Senin, 22 Desember 2014

Come back to me, Bad Guy! - Part 4



Bab 4

          Setiap kali mengingat peristiwa ciuman di rumah Richard beberapa hari yang lalu, Anne selalu merasakan wajahnya memerah. Ia benar-benar tak habis pikir, kegilaan macam apa yang tengah melanda mereka saat itu? Anne merasa tak waras. Itu memang bukan yang pertama kalinya ia berciuman dengan lelaki tersebut. Tapi itu terjadi dulu sekali ketika mereka masih berpacaran. Dan sekarang,  bagaimana mungkin ia membiarkan Richard, mantan pacarnya sekaligus suami dari atasannya, menciuminya? Memeluknya? Dan yang lebih gila, ia bahkan menikmati dan membalas ciuman tersebut?!
Itu terjadi begitu saja. Dorongan biologis dan keinginannya untuk kembali bersama-sama Richard benar-benar membuat pikirannya tak sehat. Dia benar-benar menginginkan lelaki tersebut, seutuhnya! Untungnya ia segera bisa kembali mendapatkan akal sehatnya. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi pada mereka selanjutnya. Ah, Anne pasti sudah gila!
Dan sejak kejadian itu, belum pernah sekalipun Anne bertemu dengan Richard. Ia memang sudah beberapa kali ke rumah Hilda. Tapi ia tak bertemu dengan Richard. Dan ia bersyukur dengan hal itu karena ia tak tahu apa yang akan ia katakan jika ia bertemu dengan  lelaki yang senantiasa membuat jantungnya berdebar-debar!
“Ada apa denganmu, Anne? Beberapa hari ini kau tampak tak bersemangat. Kau sakit?” Brian menyentuh kening Anne dengan lembut. Siang itu mereka bertemu di kantin untuk makan siang. Tapi Anne juga tak makan banyak. Hanya beberapa sendok saja, dan setelah itu ia hanya mengaduk-aduk makanannya.
“Tidak apa-apa. Aku hanya merasa lelah saja,” jawab Anne malas-malasan.
“Kau ingin pulang lebih awal? Biar aku ijinkan pada bu Hilda,”
Anne menggeleng.
“Dia bisa mencekikku bila aku ijin pulang dengan alasan kelelahan,” jawabnya setengah berbisik.
Brian tertawa mendengar jawaban perempuan cantik di depannya. Ia menyodorkan sesendok nasi ke arah mulut Anne, dan tanpa ragu-ragu Anne menerima suapan itu. Dan itu terjadi selama berulang-ulang. Tak ada ekspresi canggung sama sekali di antara mereka karena toh mereka sering melakukan itu.
Terima kasih karena kau mau menyuapiku. Tapi aku harus kembali ke kantor. Bu Hilda pasti sudah selesai meeting dan aku harus segera berada di sana. Jika tidak, perempuan itu akan memanggilku lewat speaker,” ucap Anne. Brian mengangguk.
“Oke, dan jangan ragu minta pertolonganku jika kau malas makan. Aku akan senang hati menyuapimu,” jawab Brian. Anne kembali tersenyum seraya beranjak meninggalkan Brian menuju kantornya yang berada di lantai 10.
Ketika hendak memasuki lift, Anne merasakan dadanya berdebar keras. Tampak olehnya Richard sudah berada di sana, sendirian! Selama sekian detik, Anne hanya mematung. Ingin ia masuk ke dalam lift, tapi ia merasa canggung. Tapi jika ia memutar langkah, bukankah akan kelihatan lebih aneh?
“Ke lantai 10 ‘kan? Masuklah. Aku datang untuk menjemput Hilda,” Richard membuka suara. Akhirnya, dengan sedikit enggan, Anne melangkahkan kakinya memasuki lift. Ketika lift mulai bergerak naik, tak ada sedikitpun pembicaraan di antara mereka. Hingga akhirnya, Anne memberanikan diri untuk membuka suara.
“Saya ingin meminta maaf, pak. Waktu itu, sepulang dari Bali, saya telah lancang mengatakan hal-hal yang buruk tentang istri anda. Saya salah, maafkan saya,” ucap Anne. Richard mengernyitkan dahinya dan menatap perempuan cantik yang berdiri tak jauh darinya dengan keheranan.
“Pak? Kenapa kau jadi formal begini, Anne?” tanyanya
“Ini di kantor ‘kan? Akan kelihatan sangat tidak sopan, jika aku berbicara seperti biasanya,”
“Memang, tapi kita hanya berdua saja ‘kan di sini. Kau tak perlu seformal itu,”
Keduanya berpandangan, dan keadaan kembali hening. “Yang jelas, aku ingin minta maaf. Waktu itu aku merasa begitu lelah dan sedikit stress hingga mulutku tak terkontrol. Tapi, sungguh aku tak bermaksud mencampuri urusan keluargamu. Dan bukan maksudku untuk mengatakan hal-hal yang buruk tentang bu Hilda. Aku hanya merasa sedikit kacau saja. Ku mohon maafkan aku,” Anne kembali membuka suara.
“Ah, sudahlah, Anne. Jangan di bahas lagi. Dan soal ciuman itu___aku juga minta maaf. Itu___” kata-kata Richard terhenti. Kedua bola matanya membelalak dan raut mukanya seketika berubah cemas.
“Astaga, hidungmu berdarah, Anne,” lelaki itu nyaris berteriak. Anne menaikkan alisnya. Segera perempuan itu menyentuh lubang hidungnya dengan jemarinya dan __ benar, ia mimisan!
Ia baru saja ingin mengambil  tisu dari dalam saku blouse-nya namun ia kalah cepat. Richard sudah mengambil sapu tangan dari saku celananya dan segera menekannya ke arah hidung Anne yang terus mengucurkan darah.
“Kau pasti kelelahan dan kurang istirahat,” ucap Richard seraya terus membantu menekan sapu tangan tersebut dengan perlahan ke arah hidung Anne.
“Tidak, ini hanya mimisan biasa,” jawab Anne lirih.
Richard menatap perempuan itu dengan lembut.
“Tak perlu beralasan. Aku masih ingat dengan betul kalau hidungmu selalu mengeluarkan darah jika kau kelelahan,” ucapnya.
“Oh ya?” ia terkekeh lemah sambil terus menekan hidungnya.
“Aku tahu Hilda sangat keras padamu. Tapi, jangan memaksakan diri. Jika kau merasa sangat kelelahan, mintalah ijin padanya untuk beristirahat,” ucapnya lagi. Anne baru saja ingin berkata-kata. Tapi tiba-tiba ia merasa limbung. Sesaat ia sempat merasakan Richard menangkap tubuhnya sebelum ia benar-benar ambruk di lantai lift.
“Anne? Anne?!
Samar-samar ia masih sempat mendengar suara Richard. Hingga akhirnya ia merasakan dunia di sekelilingnya berputar dan iapun tak sadarkan diri.

***

          Ketika Anne membuka mata, ia sudah berada di rumah sakit dan Brian-pun ada di sana, menemaninya dengan penuh perhatian. Ia tak ingat bagaimana ia bisa sampai di sini. Tapi dari cerita Brian, Richard-lah yang membawanya ke rumah sakit.
“Kau pingsan di dalam lift. Dan kebetulan pak Richard berada di sana dan dia-lah yang membawamu ke rumah sakit,” itu cerita yang ia dapat dari Brian.
“Maafkan aku, Anne. Andaikan saja aku mengantarmu pulang, kau pasti tak perlu mengalami kejadian ini,” Brian menggenggam tangan Anne dengan lembut. Perempuan itu tersenyum.
“Sudahlah, jangan berlebihan seperti itu. Aku hanya kelelahan, besok pasti sudah diperbolehkan pulang,” jawabnya. Brian mendesah.
“Dan sudah bisa dipastikan, bu Hilda sangat marah dengan insiden itu. Jadi, kuatkan hatimu jika nanti kau kembali ke kantor dan bertemu dengannya,” Ia kembali memperingatkan.
Anne manggut-manggut. Ia terpikir dengan kata-kata Brian barusan.
Kenapa Hilda marah? Karena ia pingsan di jam bekerja? Karena pekerjaannya terganggu? Atau karena suaminya-lah yang mengantarkannya ke rumah sakit? Ah, entahlah. Anne tak mengerti.

***

          Hilda menatap suaminya dengan kesal.
“Sebenarnya apa yang ada di dalam pikiranmu? Bagaimana mungkin kau tega melakukan hal ini padaku!?” ia mulai berteriak. Ia melemparkan tasnya yang mahal ke sofa dengan kasar.
Richard mengangkat bahu.
“Melakukan apa?” tanyanya tak mengerti.
“Anne pingsan di dalam lift dan kau mau repot-repot mengantarkannya ke rumah sakit? Ada apa denganmu? Kau lupa statusmu, status dia. Dia hanya seorang pegawai biasa, sedangkan kau, kau suamiku, dan aku adalah atasan Anne. Apa yang orang lain pikirkan jika mereka melihat kejadian ini? Bagaimana mungkin seorang bos mau mengantarkan bahkan menggendong karyawan perempuannya yang tak sadarkan diri ke rumah sakit. Mereka pasti berpikir bahwa kau punya hubungan yang istimewa dengan perempuan itu,”
Richard mendesah.
“Hilda, berhentilah berpikir yang bukan-bukan. Aku melakukan hal yang sudah sepantasnya ku lakukan. Dia bawahanmu ‘kan? Dan aku juga ikut bertanggung jawab atas keselamatannya. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkannya sendirian di dalam lift dalam keadaan pingsan? Tentu aku harus melakukan sesuatu untuk menolongnya ‘kan?”
Hilda menatap pria di depannya dengan tajam.
“Kau tidak harus meninggalkannya di dalam lift! Tapi kau juga tidak harus mengantarkannya sendiri dengan tanganmu. Kau ‘kan bisa menyuruh orang lain atau karyawan lainnya untuk membawanya ke klinik terdekat. Kau tak perlu berlebihan seperti ini ‘kan?”
Richard menatap istrinya dengan dalam, mencoba menenangkannya.
“Ya, harusnya aku melakukan hal itu. Tapi pada saat itu, aku tak menemui siapapun yang bisa kumintai tolong,”
Itu mustahil! Ada banyak karyawan di sekitar sana! Hilda kembali berteriak.
Ya, aku tahu. Tapi mereka adalah perempuan, dan mereka tak akan sanggup menggendong tubuh Anne. Aku juga ketemu dengan beberap staf pria, tapi mereka tidak membawa mobil. Karena mobilku terparkir di depan perusahaan, maka hal yang terpikir olehku adalah menolongnya,”
“Kau pasti bohong,”
“Terserah. Yang jelas aku sudah menjelaskan semuanya. Percaya atau tidak, terserah padamu,” ucap Richard kesal. Lelaki itu beranjak tapi Hilda menghalau dengan lengannya.
“Sebenarnya ada hubungan apa antara kau dan wanita itu? Kenapa kau begitu mengkhawatirkannya, memperhatikannya? Apa kau mengenalnya sebelumnya? Atau, kau benar-benar tertarik dengan wanita itu?”
Richard mendesah lalu mundur beberapa langkah.
“Hilda, kumohon. Berhentilah bersikap seperti itu. Aku muak dengan semua kecurigaanmu,”
“Katakan padaku tentang semuanya! Jangan membohongiku!”
Lalu aku harus menceritakan apa?” Richard juga berteriak.
“Semua hal tentang Anne! Apa kalian ada hubungan? Apa dia menggodamu?”
Richard melotot ke arah Hilda.
“Kau pikir dia perempuan macam apa hingga harus menggodaku? Dia perempuan baik-baik, Hilda,”
Lantas, kenapa kau selalu membelanya?”
“Karena aku mengenalnya, dulu, semasa kuliah,”
Hilda membelalak. Ia tertawa sinis.
“Kenapa kau tak menceritakan padaku kalau kalian saling mengenal?”
“Karena memang tak perlu diceritakan, itu tak penting,”
Bohong. Ada sesuatu di antara kalian ‘kan?”
Richard mengangkat bahunya putus asa.
“Aku muak dengan semua interogasimu, Hilda,” ucapnya kemudian seraya  melangkahkan kakinya meninggalkan istrinya sendirian tanpa menghiraukan panggilannya.
Lelaki bermata teduh itu bergerak menuju mobilnya yang terparkir di garasi dan dengan kesal, ia mengemudikan mobilnya menyusuri jalan raya. Sebenarnya ia tak tahu harus kemana dan hanya asal saja menyetir mobil. Tapi, tiba-tiba terpikir olehnya untuk mengarahkan mobilnya ke arah rumah sakit, tempat Anne di rawat.
Ketika sampai di sana, dilihatnya perempuan itu sedang tertidur, sendirian. Tadinya Richard ingin berbalik arah karena takut mengganggu Anne yang sedang istirahat. Tapi ia batal melakukannya. Yang ia lakukan selanjutnya adalah duduk di kursi yang berada tak jauh dari ranjang Anne lalu menatap perempuan itu dengan lekat.
Jika dipikir-pikir lagi, Richard memang merasa bersalah tentang insiden kemarin. Hilda benar, meski tidak seluruhnya. Bagaimanapun juga, ia seorang lelaki yang sudah menikah, dan sangat aneh jika ia mau repot-repot menolong dan mengantarkan Anne ke rumah sakit sementara wanita itu hanyalah bawahan dari istrinya. Tentu karyawan yang lainnya akan menggosipkan hal itu. Toh bisa saja sebetulnya ia menyuruh orang lain untuk mengantarkan Anne ke klinik. Hanya saja, waktu itu Richard serasa tak bisa berpikir jernih. Menyaksikan Anne terkulai lemas dalam pelukannya dan berlumuran darah, pikirannya kacau. Dan yang terpikir olehnya hanyalah membawa perempuan itu ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan, secepatnya!

***

          Ketika Anne membuka mata, ia melihat perawat tengah memasuki ruangan untuk mengganti infusnya yang habis.
“Apakah ada tamu untukku?” tanya Anne. Perawat itu tersenyum ramah.
“Tamu? Sepertinya tidak ada, bu. Ibu tidur dengan pulas sendirian,” jawab perawat tersebut dengan ramah. Anne mengernyitkan.
“Aneh, aku merasa seseorang mengunjungiku dan duduk di kursi itu lama sekali,” gumamnya lirih seraya melirik ke arah kursi yang berada tak jauh dari tempat tidurnya, tanpa ia tahu bahwa Richard baru saja meninggalkan ruangan itu sekitar beberapa menit yang lalu.

***

          Setelah 2 hari dirawat di Rumah Sakit, dokter memperbolehkan Anne pulang. Dan tak butuh waktu lama baginya untuk kembali bekerja. Perempuan itu sudah menyiapkan kuda-kuda andaikan saja Hilda menyemprotnya amarah. Toh Brian sudah memperingkatkannya tentang hal itu. Tapi, ini diluar dugaannya ketika Hilda bersikap biasa saja ketika mereka bertemu di kantor. Dia tidak mengomel dan tidak mengucapkan kata-kata sarkasme seperti yang biasa ia lakukan selama ini. Sebaliknya, Hilda mengeluarkan kalimat yang sedikit lebih bijaksana dibanding biasanya.
“Aku tidak akan memarahimu dengan insiden di dalam lift beberapa hari yang lalu karena bagaimanapun juga kau  memang benar-benar sakit. Tapi aku ingin memperingatkanmu beberapa hal. Kuharap kau tak terlalu besar hati karena suamiku telah menolongmu. Ketahuilah, ia selalu baik pada semua orang, bahkan pada semua wanita yang baru ia temui karena memang begitulah orangnya. Ia terlalu ramah dan mudah bergaul pada siapapun. Jadi, jangan pernah berpikir sedikitpun bahwa ia tertarik padamu meskipun ia baik padamu. Kuharap, kau tak salah sangka dengan semua perhatian yang mungkin saja ia berikan padamu selama ini,” ucap Hilda. Anne mulai mengerti maksud pembicaraan Hilda dan perempuan itupun mengangguk.
“Dan mulai besok, kau tak perlu bekerja lagi padaku,”
Anne mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Hilda selanjutnya.
“Maksud anda?”
“Kami sepakat memindahkanmu ke bagian personalia. Dan kau akan menjadi asisten pribadi pak Robert,”
Anne terhenyak.
“Kenapa? Apa kerja saya tak bagus di sini?”
Hilda menggeleng.
“Tidak, kau bekerja sangat bagus. Hanya saja, ini keputusan dari perusahaan. Jika kau tak mematuhinya, kau akan dipecat,” Hilda menatap perempuan cantik itu dengan seksama.
Anne terdiam. Sedikit bingung dengan perubahan itu, tapi ia menerimanya.
Oke, apapun yang ingin kau lakukan, lakukan saja. Aku takkan menyerah. Ucapnya dalam hati.
“Ah, Anne. Ini sama saja dengan keluar dari mulut harimau, masuk ke kandang singa,” ucap Brian kesal ketika Anne menceritakan tentang kepindahannya ke bagian personalia, sore itu, sambil makan malam di sebuah restoran italy. 
“Apa mereka memindahkanmu karena insiden di lift beberapa waktu yang lalu?” tanya Brian lagi.
Anne mengangguk.
“Sepertinya memang begitu. Aku sempat mendengarnya dari beberapa karyawan yang berbisik-bisik di belakangku. Sepertinya mereka tak ingin ada gosip berlebihan antara aku dan suami bu Hilda. Itulah sebabnya mereka memindahkanku dari kantor bu Hilda. Agar gosip ini tak terus berlanjut,” jawabnya. 
Brian mendesah kesal.
“Bu Hilda memang seperti nenek sihir. Ia memperlakukanmu dengan seenaknya. Tapi sepertinya, bekerja padanya lebih baik daripada dengan pak Robert. Yaaah, kau tahulah maksudku,”
Lelaki itu kembali menggerutu. Dan Anne hanya mampu mengangkat bahu, kecewa.
Ya, Brian benar. Ini sama seperti keluar dari mulut harimau dan masuk ke kandang singa. Bu Hilda memang kejam, tapi pak Robert lebih menakutkan. Hal ini dikarenakan, lelaki beristri yang sudah berumur sekitar 40 tahun itu terkenal mata keranjang dan suka main perempuan. Dan bukan rahasia lagi jika lelaki itu jatuh cinta setengah mati dengan Anne. Ia masih ingat dengan jelas suatu malam ketika mereka bertemu di sebuah pesta yang diadakan perusahaan, pak Robert menatapnya dengan mata tak berkedip dan seolah-olah ingin menelannya hidup-hidup. Beberapa kali lelaki genit itu berusaha merayunya baik dengan perhatian ataupun memberikannya hadiah barang-barang mewah. Tapi sejauh ini, Anne selalu bisa menolaknya dengan halus. Ia bahkan berhasil menghindari kontak dalam bentuk apapun dengannya. Meskipun itu tidak mudah.
Dan sekarang, tiba-tiba ia diharuskan bekerja dengannya? Ini pasti bercanda.
Tidak bisakah kau mengajukan penolakan atas keputusan ini?” Brian menyarankan. Anne terdiam sesaat. Ia ingin melakukannya, tapi pasti itu akan sulit dan percuma.
“Tenanglah, Brian. Kau sendiri tahu ‘kan bahwa aku bukan perempuan lemah yang mudah digoda. Aku pasti akan menghajarnya jika dia berani macam-macam denganku. Kau harus ingat bahwa aku mahir judo,”
Anne berusaha menenangkan sahabatnya tersebut, meskipun hati kecilnya sendiri juga merasa takut dan was-was.
“Jika dia berani mengganggumu, katakan saja padaku. Aku pasti tak akan tinggal diam,”
Anne tersenyum mendengar ucapan Brian.
“Thanks ya,” ucapnya.
Dan bekerja pada pak Robert, memang benar-benar tak mudah. Pak Robert memang tidak memperlakukan Anne seperti Hilda dengan menyuruhnya kesana-kemari untuk hal-hal tak masuk akal. Toh, lelaki itu juga sudah beristri. Sehingga  ia memang tak pernah memintanya untuk datang ke rumah. Jadi, pekerjaan apapun itu, Anne selalu menyelesaikannya di kantor. Tapi, berada di dekat lelaki itu benar-benar membuat Anne selalu siap siaga. Pak Robert senantiasa menatapnya dengan tatapan menggoda dan amat genit. Tak jarang ia curi-curi pandang padanya, merayunya, mengajaknya makan, memberikannya sesuatu, bahkan kadang-kadang dengan nakal ia menyentuh dan meraba tangan Anne. Tentu saja perempuan itu tak tinggal diam.
“Biar saya perjelas ini, pak. Saya memang bawahan bapak, tapi anda tak bisa memperlakukan saya seenaknya seperti wanita penghibur. Mari kita buat batasan ini agar tak ada yang salah sangka. Anda adalah atasan saya, dan saya adalah bawahan anda. Hubungan kita adalah hubungan pekerjaan. Jadi, harap anda bersikap profesional. Saya tak akan tinggal diam jika anda berani melecehkan saya,” Anne mengancam. Bukannya surut, pak Robert malah terlihat menikmatinya.
Aku selalu suka dengan wanita galak. Mereka selalu punya daya tarik tersendiri untuk ditakhlukkan,” jawab pak Robert dengan senyum lebarnya yang menurut Anne sangat menyebalkan.
“Terserah, itu urusan anda. Dan urusan saya, menyelesaikan pekerjaan saya sebaik mungkin tanpa ada gangguan-gangguan tak penting yang bisa merusak konsentrasi saya. Terima kasih,” jawab Anne sengit seraya beranjak meninggalkan atasannya.
Dan kejadian seperti memang tidak terjadi satu atau dua kali saja. Berkali-kali ketika pak Robert menggodanya, Anne selalu menegurnya dengan sengit. Tak jarang, ia harus sedikit beradu argumen dengannya, tentu saja jika mereka hanya berduaan saja. Anne tak akan berani untuk melakukan perlawanan jika mereka berada di hadapan orang banyak, apalagi karyawan-karyawan yang lain.

***

Malam itu, sepulang kerja, Anne memutuskan untuk tak pulang dulu ke rumah. Sebenarnya tadi siang Brian sudah menawarkannya untuk mengantarkannya pulang. Tapi Anne menolak dengan alasan bahwa ia masih punya urusan pribadi.
Dan tujuannya sebenarnya adalah berjalan-jalan menikmati suasana kota di malam hari, melepas lelah dan membuang rasa stress.
Ia melangkah menyusuri trotoar dengan perlahan. Tak jarang ia berhenti di depan warung kudapan kecil di pinggir jalan untuk membelinya. Setelah puas berburu kuliner, ia memutuskan untuk ke toko buku. Mencari bacaan atau novel yang bisa melepas rasa lelahnya setelah pulang bekerja. Tapi, ketika sedang asyik memilih-milih buku, seseorang menyapanya dengan lembut. Richard!
“Belum pulang?” tanya lelaki itu, dengan senyum khasnya yang menawan. Anne menggeleng.
“Aku masih harus mencari beberapa novel untuk hiburan,” jawabnya.
“Kau masih suka membaca novel?”
Anne kembali mengangguk.
“Yaa, meskipun tidak sesering dulu karena waktuku sudah tersita habis untuk pekerjaan. Hanya jika ada waktu luang saja. Hitung-hitung untuk melepas stress,” jawabnya.
“Mmm, bagaimana kalau kita ngobrol sambil makan?” ajak Richard sedikit ragu-ragu.
“Maaf, tapi aku sudah makan,”
“Kalau hanya sekedar minum teh?”
Anne tak segera menjawab. Tapi akhirnya ia mengiyakan ajakan Richard dan merekapun beranjak menuju kafe yang berada di seberang toko buku tersebut.
“Ngomong-ngomong, akhir-akhir ini kau tak pernah lagi datang ke rumah. Kenapa? Apa Hilda melakukan hal buruk lagi padamu?” Tanya Richard seraya membantu memasukkan 2 sendok gula ke dalam cangkir teh Anne. Ia masih hafal kebiasaan Anne yang suka minum secangkir teh dengan takaran 2 sendok teh gula. Kadang-kadang lelaki itu juga merasa heran. Anne penyuka makanan manis, tapi bentuk tubuhnya tak berubah sama sekali. Ia masih saja terlihat ramping.
“Kenapa? Apa kau merindukan kehadiranku?” tanya Anne dengan tatapan nakal. Bibirnya yang seksi nampak sedikit manyun dan bola matanya yang bulat mengerjap-ngerjap dengan indah. Ia tersenyum menggoda ke arah Richard hingga membuat jantung lelaki tersebut terasa berlompatan. Ia terkesiap. Ia benar-benar terpesona dengan apa yang dilihatnya saat ini. Sepertinya, baru kali ini ia menyaksikan Anne yang seperti ini - centil dan manja. Dulu ketika masih menjadi pacarnya, tak pernah sekalipun Anne bersikap menggoda ataupun bermanja-manja padanya. Maklum, Anne adalah seorang perempuan mandiri dan sedikit pendiam. Ayahnya sudah lama meninggal dan selama ini ialah yang menjadi tulang punggung keluarga membiayai ibunya yang sering sakit-sakitan sekaligus membiayai kedua adiknya yang masih menempuh pendidikan. Dan mungkin itulah sebabnya hingga Anne tumbuh menjadi wanita yang serius dan realistis. Dan yang pasti, ia perempuan yang kuat dan tegar.
Menurut Richard, sekarang Anne menjadi sosok yang sedikit berbeda. Ia tak lagi terlihat serius dan dingin. Sekarang Ia pandai membawa diri dan pandai bergaul. Ia ramah pada setiap orang yang ia temui. Bahkan padanya – meskipun awalnya tidak. Sekarang ia juga pandai menonjolkan kelebihan-kelebihannya dalam hal penampilan. Dulu ia hanya seorang wanita yang suka memakai celana jeans dan  kaos oblong. Tapi sekarang, ia terlihat menawan dengan pakaian kerjanya. Pakaian yang selalu melekat dengan sempurna di tubuhnya hingga makin menunjukkan bentuk tubuhnya yang ramping dan mempesona. Richard bahkan seakan baru menyadari bahwa Anne punya sepasang kaki yang jenjang dan indah. Tentu saja, dulu kaki itu senantiasa terbalut dengan celana jeans. Tapi sekarang, tidak lagi. Anne kerap memakai rok pendek yang beberapa centi berada di atas lututnya hingga matanya leluasa menatap kakinya yang mulus dan menawan.
Richard sempat menggerutu dalam hati. Ia salah karena telah mengagumi wanita lain sementara ia adalah lelaki yang sudah menikah. Tapi, naluri lelakinya tak bisa berbohong untuk terus mengagumi Anne!
Lamunan lelaki itu buyar ketika ia mendengar gelak tawa Anne. Dan untuk kesekian kalinya, ia juga terpesona dengan tawa itu.
“Jangan terlalu serius begitu, Rich. Aku hanya bercanda,” ucapnya.
“Jangan khawatir, aku tahu kau sangat mencintai istrimu. Dan sesuatu hal yang tidak mungkin jika kau bisa tergoda padaku,” ia menambahkan seraya menyeruput teh hangatnya. Richard tersenyum. Kecut.



Bersambung...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar