Bab 5
Jam menunjukkan pukul 11 malam tapi kafe itu masih
terlihat ramai. Richard dan Anne masih terus saja mengobrol.
“Aku hanya takut Hilda kembali
melakukan hal-hal buruk padamu. Makanya aku menanyakannya padamu kenapa sekarang kau tak pernah lagi berkunjung
ke rumah kami,” ucapnya.
“Jadi dia tidak memberitahumu
kalau sekarang aku tak lagi menjadi asisten pribadinya?”
Richard mengangkat alis.
“Apa kau dipecat?”
Anne menggeleng.
“Mereka hanya memindahkanku ke
bagian personalia. Sekarang aku menjadi asisten pak Robert,”
Richard menatap perempuan di
depannya dengan setengah tak percaya.
“Robert? Maksudmu Robert
Alan?”
Anne mengangguk.
“Kau mengenalnya?”
Richard mengangguk.
“Tentu saja aku mengenalnya.
Aku memang baru di kota ini. Tapi sebelum itu, aku sudah lama mengenal lelaki
itu. Beberapa kali aku sempat bertemu dengannya ketika kami sama-sama
menghadiri pesta ataupun acara bisnis. Dan percayalah, dia bukan orang yang
baik. Dia lelaki tua yang sudah beristri dan punya 3 orang anak. Tapi matanya
tak berhenti menggoda wanita-wanita cantik. Aku bahkan mendengar kalau dia
punya banyak istri simpanan di luar sana,” Richard terdengar menggebu-nggebu.
“Apa dia juga menggoda
istrimu?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Anne.
“Mm, entahlah. Aku tak terlalu
ingat. Tapi sepertinya ia pernah mencoba mengajaknya makan malam, hanya
sekali,” jawab Richard.
“Mungkin dia tak terlalu
berani menggoda istrimu karena mereka punya kedudukan yang sama di perusahaan,”
Anne asal memprediksi.
“Berhati-hatilah dengannya,
Anne. Percayalah padaku, dia bukan lelaki yang baik,” ucapan Richard terdengar
seperti sebuah permohonan.
Anne manggut-manggut.
“Ya, aku tahu. Tapi tenanglah,
aku selalu banyak cara untuk menolaknya,” jawabnya kemudian.
Richard menatap perempuan itu
dengan dalam.
“Menolaknya? Maksudmu, apa dia
juga pernah menggodamu?”
Anne tergelak.
“Hampir setiap hari. Ia bahkan
sudah melakukannya sejak aku menginjakkan kakiku pertama kalinya di perusahaan
tersebut. Kau tahu, ia bahkan pernah menawariku untuk memberikan sebuah villa
dan mobil mewah jika saja aku mau melayaninya di tempat tidur,” jawab Anne
enteng yang justru membuat Richard terhenyak.
“Tidak bisakah kau menolak keputusan pemindahanmu? Kau
benar-benar terlihat tak aman berada di sampingnya,” tukas Richard lagi.
Anne terkekeh.
“It’s okay. Toh selama ini aku
masih bisa menjaga diriku. Aku akan menendangnya jika dia berani macam-macam
denganku,” jawabnya seraya menyeringai nakal.
“Sampai kapan kau bisa
membuatmu dirimu aman? Dia lelaki yang tak bisa diprediksi,” tatapan Richard
terlihat putus asa. Apakah ia
mengkhawatirkanku? Pikir Anne dalam hati. Tanpa sadar mereka berpandangan,
untuk sesaat.
“Oh iya, sebenarnya aku ingin
tahu sudah berapa tahun kau menikah dengan Hilda?” Anne meraih cangkir tehnya
dan kembali menyeruputnya dengan perlahan. Usahanya untuk mengalihkan
pembicaraan sepertinya berhasil karena Richard tidak lagi mengungkit-ungkit
soal pak Robert.
“Sekitar 4 tahun,”
“Satu tahun setelah kau
berpisah denganku?”
Richard tak menjawab.
Sepertinya ia yang merasa malas membicarakan kembali tentang hubungan masa lalu
mereka.
“Apa kau tak berencana untuk
punya momongan? Bukankah kau suka anak kecil?” Anne kembali bertanya begitu saja.
Ya, ia masih ingat dengan betul bahwa Richard suka sekali dengan anak kecil.
Itulah sebabnya ia merasa heran kenapa sampai sekarang ia belum juga punya
momongan. Sebenarnya pertanyaan ini
mungkin terlalu pribadi untuk dia, tapi Anne benar-benar tak bisa menutupi rasa
penasarannya.
“Kami sepakat menunda punya
momongan karena kami sama-sama belum siap,” jawab Richard dengan malas-malasan.
“Dan kau sendiri, kenapa belum
menikah?” lelaki itu balas bertanya.
“Tentu aku akan menikah kalau
aku sudah menemukan pria yang cocok,”
“Kau dan Brian tampak cocok,”
“Dia baik, tapi kami hanya
berteman,”
“Apakah kau tidak mencoba
berhubungan dengan pria lain__setelah___kita___” Richard terdengar sedikit ragu
dengan kalimat yang ingin kemukakan.
“Setelah kau mencampakkanku?”
potong Anne. Ia tersenyum.
“Jujur, tidak. Aku belum
pernah mencobanya. Selain karena aku belum menemukan pria yang cocok, aku juga
terlalu sibuk dengan pekerjaanku,” ia mulai menjelaskan. Wajah Richard tampak kembali menegang.
Anne kembali tersenyum manis
ke arah lelaki tersebut hingga membuat dadanya berdebar.
“It’s okay, Rich. Kau memang
telah begitu menyakitiku, tapi bukankah hubungan kita sudah mulai membaik. Aku ingin kita kembali berteman. Teman yang bisa saling berbagi cerita seperti dulu kala,”
kalimat Anne terdengar tulus hingga membuat kekakuan Richard mencair. Perlahanpun ia tersenyum.
Dan merekapun mulai mengobrol kembali dengan lebih normal.
“Anne
... ada yang harus kau ketahui tentang Hilda,” Kalimat itu terdengar ragu
hingga membuat Anne melakukan kontak mata dengan lelaki di hadapannya.
“Apa?”
ia bertanya tanpa sadar.
“Perangai
Hilda terkadang memang di luar batas. Tapi sebenarnya ... dia perempuan yang
rapuh,” jawab Richard.
Anne
nyaris tergelak. Rapuh? Siapa? Hilda?!
Nenek
sihir yang setiap hari menyiksa dirinya bak putri iblis itu ... rapuh? Oh,
Richard pasti bercanda.
“Maksudmu?”
Richard
tak segera menjawab.
“Hilda
mengalami banyak hal buruk dalam hidupnya. Pertama kali bertemu dengannya, dia
sosok remaja yang kacau. Keluarganya miskin dan berantakan. Ayahnya adalah
seorang pemabuk dan tukang judi yang kerap kali menyiksa ibunya, dirinya, dan
juga adik-adiknya. Lelaki bedebah itu kerap kali bermain perempuan dan
berfoya-foya. Hilda bahkan beberapa kali mengalami pelecehan seksual darinya.
Dia ...” kalimat Richard terhenti. Anne ternganga. Ia hanya tak menyangka bahwa
masa lalu Hilda akan sekelam itu. Apakah itu artinya Richard memilih bersamanya
karena ....
“Ibu
Hilda meninggal setelah terlibat pertengkaran hebat dengan ayahnya. Ayahnya
yang membunuhnya,”
“Membunuhnya?”
Anne nyaris berteriak. Richard mengangguk.
“Ayah
Hilda meninggal di tangan polisi karena mencoba melarikan diri dan mencoba
melakukan perlawanan pada polisi,” ia kembali melanjutkan kalimatnya.
“Lalu
adiknya?”
“Meninggal
karena sakit,”
Anne
menelan ludah. Tiba-tiba saja ia merasa iba pada sosok Hilda. Ia sebatang kara...
“Itulah
kenapa, waktu itu aku benar-benar tak bisa meninggalkannya. Ia sendirian dan
sebatang kara. Ia ... tak punya siapa-siapa selain aku. Jadi ....” Richard
menelan ludah.
Reflek
Anne meraih tangan Richard dan meremasnya.
“Cukup,
jangan diteruskan. Aku sudah tahu apa maksudmu menjelaskan semua ini padaku.
Sekarang aku mengerti, oke,” ucapnya.
Richard
tampak tertegun. Ia tak bersuara. Ekspresinya datar tak terbaca. Ia hanya
terlalu bingung ingin mengatakan apa pada perempuan cantik di hadapannya.
***
Richard menatap
istrinya yang sedang membaca di atas tempat tidur, dengan tatapan kesal.
“Aku tahu kau yang
melakukannya,”
“Melakukan apa?” tanya Hilda
tanpa melihat ke arah Richard.
“Memindahkan Anne ke bagian
personalia, bersama Robert,”
Hilda tertawa. Ia mendongak
dan menatap suaminya dengan dalam.
“Kenapa aku harus repot-repot
melakukannya? Toh dia hanya pegawai biasa yang tak punya keistimewaan apa-apa,”
jawabnya.
“Setelah insiden di lift
beberapa waktu yang lalu, memang banyak karyawan-karyawan lain yang bergunjing
tentang hubungan kami. Aku tahu kau terganggu mendengar gosip tentang
perselingkuhan, tapi bukankah aku sudah menjelaskan, tak ada apa-apa di antara
kami. Jadi, kau tak perlu melakukan hal-hal konyol pada Anne. Memindahkannya ke
tangan Robert, bukankah itu sama saja dengan memasukkan ia ke kandang singa
yang kelaparan? Kau tahu sendiri dia lelaki macam apa? Dia adalah bajingan penggoda
yang bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang ia inginkan,”
“Dan aku tak perduli!”
Hilda melemparkan majalahnya
dengan kasar dan ia bangkit dari tempat tidurnya. Ia menatap suaminya dengan
kesal.
“Dan dia bukan apa-apamu ‘kan?
Kenapa kau terus-menerus mengkhawatirkannya? Apakah kau benar-benar tertarik
padanya?!” perempuan itu berteriak.
“Tertarik atau tidak, apakah
itu ada bedanya? Kau akan tetap menuduhku seperti itu ‘kan? Yang jelas, kali
ini kau mulai keterlaluan, Hilda. Kau boleh cemburu pada wanita manapun dan kau
juga bebas bersikap possesif padaku. Tapi aku takkan membenarkan kau melakukan
hal-hal tak menyenangkan seperti ini,”
“Lalu apa yang menyenangkan?
Menidurinya?”
“Hilda!”
“Jangan membentakku!”
“Kau berlebihan!”
“Sejak dulu aku memang sudah
seperti ini, apa kau baru menyadarinya?”
Keduanya bersitegang. Richard
menatap istrinya dengan tatapan putus asa.
“Aku muak dengan pertengkaran
ini,” ia beranjak meninggalkan istrinya yang masih berteriak-teriak dengan
lantang. Dan malam itu, mereka kembali tidur terpisah. Hal yang selalu mereka
lakukan jika mereka sedang bertengkar. Hilda tidur di kamar di lantai 1, sedangkan Richard
memilih tidur di lantai 2, dekat dengan ruang perpustakaan.
***
Anne mengernyit heran ketika pak Robert menyodorkan
sebuah kotak berisi gaun mahal ke arahnya.
“Nanti malam, salah satu
kolegaku akan mengadakan sebuah pesta di hall hotel Royal. Aku akan datang dan tentunya bersamamu. Jadi, aku
sudah mempersiapkan gaun ini untukmu. Jangan khawatir, ini bukan pesta yang
terlalu formal. Jadi, buatlah dirimu nyaman. Jam berapa kau ingin aku jemput?”
Anne tak segera menjawab.
“Apakah seorang asisten memang
diwajibkan datang dalam acara-acara seperti ini? Tidakkah sebaiknya anda
mengajak Eliana saja, sekretaris pribadi anda?”
“Dia juga akan hadir. Jangan
khawatir, aku tidak akan melakukan hal-hal berbahaya untukmu. Aku janji itu.
Ini tidak hanya sekedar pesta, tapi juga berkepentingan untuk bisnis. Jadi,
tentu saja kehadiranmu juga dibutuhkan di sini,” pak Robert menatap Anne dengan
tatapan nakal hingga membuat perempuan itu sebal.
“Lalu kenapa anda
harus memberikan gaun ini? Saya punya gaun pesta sendiri pak,”
Pak Robert menggeleng sambil
terkekeh.
“Maaf, aku tidak bermaksud
meremehkanmu. Tapi gaun ini adalah gaun terbaik tahun ini. Aku bahkan
memesannya secara langsung dari Paris. Tidak, jangan salah dulu. Kau tahu ‘kan
pesta nanti sangat penting karena menyangkut nama baik perusahaan kita. Jadi,
aku ingin menciptakan image yang baik pada mereka. Dan kau adalah pilihan yang
tepat sebagai visual figure. Mereka akan sadar bahwa ada seorang bidadari di
sini, di perusahaan kita,”
Pak Robert kembali menatap
perempuan di depannya dengan tatapan tak berkedip. Dan Anne merasa mual
mendengar semua rayuan atasannya tersebut.
“Oke, jika itu adalah perintah
dari bapak, tentu saya akan menurutinya. Tapi maaf, saya tak perlu dijemput.
Saya akan kesana dengan taksi,”
Pak Robert tertawa.
“Itu tak mungkin, sayang.
Bagaiman mungkin seorang bidadari ke pesta dengan naik taksi. Aku akan
menjemputmu, ini juga sebuah perintah,”
Anne menghela nafas.
“Oke, begini saja pak,
silahkan suruh orang lain saja untuk menjemputku. Bukannya saya ingin menolak
anda, tapi saya tak mau ada gosip hanya gara-gara anda menjemputku di rumah,
saya mohon,” Anne nyaris tertawa karena ia mengatakan ‘saya mohon’ dengan
sedikit manja. Ia tidak bermaksud untuk takhluk pada lelaki di depannya, tapi
karena ia tidak ingin lagi ada banyak perdebatan. Semakin banyak pak Robert
bicara, ia semakin malas mendengarnya.
“Oke, baiklah cantik. Aku akan
menyuruh sopirku untuk menjemputmu, jam 7. Oke,” ucap lelaki tersebut dengan
wajah cerah seraya beranjak meninggalkan meja Anne. Ia lega setelah lelaki
setengah baya itu beranjak.
Dan akhirnya,
dengan berbekal rasa malas luar biasa, malam itu ia ikut menghadiri pesta
tersebut menemani pak Robert. Dan ia tak menyangka sama sekali bahwa ternyata
Hilda dan Richard juga ada di sana.
“Ah, aku pasti sudah gila
karena mau melakukan hal ini,” ia menggerutu dengan lirih. Selama pesta berlangsung,
pak Robert nyaris tak membiarkannya pergi sedikitpun dari sisinya.
“Tetaplah disisiku, cantik.
Aku benar-benar membutuhkanmu,” itu yang selalu Robert katakan ketika Anne baru
saja berniat melangkahkan kakinya menjauh darinya. Dan Anne-pun selalu
mengiyakannya dengan malas. Tapi, tepat ditengah-tengah acara ketika pak Robert
sedang asyik berbincang dengan salah satu kolega bisnisnya dari Perancis,
akhirnya Anne berhasil membuat dirinya menjauhi lelaki tersebut. Ia beringsut
dengan hati-hati dan memilih untuk berdiri di ujung ruangan, dekat dengan meja
kudapan kecil, dan berpura-pura menikmati kue di piringnya tanpa menghiraukan
begitu banyak pasang mata yang tengah asyik memperhatikannya.
Ya, sepertinya pak Robert
benar tentang semuanya. Anne benar-benar menjadi ratu di pesta tersebut. Ia
menjadi pusat perhatian begitu banyak tamu laki-laki maupun perempuan. Gaun
pemberian Robert itu benar-benar melekat dengan sempurna ditubuhnya hingga
sempat membuat wanita itu bergidik. Apakah lelaki itu benar-benar memahami
bentuk tubuhnya hingga ia bisa menghadiahinya sebuah gaun yang begitu pas?
Wanita itu benar-benar terlihat sangat menawan dengan gaun mini dress one
shoulder berwarna merah maroon dan panjang rok sekitar 5 cm di atas lutut,
sehingga semua orang bebas menikmati kaki jenjangnya. Rambutnya yang panjang
bergelombang ia biarkan terurai begitu saja sementara wajahnya yang cantik
rupawan hanya ia hiasi make up tipis hingga membuat kecantikannya benar-benar
alami. Beberapa orang bahkan nekat mendekatinya untuk mengenalnya atau bahkan
hanya sekedar menyapanya. Dan Anne-pun selalu membalas sapaan mereka dengan
ramah.
Beberapa kali ia melirik jam
di dinding hall dan berharap waktu cepat berlalu dan pestanyapun segera
selesai. Ia merasa jenuh setengah mati berada di ruangan tersebut hingga
akhirnya, tanpa sadar tatapannya beradu dengan tatapan Richard – yang ternyata
juga tengah memandang ke arahnya. Anne tersenyum. Dan Richard pun juga
tersenyum. Tapi kali ini, senyumannya tak
seperti biasa. Jarak mereka tak begitu jauh hingga Anne bisa melihat bahwa ada
mendung di kedua matanya.
Setelah tak melihat Hilda di
sisi Richard, Anne berinisiatif untuk mendekati dan menyapa lelaki tersebut.
“Kau baik-baik saja?” ia
bertanya lebih dulu. Richard tersenyum.
“I’m
fine.
Kenapa?”
“Kau terlihat tak sehat,”
Richard menggeleng.
“Tidak, aku hanya merasa jenuh
saja dengan pesta ini,” jawabnya kemudian.
“Sama,” jawab Anne pendek
sambil membuang pandangannya ke sekeliling hall. Ia hanya penasaran dimana
Hilda ataupun pak Robert berada.
“Kau cantik sekali malam ini,”
terdengar Richard memuji. Anne menoleh kembali ke arahnya dan tersenyum.
“Terima kasih,” jawabnya. Ia
berpikir bahwa lelaki itu hanya sekedar berbasa-basi seperti yang dilakukan
tamu-tamu lainnya sedari tadi.
“Gaunmu juga sangat cantik,”
Richard kembali memuji.
“Pak Robert yang memberikannya
padaku,” jawab Anne enteng. Lelaki bermata teduh di depannya mengernyit.
“Dia menghadiahimu gaun ini?
Apa itu berarti___”
Anne tergelak.
“Oh, tidak. Jangan salah sangka. Aku memang menerima
gaun ini karena dia memaksaku. Tapi aku takkan pernah mau melayaninya di tempat
tidur,” suaranya setengah berbisik. Dan perempuan itu kembali tersenyum.
“Aku melihat banyak lelaki
tengah terpesona padamu,”
“Oh ya? Bagaimana kau tahu?
Apa kau memperhatikannya? Aku tak menyadarinya,” jawab Anne lagi dengan suara
renyah hingga membuat Richard ikut
tersenyum.
“Apa kau ada masalah?” tanya
Anne lagi.
“Tidak, kenapa?” Richard balik
bertanya.
Anne menatapnya dengan dalam.
“Aku hanya melihat ada yang
tak beres di raut wajahmu. Dan percayalah, sekarang aku bisa menjadi temanmu
untuk kau ajak berbagi cerita jika kau membutuhkannya,” jawab Anne tulus.
Richard kembali tersenyum. Ia hanya mengangguk pelan.
Obrolan di antara mereka
terhenti ketika pak Robert menghampiri mereka.
“Bukankah aku sudah memintamu
untuk selalu disampingku, kenapa kau berani berada di sini tanpa seijinku?”
ucap lelaki itu pada Anne dengan nada kesal.
“Maaf, pak,” jawab Anne
pendek.
“Aku yang mengajaknya
mengobrol di sini,” Richard menengahi setelah ia melihat Robert yang terus
menerus mengomeli Anne.
“Ah, sudahlah, Richard. Ini
tak ada hubungannya denganmu. Biarkan aku menyelesaikan ini dengan pegawaiku
sendiri, oke,” jawab Robert masih dengan nada kesal.
“Ikutlah denganku, Anne. Kita
harus menemui seseorang,” ucap Robert lagi seraya meletakkan tangannya di
pinggang Anne lalu mengajaknya beranjak dari hadapan Richard. Richard sempat
melihat Anne menepis tangan Robert yang
berada di pinggangnya dengan kesal.
Ketika pesta selesai, pak
Robert berniat mengantarkan Anne pulang tapi perempuan itu menolak dengan halus
dan mengatakan bahwa ia ingin pulang dengan naik taksi. Rupanya penolakan itu
kembali membuat Robert kesal sehingga terjadi keributan kecil di antara mereka
di halaman hall tempat diselenggarakannya pesta.
“Apa yang membuatmu begitu sombong hingga berani-beraninya kau menolakku, dasar
wanita jalang!” pak Robert setengah berteriak.
“Aku bahkan bisa memberikan
apapun yang kau minta. Rumah mewah, mobil, perhiasan, kau bahkan tidak akan
pernah bisa membelinya dengan gajimu!”
Anne melotot ke arah lelaki di
hadapnnya.
“Apakah anda pikir saya wanita
serendah itu? Maaf, tapi sepertinya anda berhadapan dengan wanita yang salah.
Saya bukan wanita yang bisa tidur dengan sembarang orang, pak. Mungkin saya
miskin, tapi saya punya harga diri,”
Pak Robert tertawa sinis.
“Harga diri? Jaman sekarang
kau bahkan masih bisa mengatakan harga diri? Munafik kau,”
Anne tersentak ketika
tiba-tiba pak Robert menarik tubuhnya dan berusaha menciumnya dengan kasar.
Dengan penuh amarah, wanita itu meronta. Ia memukul dan mendorongnya menjauh.
“Apa yang kau lakukan!?”
teriaknya.
Pak Robert berusaha
mendekatinya lagi, tapi ia baru akan menyentuh lengan Anne ketika tiba-tiba
sebuah pukulan telak mendarat di wajahnya hingga membuat lelaki itu terjungkal.
“Singkirkan tanganmu darinya!”
Richard berteriak dengan marah. Anne tersentak ketika menyadari bahwa
Richard-lah yang telah menolongnya.
Pak Robert menatapnya dengan
heran.
“Kau ___ berani memukulku?”
desisnya.
“Ya, dan aku akan menghabisimu
jika kau berani menyentuhnya, walau hanya sehelai rambut sekalipun!” Richard
kembali berteriak.
Tampak Hilda berlari-lari
kecil ke arah mereka.
“Ada keributan apa ini?”
teriaknya.
Pak Robert bangkit dan menatap
Richard dengan tajam.
“Aku bisa saja melaporkanmu ke
penjara atas tindakan kekerasan. Dan kau
pasti akan berakhir di penjara!”
Richard tertawa sinis
mendengar hal itu.
“Coba saja jika kau berani.
Aku melihat apa yang kau lakukan pada asisten pribadimu. Dan aku juga pasti
akan memasukkanmu ke penjara atas pelecehan seksual. Tidakkah kau ingat bahwa
aku pernah menjadi pengacara?” jawab Richard kesal.
“Richard! Apa-apaan ini?”
Hilda berteriak.
Richard tak menjawab. Tanpa
melihat ke arah Hilda ataupaun Anne, lelaki itu berlari ke pinggir jalan dan
menghentikan sebuah taksi. Ia kemudian berbalik lalu menarik lengan tangan Anne
yang tampak dingin karena shock dan mengajaknya ke arah taksi yang sedang
berhenti.
“Pulanglah dengan taksi. Biar
aku yang selesaikan ini,” ucap lelaki tersebut. Dan tanpa memberi kesempatan
pada Anne untuk mengatakan sesuatu, lelaki itu sudah mendorongnya masuk ke
dalam taksi tersebut lalu segera menyuruh sang sopir untuk segera menjalankan
taksinya.
***
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar