Rabu, 10 Desember 2014

Come back to me, Bad Guy! - part 1



16 Oktober 2012

Bab 1

          Anne melangkahkan kakinya menyusuri ruang lobby dengan tergesa-gesa. Ketika memasuki lift, ia sempat berpapasan dengan Brian, rekan sekantornya sekaligus pengagum setianya.
“Wow, pagi yang sibuk sekali ya,” sapanya. Anne tersenyum seraya mengangguk.
“Yup, aku harus ada di kantor 30 menit sebelum nenek sihir itu datang,” ucapan Anne setengah berbisik hingga membuat Brian tergelak. Ya, baru saja ia menyebut bos-nya nenek sihir. Karena Hilda, bosnya yang baru itu memang seperti nenek sihir!
Jangan membayangkan sosok Hilda sebagai perempuan tua dengan wajah berkerut. Kenyataannya, perempuan itu cantik luar biasa. Usianya hanya lebih tua 3 tahun darinya, dan dia sangat  anggun, elegan, dan cantik. Hanya saja, ia orang yang terlalu cerewet dan arogan. Setiap pagi, ia selalu meminta pada Anne menyiapkan seikat mawar putih dalam vas di atas meja kerjanya. Dan juga, menyiapkannya secangkir kopi mocca yang tidak terlalu manis dan tidak terlalu pahit. Tidak terlalu panas, tapi juga tidak terlalu dingin. Ia bahkan meminta renovasi ulang kantornya agar sesuai dengan keinginannya. Dan ia juga senantiasa menyuruh Anne menaruh wewangian yang sesuai seleranya di setiap sudut ruangannya. Ribet sekali ‘kan?
Ini sangat berbeda dengan bu Carla, atasan Anne yang lama. Bu Carla perempuan setengah baya yang begitu penyabar dan penyayang. Ia bahkan sudah menganggap Anne sebagai anak sendiri. Ketika ia dipindahkan ke Singapura beberapa minggu yang lalu, ia pernah meminta secara pribadi pada Anne untuk ikut dengannya. Tapi Anne menolak dengan halus karena ia senang tinggal di sini.
“Ngomong-ngomong, apa kau mengganti parfum-mu?” Brian menatap Anne dengan penuh selidik. Hidungnya mengendus tak kentara. Pertanyaannya selalu terus terang seperti biasanya. Bukankah tadi sudah dibilang, Brian adalah pengagum setia Anne. Ia bahkan mau jungkir balik, jatuh bangun, untuk bisa mendapatkan cinta Anne. Tapi, Anne cuma bisa menganggapnya sebagai sahabat. Dan tak bisa lebih.
Perempuan cantik berhidung mancung itu kembali mengangguk dengan cemberut.
“Dia bilang dia tidak menyukai parfumku dan menyuruhku menggantinya,” jawabnya setengah menggerutu.
“Astaga, apa dia juga harus ikut mengurusimu sampai hal-hal seperti ini?”
“Sayangnya iya,” Anne menjawab dengan kesal.
“Dan, ada lagi,” ia menambahkan.
“Ia juga melarangku memakai sepatu dengan heel di atas 5 cm. Lihatlah ini,” ia menunjukkan sepatu butut ber-heel 3 cm yang tengah ia kenakan. Hanya itu sepatu kerja dengan heel pendek yang ia punya. Selama ini ia senantiasa mengenakan sepatu dengan heel di atas 7 cm karena ia memang suka high heel. Dan tentu saja hampir semua koleksi sepatunya punya heel di atas 7 cm.
Ia sempat berpikir bahwa permintaan bu Hilda cenderung tak masuk akal. Atau mungkin, ia tak ingin tinggi badannya tersaingi olehnya. Sebenarnya tinggi badan mereka tidak terpaut jauh. Bu Hilda mempunyai tinggi sekitar 168 cm, sementara Anne 170 cm. Jika mereka sama-sama memaki sepatu high heel, tentu saja Anne akan kelihatan lebih menjulang darinya.
“Dia juga menyuruhku untuk selalu menata rambutku dengan rapi. Tak boleh ada yang terurai sedikitpun. Kecuali poni,” Anne kembali menunjukkan rambutnya yang ditata dengan gelung sederhana berhiaskan pin warna putih, senada dengan baju atasannya. Brian menatapnya dengan kecewa. Tentu saja karena selama ini ia selalu menganggap bahwa Anne dengan rambut panjang bergelombang yang terurai dengan indah adalah yang paling cantik. Dan sepertinya ia takkan bisa menikmatinya lagi dalam waktu dekat ini.
“Sepertinya bu Hilda tidak akan pernah mau tersaingi olehmu,” ucapnya. Anne mengernyitkan dahinya.
“Maksudmu?”
“Bu Hilda memang cantik, tapi jika kau berdiri di sampingnya dan kau berdandan sedikit saja, kau lebih cantik darinya,”
Anne tersenyum.
“Kau selalu pandai merayu,’ jawabnya.
“Tidak, ini bukan rayuan, ini kenyataan. Semua orang sudah tahu itu. Kau bisa menanyakan pada mereka kalau kau tak percaya,”
Anne tertawa.
“Terima kasih,” ucapnya lagi. Ketika mereka sampai di lantai 10, Anne segera menyeruak begitu pintu lift terbuka.
“Kau bisa makan siang bersamaku?” teriak Brian.
“Akan ku usahakan,” jawab Anne seraya menatap Brian sekilas tanpa menghentikan langkah kakinya. Dan Brian kembali tersenyum menyaksikan tubuh ramping itu berlari-lari kecil dan nyaris saja menabrak seseorang yang berjalan dari arah berlawanan.


***

          Hilda melihat ke arah Anne sekilas lalu mulai mengomel lagi. “Rapikan rambutmu. Rambutmu berantakan sekali dan kau sama sekali tak terlihat cantik dengan tampilan seperti itu,” ucapnya merujuk pada beberapa ikal rambut Anne yang berjatuhan di samping telinganya.
 “Baik bu,” jawab Anne patuh sambil menyelipkan beberapa rambut ikalnya yang berjatuhan ke balik telinganya. Ah, pastinya rambut itu berterbangan ketika ia berlarian tadi pagi menyusuri lobby dan lorong kantor.
“Bagaimana persiapan pesta untuk lusa?” tanya Hilda. Anne mengangguk.
“Sudah beres, bu,”
“Aku tak mau ada kesalahan sedikitpun. Jadi pastikan semuanya berjalan lancar,”
Anne kembali mengangguk. Lusa memang akan di adakan pesta kecil-kecilan di hall  lantai satu. Pesta itu adalah acara penyambutan sekaligus perkenalan  Hilda dengan jajaran direksi dan beberapa staf penting di perusahaan. Memang sedikit terlambat mengingat  Hilda sudah berada di sini selama hampir seminggu. Tapi untunglah, ia ataupun yang lainnya tak mempermasalahkannya. Acara itu sekaligus perkenalan keluarga Hilda kepada semua orang untuk mempererat tali silaturahmi. Tapi dari yang Anne dengar dari karyawan lain, Hilda belum mempunyai putera ataupun puteri meski sudah menikah selama 4 tahun. Jadi, pastinya ia hanya akan datang bersama suaminya.
“Dan perbaikilah kembali rambutmu di kamar mandi. Tampilanmu tetap tak enak untuk dilihat,” ucap bu Hilda lagi dengan sengit.
“Ya bu,” tanpa banyak berkata Anne mengangguk lalu beranjak menuju kamar mandi untuk memperbaiki gelungan rambutnya. Ia sedikit menggerutu, tentunya. Ia pandangi bayangannya di cermin dengan seksama.
Apa yang salah dengan rambutnya? Ini tak terlihat berantakan sama sekali? Tanyanya dalam hati. Tapi, tetap saja ia mengurai rambutnya lalu kembali menggelungnya dengan sederhana seperti sedia kala.

***

          Pesta baru akan di mulai sekitar 15 menit lagi. Dan para tamu undangan mulai berdatangan satu persatu  menempati kursi yang telah di siapkan. Anne berdiri di samping Brian mengawasi para beberapa karyawan yang menyiapkan hidangan. Sesekali mereka menyapa para tamu yang memasuki hall.
“Kau tampak lelah sekali hari ini?” tanya Brian.
“Ya, aku menghabiskan seluruh energiku hanya untuk mempersiapkan pesta ini,” jawab Anne lirih. Brian menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut.
“Setelah pesta ini selesai aku akan mentraktirmu minum agar kau tak merasa penat lagi,”
Anne tersenyum.
“Terima kasih. You’re always be my best partner,” jawabnya.
Pembicaraan mereka terhenti ketika bu Hilda melangkah memasuki ruangan bersama seorang pria di sampingnya. Perempuan itu tampak begitu menawan dengan balutan gaun malam berwarna hitam elegan.
Brian dan Anne menyapa dan tersenyum ke mereka. Tapi, senyum di bibir Anne segera menghilang manakala tatapan matanya beradu pada sesosok pria jangkung berwajah tampan yang tengah di gandeng Hilda. Matanya membelalak dan tubuhnya serasa membeku. Hal serupa ternyata juga di alami oleh lelaki tersebut. Ia tampak terkejut melihat Anne. Sesaat pandangan keduanya terkunci.
“Perkenalkan, ini Richard Kein. Suamiku,” Hilda memperkenalkan pria di sampingnya. Brian mengulurkan tangannya dan menyalami pria tersebut dengan ramah. Pria tersebut mengalihkan pandangannya dari Anne lalu menyambut uluran tangan Brian dengan ramah sambil tersenyum. Namun begitu, tatapan matanya kembali singgah pada Anne yang masih tampak tegang.
“Dia adalah asisten pribadiku, sayang,” ucap bu Hilda lagi memperkenalkan Anne. Pria bernama Richard tersebut mengangguk lalu mengulurkan tangannya ke arah Anne.
Anne menelan ludah. Ia merasakan kerongkongannya  kering. Dengan berat dan perlahan ia menerima uluran tangan tersebut.
“Senang bertemu denganmu,” pria itu menyapa dengan suara kaku. Anne hanya tersenyum, dengan kaku pula.
Sebelum mereka beranjak menuju ke tempat duduk mereka, tatapan pria tersebut sempat kembali singgah pada Anne hingga membuat kedua makhluk tersebut saling berpandangan selama beberapa detik.
 “Ada apa denganmu? Kau seperti baru saja melihat hantu?” Brian membuka suara.
“Tidak, bukan hantu. Aku baru saja melihat iblis di ruangan ini,” tanpa sadar Anne menggumam.
“Apa? Iblis?”
Anne terhenyak. Ia segera tersenyum.
Nope, I’m just kidding,” jawabnya kemudian.
Pesta berlangsung dengan lancar dan Anne mengikutinya tanpa antusias. Sesekali tatapan matanya  kembali singgah pada lelaki yang duduk di samping  Hilda. Dan ternyata, pria itupun melakukan hal sama dengannya karena beberapa kali ia memergokinya sedang mencuri-curi pandang ke arahnya.
Anne tak ingin mempercayai penglihatannya sendiri. Tapi, lelaki itu memang dia! Richard Kein! Lelaki yang telah mencampakkanya 5 tahun yang lalu! Lelaki yang telah meninggalkannya demi wanita lain!
Dan, apakah wanita itu Hilda? Orang yang sekarang menjadi istrinya? Dan yang sekarang menjadi atasannya? Oh, astaga, Anne setengah tak percaya dengan apa yang di alaminya hari ini!
Jadi selama ini ia bekerja pada seorang wanita yang tak lain adalah istri dari mantan pacarnya dahulu?
“Brian, aku ingin keluar sebentar. Aku butuh udara segar,” tanpa menunggu Brian berkata-kata, Anne beranjak.
Perempuan itu berbalik dan .... praankkk! Tabrakan itu tak tak bisa dihindari. Ia bertabrakan dengan seroang pelayan yang membawa gelas-gelas minuman di baki. Tubuh Anna menghempas ke lantai, pantat terlebih dahulu,  sementara pelayan itu jatuh bersimpuh di dekatnya. Gelas-gelas minuman jatuh berserakan di lantai dan sebagian minuman tumpah di baju Anne dan pelayan tersebut. Tak ada yang terluka, tapi tetap saja kejadian itu memancing tatapan nyaris semua tamu, tak terkecuali  Hilda dan Richard Kein - yang juga tengah menatap ke arah Anne.
Anne menyibakkan rambutnya, ternyata peristiwa tersebut juga sempat membuat gelungan rambutnya terlepas hingga rambutnya yang panjang berombak terurai dengan bebas. Segera perempuan cantik itu bangkit. Ia menatap ke arah para tamu dengan tatapan tenang lalu meminta maaf.
“Maaf, akan saya bereskan semunya. Silahkan lanjutkan pesta kalian,” ucap Anne tegar. Brian beranjak mendekatinya.
“Kau tak apa-apa?” tanyanya cemas. Ia mengambil sapu tangan dari sakunya lalu membersihkan baju Anne yang kotor.
It’s ok. I’m fine,” Anne meraih sapu tangan dari tangan Brian lalu membersihkan bajunya sendiri. Brian segera menyuruh beberapa orang untuk membantu pelayan tersebut membersihkan sisa sisa pecahan gelas yang berserakan di lantai agar pesta segera di mulai kembali. Lalu, lelaki itu membimbing Anne untuk keluar dari tempat tersebut.
 “Kau yakin tak ada yang tergores karena pecahan gelas tersebut?” tanya Brian lagi setelah mereka berada di luar hall. Anne kembali menyibakkan rambutnya dan menggeleng.
“Tidak, hanya baju dan sepatuku saja yang berantakan,” jawabnya. Blouse dan rok pendeknya yang berwarna cerah berubah menjadi berwarna-warni karena tumpahan minuman tersebut. Begitu pula dengan sepatu beludru yang ia kenakan. Oh, sepatu sialan! Ia mengumpat.
Sepatu itu semakin terlihat jelek, belum lagi sol sepatunya terlihat terkelupas. Sepatu ini harus seger dimuseumkan! Teriaknya dalam hati.
“Aku akan mengantarkanmu pulang dan jangan menolak. Kau tak mungkin meneruskan pesta dengan keadaan seperti ini,” ucap Brian lagi.
Anne ingin mendebat tapi ia memang tak punya pilihan selain mengiyakan saran lelaki tersebut. Biarlah ia kena omelan Hilda. Yang jelas, ia memang tak mungkin mengikuti pesta sampai selesai dengan keadaan seperti ini.
“Tunggulah di sini, akan ku ambil mobilku dulu,”
“Aku ingin mengambil barang-barangku dulu di kantor,” ujar Anne.
“Tidak, biar aku ambilkan saja. Di ruanganmu ‘kan? Kau tunggulah di sini,” Brian beranjak sebelum Anne berkata-kata. Perempuan itu menatap dirinya sendiri dengan putus asa. Sungguh hari yang sial. Padahal ia sudah dandan lumayan cantik hari ini. sekarang tampilannya tak ubahnya orang yang baru keluar dari diskotik dalam keadaan mabuk!
Kekesalannya tak berhenti sampai di situ karena selang beberapa saat kemudian, Hilda keluar dan menemuinya. Oh, ini dia! Nenek sihir itu pasti mengomeliku lagi! Desisnya pelan.
 “Ada apa denganmu? Kau nyaris merusak pesta tersebut. Apa kau suka mendapat perhatian dengan cara seperti itu?” Nah, sesuai prediksi Anne, yang dilakukan perempuan itu memang mengomel.
“Maafkan saya, bu. Saya betul-betul tak bermaksud begitu,”
“Apa kau memang selalu ceroboh seperti itu?”
“Tidak, itu___” kata-kata Anne tertahan ketika Richard Kein menyusul istrinya keluar. Ia mencoba menenangkan Hilda agar tak terus-terus mengomeli Anne.
“Sudahlah, sayang. Kau tak perlu mengomel-ngomel seperti itu. Toh pestanya tetap berjalan lancar. Kembalilah ke dalam, mereka menunggumu,” ucapnya lembut. Dan Anne merasakan dadanya tercabik-cabik menyaksikan adegan tersebut.
Dia memanggilnya dengan sayang dan penuh kemesraan!?
Anne merasakan giginya bergermurutuk. Tangannya mengepal. Hilda masih sempat mengomel sesaat sebelum kembali memasuki ruangan pesta. Tentunya setelah dibujuk oleh Richard.
Kau tak masuk ke dalam sayang?tanya Hilda.
“Ya, kau duluan saja. Nanti aku menyusul,” jawab Richard dan itu membuat Anne tak suka karena seolah-olah lelaki itu ingin di sini dan mengobrol dengannya. Dan itu benar!
“Bagaimana kabarmu, Anne?” ia menyapa seraya menatap Anne dengan lekat. Anne melengos.
“Seperti yang kau lihat. Aku berantakan sekarang,” jawabnya ketus.
“Tidak, maksudku bukan begitu___”
“Ya, aku tahu maksudmu. Kau ingin tahu kabarku selama ini setelah kau mencampakkanku? Aku baik-baik saja. Jangan khawatir. Sekarang aku bekerja di sini dan istrimu adalah bos-ku. Kau puas sekarang?”
“Anne?” Richard menatapnya dengan tatapan memohon.
“Jangan pernah memanggil namaku!” Anne memekik, marah. Ia menatap lelaki di hadapannya dengan tajam.
Richard menggeleng-geleng, memohon.
“Aku tahu mungkin aku telah menyakitimu sedemikian hebatnya. Tapi, bisakah kau memaafkanku dan bersikap normal padaku?”
“Tidak!” jawab Anne tegas. Lelaki di depannya menatapnya dengan tatapan putus asa.
“Aku bahkan tidak pernah berharap untuk bertemu denganmu lagi,” perempuan cantik itu kembali menambahkan.
“Aku tahu. Tapi karena sekarang kita sudah bertemu lagi, ijinkan aku memperbaiki hubungan kita kembali. Setidaknya, aku tetap ingin mempunyai hubungan yang baik denganmu,”
“Dan aku tak tertarik,” Anne terus menatap lelaki di  depannya dengan tajam. Keduanya berpandangan, hening sesaat.
“Diakah orangnya?” Anne kembali membuka suara. Setengah mati ia tak ingin menanyakan hal ini. Tapi, setengah mati pula ia tak mampu menahan keingintahuannya.
Richard mengernyitkan dahinya.
“Maksudmu?” lelaki itu bertanya.
“Hilda. Bu Hilda. Apakah karena dia kau meninggalkanku?” pertanyaan itu meluncur dari bibir Anne. Richard tak menjawab.
“Diam berarti ya,” Anne menyimpulkan jawabannya sendiri.
“Maaf, itu___”
“Tak apa-apa. Setidaknya aku sudah tahu sekarang. Jangan khawatir, aku orang yang profesional. Aku tak akan mencampur adukan urusan pribadi dan pekerjaan. Sekarang istrimu adalah bosku dan aku adalah asisten pribadinya. Seterusnya akan seperti itu,” Anne melepaskan kedua sepatunya. Sebenarnya sempat terpikir olehnya untuk melemparkan sepatu itu ke arah lelaki di hadapannya. 
Ia benar-benar ingin melemparkan sepatu itu ke arahnya! Tepat ke mukanya!
Tapi ia urung melakukannya dan malah melemparkannya ke dalam tempat sampah.
“Apa yang kau lakukan dengan sepatumu?” Richard bertanya bingung dengan tindakan Anne.
“Sepatu itu rusak dan tak bisa dikenakan lagi,” jawab Anne enteng. Richard menatap Anne dengan heran lalu ke  arah kakinya yang jenjang dan telanjang dengan cemas. Namun begitu, hati kecil lelaki tersebut sempat mengagumi kaki Anne yang panjang dan indah.
“Kau akan pulang tanpa sepatu?”
Anne mengangguk.
“Dan itu bukan urusanmu ‘kan?” tanyanya ketus. Bertepatan dengan itu, Brian datang dengan mobilnya. Segera Anne melangkahkan kakinya menghampiri Brian. Richard hanya mampu menatap kepergian tubuh ramping tersebut tanpa berkata apapun.

***
          Setelah sampai di apartemennya yang sederhana, Anne segera menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Pikirannya kembali teringat dengan kejadian yang baru saja di alaminya di pesta tadi. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang dialaminya sekarang.
Ia bertemu lagi dengan Richard Kein, lelaki yang pernah ia cintai setengah mati, lelaki yang telah mencampakkannya karena perempuan lain, dan ternyata ... perempuan itu adalah Hilda, bosnya sendiri yang mirip nenek sihir!
Masih teringat dengan jelas dalam memori otaknya peristiwa sekitar 5 tahun yang lalu ketika Richard Kein mengatakan secara terus terang padanya bahwa ia tak bisa lagi melanjutkan hubungan mereka. Ia bertemu perempuan lain yang menyenangkan dan lebih membutuhkannya.
Cih, apa dia pikir waktu itu Anne tak pernah membutuhkannya?
Anne mendesah lagi. kalau dipikir-pikir lagi, ia juga menyesal telah bersikap kasar pada lelaki tersebut di pesta tadi. Untuk apa ia harus bersikap seperti itu? Bukankah peristiwa tersebut sudah berlalu 5 tahun yang lalu? Toh menyimpan dendam tidak akan mengubah keadaan.
Tapi, bagaimana bisa ia bersikap biasa pada lelaki tersebut sementara jauh di dalam relung hatinya, ia masih menyimpan cinta untuk lelaki itu!

***

Bersambung ...

Gambar : Adam Levine

Tidak ada komentar:

Posting Komentar