubah cemas.
“Astaga, hidungmu berdarah,
Anne,” lelaki itu nyaris berteriak. Anne menaikkan alisnya. Segera perempuan
itu menyentuh lubang hidungnya dengan jemarinya dan __ benar, ia mimisan!
Ia baru saja ingin
mengambil tisu dari dalam saku
blouse-nya namun ia kalah cepat. Richard sudah mengambil sapu tangan dari saku
celananya dan segera menekannya ke arah hidung Anne yang terus mengucurkan
darah.
“Kau pasti kelelahan dan kurang istirahat,” ucap Richard seraya terus
membantu menekan sapu tangan tersebut dengan perlahan ke arah hidung Anne.
“Tidak, ini hanya mimisan
biasa,” jawab Anne lirih.
Richard menatap perempuan itu
dengan lembut.
“Tak perlu beralasan. Aku
masih ingat dengan betul kalau hidungmu selalu mengeluarkan darah jika kau
kelelahan,” ucapnya.
“Oh
ya?” ia terkekeh lemah sambil terus menekan hidungnya.
“Aku tahu Hilda sangat keras
padamu. Tapi, jangan memaksakan diri. Jika kau merasa sangat kelelahan,
mintalah ijin padanya untuk beristirahat,” ucapnya lagi. Anne baru saja ingin
berkata-kata. Tapi tiba-tiba ia merasa limbung. Sesaat ia sempat merasakan
Richard menangkap tubuhnya sebelum ia benar-benar ambruk di lantai lift.
“Anne? Anne?!”
Samar-samar ia masih sempat
mendengar suara Richard. Hingga akhirnya ia merasakan dunia di sekelilingnya berputar dan iapun tak sadarkan diri.
***
Ketika Anne membuka mata, ia sudah berada di rumah sakit
dan Brian-pun ada di sana, menemaninya dengan penuh perhatian. Ia tak ingat
bagaimana ia bisa sampai di sini. Tapi dari cerita Brian, Richard-lah yang
membawanya ke rumah sakit.
“Kau pingsan di dalam lift.
Dan kebetulan pak Richard berada di sana dan dia-lah yang membawamu ke rumah
sakit,” itu cerita yang ia dapat dari Brian.
“Maafkan aku, Anne. Andaikan
saja aku mengantarmu pulang, kau pasti tak perlu mengalami kejadian ini,” Brian
menggenggam tangan Anne dengan lembut. Perempuan itu tersenyum.
“Sudahlah, jangan berlebihan
seperti itu. Aku hanya kelelahan, besok pasti sudah diperbolehkan pulang,”
jawabnya. Brian mendesah.
“Dan sudah bisa dipastikan, bu
Hilda sangat marah dengan insiden itu. Jadi, kuatkan hatimu jika nanti kau
kembali ke kantor dan bertemu dengannya,” Ia kembali memperingatkan.
Anne manggut-manggut. Ia
terpikir dengan kata-kata Brian barusan.
Kenapa Hilda marah? Karena ia
pingsan di jam bekerja? Karena pekerjaannya terganggu? Atau karena suaminya-lah
yang mengantarkannya ke rumah sakit? Ah, entahlah. Anne tak mengerti.
***
Hilda menatap suaminya dengan kesal.
“Sebenarnya apa yang ada di
dalam pikiranmu? Bagaimana mungkin kau tega melakukan hal ini padaku!?” ia
mulai berteriak. Ia melemparkan tasnya yang mahal ke sofa dengan kasar.
Richard mengangkat bahu.
“Melakukan apa?” tanyanya tak
mengerti.
“Anne pingsan di dalam lift
dan kau mau repot-repot mengantarkannya ke rumah sakit? Ada apa denganmu? Kau
lupa statusmu, status dia. Dia hanya seorang pegawai biasa, sedangkan kau, kau
suamiku, dan aku adalah atasan Anne. Apa yang orang lain pikirkan jika mereka
melihat kejadian ini? Bagaimana mungkin seorang bos mau mengantarkan bahkan
menggendong karyawan perempuannya yang tak sadarkan diri ke rumah sakit. Mereka
pasti berpikir bahwa kau punya hubungan yang istimewa dengan perempuan itu,”
Richard mendesah.
“Hilda, berhentilah berpikir
yang bukan-bukan. Aku melakukan hal yang sudah sepantasnya ku lakukan. Dia bawahanmu ‘kan? Dan aku juga ikut
bertanggung jawab atas keselamatannya. Bagaimana mungkin aku tega
meninggalkannya sendirian di dalam lift dalam keadaan pingsan? Tentu aku harus
melakukan sesuatu untuk menolongnya ‘kan?”
Hilda menatap pria di depannya
dengan tajam.
“Kau tidak harus
meninggalkannya di dalam lift! Tapi kau juga tidak harus mengantarkannya
sendiri dengan tanganmu. Kau ‘kan bisa menyuruh orang lain atau karyawan
lainnya untuk membawanya ke klinik terdekat. Kau tak perlu berlebihan seperti
ini ‘kan?”
Richard menatap istrinya
dengan dalam, mencoba menenangkannya.
“Ya, harusnya aku melakukan
hal itu. Tapi pada saat itu, aku tak menemui siapapun yang bisa kumintai
tolong,”
“Itu mustahil! Ada banyak
karyawan di sekitar sana!” Hilda kembali berteriak.
“Ya, aku tahu. Tapi mereka adalah perempuan, dan mereka
tak akan sanggup menggendong tubuh Anne. Aku juga ketemu dengan beberap staf
pria, tapi mereka tidak membawa mobil. Karena mobilku terparkir di depan
perusahaan, maka hal yang terpikir olehku adalah menolongnya,”
“Kau pasti bohong,”
“Terserah. Yang jelas aku
sudah menjelaskan semuanya. Percaya atau tidak, terserah padamu,” ucap Richard
kesal. Lelaki itu beranjak tapi Hilda
menghalau dengan lengannya.
“Sebenarnya ada hubungan apa
antara kau dan wanita itu? Kenapa kau begitu mengkhawatirkannya,
memperhatikannya? Apa kau mengenalnya sebelumnya? Atau, kau benar-benar tertarik
dengan wanita itu?”
Richard
mendesah lalu mundur beberapa langkah.
“Hilda, kumohon. Berhentilah bersikap seperti itu. Aku muak
dengan semua kecurigaanmu,”
“Katakan padaku tentang
semuanya! Jangan membohongiku!”
“Lalu aku harus
menceritakan apa?” Richard juga
berteriak.
“Semua hal tentang Anne! Apa
kalian ada hubungan? Apa dia menggodamu?”
Richard melotot ke arah Hilda.
“Kau pikir dia perempuan macam
apa hingga harus menggodaku? Dia perempuan baik-baik, Hilda,”
“Lantas, kenapa kau selalu membelanya?”
“Karena aku mengenalnya, dulu, semasa kuliah,”
Hilda membelalak. Ia tertawa
sinis.
“Kenapa
kau tak menceritakan padaku kalau kalian saling mengenal?”
“Karena
memang tak perlu diceritakan, itu tak penting,”
“Bohong. Ada sesuatu di antara kalian ‘kan?”
Richard mengangkat bahunya
putus asa.
“Aku muak dengan semua
interogasimu, Hilda,” ucapnya kemudian seraya melangkahkan kakinya meninggalkan istrinya sendirian tanpa menghiraukan
panggilannya.
Lelaki bermata teduh itu
bergerak menuju mobilnya yang terparkir di garasi dan dengan kesal, ia
mengemudikan mobilnya menyusuri jalan raya. Sebenarnya ia tak tahu harus kemana
dan hanya asal saja menyetir mobil. Tapi, tiba-tiba terpikir olehnya untuk
mengarahkan mobilnya ke arah rumah sakit, tempat Anne di rawat.
Ketika sampai di sana,
dilihatnya perempuan itu sedang tertidur, sendirian. Tadinya Richard ingin
berbalik arah karena takut mengganggu Anne yang sedang istirahat. Tapi ia batal
melakukannya. Yang ia lakukan selanjutnya adalah duduk di kursi yang berada tak
jauh dari ranjang Anne lalu menatap perempuan itu dengan lekat.
Jika dipikir-pikir lagi,
Richard memang merasa bersalah tentang insiden kemarin. Hilda benar, meski
tidak seluruhnya. Bagaimanapun juga, ia seorang lelaki yang sudah menikah, dan
sangat aneh jika ia mau repot-repot menolong dan mengantarkan Anne ke rumah
sakit sementara wanita itu hanyalah bawahan dari istrinya. Tentu karyawan yang
lainnya akan menggosipkan hal itu. Toh bisa saja sebetulnya ia menyuruh orang
lain untuk mengantarkan Anne ke klinik. Hanya saja, waktu itu Richard serasa
tak bisa berpikir jernih. Menyaksikan Anne terkulai lemas dalam pelukannya dan berlumuran darah, pikirannya kacau. Dan yang
terpikir olehnya hanyalah membawa perempuan itu ke rumah sakit untuk
mendapatkan pertolongan, secepatnya!
***
Ketika Anne membuka mata, ia melihat perawat tengah
memasuki ruangan untuk mengganti infusnya yang habis.
“Apakah ada tamu untukku?”
tanya Anne. Perawat itu tersenyum ramah.
“Tamu? Sepertinya tidak ada,
bu. Ibu tidur dengan pulas sendirian,” jawab perawat tersebut dengan ramah.
Anne mengernyitkan.
“Aneh, aku merasa seseorang
mengunjungiku dan duduk di kursi itu lama sekali,” gumamnya lirih seraya
melirik ke arah kursi yang berada tak jauh dari tempat tidurnya, tanpa ia tahu
bahwa Richard baru saja meninggalkan ruangan itu sekitar beberapa menit yang
lalu.
***
Setelah 2 hari
dirawat di Rumah Sakit, dokter memperbolehkan Anne pulang. Dan tak butuh waktu
lama baginya untuk kembali bekerja. Perempuan itu sudah menyiapkan kuda-kuda
andaikan saja Hilda menyemprotnya amarah. Toh Brian sudah memperingkatkannya
tentang hal itu. Tapi, ini diluar dugaannya ketika Hilda bersikap biasa saja
ketika mereka bertemu di kantor. Dia tidak mengomel dan tidak mengucapkan
kata-kata sarkasme seperti yang biasa ia lakukan selama ini. Sebaliknya, Hilda
mengeluarkan kalimat yang sedikit lebih bijaksana dibanding biasanya.
“Aku tidak akan memarahimu
dengan insiden di dalam lift beberapa hari yang lalu karena bagaimanapun juga
kau memang benar-benar sakit. Tapi aku
ingin memperingatkanmu beberapa hal. Kuharap kau tak terlalu besar hati karena
suamiku telah menolongmu. Ketahuilah, ia selalu baik pada semua orang, bahkan
pada semua wanita yang baru ia temui karena memang begitulah orangnya. Ia terlalu ramah dan mudah bergaul pada
siapapun. Jadi, jangan pernah berpikir sedikitpun bahwa ia tertarik padamu
meskipun ia baik padamu. Kuharap, kau tak salah sangka dengan semua perhatian
yang mungkin saja ia berikan padamu selama ini,” ucap Hilda. Anne mulai
mengerti maksud pembicaraan Hilda dan perempuan itupun mengangguk.
“Dan mulai besok, kau tak
perlu bekerja lagi padaku,”
Anne mengernyitkan dahinya
mendengar ucapan Hilda selanjutnya.
“Maksud anda?”
“Kami sepakat memindahkanmu ke
bagian personalia. Dan kau akan menjadi asisten pribadi pak Robert,”
Anne terhenyak.
“Kenapa? Apa kerja saya tak bagus di sini?”
Hilda menggeleng.
“Tidak, kau bekerja sangat
bagus. Hanya saja, ini keputusan
dari perusahaan. Jika kau tak
mematuhinya, kau akan dipecat,” Hilda menatap perempuan cantik itu dengan seksama.
Anne terdiam. Sedikit bingung
dengan perubahan itu, tapi ia menerimanya.
Oke, apapun yang ingin kau lakukan,
lakukan saja. Aku takkan menyerah.
Ucapnya dalam hati.
“Ah, Anne. Ini sama saja
dengan keluar dari mulut harimau, masuk ke kandang singa,” ucap Brian kesal
ketika Anne menceritakan tentang kepindahannya ke bagian personalia, sore itu, sambil makan malam di sebuah restoran italy.
“Apa mereka memindahkanmu
karena insiden di lift beberapa waktu yang lalu?” tanya Brian lagi.
Anne mengangguk.
“Sepertinya memang begitu. Aku
sempat mendengarnya dari beberapa karyawan yang berbisik-bisik di belakangku.
Sepertinya mereka tak ingin ada gosip berlebihan antara aku dan suami bu Hilda.
Itulah sebabnya mereka memindahkanku dari kantor bu Hilda. Agar gosip ini tak
terus berlanjut,” jawabnya.
Brian mendesah kesal.
“Bu Hilda memang seperti nenek
sihir. Ia memperlakukanmu dengan seenaknya. Tapi sepertinya, bekerja padanya
lebih baik daripada dengan pak Robert. Yaaah, kau tahulah maksudku,”
Lelaki itu kembali menggerutu.
Dan Anne hanya mampu mengangkat bahu, kecewa.
Ya, Brian benar. Ini sama
seperti keluar dari mulut harimau dan masuk ke kandang singa. Bu Hilda memang
kejam, tapi pak Robert lebih menakutkan. Hal ini dikarenakan, lelaki beristri
yang sudah berumur sekitar 40 tahun itu terkenal mata keranjang dan suka main
perempuan. Dan bukan rahasia lagi jika lelaki itu jatuh cinta setengah mati
dengan Anne. Ia masih ingat dengan jelas suatu malam ketika mereka bertemu di
sebuah pesta yang diadakan perusahaan, pak Robert menatapnya dengan mata tak
berkedip dan seolah-olah ingin menelannya hidup-hidup. Beberapa kali lelaki
genit itu berusaha merayunya baik dengan perhatian ataupun memberikannya hadiah
barang-barang mewah. Tapi sejauh ini, Anne selalu bisa menolaknya dengan halus.
Ia bahkan berhasil menghindari kontak dalam bentuk apapun dengannya. Meskipun
itu tidak mudah.
Dan sekarang, tiba-tiba ia
diharuskan bekerja dengannya? Ini pasti
bercanda.
“Tidak bisakah kau
mengajukan penolakan atas keputusan ini?” Brian menyarankan. Anne terdiam
sesaat. Ia ingin melakukannya, tapi pasti itu akan sulit dan percuma.
“Tenanglah, Brian. Kau sendiri
tahu ‘kan bahwa aku bukan perempuan lemah yang mudah digoda. Aku pasti akan
menghajarnya jika dia berani macam-macam denganku. Kau harus ingat bahwa aku
mahir judo,”
Anne berusaha menenangkan
sahabatnya tersebut, meskipun hati kecilnya sendiri juga merasa takut dan
was-was.
“Jika dia berani mengganggumu, katakan saja padaku. Aku pasti tak akan
tinggal diam,”
Anne tersenyum mendengar
ucapan Brian.
“Thanks ya,” ucapnya.
Dan bekerja pada pak Robert,
memang benar-benar tak mudah. Pak Robert memang tidak memperlakukan Anne
seperti Hilda dengan menyuruhnya kesana-kemari untuk hal-hal tak masuk akal.
Toh, lelaki itu juga sudah beristri. Sehingga
ia memang tak pernah memintanya untuk datang ke rumah. Jadi, pekerjaan
apapun itu, Anne selalu menyelesaikannya di kantor. Tapi, berada di dekat lelaki itu benar-benar membuat Anne
selalu siap siaga. Pak Robert senantiasa menatapnya dengan tatapan menggoda dan
amat genit. Tak jarang ia curi-curi pandang padanya, merayunya, mengajaknya
makan, memberikannya sesuatu, bahkan kadang-kadang dengan nakal ia menyentuh
dan meraba tangan Anne. Tentu saja perempuan itu tak tinggal diam.
“Biar saya perjelas ini, pak.
Saya memang bawahan bapak, tapi anda tak bisa memperlakukan saya seenaknya
seperti wanita penghibur. Mari kita buat batasan ini agar tak ada yang salah
sangka. Anda adalah atasan saya, dan saya adalah bawahan anda. Hubungan kita
adalah hubungan pekerjaan. Jadi, harap anda bersikap profesional. Saya tak akan
tinggal diam jika anda berani melecehkan saya,” Anne mengancam. Bukannya surut,
pak Robert malah terlihat menikmatinya.
“Aku selalu suka dengan wanita galak. Mereka selalu
punya daya tarik tersendiri untuk ditakhlukkan,” jawab pak Robert dengan senyum
lebarnya yang menurut Anne sangat menyebalkan.
“Terserah, itu urusan anda.
Dan urusan saya, menyelesaikan pekerjaan saya sebaik mungkin tanpa ada
gangguan-gangguan tak penting yang bisa merusak konsentrasi saya. Terima
kasih,” jawab Anne sengit seraya beranjak meninggalkan atasannya.
Dan kejadian seperti memang
tidak terjadi satu atau dua kali saja. Berkali-kali ketika pak Robert
menggodanya, Anne selalu menegurnya dengan sengit. Tak jarang, ia harus sedikit
beradu argumen dengannya, tentu saja jika mereka hanya berduaan saja. Anne tak
akan berani untuk melakukan perlawanan jika mereka berada di hadapan orang
banyak, apalagi karyawan-karyawan yang lain.
***
Malam itu, sepulang kerja, Anne memutuskan untuk tak
pulang dulu ke rumah. Sebenarnya tadi siang Brian sudah menawarkannya untuk
mengantarkannya pulang. Tapi Anne menolak dengan alasan bahwa ia masih punya
urusan pribadi.
Dan tujuannya sebenarnya
adalah berjalan-jalan menikmati suasana kota di malam hari, melepas lelah dan
membuang rasa stress.
Ia melangkah menyusuri trotoar
dengan perlahan. Tak jarang ia berhenti di depan warung kudapan kecil di
pinggir jalan untuk membelinya. Setelah puas berburu kuliner, ia memutuskan
untuk ke toko buku. Mencari bacaan atau novel yang bisa melepas rasa lelahnya setelah
pulang bekerja. Tapi, ketika sedang asyik memilih-milih buku, seseorang
menyapanya dengan lembut. Richard!
“Belum pulang?” tanya lelaki
itu, dengan senyum khasnya yang menawan. Anne menggeleng.
“Aku masih harus mencari
beberapa novel untuk hiburan,” jawabnya.
“Kau masih suka membaca
novel?”
Anne kembali mengangguk.
“Yaa, meskipun tidak sesering
dulu karena waktuku sudah tersita habis untuk pekerjaan. Hanya jika ada waktu
luang saja. Hitung-hitung untuk melepas stress,” jawabnya.
“Mmm, bagaimana kalau kita
ngobrol sambil makan?” ajak Richard sedikit ragu-ragu.
“Maaf, tapi aku sudah makan,”
“Kalau hanya sekedar minum
teh?”
Anne tak segera menjawab. Tapi
akhirnya ia mengiyakan ajakan Richard dan merekapun beranjak menuju kafe yang
berada di seberang toko buku tersebut.
“Ngomong-ngomong, akhir-akhir
ini kau tak pernah lagi datang ke rumah. Kenapa? Apa Hilda melakukan hal buruk
lagi padamu?” Tanya Richard seraya membantu memasukkan 2 sendok gula ke dalam
cangkir teh Anne. Ia masih hafal kebiasaan Anne yang suka minum secangkir teh
dengan takaran 2 sendok teh gula. Kadang-kadang lelaki itu juga merasa heran.
Anne penyuka makanan manis, tapi bentuk tubuhnya tak berubah sama sekali. Ia
masih saja terlihat ramping.
“Kenapa? Apa kau merindukan
kehadiranku?” tanya Anne dengan tatapan nakal. Bibirnya yang seksi nampak
sedikit manyun dan bola matanya yang bulat mengerjap-ngerjap dengan indah. Ia
tersenyum menggoda ke arah Richard hingga membuat jantung lelaki tersebut
terasa berlompatan. Ia terkesiap. Ia benar-benar terpesona dengan apa yang
dilihatnya saat ini. Sepertinya, baru kali ini ia menyaksikan Anne yang seperti
ini - centil dan manja. Dulu ketika masih menjadi pacarnya, tak pernah
sekalipun Anne bersikap menggoda ataupun bermanja-manja padanya. Maklum, Anne
adalah seorang perempuan mandiri dan sedikit pendiam. Ayahnya sudah lama
meninggal dan selama ini ialah yang menjadi tulang punggung keluarga membiayai
ibunya yang sering sakit-sakitan sekaligus membiayai kedua adiknya yang masih
menempuh pendidikan. Dan mungkin itulah sebabnya hingga Anne tumbuh menjadi
wanita yang serius dan realistis. Dan
yang pasti, ia perempuan yang kuat dan tegar.
Menurut Richard, sekarang Anne menjadi sosok yang sedikit berbeda. Ia tak lagi terlihat
serius dan dingin. Sekarang Ia pandai membawa diri dan pandai bergaul. Ia ramah
pada setiap orang yang ia temui. Bahkan padanya – meskipun awalnya tidak.
Sekarang ia juga pandai menonjolkan kelebihan-kelebihannya dalam hal
penampilan. Dulu ia hanya seorang wanita yang suka memakai celana jeans
dan kaos oblong. Tapi sekarang, ia
terlihat menawan dengan pakaian kerjanya. Pakaian yang selalu melekat dengan
sempurna di tubuhnya hingga makin menunjukkan bentuk tubuhnya yang ramping dan
mempesona. Richard bahkan seakan baru menyadari bahwa Anne punya sepasang kaki
yang jenjang dan indah. Tentu saja, dulu kaki itu senantiasa terbalut dengan
celana jeans. Tapi sekarang, tidak lagi. Anne kerap memakai rok pendek yang
beberapa centi berada di atas lututnya hingga matanya leluasa menatap kakinya yang
mulus dan menawan.
Richard sempat menggerutu
dalam hati. Ia salah karena telah mengagumi wanita lain sementara ia adalah
lelaki yang sudah menikah. Tapi, naluri lelakinya tak bisa berbohong untuk
terus mengagumi Anne!
Lamunan lelaki itu
buyar ketika ia mendengar gelak tawa Anne. Dan untuk kesekian kalinya, ia juga
terpesona dengan tawa itu.
“Jangan terlalu serius begitu,
Rich. Aku hanya bercanda,” ucapnya.
“Jangan khawatir, aku tahu kau
sangat mencintai istrimu. Dan sesuatu hal yang tidak mungkin jika kau bisa
tergoda padaku,” ia menambahkan seraya menyeruput teh hangatnya. Richard
tersenyum. Kecut.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar