Rabu, 17 Desember 2014

Come back to me, Bad Guy! - Part 3



Bab 3

           Sejak kejadian di malam hujan tersebut, hubungan antara Anne dan Richard mulai sedikit mencair. Memang belum sepenuhnya. Tapi setidaknya, ketegangan di antara mereka tak lagi selalu terjadi ketika mereka bertemu. 
Begitu pula dengan yang terjadi pagi itu ketika mereka secara tak sengaja bertemu di depan pintu ruang lobby. Richard datang untuk mengantarkan Hilda. Ketika melihat Anne, lelaki itu tersenyum. Dan Anne-pun membalas senyuman itu meski sesaat dan agak canggung. Sesaat setelah Hilda masuk ke kantornya, Anne diam-diam menemui Richard untuk mengembalikan jaket yang ia pinjam beberapa waktu yang lalu.
“Terima kasih. Aku sudah mencucinya bersih,” ucap Anne.
Richard tersenyum dan mengangguk. Lalu mereka berpisah, begitu saja. Richard bergerak menuju mobilnya yang terparkir di parkiran, sementara Anne kembali melangkahkan kakinya menuju kantornya.
“Tumben kau tak melakukan kebiasaanmu?” Brian menyapa dan menyamai langkah Anne.
“What?” tanya Anne heran. Mereka melangkah bersama-sama menyurusi lorong-lorong kantor.
“Biasanya kau akan berlari-lari kecil, tergesa-gesa, menggerutu, dan memaki-maki nenek sihir itu. Tapi hari ini kau terlihat sedikit ... tenang,” ucap Brian lagi.
Anne tersenyum.
“Aku sudah melakukannya sekitar 1 jam yang lalu,” jawabnya enteng. Brian mengernyitkan dahinya.
“Apa?”
“Apa kau pikir nenek sihir itu akan membiarkanku hidup dengan tenang? Tentu saja tidak. Hari ini ia sudah memberiku setumpuk pekerjaan yang harus diselesaikan. Itulah sebabnya aku berangkat lebih awal dan sejak sejam yang lalu aku sudah ada di kantor. Sekarang, aku ingin ke kantin untuk makan pagi,” jawab Anne panjang lebar. Brian menatapnya dengan takjub.
“Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa kau pikir aku layak menerima award sebagai pegawai teladan?” goda Anne. Brian tersenyum.
“Ya, kau layak mendapatkannya, cantik. Dan pertanyaanku adalah, sebenarnya Tuhan menciptakanmu dari apa? Dari berlian? Bagaimana kau bisa menjadi wanita yang sempurna seperti ini?”
Anne tertawa.
“Berhentilah merayuku. Aku kelaparan,”
“Oke, akan kutemani kau makan,” Brian mengikuti langkah Anne menuju kantin.
“Boleh aku menanyakan sesuatu?” tanya Brian lagi ketika mereka sudah duduk di kantin dengan hidangan di meja yang telah siap untuk disantap.
“Tentang apa? Tentang diriku yang terbuat dari apa?” Anne kembali menggoda seraya memasukkan sesendok bubur ayam ke dalam mulutnya.
Brian menggeleng.
“Bukan. Tentang pak Richard,”
Anne nyaris tak bisa menelan makanan yang ada di mulutnya ketika mendengar nama Richard disebut.
“Kenapa dengannya?” Anne bertanya, tanpa berhenti mengunyah.
“Aku melihat hubungan yang berbeda antara kau dan dia. Kalian terlihat canggung. Kau tak biasa bersikap seperti itu pada orang lain. Berceritalah padaku, Anne. Apakah terjadi sesuatu di antara kalian? Apa kau telah mengenalnya sebelumnya?”
Anne tak segera menjawab. Brian menatapnya dengan lembut dan seksama. Sebenarnya Anne enggan bicara sejujurnya. Tapi selama ini Brian adalah satu-satunya orang tempat ia berbagi dan yang sangat ia percaya. Jadi, jika ia tak bercerita yang sebenarnya, ia merasa seperti seorang pengkhianat.
“Dia mantan pacarku,” jawab Anne lirih.
Brian melotot.
“Kami berpacaran ketika kami masih kuliah,” Anne melanjutkan.
“Jadi, dia adalah orang yang telah mencampakkanmu demi wanita lain itu?” tanya Brian. Anne mengangguk. Ya, Anne juga telah bercerita tentang masa lalunya dengan Richard pada Brian.
“Ya Tuhan, kenapa kau tak cerita hal ini dari awal? Kau pasti tidak nyaman bertemu dengannya terus-terusan? Harusnya aku menghajarnya ketika kalian ribut di pesta waktu itu,” Brian sedikit menggerutu.
“Ah, sudahlah. Semua sudah berlalu. Aku sudah melupakannya. Jadi, jangan berpikir ataupun bertindak macam-macam,”
“Tapi, Anne__”
 “Dan kuharap kau mau menjaga rahasia ini. Anggap saja di antara kami tak pernah terjadi apa-apa. Karena akupun telah melakukan hal yang sama,” Anne memohon. Dan Brian-pun mengiyakan.

***

          Hilda sedang memeriksa beberapa berkas di meja kerjanya yang berada di samping ruang baca ketika hujan kembali turun dengan lebat. Musim penghujan, dan hujan nyaris turun setiap hari, setiap waktu.
Sementara Richard sibuk menyiapkan makan malam di ruang makan.
Makan malam sudah siap, ayo kita makan dulu ya,” ajak Richard ketika hidangan di meja makan telah siap disantap. Hilda hanya menjawab pendek dengan pandangan masih berada pada berkas-berkas di mejanya. Sesaat kemudian ia beranjak, bukan ke arah meja makan, tapi ke arah meja telepon untuk melakukan panggilan. Sesaat tampak ia sedang menekan beberapa nomor.
“Hallo, Anne, bagaimana berkas-berkas yang tadi siang ku maksud? Sudah selesai ‘kan? Kalau begitu, antarkan ke rumahku, sekarang juga,” perintahnya singkat. Setelah mengakhiri pembicaraan, perempuan itu kemudian beranjak ke arah kursi meja makan yang berada di seberang Richard.
“Kau menyuruh Anne ke sini dalam cuaca seperti ini?” tanya Richard.
Ya, ada masalah?”
Richard menatap istrinya dengan tatapan kesal.
“Tidakkah kau punya perasaan sedikit? Asisten pribadimu adalah seorang wanita dan kau menyuruhnya kesini sementara di luar sana sedang hujan badai?”
Sekarang memang musim penghujan. Hujan turun hampir setiap hari, dan aku tak bisa merubah cuaca menjadi cerah. Lagipula, dia bisa ke sini dengan naik taksi atau kendaraan umum. Aku tidak menyuruhnya kesini jalan kaki ‘kan?” jawab Hilda ketus.
“Tak bisa menunggu sampai besok?
“Tidak,”
Atau, suruhlah pegawaimu yang laki-laki untuk mengantarkannya,”
Tidak ada. Hanya Anne yang bisa. Lagipula, besok pagi aku harus ke Bali dan malam ini juga segala sesuatunya harus sudah beres. Kenapa tiba-tiba kau harus heboh membelanya?”
“Aku tidak membelanya. Aku hanya mengkhawatirkan bawahanmu. Dan aku juga akan melakukan hal yang sama jika ini juga terjadi padamu,”
Hilda tertawa sinis.
“Kenapa kau harus khawatir padanya? Apa kau  menyukainya?” tanya perempuan tersebut. Richard mendesah.
“Ah, jangan mulai lagi, sayang,”
Katakan padaku, apa kau menyukai perempuan itu hingga kau harus repot-repot mengkhawatirkannya?”
Kau selalu seperti ini. Cemburu tak beralasan,” Richard menggerutu.
“Tak beralasan? Kau jelas-jelas mengkhawatirkan wanita lain, dan kau bilang aku hanya cemburu yang tak beralasan?”
“Bukankah aku sudah bilang, aku juga akan khawatir padamu jika kau mengalami hal yang sama,”
Keduanya bersitegang.
“Lihat saja jika kau berani menyukainya,” Hilda terdengar mengancam.
Richard menatap istrinya dengan jengkel.
Kau cemburu buta, Hilda. Aku bosan mendengarnya. Sampai kapan kau akan berhenti curiga dan cemburu pada semua wanita yang pernah kutemui? Tidakkah yang kulakukan selama ini cukup bagimu? Kau menyuruhku berhenti berkarir karena kau takut aku bertemu dengan banyak wanita cantik, aku melakukannya. Kau menyuruhku di rumah dan mengurusi bisnis dari rumah, akupun melakukannya. Aku bahkan tidak mendebatmu ketika kau membatasi semua akses pertemananku. Apa lagi yang kau inginkan, Hilda? Sikap possesif-mu mulai keterlaluan,” sorot mata Richard terlihat tajam.
“Aku hanya tidak mau kehilanganmu!”
“Aku tidak akan kemana-mana, kau tahu? Kau tidak akan kehilanganku,”
Richard masih ingin kembali berargumen, tapi kata-katanya tertahan ketika dari balik jendela ruang makan ia melihat bayangan tubuh semampai tengah berlari-lari kecil menyusuri taman halaman rumah dan menembus derasnya hujan. Ia menyaksikan perempuan itu nyaris terjatuh karena melangkah dengan tergesa-gesa. Dan tak lama kemudian, Anne muncul dari balik ruang tamu. Ia mengenakan baju yang berbeda malam itu. Tubuhnya yang indah hanya dibalut celana jeans ketat dan sweater tipis berwarna biru muda. Rambutnya yang panjang bergelombang hanya diikat sembarangan dengan jepit rambut. Penampilannya terlihat lebih kasual dan santai.
Richard menatap perempuan itu dengan iba. Tadi ia memang menggunakan payung, tapi hujan yang teramat deras tetap saja membuat sebagian bajunya basah. Ikal-ikal rambut yang berjuntaian itu juga sedikit basah. Ia bahkan juga melihat beberapa titik air hujan  mengenai wajah Anne yang mulus tanpa sentuhan make-up.
“Kami masih makan malam. Bisakah kau tunggu sebentar di ruang tamu,” sapa Hilda ketus. Anne hanya tersenyum dan mengangguk. Tatapan matanya sempat singgah sesaat ke arah Richard sebelum akhirnya perempuan itu memutar tubuhnya menuju ruang tamu.
Richard menatap marah ke arah Hilda.
“Aku sudah selesai makan,” ucapnya seraya meletakkan sendok dan garpunya dengan kasar, lalu beranjak meninggalkan Hilda sendirian di meja makan.

***

          Hilda ke Bali selama 2 hari untuk melakukan beberapa meeting dengan klien. Ia kesana dengan Roy, pegawai magang di kantornya, tanpa mengajak serta Anne. Tak jelas alasan Hilda tidak mengikutsertakan Anne, tapi yang jelas, Anne merasa bersyukur.
Tapi, Hilda tetaplah Hilda. Ia takkan membiarkan hidup Anne berlalu dengan tenang.!
Perempuan itu mungkin baru saja menginjakkan kakinya di Bali selama beberapa jam ketika tiba-tiba saja ia menelpon Anne dan mengatakan bahwa ia membutuhkan beberapa gaun yang indah karena ternyata kliennya mengundangnya ke sebuah pesta kejutan. Dan, ia menyuruh Anne untuk mengambilkan beberapa koleksi baju terbaiknya di rumah lalu mengantarkannya ke Bali!
Anne melotot.
Ke Bali?! Sekarang?! Sinting!
Tapi, ia tak punya pilihan selain mengiyakan permintaan bosnya itu.
“Wanita ini benar-benar akan membuatku gila,” Anne menggerutu sambil berlari-lari kecil menyusuri halaman rumah Richard. Lelaki itu sedang berada diteras rumah memeriksa tanamannya ketika Anne datang.     
“Bisakah kau menghentikan itu? Kau membuatku takut,” Richard menyapanya dengan pertanyaan. Anne mengernyitkan dahinya.
“Menghentikan __ apa?” tanyanya heran.
“Hentikan kebiasaanmu berlari-lari kecil seperti itu lagi. Kau mengenakan high heel dan jalanan sedang tidak bagus setelah hujan. Kau bisa terpeleset,” ucapnya lagi. Anne hanya tersenyum malu. Ia baru menyadari kebiasaannya tersebut. Ya, sepertinya ia memang sering memasuki rumah Richard dengan berlari-lari kecil tanpa mengindahkan berapa kali ia nyaris terpeleset. Entahlah, ia hanya melakukannya tanpa sadar.
Ada sesuatu?” tanya Richard lagi.
Anne terhenyak. Dan seolah lupa dengan peringatan Richard barusan tadi, ia kembali berlari-lari kecil menghampirinya.
Bu Hilda menyuruhku mengambilkan beberapa gaun yang ia beli dari Kanada dan Paris. Gaun-gaun paling cantik yang ia punya. Dia bilang kau tahu gaun mana yan ia maksud,” jelasnya kemudian.
“Mengambilkannya?” tanya Richard heran. Anne mengangguk.
“Ia menyuruhku mengambilkannya lalu mengantarkannya ke Bali hari ini juga,”
Richard melotot.
Dia menyuruhmu jauh-jauh ke Bali hanya untuk mengantarkan gaun?”
Anne mengangguk.
“Ya Tuhan, Hilda,” Richard mendesis.
“Ah, sudahlah. Tak perlu membahas itu. Cepat bantu aku menyiapkan baju-bajunya karena setengah jam lagi pesawatku berangkat,” Anne nyaris berteriak.
Richard membelalak.
“Kau bahkan sudah memesan tiket pesawat?” tanyanya. Anne kembali mengangguk.
“Ayolah, Rich. Bantu aku berkemas-kemas, aku tak punya banyak waktu lagi,” Anne merengek-rengek dan tanpa sadar ia memanggil Richard, Rich. Itu panggilan kesukaannya ketika mereka masih berpacaran. Dan, ini untuk pertama kalinya ia kembali menggunakan sebutan itu sejak perpisahan mereka 5 tahun yang lalu. Dan entah kenapa, Richard-pun suka mendengarnya. Setidaknya, ia berpikir bahwa hubungan mereka sudah jauh lebih baik dan normal.
“Oke, ikut aku,” ajak Richard kemudian. Ia mengajaknya ke kamar Hilda dan mulailah mereka bekerja sama. Richard mengambil baju-baju dari lemari dan Anne yang melipatnya dengan rapi lalu memasukkannya ke dalam koper.
“Kau ke sini dengan taksi?”
Ya,” jawab Anne pendek.
Apa taksimu masih menunggu di luar?”
Anne menepuk jidatnya dengan kesal. Ia menatap Richard putus asa.
Aku lupa bilang pada sopir taksi untuk menungguku karena aku terlalu terburu-buru,” desisnya. Richard manggut-manggut.
“Kalau begitu, biar aku yang mengantarkanmu ke bandara,”
“Oke,” jawab Anne lagi tanpa berpikir panjang.
Richard ikut membantu Anne melipatkan baju-baju Hilda lalu memasukkannya ke dalam koper. Dan, akhirnya, Richard-lah yang mengantarkan Anne ke bandara.

***

          Jam menunjukkan hampir pukul 10 malam ketika Anne sampai di rumah Richard. Lelaki itu sedang membaca di ruang baca ketika Anne mengetuk pintu. Segera ia menunjukkan ekpresi kaget luar biasa ketika melihat Anne berdiri di depan pintu dengan sebuah koper besar. Tampak kelelahan luar biasa.
“Anne? Bagaimana mungkin___ kau sudah berada di sini? Apa kau batal ke Bali?” tanya Richard heran.
Anne menatap lelaki di depannya dengan kesal.
“Sudah. Aku sudah dari sana. Tapi kemudian istrimu memintaku untuk segera kembali ke sini membawa semua barang-barang belanjaannya. Aku benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran istrimu. Dia jauh-jauh menyuruhku ke Bali mengantarkan gaun-gaun terbaiknya, tapi ia juga masih sempat berbelanja dan menyuruhku pulang membawa barang belanjaannya kembali?” Anne mengomel sambil menarik koper besar tersebut ke dalam rumah.
Richard kembali menatap Anne dengan iba.
Maafkan aku, Hilda memang kadang-kadang suka seenaknya,” ucapnya.
Anne tertawa sinis seraya menatap lelaki jangkung di hadapannya.
“Kadang-kadang? Dia bahkan melakukannya setiap hari!” teriak Anne kesal.
“Ya, aku tahu. Maafkan dia. Sekarang, masuklah dulu. Akan kubuatkan teh agar kau lebih segar dan tenang,” Richard mengajak Anne masuk ke dalam rumah tapi Anne menolaknya.
“Tidak. Tugasku hanya mengantar barang ini sampai ke sini. Dan sekarang, tugasku sudah selesai. Aku pulang,”
Anne beranjak. Tapi langkahnya terhenti karena Richard menghalau langkahnya.
“Aku tahu kau marah karena kelakuan Hilda. Tapi, masuklah dulu ke rumah. Aku akan segera menyuruh orang untuk mengantarkanmu pulang,”
Anne tersenyum sinis. Ia menatap lelaki di hadapannya dengan jengkel.
“Kau masih sempat berpikir menyuruh orang mengantarkanku pulang? Untuk apa? Untuk permintaan maaf atas perbuatan istrimu?”
“Tidak, Anne. Bukan itu maksudku,”
“Lantas?”
“Sudahlah, jangan membahasnya. Yang penting sekarang adalah, masuklah ke rumah sebentar. Kau perlu istirahat. Setelah itu, aku janji aku akan menyuruh sopirku untuk mengantarkanmu pulang dengan selamat,”
Anne kembali menatap Richard dengan dalam. Hembusan angin malam membuat juntain rambut ikalnya yang berjatuhan melambai-lambai.
“Aku tak tahu sampai kapan aku bisa bertahan untuk bekerja pada orang semacam istrimu,” desisnya parau.
Richard balas menatapnya dengan dalam.
“Jika kau memang tak suka bekerja dengan istriku, maka berhentilah bekerja padanya,” ucapnya dengan nada suara serius.
Anne terkekeh.
“Sudah sejak lama aku ingin melakukannya. Aku ingin berhenti sejak pertama kali bertemu denganya. Aku ingin berhenti sejak aku tahu dia adalah istrimu. Tapi aku tak bisa. Kau tahu kenapa? Karena aku butuh pekerjaan ini untuk bertahan hidup. Aku merendahkan diriku sendiri menerima semua penghinaan ini  karena aku juga masih punya 2 saudara yang harus menyelesaikan pendidikan mereka. Puas kau sekarang?” Anne menatap pria di depannya dengan tajam.
“Jika kau sudah memutuskan untuk tetap bekerja pada Hilda, maka sudah sepantasnyalah kau bertahan padanya. Itu resiko dari keputusanmu, Anne,”
“Aku tahu itu, kau tak perlu repot-repot mengingatkanku!” Nada suara Anne meninggi.
“Kalo begitu berhentilah menggerutu dan mengeluh!” teriak Richard. Ia tampak kesal. Entah kesal pada siapa.
Anne menatap Richard dengan tatapan putus asa.
“Aku hanya tidak habis pikir, apa yang membuatmu jatuh cinta pada Hilda? Kau mencampakkanku hanya untuk orang semacam dia?!”
“Oh, Please, Anne. Jangan mulai membahasnya lagi,”
“Apa yang membuatmu bertahan dengannya sekian lama? Apa yang membuatmu bertekuk lutut padanya?”
“Cukup, Anne! Masuklah ke rumah,” Richard menarik tangan Anne, tapi perempuan itu menepis tangannya dengan kasar.
“Dia bahkan tidak bisa belajar menghargai orang lain. Dia memperlakukan semua orang disekelilingnya seperti sampah! Dia bahkan memperlakukanmu seperti pecundang!” Anne kembali berteriak, lepas kontrol.
“Kau bilang apa?”Richard melotot mendengar Anne menyebutnya pecundang.
Keduanya berpandangan dengan tajam.
“Pecundang. Itu benar ‘kan? Dia memperlakukanmu seperti seorang lelaki yang tak punya harga diri!”
“Tutup mulutmu, Anne!”
“Aku tidak akan menutup mulutku! Dimana Richard yang dulu selalu berwibawa? Dimana Richard yang dulu selalu idealis!? Kau benar-benar menjadi orang yang berbeda! You’re so pathetic!
“Aku bilang cukup!”
“Kau benar-benar menyedihkan sebagai seorang laki-laki!”
“Diam kau! Kau tak berhak mencampuri urusan keluargaku!”
“Aku memang tak berhak mencampuri kehidupanmu lagi. Hanya saja, aku benar-benar tak habis pikir kenapa kau mencampakkaanku untuk orang semacam dia? Kau benar-benar menjadi pecundang!”
Kata-kata Anne terhenti ketika Richard beranjak ke arahnya, meraih wajahnya dengan kedua tangannya, lalu mencium bibirnya dengan kasar.
Anne terbelalak. Terkejut dengan ciuman yang tak terduga, reflek ia mendorong tubuh lelaki itu menjauh lalu melayangkan tamparannya ke arah pipi Richard.
Bukannya jera, Richard kembali melangkahkan kakinya mendekati Anne. Dan kali ini, ia meraih tubuh ramping tersebut, memeluknya erat, lalu kembali mencium bibirnya yang lembut. Anne berusaha meronta, tapi ia tak kuasa melepaskan diri dari rengkuhan Richard. Bagaimanapun juga, tenaganya kalah kuat dengannya.  Lelaki itu terus menciumi bibirnya dengan kasar hingga membuat nafas Anne tersengal-sengal.
Dan entah bagaimana mulanya, ciuman itu berubah pelan dan lembut. Richard makin erat memeluk tubuh Anne dan Anne-pun seolah pasrah dengan ikut mengimbangi ciuman Richard. Dan sekian detik kemudian, tidak hanya Richard yang menciuminya, tapi Anne-pun membalas ciuman tersebut!

***



Bersambung....

p.s. gambar adalah Adam Levine

Tidak ada komentar:

Posting Komentar