16 Oktober 2012
Bab 1
Anne melangkahkan kakinya menyusuri
ruang lobby dengan tergesa-gesa. Ketika memasuki lift, ia sempat berpapasan
dengan Brian, rekan sekantornya sekaligus pengagum setianya.
“Wow,
pagi yang sibuk sekali ya,” sapanya. Anne tersenyum seraya mengangguk.
“Yup,
aku harus ada di kantor 30 menit sebelum nenek sihir itu datang,” ucapan Anne
setengah berbisik hingga membuat Brian tergelak. Ya, baru saja ia menyebut
bos-nya nenek sihir. Karena Hilda, bosnya yang baru itu memang seperti nenek sihir!
Jangan
membayangkan sosok Hilda sebagai perempuan tua dengan wajah berkerut.
Kenyataannya, perempuan itu cantik luar biasa. Usianya hanya lebih tua 3 tahun
darinya, dan dia sangat anggun, elegan,
dan cantik. Hanya saja, ia orang yang terlalu cerewet dan arogan. Setiap pagi,
ia selalu meminta pada Anne menyiapkan seikat mawar putih dalam vas di atas
meja kerjanya. Dan juga, menyiapkannya secangkir kopi mocca yang tidak terlalu
manis dan tidak terlalu pahit. Tidak terlalu panas, tapi juga tidak terlalu
dingin. Ia bahkan meminta renovasi ulang kantornya agar sesuai dengan
keinginannya. Dan ia juga senantiasa menyuruh Anne menaruh wewangian yang
sesuai seleranya di setiap sudut ruangannya. Ribet sekali ‘kan?
Ini
sangat berbeda dengan bu Carla, atasan Anne yang lama. Bu Carla perempuan
setengah baya yang begitu penyabar dan penyayang. Ia bahkan sudah menganggap
Anne sebagai anak sendiri. Ketika ia dipindahkan ke Singapura beberapa minggu
yang lalu, ia pernah meminta secara pribadi pada Anne untuk ikut dengannya.
Tapi Anne menolak dengan halus karena ia senang tinggal di sini.
“Ngomong-ngomong,
apa kau mengganti parfum-mu?” Brian menatap Anne dengan penuh selidik.
Hidungnya mengendus tak kentara. Pertanyaannya selalu terus terang seperti
biasanya. Bukankah tadi sudah dibilang, Brian adalah pengagum setia Anne. Ia
bahkan mau jungkir balik, jatuh bangun, untuk bisa mendapatkan cinta Anne.
Tapi, Anne cuma bisa menganggapnya sebagai sahabat. Dan tak bisa lebih.
Perempuan cantik berhidung mancung itu kembali mengangguk
dengan cemberut.
“Dia
bilang dia tidak menyukai parfumku dan menyuruhku menggantinya,” jawabnya
setengah menggerutu.
“Astaga,
apa dia juga harus ikut mengurusimu sampai hal-hal seperti ini?”
“Sayangnya
iya,” Anne menjawab dengan kesal.
“Dan,
ada lagi,” ia menambahkan.
“Ia
juga melarangku memakai sepatu dengan heel di atas 5 cm. Lihatlah ini,” ia menunjukkan sepatu butut
ber-heel 3 cm yang tengah ia kenakan. Hanya itu
sepatu kerja dengan heel pendek yang ia punya. Selama ini ia senantiasa
mengenakan sepatu dengan heel di atas 7 cm karena ia memang suka high heel. Dan
tentu saja hampir semua koleksi sepatunya punya heel di atas 7 cm.
Ia
sempat berpikir bahwa permintaan bu Hilda cenderung tak masuk akal. Atau
mungkin, ia tak ingin tinggi badannya tersaingi olehnya. Sebenarnya tinggi
badan mereka tidak terpaut jauh. Bu Hilda
mempunyai tinggi sekitar 168 cm, sementara Anne 170 cm. Jika mereka sama-sama
memaki sepatu high heel, tentu saja Anne akan kelihatan lebih menjulang
darinya.
“Dia
juga menyuruhku untuk selalu menata rambutku dengan rapi. Tak boleh ada yang
terurai sedikitpun. Kecuali poni,” Anne kembali menunjukkan rambutnya yang
ditata dengan gelung sederhana berhiaskan pin warna putih, senada dengan baju
atasannya. Brian menatapnya dengan kecewa. Tentu saja karena selama ini ia
selalu menganggap bahwa Anne dengan rambut panjang bergelombang yang terurai
dengan indah adalah yang paling cantik. Dan sepertinya ia takkan bisa
menikmatinya lagi dalam waktu dekat ini.
“Sepertinya
bu Hilda tidak akan pernah mau tersaingi olehmu,” ucapnya. Anne mengernyitkan
dahinya.
“Maksudmu?”
“Bu
Hilda memang cantik, tapi jika kau berdiri di sampingnya dan kau berdandan
sedikit saja, kau lebih cantik darinya,”
Anne
tersenyum.
“Kau
selalu pandai merayu,’ jawabnya.
“Tidak,
ini bukan rayuan, ini kenyataan. Semua orang sudah tahu itu. Kau bisa
menanyakan pada mereka kalau kau tak percaya,”
Anne
tertawa.
“Terima
kasih,” ucapnya lagi. Ketika mereka sampai di lantai 10, Anne segera menyeruak
begitu pintu lift terbuka.
“Kau
bisa makan siang bersamaku?” teriak Brian.
“Akan
ku usahakan,” jawab Anne seraya menatap Brian sekilas tanpa menghentikan
langkah kakinya. Dan Brian kembali tersenyum menyaksikan tubuh ramping itu berlari-lari kecil dan nyaris saja menabrak seseorang yang berjalan dari
arah berlawanan.
***
Hilda melihat ke arah Anne sekilas
lalu mulai mengomel lagi. “Rapikan rambutmu. Rambutmu berantakan sekali dan kau
sama sekali tak terlihat cantik dengan tampilan seperti itu,” ucapnya merujuk
pada beberapa ikal rambut Anne yang berjatuhan di samping telinganya.
“Baik bu,” jawab Anne patuh sambil menyelipkan
beberapa rambut ikalnya yang berjatuhan ke balik telinganya. Ah, pastinya
rambut itu berterbangan ketika ia berlarian
tadi pagi menyusuri lobby dan lorong kantor.
“Bagaimana
persiapan pesta untuk lusa?” tanya Hilda. Anne mengangguk.
“Sudah
beres, bu,”
“Aku
tak mau ada kesalahan sedikitpun. Jadi pastikan semuanya berjalan lancar,”
Anne
kembali mengangguk. Lusa memang akan di adakan pesta kecil-kecilan di hall lantai satu. Pesta itu adalah acara
penyambutan sekaligus perkenalan Hilda
dengan jajaran direksi dan beberapa staf penting di perusahaan. Memang sedikit
terlambat mengingat Hilda sudah berada
di sini selama hampir seminggu. Tapi untunglah, ia ataupun yang lainnya tak
mempermasalahkannya. Acara itu sekaligus perkenalan keluarga Hilda kepada semua
orang untuk mempererat tali silaturahmi. Tapi dari yang Anne dengar dari
karyawan lain, Hilda belum mempunyai putera ataupun puteri meski sudah menikah
selama 4 tahun. Jadi, pastinya ia hanya akan datang bersama suaminya.
“Dan
perbaikilah kembali rambutmu di kamar mandi. Tampilanmu tetap tak enak untuk
dilihat,” ucap bu Hilda lagi dengan sengit.
“Ya
bu,” tanpa banyak berkata Anne mengangguk lalu beranjak menuju kamar mandi
untuk memperbaiki gelungan rambutnya. Ia sedikit menggerutu, tentunya. Ia
pandangi bayangannya di cermin dengan seksama.
Apa
yang salah dengan rambutnya? Ini tak terlihat berantakan sama sekali? Tanyanya
dalam hati. Tapi, tetap saja ia mengurai rambutnya lalu kembali menggelungnya
dengan sederhana seperti sedia kala.
***
Pesta baru akan di mulai sekitar 15
menit lagi. Dan para tamu undangan mulai berdatangan satu persatu menempati kursi yang telah di siapkan. Anne
berdiri di samping Brian mengawasi para beberapa karyawan yang menyiapkan
hidangan. Sesekali mereka menyapa para tamu yang memasuki hall.
“Kau
tampak lelah sekali hari ini?” tanya Brian.
“Ya,
aku menghabiskan seluruh energiku hanya untuk mempersiapkan pesta ini,” jawab
Anne lirih. Brian menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut.
“Setelah
pesta ini selesai aku akan mentraktirmu minum agar kau tak merasa penat lagi,”
Anne
tersenyum.
“Terima
kasih. You’re always be my
best partner,” jawabnya.
Pembicaraan
mereka terhenti ketika bu Hilda melangkah memasuki ruangan bersama seorang pria
di sampingnya. Perempuan itu tampak begitu menawan dengan balutan gaun malam
berwarna hitam elegan.
Brian
dan Anne menyapa dan tersenyum ke mereka. Tapi, senyum di bibir Anne segera
menghilang manakala tatapan matanya beradu pada sesosok pria jangkung berwajah
tampan yang tengah di gandeng Hilda. Matanya membelalak dan tubuhnya serasa
membeku. Hal serupa ternyata juga di alami oleh lelaki tersebut. Ia tampak
terkejut melihat Anne. Sesaat pandangan keduanya terkunci.
“Perkenalkan,
ini Richard Kein. Suamiku,” Hilda memperkenalkan pria di sampingnya. Brian
mengulurkan tangannya dan menyalami pria tersebut dengan ramah. Pria tersebut
mengalihkan pandangannya dari Anne lalu menyambut uluran tangan Brian dengan
ramah sambil tersenyum. Namun begitu, tatapan matanya kembali singgah pada Anne
yang masih tampak tegang.
“Dia
adalah asisten pribadiku, sayang,” ucap bu Hilda lagi memperkenalkan Anne. Pria
bernama Richard tersebut mengangguk lalu mengulurkan tangannya ke arah Anne.
Anne
menelan ludah. Ia merasakan kerongkongannya
kering. Dengan berat dan perlahan ia menerima uluran tangan tersebut.
“Senang
bertemu denganmu,” pria itu menyapa dengan suara kaku. Anne hanya tersenyum,
dengan kaku pula.
Sebelum
mereka beranjak menuju ke tempat duduk mereka, tatapan pria tersebut sempat
kembali singgah pada Anne hingga membuat kedua makhluk tersebut saling
berpandangan selama beberapa detik.
“Ada apa denganmu? Kau seperti baru saja
melihat hantu?” Brian membuka suara.
“Tidak,
bukan hantu. Aku baru saja melihat iblis di ruangan ini,” tanpa sadar Anne
menggumam.
“Apa?
Iblis?”
Anne
terhenyak. Ia segera tersenyum.
“Nope, I’m just kidding,” jawabnya
kemudian.
Pesta
berlangsung dengan lancar dan Anne mengikutinya tanpa antusias. Sesekali
tatapan matanya kembali singgah pada
lelaki yang duduk di samping Hilda. Dan
ternyata, pria itupun melakukan hal sama dengannya karena beberapa kali ia
memergokinya sedang mencuri-curi pandang ke arahnya.
Anne
tak ingin mempercayai penglihatannya sendiri. Tapi, lelaki itu memang dia!
Richard Kein! Lelaki yang telah mencampakkanya 5 tahun yang lalu! Lelaki yang
telah meninggalkannya demi wanita lain!
Dan,
apakah wanita itu Hilda? Orang yang sekarang menjadi istrinya? Dan yang
sekarang menjadi atasannya? Oh, astaga, Anne setengah tak percaya dengan apa
yang di alaminya hari ini!
Jadi
selama ini ia bekerja pada seorang wanita yang tak lain adalah istri dari
mantan pacarnya dahulu?
“Brian,
aku ingin keluar sebentar. Aku butuh udara segar,” tanpa menunggu Brian
berkata-kata, Anne beranjak.
Perempuan
itu berbalik dan .... praankkk! Tabrakan itu tak tak bisa dihindari. Ia
bertabrakan dengan seroang pelayan yang membawa gelas-gelas minuman di baki.
Tubuh Anna menghempas ke lantai, pantat terlebih dahulu, sementara pelayan itu jatuh bersimpuh di
dekatnya. Gelas-gelas minuman jatuh berserakan di lantai dan sebagian minuman tumpah di baju Anne dan pelayan tersebut.
Tak ada yang terluka, tapi tetap saja kejadian itu memancing tatapan nyaris
semua tamu, tak terkecuali Hilda dan
Richard Kein - yang juga tengah menatap ke arah Anne.
Anne
menyibakkan rambutnya, ternyata peristiwa tersebut juga sempat membuat gelungan
rambutnya terlepas hingga rambutnya yang panjang berombak terurai dengan bebas.
Segera perempuan cantik itu bangkit. Ia menatap ke arah para tamu dengan
tatapan tenang lalu meminta maaf.
“Maaf,
akan saya bereskan semunya. Silahkan lanjutkan pesta kalian,” ucap Anne tegar.
Brian beranjak mendekatinya.
“Kau
tak apa-apa?” tanyanya cemas. Ia mengambil sapu tangan dari sakunya lalu
membersihkan baju Anne yang kotor.
“It’s ok. I’m fine,” Anne meraih sapu tangan
dari tangan Brian lalu membersihkan bajunya sendiri. Brian segera menyuruh
beberapa orang untuk membantu pelayan tersebut membersihkan sisa sisa pecahan
gelas yang berserakan di lantai agar pesta segera di mulai kembali. Lalu,
lelaki itu membimbing Anne untuk keluar dari tempat tersebut.
“Kau yakin tak ada yang tergores karena
pecahan gelas tersebut?” tanya Brian lagi setelah mereka berada di luar hall.
Anne kembali menyibakkan rambutnya dan menggeleng.
“Tidak,
hanya baju dan sepatuku saja yang berantakan,” jawabnya. Blouse dan rok
pendeknya yang berwarna cerah berubah menjadi berwarna-warni karena tumpahan
minuman tersebut. Begitu pula dengan sepatu beludru yang ia kenakan. Oh, sepatu
sialan! Ia mengumpat.
Sepatu
itu semakin terlihat jelek, belum lagi sol sepatunya terlihat terkelupas.
Sepatu ini harus seger dimuseumkan! Teriaknya dalam hati.
“Aku
akan mengantarkanmu pulang dan jangan menolak. Kau tak mungkin meneruskan pesta
dengan keadaan seperti ini,” ucap Brian lagi.
Anne
ingin mendebat tapi ia memang tak punya pilihan selain mengiyakan saran lelaki
tersebut. Biarlah ia kena omelan Hilda. Yang jelas, ia memang tak mungkin
mengikuti pesta sampai selesai dengan keadaan seperti ini.
“Tunggulah
di sini, akan ku ambil mobilku dulu,”
“Aku
ingin mengambil barang-barangku dulu di kantor,” ujar Anne.
“Tidak,
biar aku ambilkan saja. Di ruanganmu ‘kan? Kau tunggulah di sini,” Brian
beranjak sebelum Anne berkata-kata. Perempuan itu menatap dirinya sendiri
dengan putus asa. Sungguh hari yang sial. Padahal ia sudah dandan lumayan
cantik hari ini. sekarang tampilannya tak ubahnya orang yang baru keluar dari
diskotik dalam keadaan mabuk!
Kekesalannya tak berhenti sampai di situ karena selang
beberapa saat kemudian, Hilda keluar dan menemuinya. Oh, ini dia! Nenek sihir
itu pasti mengomeliku lagi! Desisnya pelan.
“Ada apa denganmu? Kau nyaris merusak pesta
tersebut. Apa kau suka mendapat perhatian dengan cara seperti itu?” Nah, sesuai
prediksi Anne, yang dilakukan perempuan itu memang mengomel.
“Maafkan
saya, bu. Saya betul-betul tak bermaksud begitu,”
“Apa
kau memang selalu ceroboh seperti itu?”
“Tidak,
itu___” kata-kata Anne tertahan ketika Richard Kein menyusul istrinya keluar.
Ia mencoba menenangkan Hilda agar tak terus-terus mengomeli Anne.
“Sudahlah,
sayang. Kau tak perlu mengomel-ngomel seperti itu. Toh pestanya tetap berjalan
lancar. Kembalilah ke dalam, mereka menunggumu,” ucapnya lembut. Dan Anne
merasakan dadanya tercabik-cabik menyaksikan adegan tersebut.
Dia memanggilnya dengan sayang
dan penuh kemesraan!?
Anne
merasakan giginya bergermurutuk. Tangannya mengepal. Hilda masih sempat
mengomel sesaat sebelum kembali memasuki ruangan
pesta. Tentunya setelah dibujuk oleh Richard.
“Kau tak masuk ke dalam sayang?” tanya Hilda.
“Ya,
kau duluan saja. Nanti aku menyusul,” jawab Richard dan itu membuat Anne tak
suka karena seolah-olah lelaki itu ingin di sini dan mengobrol dengannya. Dan
itu benar!
“Bagaimana
kabarmu, Anne?” ia menyapa seraya menatap Anne dengan lekat. Anne melengos.
“Seperti
yang kau lihat. Aku berantakan sekarang,” jawabnya ketus.
“Tidak,
maksudku bukan begitu___”
“Ya,
aku tahu maksudmu. Kau ingin tahu kabarku selama ini setelah kau
mencampakkanku? Aku baik-baik saja. Jangan khawatir. Sekarang aku bekerja di
sini dan istrimu adalah bos-ku. Kau puas sekarang?”
“Anne?”
Richard menatapnya dengan tatapan memohon.
“Jangan
pernah memanggil namaku!” Anne memekik, marah. Ia menatap lelaki di hadapannya
dengan tajam.
Richard
menggeleng-geleng, memohon.
“Aku
tahu mungkin aku telah menyakitimu sedemikian hebatnya. Tapi, bisakah kau
memaafkanku dan bersikap normal padaku?”
“Tidak!”
jawab Anne tegas. Lelaki di depannya menatapnya dengan tatapan putus asa.
“Aku
bahkan tidak pernah berharap untuk bertemu denganmu lagi,” perempuan cantik itu
kembali menambahkan.
“Aku
tahu. Tapi karena sekarang kita sudah bertemu lagi, ijinkan aku memperbaiki
hubungan kita kembali. Setidaknya, aku tetap ingin mempunyai hubungan yang baik
denganmu,”
“Dan
aku tak tertarik,” Anne terus menatap lelaki di
depannya dengan tajam. Keduanya berpandangan, hening sesaat.
“Diakah
orangnya?” Anne kembali membuka suara. Setengah mati ia tak ingin menanyakan
hal ini. Tapi, setengah mati pula ia tak mampu menahan keingintahuannya.
Richard
mengernyitkan dahinya.
“Maksudmu?”
lelaki itu bertanya.
“Hilda.
Bu Hilda. Apakah karena dia kau meninggalkanku?” pertanyaan itu meluncur dari
bibir Anne. Richard tak menjawab.
“Diam
berarti ya,” Anne menyimpulkan jawabannya sendiri.
“Maaf,
itu___”
“Tak
apa-apa. Setidaknya aku sudah tahu sekarang. Jangan khawatir, aku orang yang
profesional. Aku tak akan mencampur adukan urusan pribadi dan pekerjaan.
Sekarang istrimu adalah bosku dan aku adalah asisten pribadinya. Seterusnya
akan seperti itu,” Anne melepaskan kedua sepatunya. Sebenarnya sempat terpikir
olehnya untuk melemparkan sepatu itu ke arah lelaki di hadapannya.
Ia benar-benar ingin melemparkan sepatu
itu ke arahnya! Tepat ke mukanya!
Tapi
ia urung melakukannya dan malah melemparkannya ke dalam tempat sampah.
“Apa
yang kau lakukan dengan sepatumu?” Richard bertanya bingung dengan tindakan
Anne.
“Sepatu
itu rusak dan tak bisa dikenakan lagi,” jawab Anne enteng. Richard menatap Anne
dengan heran lalu ke arah kakinya yang
jenjang dan telanjang dengan cemas. Namun begitu, hati kecil lelaki tersebut
sempat mengagumi kaki Anne yang panjang dan indah.
“Kau
akan pulang tanpa sepatu?”
Anne
mengangguk.
“Dan
itu bukan urusanmu ‘kan?” tanyanya ketus. Bertepatan dengan itu, Brian datang
dengan mobilnya. Segera Anne melangkahkan kakinya menghampiri Brian. Richard
hanya mampu menatap kepergian tubuh ramping tersebut tanpa berkata apapun.
***
Setelah sampai di apartemennya yang
sederhana, Anne segera menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Pikirannya
kembali teringat dengan kejadian yang baru saja di alaminya di pesta tadi. Ia
benar-benar tak percaya dengan apa yang dialaminya sekarang.
Ia
bertemu lagi dengan Richard Kein, lelaki yang pernah ia cintai setengah mati,
lelaki yang telah mencampakkannya karena perempuan lain, dan ternyata ...
perempuan itu adalah Hilda, bosnya sendiri yang mirip nenek sihir!
Masih teringat dengan jelas
dalam memori otaknya peristiwa sekitar 5 tahun yang lalu ketika Richard Kein
mengatakan secara terus terang padanya bahwa ia tak bisa lagi melanjutkan
hubungan mereka. Ia bertemu perempuan lain yang menyenangkan dan
lebih membutuhkannya.
Cih,
apa
dia pikir waktu itu Anne tak pernah membutuhkannya?
Anne mendesah lagi. kalau dipikir-pikir lagi, ia juga
menyesal telah bersikap kasar pada lelaki tersebut di pesta tadi. Untuk apa ia
harus bersikap seperti itu? Bukankah peristiwa tersebut sudah berlalu 5 tahun
yang lalu? Toh menyimpan dendam tidak akan mengubah keadaan.
Tapi,
bagaimana bisa ia bersikap biasa pada lelaki tersebut sementara jauh di dalam
relung hatinya, ia masih menyimpan cinta untuk lelaki itu!
***
Bersambung ...
Gambar : Adam Levine
Tidak ada komentar:
Posting Komentar