Bab 2
Anne bertekad untuk melakukan perlawanan pada Hilda.
Bukan bentuk perlawanan fisik sebetulnya, tapi lebih pada perlawanan
psikologis. Anne sendiri juga tak yakin apa yang mendasari dirinya melakukan
langkah itu. Tapi ia sudah bertekad, ia takkan membiarkan Hilda, istri dari
mantan pacarnya – orang yang telah mencampakkannya – merendahkan dirinya!
Dan sebagai upaya perlawanannya, pagi itu Anne datang
ke tempat kerja dengan dandanan seperti biasanya, dandanan yang sangat dibenci
oleh Hilda. Ia tak lagi menggunakan sepatu heel pendek seperti yang disarankan
perempuan itu. Yang ia pakai sekarang adalah sepatu dengan heel 7 cm, yang
sangat Anne sukai. Ia juga kembali menggunakan parfum yang sejak masih kuliah
dulu selalu ia pakai, dan (lagi-lagi) Hilda bilang ia tak menyukainya.
Baju yang ia kenakan pun bisa dikatakan seksi. Blouse
warna cerah dan rok pendek di atas lutut yang tampak melekat sempurna di
tubuhnya sehingga makin menunjukkan bentuk tubuhnya yang begitu menawan. Hilda
pernah terang-terangan melarangnya memakai pakaian seperti itu karena
menganggapnya terlalu seksi dan menyuruhnya menggunakan blazer yang lebih
longgar dan kedodoran. Dan kali ini, ia takkan menggubrisnya. Ia akan menjadi
dirinya sendiri. Mungkin yang ia tetap pertahankan adalah rambutnya yang masih
tergelung dengan rapi. Ia sempat ingin mengurai rambut tersebut seperti yang
sering ia lakukan selama ini sebagai tanda protes. Tapi setelah dipikir-pikir
lagi, tatanan rambut seperti ini juga tak masalah baginya. Toh ia terlihat
lebih rapi.
Dan tentu saja hal ini membuat Hilda murka bukan
kepalang.
“Kenapa
kau pakai lagi sepatu seperti itu? Ingin kelihatan seksi dengan heel tinggi?”
Ia menyindir.
“Maaf,
bu, tapi sepatu saya yang heel-nya pendek rusak,”
“Memangnya
kau tak mampu beli yang baru?”
“Maaf,
tapi gaji saya kecil bu. Sepatu saya di rumah masih banyak yang layak pakai,
dan akan sangat mubazir jika saya kembali memboroskan uang untuk membeli sepatu
lagi,”
Hilda
menatap Hilda dengan tajam.
“Dan
... ada apa dengan aroma tubuhmu? Aku benci parfummu. Aku pusing menciumnya,”
“Maaf,
bu. Tapi ini adalah parfum paling murah yang bisa saya beli. Jika anda tak
tahan dengan aromanya, anda bisa menempatkan saya di ruangan lain, yang tidak
terlalu dekat dengan anda. Anda bisa memberikan perintah pada saya melalui
telpon,” jawab Anne lagi, pantang mengalah.
Hilda
mencibir. Ia kembali menatap Anne dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Dan
bajumu, astaga, itu terlalu seksi. Kau ini niat bekerja, atau niat mencari
perhatian dari lelaki?”
Anne
menatap dirinya sendiri sekilas, lalu kembali menatap Hilda.
“Anda
juga memakai model baju yang sama dengan saya. Blouse ketat dan rok pendek di
atas lutut,” jawabnya.
Hilda
melotot.
“Apa
yang membuatmu begitu berani menentang saranku?”
“Tak
ada, bu. Tapi saya bisa pastikan bahwa kemampuan saya bekerja tak ada kaitannya
dengan dandanan saya. Saya harap ibu mengerti dan membiarkan saya menjadi diri
saya sendiri,”
Hilda
kembali tersenyum sinis.
“Apa
kau pikir kau akan kelihatan cantik dengan dandanan seperti ini?”
Anne
tersenyum.
“Jangan
khawatir, bu. Sejauh apapun saya berdandan, saya tetap tak akan bisa
mengalahkan kecantikan anda. Saya tak sepadan jika dibandingkan dengan anda.
Dan anda tetap menjadi perempuan tercantik di kantor ini,”
Hilda
tampak terlihat senang dengan rayuan yang diberikan Anne.
“Baik,
semoga apa yang kau katakan itu benar bahwa dandananmu tak mempengaruhi
prestasimu dalam bekerja,”
“Saya
akan buktikan itu, bu,”
Hilda
manggut-manggut.
“Oke,
kita lihat seberapa jauh kau bisa bertahan dengan prestasi yang kau
agung-agungkan itu,” ucapnya sinis.
Anne
tersenyum.
“Dan
pastikan saya mendapat gaji tambahan jika anda menghendaki saya bekerja di luar
jam kerja saya,” ucapnya lagi, dengan tegas.
Hilda
tampak terkejut, tapi akhirnya ia tersenyum sinis.
“Sesuai
permintaanmu,” jawabnyanya. Dan ia serius dengan ucapannya. Seharian itu ia
hampir tak membuat Anne bisa beristirahat. Ia memberinya setumpuk pekerjaan.
Mengetik laporan, memeriksa berkas, menyiapkan dokumen, menyiapkan tempat
meeting dengan klien, bahkan membersihkan ruang kerjanya. Dan Anne-pun
mengerjakannya tanpa mengeluh.
Tidak
hanya itu saja, hari-hari berikutnya jam kerja Anne semakin gila-gilaan –
meskipun pada akhirnya Hilda tetap memberikannya gaji tambahan.
Hilda
sering menelponnya dan meminta bantuannya untuk
melakukan banyak pekerjaan, bahkan ketika ia sedang beristirahat di rumah. Ia
semakin sering bolak-balik ke perusahaan, atau bahkan datang ke rumah Hilda -
tentu saja atas perintahnya - untuk sekedar mengantar atau mengambil barang,
atau bahkan menaruh berkas dan mengambilkan dokumen yang ketinggalan.
Anne
mengerjakannya tanpa mengeluh. Tapi yang tidak ia suka ketika Hilda menyuruhnya
ke rumahnya adalah ia harus bertemu dengan Richard Kein.
Ya, mau tak mau, sekarang ia semakin sering bertemu
dengannya. Tapi tetap saja tak ada komunikasi berarti di antara mereka karena
Anne senantiasa melindungi dirinya dengan benteng keangkuhan dan amarah. Yang
mereka lakukan tatkala bertemu hanyalah
saling tegur sapa biasa layaknya orang yang baru saja kenal.
Dan
dari situ pula, Anne mulai mengetahui bahwa Richard dan Hilda seakan bertukar
tempat. Hilda yang bekerja dan nyaris menghabiskan seluruh waktunya di kantor,
sementara Richard tinggal di rumah. Ia yang memasak, mencuci baju, mencuci
piring, mengepel lantai, menyapu, mengurus taman, semua pekerjaan rumah
Richard-lah yang mengerjakannya. Anne sempat terkejut dengan keadaan lelaki
tersebut dan berniat menanyakan banyak hal padanya. Tapi ia enggan
melakukannya. Lagipula, apa urusannya sekarang dengan dirinya? Mau dia jadi
babu, pembantu, apakah Anne berhak mencampuri kehidupannya? Tidak.
Ia ingin berhenti memikirkan lelaki tersebut.
Secepatnya, jika saja ia mampu. Karena jika tidak, ia benar-benar bisa kembali
gila olehnya!
Tapi, sejauh ia ingin
mengabaikannya, rasa ingin tahunya akan kehidupan lelaki tersebut semakin
besar. Hingga, pagi itu ketika Hilda menyuruhnya ke rumah untuk mengambil
beberapa berkas yang tertinggal, ia melihat Richard sedang sibuk didapur
membuat kue. Ketika ia menyampaikan maksud kedatangannya, Richard menyambutnya
dengan ramah lalu mencuci tangannya yang belepotan tepung kemudian beranjak
mengambilkan berkas yang Anne maksud. Biasanya Anne akan segera mengambil berkas tersebut jika Hilda meletakkannya di
meja kerjanya seperti biasanya. Tapi
ternyata berkas tersebut ada di kamar
pribadi mereka sehingga Anne harus minta tolong pada pria tersebut untuk
mengambilkannya.
“Mohon maafkan Hilda. Dia
memang sedikit pelupa,” ucapnya. Anne hanya manggut-manggut tanpa ekspresi.
“Kau tak bekerja?” tanya-nya
dengan suara datar. Richard tersenyum dengan ramah. Ah, senyumannya masih saja
menawan. Tanpa sadar Anne memuji dalam hati.
“Bekerja,” jawabnya.
Anne
menoleh ke arah jam di dinding. Pukul 11 siang.
“Lalu kenapa jam segini kau
masih di rumah? Kau tak ke kantor?” tanya Anne lagi.
“Aku memang bekerja,” jawab
Richard lagi. Anne menatapnya dengan tatapan tak mengerti.
“Seperti yang kau lihat, aku
melakukan semua pekerjaan rumah. Aku memasak, mencuci, bersih-bersih, itulah
pekerjaanku. Ah, tidak, jangan khawatir. Jangan berpikir yang aneh-aneh. Aku
tidak menyesal dengan kehidupannku yang seperti ini karena pada dasarnya aku
menyukai aktifitasku dan aku benar-benar menikmatinya,” ucap Richard panjang
lebar untuk menjelaskan tatapan Anne yang penuh selidik. Perempuan cantik itu
kembali mengangguk-angguk dengan ekspresi biasa.
“Oh iya, aku juga menulis
artikel untuk beberapa majalah. Hanya saja, freelance. Aku melakukannya ketika
aku luang saja,” ucap Richard lagi.
“Terima kasih karena kau mau
bertanya, Anne. Setidaknya, obrolan kecil ini adalah langkah awal bagi kita
untuk memperbaiki hubungan kita,” lelaki itu menambahkan sambil kembali
tersenyum ke arah Anne. Bibir Anne berdecak dengan sinis. Ia merasa malas
membahas tentang hubungan mereka kembali. Akhirnya, tanpa berkata apa-apa ia
beranjak meninggalkan rumah tersebut.
Persetan dengan urusan rumah tangga
mereka! Teriaknya dalam hati.
***
“Kau tampak lelah sekali. Apa nenek sihir itu
menyiksamu?” Brian menyapa ketika mereka bertemu di kantin.
Anne
manggut-manggut.
“Aku
serasa kerja rodi. Tapi aku takkan mundur sedetikpun dari wanita itu. Wanita
itu harus tahu bahwa aku punya kapabilitas yang memadai sebagai asisten
pribadi,” jawabnya seraya memasukkan sesendok nasi dengan tergesa-gesa. Ya,
hanya pada Brian-lah ia bisa menumpahkan keluh kesahnya. Lelaki itu menatapnya
dengan iba.
“Kalau
kau tak keberatan, nanti aku akan mengantarkanmu pulang,” ucap Brian lagi.
“Oke,”
jawab Anne pendek seraya kembali melahap makannya.
“Dan
aku ingin mengajakmu jalan-jalan lalu makan malam bersama. Kau perlu refreshing
agar tak stress,” lelaki tampan itu kembali berucap. Anne manggut-manggut.
“Oke,”
jawabnya lagi. Ia menyetujui ide tersebut. Tapi, sayang rencana itu harus batal ketika Hilda
menyuruh Anne ke rumahnya.
“Bisakah
kau ke rumahku dan menyampaikan pesan pada suamiku bahwa aku akan pulang telat
hari ini? Aku masih harus menemui beberapa klien,”
“Kenapa
ibu tidak menelponnya secara langsung?”
“Hapeku
tertinggal di rumah,”
“Kalau
begitu, pakai saja telpon kantor?”
Hilda
menggeleng.
“Karena
aku juga ingin menyuruhmu membawa berkas-berkas ini ke rumah. Suamiku akan
membantuku mengeceknya. Ada beberapa kontrak kerja yang perlu dikonsultasikan
dengannya. Kau tahu ‘kan, dia dulu sekolah di fakultas hukum,” Hilda menjelaskan.
Anne mendesis lirih, kesal.
Tentu
saja ia tahu bahwa Richard lulusan sekolah hukum, toh dulu mereka satu kampus,
meski beda fakultas.
“Ayolah,
berkas-berkas ini harus selesai dicek malam ini. Jika perlu, bantulah suamiku
untuk menyelesaikannya agar pekerjaan cepat selesai,”
“Membantunya
mengecek?” ia memastikan. Hilda mengangguk.
“Ada
masalah?”
Anne
tak menjawab. Ingin ia menolak, tapi ia tak punya pilihan. Akhirnya setelah
mengirimkan pesan singkat pada Brian untuk menunda rencana makan malam mereka,
Anne-pun beranjak menuju rumah Hilda dengan naik taksi. Ia masih berada di
tengah perjalanan ketika tiba-tiba saja hujan turun dengan deras.
“Pak,
tunggulah di sini sebentar. Aku harus masuk dulu mengambil payung agar
berkas-berkas ini tidak basah terkena hujan,” ucap Anne pada pak sopir ketika
mereka telah sampai di depan rumah mewah Hilda. Pintu gerbang itu setengah
terbuka hingga taksi tak mungkin masuk ke halaman rumah. Perempuan bermata
indah itu menaruh berkas dan tasnya di dalam taksi, lalu ia segera keluar
menerjang hujan dan berlari-lari kecil memasuki halaman rumah yang luas. Ia
nyaris saja terpeleset karena jalannya yang licin. Richard sedang membaca buku
di depan tivi ketika perempuan itu menyeruak masuk ke dalam rumah tanpa
mengetuk pintu. Ia melihat Anne yang nyaris basah kuyup dengan terkaget-kaget.
Beberapa helai rambut ikalnya mulai berjatuhan di sekiar wajahnya dan gelungan rambutnya yang biasanya rapi nyaris
berantakan. Lelaki itu bangkit dari tempat duduknya.
“Astaga,
Anne?”
“Payung!
Aku butuh payung!” Anne setengah berteriak. Tanpa banyak bertanya Richard berlari menuju dapur dan kembali dengan
membawa sebuah payung. Tanpa banyak berkata, Anne menyambar payung tersebut
lalu segera berlari kembali menerjang derasnya hujan untuk mengambil
berkas-berkas dan tasnya yang masih ada di dalam taksi. Dan tak berapa lamapun
ia kembali ke dalam rumah dengan menenteng berkas-berkas tersebut.
“Apa
Hilda yang menyuruhmu ke sini dengan cuaca seperti ini?” suara Richard
terdengar sedikit kesal. Mungkin ia kesal karena Hilda pulang terlambat, pikir
Anne.
“Apa
kau pikir aku sudi datang kemari tanpa di perintah olehnya?” jawab Anne ketus.
Suaranya terdengar sedikit menggigil karena kedinginan.
“Ia
pulang terlambat hari ini karena masih ada pertemuan dengan klien. Jadi ia
menyuruhku membawa pulang semua berkas-berkas ini agar kau bisa segera
mengeceknya. Aku ingin membantumu, tapi melihat keadaanku yang sekarang,
sepertinya itu tak mungkin,” Anne melangkahkan kakinya melewati Richard menuju
ruang baca tempat Hilda menaruh semua berkas-berkasnya seperti biasanya.
Richard mengekor di belakangnya sambil menatap perempuan tinggi semampai itu
dengan seksama. Blouse yang ia kenakan terlihat tipis. Ditambah dengan siraman
air hujan, baju itu seakan makin menyatu dengan kulitnya yang mulus bersih
sehingga semakin menunjukkan lekuk tubuhnya yang menawan.
“Pekerjaanku hanya sampai di
sini saja. Sungguh, aku ingin sekali membantumu mengecek semua berkas-berkas
ini karena istrimu bilang berkas-berkas ini harus selesai dicek malam ini.
Tapi, aku tak bisa melakukan pekerjaan ini dengan kondisi basah kuyup seperti
ini. Jadi, aku harus segera pulang dan meninggalkanmu menyelesaikan pekerjaan
ini sendirian. Maafkan aku, aku benar-benar tak bermaksud lari dari tanggung
jawab,” ucap Anne panjang lebar. Richard sempat terkesiap, sejak beberpa bulan
yang lalu, baru kali inilah Anne mau bicara panjang lebar padanya dan dengan
nada selembut ini pula. Meskipun begitu,
bibirnya terlihat bergetar. Itu pasti karena ia kedinginan. Richard
menatapnya dengan iba. Naluri lelakinya ingin sekali menyentuh wajahnya yang
basah dengan lembut lalu menyelipkan ikal-ikal rambutnya yang berjuntaian
kemudian menyelipkannya ke balik telinganya. Seperti yang biasa ia lakukan
dulu, 5 tahun yang lalu, ketika perempuan itu masih menjadi kekasihnya.
“Bergantilah baju. Kau bisa
sakit jika pulang dengan baju basah begini. Aku akan meminjamkan baju Hilda,”
Anne terkekeh.
“Baju siapa? Baju bu Hilda?
Dia bisa memecatku karena lancang memakai bajunya,” ucapnya.
“Aku yang meminjamkannya, ia
takkan marah,”
“Tidak,” jawab Anne tegas.
“Kalo begitu, pakailah
bajuku,”
Anne tertawa kesal mendengar ucapan Richard.
“Bajumu? Nah, istrimu pasti
akan segera membunuhku jika aku sampai menyentuh barang-barangmu,” jawabnya
sinis.
Richard menatap perempuan itu
dengan kesal.
“Aku serius, Anne. Aku
benar-benar tak tega melihatmu pulang dalam keadaan seperti ini. Kau bisa
sakit,”
Anne kembali tertawa sinis.
“Apa pedulimu jika aku sakit?
Kita bahkan tak ada hubungan apa-apa,”
“Terserah, yang jelas aku
mengkhawatirkanmu. Jika kau menolak berganti baju, setidaknya biarkan aku
mengantarkanmu pulang. Cuaca sedang tidak baik dan aku tak tega jika kau harus
pulang sendirian,”
Anne tergelak.
“Dan kenapa kau harus bersikap
seperti itu? Mengkhawatirkanku? Atas dasar apa? Rasa kasihan? Atau rasa bersalah karena kaulah
orang yang telah mencampakkanku? Mengkhianatiku? Melukai hatiku?”
Richard mendesah.
“Ah, sudahlah, Anne. Jangan mulai membahasnya
lagi. Peristiwa itu sudah berlalu sangat lama. Tidak bisakah kau melupakannya
dan memaafkanku?”
Keduanya bersitegang.
“Tidak! Aku tidak akan pernah
bisa memaafkanmu! Aku tidak akan pernah bisa melupakan pengkhianatanmu!” Anne
berteriak. Ia menatap pria di depannya dengan tajam.
“Oke, akan ku perjelas ini
agar masalah di antara kita segera selesai. Aku tidak pernah mengkhianatimu,
Anne. Tidak pernah!”
“Bagaimana mungkin kau bisa
berkata seperti itu?”
“Aku memang mengenal Hilda
ketika aku masih menjadi kekasihmu. Tapi aku mulai berkencan dengannya jauh
setelah aku putus denganmu. Jadi, aku tak pernah berkhianat ataupun
berselingkuh darimu!”
“Tapi kau menyukainya sejak
masih menjadi pacarku ‘kan?”
“Ya, itu benar. Tapi aku tidak
berselingkuh darimu ‘kan?”
Anne menarik nafas kesal.
“Ah, laki-laki memang selalu
mau enaknya sendiri,” ia beranjak.
“Mau kemana kau?” Richard
mengikutinya.
“Aku akan pulang naik taksi.
Kau tak perlu repot-repot mengantarkanku,”
“Tidak, aku yang akan
mengantarkanmu pulang,”
“Kau tak bisa memerintahku!
Kau bukan atasanku!”
“Apa yang membuatmu begini keras kepala?”
“Aku sudah keras kepala sejak
dulu, kau juga tahu itu!” Anne terus melangkahkan kakinya tanpa menghiraukan
Richard. Tapi, sejurus kemudian ia dibuat terkejut ketika tiba-tiba Richard
menarik tangannya, meraih pinggangnya yang ramping lalu memeluknya dengan erat.
Lelaki itu mendekatkan wajahnya pada wajah Anne. Tatapan matanya tajam dan
tampak kesal. Anne merasakan dadanya
bergemuruh dengan hebat. Ia bahkan bisa merasakan desah nafas Richard. Sejak
perpisahannya dengan Richard 5 tahun lalu, ini pertama kalinya ia berada begitu
dekat dengan lelaki itu.
Anne berusaha mendorong tubuh
Richard agar bisa melepaskan diri. Tapi percuma. Tenaganya kalah kuat
dengannya. Semakin ia berusaha meronta yang ada malahan ia merasakan pelukan
Richard kian menguat. Keduanya berpandangan dengang lekat, untuk beberapa saat.
Anne menelan ludah. Mungkin ia salah, tapi tatapan mata Richard berubah lembut
dan dalam. Ia pernah menemui tatapan itu 5 tahun yang lalu, ketika mereka masih
berpacaran. Kenapa tatapan itu muncul
lagi?
Seketika Anne merasakan
tubuhnya menggigil. Dan ia yakin itu bukan karena ia kedinginan.
“Lepaskan aku,” Anne
menggumam. Suaranya lirih dan setengah memohon. Dan perlahanpun Richard
melepaskan pelukannya. Anne mundur beberapa langkah dan lelaki bertubuh kekar
itupun melakukan hal yang sama. Tampak ia juga sedikit kebingungan dengan
sikapnya yang barusan. Ia menyentuh rambutnya yang lebat dengan kedua telapak
tangannya. “Maaf,” ucapnya lirih tanpa melihat ke arah Anne.
“Aku akan tetap pulang dengan
kendaraan umum. Entah kau suka atau tidak. Ini bukan karena aku keras kepala,
tapi kau lelaki yang sudah menikah. Dan akan kelihatan aneh jika kau
mengantarkan aku pulang dalam situasi seperti ini sementara istrimu sedang tak
berada ada di rumah. Terlebih lagi aku adalah bawahan istrimu. Kuharap kau bisa mengerti. Ini demi
kebaikanmu dan juga kebaikan istrimu. Aku tak mau ada kesalah pahaman,” suara
Anne terdengar melunak hingga membuat Richard seakan mendapatkan kembali akal
sehatnya.
“Kalau begitu, aku akan
menyuruh orang untuk mengantarkanmu. Aku tetap tak setuju kau pulang sendirian
dengan kendaraan umum. Kau bekerja pada istriku dan secara tidak langsung
keselamatanmu juga menjadi tanggung jawabku. Ku harap kau mengerti,” jawab
Richard dengan suara yang tenang. Keduanya kembali berpandangan.
“Dan
... aku akan meminjamkan jaketku. Blousemu ... tembus pandang,” ucapan Richard
tampak ragu.
Anne
ternganga. Perlahan ia melihat dirinya sendiri. Dan Richard benar. Bra pink-nya
tampak tercetak dengan jelas di balik blouse putihnya yang basah karena air
hujan. Oh, tidak! Ia mengumpat dan
secara reflek ia menutup dadanya dengan kedua lengan tangannya.
“Oke, aku butuh jaket, secepatnya,” ucap Anne
kemudian, menyerah.
Richard
mengangguk lalu beranjak. Entah perasaannya saja atau mungkin ia sedang salah
lihat, tapi sekilas ia sempat menangkap senyum tipis di bibir Richard.
Anne
menggigit bibirnya dengan kesal. Bra
sialan!
***
Bersambung ....
Gambar : Delta Lee G.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar