Bab 3
Sejak kejadian di
malam hujan tersebut, hubungan antara Anne dan Richard mulai sedikit mencair.
Memang belum sepenuhnya. Tapi setidaknya, ketegangan di antara mereka tak lagi
selalu terjadi ketika mereka bertemu.
Begitu pula dengan yang
terjadi pagi itu ketika mereka secara tak sengaja bertemu di depan pintu ruang
lobby. Richard datang untuk mengantarkan Hilda. Ketika melihat Anne, lelaki itu
tersenyum. Dan Anne-pun membalas senyuman itu meski sesaat dan agak canggung. Sesaat setelah Hilda masuk ke kantornya, Anne
diam-diam menemui Richard untuk mengembalikan jaket yang ia pinjam beberapa
waktu yang lalu.
“Terima
kasih. Aku sudah mencucinya bersih,” ucap Anne.
Richard
tersenyum dan mengangguk. Lalu mereka berpisah, begitu saja. Richard bergerak
menuju mobilnya yang terparkir di parkiran, sementara Anne kembali melangkahkan
kakinya menuju kantornya.
“Tumben kau tak melakukan
kebiasaanmu?” Brian menyapa dan menyamai langkah Anne.
“What?” tanya Anne heran.
Mereka melangkah bersama-sama menyurusi lorong-lorong kantor.
“Biasanya kau akan
berlari-lari kecil, tergesa-gesa, menggerutu, dan memaki-maki nenek sihir itu.
Tapi hari ini kau terlihat sedikit ... tenang,” ucap Brian lagi.
Anne tersenyum.
“Aku sudah melakukannya sekitar
1 jam yang lalu,” jawabnya enteng. Brian mengernyitkan dahinya.
“Apa?”
“Apa kau pikir nenek sihir itu
akan membiarkanku hidup dengan tenang? Tentu saja tidak. Hari ini ia sudah
memberiku setumpuk pekerjaan yang harus diselesaikan. Itulah sebabnya aku
berangkat lebih awal dan sejak sejam yang lalu aku sudah ada di kantor.
Sekarang, aku ingin ke kantin untuk makan pagi,” jawab Anne panjang lebar.
Brian menatapnya dengan takjub.
“Kenapa kau menatapku seperti
itu? Apa kau pikir aku layak menerima award sebagai pegawai teladan?” goda
Anne. Brian tersenyum.
“Ya, kau layak mendapatkannya,
cantik. Dan pertanyaanku adalah, sebenarnya Tuhan menciptakanmu dari apa? Dari
berlian? Bagaimana kau bisa menjadi wanita yang sempurna seperti ini?”
Anne tertawa.
“Berhentilah merayuku. Aku
kelaparan,”
“Oke, akan kutemani kau
makan,” Brian mengikuti langkah Anne menuju kantin.
“Boleh aku menanyakan
sesuatu?” tanya Brian lagi ketika mereka sudah duduk di kantin dengan hidangan
di meja yang telah siap untuk disantap.
“Tentang apa? Tentang diriku
yang terbuat dari apa?” Anne kembali menggoda seraya memasukkan sesendok bubur
ayam ke dalam mulutnya.
Brian menggeleng.
“Bukan. Tentang pak Richard,”
Anne nyaris tak bisa menelan
makanan yang ada di mulutnya ketika mendengar nama Richard disebut.
“Kenapa dengannya?” Anne bertanya, tanpa berhenti mengunyah.
“Aku melihat hubungan yang
berbeda antara kau dan dia. Kalian terlihat canggung. Kau tak biasa bersikap
seperti itu pada orang lain. Berceritalah padaku, Anne. Apakah terjadi sesuatu
di antara kalian? Apa kau telah mengenalnya sebelumnya?”
Anne tak segera menjawab.
Brian menatapnya dengan lembut dan seksama. Sebenarnya Anne enggan bicara
sejujurnya. Tapi selama ini Brian adalah satu-satunya orang tempat ia berbagi
dan yang sangat ia percaya. Jadi, jika ia tak bercerita yang sebenarnya, ia
merasa seperti seorang pengkhianat.
“Dia mantan pacarku,” jawab
Anne lirih.
Brian melotot.
“Kami berpacaran ketika kami
masih kuliah,” Anne melanjutkan.
“Jadi, dia adalah orang yang
telah mencampakkanmu demi wanita lain itu?” tanya Brian. Anne mengangguk. Ya,
Anne juga telah bercerita tentang masa lalunya dengan Richard pada Brian.
“Ya Tuhan, kenapa kau tak
cerita hal ini dari awal? Kau pasti tidak nyaman bertemu dengannya
terus-terusan? Harusnya aku menghajarnya ketika kalian ribut di pesta waktu
itu,” Brian sedikit menggerutu.
“Ah, sudahlah. Semua sudah berlalu. Aku sudah melupakannya. Jadi, jangan berpikir ataupun
bertindak macam-macam,”
“Tapi, Anne__”
“Dan kuharap kau mau menjaga rahasia ini.
Anggap saja di antara kami tak pernah terjadi apa-apa. Karena akupun telah
melakukan hal yang sama,” Anne memohon. Dan Brian-pun mengiyakan.
***
Hilda sedang memeriksa beberapa berkas di meja kerjanya
yang berada di samping ruang baca ketika hujan kembali turun dengan lebat. Musim penghujan, dan hujan nyaris turun setiap hari,
setiap waktu.
Sementara Richard sibuk
menyiapkan makan malam di ruang makan.
“Makan malam sudah siap, ayo kita makan dulu ya,” ajak
Richard ketika hidangan di meja makan telah siap disantap. Hilda hanya menjawab
pendek dengan pandangan masih berada pada berkas-berkas di mejanya. Sesaat
kemudian ia beranjak, bukan ke arah meja makan, tapi ke arah meja telepon untuk
melakukan panggilan. Sesaat tampak ia
sedang menekan beberapa nomor.
“Hallo, Anne, bagaimana
berkas-berkas yang tadi siang ku maksud? Sudah selesai ‘kan? Kalau begitu,
antarkan ke rumahku, sekarang juga,”
perintahnya singkat. Setelah mengakhiri pembicaraan, perempuan itu kemudian
beranjak ke arah kursi meja makan yang berada di seberang Richard.
“Kau menyuruh Anne ke sini
dalam cuaca seperti ini?” tanya Richard.
“Ya, ada masalah?”
Richard menatap istrinya
dengan tatapan kesal.
“Tidakkah kau punya perasaan
sedikit? Asisten pribadimu adalah seorang wanita dan kau menyuruhnya kesini
sementara di luar sana sedang hujan badai?”
“Sekarang memang musim penghujan. Hujan turun hampir
setiap hari, dan aku tak bisa merubah cuaca menjadi cerah. Lagipula, dia bisa ke sini
dengan naik taksi atau kendaraan umum. Aku tidak menyuruhnya kesini jalan kaki
‘kan?” jawab Hilda ketus.
“Tak bisa menunggu sampai besok?”
“Tidak,”
“Atau, suruhlah
pegawaimu yang laki-laki untuk mengantarkannya,”
“Tidak ada. Hanya Anne yang bisa. Lagipula, besok pagi aku harus ke Bali dan malam ini juga segala sesuatunya harus
sudah beres. Kenapa tiba-tiba kau harus heboh
membelanya?”
“Aku tidak membelanya. Aku
hanya mengkhawatirkan bawahanmu. Dan aku juga akan melakukan hal yang sama jika
ini juga terjadi padamu,”
Hilda tertawa sinis.
“Kenapa kau harus khawatir
padanya? Apa kau menyukainya?” tanya
perempuan tersebut. Richard mendesah.
“Ah, jangan mulai lagi,
sayang,”
“Katakan padaku, apa kau menyukai perempuan itu hingga
kau harus repot-repot mengkhawatirkannya?”
“Kau selalu seperti ini. Cemburu tak beralasan,” Richard
menggerutu.
“Tak beralasan? Kau
jelas-jelas mengkhawatirkan wanita lain, dan kau bilang aku hanya cemburu yang
tak beralasan?”
“Bukankah aku sudah bilang,
aku juga akan khawatir padamu jika kau mengalami hal yang sama,”
Keduanya bersitegang.
“Lihat saja jika kau berani
menyukainya,” Hilda terdengar mengancam.
Richard menatap istrinya
dengan jengkel.
“Kau cemburu buta, Hilda. Aku bosan mendengarnya. Sampai
kapan kau akan berhenti curiga dan cemburu pada semua wanita yang pernah
kutemui? Tidakkah yang kulakukan selama ini cukup bagimu? Kau menyuruhku
berhenti berkarir karena kau takut aku bertemu dengan banyak wanita cantik, aku
melakukannya. Kau menyuruhku di rumah dan mengurusi bisnis dari rumah, akupun
melakukannya. Aku bahkan tidak mendebatmu ketika kau membatasi semua akses
pertemananku. Apa lagi yang kau inginkan, Hilda? Sikap possesif-mu mulai
keterlaluan,” sorot mata Richard terlihat tajam.
“Aku hanya tidak mau
kehilanganmu!”
“Aku
tidak akan kemana-mana, kau tahu? Kau tidak akan kehilanganku,”
Richard masih ingin kembali berargumen, tapi kata-katanya tertahan
ketika dari balik jendela ruang makan ia melihat bayangan tubuh semampai tengah
berlari-lari kecil menyusuri taman halaman rumah dan menembus derasnya hujan.
Ia menyaksikan perempuan itu nyaris terjatuh karena melangkah dengan
tergesa-gesa. Dan tak lama kemudian, Anne muncul dari balik ruang tamu. Ia
mengenakan baju yang berbeda malam itu. Tubuhnya yang indah hanya dibalut
celana jeans ketat dan sweater tipis berwarna biru muda. Rambutnya yang panjang
bergelombang hanya diikat sembarangan dengan jepit rambut. Penampilannya terlihat
lebih kasual dan santai.
Richard menatap perempuan itu
dengan iba. Tadi ia memang menggunakan payung, tapi hujan yang teramat deras
tetap saja membuat sebagian bajunya basah. Ikal-ikal rambut yang berjuntaian
itu juga sedikit basah. Ia bahkan juga melihat beberapa titik air hujan mengenai wajah Anne yang mulus tanpa sentuhan
make-up.
“Kami masih makan malam.
Bisakah kau tunggu sebentar di ruang tamu,” sapa Hilda ketus. Anne hanya
tersenyum dan mengangguk. Tatapan matanya sempat singgah sesaat ke arah Richard
sebelum akhirnya perempuan itu memutar tubuhnya menuju ruang tamu.
Richard menatap marah ke arah
Hilda.
“Aku sudah selesai makan,”
ucapnya seraya meletakkan sendok dan garpunya dengan kasar, lalu beranjak
meninggalkan Hilda sendirian di meja makan.
***
Hilda ke Bali selama 2 hari untuk melakukan beberapa
meeting dengan klien. Ia kesana dengan Roy, pegawai
magang di kantornya, tanpa mengajak serta Anne. Tak
jelas alasan Hilda tidak mengikutsertakan Anne, tapi yang jelas, Anne merasa
bersyukur.
Tapi, Hilda tetaplah
Hilda. Ia takkan membiarkan hidup Anne berlalu dengan tenang.!
Perempuan itu mungkin baru
saja menginjakkan kakinya di Bali selama beberapa jam ketika tiba-tiba saja ia
menelpon Anne dan mengatakan bahwa ia membutuhkan beberapa gaun yang indah
karena ternyata kliennya mengundangnya ke sebuah pesta kejutan. Dan, ia
menyuruh Anne untuk mengambilkan beberapa koleksi baju terbaiknya di rumah lalu
mengantarkannya ke Bali!
Anne
melotot.
Ke
Bali?! Sekarang?! Sinting!
Tapi,
ia tak punya pilihan selain mengiyakan permintaan bosnya itu.
“Wanita ini benar-benar akan
membuatku gila,” Anne menggerutu sambil berlari-lari kecil menyusuri halaman
rumah Richard. Lelaki itu sedang berada diteras rumah memeriksa tanamannya
ketika Anne datang.
“Bisakah kau menghentikan itu?
Kau membuatku takut,” Richard menyapanya dengan pertanyaan. Anne mengernyitkan
dahinya.
“Menghentikan __ apa?”
tanyanya heran.
“Hentikan kebiasaanmu
berlari-lari kecil seperti itu lagi. Kau mengenakan high heel dan jalanan
sedang tidak bagus setelah hujan. Kau bisa terpeleset,” ucapnya lagi. Anne
hanya tersenyum malu. Ia baru menyadari kebiasaannya tersebut. Ya, sepertinya
ia memang sering memasuki rumah Richard dengan berlari-lari kecil tanpa
mengindahkan berapa kali ia nyaris terpeleset. Entahlah, ia hanya melakukannya
tanpa sadar.
“Ada sesuatu?” tanya Richard lagi.
Anne terhenyak. Dan seolah
lupa dengan peringatan Richard barusan tadi, ia kembali berlari-lari kecil menghampirinya.
“Bu Hilda menyuruhku mengambilkan beberapa gaun yang ia
beli dari Kanada dan Paris. Gaun-gaun paling cantik yang ia punya. Dia bilang kau tahu gaun mana yan ia maksud,” jelasnya
kemudian.
“Mengambilkannya?” tanya
Richard heran. Anne mengangguk.
“Ia menyuruhku mengambilkannya
lalu mengantarkannya ke Bali hari ini juga,”
Richard melotot.
“Dia menyuruhmu jauh-jauh ke Bali hanya untuk
mengantarkan gaun?”
Anne mengangguk.
“Ya Tuhan, Hilda,” Richard
mendesis.
“Ah, sudahlah. Tak perlu
membahas itu. Cepat bantu aku menyiapkan baju-bajunya karena setengah jam lagi
pesawatku berangkat,” Anne nyaris berteriak.
Richard membelalak.
“Kau bahkan sudah memesan
tiket pesawat?” tanyanya. Anne kembali mengangguk.
“Ayolah, Rich. Bantu aku
berkemas-kemas, aku tak punya banyak waktu lagi,” Anne merengek-rengek dan
tanpa sadar ia memanggil Richard, Rich. Itu panggilan kesukaannya ketika mereka
masih berpacaran. Dan, ini untuk pertama kalinya ia kembali menggunakan sebutan
itu sejak perpisahan mereka 5 tahun yang lalu. Dan entah kenapa, Richard-pun
suka mendengarnya. Setidaknya, ia berpikir bahwa hubungan mereka sudah jauh
lebih baik dan normal.
“Oke, ikut aku,” ajak Richard
kemudian. Ia mengajaknya ke kamar Hilda dan mulailah mereka bekerja sama.
Richard mengambil baju-baju dari lemari dan Anne yang melipatnya dengan rapi
lalu memasukkannya ke dalam koper.
“Kau ke sini dengan taksi?”
“Ya,” jawab Anne pendek.
“Apa taksimu masih menunggu di
luar?”
Anne menepuk jidatnya dengan kesal.
Ia menatap Richard putus asa.
“Aku lupa bilang pada sopir taksi untuk menungguku karena aku terlalu terburu-buru,” desisnya. Richard manggut-manggut.
“Aku lupa bilang pada sopir taksi untuk menungguku karena aku terlalu terburu-buru,” desisnya. Richard manggut-manggut.
“Kalau begitu, biar aku yang
mengantarkanmu ke bandara,”
“Oke,” jawab Anne lagi tanpa
berpikir panjang.
Richard ikut membantu Anne
melipatkan baju-baju Hilda lalu memasukkannya ke dalam koper. Dan, akhirnya,
Richard-lah yang mengantarkan Anne ke bandara.
***
Jam menunjukkan hampir pukul 10 malam ketika Anne sampai di
rumah Richard. Lelaki itu sedang membaca di ruang baca ketika Anne mengetuk
pintu. Segera ia menunjukkan ekpresi kaget luar biasa ketika melihat Anne
berdiri di depan pintu dengan sebuah koper besar. Tampak kelelahan luar biasa.
“Anne? Bagaimana mungkin___
kau sudah berada di sini? Apa kau batal ke Bali?” tanya Richard heran.
Anne menatap lelaki di
depannya dengan kesal.
“Sudah. Aku sudah dari sana.
Tapi kemudian istrimu memintaku untuk segera kembali ke sini membawa semua
barang-barang belanjaannya. Aku benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran
istrimu. Dia jauh-jauh menyuruhku ke Bali mengantarkan gaun-gaun terbaiknya,
tapi ia juga masih sempat berbelanja dan menyuruhku pulang membawa barang
belanjaannya kembali?” Anne mengomel
sambil menarik koper besar tersebut ke dalam rumah.
Richard kembali menatap Anne
dengan iba.
“Maafkan aku, Hilda memang
kadang-kadang suka seenaknya,” ucapnya.
Anne
tertawa sinis seraya menatap lelaki jangkung di hadapannya.
“Kadang-kadang? Dia bahkan
melakukannya setiap hari!” teriak Anne kesal.
“Ya, aku tahu. Maafkan dia.
Sekarang, masuklah dulu. Akan kubuatkan teh agar kau lebih segar dan tenang,”
Richard mengajak Anne masuk ke dalam rumah tapi Anne menolaknya.
“Tidak. Tugasku hanya
mengantar barang ini sampai ke sini. Dan sekarang, tugasku sudah selesai. Aku
pulang,”
Anne beranjak. Tapi langkahnya
terhenti karena Richard menghalau langkahnya.
“Aku tahu kau marah karena
kelakuan Hilda. Tapi, masuklah dulu ke rumah. Aku akan segera menyuruh orang
untuk mengantarkanmu pulang,”
Anne tersenyum sinis. Ia
menatap lelaki di hadapannya dengan jengkel.
“Kau masih sempat berpikir
menyuruh orang mengantarkanku pulang? Untuk apa? Untuk permintaan maaf atas
perbuatan istrimu?”
“Tidak, Anne. Bukan itu
maksudku,”
“Lantas?”
“Sudahlah, jangan membahasnya.
Yang penting sekarang adalah, masuklah ke rumah sebentar. Kau perlu istirahat.
Setelah itu, aku janji aku akan menyuruh sopirku untuk mengantarkanmu pulang
dengan selamat,”
Anne kembali menatap Richard
dengan dalam. Hembusan angin malam membuat juntain rambut ikalnya yang berjatuhan
melambai-lambai.
“Aku tak tahu sampai kapan aku
bisa bertahan untuk bekerja pada orang semacam istrimu,” desisnya parau.
Richard balas menatapnya
dengan dalam.
“Jika kau memang tak suka
bekerja dengan istriku, maka berhentilah bekerja padanya,” ucapnya dengan nada
suara serius.
Anne terkekeh.
“Sudah sejak lama aku ingin
melakukannya. Aku ingin berhenti sejak pertama kali bertemu denganya. Aku ingin
berhenti sejak aku tahu dia adalah istrimu. Tapi aku tak bisa. Kau tahu kenapa?
Karena aku butuh pekerjaan ini untuk bertahan hidup. Aku merendahkan diriku
sendiri menerima semua penghinaan ini
karena aku juga masih punya 2 saudara yang harus menyelesaikan
pendidikan mereka. Puas kau sekarang?” Anne menatap pria di depannya dengan
tajam.
“Jika kau sudah memutuskan
untuk tetap bekerja pada Hilda, maka sudah sepantasnyalah kau bertahan padanya. Itu resiko dari keputusanmu, Anne,”
“Aku tahu itu, kau tak perlu
repot-repot mengingatkanku!” Nada suara Anne meninggi.
“Kalo begitu berhentilah
menggerutu dan mengeluh!” teriak Richard. Ia tampak kesal. Entah kesal pada
siapa.
Anne menatap Richard dengan
tatapan putus asa.
“Aku hanya tidak habis pikir,
apa yang membuatmu jatuh cinta pada Hilda? Kau mencampakkanku hanya untuk orang
semacam dia?!”
“Oh, Please, Anne. Jangan
mulai membahasnya lagi,”
“Apa yang membuatmu bertahan
dengannya sekian lama? Apa yang membuatmu bertekuk lutut padanya?”
“Cukup, Anne! Masuklah ke
rumah,” Richard menarik tangan Anne, tapi perempuan itu menepis tangannya dengan
kasar.
“Dia bahkan tidak bisa belajar
menghargai orang lain. Dia memperlakukan semua orang disekelilingnya seperti
sampah! Dia bahkan memperlakukanmu seperti pecundang!” Anne kembali berteriak, lepas kontrol.
“Kau bilang apa?”Richard
melotot mendengar Anne menyebutnya pecundang.
Keduanya berpandangan dengan
tajam.
“Pecundang. Itu benar ‘kan?
Dia memperlakukanmu seperti seorang lelaki yang tak punya harga diri!”
“Tutup mulutmu, Anne!”
“Aku tidak akan menutup
mulutku! Dimana Richard yang dulu selalu berwibawa? Dimana Richard yang dulu
selalu idealis!? Kau benar-benar menjadi orang yang berbeda! You’re so pathetic!”
“Aku bilang cukup!”
“Kau benar-benar menyedihkan
sebagai seorang laki-laki!”
“Diam kau! Kau tak berhak
mencampuri urusan keluargaku!”
“Aku memang tak berhak
mencampuri kehidupanmu lagi. Hanya saja, aku benar-benar tak habis pikir kenapa
kau mencampakkaanku untuk orang semacam dia? Kau benar-benar menjadi pecundang!”
Kata-kata Anne terhenti ketika
Richard beranjak ke arahnya, meraih wajahnya dengan kedua tangannya, lalu
mencium bibirnya dengan kasar.
Anne terbelalak. Terkejut
dengan ciuman yang tak terduga, reflek ia mendorong tubuh lelaki itu menjauh
lalu melayangkan tamparannya ke arah pipi Richard.
Bukannya jera, Richard kembali
melangkahkan kakinya mendekati Anne. Dan kali ini, ia meraih tubuh ramping
tersebut, memeluknya erat, lalu kembali mencium bibirnya yang lembut. Anne
berusaha meronta, tapi ia tak kuasa melepaskan diri dari rengkuhan Richard.
Bagaimanapun juga, tenaganya kalah kuat dengannya. Lelaki itu terus menciumi bibirnya dengan
kasar hingga membuat nafas Anne tersengal-sengal.
Dan entah bagaimana mulanya,
ciuman itu berubah pelan dan lembut. Richard makin erat memeluk tubuh Anne dan
Anne-pun seolah pasrah dengan ikut mengimbangi ciuman Richard. Dan sekian detik
kemudian, tidak hanya Richard yang menciuminya, tapi Anne-pun membalas ciuman
tersebut!
***
Bersambung....
p.s. gambar adalah Adam Levine
Tidak ada komentar:
Posting Komentar