Senin, 15 Desember 2014

Come back to me, Bad Guy! - part 2



Bab 2

Anne bertekad untuk melakukan perlawanan pada Hilda. Bukan bentuk perlawanan fisik sebetulnya, tapi lebih pada perlawanan psikologis. Anne sendiri juga tak yakin apa yang mendasari dirinya melakukan langkah itu. Tapi ia sudah bertekad, ia takkan membiarkan Hilda, istri dari mantan pacarnya – orang yang telah mencampakkannya – merendahkan dirinya!
Dan sebagai upaya perlawanannya, pagi itu Anne datang ke tempat kerja dengan dandanan seperti biasanya, dandanan yang sangat dibenci oleh Hilda. Ia tak lagi menggunakan sepatu heel pendek seperti yang disarankan perempuan itu. Yang ia pakai sekarang adalah sepatu dengan heel 7 cm, yang sangat Anne sukai. Ia juga kembali menggunakan parfum yang sejak masih kuliah dulu selalu ia pakai, dan (lagi-lagi) Hilda bilang ia tak menyukainya.
Baju yang ia kenakan pun bisa dikatakan seksi. Blouse warna cerah dan rok pendek di atas lutut yang tampak melekat sempurna di tubuhnya sehingga makin menunjukkan bentuk tubuhnya yang begitu menawan. Hilda pernah terang-terangan melarangnya memakai pakaian seperti itu karena menganggapnya terlalu seksi dan menyuruhnya menggunakan blazer yang lebih longgar dan kedodoran. Dan kali ini, ia takkan menggubrisnya. Ia akan menjadi dirinya sendiri. Mungkin yang ia tetap pertahankan adalah rambutnya yang masih tergelung dengan rapi. Ia sempat ingin mengurai rambut tersebut seperti yang sering ia lakukan selama ini sebagai tanda protes. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, tatanan rambut seperti ini juga tak masalah baginya. Toh ia terlihat lebih rapi.
Dan tentu saja hal ini membuat Hilda murka bukan kepalang.  
“Kenapa kau pakai lagi sepatu seperti itu? Ingin kelihatan seksi dengan heel tinggi?” Ia menyindir.
“Maaf, bu, tapi sepatu saya yang heel-nya pendek rusak,”
“Memangnya kau tak mampu beli yang baru?”
“Maaf, tapi gaji saya kecil bu. Sepatu saya di rumah masih banyak yang layak pakai, dan akan sangat mubazir jika saya kembali memboroskan uang untuk membeli sepatu lagi,”
Hilda menatap Hilda dengan tajam.
“Dan ... ada apa dengan aroma tubuhmu? Aku benci parfummu. Aku pusing menciumnya,”
“Maaf, bu. Tapi ini adalah parfum paling murah yang bisa saya beli. Jika anda tak tahan dengan aromanya, anda bisa menempatkan saya di ruangan lain, yang tidak terlalu dekat dengan anda. Anda bisa memberikan perintah pada saya melalui telpon,” jawab Anne lagi, pantang mengalah.
Hilda mencibir. Ia kembali menatap Anne dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Dan bajumu, astaga, itu terlalu seksi. Kau ini niat bekerja, atau niat mencari perhatian dari lelaki?”
Anne menatap dirinya sendiri sekilas, lalu kembali menatap Hilda.
“Anda juga memakai model baju yang sama dengan saya. Blouse ketat dan rok pendek di atas lutut,” jawabnya.
Hilda melotot.
“Apa yang membuatmu begitu berani menentang saranku?”
“Tak ada, bu. Tapi saya bisa pastikan bahwa kemampuan saya bekerja tak ada kaitannya dengan dandanan saya. Saya harap ibu mengerti dan membiarkan saya menjadi diri saya sendiri,”
Hilda kembali tersenyum sinis.
“Apa kau pikir kau akan kelihatan cantik dengan dandanan seperti ini?”
Anne tersenyum.
“Jangan khawatir, bu. Sejauh apapun saya berdandan, saya tetap tak akan bisa mengalahkan kecantikan anda. Saya tak sepadan jika dibandingkan dengan anda. Dan anda tetap menjadi perempuan tercantik di kantor ini,”
Hilda tampak terlihat senang dengan rayuan yang diberikan Anne.
“Baik, semoga apa yang kau katakan itu benar bahwa dandananmu tak mempengaruhi prestasimu dalam bekerja,”
“Saya akan buktikan itu, bu,”
Hilda manggut-manggut.
“Oke, kita lihat seberapa jauh kau bisa bertahan dengan prestasi yang kau agung-agungkan itu,” ucapnya sinis.
Anne tersenyum.
“Dan pastikan saya mendapat gaji tambahan jika anda menghendaki saya bekerja di luar jam kerja saya,” ucapnya lagi, dengan tegas.
Hilda tampak terkejut, tapi akhirnya ia tersenyum sinis.
“Sesuai permintaanmu,” jawabnyanya. Dan ia serius dengan ucapannya. Seharian itu ia hampir tak membuat Anne bisa beristirahat. Ia memberinya setumpuk pekerjaan. Mengetik laporan, memeriksa berkas, menyiapkan dokumen, menyiapkan tempat meeting dengan klien, bahkan membersihkan ruang kerjanya. Dan Anne-pun mengerjakannya tanpa mengeluh.
Tidak hanya itu saja, hari-hari berikutnya jam kerja Anne semakin gila-gilaan – meskipun pada akhirnya Hilda tetap memberikannya gaji tambahan.
Hilda sering menelponnya dan meminta bantuannya untuk melakukan banyak pekerjaan, bahkan ketika ia sedang beristirahat di rumah. Ia semakin sering bolak-balik ke perusahaan, atau bahkan datang ke rumah Hilda - tentu saja atas perintahnya - untuk sekedar mengantar atau mengambil barang, atau bahkan menaruh berkas dan mengambilkan dokumen yang ketinggalan.
Anne mengerjakannya tanpa mengeluh. Tapi yang tidak ia suka ketika Hilda menyuruhnya ke rumahnya adalah ia harus bertemu dengan Richard Kein.
Ya, mau tak mau, sekarang ia semakin sering bertemu dengannya. Tapi tetap saja tak ada komunikasi berarti di antara mereka karena Anne senantiasa melindungi dirinya dengan benteng keangkuhan dan amarah. Yang mereka lakukan  tatkala bertemu hanyalah saling tegur sapa biasa layaknya orang yang baru saja kenal.
Dan dari situ pula, Anne mulai mengetahui bahwa Richard dan Hilda seakan bertukar tempat. Hilda yang bekerja dan nyaris menghabiskan seluruh waktunya di kantor, sementara Richard tinggal di rumah. Ia yang memasak, mencuci baju, mencuci piring, mengepel lantai, menyapu, mengurus taman, semua pekerjaan rumah Richard-lah yang mengerjakannya. Anne sempat terkejut dengan keadaan lelaki tersebut dan berniat menanyakan banyak hal padanya. Tapi ia enggan melakukannya. Lagipula, apa urusannya sekarang dengan dirinya? Mau dia jadi babu, pembantu, apakah Anne berhak mencampuri kehidupannya? Tidak.
Ia ingin berhenti memikirkan lelaki tersebut. Secepatnya, jika saja ia mampu. Karena jika tidak, ia benar-benar bisa kembali gila olehnya!
Tapi, sejauh ia ingin mengabaikannya, rasa ingin tahunya akan kehidupan lelaki tersebut semakin besar. Hingga, pagi itu ketika Hilda menyuruhnya ke rumah untuk mengambil beberapa berkas yang tertinggal, ia melihat Richard sedang sibuk didapur membuat kue. Ketika ia menyampaikan maksud kedatangannya, Richard menyambutnya dengan ramah lalu mencuci tangannya yang belepotan tepung kemudian beranjak mengambilkan berkas yang Anne maksud. Biasanya Anne akan segera mengambil berkas tersebut jika Hilda meletakkannya di meja kerjanya seperti biasanya. Tapi ternyata berkas tersebut ada di kamar pribadi mereka sehingga Anne harus minta tolong pada pria tersebut untuk mengambilkannya.
“Mohon maafkan Hilda. Dia memang sedikit pelupa,” ucapnya. Anne hanya manggut-manggut tanpa ekspresi.
“Kau tak bekerja?” tanya-nya dengan suara datar. Richard tersenyum dengan ramah. Ah, senyumannya masih saja menawan. Tanpa sadar Anne memuji dalam hati.
“Bekerja,” jawabnya.
Anne menoleh ke arah jam di dinding. Pukul 11 siang.
“Lalu kenapa jam segini kau masih di rumah? Kau tak ke kantor?” tanya Anne lagi.
“Aku memang bekerja,” jawab Richard lagi. Anne menatapnya dengan tatapan tak mengerti.
“Seperti yang kau lihat, aku melakukan semua pekerjaan rumah. Aku memasak, mencuci, bersih-bersih, itulah pekerjaanku. Ah, tidak, jangan khawatir. Jangan berpikir yang aneh-aneh. Aku tidak menyesal dengan kehidupannku yang seperti ini karena pada dasarnya aku menyukai aktifitasku dan aku benar-benar menikmatinya,” ucap Richard panjang lebar untuk menjelaskan tatapan Anne yang penuh selidik. Perempuan cantik itu kembali mengangguk-angguk dengan ekspresi biasa.
“Oh iya, aku juga menulis artikel untuk beberapa majalah. Hanya saja, freelance. Aku melakukannya ketika aku luang saja,” ucap Richard lagi.
“Terima kasih karena kau mau bertanya, Anne. Setidaknya, obrolan kecil ini adalah langkah awal bagi kita untuk memperbaiki hubungan kita,” lelaki itu menambahkan sambil kembali tersenyum ke arah Anne. Bibir Anne berdecak dengan sinis. Ia merasa malas membahas tentang hubungan mereka kembali. Akhirnya, tanpa berkata apa-apa ia beranjak meninggalkan rumah tersebut.
Persetan dengan urusan rumah tangga mereka! Teriaknya dalam hati.

***


 “Kau tampak lelah sekali. Apa nenek sihir itu menyiksamu?” Brian menyapa ketika mereka bertemu di kantin.
Anne manggut-manggut.
“Aku serasa kerja rodi. Tapi aku takkan mundur sedetikpun dari wanita itu. Wanita itu harus tahu bahwa aku punya kapabilitas yang memadai sebagai asisten pribadi,” jawabnya seraya memasukkan sesendok nasi dengan tergesa-gesa. Ya, hanya pada Brian-lah ia bisa menumpahkan keluh kesahnya. Lelaki itu menatapnya dengan iba.
“Kalau kau tak keberatan, nanti aku akan mengantarkanmu pulang,” ucap Brian lagi.
“Oke,” jawab Anne pendek seraya kembali melahap makannya.
“Dan aku ingin mengajakmu jalan-jalan lalu makan malam bersama. Kau perlu refreshing agar tak stress,” lelaki tampan itu kembali berucap. Anne manggut-manggut.
“Oke,” jawabnya lagi. Ia menyetujui ide tersebut. Tapi, sayang rencana itu harus batal ketika Hilda menyuruh Anne  ke rumahnya.
“Bisakah kau ke rumahku dan menyampaikan pesan pada suamiku bahwa aku akan pulang telat hari ini? Aku masih harus menemui beberapa klien,”
“Kenapa ibu tidak menelponnya secara langsung?”
“Hapeku tertinggal di rumah,”
“Kalau begitu, pakai saja telpon kantor?”
Hilda menggeleng.
“Karena aku juga ingin menyuruhmu membawa berkas-berkas ini ke rumah. Suamiku akan membantuku mengeceknya. Ada beberapa kontrak kerja yang perlu dikonsultasikan dengannya. Kau tahu ‘kan, dia dulu sekolah di fakultas hukum,” Hilda menjelaskan. Anne mendesis lirih, kesal.
Tentu saja ia tahu bahwa Richard lulusan sekolah hukum, toh dulu mereka satu kampus, meski beda fakultas.
“Ayolah, berkas-berkas ini harus selesai dicek malam ini. Jika perlu, bantulah suamiku untuk menyelesaikannya agar pekerjaan cepat selesai,”
“Membantunya mengecek?” ia memastikan. Hilda mengangguk.
“Ada masalah?”
Anne tak menjawab. Ingin ia menolak, tapi ia tak punya pilihan. Akhirnya setelah mengirimkan pesan singkat pada Brian untuk menunda rencana makan malam mereka, Anne-pun beranjak menuju rumah Hilda dengan naik taksi. Ia masih berada di tengah perjalanan ketika tiba-tiba saja hujan turun dengan deras.
“Pak, tunggulah di sini sebentar. Aku harus masuk dulu mengambil payung agar berkas-berkas ini tidak basah terkena hujan,” ucap Anne pada pak sopir ketika mereka telah sampai di depan rumah mewah Hilda. Pintu gerbang itu setengah terbuka hingga taksi tak mungkin masuk ke halaman rumah. Perempuan bermata indah itu menaruh berkas dan tasnya di dalam taksi, lalu ia segera keluar menerjang hujan dan berlari-lari kecil memasuki halaman rumah yang luas. Ia nyaris saja terpeleset karena jalannya yang licin. Richard sedang membaca buku di depan tivi ketika perempuan itu menyeruak masuk ke dalam rumah tanpa mengetuk pintu. Ia melihat Anne yang nyaris basah kuyup dengan terkaget-kaget. Beberapa helai rambut ikalnya mulai berjatuhan di sekiar wajahnya dan gelungan rambutnya yang biasanya rapi nyaris berantakan. Lelaki itu bangkit dari tempat duduknya.
“Astaga, Anne?”
“Payung! Aku butuh payung!” Anne setengah berteriak. Tanpa banyak bertanya Richard berlari menuju dapur dan kembali dengan membawa sebuah payung. Tanpa banyak berkata, Anne menyambar payung tersebut lalu segera berlari kembali menerjang derasnya hujan untuk mengambil berkas-berkas dan tasnya yang masih ada di dalam taksi. Dan tak berapa lamapun ia kembali ke dalam rumah dengan menenteng berkas-berkas tersebut.
“Apa Hilda yang menyuruhmu ke sini dengan cuaca seperti ini?” suara Richard terdengar sedikit kesal. Mungkin ia kesal karena Hilda pulang terlambat, pikir Anne.
“Apa kau pikir aku sudi datang kemari tanpa di perintah olehnya?” jawab Anne ketus. Suaranya terdengar sedikit menggigil karena kedinginan.
“Ia pulang terlambat hari ini karena masih ada pertemuan dengan klien. Jadi ia menyuruhku membawa pulang semua berkas-berkas ini agar kau bisa segera mengeceknya. Aku ingin membantumu, tapi melihat keadaanku yang sekarang, sepertinya itu tak mungkin,” Anne melangkahkan kakinya melewati Richard menuju ruang baca tempat Hilda menaruh semua berkas-berkasnya seperti biasanya. Richard mengekor di belakangnya sambil menatap perempuan tinggi semampai itu dengan seksama. Blouse yang ia kenakan terlihat tipis. Ditambah dengan siraman air hujan, baju itu seakan makin menyatu dengan kulitnya yang mulus bersih sehingga semakin menunjukkan lekuk tubuhnya yang menawan.
“Pekerjaanku hanya sampai di sini saja. Sungguh, aku ingin sekali membantumu mengecek semua berkas-berkas ini karena istrimu bilang berkas-berkas ini harus selesai dicek malam ini. Tapi, aku tak bisa melakukan pekerjaan ini dengan kondisi basah kuyup seperti ini. Jadi, aku harus segera pulang dan meninggalkanmu menyelesaikan pekerjaan ini sendirian. Maafkan aku, aku benar-benar tak bermaksud lari dari tanggung jawab,” ucap Anne panjang lebar. Richard sempat terkesiap, sejak beberpa bulan yang lalu, baru kali inilah Anne mau bicara panjang lebar padanya dan dengan nada selembut ini pula. Meskipun begitu,  bibirnya terlihat bergetar. Itu pasti karena ia kedinginan. Richard menatapnya dengan iba. Naluri lelakinya ingin sekali menyentuh wajahnya yang basah dengan lembut lalu menyelipkan ikal-ikal rambutnya yang berjuntaian kemudian menyelipkannya ke balik telinganya. Seperti yang biasa ia lakukan dulu, 5 tahun yang lalu, ketika perempuan itu masih menjadi kekasihnya.
“Bergantilah baju. Kau bisa sakit jika pulang dengan baju basah begini. Aku akan meminjamkan baju Hilda,”
Anne terkekeh.
“Baju siapa? Baju bu Hilda? Dia bisa memecatku karena lancang memakai bajunya,” ucapnya.
“Aku yang meminjamkannya, ia takkan marah,”
Tidak,” jawab Anne tegas.
“Kalo begitu, pakailah bajuku,”
Anne tertawa kesal mendengar ucapan Richard.
“Bajumu? Nah, istrimu pasti akan segera membunuhku jika aku sampai menyentuh barang-barangmu,” jawabnya sinis.
Richard menatap perempuan itu dengan kesal.
“Aku serius, Anne. Aku benar-benar tak tega melihatmu pulang dalam keadaan seperti ini. Kau bisa sakit,”
Anne kembali tertawa sinis.
“Apa pedulimu jika aku sakit? Kita bahkan tak ada hubungan apa-apa,”
“Terserah, yang jelas aku mengkhawatirkanmu. Jika kau menolak berganti baju, setidaknya biarkan aku mengantarkanmu pulang. Cuaca sedang tidak baik dan aku tak tega jika kau harus pulang sendirian,”
Anne tergelak.
“Dan kenapa kau harus bersikap seperti itu? Mengkhawatirkanku? Atas dasar apa? Rasa  kasihan? Atau rasa bersalah karena kaulah orang yang telah mencampakkanku? Mengkhianatiku? Melukai hatiku?”
Richard mendesah.
 “Ah, sudahlah, Anne. Jangan mulai membahasnya lagi. Peristiwa itu sudah berlalu sangat lama. Tidak bisakah kau melupakannya dan memaafkanku?”
Keduanya bersitegang.
“Tidak! Aku tidak akan pernah bisa memaafkanmu! Aku tidak akan pernah bisa melupakan pengkhianatanmu!” Anne berteriak. Ia menatap pria di depannya dengan tajam.
“Oke, akan ku perjelas ini agar masalah di antara kita segera selesai. Aku tidak pernah mengkhianatimu, Anne. Tidak pernah!”
“Bagaimana mungkin kau bisa berkata seperti itu?”
“Aku memang mengenal Hilda ketika aku masih menjadi kekasihmu. Tapi aku mulai berkencan dengannya jauh setelah aku putus denganmu. Jadi, aku tak pernah berkhianat ataupun berselingkuh darimu!”
“Tapi kau menyukainya sejak masih menjadi pacarku ‘kan?”
“Ya, itu benar. Tapi aku tidak berselingkuh darimu ‘kan?”
Anne menarik nafas kesal.
“Ah, laki-laki memang selalu mau enaknya sendiri,” ia beranjak.
“Mau kemana kau?” Richard mengikutinya.
“Aku akan pulang naik taksi. Kau tak perlu repot-repot mengantarkanku,”
“Tidak, aku yang akan mengantarkanmu pulang,”
“Kau tak bisa memerintahku! Kau bukan atasanku!”
 “Apa yang membuatmu begini keras kepala?”
“Aku sudah keras kepala sejak dulu, kau juga tahu itu!” Anne terus melangkahkan kakinya tanpa menghiraukan Richard. Tapi, sejurus kemudian ia dibuat terkejut ketika tiba-tiba Richard menarik tangannya, meraih pinggangnya yang ramping lalu memeluknya dengan erat. Lelaki itu mendekatkan wajahnya pada wajah Anne. Tatapan matanya tajam dan tampak  kesal. Anne merasakan dadanya bergemuruh dengan hebat. Ia bahkan bisa merasakan desah nafas Richard. Sejak perpisahannya dengan Richard 5 tahun lalu, ini pertama kalinya ia berada begitu dekat dengan lelaki itu.
Anne berusaha mendorong tubuh Richard agar bisa melepaskan diri. Tapi percuma. Tenaganya kalah kuat dengannya. Semakin ia berusaha meronta yang ada malahan ia merasakan pelukan Richard kian menguat. Keduanya berpandangan dengang lekat, untuk beberapa saat. Anne menelan ludah. Mungkin ia salah, tapi tatapan mata Richard berubah lembut dan dalam. Ia pernah menemui tatapan itu 5 tahun yang lalu, ketika mereka masih berpacaran. Kenapa tatapan itu muncul lagi?
Seketika Anne merasakan tubuhnya menggigil. Dan ia yakin itu bukan karena ia kedinginan. 
“Lepaskan aku,” Anne menggumam. Suaranya lirih dan setengah memohon. Dan perlahanpun Richard melepaskan pelukannya. Anne mundur beberapa langkah dan lelaki bertubuh kekar itupun melakukan hal yang sama. Tampak ia juga sedikit kebingungan dengan sikapnya yang barusan. Ia menyentuh rambutnya yang lebat dengan kedua telapak tangannya. “Maaf,” ucapnya lirih tanpa melihat ke arah Anne.
“Aku akan tetap pulang dengan kendaraan umum. Entah kau suka atau tidak. Ini bukan karena aku keras kepala, tapi kau lelaki yang sudah menikah. Dan akan kelihatan aneh jika kau mengantarkan aku pulang dalam situasi seperti ini sementara istrimu sedang tak berada ada di rumah. Terlebih lagi aku adalah bawahan istrimu.  Kuharap kau bisa mengerti. Ini demi kebaikanmu dan juga kebaikan istrimu. Aku tak mau ada kesalah pahaman,” suara Anne terdengar melunak hingga membuat Richard seakan mendapatkan kembali akal sehatnya.
“Kalau begitu, aku akan menyuruh orang untuk mengantarkanmu. Aku tetap tak setuju kau pulang sendirian dengan kendaraan umum. Kau bekerja pada istriku dan secara tidak langsung keselamatanmu juga menjadi tanggung jawabku. Ku harap kau mengerti,” jawab Richard dengan suara yang tenang. Keduanya kembali berpandangan.
“Dan ... aku akan meminjamkan jaketku. Blousemu ... tembus pandang,” ucapan Richard tampak ragu.
Anne ternganga. Perlahan ia melihat dirinya sendiri. Dan Richard benar. Bra pink-nya tampak tercetak dengan jelas di balik blouse putihnya yang basah karena air hujan. Oh, tidak! Ia mengumpat dan secara reflek ia menutup dadanya dengan kedua lengan tangannya.
Oke, aku butuh jaket, secepatnya,” ucap Anne kemudian, menyerah.
Richard mengangguk lalu beranjak. Entah perasaannya saja atau mungkin ia sedang salah lihat, tapi sekilas ia sempat menangkap senyum tipis di bibir Richard.
Anne menggigit bibirnya dengan kesal. Bra sialan!

*** 

Bersambung ....

Gambar : Delta Lee G.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar