Minggu, 28 Desember 2014

Come Back to me, Bad Guy! - Part 5



Bab 5

Jam menunjukkan pukul 11 malam tapi kafe itu masih terlihat ramai. Richard dan Anne masih terus saja mengobrol.
“Aku hanya takut Hilda kembali melakukan hal-hal buruk padamu. Makanya aku menanyakannya padamu kenapa sekarang kau tak pernah lagi berkunjung ke rumah kami,” ucapnya.
“Jadi dia tidak memberitahumu kalau sekarang aku tak lagi menjadi asisten pribadinya?”
Richard mengangkat alis.
“Apa kau dipecat?”
Anne menggeleng.
“Mereka hanya memindahkanku ke bagian personalia. Sekarang aku menjadi asisten pak Robert,”
Richard menatap perempuan di depannya dengan setengah tak percaya.
“Robert? Maksudmu Robert Alan?”
Anne mengangguk.
“Kau mengenalnya?”
Richard mengangguk.
“Tentu saja aku mengenalnya. Aku memang baru di kota ini. Tapi sebelum itu, aku sudah lama mengenal lelaki itu. Beberapa kali aku sempat bertemu dengannya ketika kami sama-sama menghadiri pesta ataupun acara bisnis. Dan percayalah, dia bukan orang yang baik. Dia lelaki tua yang sudah beristri dan punya 3 orang anak. Tapi matanya tak berhenti menggoda wanita-wanita cantik. Aku bahkan mendengar kalau dia punya banyak istri simpanan di luar sana,” Richard terdengar menggebu-nggebu.
“Apa dia juga menggoda istrimu?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Anne.
“Mm, entahlah. Aku tak terlalu ingat. Tapi sepertinya ia pernah mencoba mengajaknya makan malam, hanya sekali,” jawab Richard.
“Mungkin dia tak terlalu berani menggoda istrimu karena mereka punya kedudukan yang sama di perusahaan,” Anne asal memprediksi.
“Berhati-hatilah dengannya, Anne. Percayalah padaku, dia bukan lelaki yang baik,” ucapan Richard terdengar seperti sebuah permohonan.
Anne manggut-manggut.
“Ya, aku tahu. Tapi tenanglah, aku selalu banyak cara untuk menolaknya,” jawabnya kemudian.
Richard menatap perempuan itu dengan dalam.
“Menolaknya? Maksudmu, apa dia juga pernah menggodamu?”
Anne tergelak.
“Hampir setiap hari. Ia bahkan sudah melakukannya sejak aku menginjakkan kakiku pertama kalinya di perusahaan tersebut. Kau tahu, ia bahkan pernah menawariku untuk memberikan sebuah villa dan mobil mewah jika saja aku mau melayaninya di tempat tidur,” jawab Anne enteng yang justru membuat Richard terhenyak.
“Tidak bisakah kau menolak keputusan pemindahanmu? Kau benar-benar terlihat tak aman berada di sampingnya,” tukas Richard lagi.
Anne terkekeh.
“It’s okay. Toh selama ini aku masih bisa menjaga diriku. Aku akan menendangnya jika dia berani macam-macam denganku,” jawabnya seraya menyeringai nakal.
“Sampai kapan kau bisa membuatmu dirimu aman? Dia lelaki yang tak bisa diprediksi,” tatapan Richard terlihat putus asa. Apakah ia mengkhawatirkanku? Pikir Anne dalam hati. Tanpa sadar mereka berpandangan, untuk sesaat.
“Oh iya, sebenarnya aku ingin tahu sudah berapa tahun kau menikah dengan Hilda?” Anne meraih cangkir tehnya dan kembali menyeruputnya dengan perlahan. Usahanya untuk mengalihkan pembicaraan sepertinya berhasil karena Richard tidak lagi mengungkit-ungkit soal pak Robert.
“Sekitar 4 tahun,”
“Satu tahun setelah kau berpisah denganku?”
Richard tak menjawab. Sepertinya ia yang merasa malas membicarakan kembali tentang hubungan masa lalu mereka.
“Apa kau tak berencana untuk punya momongan? Bukankah kau suka anak kecil?” Anne kembali bertanya begitu saja. Ya, ia masih ingat dengan betul bahwa Richard suka sekali dengan anak kecil. Itulah sebabnya ia merasa heran kenapa sampai sekarang ia belum juga punya momongan.  Sebenarnya pertanyaan ini mungkin terlalu pribadi untuk dia, tapi Anne benar-benar tak bisa menutupi rasa penasarannya.
“Kami sepakat menunda punya momongan karena kami sama-sama belum siap,” jawab Richard dengan malas-malasan.
“Dan kau sendiri, kenapa belum menikah?” lelaki itu balas bertanya.
“Tentu aku akan menikah kalau aku sudah menemukan pria yang cocok,”
“Kau dan Brian tampak cocok,”
“Dia baik, tapi kami hanya berteman,”
“Apakah kau tidak mencoba berhubungan dengan pria lain__setelah___kita___” Richard terdengar sedikit ragu dengan kalimat yang ingin kemukakan.
“Setelah kau mencampakkanku?” potong Anne. Ia tersenyum.
“Jujur, tidak. Aku belum pernah mencobanya. Selain karena aku belum menemukan pria yang cocok, aku juga terlalu sibuk dengan pekerjaanku,” ia mulai menjelaskan.  Wajah Richard tampak kembali menegang.
Anne kembali tersenyum manis ke arah lelaki tersebut hingga membuat dadanya berdebar.
“It’s okay, Rich. Kau memang telah begitu menyakitiku, tapi bukankah hubungan kita sudah mulai membaik. Aku ingin kita kembali berteman. Teman yang bisa saling berbagi cerita seperti dulu kala,” kalimat Anne terdengar tulus hingga membuat kekakuan  Richard mencair. Perlahanpun ia tersenyum. Dan merekapun mulai mengobrol kembali dengan lebih normal.
“Anne ... ada yang harus kau ketahui tentang Hilda,” Kalimat itu terdengar ragu hingga membuat Anne melakukan kontak mata dengan lelaki di hadapannya.
“Apa?” ia bertanya tanpa sadar.
“Perangai Hilda terkadang memang di luar batas. Tapi sebenarnya ... dia perempuan yang rapuh,” jawab Richard.
Anne nyaris tergelak. Rapuh? Siapa? Hilda?!
Nenek sihir yang setiap hari menyiksa dirinya bak putri iblis itu ... rapuh? Oh, Richard pasti bercanda.
“Maksudmu?”
Richard tak segera menjawab.
“Hilda mengalami banyak hal buruk dalam hidupnya. Pertama kali bertemu dengannya, dia sosok remaja yang kacau. Keluarganya miskin dan berantakan. Ayahnya adalah seorang pemabuk dan tukang judi yang kerap kali menyiksa ibunya, dirinya, dan juga adik-adiknya. Lelaki bedebah itu kerap kali bermain perempuan dan berfoya-foya. Hilda bahkan beberapa kali mengalami pelecehan seksual darinya. Dia ...” kalimat Richard terhenti. Anne ternganga. Ia hanya tak menyangka bahwa masa lalu Hilda akan sekelam itu. Apakah itu artinya Richard memilih bersamanya karena ....
“Ibu Hilda meninggal setelah terlibat pertengkaran hebat dengan ayahnya. Ayahnya yang membunuhnya,”
“Membunuhnya?” Anne nyaris berteriak. Richard mengangguk.
“Ayah Hilda meninggal di tangan polisi karena mencoba melarikan diri dan mencoba melakukan perlawanan pada polisi,” ia kembali melanjutkan kalimatnya.
“Lalu adiknya?”
“Meninggal karena sakit,”
Anne menelan ludah. Tiba-tiba saja ia merasa iba pada sosok Hilda. Ia sebatang kara...
“Itulah kenapa, waktu itu aku benar-benar tak bisa meninggalkannya. Ia sendirian dan sebatang kara. Ia ... tak punya siapa-siapa selain aku. Jadi ....” Richard menelan ludah.
Reflek Anne meraih tangan Richard dan meremasnya.
“Cukup, jangan diteruskan. Aku sudah tahu apa maksudmu menjelaskan semua ini padaku. Sekarang aku mengerti, oke,” ucapnya.
Richard tampak tertegun. Ia tak bersuara. Ekspresinya datar tak terbaca. Ia hanya terlalu bingung ingin mengatakan apa pada perempuan cantik di hadapannya.

*** 

Richard menatap istrinya yang sedang membaca di atas tempat tidur, dengan tatapan kesal.
“Aku tahu kau yang melakukannya,”
“Melakukan apa?” tanya Hilda tanpa melihat ke arah Richard.
“Memindahkan Anne ke bagian personalia, bersama Robert,”
Hilda tertawa. Ia mendongak dan menatap suaminya dengan dalam.
“Kenapa aku harus repot-repot melakukannya? Toh dia hanya pegawai biasa yang tak punya keistimewaan apa-apa,” jawabnya.
“Setelah insiden di lift beberapa waktu yang lalu, memang banyak karyawan-karyawan lain yang bergunjing tentang hubungan kami. Aku tahu kau terganggu mendengar gosip tentang perselingkuhan, tapi bukankah aku sudah menjelaskan, tak ada apa-apa di antara kami. Jadi, kau tak perlu melakukan hal-hal konyol pada Anne. Memindahkannya ke tangan Robert, bukankah itu sama saja dengan memasukkan ia ke kandang singa yang kelaparan? Kau tahu sendiri dia lelaki macam apa? Dia adalah bajingan penggoda yang bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang ia inginkan,”
“Dan aku tak perduli!”
Hilda melemparkan majalahnya dengan kasar dan ia bangkit dari tempat tidurnya. Ia menatap suaminya dengan kesal.
“Dan dia bukan apa-apamu ‘kan? Kenapa kau terus-menerus mengkhawatirkannya? Apakah kau benar-benar tertarik padanya?!” perempuan itu berteriak.
“Tertarik atau tidak, apakah itu ada bedanya? Kau akan tetap menuduhku seperti itu ‘kan? Yang jelas, kali ini kau mulai keterlaluan, Hilda. Kau boleh cemburu pada wanita manapun dan kau juga bebas bersikap possesif padaku. Tapi aku takkan membenarkan kau melakukan hal-hal tak menyenangkan seperti ini,”
“Lalu apa yang menyenangkan? Menidurinya?”
“Hilda!”
“Jangan membentakku!”
“Kau berlebihan!”
“Sejak dulu aku memang sudah seperti ini, apa kau baru menyadarinya?”
Keduanya bersitegang. Richard menatap istrinya dengan tatapan putus asa.
“Aku muak dengan pertengkaran ini,” ia beranjak meninggalkan istrinya yang masih berteriak-teriak dengan lantang. Dan malam itu, mereka kembali tidur terpisah. Hal yang selalu mereka lakukan jika mereka sedang bertengkar. Hilda tidur  di kamar di lantai 1, sedangkan Richard memilih tidur di lantai 2, dekat dengan ruang perpustakaan.

***  

Anne  mengernyit heran ketika pak Robert menyodorkan sebuah kotak berisi gaun mahal ke arahnya.
“Nanti malam, salah satu kolegaku akan mengadakan sebuah pesta di hall hotel Royal. Aku akan datang dan tentunya bersamamu. Jadi, aku sudah mempersiapkan gaun ini untukmu. Jangan khawatir, ini bukan pesta yang terlalu formal. Jadi, buatlah dirimu nyaman. Jam berapa kau ingin aku jemput?”
Anne tak segera menjawab.
“Apakah seorang asisten memang diwajibkan datang dalam acara-acara seperti ini? Tidakkah sebaiknya anda mengajak Eliana saja, sekretaris pribadi anda?”
“Dia juga akan hadir. Jangan khawatir, aku tidak akan melakukan hal-hal berbahaya untukmu. Aku janji itu. Ini tidak hanya sekedar pesta, tapi juga berkepentingan untuk bisnis. Jadi, tentu saja kehadiranmu juga dibutuhkan di sini,” pak Robert menatap Anne dengan tatapan nakal hingga membuat perempuan itu sebal.
Lalu kenapa anda harus memberikan gaun ini? Saya punya gaun pesta sendiri pak,”
Pak Robert menggeleng sambil terkekeh.
“Maaf, aku tidak bermaksud meremehkanmu. Tapi gaun ini adalah gaun terbaik tahun ini. Aku bahkan memesannya secara langsung dari Paris. Tidak, jangan salah dulu. Kau tahu ‘kan pesta nanti sangat penting karena menyangkut nama baik perusahaan kita. Jadi, aku ingin menciptakan image yang baik pada mereka. Dan kau adalah pilihan yang tepat sebagai visual figure. Mereka akan sadar bahwa ada seorang bidadari di sini, di perusahaan kita,”
Pak Robert kembali menatap perempuan di depannya dengan tatapan tak berkedip. Dan Anne merasa mual mendengar semua rayuan atasannya tersebut.
“Oke, jika itu adalah perintah dari bapak, tentu saya akan menurutinya. Tapi maaf, saya tak perlu dijemput. Saya akan kesana dengan taksi,”
Pak Robert tertawa.
“Itu tak mungkin, sayang. Bagaiman mungkin seorang bidadari ke pesta dengan naik taksi. Aku akan menjemputmu, ini juga sebuah perintah,”
Anne menghela nafas.
“Oke, begini saja pak, silahkan suruh orang lain saja untuk menjemputku. Bukannya saya ingin menolak anda, tapi saya tak mau ada gosip hanya gara-gara anda menjemputku di rumah, saya mohon,” Anne nyaris tertawa karena ia mengatakan ‘saya mohon’ dengan sedikit manja. Ia tidak bermaksud untuk takhluk pada lelaki di depannya, tapi karena ia tidak ingin lagi ada banyak perdebatan. Semakin banyak pak Robert bicara, ia semakin malas mendengarnya.
“Oke, baiklah cantik. Aku akan menyuruh sopirku untuk menjemputmu, jam 7. Oke,” ucap lelaki tersebut dengan wajah cerah seraya beranjak meninggalkan meja Anne. Ia lega setelah lelaki setengah baya itu beranjak.

Dan akhirnya, dengan berbekal rasa malas luar biasa, malam itu ia ikut menghadiri pesta tersebut menemani pak Robert. Dan ia tak menyangka sama sekali bahwa ternyata Hilda dan Richard juga ada di sana.
“Ah, aku pasti sudah gila karena mau melakukan hal ini,” ia menggerutu dengan lirih. Selama pesta berlangsung, pak Robert nyaris tak membiarkannya pergi sedikitpun dari sisinya.
“Tetaplah disisiku, cantik. Aku benar-benar membutuhkanmu,” itu yang selalu Robert katakan ketika Anne baru saja berniat melangkahkan kakinya menjauh darinya. Dan Anne-pun selalu mengiyakannya dengan malas. Tapi, tepat ditengah-tengah acara ketika pak Robert sedang asyik berbincang dengan salah satu kolega bisnisnya dari Perancis, akhirnya Anne berhasil membuat dirinya menjauhi lelaki tersebut. Ia beringsut dengan hati-hati dan memilih untuk berdiri di ujung ruangan, dekat dengan meja kudapan kecil, dan berpura-pura menikmati kue di piringnya tanpa menghiraukan begitu banyak pasang mata yang tengah asyik memperhatikannya.
Ya, sepertinya pak Robert benar tentang semuanya. Anne benar-benar menjadi ratu di pesta tersebut. Ia menjadi pusat perhatian begitu banyak tamu laki-laki maupun perempuan. Gaun pemberian Robert itu benar-benar melekat dengan sempurna ditubuhnya hingga sempat membuat wanita itu bergidik. Apakah lelaki itu benar-benar memahami bentuk tubuhnya hingga ia bisa menghadiahinya sebuah gaun yang begitu pas? Wanita itu benar-benar terlihat sangat menawan dengan gaun mini dress one shoulder berwarna merah maroon dan panjang rok sekitar 5 cm di atas lutut, sehingga semua orang bebas menikmati kaki jenjangnya. Rambutnya yang panjang bergelombang ia biarkan terurai begitu saja sementara wajahnya yang cantik rupawan hanya ia hiasi make up tipis hingga membuat kecantikannya benar-benar alami. Beberapa orang bahkan nekat mendekatinya untuk mengenalnya atau bahkan hanya sekedar menyapanya. Dan Anne-pun selalu membalas sapaan mereka dengan ramah.
Beberapa kali ia melirik jam di dinding hall dan berharap waktu cepat berlalu dan pestanyapun segera selesai. Ia merasa jenuh setengah mati berada di ruangan tersebut hingga akhirnya, tanpa sadar tatapannya beradu dengan tatapan Richard – yang ternyata juga tengah memandang ke arahnya. Anne tersenyum. Dan Richard pun juga tersenyum. Tapi kali ini, senyumannya tak seperti biasa. Jarak mereka tak begitu jauh hingga Anne bisa melihat bahwa ada mendung di kedua matanya.
Setelah tak melihat Hilda di sisi Richard, Anne berinisiatif untuk mendekati dan menyapa lelaki tersebut.
“Kau baik-baik saja?” ia bertanya lebih dulu. Richard tersenyum.
“I’m fine. Kenapa?”
Kau terlihat tak sehat,”
Richard menggeleng.
“Tidak, aku hanya merasa jenuh saja dengan pesta ini,” jawabnya kemudian.
“Sama,” jawab Anne pendek sambil membuang pandangannya ke sekeliling hall. Ia hanya penasaran dimana Hilda ataupun pak Robert berada.
“Kau cantik sekali malam ini,” terdengar Richard memuji. Anne menoleh kembali ke arahnya dan tersenyum.
“Terima kasih,” jawabnya. Ia berpikir bahwa lelaki itu hanya sekedar berbasa-basi seperti yang dilakukan tamu-tamu lainnya sedari tadi.
“Gaunmu juga sangat cantik,” Richard kembali memuji.
“Pak Robert yang memberikannya padaku,” jawab Anne enteng. Lelaki bermata teduh di depannya mengernyit.
“Dia menghadiahimu gaun ini? Apa itu berarti___”
Anne tergelak.
Oh, tidak. Jangan salah sangka. Aku memang menerima gaun ini karena dia memaksaku. Tapi aku takkan pernah mau melayaninya di tempat tidur,” suaranya setengah berbisik. Dan perempuan itu kembali tersenyum.
“Aku melihat banyak lelaki tengah terpesona padamu,”
“Oh ya? Bagaimana kau tahu? Apa kau memperhatikannya? Aku tak menyadarinya,” jawab Anne lagi dengan suara renyah hingga membuat  Richard ikut tersenyum.
“Apa kau ada masalah?” tanya Anne lagi.
“Tidak, kenapa?” Richard balik bertanya.
Anne menatapnya dengan dalam.
“Aku hanya melihat ada yang tak beres di raut wajahmu. Dan percayalah, sekarang aku bisa menjadi temanmu untuk kau ajak berbagi cerita jika kau membutuhkannya,” jawab Anne tulus. Richard kembali tersenyum. Ia hanya mengangguk pelan.
Obrolan di antara mereka terhenti ketika pak Robert menghampiri mereka.
“Bukankah aku sudah memintamu untuk selalu disampingku, kenapa kau berani berada di sini tanpa seijinku?” ucap lelaki itu pada Anne dengan nada kesal.
“Maaf, pak,” jawab Anne pendek.
“Aku yang mengajaknya mengobrol di sini,” Richard menengahi setelah ia melihat Robert yang terus menerus mengomeli Anne.
“Ah, sudahlah, Richard. Ini tak ada hubungannya denganmu. Biarkan aku menyelesaikan ini dengan pegawaiku sendiri, oke,” jawab Robert masih dengan nada kesal.
“Ikutlah denganku, Anne. Kita harus menemui seseorang,” ucap Robert lagi seraya meletakkan tangannya di pinggang Anne lalu mengajaknya beranjak dari hadapan Richard. Richard sempat melihat Anne menepis tangan Robert  yang berada di pinggangnya dengan kesal.
Ketika pesta selesai, pak Robert berniat mengantarkan Anne pulang tapi perempuan itu menolak dengan halus dan mengatakan bahwa ia ingin pulang dengan naik taksi. Rupanya penolakan itu kembali membuat Robert kesal sehingga terjadi keributan kecil di antara mereka di halaman hall tempat diselenggarakannya pesta.
“Apa yang membuatmu begitu sombong hingga berani-beraninya kau menolakku, dasar wanita jalang!” pak Robert setengah berteriak.
“Aku bahkan bisa memberikan apapun yang kau minta. Rumah mewah, mobil, perhiasan, kau bahkan tidak akan pernah bisa membelinya dengan gajimu!”
Anne melotot ke arah lelaki di hadapnnya.
“Apakah anda pikir saya wanita serendah itu? Maaf, tapi sepertinya anda berhadapan dengan wanita yang salah. Saya bukan wanita yang bisa tidur dengan sembarang orang, pak. Mungkin saya miskin, tapi saya punya harga diri,”
Pak Robert tertawa sinis.
“Harga diri? Jaman sekarang kau bahkan masih bisa mengatakan harga diri? Munafik kau,”
Anne tersentak ketika tiba-tiba pak Robert menarik tubuhnya dan berusaha menciumnya dengan kasar. Dengan penuh amarah, wanita itu meronta. Ia memukul dan mendorongnya menjauh.
“Apa yang kau lakukan!?” teriaknya.
Pak Robert berusaha mendekatinya lagi, tapi ia baru akan menyentuh lengan Anne ketika tiba-tiba sebuah pukulan telak mendarat di wajahnya hingga membuat lelaki itu terjungkal.
“Singkirkan tanganmu darinya!” Richard berteriak dengan marah. Anne tersentak ketika menyadari bahwa Richard-lah yang telah menolongnya.
Pak Robert menatapnya dengan heran.
“Kau ___ berani memukulku?” desisnya.
“Ya, dan aku akan menghabisimu jika kau berani menyentuhnya, walau hanya sehelai rambut sekalipun!” Richard kembali berteriak.
Tampak Hilda berlari-lari kecil ke arah mereka.
“Ada keributan apa ini?” teriaknya.
Pak Robert bangkit dan menatap Richard dengan tajam.
“Aku bisa saja melaporkanmu ke penjara atas tindakan  kekerasan. Dan kau pasti akan berakhir di penjara!”
Richard tertawa sinis mendengar hal itu.
“Coba saja jika kau berani. Aku melihat apa yang kau lakukan pada asisten pribadimu. Dan aku juga pasti akan memasukkanmu ke penjara atas pelecehan seksual. Tidakkah kau ingat bahwa aku pernah menjadi pengacara?” jawab Richard kesal.
“Richard! Apa-apaan ini?” Hilda berteriak.
Richard tak menjawab. Tanpa melihat ke arah Hilda ataupaun Anne, lelaki itu berlari ke pinggir jalan dan menghentikan sebuah taksi. Ia kemudian berbalik lalu menarik lengan tangan Anne yang tampak dingin karena shock dan mengajaknya ke arah taksi yang sedang berhenti.
“Pulanglah dengan taksi. Biar aku yang selesaikan ini,” ucap lelaki tersebut. Dan tanpa memberi kesempatan pada Anne untuk mengatakan sesuatu, lelaki itu sudah mendorongnya masuk ke dalam taksi tersebut lalu segera menyuruh sang sopir untuk segera menjalankan taksinya.
***



Bersambung...





Tidak ada komentar:

Posting Komentar